Anda di halaman 1dari 82

Islam Dan Ilmu Pengetahuan (Baso Hasyim)

ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN


(PENGARUH TEMUAN SAINS TERHADAP PERUBAHAN ISLAM)
Oleh : Baso Hasyim
STAIN Palopo
baso_hasyim@yahoo.co.id

Abstract;

Ilmu pengetahuan dan teknologi terutama pada zaman modern ini, mengalami
banyak perubahan dan sangat cepat, sedang agama bergerak dengan lamban sekali,
karena itu terjadi ketidak harmonisan antara agama dan ilmu pengetahuan serta
teknologi. Dalam ensiklopedi Agama dan filsafat dijelaskan bahwa Islam adalah
agama Allah yang diperintahkan-Nya untuk mengajarkan tentang pokok-pokok
serta peraturan-peraturannya kepada Nabi Muhammad saw. dan menugaskannya
untuk menyampaikan agama tersebut kepada seluruh manusia dengan mengajak
mereka untuk memeluknya. Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan yang
lainnya adalah penekanannya terhadap ilmu (sains). Al-Qur’an dan Al-Sunnah
mengajak kaum muslimin untuk mencari dan mendapatkan ilmu dan kearifan, serta
menempatkan orang-orang yang berpengatahuan pada derajat yang tinggi. Apabila
kita memperhatikan ayat al-Qur’an mengenai perintah menuntut ilmu kita akan
temukan bahwa perintah itu bersifat umum, tidak terkecuali pada ilmu-ilmu yang
disebut ilmu agama, yang ditekankan dalam al-Qur’an adalah apakah ilmu itu
bermanfaat atau tidak. Adapun kriteria ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang
ditujukan untuk mendekatkan diri kepada sang khalik sebagai bentuk pengabdian
kepada-Nya. Pertemuan kaum muslimin dengan dunia modern, melahirkan
berbagai aliran pemikiran, seperti aliran salaf dengan semboyan “Kembali kepada
al-Qur’an dan Sunnah”, dan aliran Tajdid dengan semboyan “maju ke depan
bersama al-Qur’an”. Pembaruan dalam Islam memang sangat dianjurkan selama
pembaruan itu tidak mengebiri ajaran-ajaran Islam yang otentik, akan tetapi justru
memperkuat, mempertinggi dan mengangkat martabat ummat Islam dihadapan
bangsa-bangsa lain di dunia.

Kata Kunci:
Ilmu Pengetahuan, Perubahan, Islam

Science and technology, especially in modern times, experiencing a lot of changes


and very fast, being religious moving very slow, because it happened disharmony
between religion and science and technology. In the Encyclopaedia of Religion and
philosophy explained that Islam is the religion of Allah commanded him to teach
about subjects as well as its rules to the Prophet Muhammad. and assigned him to
convey the religion to all mankind by inviting them to embrace him. One
characteristic that distinguishes Islam with others is its emphasis on science
(science). Al-Quran and Al-Sunnah urge Muslims to seek and acquire knowledge
and wisdom, as well as placing people berpengatahuan at a high degree. If we look

127
Jurnal Dakwah Tabligh, Vol. 14, No. 1, Juni 2013 : 127 - 139

at the verses of the Koran on orders study we will find that the order was general in
nature, is no exception in the sciences called theology, which is emphasized in the
Qur'an is whether science is beneficial or not. The criteria useful science is the
science devoted to draw closer to the creator of universe as a form of devotion to
Him. Meeting of the Muslims with the modern world, gave birth to various schools
of thought, such as the flow of the Salaf with the slogan "Back to the Qur'an and
Sunnah", and the flow Tajdid with the slogan "forward along the Koran". Updates
in Islam is highly recommended during the update was not emasculate the teachings
of Islam are authentic, but actually strengthen, enhance and elevate the dignity of
Muslims in front of the other nations in the world.

Keywords:
Science, Change, Islam

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya ajaran Islam mengandung ajaran yang absolut, sudah umum dipandang
bersifat statis, dan dengan demikian tidak sejala bahkan bertentangan antara agama yang
bersifat statis dan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bersifat dinamis.
Ilmu pengetahuan dan teknologi terutama pada zaman modern ini, mengalami banyak
perubahan dan sangat cepat, sedang agama bergerak dengan lamban sekali, karena itu terjadi
ketidak harmonisan antara agama dan ilmu pengetahuan serta teknologi. Pertentangan itu
terjadi bukan hanya antara agama dan ilmu pengetahuan, tapi juga antara agama dan ideologi
yang dihasilkan oleh pemikiran modern yang erat hubungannya dengan kemajuan yang
dicapai dalam ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Semua ini menimbulkan nilai-nilai
baru yang tidak sedikit diantaranya bertentangan dengan nilai-nilai lama yang dipertahankan
oleh agama. Dampak lebih jauh dari pertentangan ini terutama di dunia yang sedang
berkembang termasuk negara kita Indonesia yang masih mencari-cari atau memantapkan
identitasnya dapat menimbulkan instabilitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Suatu hal yang paling memilukan dialami umat Islam seluruh dunia dewasa ini adalah
ketinggalan dalam persoalan ilmu pengetahuan dan teknologi, padahal untuk kebutuhan
kontemporer, kehadiran IPTEK merupakan keharusan yang tidak dapat ditawar, terlebih-lebih
IPTEK dapat membantu dan mempermudah manusia dalam memahami kekuasaan Allah swt.
dan melaksanakan tugas kekhalifahan.
Empat belas abad yang lalu atau abad keenam masehi, Allah swt. melalui ayat yang
pertama turun, surah al-Alaq ayat 1-5, memerintahkan kepada umat manusia agar umat
manusia menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, dan mengajukan berbagai penemuan
dalam berbagai bidang dsipilin ilmu. Nama-nama seperti Ibnu Hayyan, al-Khawarizmi, al-
Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibn al-Khaitam, al-Biruni, al-Ghazali dan lainnya adalah ilmuan
yang pernah dicetak oleh zaman keemasan Islam. 1

128
Islam Dan Ilmu Pengetahuan (Baso Hasyim)

Dengan kedatangan Napoleon Bonaparte ke Mesir, disinilah untuk pertamakali terjadi


kontak Mesir dan umat Islam dengan bangsa Eropa. Dan juga sekaligus sebagai awal
kesadaran bagi Mesir dan umat Islam akan kebodohan dan keterbelakangannya dibanding
dengan Eropa (Barat).

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapatlah dirumuskan pokok masalah yang
menjadi obyek kajian penelitian sebagai berikut: Bagaimana perspektif Islam terhadap ilmu
pengetahuan, Bagaimana pengaruh temuan sains terhadap perubahan Islam.

PEMBAHASAN
Kajian Teoritis Tentang Islam
Diskursus mengenai Islam, terdapat beberapa istilah dalam kamus tentang akar kata
Islam. Secara umum kata ini mempunyai dua kelompok makna dasar yaitu Selamat, bebas,
terhindar, terlepas dari, sembuh, meninggalkan. Bisa juga berarti; Tunduk, patuh, pasrah,
menerima. Kedua kelompok makna dasar ini saling terkait dan tidak terpisah satu sama lain. 2
Salima juga berarti murni seperti dalam ungkapan ‘salima lahu asy-sya’ artinya sesuatu
itu murni milik/untuknya.3 Artinya bebas dari persekutuan dengan orang lain. Dalam kaitan
ini aslama juga berarti memurnikan kepatuhan hanya kepada Allah swt. 4
Adapun pengertian Islam secara terminologi akan kita jumpai rumusan yang berbeda-
beda. Dalam ensiklopedi Agama dan filsafat dijelaskan bahwa Islam adalah agama Allah yang
diperintahkan-Nya untuk mengajarkan tentang pokok-pokok serta peraturan-peraturannya
kepada Nabi Muhammad saw. dan menugaskannya untuk menyampaikan agama tersebut
kepada seluruh manusia dengan mengajak mereka untuk memeluknya. 5 Harun Nasution
mengatakan bahwa Islam menurut istilah adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan
Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad saw. sebagai rasul. Islam pada
hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi tetapi mengenai
berbagai segi dari kehidupan manusia. Sumber dari ajaran-ajaran yang mengandung berbagai
aspek itu adalah al-Qur’an dan Hadis.6
Kata Islam memiliki jaringan konseptual yang kaya, karena itu tidak berlebihan kalau di
dalam al-Qur’an, ia dipilih untuk menjadi nama agama (din) baru yang diwahyukan Allah
swt. melalui nabi Muhammad saw. dengan menyisihkan nama lain yang juga memiliki makna
yang srupa. Kata Islam ini kemudian digandengkan dengan kata din yang juga memiliki
makna konseptual yang luas, seperti dalam (QS. Ali-Imran/3:9).
Islam secara umum dipahami sebagai agama yang dibawa oleh nabi Muhammad saw.,
beberapa penulis barat menyebutnya dengan muhammdanism, atau istilah yang sama sekali
tidak dikenal oleh kalangan umat Islam sendiri. Perkataan Islam berasal dari kata silm yang
berarti damai. Karena itu Islam mengandung makna masuk ke dalam suasana atau keadaan
damai dalam kehidupan individual maupun sosial.
129
Jurnal Dakwah Tabligh, Vol. 14, No. 1, Juni 2013 : 127 - 139

Penghargaan Al-Qur’an Terhadap Ilmu


Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan yang lainnya adalah penekanannya
terhadap ilmu (sains). Al-Qur’an dan Al-Sunnah mengajak kaum muslimin untuk mencari dan
mendapatkan ilmu dan kearifan, serta menempatkan orang-orang yang berpengatahuan pada
derajat yang tinggi. Di dalam Al-Qur’an kata ilmu dan kata-kata jadiannya digunakan lebih
dari 780 kali. Beberapa ayat Al-Qur’an yang diwahyukan pertama kepada Nabi Muhammad
saw., menyebutkan pentingnya membaca bagi manusia. Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S.
al-Alaq ayat 1-5 yang berbunyi:

               

        

Terjemahnya:
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah.3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha
pemurah,4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.5. Dia mengajar kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya.
Dalam hadis-hadis Nabi juga terdapat pernyataan-pernyataan yang memuji orang yang
berilmu dan mewajibkan menuntut ilmu antara lain: Mencari ilmu wajib bagi setiap muslimin.
Carilah ilmu walaupun di negeri Cina. Carilah ilmu sejak dari buaian hingga ke liang lahad.
Para ulama itu adalah pewaris Nabi. Pada hari kiamat ditimbanglah tinta ulama dengan darah
syuhada, maka tinta ulama dilebihkan dari darah syuhada.7
Menurut Ali Ashrap dalam bukunya “New Horizon in Muslim Education” sebagaimana
yang dikutip oleh Noeng Muhajir bahwa: Orinetasi IPTEK harus diberangkatkan dari moral
al-Qur’an. Juga ia menganjurkan agar konsep IPTEK didasarkan pada ketentuan mutlak yang
ditetapkan dalam al-Qur’an.8
Masalah ilmu-ilmu apa saja yang dianjurkan Islam, telah merupakan persoalan mendasar
sejak hari-hari pertama Islam. Apakah ada ilmu-ilmu khusus yang harus dicari. Pertanyaan ini
telah dijawab oleh para ulama Islam. Sebagian ulama besar Islam seperti al-Ghazali,
mengatakan bahwa ilmu yang wajib dicari adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
kewajiban-kewajiban pelaksanaan syari’at Islam. Sedang yang wajib kifayah adalah ilmu-
ilmu yang berkaitan dengan ilmu-ilmu kemasyarakatan. Al-Ghazali juga mengklasifikasikan
ilmu kepada ilmu agama dan ilmu non-agama. Ilmu agama (‘Ulum syar’), adalah kelompok
ilmu yang diajarkan lewat ajaran-ajaran Nabi dan wahyu. Sedang ilmu non-agama
diklasifikasikan kepada ilmu yang terpuji, dibolehkan dan tercela. Sejarah misalnya masuk
dalam ilmu yang dibolehkan. Sihir masuk dalam ilmu yang tercela. Adapun ilmu yang terpuji

130
Islam Dan Ilmu Pengetahuan (Baso Hasyim)

yaitu ilmu-ilmu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari dan termasuk wajib kifayah
dalam menuntutnya. Seperti ilmu tentang obat-obatan, matematika dan keterampilan-
keterampilan.9 Selanjutnya Noeng Muhajir menambahkan bahwa al-Qur’an dan Hadis
menurut telaah metodologis, bukan hanya menampilkan ayat (bukti kebenaran), tetapi juga
hudan (petunjuk) dan rahmah (anugerah) Allah. Karena itu IPTEK Islam bukan hanya
mencari kebenaran, melainkan juga mencari kebijakan dan ridha Allah. Disinilah Noeng
Muhajir menghendaki agar pendekatan dominan dalam IPTEK sesuai semangat al-Qur’an
adalah axiologi (tujuan/manfaat) bukan sekedar ontologi atau epistemologi. 10
Mencermati pendapat al-Ghazali di atas tentang pengklasifikasian ilmu kepada ilmu yang
wajib, wajib kifayah, mubah dan tercela, adalah kurang tepat bila merujuk pada hadis yang
menjelaskan bahwa menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim. Ilmu apapun asalkan dapat
memberikan manfaat bagi diri dan orang lain maka itu adalah wajib, sebaiknya ilmu yang
tidak bermanfaat adalah haram atau dilarang. Bukankah wahyu ataupun hadis sebagai sumber
ilmu adalah berasal dari Allah, demikian pula alam ciptaannya juga berasal dari Allah,
sehingga menuntut ilmu-ilmu kealaman (sains), juga termasuk wajib bagi setiap muslim
asalkan diarahkan untuk kemanfaatan masyarakat.
Klasifikasi ilmu seperti itu bisa menimbulkan miskonsepsi bahwa ilmu non-agama
terpisah dari Islam. Padahal ilmu yang digolongkan non-agama itu dapat memberikan manfaat
besar bagi kesejahteraan ummat manusia. Katakan penemuan ilmu pengetahuan dalam bidang
kedokteran, transportasi, komunikasi dan pertanian dan lain-lain.
Murtadha Muthahhari sebagaimana yang dikutip dalam buku filsafat sains menurut al-
Qur’an, menjelaskan bahwa kesempurnaan Islam sebagai suatu agama menuntut agar setiap
lapangan ilmu yang berguna bagi masyarakat Islam dianggap sebagai bagian dari kelompok
ilmu agama. Agama yang memandang dirinya serba lengkap tidak bisa memisahkan dirinya
dari masalah-masalah yang memainkan peranan vital dalam memberikan kesejahteraan dan
kemerdekaan bagi masyarakat Islam.11
Dalam sebagian besar al-Qur’an dan hadis konsep ilmu secara mutlak muncul dalam
maknanya yang umum. Tidak membedakan antara ilmu agama dan non-agama, hadis nabi
yang memerintahkan untuk menuntut ilmu walaupun ke negeri Cina, menunjukkan bahwa
menuntut ilmu tidak terbatas pada ilmu agama saja karena Cina pada saat itu bukan pusat
studi-studi theologi, fiqh ataupun tasawuf, tetapi terkenal dengan industrinya. Lagi pula
hukum atau ajaran-ajaran agama seperti yang dimaksud oleh al-Ghazali tidak dapat dipelajari
dari orang-orang musyrik. Selama beberapa abad ulama-ulama Islam merupakan pembawa
obor pengetahuan, bahkan karya-karya mereka dijadikan buku teks di Eropa selama beberapa
abad. Para ulama yang terkenal dalam sejarah Islam sebagai filosof mengintegrasikan ilmu-
ilmu yang berasal dari beberapa budaya lalu diformulasikan dalam suatu pemikiran yang utuh
dan menjadi milik Islam yang menjadikan Islam pada saat itu memimpin peradaban dunia.
Memilah-milah ilmu dengan alasan bahwa ilmu agama dan non-agama tidak mempunyai
nilai yang sama adalah kurang tepat, bukankah kenyataannya ilmu yang dikatakan non-agama
131
Jurnal Dakwah Tabligh, Vol. 14, No. 1, Juni 2013 : 127 - 139

dewasa ini jauh lebih memberikan manfaat yang besar kepada kehidupan umat manusia.
Katakanlah dengan teknologi komputerisasi, komunikasi, transportasi, perbankan dan lain-
lain. Sedangkan ilmu yang dimasukkan dalam kelompok ilmu agama malah menimbulkan
pertentangan dalam masyarakat seperti ilmu kalam / teologi, ilmu fiqh, dan lain-lain. Dalam
Islam batasan untuk ilmu adalah bahwa orang-orang Islam haruslah menuntut ilmu yang
berguna dan melarang menuntut ilmu yang tidak bermanfaat.12
Menurut Quraisy Shihan, bahwa kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854
13
kali. Selanjutnya dalam Ensiklopedi al-Qur’an, kajian kosa kata dan tafsirnya dikemukakan
pula bahwa di dalam al-Qur’an kata ilm dan turunannya (tidak masuk ‘alam, al-alamin dan
‘alamat), disebut sebanyak 778 kali.
Ayat-ayat al-Qur’an yang di dalamnya terdapat kata ‘ilm pada umumnya berbicara tema
sentral ilmu sebagai penyelamat bagi manusia dari berbagai kehancuran, baik di dunia
maupun di akhirat dengan topik-topik; Proses pencapaian pengetahuan dan obyeknya (QS.
Al-Baqarah/2 : 31-32)

             

14               

Terjemahnya:
Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudia
mengemukakannya kepada Para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama
benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar!”, mereka menjawab:
“Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang tekah Engkau
ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.

Klasifikasi Ilmu terdapat pada QS. Al-Kahfi/18: 65


15
            

Terjemahnya:
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah
Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya
dari sisi Kami.

Fungsi ilmu yang mencakup sikap dan perilaku orang-orang yang berilmu serta
karakteristik mereka. Iman yang mencakup sikap dan perilaku orang terhadap Allah swt. dan
ajaran-Nya.16
Berdasarkan keterangan singkat tersebut, menunjukkan betapa al-Qur’an telah
memberikan prinsip-prinsip, spirit serta kaidah-kaidah dalam mengembangkan berbagai
132
Islam Dan Ilmu Pengetahuan (Baso Hasyim)

macam ilmu pengetahuan. Dunia kini dan masa depan adalah dunia yang dikuasai oleh sains
dan teknologi. Mereka yang memiliki keduanya akan menguasai dunia. Sains dan teknologi
merupakan infrastruktur, olehnya itu keduanya akan menentukan suprastruktur dunia
internasional, termasuk kebudayaan, moral, hukum bahkan agama, bila Islam ingin
memegang peranan dalam percaturan dunia tidak bisa tidak, harus menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi. Persoalannya sekarang adalah bagaimana seharusnya sikap
ummat Islam dalam merespon temuan produk ilmu pengatahuan tersebut.
Untuk mengetahui bagaimana hubungan Islam dengan ilmu pengetahuan, maka rujukan
utama adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Betapa banyak ayat al-Qur’an dan as-Sunnah yang
berbicara tentang ilmu pengetahuan, secara ringkas Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Islam
alternatif menjelaskan;

Manusia diangkat sebagai khalifah dan dibedakan dengan makhluk Allah yang lain karena
ilmunya. Al-Qur’an menceritakan bagaimana Adam as, diberi pengaetahuan tentang konsep-
konsep seluruhnya (al-asma kullaha), dan malaikat disuruh bersujud kepadanya, QS. Al-
Baqarah/2; 31-33.

Hakikat manusia tidak terpisah dari kemampuannya untuk mengembangkan ilmu


pengetahuan, maka ilmu yang disertai iman, adalah ukuran derajat manusia. Manusia yang
ideal adalah manusia yang mencapai ketinggian iman dan ilmu. (QS.58:11).

Al-Qur’an diturunkan dengan ilmu Allah (QS.11:14) dan hanya dapat direnungkan maknanya
oleh orang-orang yang berilmu.

Al-Qur’an memberi isyarat bahwa yang berhak memimpin ummat ialah yang memiliki ilmu
pengetahuan. Beberapa Nabi dipilih menjad penguasa dan juga beberapa orang dikisahkan
menjadi penguasa karena ilmunya. Mari kita perhatikan bagaimana Thalut diangkat menjadi
raja Israil (QS. Al-Bagaqarah/2: 247), begitu pula Daud (QS. Al-Baqarah/2 : 251), Sulaiman
(QS.21: 15,27,29) demikian pula Luth, Musa Ya’qub dan Yusuf.

Allah swt, melarang kita mengikuti sesuatu yang tentangnya kita tidak punya ilmu (QS.17:
36).

Allah swt., memberikan contoh bagaimana orang awam tertarik dengan kemewahan dunia
seperti yang dicontohkan oelh Qarun dan hanya orang yang berilmu yang tahu bahwa
kemewahan dunia bukanlah sesuatu yang bernilai (QS.28:80)17

Sumber dan Arah Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Al-Qur’an menunjukkan empat sumber untuk memperoleh ilmu pengetahuan:


Al-Qur’an dan As-Sunnah
Alam Semesta

133
Jurnal Dakwah Tabligh, Vol. 14, No. 1, Juni 2013 : 127 - 139

Diri manusia sendiri


Sejarah Umat Manusia
Adapun arah dan tujuan ilmu pengetahuan bahwa ayat al-Qur’an begitu banyak yang
berbicara tujuan ilmu seperti untuk mengenal; tanda-tanda kekuasaan-Nya, menyaksikan
kehadirna-Nya diberbagai fenomena yang kita amati mengagungkan Allah serta bersyukur
kepada-Nya di samping itu, al-Qur’an menyebutkan pula tiga hal lainnya dalam
mengembangkan ilmu antara lain;
Ilmu pengetahuan harus menemukan keteraturan (sistem), hubungan sebab akibat dan tujuan
di alam semesta (QS.67:3)

Ilmu harus dikembangkan untuk mengambil manfaat dalam rangka mengabdi kepada Allah,
sebab Allah swt, telah menundukkan segala apa yang ada di langit dan di bumi untuk
kepentingan manusia. (QS.22:65)

Ilmu harus dikembangkan dengan tidak menimbulkan kerusakan di bumi. (QS.7:56).

Cara Memperoleh Ilmu Pengetahuan


Ada beberapa cara untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang diterangkan dalam al-
Qur’an: 1. Lewat eksperimen dan pengamatan indrawi (QS. 29:20) 2. Lewat akal yaitu
dengan jalan ta’aqqul, tafaqquh dan tazakkur (merenungkan, memikirkan, memahami dan
mengambil pelajaran), (QS. 2:164). 3. Lewat wahyu atau ilham. Allah dapat memberikan
kepada manusia yang dikehendaki tanpa proses berfikir ataupun pengamatan empiris, tetapi
diberikan secara langsung. (QS. 2:251).18
Lebih lanjut Noeng Muhajir mengatakan bahwa secara ilmiah sedikit telah memberikan
jawaban kepada kita mengenai hal ini bahwa; ilmu adalah kekuasaan, apakah kekuasaan itu
akan merupakan berkat atau malapetaka bagi ummat manusia, semua itu terletak pada orang
yang menggunakan kekuasaan itu. Ilmu baginya adalah bersifat netral, ilmu tidak mengenal
sifat baik atau buruk dari sipemilik ilmu itulah yang harus punya sikap, jalan yang akan
ditempuh dalam menggunakan ilmu itu terletak ada sistem nilai sipemilik ilmu itu. Dengan
kata lain netralitas ilmu hanya pada dasar epistemologisnya saja, sedangkan secara ontologis
dan axiologi, seorang ilmuan harus mampu menilai antara yang baik dan yang buruk pada
akhirnya mengharuskan dia untuk menentukan sikap.19 Dengan adanya kekuasaan ilmu yang
begitu besar inilah mengharuskan seorang ilmuan mempunyai landasan moral yang kuat.
Tanpa landasan moral seorang ilmuan hanya akan membuat ilmu menjadi momok yang
menakutkan dan menghancurkan. Semoga hal ini dapat disadari oleh ilmuan.

Kriteria Ilmu Yang Berguna


Apabila kita memperhatikan ayat al-Qur’an mengenai perintah menuntut ilmu kita akan
temukan bahwa perintah itu bersifat umum, tidak terkecuali pada ilmu-ilmu yang disebut ilmu
agama, yang ditekankan dalam al-Qur’an adalah apakah ilmu itu bermanfaat atau tidak.

134
Islam Dan Ilmu Pengetahuan (Baso Hasyim)

Adapun kriteria ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang ditujukan untuk mendekatkan diri
kepada sang khalik sebagai bentuk pengabdian kepada-Nya. Dalam QS Adz.zariyat/51 : 56
Allah swt berfirman:

      

Terjemahnya:
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.

Selanjutnya juga ditegaskan dalam firman Allah swt (QS. Yasin/36 : 61)

      

Terjemahnya:
Dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus.

Dengan demikian menyembah Allah swt, tidak hanya sekedar melaksanakan ibadah-
ibadah ritual dan individual seperti shalat, puasa, zakat, haji dam lainnya, tetapi menolong
orang lewat perantaraan ilmu juga termasuk perbuatan yang bernilai ibadah di sisi Allah swt,
dan sebagai seorang yang beriman wajib meyakini hal tersebut.

Pengaruh Temuan Sains Terhadap Perubahan Islam


Munculnya Ide Perubahan
Perubahan yang konservatif dalam arti perubahan yang bersifat liberal, mungkin dimulai
oleh Kemal Attaturk di Turki, dengan gerakan sekularisasinya. Memang sejak awal Turki
telah mempunyai kontak langsung dengan Eropa Timur.20 Kemudian diikuti oleh beberapa
tokoh di Mesir, India dan bahkan di Indonesia. Di Indonesia seperti yang dilakukan oleh
Nurcholis Majid, KH. Abdurrahman Wahid, M. Dawam Raharjo dan M. Syafii Ma’arif. 21
Pembaruan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh yang disebut terakhir ini, memang banyak
mendapat tantangan dari kaum muslimin sendiri terutama kaum tradisionalis. Pembaruan ini,
dianggap tidak punya dasar yang kuat dan cenderung mengabaikan dan bahkan melemahkan
keyakinan terhadap al-Qur’an maupun lafal ataupun bunyi ayat tersebut.
Sejak abad ke 19 hingga kini salah satu persoalan besar yang diangkat oleh para pemikir
adalah sikap yang harus diambil terhadap ilmu pengetahuan modern di dunia Barat.
Perdebatan mereka dilatar belakangi bahwa dunia Islam pernah menjadi pusat ilmu
pengetahuan, tetapi pada zaman baru telah jauh tertinggal oleh dunia Barat. Perbincangan
tentang Islam dan ilmu pengetahuan sejak abad ke 19 memiliki dua aspek penting. Pertama,
periode ini ditandai dengan banyaknya perkembangan baru dalam pemikiran Islam,
penyebabya adalah kontak yang semakin intensif antara dunia Islam dengan peradaban Barat.
Gagasan Barat tentang beberapa hal seperti modernisme, sekulerisme, westernisasi

135
Jurnal Dakwah Tabligh, Vol. 14, No. 1, Juni 2013 : 127 - 139

(pembaratan), nasionalisme dan lainyya menjadi obyek utama perhatian para pemikir muslim.
Kedua; sejak awal perkembangan Islam, ilmu yang berdasarkan pengamatan, wahyu atau
renungan para sufi sebagai awal mula berkembangnya ilmu dalam Islam selalu mendapat
perhatian para pemikir muslim.
Apabila dikaitkan pada kecenderungan pada aspek pertama, maka perhatian tersebut
mengambil bentuk tanggapan terhadap perkembangan pesat ilmu pengetahuan di dunia Barat
yang dianggap tidak bertindak pada suatu ilmu yang benar karena lebih merupakan reaksi
daripada usaha atas prakarsa sendiri, maka tanggapan itu menurut beberapa pemikir dan aliran
pemikiran merupakan penyempitan wilayah wacana tentang ilmu pengetahuan dibanding
dengan periode sebelumnya, khususnya pada masa awal perkembangan Islam.22

Respon Terhadap Pembaruan


Pertemuan kaum muslimin dengan dunia modern, melahirkan berbagai aliran pemikiran,
seperti aliran salaf dengan semboyan “Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah”, dan aliran
Tajdid dengan semboyan “maju ke depan bersama al-Qur’an”. Dalam kerangkan kedua aliran
tersebut muncul berbagai sebutan kaum tradisionalis, modernis dan reformis. Dalam
perkembangan selanjutnya, untuk menghadapi berbagai tantangan dalam bidang idiologi
pemikiran, dikalangan umat Islam berkembang pemikiran tentang sistem politik Islam, sistem
ekonomi Islam, sistem pendidikan Islam dan sebagainya.
Dalam menghadapai dunia modern, kaum muslimin memberikan jawaban dengan
berbagai bentuk yang ditandai oleh berbagai kegiatan seperti sosial, ekonomi, politik,
pendidikan dan kebudayaan, baik pada tingkat lokal, regional, maupun internasional. Hal ini
mendorong para ulama Islam untuk mengadakan interpretasi kembali dan formulasi kembali
untuk memunculkan konsep keislamana yang relevan dengan tuntutan zaman sebagai
perwujudan semboyan bahwa Islam shalihun li kulli zaman wa makan, artinya Islam itu
sesuai untuk setiap saat dan tempat. Hal ini yang menandai perkembangan Islam saat ini di
berbagai kawasan dunia Islam.23
Selanjutnya Harun Nasution mengharapkan agar ide agama yang membolehkan dan
merestui perubahan perlu ditanamkan pada jiwa ummat Islam. Juga ummat Islam perlu
membedakan antara ajaran Islam yang sebenarnya dan ajaran yang bukan berasal dari Islam.
Yang perlu dipertahankan adalah ajaran Islam sebenarnya, sedang ajaran yang bukan dari
Islam, boleh ditinggalkan dan boleh diubah. Dengan kata lain perlu membedakan antara
ajaran yang bersifat absolut dan ajaran yang bersifat merupakan tardisi yang boleh diubah. 24
Ide tersebut lebih jelas terinci dalam pemikiran Muhammad Abduh, ajaran Islam
dibaginya menjadi ajaran dasar dan non dasar. Ajaran dasar yang bersifat absolut dan tidak
dapat dirubah adalah al-Qur’an dan hadis mutawatir. Ajaran yang bukan dasar dan dapat
diubah adalah penafsiran atau interpretasi atas ajaran-ajaran dasar tersebut. Dalam dunia
Islam usaha pertama untuk membawa perubahan dalam bidang ini juga dijalankan oleh
Shadiq Rifat dan Mustafa Rasyid di Turki dengan mencoba membuat Sultan tunduk pada
syariat dan undang-undang. Kemudian dilajutkan oleh Midat Pasya dan Mustafa Kemal,
136
Islam Dan Ilmu Pengetahuan (Baso Hasyim)

semua terjadi pada awal abad ke IX dengan mencoba membawa sistem demokrasi ke Turki.
Di Tunisia misalnya usaha serupa dijalankan oleh Khairuddin al-Tunis dengan ide
konstitusioalisme yang akhirnya mewujudkan konstitusi pertama di dunia Islam.
Pemikiran-pemikiran yang ditimbulkan pemimpin-pemimpin modernisasi di Timur
Tengah itu kemudian mempengaruhi pemimpin-pemimpin Islam di Indonesia dan timbullah
usaha-usaha modernisasi yang dilakukan terutama Harun Nasution dalam bukunya
pembaharuan dalam Islam dan juga lewat pendidikan dengan pendirian program pasca-sarjana
di IAIN Syarif Hidayatullah dan sampai sekarang banyak melahirkan para pemikir dan
pembaharu di bidang keislaman.

SIMPULAN
Dari uraian sebelumnya dapat ditarik beberapa kesimpulan: Islam sebagai agama dengan
al-Qur’an dan as-sunnah sebagai sumber ajaranyya banyak berbicara tentang ilmu
pengetahuan dan menempatkan orang yang mempunyai ilmu pengetahuan pada derajat
terhormat. Semua ilmu pengetahuan agama ataupun ilmu pengetahuan kealaman semuanya
bersumber dari Allah swt, sehingga tidak perlu ada dikotomi antara keduanya. Sehingga
berkembangnya temuan saintis Barat beserta ide-ide yang ditimbulkannya berpengaruh besar
terhadap munculnya ide dan gagasan pembaruan di dunia Islam. Pembaruan dalam Islam
memang sangat dianjurkan selama pembaruan itu tidak mengebiri ajaran0ajaran Islam yang
otentik, akan tetapi justru memperkuat, mempertinggi dan mengangkat martabat ummat Islam
dihadapan bangsa-bangsa lain di dunia.

Endnotes
1
Nasr, Sciense and Civilization in Islam, diterjemahkan oleh J. Mahyuddin dengan judul Sains dan
peradaban dalam Islam (cet. I; Bandung; Pustaka, 1989), h. 23-41
2
Lihat Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al’-A’lam, (Beirut: Dar al- Masyriq, 1975), h. 347
3
Az-Zamakhsyari, Azas al-Balaghah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h.306.
4
Umais, Mu’jam al-Wasith, Jilid I (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1994), h. 446.
5
Effendi, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Buku II, Cet. I; Palembang: Universitas Brawijaya, 2001),
h.500
6
Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Cet. V; Jakarta: UI Press, 1979), h. 17.
7
Hadis yang membahas tentang ilmu dapat dilihat dalam beberapa kitab hadis. Lihat pula Imam al-
Munziri, Al-Muntaqa min Kitab al-Targhib wat-Tarhib, diterjemahkan oleh Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Lc.
dengan judul Seleksi Hadis-Hadis Shahih Tentang Targhib wat-Tarhib (Cet. I;Jakarta: Rabbani Press, 1993),h.
129-149
8
Muhajir, Filsafat Ilmu Posivitisme, Post Posivitisme dan Post Modernisme, Edisi II, (Cet. I; Jakarta:
PT. Raja Gravindo Persada, 2001), h. 67.
9
al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Jilid I, h.14.
10
Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat dalam Ibid, h. 66-67.

137
Jurnal Dakwah Tabligh, Vol. 14, No. 1, Juni 2013 : 127 - 139

11
Ghulsyani, The Holy Qur’an and The Sciences of Nature, diterjemahkan oleh Agus Effendi dengan
judul “Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an”,(Cet. X; Bandung: Mizan, 1998), h.44.
12
Lihat ibid, h.44-57
13
Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’I atas pelbagai Persoalan Umat, (Cet. III; Bandung:
Mizan. 1993), h. 434.
14
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara penterjemah / pentafsir
al-Qur’an
15
Ibid, h.454
16
Lihat Ensiklopedi al-Qur’an, jilid I; Jakarta: Bimantara, 1997), h. 150
17
Rakhmat, Islam Alternatif, Ceramah-ceramah di Kmapus, (Cet.XII; Bandung: Mizan, 2004),h. 175-
277. Lihat juga Abuddin Nata dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum (Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2005), h. 76-81.
18
Rakhmat, op.cit., h.201-210
19
Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, (Cet. XVI, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), h. 35.-36.
20
Lihat Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, (cet I; Bandung: Mizan,1995), h. 147.
21
Luthfi Assyaukanie, Pentingnya Pembaruan Islam, http://islamlid.com/id/artikel, 26/01/2010
22
Ensiklopedi Tematis, Pergolakan Pemikiran di bidang ilmu pengetahuan, h. 137
23
Lihat Esposito, The Oxford Encyclopedia of the modern Islamuc World, volume IV (New York:
Oxford University Press, 1995), h. 13-18
24
Lihat Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, (cet I; Bandung: Mizan,1995), h. 168-169

DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad, Ihya Ulumuddin, Jilid I
Al-Munziri, Imam, Al-Muntawa min Kitab al-Targhib wa Tarhib, diterjemahkan oleh Aunur
Rafiq Shaleh Tamhid, Lc dengan judul Seleksi Hadis-Hadis Shahih Tentang Targhib
wat-Tarhib Cet. I; Jakarta: Rabbani Press, 1993
Asy-syaukanie, Luthfi, Pentingnya Pembaruan Islam, , http://islamlid.com/id/artikel,
26/01/2010
Az-Zamakhsyari, Azas al-Balaghah, Beirut: Dar al-Fikr, 1989
Effeni, Mochtar, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Buku II, Cet. I; Palembang: Universitas
Brawijaya, 2001
Ensiklopedi al-Qur’an, Jilid I; Jakarta: Bimantara, 1997.
Esniklopedi Tematis, Pergolakan Pemikiran di Bidang Ilmu Pengetahuan
Gulsyani, Mahdi, The Holy Qur’an and The Sciences of Nature, diterjemahkan oleh Agus
Effendi dengan judul “Filsafat Sains Menurut al-Qur’an”, Cet X; Bandung: Mizan,
1998
Espoisto, Jhon L. The Oxford Encylopedia of The Modern Islamic World, Volume IV New
York: Oxford University Press, 1995
138
Islam Dan Ilmu Pengetahuan (Baso Hasyim)

Ma’luf, Luis, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, Beirut: Dar al-Masyriq, 1975.


Muhajir, Noeng, Filsafat Ilmu Posivitisme, Post Posivitisme dan Post Modernisme, Edisi II,
Cet I, Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Naser, Sayyed Hossen, Science and Civilization in Islam, diterjemahkan oleh J. Muhyiddin
dengan judul “Sains dan Peradaban dalam Islam”, Cet. I; Bandung: Pustaka, 1989.
Nasution, Harun, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, Cet. I; Bandung: Mizan, 1995
Nasution, Harun, Islam di Tinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I Cet. V; Jakarta: UI Press,
1979.
Nata Abuddin, dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2005
Rakhmat, Jalaluddin, Islam Alternative, Ceramah-ceramah di Kampus, Cet. XII; Bandung:
Mizan, 2004.
S. Suriasumantri, Jujun, Ilmu dalam Perspektif, cet XVI, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2003.
Shihab, H. M. Quraisy, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu,I atas pelbagai Persoalan
Ummat,Cet. III; Bandung: Mizan, 1993.
Unais, Mu’jam al-Wasith, Jilid I, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1994.

139
See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/335714230

HUBUNGAN ISLAM DENGAN SAINS

Article · May 2016

CITATIONS READS
0 49,997

2 authors:

Muhammad Taqiyuddin Khoirul Umam


University of Darussalam Gontor University of Darussalam Gontor
38 PUBLICATIONS   15 CITATIONS    10 PUBLICATIONS   30 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Islamic Worldview View project

Islamic Microfinance View project

All content following this page was uploaded by Muhammad Taqiyuddin on 10 September 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


HUBUNGAN ISLAM DENGAN SAINS
Makalah
Disampaikan untuk memenuhi tugas dalam
Mata Kuliah Aqidah dan Sains Sosial
bersama
Khoirul Umam, M.Ec

Oleh :
Muhammad Taqiyuddin

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS DARUSSALAM (UNIDA) GONTOR
1437/2016

1
Pendahuluan

Diskursus hubungan antara agama dan sains selalu menjadi wacana diskusi
yang menarik. Sains dalam kehidupan manusia selalu berkembang dan berubah.
Sedangkan agama selalu dianggap tradisi turun temurun yang dipertahankan oleh
masyarakat tertentu. Sains dan teknologi saat ini mencapai perkembangan yang sangat
pesat, bahkan seolah tidak pernah terprediksikan sebelumnya. Sains dan teknologi di
Barat seperti mesin uap, computer, mekanika, dan lainnya mengalami perkembangan
pesat pada abad 17-181 sejak revolusi keilmuan terhadap otoritas keagamaan pada
abad 12-13.2 Sejak saat itulah sains memisahkan diri dari otoritas keagamaan
Kristen.3

Negara-negara yang saat ini sangat berkontribusi dalam sains dan teknologi
mayoritas merupakan negara-negara Barat. Hal ini sudah menjadi fakta yang empiris,
dari segi penelitian dan akademik, fasilitas umum milik masyarakat, ketertiban umum,
dan lainnya selalu mengesankan orang luar yang berkunjung ke tempat tersebut.
Perkembangan sains juga diikuti oleh perkembangan paradigma manusia yang ada.

1 Abad Pencerahan terjadi di Eropa. Abad ke-17 yaitu "Age of Reason" (Zaman Akal)
merupakan langkah baru bagi sains modern, yang terjadi selama abad ke-18 "Abad Pencerahan".
Pengaruhnya adalah karya-karya dari Newton, Descartes, Pascal dan Leibniz, jalannya sekarang
semakin jelas ke arah perkembangan matematika, fisika dan teknologi modern oleh generasi dari
Benjamin Franklin (1706-1790), Leonhard Euler (1707-1783), Mikhail Lomonosov (1711-1765) dan
Jean le Rond d'Alembert (1717-1783), misalnya dengan munculnya Denis Diderot dalam Encyclopédie
antara tahun 1751 dan 1772. Dampak dari proses ini juga mempengaruhi filsafat (Immanuel Kant,
David Hume), agama (terutama dengan munculnya ateisme positif, dan dampak yang semakin
signifikan dari sains terhadap agama), dan masyarakat dan politik secara umum (Adam Smith,
Voltaire), Revolusi Perancis tahun 1789 menunjukkan awal modernitas politik. Periode modern awal
dipandang sebagai berbunganya Renaissance Eropa, dalam apa yang sering dikenal sebagai Revolusi
Ilmiah, dipandang sebagai dasar sains modern. Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_sains dan
lihat juga J.L. Heilbron, The Oxford Companion to the History of Modern Science, (New York: Oxford
University Press, 2003) hlm. 741
2 Sebuah revitalisasi intelektual Eropa dimulai dari lahirnya universitas abad pertengahan

pada abad ke-12. Kontak orang Eropa dengan dunia Islam di Spanyol dan Sisilia, dan selama
Reconquista dan Perang Salib, memungkinkan akses orang Eropa terhadap teks-teks ilmiah bahasa
Yunani dan bahasa Arab, termasuk karya-karya Aristoteles, Ptolemy, Jabir bin Hayyan, al-
Khawarizmi, Alhazen, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd. Para pelajar Eropa memiliki akses ke program
terjemahan Raymond dari Toledo, yang mensponsori Sekolah para Penerjemah Toledo dari bahasa
Arab ke Latin pada abad ke-12. Penerjemah-penerjemah akhir seperti Michael Scotus akan belajar
bahasa Arab untuk mempelajari teks-teks tersebut secara langsung. Universitas-universitas Eropa
dibantu secara material dengan terjemahan dan penyebaran teks-teks tersebut dan memulai
infrastruktur baru yang dibutuhkan untuk komunitas-komunitas ilmiah. Bahkan, universitas Eropa
menaruh banyak pekerjaan tentang dunia alam dan studi alam di pusat kurikulum mereka. Lihat
https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_sains, lihat juga Toby E. Huff, The Rise of Early Modern
Science: Islam, China, and the West review buku oleh Scott B. Noegel (Cambridge: Cambridge
University Press, 1993) hlm. 72-76
3
konflik tersebut diakibatkan oleh pertentangan Galileo, Copernicus dan ilmuwan lainnya
terhadap doktrin gereja mengenai geosentris dan heliosentris, lihat http://www.religioustolerance.org/
scirel_ov1.htm

2
Perkembangan sains dan teknologi bukan tanpa masalah. Banyak penelitian
yang mendalam mengenai dampak jangka panjang dari pesatnya perkembangan sains
tersebut. Matthew Orr memberikan sebuah ilustrasi dari penelitian mengenai
pengaruh aspek manusia dalam problem perubahan iklim dunia.4 Dari paparan
tersebut, muncul adanya ide untuk mensintesakan ajaran-ajaran dan etika yang ada
pada agama ke dalam aktifitas saintifik untuk mengendalikan perkembangan
teknologi tersebut. Para saintis dan agamawan di Amerika pernah mendiskusikan
perlunya integrasi sains dan agama. Penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang tidak dibatasi dengan moral dan etika, sudah terbukti banyak merugikan
kehidupan manusia. Manusia membutuhkan pedoman berupa nilai moral dalam
perkembangan teknologi tersebut.5

Lain halnya dengan pengalaman sains dan agama dalam dunia Islam. Agama
yang dibawa oleh Rasulullah SAW bahkan secara epistemology menekankan adanya
kewajiban untuk menuntut ilmu dalam rangka mengenali keberadaan Allah. Sejarah
telah mencatat tradisi keilmuan pada masa peradaban Islam sangatlah berkembang,
namun tidak lantas “menaikkan bendera revolusi” terhadap otoritas keagamaan yang
ada. Banyak juga para ahli sejarah sains Barat mengakui hal tersebut. Bahkan tradisi
keilmuan di Andalusia juga turut bersumbangsih dalam membawa Eropa kepada
Abad Pencerahan.6

Berdasarkan pengalaman hubungan agama Kristen dengan sains modern Barat


dalam kehidupannya, makalah ini berusaha untuk mengungkapkan hubungan sains
dengan agama Islam dalam konteks kajian mendalam terhadap epistemology, tren,
dan pemaknaan sains dalam Islam yang akan didahului dengan kajian mengenai
tradisi sains dan ilmu di Barat.

4
penelitian yang dilakukan oleh J. T. Houghton, ditulis dalam buku J. T. Houghton, Climate
Change 2001: The Scientific Basis: Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of
the Intergovernmental Panel on Climate Change (New York : Cambridge University Press, 2001) Ia
menyimpulkan dari hasil penelitian Houghten yang menyatakan bahwa perubahan iklim yang
problematik memiliki beberapa alasan : pertama, aktivitas individual dengan mobil atau pemanas
ruangan meningkatkan emisi karbon. Kedua, bahwa perubahan iklim merupakan problem global yang
membutuhkan penanganan yang kadang kontradiktif dengan “agenda” negara. Ketiga, sangat tidak
mungkin untuk mengungkap sejauh apa efek buruknya jika dilihat secara saintifik. lihat dalam
Matthew Orr, What is A Scientific Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of Science and
Religion?... p. 437-478 lihat juga J. T. Houghton, Climate Change 2001: The Scientific Basis:
Contribution of Working ... p. 77-79
5 disimpulkan dan dikutip dari aslinya “The Joint Appeal by Religion and Science for the

Environment, signed by over one number hundred scientist and theologians, states : “What good is all
the data in the world without a steadfast moral compass?.... Insofar as our [enviromental] peril arises
from a neglect of moral values... religion has an essential role to play”. This statement recognizes the
need for a more synthetic perspective in addressing environmental problems.” dalam D. Ackerman,
Declaration of the “Mission to Washington” : The Joint Appeal by Religion and Science for the
Environment, 1992 dikutip dari Matthew Orr, What is A Scientific Worldview, and How Does it Bear
on The Interplay of Science and Religion?... p. 440
6 Osman Bakar, “Agama dan Sains dalam Perspektif Islam”, dalam Tim Insist, Islamic

Science: Paradigma, Fakta, dan Agenda, (Insist: Jakarta, 2016) cet. 1, hlm. 16-17
3
Pembahasan

Tradisi Sains Modern di Barat

Sains memiliki tinjauan makna yang bersifat umum sekaligus khusus. Sains
dalam bahasa Indonesia dimaknai sebagai ilmu atau ilmu pengetahuan.7 Selain dari
itu, sains dapat bermakna khusus sebagai ilmu pengetahuan alam, yaitu pengetahuan
alam yang sistematik mengenai botani, zoologi, kimia, geologi, dan lainnya.8 Sains
sebenarnya berasal dari bahasa Inggris, yaitu science yang berarti pengetahuan
mengenai struktur dan tingkah laku dari alam dan dunia yang fisik, berdasarkan fakta
yang dapat dibuktikan seperti dengan percobaan.9 Makna science pada berbagai
kamus lebih banyak bersifat konseptual yang mengacu seperti hal di atas.

Namun ketika sains atau science diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, ia


bermakna ‘ilm atau ilmu yang disetarakan dengan knowledge.10 Sedangkan secara
konseptual, ilm dalam bahasa Arab berarti pengetahuan (idrak) mengenai sesuatu
sesuai dengan hakikatnya (kebenarannya) yang meyakinkan.11 Ilmu juga bermakna
pengetahuan terhadap sesuatu secara komprehensif dan sistematis, bukan hanya
pengetahuan yang parsial atau sebagian. 12

Terlihat dari perbedaan definisi secara linguistik di atas, bahwa pemaknaan


sains menurut Barat dan Islam memiliki konsepsi masing-masing. Jika dilacak lebih
jauh lagi, sains yang dimaknai sebagai science dalam tradisi keilmuan Barat tidaklah
sama dengan sains yang dimaknai sebagai ‘ilm yang ada dalam tradisi keilmuan
Islam. Untuk itulah, sebelum mengungkap hubungan antara sains dan Islam, haruslah
diperjelas terlebih dahulu macam-macam sains dari dua kutub yang mempergunakan
istilah tersebut yaitu Barat dan Islam.

7 Tim Redaksi Pusat Bahasa, Tesaurus Bahasa Indonesia, (Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional: Jakarta, 2008), hlm. 420
8 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Pusat Bahasa:

Jakarta, 2008), hlm. 1244


9
yaitu bermakna “knowledge about the structure and behaviour of the natural and physical
world, based on facts that you can prove, for example by experiments” dalam Albert Sidney Hornby,
Oxford advanced Learner’s Dictionary of Current English, (Oxford University Press: 2015) cet. 9,
hlm. 1384 demikian juga bermakna “(1) [uncountable] (knowledge from) the systematic study od the
structure and behavior of the physical world, especially by watching, measuring, and doing
experiments, and the development of the theories to describe the results of these activities; (2)
[countable] a particular subject that is studied using scientific methods; (3) the study of science, dalam
Cambridge Team, Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, (Cambridge: Cambridge University
Press, 2008) cet. 5, hlm. 1274
10
yaitu ‘ilm berarti science, knowledge, information, perception, dan cognition dalam Rohi
Baalbaki, al-Mawrid : A Modern Arabic-English Dictionary, (Daar-al-‘Ilm al-Malayin: Beirut, 1995)
seventh edition, hlm. 775
11 Louis Ma’luf, al-Munjid fi-al-Lughoh wa-al-A’lam, (Daar al-Masyriq: Beirut, 2002) cet.

39, hlm. 527


12 Al-Ghawiyyu Majdu al-Din Muhammad bin Ya’qub al-Fairuz Abadiy, al-Qamus al-

Muhith : tahqiq Maktabu Tahqiq al-Turats fi Muassasah ar-Risalah, (al-Muassasah ar-Risalah: Beirut,
2005) cet-8, hlm. 624
4
Secara karakteristik, umumnya sains memiliki aspek-aspek khusus: (1) fokus/
subjek permasalahan yang terdefinsi, (2) menggunakan metodologi tertentu, (3)
memiliki teori yang sudah terformulasi (4) akumulasi dari beberapa pengetahuan.
Sehingga ia dapat didefinisikan sebagai “sebuah ilmu pengetahuan terorganisir yang
muncul dari proses penelitian yang ketat terhadap suatu subjek materi yang telah
diuji dan diselidiki oleh seorang ilmuwan menggunakan metode yang menghasilkan
suatu teori.”13

Ungkapan “sains modern” selalu dipahami bahwa sains adalah dari Barat –
yang mana sains tersebut telah melakukan revolusi sejak zaman ia dikekang di bawah
kungkungan agama (Kristen). Sains Barat pun dengan karakternya juga memiliki
sebuah sejarah dan revolusi tersendiri. Sains yang pada saat ini sudah memiliki
worldview14 yang memiliki karakter penting : (1) studi kritis dan mendalam secara
alami terhadap suatu aktivitas ilmiah dan (2) memiliki metode penjelasan ilmiah
tertentu.15 Sains dalam sejarahnya mengalami revolusi pada abad ke 16 dan 17.
Paradigma sains barulah muncul dan memisahkan diri dari paradigma agama dan
mitologi. Revolusi tersebut dipengaruhi oleh kepercayaan filosofis dan religious, yang
mana agama pada saat itu selalu bertentangan dengan sains.16

Sejarah sains di Barat, dalam perkembangannya lebih didominasi di tangan


para matematikawan, fisikawan, dan ahli-ahli ilmu alam. Beberapa tokoh terkenal
dalam kebangkitan sains Barat seperti Copernicus (1473-1543), Kepler (1571-1630),
Galileo (1564-1642), hidup pada zaman kekuasaan Gereja di Eropa. Penerusnya
adalah Newton (1643-1727), Gilbert (1540-1603), Harvey (1578-1657), Robert Boyle

13 sebagaimana dikutip “A body of knowledge 9in sense of discipline), which arises as a


result of the process of determining a subject matter that is investigated by a scholarly developed
method yielding theories.” dari Alparslan Acikgenc, Islamic Science: Towards a Definition, (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1996), hlm. 35
14 kata worldview pertama kali digunakan oleh Immanuel Kant, disimpulkan dari pendapat

beberapa pakar seperti James H Olthuis, Immanuel Kant, Wilhelm Dilthey, Nietzsche, Ludwig
Wittgensteins, dan Michel Focaoult bahwa worldview berarti “pandangan hidup dan sistem keyakinan
manusia terhadap dunia, baik historis maupun futuristik dan terpengaruh dari aspek sosio-historis
yang mana berperan sebagai dasar dari perbuatan, perkataan dan pikiran manusia tersebut” dalam
James W. Sire, The Universe Next Door, (Downer Grove : InterVarsity Press Academic, 2009) dan
James W. Sire, Naming the Elephant : Worldview as a Concept, (Downer Grove : InterVarsity Press
Academic, 2009). Sedangkan dalam Islam, para ulama menggunakan terma lainnya seperti Sayyid
Quthb menggunakan istilah “Tashawwur Islamiy”, Syed Muhammad Naquib al-Attas menggunakan
istilah “Ru’yat al-Islam lil Wujud”, dari keduanya disimpulkan bahwa adanya “visi manusia yang
komprehensif dalam memandang hakikat sebenarnya dari suatu wujud (eksistensi fisik maupun
metafisik) di dunia.” pada tiap manusia, lihat Sayyid Quthb, Khashaish al-Tashawwur al-Islamiy wa
Muqawwimatuhu, (Beitur : Daar al-Masyriq, 1983) dan Syed Muhammad Naquib al-Attas,
Prolegomena to the Petaphysics of Islam : an Exposition of the Fundamental Elements of the
Worldview, (Kuala Lumpur : International of Islamic Thought and Civilization, 2001).
15 Ibid,... hlm. 91

16 Gurol Irzik and Robert Nola, Worldview and their relation to science, dalam Journal

Science & Education, volume 18, no. 6-7, Pringer Science + Bussiness Media B.V 2007, 729-745,
hlm. 96
5
(1627-1691), dan Leeuwenhoek (1623-1723).17 Barulah di zaman selanjutnya, estafet
tersebut diraih oleh ilmuwan matematika, fisika, dan ilmu alam yang juga berbicara
masalah filsafat seperti Descartes, Kant, dan Dilthey dan lainnya. 18 Dari pemikiran
mereka itulah pemikiran mengenai sains menjadi berkembang, bahkan muncul
anggapan bahwa “sains modern” adalah berasal dari Barat.

Implikasi bahwa Barat adalah kiblat sains modern menimbulkan beberapa hal
penting. Hal tersebut akan terlihat jelas jika ditinjau dari paradigma19 ilmu tersebut.
Salah satunya adanya anggapan yang selama ini beredar, bahwa sains adalah “value-
free” atau bebas nilai.20 Gauch, seorang ilmuan menyatakan bahwa sains adalah netral
karena didasari dengan metode ilmiah yang dikuatkan oleh pembuktian dengan
sebuah realitas. Gauch menganggap sains sebagai interogasi terhadap alam lantas
kemudian membuat kesimpulan darinya. Sains hanya terbatas pada hal yang tampak
dalam realitas fisik. 21 Berpedoman pada “tujuh karakter sains”-nya,22 Gauch
menyimpulkan bahwa sains merupakan hal yang netral.

Matthew Orr menyatakan bahwa agama dan sains menghasilkan disiplin ilmu
yang berbeda dan prosedur operasional yang berbeda. Sebagai contoh bahwa
keyakinan mendapat sedikit bagian dalam sains, sedangkan agama tidak hanya

17 Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman
Kuno hingga Sekarang terjemahan dari History of Western Philosophy and its Connection with
Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day, (Pustaka Pelajar:
Yogyakarta, 2007) cet. 3, hlm. 691-716
18
McMillan Reference, Encyclopedia of Philosophy, (Thomson Gale : Fermingston Hill,
2006) vol 7, hlm. 392
19 Paradigma merupakan seperangkat asumsi dasar dan orientasi-persepsi yang meuncul dari

sekelompok komunitas peneliti. Paradigma akan membatasi atau mengarahkan kelompok peneliti
tersebut dalam melakukan riset terhadap suatu fenomena serta metodologi yang digunakannya.”
disarikan dari “A paradigm is a set of assumptions and perceptual orientations shared by members of a
research community. Paradigms determine how members of research communities view both the
phenomena their particular community studies and the research methods that should be employed to
study those phenomena.” sebagaimana dikutip dari Thomas S. Kuhn dalam The Structure of Scientific
Revolutions, (The University of Chicago Press: Chicago, 1970) hlm. 42-44 lihat juga Lisa M. Given,
The Sage Encyclopedia of Qualitative Research Methods, (SAGE Publication: London, 2008), hlm.
892
20 McMillan Reference, … hlm. 392

21
dikutip dari Gausch “It may seem paradoxical or surprising that a worldview-independent
method could yield worldview distinctive conclusion. But of course, only a method that did not
presuppose or favor a particular outcome could yield a conclusion worthly of consideration. A
worldview-independent method applied to worldview-informative evidence can reach worldview-
distinctive conclusions. The action is in the evidence. The evidence reflects reality” dalam Gurol Irzik
and Robert Nola, Worldview and their relation to science, … hlm. 90
22 Gausch membuat daftar tujuh pilar mengenai karakteristik sains yaitu : (1) Nyata (2)

Berdasarkan Hipotesis (3) Terbukti Empiris (4) Logis (5) Memiliki penjelasan yang terbatas (6)
Universal, berlaku untuk semua golongan (7) membentuk worldview. dikutip dari tulisan Gurol Irzik
and Robert Nola, Worldview and their relation to science, hlm. 83 lihat juga Gaus HG, Science,
Worldview and Education (2007)
6
terbatas pada hal-hal yang dapat diobservasi secara empiris. 23 Emile Durkheim (1982)
menyatakan bahwa jika seorang peneliti ingin mencapai kebenaran dari sebuah
penelitian, ia harus mengobservasi hakekat realitas apa adanya untuk menjaga
objektivitas temuan. Karena itu, secara metodologis, seorang peneliti menggunakan
metodologi eksperimen-empirik untuk menjamin agar temuan yang diperoleh betul-
betul objektif dalam menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Mereka mencari
ketepatan yang tinggi, pengukuran yang akurat, dan juga menguji hipotesis dengan
jalan melakukan analisis terhadap bilangan-bilangan yang berasal dari pengukuran. 24

Kerlinger (1973) dari aliran positivisme menyatakan bahwa sains – ilmu


pengetahuan, objek sains, maupun pernyataan-pernyataan saintifik haruslah memiliki
syarat-syarat sebagai berikut: dapat di/ter amati (observable), dapat di/terulang
(repeatable), dapat di/terukur (measurable), dapat di/teruji (testable) dan dapat
di/terramalkan (predictable). Paradigma tersebut telah menjadi pegangan dalam
mengungkap kebenaran realitas, karena itulah paradigma sains tersebut bersifat
kuantitatif dan operasional.25

Namun aliran positivism bukanlah tanpa kelemahan. Kritik kepadanya justru


datang dari Barat itu sendiri, karena aliran positivisme hanya mengandalkan
pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Realitas dalam kenyataan
kadangkala sesuai dengan hukum alam, namun kadang realitas juga tidak selalu dapat
dilihat secara benar. Oleh karena itu, pendekatan eksperimental melalui observasi
tidaklah cukup tetapi harus menggunakan metode triangulation26 yaitu penggunaan
bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori dalam membuktikan
kebenaran penelitian tersebut.27

Tidak jauh dari itu, kedua aliran tersebut juga mendapat kritik dari
Konstruktivisme28 dan Critical Theory. 29 Hal ini muncul setelah sejumlah ilmuwan

23 Matthew Orr, What is A Scientific Worldview …, hlm. 437


24 Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka
Teori Ilmu Pengetahuan, (Belukar: Yogyakarta, 2007) cet. 7, hlm. 91
25 Ibid...., hlm. 92

26 sebagaimana dikutip dari Norman Kent Denzin yang mempopulerkan istilah tersebut

bahwa “triangulation as a combination of methods used to study the interrelated phenomena from
multiple and different angles or perspectives”. Pengertian teknisnya adalah : “Triangulation in
qualitative research has come to mean a multimethod approach to data collection and data analysis.
The basic idea underpinning the concept of triangulation is that the phenomena under study can be
understood best when approached with a variety or a combination of research methods. Triangulation
is most commonly used in data collection and analysis techniques, but it also applies to sources of
data. It can also be a rationale for multiple investigators in team research. Questions that commonly
arise in discussions of triangulation tend to address one of two concerns: the issues of using
triangulation as a test of validity of research findings and the practical difficulties of using more than
one method to study the same phenomenon.” dalam Lisa M. Given, The Sage Encyclopedia of
Qualitative Research Methods, (SAGE Publication: London, 2008), hlm. 892
27 Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu …, hlm. 92

28 sebagaimana dimengerti bahwa konstruktivisme adalah “involves both a semantic thesis

about moral sentences and a two-part metaphysical thesis about the existence and nature of moral
7
menolak tiga prinsip dasar positivisme: (1) ilmu merupakan upaya mengungkap
realitas; (2) hubungan antara subjek dan objek penelitian harus dapat dijelaskan; (3)
hasil temuan memungkinkan untuk digunakan proses generalisasi pada waktu dan
tempat yang berbeda. Dalam hal ini, konstruktivisme secara ontologis menyatakan
bahwa realitas bersifat sosial dan karena itu akan menumbuhkan bangunan teori atas
realitas majemuk dari masyarakatnya, dengan demikian, tidak ada suatu realitas yang
dapat dijelaskan secara tuntas oleh suatu ilmu pengetahuan karena ia bersifat
konfliktual dan dialektis.30 Implikasi dari hal tersebut, bahwa menurut
konstruksivisme baik sains maupun ilmu pengetahuan merupakan suatu konstruksi
yang terbatasi: oleh rasionalitas, hakikat manusia, atau ilmu itu sendiri, sehingga
kebenarannya merupakan hal yang relatif atau plural. 31

Sedangkan critical theory, meski bukan sebuah ideologi, ia merupakan aliran


pengembangan keilmuan yang didasarkan pada suatu konsepsi kritis terhadap
berbagai pemikiran dan pandangan yang sebelumnya ditemukan sebagai paham
keilmuan lainnya. Aplikasi dari teori ini pada pendekatan filosofis madzhab Frankfrut.
Latar belakangnya adalah filsafat Hegel dan Marx yang melihat ketidaksempurnaan
budaya sebagai cacat rasionalitas, lantas kemudian mengembangkan rasio baru dan
penataan sosial yang musrni. Teori kritis bekerja secara dialektis, yaitu menelusuri
kontradiksi dalam tata sosial yang ada.32 Critical theory juga mengkritisi bahwa
paradigma Barat mengandung beberapa problem yang butuh dikaji: (1) problem
prosedur; (2) perumusan kembali standar dan aturan keilmuan sebagai logika dalam
konteks historis; (3) dikotomi objek dan subjek; (4) keberpihakan ilmu dalam
interaksi sosial. Sehingga, baik itu sains, maupun ilmu pengetahuan apapun
merupakan hasil dari pemikiran manusia yang tidak bisa bebas dari nilai atau value-
free.33

facts and properties. According to the semantic thesis, ordinary moral sentences purport to be fact-
stating sentences and thus purport to be genuinely true or false. And, according to the metaphysical
thesis, there are moral facts whose existence and nature are in some sense dependent upon human
attitudes, agreements, conventions, and the like.” dalam McMillan Reference, Encyclopedia …, hlm.
471
29 sebagaimana dimengerti bahwa critical theory adalah “the diverse body of work produced

by members and associates of the Frankfurt Institute for Social Research after Max Horkheimer
became its director in 1930. The first generation of what came to be called the Frankfurt school
included, in addition to Horkheimer, such prominent figures as Theodor Adorno, Herbert Marcuse,
Walter Benjamin, Erich Fromm, Leo Löwenthal, Franz Neumann, Otto Kirchheimer, and Frederick
Pollock. The most influential members of the second generation are Jürgen Habermas, Karl-Otto Apel,
and Albrecht Wellmer. As the variety of backgrounds and interests might suggest, critical social theory
was conceived as a multidisciplinary program linking philosophy to history and the human sciences in
a kind of “philosophically oriented social inquiry,” as Horkheimer put it.” dalam McMillan
Reference, Encyclopedia …, hlm. 598
30 Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu …, hlm. 95

31 Simon Blackburn, Kamus Filsafat: diterjemahkan dari The Oxford Dictionary of

Philosophy, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2013) cet. 1, hlm. 184


32 Ibid, hlm. 205-206

33
Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu …, hlm. 96
8
Berdasarkan di atas, kita dapat mengambil kesimpulan mengenai makna dan
paradigma sains dalam tradisi keilmuan Barat. Banyak terlihat diskursus antara para
ilmuwan itu sendiri, dan memang inilah semangat keilmuan Barat yang selalu
berubah. Hal ini jika ditelusuri lebih lanjut, ternyata merupakan implikasi dari
keunikan epistemologi Barat itu sendiri. Secara fundamental, pemikiran sains Barat
modern bersifat realisme dan rasionalisme. Karena itulah, sains merupakan produk
dari pikiran manusia, yang mana strukturnya adalah hukum berfikir dan hukum yang
ada di dunia luar pikiran tersebut. Aspeknya adalah subjektif dan objektif, keduanya
sama dalam kedudukannya dan tidaklah mungkin bahwa hukum alam ini akan
berubah.34

Karena sains merupakan Barat yang rasionalis empiris sudah tentu dalam
epistemologinya tidak menerima otoritas (wahyu) dan intuisi, namun hanya
mereduksi otoritas dan intuisi kepada nalar dan pengalaman indrawi selanjutnya alam
ini tereduksi hanya sebagai realitas dari kekuatan alamiah saja.35 Hal tersebut juga
berimplikasi pada konsep sains dan ilmu pengetahuan dalam pemikiran Barat. Bahwa
sains modern merupakan satu-satunya ilmu yang otentik karena langsung bersangkut
paut dengan fenomena, yang mana fenomena akan selalu berubah sepanjang zaman
disertai juga dengan nilai kebenaran dari realitasnya. 36 Sehingga alam dalam
perspektif ini merupakan sistem yang berdiri sendiri dan kekal (tidak diciptakan) serta
berkembang menurut hukumnya sendiri. Pandangan filosofis ini tentunya menolak
peran Tuhan dan keberadaanNya. 37

Tradisi Sains dalam Islam

Untuk memperjelas hubungan antara Sains dan Islam diperlukan kajian


mendalam mengenai makna Islam itu sendiri. Islam adalah sebuah nama agama yang
jika ditelusuri makna ontologinya dalam bahasa Arab berarti keselamatan atau
ketaatan kepada perintah tanpa menolaknya. 38 Islam dari kata aslama berarti masuk
kepada Islam, yakni mengikhlaskan din kepada Allah39 atau juga berserah diri kepada
Allah.40 Berakar dari kata salima-yaslamu yang berarti selamat, berserah diri dan rela

34 sebagaimana dikutip dari Edmond Bouty yaitu “Science is a product of the human mind, a
product that conforms to both the law of thought and the outside world. Hence it has two aspects, one
subjective, the other subjective; and both are equally necessary, for it is impossible to alter the laws of
the mind as it is to change the laws of universe.” dalam Gaston Bachelard, The New Scientific Spirit,
(Beacon Press: Boston, 1985) hlm. 2
35 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, (Penerbit Mizan: Bandung,

1995) cet. 1, hlm. 26 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Petaphysics of Islam : an
Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview, (Kuala Lumpur : International of Islamic
Thought and Civilization, 2001), hlm. 15-16
36 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan…, hlm. 26

37 Ibid …, hlm. 27

38 Louis Ma’luf, al-Munjid …, hlm. 347

39 Jumhûriyyah Al-‘Arobiyyah Misra, al-Mu’jam al-Wasith…, hlm. 446

40 Al-Ghawiyyu Majdu al-Din Muhammad bin Ya’qub al-Fairuz Abadiy, al-Qamus al-…,

hlm. 1122
9
kepada suatu hukum 41 dan aslama-yuslimu yaitu menampakkan ketaatan dan
mengikuti syariat yang dibawa oleh Rasulullah SAW, taat kepada perintah Allah dan
mengikhlaskan diri untuk beribadah kepada Allah.42 Sedangkan muslim adalah orang
yang beragama Islam dan berserah diri 43 dan menerima ajaran Rasulullah SAW. 44

Umumnya, Islam dianggap sebagai agama yang kadangkala diterjemahkan


menjadi religion atau dalam bahasa Arab berarti din. Penerjemahan dan pemaknaan
ini sebenarnya perlu dikaji lebih mendalam. Perbedaan kata dan bahasa akan sangat
mempengaruhi keyakinan dan worldview manusia dalam memahami konsepsi segala
sesuatu.45 Jika Islam dianggap sebagai agama, dalam bahasa Indonesia, ia berarti
sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) kepada Tuhan yang Maha Kuasa,
tata peribadatan, dan tata kaidah yang bertalian dengan pergaulan manusia dan
manusia serta lingkungannya dengan kepercayaan itu.46 Sedangkan religion berarti
kepercayaan terhadap keberadaan Tuhan yang berimplikasi pada menjalankan ritual
untuk menyembahnya dan adanya berbagai ajaran yang berdimensi spiritual. 47

Jika Islam dianggap sebagai din, maka maknanya juga akan lain. Kata din
merupakan kata bahasa Arab daana-yadiinu yaitu pemberian untuk jangka waktu
tertentu,48 memberikan harta untuk tempo tertentu atau memberikan hutang,

41 Jumhûriyyah Al-‘Arobiyyah Misra, al-Mu’jam al-Wasith, …, hlm. 446 lihat juga Louis
Ma’luf, al-Munjid …, hlm. 347
42
Abu al-Fadhl Jamalu ad-Din Muhammad bin Mukrim Ibnu Mandzur al-Afriqiy, Lisanu al-
Arab, (Daar Shadr: Beirut, 1956) jilid-12, hlm. 293
43 Louis Ma’luf, al-Munjid …, hlm. 347

44
Abu al-Fadhl Jamalu ad-Din Muhammad bin Mukrim Ibnu Mandzur al-Afriqiy, Lisanu…,
hlm. 294
45 sebagaimana dikutip dari Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi bahwa “Struktur berfikir sangat

berperan dalam proses dan mekanisme mengetahui yaitu menerima dan menolak pengetahuan yang
diperolehnya secara elektif. Artinya, ketika akal seseorang menerima pengetahuan, terjadi proses
seleksi yang alami, di mana pengetahuan tertentu diterima dan pengetahuan yang lain ditolak.
Pengetahuan diterima berdasarkan metaphysical belief yang telah ada dan memperkaya struktur
worldview yang dimilikinya dan jika akal tidak menerimanya ia tidak menjadi bagian dari pandangan
hidup. Selain itu, ia akan menjadi konsep yang terstruktur dalam fikiran dan mempengaruhi proses
berfikir seseorang, dimana yang satu dapat mempengaruhi yang lain. Jadi, secara konseptual
hubungan worldview dengan epistemologi melibatkan penjelasan tentang prinsip-prinsip ontologi,
kosmologi, dan aksiologi.” dari Hamid Fahmy Zarkasyi, “Islamic Worldview sebagai Paradigma Sains
Islam”, dalam Tim Insist, Islamic Science: Paradigma, Fakta, dan Agenda, (Insist: Jakarta, 2016) cet.
1, hlm. 16-17
46 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar …, hlm. 18

47 sebagaimana dikutip bahwa religion memiliki tiga makna: “(1) [ uncountable ] the belief

in the existence of a god or gods, and the activities that are connected with the worship of them; (2) [
countable ] one of the systems of faith that are based on the belief in the existence of a particular god
or gods (3) [ singular ] a particular interest or influence that is very important in your life.” dalam
Albert Sidney Hornby, Oxford…, hlm. 1304, selain itu dimaknai juga sebagai “an activity which
someone is extremely enthusiasthic about and does regularly” dalam Cambridge Team, Cambridge
Advanced Learner’s Dictionary, (Cambridge: Cambridge University Press, 2008) cet. 5, hlm. 1202
48 Al-Ghawiyyu Majdu al-Din Muhammad bin Ya’qub al-Fairuz Abadiy, al-Qamus al-

Muhith …, hlm. 1198


10
sedangkan dayn adalah hutang. Dayn dalam makna din juga dimaknai sebagai
keberhutangan kepada dayyan yaitu Allah. 49 Kata tersebut juga mengacu pada istilah
din berarti ketaatan, berpegang teguh,50 dan keterikatan untuk menjadi hamba.51 Atau
juga diyanah dalam Islam berarti keyakinan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan,
dan mengerjakan rukunnya secara jasmani.52

Dalam berbagai tafsir ayat al-Qur’an, din yang terlengkap, terbaik, dan
diridhoi adalah ber-Islam kepada Allah. 53 Sedangkan makna utama din secara
filosofis disimpulkan oleh al-Attas menjadi empat unsur, yaitu keberhutangan
manusia secara eksistensial kepada Allah, penyerahan diri manusia kepada Allah,
pelaksanaan kekuasaan pengadilan, dan suatu cerminan dari kecenderungan alami
manusia atau fitrah yang kembali pada Hari Perjanjian pertama.54

Menurut Jujun S. Suriasumantri, penerjemahan kata sciene menjadi ilmu atau


ilmu pengetahuan memiliki masalah yang pokok. Selanjutnya, ia mengusulkan kata
padaan untuk ilmu adalah knowledge, sedangkan science adalah ilmu pengetahuan. 55
Demikian pula, Syed Naquib al-Attas juga memberikan catatan khusus mengenai
penyebutan sains sebagai ilmu tersebut dikarenakan ilmu merupakan istilah dari
bahasa Arab yaitu ‘ilm. Sedangkan makna ‘ilm dalam bahasa Arab mencakup
ma’rifah (ilmu pengenalan) dan ilmu pengetahuan (sains). Karena keduanya memiliki
implikasi masing-masing. 56

49 Jumhûriyyah Al-‘Arobiyyah Misra, al-Mu’jam al-Wasith, …, hlm. 307


50 Louis Ma’luf, al-Munjid …, hlm. 231
51
Al-Ghawiyyu Majdu al-Din Muhammad bin Ya’qub al-Fairuz Abadiy, al-Qamus al-
Muhith …, hlm. 1198
52 Jumhûriyyah Al-‘Arobiyyah Misra, al-Mu’jam al-Wasith…, hlm. 307

53
lihat al-Qur’an surat Ali ‘Imran (3) ayat 83 dan 85, an-Nisa (4) ayat 125, al-An’am (6)
ayat 161, at-Taubah (9) ayat 29, an-Nur (24) ayat 2, al-Bayyinah (98) ayat 5, dan an-Nashr (110) ayat
2.
54 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad

Naquib al-Attas diterjemahkan dari The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad
Naquib al-Attas, (Mizan Media Utama: Bandung, 2003) cet. 1, hlm. 191-192
55 pengadaan alternatif ini dilihat dari makna ilmu sebagai serapan dari ‘ilm dalam bahasa

Arab. Makna semantic knowledge memang lebih tepat diterjemahkan sebagai ilmu, dan sains
merupakan semacam spesies dari ilmu, yaitu ilmu pengetahuan yang berdasar pada penginderaan objek
sains tersebut. ‘Ilm memiliki dimensi lahiriyah yaitu “tahu” dan dimensi bathiniyah yaitu “kenal”,
sedangkan “kenal” berdimensi lebih intens daripada “tahu”. Dikutip dari Jujun S. Suriasumantri,
Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984) hlm. 291-299
56 menurut Syed Naquib al-Attas, ada dua hal yang menjadi implikasi pernyataan ini.

Pertama, ini menunjukkan klam di atas bahwa sains, karena berurusan dengan objek-objek yang dapat
diketahui, yaitu diamati dengan indera, termasuk dalam ilmu pengetahuan, dengan demikian, ada dua
pilihan penerjemahan kata science: “sains” yang diadaptasi dari bahasa Inggris, atau “ilmu
pengetahuan”. Sebagaimana penggunaan “ilmu pengenalan” sebagai terjemah dari “ma’rifah”. Kedua,
menggunakan kata “ilmu” untuk menyebut sains yang hanya berkaitan dengan objek-objek inderawi
adalah penyempitan makna ilmu yang sebenarnya; karena dengan ini objek-objek yang tak bisa
diketahui, namun bisa dikenal, seperti Tuhan, akan dikeluarkan dari wilayah ilmu. Implikasi lebih
jauhnya, sebagaimana tersirat dalam penggunaan kata “ilmiah” (scientific) adalah segala pernyataan
11
Sains Islam secara khusus dapat didefinisikan sebagai aktifitas saintifik atau
ilmiah yang memiliki dasar atau berpedoman pada Islamic worldview (yaitu
penggunaan konsep “natural” secara Islamiy) dan merupakan pengejawentahan secara
langsung dari skema konseptual saintifik yang Islamiy. 57 Tentunya dalam pencapaian
kegiatan saintifik/ ilmiah ini, Islam juga menekankan adanya sumber-sumber dan
metode ilmu tersebut. Islam memandang sains yang bersifat fisik tidak hanya pada
tataran lahiriyah saja, namun juga adanya tujuan, kebenaran, dan pengakuan wahyu
sebagai satu-satunya suber ilmu tentang realitas dan kebenaran yang terkait dengan
makhluk dan khaliknya.58 Artinya, dalam melakukan kegiatan saintifik, para ilmuwan
muslim yang berpedoman al-Qur’an dan Hadits akan dapat melahirkan produk sains
yang membawa maslahat bagi kehidupan manusia, baik jangka panjang maupun
jangka pendek.

Sains menurut Islam secara pokok merupakan sebuah jenis ta’wil atau
interpretasi alegoris dari benda-benda empiris yang menyusun dunia alam. Sains
semacam itu harus mendasarkan dirinya secara tetap pada tafsir atau interpretasi dari
penampakan atau makna yang jelas dari benda-benda dalam alam. Penampakan dan
makna mereka yang jelas berurusan dengan tempat mereka di dalam sistem hubungan
dan tempat mereka menjadi nampak pada pemahaman kita ketika batas kebenaran
dari arti mereka dikenali. Saat ini, filsafat modern telah menjadi penafsir sains, dan
mengorganisir hasil sains alam dan sosial ke dalam sebuah pandangan dunia.
Interpretasi itu pada gilirannya menentukan arah yang diambil sains dalam studi alam.
Adalah interpretasi tentang pernyataan ini dan kesimpulan umum sains dan arah sains
sepanjang garis yang ditawarkan oleh interpretasi yang harus diletakkan pada evaluasi
kritis.59

Dalam Islam, sains sangat terikat dengan ilmu pengatahuan dan iman. Karena
sifat dari kandungan proposisionalnya sama dengan sifat dari prinsip pertama logika

yang tidak “ilmiah” atau tidak bersumber dari “ilmu” (dalam hal ini “sains” menurut Barat), dianggap
lebih rendah derajatnya. Pada gilirannya ini berarti segala ilmu yang, sebagai contoh, bersumber dari
agama, mengenai masalah-masalah moral, yang tidak bisa “dibuktikan” menjadi tidak cukup bernilai.
Penyempitan makna ini, secara sadar atau tidak merupakan proses sekularisasi, yaitu penghapusan
makna ruhaniah dari segala sesuatu yang sesungguhnya dimulai dari bahasa. Dikutip dari Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, (Penerbit Mizan: Bandung, 1995) cet. 1, hlm.
23
57
terjemahan bebas dari “Islamic science is that scientific activity which takes place
ultimately within the Islamic worldview (which can now be identified also as Islamic conceptual
environment); but as an extension of it directly within the Islamic scientific conceptual scheme (which
can be identified also as the Islamic context of sciences). Keterangannya, bahwa konsep sains yang
Islamiy tentunya sangat terkait dengan worldview atau cara pandang Islam itu sendiri terhadap realitas
dan kebenaran. Dalam hal ini, pembentuk worldview Islam adalah elemen yang terkait dengan din,
adab, ilm, haqiqah, ‘adalah, sa’adah, dan konsep lainnya sebagai tujuan akhir dari kehidupan manusia
di dunia. Dikutip dari Alparslan Acikgenc, Islamic Science: Towards a Definition, (Kuala Lumpur:
ISTAC, 1996), hlm. 38-40
58 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan …, hlm. 33

59
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the …, hlm. 15-16
12
dan pengetahuan metafisika, etika, dan estetika; maka dengan sendirinya dalam diri
subjek ia bertindak sebagai cahaya yang menerangi segala sesuatu. Bahwa iman
adalah suatu visi yang menempatkan semua data dan fakta dalam perspektif yang
sesuai dengan, dan perlu bagi, pemahaman yang benar atas mereka. Ia adalah dasar
bagi penafsiran yang rasional atas alam semesta sebagaimana ia merupakan prinsip
utama dari akal, tidak mungkin bersifat non-rasional dan bertentangan dengan diri
sendiri. 60 Alam semesta yang menjadi sumber realitas penalaran sains merupakan
gambaran yang tak terpisahkan dari wujud Allah. Karena di balik wujud dan realitas
alam semesta ini terdapat dimensi metafisik dan tujuan dari penciptaannya. Sains
dalam Islam ditujukan untuk melakukan pembuktian terhadap isyarat-isyarat untuk
pencarian ilmu sebagaimana tertera dalam al-Qur’an.61

Kesimpulan dan Penutup

Untuk melihat hubungan antara Islam dan sains perlu dilakukan klarifikasi
yang mendalam. Saat ini, banyak orang yang salah faham dalam memandang Islam –
yang sebagaimana difahami oleh orang selain Muslim – bahwa Islam hanya sekedar
agama yang sepadan dengan agama Kristen, Hindu, Buddha, dan bahkan juga
kepercayaan animism-dinamisme lainnya. Tentu hal ini dilihat – khususnya oleh
orang Barat – sebagai bangsa yang saat ini berkembang dalam hal sains dan teknologi,
sebagai sejarah mereka pada zaman di mana mereka dikuasai oleh Gereja (Dark Age).
Dengan asumsi mereka bahwa agama sangat bertentangan dengan sains dan
teknologi.

Sains dan agama di Barat memiliki hubungan yang kontradiktif sebagaimana


telah ada dalam paparan di atas. Sedangkan tradisi keilmuan di Barat selalu
mengalami diskurus yang berkutat pada realisme empiris dan rasionalis, bahkan
berujung hingga penafian intuisi serta keberadaan wahyu Ilahi dari Allah. Dengan
demikian, sains dan agama di Barat akhirnya tidak mengandung hubungan sama
sekali. Hal ini berbeda secara diametral dengan tradisi keilmuan yang ada dalam
Islam. Meskipun Islam menerima rasio, akal, dan realitas alam semesta sebagai suatu

60 Ismail Raji al-Faruqi, al-Tauhid: Its Implications for Thought and Life (Kuala Lumpur:
Percetakan Zafar Sdn BHd, 1992) hlm. 42 lihat juga Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalal
(Damaskus: University Press, 1956) hlm. 62-63 ia menyatakan bahwa “iman tidak menyangkal,
menentang atau melawan kesaksian akal, tetapi justru menguatkannya. “Aku mencari obat bagi
keraguanku, tetapi itu mustahil tanpa adanya bukti rasional. Akan tetapi, tidak akan ada bukti yang
kuat kecuali jika didasarkan pada ilmu-ilmu primer (metafisika). Dan karena dasar dari ilmu-ilmu ini
tidak kuat, kesimpulan-kesimpulannya dan segala sesuatu yang dibangun di atasnya juga tidak kuat.
Tetapi kemudian – dengan iman – semua dasar-dasar rasional (dari sains dan metafisika) menjadi
kuat, secara sahih dan dapat diterima secara rasional, didukung sepenuhnya oleh dasar-dasar mereka
dalam pengetahuan.”
61 Osman Bakar, The History and Philosophy of Islamic Science, (Brooklands Avenue:

Islamic Texts Society, 1999) hlm. 64

13
hal yang empiris dan faktual, namun lebih jauh lagi Islam mengakui adanya dimensi
metafisik berupa nilai kebenaran, adab, dan iman yang terkandung dalam realitas
tersebut. Tentunya kesemuanya bersumber dari pengakuan kepada wahyu Allah
sebagai otoritas dan sumber kebenaran yang mutlak.

Namun tentunya pengetahuan mengenai Islam dalam tataran yang mendalam


tersebut masih perlu banyak disebarkan untuk diketahui orang. Karena saat ini,
realitas dan fakta menunjukkan bahwa kondisi umat Islam sangatlah tidak beruntung
karena tertinggal dalam segi ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi yang berakar dari
turunnya perkembangan tradisi keilmuan pada orang muslim itu sendiri. Hal tersebut
berimplikasi pada masuknya worldview dan pandangan hidup Barat dalam
kesehariannya.

Jika seseorang, bahkan juga seorang muslim melihat sains dan agama dengan
worldview Barat, maka antara sains dan Islam (sebagai agama) tidak ada
hubungannya. Sebagaimana sains merupakan hal yang ilmiah dan materialistis
sedangkan agama adalah urusan pribadi (private). Seorang saintis, bahkan saintis
muslim namun memiliki framework berfikir sekuler, tentu juga akan berfikir bahwa
hubungan sains dan Islam adalah negatif, bahkan sains Islam akan dianggap omong
kosong karena pendapatnya bahwa ilmu dan sains adalah netral. Hal tersebut juga
akan terjadi pada sarjana muslim yang tidak mempelajari Islam secara mendalam dan
filosofis, sehingga ia menganggap Islam hanya sekedar ritual keagamaan tanpa
memiliki dimensi yang lebih luas.

Yang seharusnya terjadi, bahwa antara sains dan Islam memiliki hubungan
yang sangat erat, karena sains Islam adalah lahir dari worldview dan pandangan hidup
Islam yang terderivasi dari al-Qur’an dan Hadits sebagai otoritas kebenaran. Dan kita
tidak boleh memaknai sains dan agama sebagaimana yang ada dalam tradisi Barat,
atau bahkan melihatnya dengan framework berfikir Barat. Karena jika demikian, kita
akan ikut berkesimpulan bahwa dalam sains dan agama tidak ada hubungan apapun.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Daftar Pustaka

Al-Qur’an al-Karim

Acikgenc, Alparslan, Islamic Science: Towards a Definition, (Kuala Lumpur: ISTAC,


1996)

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam dan Filsafat Sains, (Penerbit Mizan:
Bandung, 1995)

14
_____________________________, Prolegomena to the Petaphysics of Islam : an
Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview, (Kuala Lumpur :
International of Islamic Thought and Civilization, 2001)

Al-Fairuz Abadiy, Al-Ghawiyyu Majdu al-Din Muhammad bin Ya’qub, al-Qamus al-
Muhith : tahqiq Maktabu Tahqiq al-Turats fi Muassasah ar-Risalah, (al-
Muassasah ar-Risalah: Beirut, 2005)

Al-Faruqi, Ismail Raji al-Tauhid: Its Implications for Thought and Life (Kuala
Lumpur: Percetakan Zafar Sdn BHd, 1992)

Baalbaki, Rohi, al-Mawrid : A Modern Arabic-English Dictionary, (Daar-al-‘Ilm al-


Malayin: Beirut, 1995)

Bachelard, Gaston, The New Scientific Spirit, (Beacon Press: Boston, 1985)

Bakar, Osman, “Agama dan Sains dalam Perspektif Islam”, dalam Tim Insist, Islamic
Science: Paradigma, Fakta, dan Agenda, (Insist: Jakarta, 2016)

____________, The History and Philosophy of Islamic Science, (Brooklands Avenue:


Islamic Texts Society, 1999)

Blackburn, Simon, Kamus Filsafat: diterjemahkan dari The Oxford Dictionary of


Philosophy, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2013)

Cambridge Team, Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, (Cambridge:


Cambridge University Press, 2008)

Given, Lisa M, The Sage Encyclopedia of Qualitative Research Methods, (SAGE


Publication: London, 2008)
Heilbron, J.L, The Oxford Companion to the History of Modern Science, (New York:
Oxford University Press, 2003)

Houghton, J. T, Climate Change 2001: The Scientific Basis: Contribution of Working


Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on
Climate Change (New York : Cambridge University Press, 2001)

Huff, Toby E, The Rise of Early Modern Science: Islam, China, and the West review
buku oleh Scott B. Noegel (Cambridge: Cambridge University Press, 1993)

Irzik, Gurol and Robert Nola, Worldview and their relation to science, dalam Journal
Science & Education, volume 18, no. 6-7, Pringer Science + Bussiness
Media B.V 2007

Ibnu Mandzur al-Afriqiy, Abu al-Fadhl Jamalu ad-Din Muhammad bin Mukrim,
Lisanu al-Arab, (Daar Shadr: Beirut, 1956)

15
Jumhûriyyah Al-‘Arobiyyah Misra, al-Mu’jam al-Wasith, (Maktabah as-Syurûq ad-
Dauliyyah: Mesir, 1425 H 2004 M)

Kuhn, Thomas S, dalam The Structure of Scientific Revolutions, (The University of


Chicago Press: Chicago, 1970)

Ma’luf, Louis, al-Munjid fi-al-Lughoh wa-al-A’lam, (Daar al-Masyriq: Beirut, 2002)

McMillan Reference, Encyclopedia of Philosophy, (Thomson Gale : Fermingston


Hill, 2006)

Muslih, Mohammad, Filsafat Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Belukar: Yogyakarta, 2007)

Orr, Matthew, What is A Scientific Worldview, and How Does it Bear on The
Interplay of Science and Religion? dalam Zygon: Journal of Religion and
Science, Vol. 41, No. 2, Joint Publication Board of Zygon, Chicago, 2006

Quthb, Sayyid, Khashaish al-Tashawwur al-Islamiy wa Muqawwimatuhu, (Beitur :


Daar al-Masyriq, 1983)

Russel, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik


Zaman Kuno hingga Sekarang terjemahan dari History of Western
Philosophy and its Connection with Political and Social Circumstances from
the Earliest Times to the Present Day, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2007)

Sidney Hornby, Albert, Oxford advanced Learner’s Dictionary of Current English,


(Oxford University Press: 1995)

Sire, James W, Naming the Elephant : Worldview as a Concept, (Downer Grove :


InterVarsity Press Academic, 2009)

____________ , The Universe Next Door, (Downer Grove : InterVarsity Press


Academic, 2009)

Suriasumantri, Jujun S, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Sinar Harapan,


1984)

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Pusat Bahasa:
Jakarta, 2008)

Tim Redaksi Pusat Bahasa, Tesaurus Bahasa Indonesia, (Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional: Jakarta, 2008)

Wan Daud, Wan Mohd Nor, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad
Naquib al-Attas diterjemahkan dari The Educational Philosophy and

16
Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, (Mizan Media Utama:
Bandung, 2003)

Zarkasyi, Hamid Fahmy, “Islamic Worldview sebagai Paradigma Sains Islam”, dalam
Tim Insist, Islamic Science: Paradigma, Fakta, dan Agenda, (Insist: Jakarta,
2016)

17

View publication stats


ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM
(Perspektif Filosofis-Historis)

Mohammad Kosim

Abstrak : Ilmu pengetahuan dalam Islam memiliki karakteristik


khas yang berbeda secara fundamental dengan ilmu-ilmu yang
dikembangkan di Barat, baik landasan, sumber, sarana, dan
metodologinya. Dalam Islam, ilmu pengetahuan memiliki
landasan yang kokoh melalui al-Qur’ān dan Sunnah; bersumber
dari alam fisik dan alam metafisik; diperoleh melalui indra, akal,
dan hati/intuitif. Cakupan ilmunya sangat luas, tidak hanya
menyangkut persoalan-persoalan duniawi, namun juga terkait
dengan permasalahan ukhrāwi.

Kata kunci: epistemologi, teosentris, antroposentis, islamisasi


sains, peradaban islam, peradaban barat.

Pendahuluan
Di antara problema besar yang dihadapi umat Islam di era modern
adalah redupnya etos keilmuan di kalangan umat Islam dan munculnya
dunia Barat sebagai penguasa ilmu pengetahuan dan teknologi.
Problema pertama, rendahnya etos keilmuan, menjadikan umat Islam
“terisolir” dari dunia keilmuan global. Kondisi ini sangat ironis karena
di era klasik, selama kurang lebih enam abad, umat Islam berada pada
garda depan dan menjadi kiblat dunia dalam pengembangan ilmu.
Sementara itu, problema kedua, munculnya dunia Barat sebagai
penguasa ilmu pengetahuan dan teknologi, membawa persoalan serius
karena pengembangan ilmu dan teknologi di Barat bercorak sekuler
sehingga memunculkan ekses negatif seperti; sekularisme,
materialisme, hedonisme, individualisme, konsumerisme, rusaknya
tatanan keluarga, pergaulan bebas, dan penyalahgunaan obat terlarang.
Memperhatikan dua fenomina di atas, maka sudah selayaknya umat
Islam berupaya menata diri untuk menghidupkan kembali etos
keilmuan sebagaimana pernah dialami di era klasik dengan harapan
Mohammad Kosim

mampu menyaingi dominasi Barat dalam pengembangan ilmu


pengetahuan dan teknologi. Tulisan berikut – dengan segala
keterbatasannya – berusaha menjelaskan epistemologis ilmu agama
Islam, pasang surut perkembangan ilmu agama Islam dalam lintasan
sejarah, dan gagasan pengembangan ilmu agama Islam.

Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Islam


Landasan Ilmu Pengetahuan
Kata ilmu berasal dari bahasa Arab ‘ilm (‘alima-ya’lamu-‘ilm),
yang berarti pengetahuan (al-ma’rifah),1 kemudian berkembang
menjadi pengetahuan tentang hakikat sesuatu yang dipahami secara
mendalam. 2 Dari asal kata ‘ilm ini selanjutnya di-Indonesia-kan
menjadi ‘ilmu’ atau ‘ilmu pengetahuan.’ Dalam perspektif Islam, ilmu
merupakan pengetahuan mendalam hasil usaha yang sungguh-sungguh
(ijtihād) dari para ilmuwan muslim (‘ulamā’/mujtahīd) atas persoalan-
persoalan duniawī dan ukhrāwī dengan bersumber kepada wahyu
Allah. 3
Al-Qur’ān dan al-Hadīts merupakan wahyu Allah yang berfungsi
sebagai petunjuk (hudan) bagi umat manusia, termasuk dalam hal ini
adalah petunjuk tentang ilmu dan aktivitas ilmiah. Al-Qur’ān
memberikan perhatian yang sangat istimewa terhadap aktivitas ilmiah.
Terbukti, ayat yang pertama kali turun berbunyi ; “Bacalah, dengan
[menyebut] nama Tuhanmu yang telah menciptakan”.4 Membaca,
dalam artinya yang luas, merupakan aktivitas utama dalam kegiatan
ilmiah. Di samping itu, kata ilmu yang telah menjadi bahasa Indonesia
bukan sekedar berasal dari bahasa Arab, tetapi juga tercantum dalam
al-Qur’ān. Kata ilmu disebut sebanyak 105 kali dalam al-Qur’ān.
Sedangkan kata jadiannya disebut sebanyak 744 kali. Kata jadian yang
dimaksud adalah; ‘alima (35 kali), ya’lamu (215 kali), i’lām (31 kali),
yu’lamu (1 kali), ‘alīm (18 kali), ma’lūm (13 kali), ‘ālamīn (73 kali),
1
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta:
Unit Pengadaan Buku-Buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren al-Munawwir,
1984), hlm.1037.
2
Al-Munjid fī al-Lūghah wa al-A’lām (Beirut : Dār al-Masyriq, 1986), hlm. 527.
3
A.Qadri Azizy, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman, (Jakarta: Direktorat Perguruan
Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI, 2003), hlm. 13.
4
Al-Qur’ān surat al-‘Alaq : 96 : 1.

122 Tadrîs. Volume 3. Nomor 2. 2008


Ilmu Pengetahuan dalam Islam

‘alam (3 kali), ‘a’lam (49 kali), ‘alīm atau ‘ulamā’ (163 kali), ‘allām (4
kali), ‘allama (12 kali), yu’limu (16 kali), ‘ulima (3 kali), mu’allām (1
kali), dan ta’allama (2 kali).5
Selain kata ‘ilmu, dalam al-Qur’ān juga banyak disebut ayat-ayat
yang, secara langsung atau tidak, mengarah pada aktivitas ilmiah dan
pengembangan ilmu, seperti perintah untuk berpikir, merenung,
menalar, dan semacamnya. Misalnya, perkataan ‘aql (akal) dalam al-
Qur’ān disebut sebanyak 49 kali, sekali dalam bentuk kata kerja
lampau, dan 48 kali dalam bentuk kata kerja sekarang. Salah satunya
adalah :”Sesungguhnya seburuk-buruk makhluk melata di sisi Allah
adalah mereka (manusia) yang tuli dan bisu, yang tidak menggunakan
akalnya”.6 Kata fikr (pikiran) disebut sebanyak 18 kali dalam al-
Qur’ān, sekali dalam bentuk kata kerja lampau dan 17 kali dalam
bentuk kata kerja sekarang. Salah satunya adalah; “…mereka yang
selalu mengingat Allah pada saat berdiri, duduk maupun berbaring,
serta memikirkan kejadian langit dan bumi”. 7 Tentang posisi ilmuwan,
al-Qur’ān menyebutkan: “Allah akan meninggikan derajat orang-orang
beriman dan berilmu beberapa derajat”.8
Di samping al-Qur’ān, dalam Hadīts Nabi banyak disebut tentang
aktivitas ilmiah, keutamaan penuntut ilmu/ilmuwan, dan etika dalam
menuntut ilmu. Misalnya, hadits-hadits yang berbunyi; “Menuntut ilmu
merupakan kewajiban setiap muslim dan muslimah” (HR. Bukhari-
Muslim). 9 “Barang siapa keluar rumah dalam rangka menuntut ilmu,
malaikat akan melindungi dengan kedua sayapnya” (HR. Turmudzi). 10
“Barang siapa keluar rumah dalam rangka menuntut ilmu, maka ia
selalu dalam jalan Allah sampai ia kembali” (HR. Muslim).11 “Barang

5
M. Dawam Rahardjo, “Ensiklopedi al-Qur’ān: Ilmu”, dalam Ulumul Qur’ān, (Vol.1,
No. 4, 1990), hlm. 58.
6
Al-Qur’ān surat al-Anfāl : 8: 22.
7
Al-Qur’ān surat Āli ‘Imrān : 3: 191.
8
Al-Qur’ān surat al-Mujādalah : 58: 11.
9
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium
Baru, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 13.
10
Sayid ‘Alawī ibn ‘Abbās al-Mālikī, Fath al- Qarīb al-Mujīb ‘ala Tahdzīb al-
Targhīb wa al-Tarhīb, (Mekah; t.p, t.t), hlm. 40.
11
Abī Zakariā Yahyā ibn Syarf al-Nawāwī, Riyād al- Shālihīn, (Kairo; al-Maktabah
al-Salafīyah, 2001), hlm. 710.

Tadrîs. Volume 3. Nomor 2. 2008 123


Mohammad Kosim

siapa menuntut ilmu untuk tujuan menjaga jarak dari orang-orang


bodoh, atau untuk tujuan menyombongkan diri dari para ilmuwan, atau
agar dihargai oleh manusia, maka Allah akan memasukkan orang
tersebut ke dalam neraka” (HR. Turmudzi).12
Besarnya perhatian Islam terhadap ilmu pengetahuan, menarik
perhatian Franz Rosenthal, seorang orientalis, dengan mengatakan:
”Sebenarnya tak ada satu konsep pun yang secara operatif berperan
menentukan dalam pembentukan peradaban Islam di segala aspeknya,
yang sama dampaknya dengan konsep ilmu. Hal ini tetap benar,
sekalipun di antara istilah-istilah yang paling berpengaruh dalam
kehidupan keagamaan kaum muslimin, seperti “tauhîd” (pengakuan
atas keesaan Tuhan), “al-dîn” (agama yang sebenar-benarnya), dan
banyak lagi kata-kata yang secara terus menerus dan bergairah disebut-
sebut. Tak satupun di antara istilah-istilah itu yang memiliki kedalaman
dalam makna yang keluasan dalam penggunaannya, yang sama dengan
kata ilmu itu.Tak ada satu cabangpun dalam kehidupan intelektual
kaum muslimin yang tak tersentuh oleh sikap yang begitu merasuk
terhadap “pengetahuan” sebagai sesuatu yang memiliki nilai tertinggi,
dalam menjadi seorang muslim.”13
Penjelasan-penjelasan al-Qur’ān dan al-Hadīts di atas menunjukkan
bahwa paradigma ilmu dalam Islam adalah teosentris. Karena itu,
hubungan antara ilmu dan agama memperlihatkan relasi yang
harmonis, ilmu tumbuh dan berkembang berjalan seiring dengan
agama. Karena itu, dalam sejarah peradaban Islam, ulama hidup rukun
berdampingan dengan para ilmuwan. Bahkan banyak ditemukan para
ilmuwan dalam Islam sekaligus sebagai ulama. Misalnya, Ibn Rusyd di
samping sebagai ahli hukum Islam pengarang kitab Bidāyah al-
Mujtahīd, juga seorang ahli kedokteran penyusun kitab al-Kullīyāt fī al-
Thibb.
Apa yang terjadi dalam Islam berbeda dengan agama lain,
khususnya agama Kristen di Barat, yang dalam sejarahnya
memperlihatkan hubungan kelam antara ilmu dan agama. Hubungan

12
Al-Mālikī, Fath al-Qarīb, hlm. 42.
13
Rahardjo, “Ensiklopedi al-Qur’ān: Ilmu”, hlm. 57. Ungkapan Rosenthal tersebut
dikutip oleh Dawam dalam karya Rosenthal berjudul Knowledge Triumphant: The
Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: E.J. Brill, 1970).

124 Tadrîs. Volume 3. Nomor 2. 2008


Ilmu Pengetahuan dalam Islam

disharmonis tersebut ditunjukkan dengan diberlakukannya hukuman


berat bagi para ilmuwan yang temuan ilmiahnya berseberangan dengan
“fatwa” gereja. Misalnya, Nicolaus Copernicus mati di penjara pada
tahun 1543 M, Michael Servet mati dibakar tahun 1553 M, Giordano
Bruno dibunuh pada tahun 1600, dan Galileo Galilei mati di penjara
tahun 1642 M. Oleh karena hubungan agama dan ilmu di Barat tidak
harmonis, maka para ilmuwan—dalam melakukan aktivitas
ilmiahnya—pergi jauh meninggalkan agama. Akibatnya, ilmu di Barat
berkembang dengan paradigma antroposentris14 dan menggusur sama
sekali paradigma teosentris. Dampak yang lebih serius, perkembangan
ilmu menjadi sekuler terpisah dari agama yang pada akhirnya
menimbulkan problema teologis yang sangat krusial. Banyak ilmuwan
Barat yang merasa tidak perlu lagi menyinggung atau melibatkan
Tuhan dalam argumentasi ilmiah mereka. Bagi mereka Tuhan telah
berhenti menjadi apapun, termasuk menjadi pencipta dan pemelihara
alam semesta.

Sumber, Sarana, dan Metode Ilmu Pengetahuan


Pembicaraan tentang sumber, sarana, dan metode ilmu pengetahuan
dalam Filsafat Ilmu dikenal dengan epistemologi15 atau teori ilmu
pengetahuan, yang di dalamnya selalu membicarakan dua hal; apa itu
pengetahuan? dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan?. Yang
pertama terkait dengan teori dan isi ilmu, sedangkan yang kedua
berkenaan dengan metodologi.
Terkait dengan pertanyaan pertama, apa itu pengetahuan?,
epistemologi Islam menjawab bahwa pengetahuan ilmiah adalah segala
sesuatu yang bersumber dari alam fisik dan non-fisik. Dengan demikian

14
Paradigma anthroposentris bertolak belakang dengan paradigma teosentris.
Anthroposentris berasal dari kata anthropoid (manusia) dan centre (pusat). Dengan
demikian anthroposentris adalah paradigma yang menempatkan manusia sebagai
pusat segala pengalamannya, dan manusialah yang menentukan segalanya. Sedangkan
teosentris berasal dari kata theo (tuhan) dan centre (pusat), yakni paradigma yang
menempatkan Tuhan sebagai pusat dan sumber segala kehidupan.
15
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme yang berarti knowledge atau
science. Secara sederhana diartikan the theory of the nature of knowing and the means
by which we know. Baca lebih lanjut: R.J. Hollingdale, Western Philosophy (London;
Kahn & Averill, 1993), hlm. 37.

Tadrîs. Volume 3. Nomor 2. 2008 125


Mohammad Kosim

menjadi jelas bahwa sumber pengetahuan dalam Islam adalah alam


fisik yang bisa diindra dan alam metafisik yang tidak bisa diindera
seperti Tuhan, malaikat, alam kubur, alam akhirat. Alam fisik dan alam
non-fisik sama bernilainya sebagai sumber ilmu pengetahuan dalam
Islam. Hal ini sangat berbeda dengan epistemologi Barat yang hanya
mengakui alam fisik sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dengan
demikian, sesuatu yang bersifat non-indrawi, non-fisik, dan metafisik
tidak termasuk ke dalam obyek yang dapat diketahui secara ilmiah. 16
Berkenaan dengan problema epistemologi yang kedua, bagaimana
ilmu pengetahuan diperoleh? Terdapat perbedaan antara Islam dan
Barat. Dalam epistemologi Islam, ilmu pengetahuan bisa dicapai
melalui tiga elemen; indra, akal, dan hati. Ketiga elemen ini dalam
praktiknya diterapkan dengan metode berbeda; indra untuk metode
observasi (bayānī), akal untuk metode logis atau demonstratif
(burhānī), dan hati untuk metode intuitif (‘irfānī).17 Dengan panca
indra, manusia mampu menangkap obyek-obyek indrawi melalui
observasi, dengan menggunakan akal manusia dapat menangkap
obyek-obyek spiritual (ma’qūlāt) atau metafisik secara silogistik, yakni
menarik kesimpulan tentang hal-hal yang tidak diketahui dari hal-hal
yang telah diketahui. Dengan cara inilah akal manusia, melalui refleksi
dan penelitian terhadap alam semesta, dapat mengetahui Tuhan dan
hal-hal gaib lainnya. Melalui metode intuitif atau eksperensial (dzauq)
sebagaimana dikembangkan kaum sufi dan filosof iluminasionis
(isyrāqiyah), hati akan mampu menangkap obyek-obyek spiritual dan
metafisik. Antara akal dan intuisi, meskipun sama-sama mampu
menangkap obyek-obyek spiritual, keduanya memiliki perbedaan
fundamental secara metodologis dalam menangkap obyek-obyek
tersebut. Sebab sementara akal menangkapnya secara inferensial,
intuisi menangkap obyek-obyek spiritual secara langsung, sehingga

16
Mulyadhi Kertanegara, Menembus Batas Panorama Filsafat Islam, (Bandung:
Mizan, 2002), hlm. 58.
17
Ibid., hlm. 61. Kajian mendalam tentang pendekatan bayānī , burhānī , dan ‘irfānī
dapat dibaca dalam Muhammad ‘Ābid al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī: Dirāsah
Tahlīlīyah Naqdīyah li Nazmi al-Ma’rifah fi al-Tsaqāfah al-‘Arabīyah, (Beirut:
Markāz Dirāsat al-Wihdah al-‘Arabīyah, 1990).

126 Tadrîs. Volume 3. Nomor 2. 2008


Ilmu Pengetahuan dalam Islam

mampu melintas jantung yang terpisah lebar antara subyek dan


obyek. 18
Jika ilmu pengetahuan dalam Islam bisa dicapai melalui tiga
sumber/alat; indra, akal budi, dan hati, maka dalam epistemologi Barat,
pengetahuan ilmiah hanya bisa diraih melalui indra dan akal.
Penggunaan kedua alat ini sebagai sumber ilmu pengetahuan didahului
konflik tajam ilmuwan Barat selama kurang lebih dua abad. Konflik
tersebut tercermin dalam dua aliran filsafat, yakni Rasionalisme dan
Empirisme.19 Rasionalisme yang dipelopori Rene Descartes (1596-
1650) berpandangan bahwa sumber pengetahuan yang dipandang
memenuhi syarat ilmiah adalah akal budi. Akal merupakan satu-
satunya sumber pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang diperoleh
melalui akal tidak mungkin salah. Sementara itu empirisme
berpendapat bahwa sumber satu-satunya pengetahuan manusia adalah
pengalaman indrawi, yakni pengalaman yang terjadi melalui dan berkat
bantuan panca indra. Dalam pandangan kaum empiris, panca indra
memainkan peranan penting dibanding akal budi karena; pertama,
semua proposisi yang diucapkan manusia merupakan hasil laporan dari
pengalaman. Kedua, manusia tidak memiliki konsep atau ide apapun
tentang sesuatu kecuali yang didasarkan pada apa yang diperoleh dari
pengalaman. Ketiga, akal budi hanya bisa berfungsi apabila memiliki
acuan ke realitas atau pengalaman.20
Konflik antara pendukung rasionalisme dan empirisme akhirnya
bisa didamaikan oleh Immanuel Kant dengan melakukan sintesis
terhadap keduanya, yang kemudian disebutkan dengan kritisisme atau
rasionalisme kritis. Menurut Kant terdapat dua unsur penting yang ikut
melahirkan pengetahuan manusia, yaitu; pancaindra dan akal budi.
Semua pengetahuan manusia tentang dunia bersumber dari pengalaman

18
Mulyadhi Kertanegara, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Telaah Kritis Terhadap
Epistemologi Barat”, dalam Refleksi Jurnal Kajian Agama dan Filsafat Fakultas
Ushuludin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Vol.1 No. 3, Juni-Agustus 1999), hlm.
64.
19
Pembahasan lebih lanjut tentang kedua aliran tersebut bisa dibaca, antara lain,
dalam: Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta;
Kanisius,1980), hlm. 18-46; A. Sony Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan;
Sebuah Tinjauan Filosofis, (Yogyakarta; Kanisius, 2001), hlm. 33-39.
20
Keraf dan Mikhael, Ilmu Pengetahuan, hlm. 49-50

Tadrîs. Volume 3. Nomor 2. 2008 127


Mohammad Kosim

indrawi. Namun akal budi ikut menentukan bagaimana manusia


menangkap fenomina di sekitarnya, karena dalam akal budi sudah ada
“kondisi-kondisi” tertentu yang memungkinkan manusia menangkap
dunia sebagaimana adanya. Kondisi-kondisi tersebut mirip dengan
kacamata yang dipakai seseorang ketika melihat berbagai obyek di
sekitarnya. Kacamata itu sangat mempengaruhi pengetahuan orang
tersebut tentang obyek yang dilihat.21

Klasifikasi Ilmu
Secara umum ilmu dalam Islam dapat diklasifikasikan ke dalam
tiga kelompok yang meliputi; metafisika menempati posisi tertinggi,
disusul kemudian oleh matematika, dan terakhir ilmu-ilmu fisik.
Melalui tiga kelompok ilmu tersebut, lahirlah berbagai disiplin ilmu
pengetahuan, misalnya; dalam ilmu-ilmu metafisika (ontologi, teologi,
kosmologi, angelologi, dan eskatologi), dalam ilmu-ilmu matematika
(geometri, aljabar, aritmatika, musik, dan trigonometri), dan dalam
ilmu-ilmu fisik (fisika, kimia, geologi, geografi, astronomi, dan
optika).22
Dalam perkembangan berikutnya, seiring dengan perkembangan
zaman, kemajuan ilmu pengetahuan, dan untuk tujuan-tujuan praktis,
sejumlah ulama berupaya melakukan klasifikasi ilmu. Al-Ghazālī
membagi ilmu menjadi dua bagian; ilmu fardlu ‘ain dan ilmu fardlu
kifāyah.23 Ilmu fardlu ‘ain adalah ilmu yang wajib dipelajari setiap
muslim terkait dengan tatacara melakukan perbuatan wajib, seperti
ilmu tentang salat, berpuasa, bersuci, dan sejenisnya. Sedangkan ilmu
fardlu kifāyah adalah ilmu yang harus dikuasai demi tegaknya urusan
dunia, seperti; ilmu kedokteran, astronomi, pertanian, dan sejenisnya.
Dalam ilmu fardlu kifāyah tidak setiap muslim dituntut menguasainya.
Yang penting setiap kawasan ada yang mewakili, maka kewajiban bagi
yang lain menjadi gugur.

21
Ibid. hlm. 58-61.
22
Mulyadi, Menembus Batas, hlm. 59.
23
Abū Hamid Muhammad al- Ghazālī, Ihya’ Ulūm al-Dīn, Juz I, (Beirut; Badawi
Thaba’ah, t.th), hlm. 14-15.

128 Tadrîs. Volume 3. Nomor 2. 2008


Ilmu Pengetahuan dalam Islam

Di samping pembagian di atas, al-Ghazālī masih membagi ilmu


menjadi dua kelompok, yaitu; ilmu syarī’ah dan ilmu ghair syarī’ah.24
Semua ilmu syarī’ah adalah terpuji dan terbagi empat macam; pokok
(ushūl), cabang (furū’), pengantar (muqaddimāt), dan pelengkap
(mutammimāt). Ilmu ushūl meliputi; al-Qur’ān, Sunnah, Ijmā’ Ulamā’,
dan Atsār Shahābāt. Ilmu furū’ meliputi; Ilmu Fiqh yang berhubungan
dengan kemaslahatan dunia, dan ilmu tentang hal-ihwal dan perangai
hati, baik yang terpuji maupun yang tercela. Ilmu muqaddimāt
dimaksudkan sebagai alat yang sangat dibutuhkan untuk mempelajari
ilmu-ilmu ushūl, seperti ilmu bahasa Arab (Nahw, Sharf, Balāghah).
Ilmu mutammimāt adalah ilmu-ilmu yang berhubungan dengan ilmu al-
Qur’ān seperti; Ilmu Makhārij al-Hurūf wa al-Alfādz dan Ilmu Qirā’at.
Sedangkan ilmu ghair syarī’ah oleh al-Ghazālī dibagi tiga; ilmu-ilmu
yang terpuji (al-‘ulūm al-mahmūdah), ilmu-ilmu yang diperbolehkan
(al-‘ulūm al-mubāhah), dan ilmu-ilmu yang tercela (al-‘ulūm al-
madzmūmah). Ilmu yang terpuji adalah ilmu-ilmu yang dibutuhkan
dalam kehidupan umat manusia seperti kedokteran, pertanian,
teknologi. Ilmu yang dibolehkan adalah ilmu-ilmu tentang kebudayaan
seperti; sejarah, sastra, dan puisi yang dapat membangkitkan
keutamaan akhlak mulia. Sedangkan ilmu yang tercela adalah ilmu-
ilmu yang dapat membahayakan pemiliknya atau orang lain seperti;
ilmu sihir, astrologi, dan beberapa cabang filsafat.
Ibn Khaldūn membagi ilmu pengetahuan menjadi dua kelompok,
yaitu; ilmu-ilmu naqlīyah yang bersumber dari syarā’ dan ilmu-ilmu
‘aqlīyah/ilmu falsafah yang bersumber dari pemikiran. Yang termasuk
dalam kelompok ilmu-ilmu naqlīyah adalah; Ilmu Tafsir, Ilmu Qirā’ah,
Ilmu Hadīts, Ilmu Ushūl Fiqh, Fiqh, Ilmu Kalam, Bahasa Arab
(Linguistik, Gramatika, Retorika, dan Sastra). Sedangkan yang
termasuk dalam ilmu-ilmu ‘aqlīyah adalah; Ilmu Mantiq, Ilmu Alam,
Metafisika, dan Ilmu Instruktif (Ilmu Ukur, Ilmu Hitung, Ilmu Musik,
dan Ilmu Astronomi). 25
Al-Farābī mengelompokkan ilmu pengetahuan ke dalam lima
bagian, yaitu; pertama, ilmu bahasa yang mencakup sastra, nahw,

24
Ibid. hlm. 15-16.
25
Nurcholish Madjid (ed), Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1984), hlm. 307-327.

Tadrîs. Volume 3. Nomor 2. 2008 129


Mohammad Kosim

sharf, dan lain-lain. Kedua, ilmu logika yang mencakup pengertian,


manfaat, silogisme, dan sejenisnya. Ketiga, ilmu propadetis, yang
meliputi ilmu hitung, geometri, optika, astronomi, astrologi, musik, dan
lain-lain. Keempat, ilmu fisika dan matematika. Kelima, ilmu sosial,
ilmu hukum, dan ilmu kalam. 26
Ibn Buthlān (wafat 1068 M) membuat klasifikasi ilmu menjadi tiga
cabang besar; ilmu-ilmu (keagamaan) Islam, ilmu-ilmu filsafat dan
ilmu-ilmu alam, dan ilmu-ilmu kesusastraan. Hubungan ketiga cabang
ilmu ini digambarkannya sebagai segitiga; sisi sebelah kanan adalah
ilmu-ilmu agama, sisi sebelah kiri ilmu filsafat dan ilmu alam,
sedangkan sisi sebelah bawah adalah kesusastraan.27
Konferensi Dunia tentang Pendidikan Islam II di Islamabad
Pakistan tahun 1980 merekomendasikan pengelompokan ilmu menjadi
dua macam, yaitu; ilmu perennial/abadi (naqlīyah) dan ilmu
acquired/perolehan (‘aqlīyah). Yang termasuk dalam kelompok ilmu
perennial adalah ; al-Qur’ān (meliputi; Qirā’ah, Hifdz, Tafsir, Sunnah,
Sīrah, Tauhid, Ushūl Fiqh, Fiqh, Bahasa Arab al-Qur’ān yang terdiri
atas Fonologi, Sintaksis dan Semantik), dan Ilmu-Ilmu Bantu (meliputi;
Metafisika Islam, Perbandingan Agama, dan Kebudayaan Islam).
Sedangkan yang termasuk dalam ilmu acquired adalah; Seni (meliputi;
Seni dan Arsitektur Islam, Bahasa, Sastra), Ilmu-ilmu Intelektual/studi
sosial teoritis, (meliputi; Filsafat, Pendidikan, Ekonomi, Ilmu Politik,
Sejarah, Peradaban Islam, Geografi, Sosiologi, Linguistik, Psikologi,
dan Antropologi), Ilmu-Ilmu Alam/teoritis (meliputi; Filsafat Sains,
Matematika, Statistik, Fisika, Kimia, Ilmu-Ilmu Kehidupan, Astronomi,
Ilmu Ruang, dan sebagainya), Ilmu-Ilmu Terapan (meliputi; Rekayasa
dan Teknologi, Obat-Obatan, dan sebagainya), dan Ilmu-Ilmu Praktik
(meliputi; Perdagangan, Ilmu Administrasi, Ilmu Perpustakaan, Ilmu
Kerumahtanggaan, Ilmu Komunikasi). 28

26
Harun Nasution, Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun
Nasution, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 317.
27
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium
Baru, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. xiii.
28
Ashraf Ali, Horison Baru Pendidikan Islam, terj. Sori Siregar, (Jakarta: Pusataka
Firdaus, 1996), hlm. 115-117.

130 Tadrîs. Volume 3. Nomor 2. 2008


Ilmu Pengetahuan dalam Islam

Nurcholish Madjid, cendekiawan muslim asal Indonesia,


mengelompokkan ilmu-ilmu keislaman ke dalam empat bagian yaitu;
Ilmu Fiqh, Ilmu Tasawuf, Ilmu Kalam, dan Ilmu Falsafah. 29 Ilmu Fiqh
membidangi segi-segi formal peribadatan dan hukum, Ilmu Tasawuf
membidangi segi-segi penghayatan dan pengamalan keagamaan yang
lebih bersifat pribadi, Ilmu Kalam membidangi segi-segi mengenai
Tuhan dan berbagai derivasinya, sedangkan Ilmu Falsafah membidangi
hal-hal yang bersifat perenungan spekulatif tentang hidup dalam arti
seluas-luasnya. Termasuk dalam lingkup Ilmu Falsafah adalah “ilmu-
ilmu umum” seperti; metafisika, kedokteran, matematika, astronomi,
kesenian.30
Klasifikasi ilmu-ilmu keislaman yang dilakukan para ilmuwan
muslim di atas mempertegas bahwa cakupan ilmu dalam Islam sangat
luas, meliputi urusan duniawi dan ukhrāwi. Yang menjadi batasan ilmu
dalam Islam adalah; bahwa pengembangan ilmu harus dalam bingkai
tauhid dalam kerangka pengabdian kepada Allah, dan untuk
kemaslahan umat manusia. Dengan demikian, ilmu bukan sekedar
ilmu, tapi ilmu untuk diamalkan. Dan ilmu bukan tujuan, melainkan
sekedar sarana untuk mengabdi kepada Allah dan kemaslahatan umat.

Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Islam


Dalam perspektif sejarah, perkembangan ilmu-ilmu keislaman
mengalami pasang surut. Suatu ketika mencapai puncak kejayaan, dan
di saat yang lain mengalami kemunduran. Kajian berikut akan
menjelaskan fenomina tersebut serta faktor-faktor yang mempengaruhi.
Masa Keemasan
Sejarah politik dunia Islam biasanya dipetakan ke dalam tiga
periode, yaitu; periode klasik (650-1250 M), periode pertengahan
(1250-1800 M), dan periode modern (1800-sekarang).31 Dari ketiga
periode tersebut, yang dikenal sebagai masa keemasan Islam adalah

29
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, (Jakarta: Paramadina, 1992),
hlm. 201.
30
Ibid., hlm. 223.
31
Baca lebih lanjut dalam Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah
Pemikiran dan Gerakan (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), 13-14.

Tadrîs. Volume 3. Nomor 2. 2008 131


Mohammad Kosim

periode klasik, yang—antara lain—ditandai dengan etos keilmuan yang


sangat tinggi, yang ditunjukkan dengan pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan di berbagai bidang kehidupan.
Akselerasi perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam sangat
tampak setelah masuknya gelombang Hellenisme melalui gerakan
penerjemahan ilmu-ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab,
yang dipelopori khalifah Hārūn al-Rasyīd (786-809 M) dan mencapai
puncaknya pada masa khalifah al-Makmūn (813-833 M). Beliau
mengirim utusan ke kerajaan Romawi di Eropa untuk membeli
sejumlah manuscripts untuk kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab.32 Sejak itu para ulama mulai berkenalan dan menelaah secara
mendalam pemikiran-pemikiran ilmuwan Yunani seperti Pythagoras
(530-495 SM), Plato (425-347 SM), Aristoteles (388-322 SM),
Aristarchos (310-230 SM), Euclides (330-260 SM), Klaudios
Ptolemaios (87-168 M), dan lain-lain. 33
Tidak lama kemudian muncullah di kalangan umat Islam para
filosof dan ilmuwan yang ahli dalam berbagai disiplin ilmu
pengetahuan. Sekedar menyebut contoh, dalam bidang kedokteran
muncul; al-Rāzī (866-909 M), Ibn Sinā (wafat 926 M), Ibn Zuhr (1091-
1162 M), Ibn Rusyd (wafat 1198 M), dan al-Zahrāwī (wafat 1013 M).
Dalam bidang filsafat muncul; al-Kindī (801-862 M), al-Farābī (870-
950 M), al-Ghazālī (1058-1111 M), dan Ibn Rusyd (wafat 1198 M).
Dalam bidang ilmu pasti dan ilmu pengetahuan alam muncul; al-
Khawarizmī (780-850 M), al-Farghānī (abad ke-9), an-Nairāzī (wafat
922 M), Abū Kāmil (abad ke-10), Ibrahim Sinān (wafat 946 M), al-
Birūnī (973-1051 M), al-Khujandī (lahir 1000 M), al-Khayyānī (1045-
1123 M), dan Nashīrudin al-Thūsī (1200-1274 M).34
Perkembangan dalam bidang hukum Islam ditandai dengan lahirnya
empat imam madzhab; Abū Hanīfah (wafat 767 M), Anās ibn Mālik
(wafat 795 M), Muhammad ibn Idrīs al-Syāfiī (wafat 819 M), dan
Ahmad ibn Hambāl (wafat 855 M). Dalam bidang Hadīts, muncul

32
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1973), hlm. 11.
33
S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern, (Jakarta:
P3M, 1986), hlm. 13.
34
Ibid.

132 Tadrîs. Volume 3. Nomor 2. 2008


Ilmu Pengetahuan dalam Islam

sejumlah ulama Hadīts terkemuka seperti; Bukhārī (wafat 870 M),


Muslim (wafat 875 M), Ibn Mājah (wafat 886 M), Abū Dāwud (wafat
886 M), al-Tirmidzī (wafat 892 M), dan al-Nasā’ī (wafat 916 M).
Dalam bidang teologi muncul ulama semacam; Abū al-Hudzail al-
Allāf, Ibrahim al-Nazzām, Abū al-Hasan al-Asy’ārī, dan Abū Manshūr
al-Māturīdī.
Penerjemahan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani oleh umat
Islam bersifat selektif dan kreatif. 35 Yang diterjemahkan adalah filsafat
dan ilmu-ilmu yang memberikan kemaslahan bagi umat seperti;
kedokteran, pertanian, astronomi, ilmu bumi, ilmu ukur, dan ilmu
bangunan. Sedangkan sastra Yunani ditinggalkan karena banyak berbau
takhayul dan syirik. Dan ilmu-ilmu terjemahan tersebut tidak diterima
begitu saja (taken for granted), melainkan dikembangkan dan di-
islamkan, mengingat pertumbuhan ilmu-ilmu Yunani Kuno bersifat
sekuler. Oleh karena itu, perkembangan ilmu dalam Islam sangat
berbeda dengan yang berkembang di Yunani. Bahkan menurut Max I.
Dimont, ahli Sejarah Peradaban Yahudi dan Arab, peradaban Islam
jauh meninggalkan peradaban Yunani. Dimont, sebagaimana dikutip
Nurcholish Madjid, memberikan ilustrasi :”Dalam hal ilmu
pengetahuan, bangsa Arab [muslim] jauh meninggalkan bangsa
Yunani. Peradaban Yunani itu, dalam esensinya, adalah ibarat sebuah
kebun subur yang penuh dengan bunga-bunga indah namun tidak
banyak berbuah. Peradaban Yunani itu adalah suatu peradaban yang
kaya dalam filsafat dan sastra, tetapi miskin dan teknik dan teknologi.
Karena itu, merupakan suatu usaha bersejarah dari bangsa Arab dan
Yunani Islamik (yang terpengaruh oleh peradaban Islam) bahwa
mereka mendobrak jalan buntu ilmu pengetahuan Yunani itu, dengan
merintis jalan ilmu pengetahuan baru—menemukan konsep nol, tanda
minus, bilangan-bilangan irasional, dan meletakkan dasar-dasar ilmu
kimia baru—yaitu ide-ide yang meratakan jalan ke dunia ilmu

35
Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997),
hlm. 16: Harun Nasution, Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun
Nasution, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 299; Fazlur Rahman, “Islamisasi Ilmu,
Sebuah Respon”, dalam Ulumul Qur’ān (Vol. III. No. 4, 1992), hlm. 70.

Tadrîs. Volume 3. Nomor 2. 2008 133


Mohammad Kosim

pengetahuan modern melalui pemikiran kaum intelektual Eropa pasca-


Renaisans.”36
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan di era klasik, setidaknya
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu; pertama, etos keilmuan umat
Islam yang sangat tinggi. Etos ini ditopang ajaran Islam yang
memberikan perhatian istimewa terhadap ilmuwan dan aktivitas ilmiah.
Kedua, Islam merupakan agama rasional yang memberikan porsi besar
terhadap akal.37 Semangat rasional tersebut semakin menemukan
momentumnya setelah umat Islam bersentuhan dengan filsafat Yunani
klasik yang juga rasional. 38 Kemudian, melalui aliran teologi rasional
Mu’tazilah, para ilmuwan memiliki kebebasan yang luar biasa dalam
mengekspresikan pikiran mereka untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan. Ketiga, berkembangnya ilmu pengetahuan di kalangan
umat Islam klasik adalah sebagai dampak dari kewajiban umat Islam
dalam memahami alam raya ciptaan Allāh. Dalam al-Qur’ān dijelaskan
bahwa alam raya diciptakan untuk kepentingan manusia. Untuk itu
alam dibuat lebih rendah (musakhkhar) dari manusia sehingga terbuka
dipelajari, dikaji, dan diteliti kandungannya. Keempat, di samping
alasan di atas, perkembangan ilmu pengetahuan di era klasik juga
ditopang kebijakan politik para khalifah yang menyediakan fasilitas
dan sarana memadai bagi para ilmuwan untuk melakukan penelitian
dan pengembangan ilmu.

Masa Kemunduran
Yang sering disebut-sebut sebagai momentum kemunduran umat
Islam dalam bidang pemikiran dan pengembangan ilmu adalah kritik
al-Ghazālī (1058-1111 M) – melalui Tahāfut al-Falāsifahnya –
terhadap para filosof yang dinilainya telah menyimpang jauh dari
ajaran Islam. Karena setelah itu, menurut Nurcholish Madjid, walaupun
masih muncul beberapa pemikir muslim—seperti; Ibn Rusyd, Ibn
Taymīyah, Ibn Khaldun, Mulla Sadr, Ahmad Sirhindi, dan Syah
Waliyullah—pada umumnya para ahli menyatakan bahwa dunia

36
Madjid, Kaki Langit Peradaban, hlm. 15-16.
37
Nasution, Islam Rasional, hlm. 7.
38
A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia, 19990), hlm.
100.

134 Tadrîs. Volume 3. Nomor 2. 2008


Ilmu Pengetahuan dalam Islam

pemikiran Islam setelah al-Ghazālī tidak lagi semarak dan gegap


gempita seperti sebelumnya. 39
Al-Ghazālī sesungguhnya bukan sosok orang yang anti filsafat,
bahkan ia termasuk ke dalam deretan filosof muslim terkenal. Ia
menulis Tahāfut al-Falāsifah (Kekacauan Para Filosof) sebenarnya
bertujuan untuk menghidupkan kembali kajian keagamaan yang,
menurutnya, telah terjadi banyak penyimpangan akibat ulah sebagian
filosof—khususnya al-Fārābī dan Ibn Sina—yang berdampak pada
semakin menjamurnya semangat pemikiran bebas yang membuat orang
meninggalkan ibadah. Oleh karena itu, dalam karyanya yang lain ia
menulis karya monumental yang diberi judul Ihyā’‘Ulūm al-Dīn
(Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama). Dan penyelesaian yang
ditawarkan al-Ghazālī—menurut Nurcholish Madjid—begitu hebatnya,
sehingga memukau dunia intelektual Islam dan membuatnya seolah-
olah terbius tak sadarkan diri. 40
Tapi, benarkah kritik al-Ghazālī tersebut menjadi penyebab
mundurnya pemikiran dan pengembangan ilmu pengetahuan di
kalangan umat Islam?. Jawabannya masih pro-kontra. Menurut
Nurcholish Madjid yang menjadi penyebab kemunduran umat Islam
adalah; pertama, penyelesaian oleh al-Ghazālī mengenai problema di
atas, meskipun ternyata tidak sempurna, namun komprehensif dan
sangat memuaskan. Kedua, Ilmu Kalam Asy’ārī dengan konsep al-kasb
(acquisition), yang cenderung lebih dekat kepada paham Jabārīyah
yang dianut dan didukung al-Ghazālī juga sangat memuaskan, dan telah
berhasil menimbulkan equilibrium sosial yang tiada taranya. Ketiga,
keruntuhan Baghdad oleh bangsa Mongol amat traumatis dan membuat
umat Islam tidak lagi sanggup bangkit, konon sampai sekarang.
Keempat, berpindahnya sentra-sentra kegiatan ilmiah dari dunia Islam
ke Eropa, dimana kegiatan itu mendapatkan momentumnya yang baru,
dan melahirkan kebangkitan kembali (renaisance) Barat dengan akibat
sampingan (tapi langsung) penyerbuan mereka ke dunia Islam dan
kekalahan dunia Islam itu. Kelima, ada juga yang berteori bahwa umat

39
Madjid, Kaki Langit Peradaban, hlm. 6.
40
Madjid (ed), Khazanah Intelektual Islam, hlm. 35.

Tadrîs. Volume 3. Nomor 2. 2008 135


Mohammad Kosim

Islam—setelah mendominasi dunia selama sekitar 8 abad--mengalami


rasa puas diri (complacency) dan menjadi tidak kreatif. 41
Sedangkan Harun Nasution memperkirakan penyebab mundurnya
tradisi ilmiah dalam Islam adalah; pertama, adanya dominasi tasawuf
dalam kehidupan umat Islam yang cenderung mengutamakan daya rasa
yang berpusat di kalbu dan meremehkan daya nalar yang terdapat
dalam akal. Dalam hal ini al-Ghazālī, melalui Ihyā’‘Ulūm al-Dīn,
memiliki peran besar dalam menebarkan gerakan tasawuf di dunia
Islam. Kedua, teologi Asy’ārīyah yang banyak dianut umat Islam
Sunni. Teologi Asy’ārī memberikan kedudukan lemah terhadap akal,
sehingga menyebabkan umat Islam tidak kreatif. 42
Surutnya gerakan pemikiran dan pengembangan ilmu pengetahuan
dalam Islam dapat dilihat dari sejumlah kondisi berikut; pertama, etos
keilmuan menjadi redup, pintu ijtihad menjadi tertutup sebaliknya
gerakan taqlid mulai menjamur. Akibatnya perkembangan ilmu
menjadi stagnan. Karya ulama klasik dipandang sebagai sesuatu yang
final dan tidak boleh disentuh, kecuali sekedar dibaca, dipahami dan
dipraktikkan. Kedua, ilmu agama Islam dimaknai secara sempit dan
terbatas. Muncul pemilahan ilmu agama dan ilmu umum, sesuatu yang
tidak pernah terjadi di era klasik. Ilmu agama dibatasi hanya pada ilmu-
ilmu ukhrāwi seperti; Ilmu Kalam, Fiqh, Tafsir, Hadīts, dan Tasawuf.
Sedangkan ilmu-ilmu duniawi, seperti kedokteran, pertanian, kimia,
fisika, disebut ilmu umum. Umat Islam lebih tertarik mempelajari ilmu
agama ketimbang ilmu umum, karena ilmu yang disebut terakhir
dipandang sebagai ilmu sekuler. Padahal untuk mengarungi hidup di
dunia dibutuhkan penguasaan ilmu-ilmu duniawi.
Menurut sementara sejarawan, konsep dikotomi ilmu telah terjadi
sejak abad ke 13 M. ketika Madrasah Nidzām al-Mulk hanya
mengkhususkan diri pada pengembangan ilmu-ilmu ukhrāwi. 43
Fenomina ini kemudian ditopang oleh modernisme sekuler Barat 44
41
Ibid.
42
Nasution, Islam Rasional, hlm. 383-384.
43
Abdurahman Mas’ud, “Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam”, dalam
Ismail SM. et.all (ed). Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001), hlm. 14.
44
Ziauddin Zardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, terj. Rahmani Astuti,
(Bandung: Mizan, 1993), hlm. 75.

136 Tadrîs. Volume 3. Nomor 2. 2008


Ilmu Pengetahuan dalam Islam

yang mulai masuk ke negara-negara muslim sejak masa kolonialisme


hingga saat ini.
Kasus dikotomi ilmu secara lebih jelas dapat dilihat pada kasus di
Indonesia, negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Dalam
tataran praktis, penyelenggaraan pendidikan di Indonesia sangat
nampak dikotomis, seperti; penggunaan istilah pendidikan umum-
pendidikan agama, sekolah-madrasah, Departemen Agama-Departemen
Pendidikan Pendidikan agama berada di bawah naungan Departemen
Agama, dan pendidikan umum di bawah naungan Departemen
Pendidikan. Dikotomi juga terlihat pada pembidangan ilmu-ilmu
keislaman yang dibuat Departemen Agama (berdasarkan Keputusan
Menteri Agama Nomor 110/1982 tanggal 14 Desember 1982) yang
selanjutnya menjadi pedoman dalam penyelenggaraan pendidikan di
PTAI (Perguruan Tinggi Agama Islam).
Dalam keputusan tersebut, ilmu dalam Islam terbagi menjadi
delapan kelompok, yaitu; kelompok al-Qur’ān-al-Hadīts (meliputi;
Ulūmul Qur’ān dan Ulūmul Hadīts), kelompok Pemikiran dalam Islam
(meliputi; Ilmu Kalam dan Filsafat), kelompok Fiqh dan Pranata Sosial
(meliputi; Fiqh, Ushūl Fiqh, Ilmu Falaq), kelompok Sejarah dan
Kebudayaan Islam (meliputi; Sejarah Islam dan Peradaban Islam),
kelompok Bahasa (meliputi; Bahasa Arab, sastra Arab, Bahasa dan
Sastra Dunia Islam lainnya), kelompok Pendidikan Islam (meliputi;
Pendidikan dan Pengajaran Islam, Ilmu Jiwa Agama), kelompok
Dakwah Islam (meliputi; Dakwah Islam, Perbandingan Agama), dan
kelompok Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia Islam (meliputi;
Pemikiran Modern di Dunia Islam, Islam dalam Disiplin Ilmu dan
Teknologi).

Upaya Mengejar Ketertinggalan


Adalah sangat wajar apabila sejumlah ilmuwan muslim “gelisah”
melihat fenomina merosotnya etos keilmuan umat Islam dan dominasi
Barat dalam pengembangan ilmu dan teknologi. Kegelisahan tersebut
diwujudkan dengan kampanye gerakan kebangkitan Islam melalui
sejumlah gagasan dan aksi, antara lain melalui upaya mempertemukan

Tadrîs. Volume 3. Nomor 2. 2008 137


Mohammad Kosim

kembali ilmu dan agama, yang dikenal dengan konsep islamisasi


sains45
Konsep yang muncul di awal tahun 80-an ini dipandang penting,
setidaknya oleh penggagasnya, sebagai momentum untuk menumbuh-
kan etos keilmuan umat Islam yang sampai kini masih sangat rendah.
Fenomina tersebut, menurut Azyumardi Azra, terjadi di hampir setiap
negara muslim dalam kasus yang hampir sama, dengan ciri-ciri;
lemahnya masyarakat ilmiah, kurang integralnya kebijaksanaan sains
nasional, tidak memadainya anggaran penelitian ilmiah, kurangnya
kesadaran di kalangan sektor ekonomi tentang pentingnya penelitian
ilmiah, kurang memadainya fasilitas perpustakaan, dokumentasi dan
pusat informasi, ilmuwan muslim terisolasi dalam kancah global, dan
adanya birokrasi, restriksi dan kurangnya insentif. 46 Akibatnya, realitas
umat Islam sampai kini benar-benar tertinggal jauh dari Barat, bukan
hanya dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
melainkan dalam hampir seluruh aspek kehidupan duniawi.
Maka gagasan sejumlah intelektual muslim untuk mempertemukan
kembali ilmu dan agama menjadi sangat penting karena beberapa hal;
Pertama, untuk merespon dampak negatif perkembangan ilmu dan
teknologi modern dalam kehidupan umat Islam khususnya, dan
kehidupan masyarakat dunia pada umumnya. Tidak bisa disangkal
bahwa di samping membawa dampak positif, ilmu dan teknologi Barat
juga memiliki dampak negatif, seperti berkembangnya paham
materialisme, nihilisme, hedonisme, individualisme, konsumerisme,
rusaknya tatanan keluaga, pergaulan bebas, penyalahgunaan obat
terlarang, dan semakin jauhnya dari etika moral dan agama. Kedua,
ilmu pengetahuan Barat berangkat dari asumsi bahwa obyek ilmu
hanya terfokus pada obyek-obyek fisik yang bisa diindra. Asumsi ini,
yang awalnya mungkin merupakan pembagian kapling kepada akal dan
agama ke arah sekularisme, lambat laun ternyata telah menjadi
45
Istilah tersebut dikenalkan pertama kali oleh Ismail Raji al-Faruqi, ketika pada tahun
1982 menerbitkan buku berjudul Islamization of Knowledge: General Principles and
Workplan. Istilah lain yang memiliki substansi sama dengan islamisasi sains adalah
dewesternisasi pengetahuan yang dikenalkan Muhammad Naquib al-Attas,
desekularisasi sains, atau naturalisasi ilmu yang digagas beberapa sarjana
keislamanan semisal I. Sabra.
46
Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi, hlm. 16-20.

138 Tadrîs. Volume 3. Nomor 2. 2008


Ilmu Pengetahuan dalam Islam

pembatasan atas realitas itu sendiri. Pembatasan lingkup ilmu hanya


kepada obyek indrawi dalam realitasnya telah mendorong banyak
ilmuwan Barat untuk memandang hanya dunia indrawi sebagai satu-
satunya realitas. Hal ini tercermin pada menguatnya paham
materialisme, sekularisme, dan positivisme, yaitu paham filosofis yang
biasanya berakhir dengan penolakan terhadap realitas metafisik seperti
Tuhan, malaikat, surga, neraka, dan semisalnya. 47
Meskipun gagasan islamisasi ilmu dipandang penting dilakukan
umat Islam, setidaknya oleh para penggagasnya, tidak berarti gagasan
tersebut diterima secara aklamasi. Perves Hoodbhoy, seorang ilmuwan
muslim Pakistan, justru mengkritik gagasan tersebut. Menurutnya,
gagasan sains Islami pada hakikatnya tak lebih dari sekedar bentuk
reaksi atas perkembangan sains modern. Apalagi mereka hanya sekedar
menegaskan kembali apa yang telah ada, dan bukannya melakukan
penyelidikan atas sesuatu yang baru. Dengan demikian gagasan mereka
tidak ada hubungannya dengan kebangkitan kembali agama Islam. Ia
tak lebih hanya permainan istilah secara tidak jujur oleh sekelompok
orang terdidik dari kelas menengah yang berharap keuntungan dan
promosi diri. 48
Tentu saja reaksi kontra di atas dan reaksi lain senada tidak perlu
mengendurkan semangat para penggagas islamisasi sains. Sebaliknya,
kritik tersebut perlu dijadikan cambuk bahwa gagasan tersebut tidak
sekedar wacana, tapi benar-benar terbukti dalam kenyataan dan
bermanfaat kemaslahatan umat.
Penutup
Ilmu dalam Islam merupakan pengetahuan mendalam hasil usaha
yang sungguh-sungguh dari para ilmuwan muslim atas persoalan-
persoalan duniawī dan ukhrāwī dengan berlandaskan kepada wahyu
Allah. Pengetahuan ilmiah diperoleh melalui indra, akal, dan
hati/intuitif yang bersumber dari alam fisik dan alam metafisik. Hal ini

47
Mulyadhi, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Telaah Kritis terhadap Epistemologi
Barat”, hlm. 65.
48
Perves Hoodbhoy, Ikhtiar Menegakkan Rasionalisme; Antara Sains dan Ortodoksi
Islam, terj. Sari Meutia, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 249-250.

Tadrîs. Volume 3. Nomor 2. 2008 139


Mohammad Kosim

berbeda dengan epistemologi ilmu di Barat yang hanya bertumpu pada


indra dan akal serta alam fisik.
Dalam sejarahnya, perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam
mengalami pasang surut. Suatu ketika mencapai puncak kejayaan, dan
di saat yang lain mengalami kemunduran. Era klasik (650-1250 M)
merupakan masa keemasan Islam yang ditandai dengan tingginya etos
keilmuan serta pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan di berbagai
bidang kehidupan. Setelah itu, perkembangan ilmu di kalangan umat
Islam menjadi redup dan ganti Barat yang berada dalam garda depan
dalam pengembangan ilmu.
Kemajuan ilmu di Barat memunculkan banyak ekses negatif seperti
sekularisme, materialisme, hedonisme, individualisme, konsumerisme,
rusaknya tatanan keluarga, pergaulan bebas, dan penyalahgunaan obat
terlarang. Wa Allâh A’lam bi al-Shawâb.*

140 Tadrîs. Volume 3. Nomor 2. 2008


CARA KERJA ILMU PENGETAHUAN DAN
SIKAP KRITIS TERHADAP INFORMASI DALAM AJARAN ISLAM

Oleh: Amir Syamsudin

Abstrak
Islam menganjurkan kepada para pemeluknya untuk bertindak adil. Salah
satu indikasi keadilan dalam tindakan ialah membuat keputusan berdasarkan
informasi yang benar dan akurat. Untuk mendapatkan akurasi informasi diperlukan
tindak penelitian. Penelitian merupakan poros sekaligus proses menyusun ilmu
pengetahuan yang muatan informasinya benar dan akurat. Sepanjang ilmu
pengetahuan itu diartikan sebagai cara yang rasional dan empiris untuk mempelajari
gejala alamiah yang terdapat pada diri manusia dan di luar diri manusia, maka tidak
ada satu pernyataan ayat maupun hadis pun yang menentang apalagi
mengharamkan aktivitas keilmuan. Realitas adalah segala sesuatu yang diciptakan
Tuhan, baik realitas kongkrit maupun realitas ghaib. Realitas kongkrit terdiri dari
benda-benda mati, tumbuhan, hewan, manusia, dan benda-benda angkasa. Realitas
ghaib meliputi setiap bentuk pewahyuan dari Tuhan kepada orang-orang yang
terpilih (Nabi/ Rasul), baik Nabi yang tercantum dalam kitab suci maupun tidak.
Realitas kongkrit dapat dibaca oleh pengalaman inderawi maupun akal budi,
sedangkan realitas ghaib hanya dapat dikenali oleh manusia setelah pengalaman
inderawi dan imajinasi akal budinya mencapai titik batas kemampuannya.

Kata Kunci: Cara kerja Ilmu Pengetahuan, Sikap Kritis, dan Ajaran Islam.

Pendahuluan
Tema Islam bersejajar dengan ilmu pengetahuan modern seolah-olah
berasumsi bahwa Islam berseberangan dengan ilmu pengetahuan. Makna
berseberangan tidak selalu berarti bertentangan. Islam sebagai sebuah agama
diwahyukan pada awal abad ke-7 Masehi, sedangkan ilmu pengetahuan modern
sebagai sebuah tafsir atas kenyataan alamiah baru muncul di penghujung abad ke-
16 Masehi. Tantangan zaman yang melatarbelakangi kemunculan keduanya sangat
jauh berbeda, meskipun secara historis yang disebut kedua merupakan kelanjutan
dari yang disebut pertama. Dengan demikian, jikapun ada pertentangan antara
keduanya, maka pertentangan tersebut terletak pada dan disebabkan oleh
perbedaan zaman antara keduanya.
Islam yang menyejarah dalam ruang-waktu semenjak awal abad 7 Masehi
sampai awal abad 21 Masehi ini mengalami perjalanan pasang-surut seperti
umumnya makhluk hidup. Para sejarawan mencatat pasang-surut tersebut ke dalam
tiga periode (Harun Nasution,1991:12-14).
Pertama yang mereka sebut dengan periode Klasik (650-1250). Ciri umum
zaman ini, secara politis/geografis wilayah kekuasaan Islam meluas ke Spanyol di
Barat serta daratan China di Timur, dan secara intelektual wacana keilmuan yang
bersumber dari penafsiran terhadap al-Qur’an dan Hadis maupun pembacaan
terhadap gejala alamiah mencapai klimaks.
Kedua, periode pertengahan (1250-1800). Ciri umum zaman ini, secara politis
terjadi disintegrasi dalam wilayah kekuasaan Islam dan secara intelektual mengalami
kemunduran: pena diganti senjata, otak diganti otot, buku menjadi barang mewah
dan pedang menjadi barang murah.
Ketiga, periode modern (1800-sekarang). Ciri umum zaman ini, secara politis
wilayah kekuasaan Islam dirampas dan dijajah oleh orang asing dan secara
intelektual terpesona oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
digunakan oleh orang asing yang menjadi tuan di rumahnya sendiri.
Umat Islam yang terpesona oleh ilmu pengetahuan modern tersebut menurut
Nasim Butt (1996:60-64) memberikan reaksi yang beragam. Tetapi, secara garis
besar ada tiga kelompok pemikiran muslim mengenai ilmu pengetahuan modern.
Pertama, sekelompok muslim yang menolak ilmu pengetahuan yang tidak
bersumber dari al-Qur’an dan Hadis. Bagi mereka hanya kedua sumber Islam itulah
yang layak dan sah sebagai sumber ilmu pengetahuan. Jikalau ada ilmu
pengetahuan yang bersumber dari selain al-Qur’an/Hadis seperti ilmu pengetahuan
modern, maka status ilmu pengetahuan tersebut fardu kifayah; hanya sebagian kecil
orang saja boleh mempelajarinya. Sedangkan ilmu pengetahuan yang harus
dipelajari oleh setiap orang muslim (fardu ‘ain), tua ataupun muda, pria maupun
wanita, ialah wacana keilmuan diseputar kedua sumber Islam tersebut.
Kedua, sekelompok muslim yang berpandangan bahwa ilmu pengetahuan
modern perlu di”islam”kan. Suka atau tidak-suka, ilmu pengetahuan modern lahir
dari rahim filsafat Yunani (6 Sebelum Masehi) yang dibesarkan oleh gerakan
Renaissance (16 M), Reformasi (17 M), dan Pencerahan (18 M) di Eropa Barat
(Sartono Kartodirdjo, 1986:36) yang dengan lugas/tegas menyatakan diri tidak
bersumber dari ajaran keesaan Tuhan (Tauhid). Islamisasi itu perlu karena landasan
filosofis ilmu pengetahuan modern tidak berporos pada ajaran Tauhid. Padahal
ajaran Tauhid tersebut merupakan tolok-ukur keabsahan perbuatan seorang muslim,
sekaligus juga menjadi titik pijak bagi setiap perbuatannya, termasuk dalam aktivitas
keilmuan. Oleh karena itu islamisasi merupakan solusi yang tidak bisa dihindarkan.
Ketiga, sekelompok muslim yang berasumsi bahwa ilmu pengetahuan modern
itu universal, bebas nilai, dan lintas-budaya sehingga ia dapat dicangkokkan pada
sistem keagamaan manapun, termasuk agama Islam. Tugas mendesak itu bukan
islamisasi ilmu pengetahuan modern, melainkan upaya keras merubah cara berfikir
yang semata-mata literal menjadi liberal sesuai dengan semangat ilmiah dari ilmu
pengetahuan modern. Al-Qur’an dan Hadis tidak lagi harus dibaca secara tektual
tetapi dapat dimengerti secara kontekstual. Ringkasnya ajaran Islam hanya akan
diterima oleh manusia modern, jika dan hanya jika ajaran tersebut cocok dengan
kosakata ilmu pengetahuan modern.
Dari gambaran ringkas di atas dapat dipetik beberapa butir pokok masalah
untuk didiskusikan dalam tulisan ini. Pertama, bagaimana Islam memandang
aktivitas keilmuan untuk mendapatkan pengetahuan, kedua apa itu pengetahuan,
ketiga dari mana pengetahuan itu berasal, keempat bagaimana jenis-jenis
pengetahuan yang mungkin diperoleh manusia, kelima bagaimana cara/metode
menyusun pengetahuan, dan keenam simpulan yang menegaskan tentang
pengetahuan sebagai produk sekaligus proses berfikir dalam perspektif norma Islam.

Aktivitas Keilmuan Menurut Islam


Keseluruhan ajaran Islam sebaiknya dipandang sebagai fakta historis yang
mesti dipahami menurut ukuran ruang-waktu dan batas kemampuan manusia dalam
memahaminya ketimbang sebagai peristiwa pewahyuan yang hanya terjadi dalam
kurun waktu 22 tahun masa kenabian Muhammad saw. (610-632 M) semata.
Penegasan sudut pandang ini penting untuk menghindari pandangan
dikotomis bahwa ajaran Islam lebih tinggi mutu informasinya dari ilmu pengetahuan
karena ia bersumber dari Tuhan. Sedangkan ilmu pengetahuan bersumber dari
realitas ruang-waktu yang dibaca oleh panca indera manusia.
Sepanjang ilmu pengetahuan itu diartikan sebagai cara yang rasional dan
empiris untuk mempelajari gejala alamiah yang terdapat pada diri manusia dan di
luar diri manusia (Nasim Butt, 1996:69), maka tidak ada satu pernyataan ayat
maupun hadis yang menentang apalagi mengharamkan aktivitas keilmuan. Bahkan
sebaliknya ajaran Islam mengajarkan sikap kritis pada setiap jenis informasi yang
dilihat, didengar, dihirup, diraba, maupun dirasa oleh manusia. Sebagai contoh QS.
Al-Hujurat (49) :6 yang isinya meminta kita supaya senantiasa berhati-hati dalam
menginternalisasi (mengunyah) setiap informasi. Kewaspadaan ini dituntut supaya
kita tidak berbuat zalim (anarki) karena percaya pada informasi yang salah dan
berkeputusan berdasarkan makna yang dikandungnya.
Dengan demikian ajaran Islam memberi teladan pada para pemeluknya untuk
memiliki sikap kritis terhadap dirinya sendiri maupun terhadap objek lain di luar
dirinya dan bersedia mempertanggungjawabkan semua pernyataan dan perbuatan
yang diciptakannya. Hal seperti ini merupakan semangat ilmiah yang tulen dan
sangat menjunjung tinggi nilai sportifitas dalam berkarya.
Semangat ilmiah yang ditawarkan ajaran Islam bukan semata-mata macan
kertas, tetapi ia diwujudkan dalam setiap ritual-keagamaan Islam. Ciri khas ajaran
Islam yang menekankan iman dan amal shaleh ini nampak jelas dalam poses
mendidik manusia supaya menjadi makhluk ilmiah. Sebagai ilustrasinya kita ambil
praktik ritual ibadah shalat.
Dalam setiap perbuatan shalat mesti membaca ummul kitab (QS. Al-Fatihah
(1): 1-7). Dari ketujuh ayat yang terkandung di dalamnya terdapat satu ayat yang
berisi permohonan kita kepada Allah supaya ditunjukkan pada jalan yang lurus. Yang
dimaksud dengan jalan lurus ialah jalan kebenaran. Untuk mencapai kebenaran
dipersyaratkan supaya kita mengurung keinginan subyektif dan egoisme kita sendiri
disamping diharuskan memperkuat kemauan untuk mendapatkannya. Permohonan
tersebut merupakan titik pijak perjuangan panjang manusia untuk melepaskan diri
dari kepentingan subyektifnya dan mengikatkan diri pada kebenaran objektif yang
ditemukannya. Perjuangan ini tidak akan sampai di tujuan kecuali Allah memberi
petunjuk ke arah jalan yang benar, karena Tuhanlah pemilik mutlak atas kebenaran,
sedangkan manusia hanya menangkap “percikan”nya saja (Nurcholis Madjid, 1995:
397). Ringkasnya, dalam ritual shalat terdapat proses pendidikan sepanjang hayat
manusia; yaitu mendidik manusia menjadi makhluk yang beramal ilmiah dan berilmu
amaliah.

Pengertian Pengetahuan
Cara mudah untuk memahami arti pengetahuan ialah dengan cara
membandingkan antara pengetahuan dengan keyakinan. Keduanya berbeda
meskipun mempunyai hubungan yang erat satu sama lain. Persamaan antara
keduanya terletak pada sama-sama persepsi orang tentang sesuatu objek.
Perbedaannya, kalau pengetahuan menyangkut persepsi orang tentang objek yang
dapat dibuktikan keberadaannya, sedangkan keyakinan berhubungan dengan
persepsi orang tentang objek sebelum dibuktikan keberadaannya atau setelah
proses pembuktian namun tidak ada satu faktapun yang mendukung akan
keberbadaan objek tersebut.
Sebagai ilustrasi, saya tahu ada orang yang masuk ke kamar saya ketika saya
di kampus. Pernyataan ini disebut pengetahuan apabila didukung oleh bukti-bukti,
misalnya kunci pintu kamar menjadi rusak, pakaian di lemari menjadi semerawut,
ada bekas pegangan tangan pada buku-buku, keysboard, dan CPU komputer,
sejumlah barang berharga hilang dari tempat penyimpanannya dan peristiwanya
terjadi antara pagi sampai siang hari. Namun apabila tidak ada satu buktipun yang
mendukung pernyataan di atas, maka pernyataan tersebut jatuh menjadi keyakinan.
Demikian pula kalau kita menuduh seseorang melakukan tindakan a-susila
tanpa didukung oleh bukti-bukti yang memperkuat tuduhan tersebut, maka tuduhan
itu bukan pengetahuan melainkan hanya keyakinan dan dalam istilah agama disebut
fitnah yang sifatnya lebih kejam dari pembunuhan. Ringkasnya setiap keyakinan
adalah pengetahuan sebaliknya tidak setiap pengetahuan adalah keyakinan karena
hanya keyakinan yang didukung oleh bukti-bukti sajalah yang disebut pengetahuan.
Pengetahuan selalu mengacu pada kenyataan dan bukan pada khayalan.
Pengetahuan hanya sah disebut pengetahuan apabila memenuhi dua syarat:
1. Pernyataan harus diambil dari dan cocok dengan kenyataan.
2. Orang yang membuat pernyataan harus sadar bahwa pernyataan yang dibuatnya
mengacu pada kenyataan.
Berdasarkan dua syarat sahnya pengetahuan di atas, maka pengetahuan bisa
beragam menurut polanya masing-masing (A. Sony Keraf & Mikhael Dua, 2001: 30-
42), setidaknya ada empat macam pola pengetahuan:
Pertama, “Tahu Bahwa”. Pengetahuan jenis ini mengacu pada akurasi
informasi. Saya tahu bahwa sejak saya kecil sampai sekarang dewasa, burung pipit
membangun sarangnya selalu dalam bentuk dan ukuran yang sama.
Kedua, “Tahu Bagaimana”. Pengetahuan semacam ini berhubungan dengan
cara mengoperasikan suatu alat atau menggunakan suatu keahlian. Kalau kita
diminta menjelaskan bagaimana cara mengoperasikan MS Word, kemudian
penjelasan itu menjadikan orang lain mampu melakukan hal yang sama dengan
penjelasan kita, maka kita berhak disebut memiliki pengetahuan teknis tentang MS
Word.
Ketiga, “Tahu Akan”. Pengetahuan model ini bertumpu pada pengenalan
pribadi terhadap objek yang ingin diketahuinya. Ciri umum pengetahuan ini (1) mutu
objektivitasnya sangat tinggi karena mengenali objek dari aspek lahir dan batinnya
secara langsung. Namun unsur subjektifnya pun cukup kuat, karena objek dilihat,
dirasakan, dan dikenali dalam kacamata sejarah pribadinya, seluruh cara
pandangnya, seluruh minatnya dan seluruh sikap batinnya; (2) Orang yang
mengenali objeknya secara langsung mampu memberi penilaian yang akurat
terhadap objek tersebut; dan (3) berkaitan dengan objek khusus, misalnya gejala
agama yang dikenal secara langsung dan bersifat personal.
Keempat, “Tahu Mengapa”. Pengetahuan ini bersesuaian dengan “Tahu
Bahwa” hanya saja lebih mendalam. Kalau yang disebut terakhir bersifat deskriptif
(pemaparan tentang objek), maka yang disebut pertama bersifat preskriptif
(penjelasan tentang objek). Dengan demikian “Tahu Mengapa” selalu ingin mencari
tahu apa yang dibalik informasi yang dipaparkan “Tahu Bahwa”.
Adapun sumber keempat pengetahuan tersebut di atas mengacu pada alat-
alat iderawi dan akal budi yang dimiliki manusia.

Sumber Pengetahuan
Sumber pengetahuan adalah asal-usul dari mana pengetahuan itu diperoleh.
Untuk memahami asal pengetahuan perlu di lihat dari dua aspek. Pertama dari
aspek manusia yang memproduksi pengetahuan dan kedua dari aspek realitas yang
menjadi bahan mentah pengetahuan.
Perdebatan antara kelompok orang yang menyatakan bahwa sumber
pengetahuan adalah pengalaman inderawi dengan kelompok orang yang meyakini
bahwa sumber pengetahuan adalah akal budi sudah berlangsung, lebih kurang,
2600 tahun lamanya (Harun Hadiwiyono, 1980: Jilid I & II). Masing-masing
kelompok bersikukuh dengan pandangan metafisiknya. Kelompok pertama dipelopori
oleh Aristoteles (384-322 SM), John Locke (1632-1704), dan David Hume (1711-
1776), sedangkan kelompok kedua disponsori oleh Plato (427-347 SM), Rene
Descartes (1596-1650), dan Leibniz (1646-1716).
Pergumulan intelektual tersebut disintesakan oleh Immanuel Kant (1724-
1804). Ia sependapat dengan kelompok Empirisis bahwa tanpa pengalaman inderawi
tidak mungkin lahir pengetahuan. Ia juga sependapat dengan kelompok Rasionalis
bahwa pengalaman inderawi semata, tanpa ditata oleh unsur apriori dari pikiran
manusia, yaitu kesadaran akan ruang-waktu dan hubungan sebab-akibat, maka
pengetahuan manusia tidak dapat dimengerti. Oleh karena itu, ia berkesimpulan
bahwa pengetahuan manusia terdiri dari campuran antara unsur akal budi dan unsur
pengalaman inderawi. Pengalaman inderawi sebagai objek material (bahan mentah)
pengetahuan, sedangkan akal budi sebagai objek formal (sudut pandang)
pengetahuan. Ringkasnya, sumber pengetahuan dari aspek manusia yang
memproduksi pengetahuan terdiri dari unsur pengalaman inderawi dan unsur akal
budi (A. Sony Keraf & Mikhael Dua, 2001: 43-64).
Realitas adalah segala sesuatu yang diciptakan Tuhan, baik realitas kongkrit
maupun realitas ghaib (al-Attas, 1995: 17-70 dan Daud, 1997). Realitas kongkrit
terdiri dari benda-benda mati, tumbuhan, hewan, manusia, dan benda-benda
angkasa. Realitas ghaib meliputi setiap bentuk pewahyuan dari Tuhan kepada orang-
orang yang terpilih (Nabi/Rasul), baik Nabi yang tercantum dalam kitab suci maupun
tidak. Realitas kongkrit dapat dibaca oleh pengalaman inderawi maupun akal budi,
sedangkan realitas ghaib hanya dapat dikenali oleh manusia setelah pengalaman
inderawi dan imajinasi akal budinya mencapai titik batas kemampuannya. Misalnya,
proses Nabi Ibrahim a.s. mencari Tuhan (QS. al-An’am (6): 74-83). Konon kabarnya
sang Nabi ini ingin menemukan Tuhan yang bersifat abadi; Tidak mengalami proses
perubahan dan terhindar dari kemusnahan. Pada saat malam sudah gelap, dia
melihat-lihat ke angkasa dan menemukan banyak benda angkasa yang gemerlapan.
Salah satu benda langit yang menarik perhatiannya adalah bintang. Setelah cukup
puas mengamati bintang, dia membuat keputusan “Inilah Tuhanku”; Ia lebih
cemerlang dibanding benda angkasa lainnya. Namun ketika Ibrahim terbangun
menjelang pagi, bintang itu lenyap dari pandangannya. Dia pun berkesimpulan
bahwa bintang itu bukan Tuhanku, karena aku sangat tidak suka pada sesuatu yang
hilang.
Keesokan harinya, ketika malam mulai gelap dan terbitlah bulan di ufuk
Timur, maka dia pun meneguhkan hatinya bahwa inilah “Tuhanku”; Ia lebih terang
cahayanya dan ukurannya lebih besar dibanding bintang. Tetapi lagi-lagi dia harus
kecewa karena pada saat terjaga dari tidurnya bulan itu sudah terbenam. Kemudian
dia pun berkeyakinan bahwa bulan itu bukan Tuhanku dan seandainya Tuhan yang
“asli” tidak memberi petunjuk, maka aku akan termasuk golongan orang-orang yang
sesat.
Demikianlah di saat Ibrahim kecewa berat terhadap dua benda langit yang
dianggapnya Tuhan tersebut, dia melihat matahari terbit dan dia pun bergembira
hati bahwa inilah “Tuhanku” yang sebenarnya; Ia lebih kemilau dan ukurannya lebih
besar dari dua “tuhanku” sebelumnya. Tetapi tatkala matahari terbenam di sore hari,
dia pun cepat-cepat mengoreksi keyakinan yang sudah dipancangkannya dan
menegaskan bahwa matahari itu bukan Tuhanku. Oleh karena itu, akhirnya Ibrahim
berikrar bahwa aku hanya akan tunduk patuh pada Tuhan yang menciptakan langit
dan bumi dengan cenderung pada agama yang benar dan aku bukanlah golongan
orang-orang yang menyekutukan Tuhan.
Dengan demikian manusia yang dibekali panca-indera dan akal budi dapat
membaca realitas kongkrit dan ketika pembacaan atas realitas kongkrit tersebut
mencapai titik puncak batas-batas kemampuannya, maka saat itulah terbuka pintu
untuk pembacaan terhadap sebagian dari realitas ghaib. Akal budi Ibrahim
menyatakan bahwa Tuhan itu idealnya terhindar dari sifat muncul-tenggelam dan
pengalaman inderawi Ibrahim pun memberikan bukti bahwa realitas kongkrit tidak
bisa lepas dari sifat lahir-musnah.
Realitas meta-inderawi merupakan jembatan penghubung antara kesenjangan
tuntutan akal budi dan bukti yang disodorkan pengalaman inderawi. Realitas meta-
inderawi dalam istilah agama disebut dengan realitas ghaib. Persoalan yang tersisa
adalah bagaimana cara mengetahui realitas kongkrit sebagai tangga untuk
mengenali realitas ghaib? Bagian berikut ini akan membicarakan cara menyusun
pengetahuan dari realitas kongkrit.

Cara Menyusun Ilmu Pengetahuan


Ilmu pengetahuan adalah sekumpulan pengetahuan yang disusun secara
sistematis sebagai jawaban atas permasalahan yang diteliti secara logis. Dari definisi
di atas ada tiga hal yang menjadi unsur kegiatan keilmuan, yaitu (1) perumusan
masalah, (2) proses penelitian atas masalah, dan (3) perumusan jawaban atas
masalah.
Cara menyusun ilmu pengetahuan harus beranjak dari permasalahan. Setiap
masalah perlu penjelasan. Setiap penjelasan selalu berdimensi ganda: Sebagai
solusi/jawaban atas masalah sekaligus sebagai titik tolak untuk bertanya. Setiap
pertanyaan mengandaikan beberapa dimensi, yaitu (1) tidak mengetahui sesuatu,
(2) memiliki keinginan kuat untuk mengetahuinya, dan (3) usaha untuk menemukan
kebenaran. Ringkasnya dalam menyusun ilmu pengetahuan, di awali dengan
pertanyaan/masalah, di akhiri dengan jawaban/solusi, dan dijembatani aktivitas
penelitian diantara keduanya. Adapun model aktivitas penalaran dalam penelitian
diantaranya abduksi, deduksi dan induksi.
Abduksi ialah suatu proses penyimpulan dari suatu kasus tertentu. Abduksi
terdiri dari tiga hal, yaitu (1) pernyataan tentang suatu hukum, (2) pernyataan
tentang suatu kasus, dan (3) pernyataan tentang kesimpulan (A. Sony Keraf &
Mikhael Dua, 2001:88-96). Contohnya “Shalat itu mencegah perbuatan keji”
(hukum), “shalatnya rajin tetapi korupsinya jalan terus” (kasus), maka jawaban atas
pertanyaan mengapa terjadi kesenjangan antara norma ideal dengan norma aktual,
dapat dijawab dengan beberapa kemungkinan, diantaranya atau (1) shalatnya tidak
khusyu’, atau (2) shalatnya untuk memenangkan Pemilu, atau (3) shalatnya untuk
memenuhi azas formalitas, atau (4) shalatnya sebagai keterampilan yang
dibiasakannya semenjak usia sekolah dasar, atau (5) shalatnya untuk mendapatkan
pahala sebanyak-banyaknya dengan biaya yang semurah-murahnya (kapitalisme
ibadah personal), atau (6) kemungkinan jawaban lainnya. Kelima jawaban di atas
merupakan pernyataan tentang kesimpulan. Abduksi berfungsi menawarkan suatu
dugaan yang dapat memberikan penjelasan terhadap fakta-fakta. Ciri-ciri abduksi
diantaranya (1) memberikan satu penjelasan yang mungkin, (2) memberi penjelasan
terhadap fakta-fakta lain yang belum dijelaskan atau bahkan tidak dapat diobservasi
secara langsung, (3) dugaan abduktif dibentuk oleh imajinasi, bukan oleh penalaran
kritis karena ia tidak muncul dari proses logis yang ketat, tetapi dari “kilatan
pengertian” di bawah penalaran kritis, (4) berusaha menangkap keaslian realitas,
dan (5) abduksi yang berhasil mempersyaratkan keterlibatan total dari imajinasi
yang bebas.
Deduksi ialah usaha untuk menyingkapkan konsekuensi-konsekuensi dari
penjelasan yang bersifat dugaan (A. Sony Keraf & Mikhael Dua, 2001:97-98).
Contohnya “orang yang sedang berpuasa memiliki ciri-ciri, diantaranya (1) mulutnya
kering, (2) nafasnya sedikit berbau, dan (3) mukanya agak pucat” (pernyataan
umum); Pak Soma sedang berpuasa (pernyataan khusus); Karenanya/seharusnya
Pak Soma memiliki ciri-ciri di atas (pernyataan konsekuensi). Tugas deduksi ialah
mengekplisitkan pernyataan yang implisit dengan cara mencocokkan dugaan
tersebut dengan kenyataan. Namun pencocokkannya tersebut hanya terjadi di atas
kertas karena sang peneliti harus mencari jawabannya sendiri dari realitas. Tugas
inilah yang dilakukan induksi.
Induksi ialah cara kerja menyusun ilmu pengetahuan yang berawal dari
sejumlah pernyataan kasuistik dan berakhir dengan menarik kesimpulan/pernyataan
umum (A. Sony Keraf & Mikhael Dua, 2001:99-117). Prinsip penyimpulan dari kasus
ke umum tersebut bertumpu pada aspek kesamaan, keterkaitan, dan keajegan
peristiwa faktual tersebut. Ciri umum dari induksi adalah bahwa pernyataan induktif
selalu tidak lengkap. Misalnya,
Ahmad yang rajin shalat selalu bertindak jujur (kasus 1).
Budi yang suka puasa Senin-Kamis senantiasa bertindak jujur (kasus 2).
Rais yang suka pergi haji tiap tahun kerap bertindak jujur (kasus 3).
Hamid yang suka zakat acapkali bertindak jujur (kasus 4).
Alex yang suka menolong orang susah terbiasa bertindak jujur (kasus 5).
Kesimpulannya bahwa orang yang taat beragama akan dapat dipercaya.

Kesimpulan yang merupakan dugaan ini, kalau ternyata kemudian terbukti


benar, muatan informasinya bersifat terbatas dan tidak pernah lengkap karena
hanya menyangkut beberapa fakta saja, yang diasumsikan mencakup seluruh fakta
lain yang sejenis. Demikian pula kebenarannya bersifat sementara karena bisa saja
ada fakta lain yang menyangkal isi kesimpulan di atas.
Adapun langkah-langkah penalaran induktif terdiri dari (1) situasi masalah,
(2) pengajuan dugaan, (3) penelitian lapangan, dan (4) pengujian dugaan.
Pertama, situasi masalah. Maksudnya ada masalah tertentu yang sulit dijawab oleh
kumpulan pengetahuan yang dimiliki sehingga mendorong orang untuk melakukan
penelitian guna mencari jawaban atas masalah tersebut. Kedua, pengajuan dugaan.
Artinya “dugaan sementara” dibuat berdasarkan akal sehat, dugaan murni,
spekulasi, imajinasi, maupun asumsi tertentu yang diinspirasi oleh pengetahuan
yang dimiliki, bahkan kalau dianggap perlu melakukan studi kepustakaan secara
intensif. Ketiga, penelitian lapangan untuk mengamati dan mengumpulkan fakta
sebanyak mungkin yang dibimbing oleh dugaan tersebut. Dugaan ini berfungsi
sebagai alat bantu penelitian yang tujuannya untuk menjawab masalah tersebut
berdasarkan dugaan yang diajukan. Keempat, pengujian dugaan. Dalam langkah
terakhir ini “dugaan sementara” di uji berdasarkan fakta yang sudah terkumpul.
Kalau dugaan sementara tersebut didukung oleh fakta terkumpul, maka dugaan
tersebut berubah statusnya menjadi “teori”, tetapi kalau terjadi sebaliknya, maka
dugaan tersebut gugur dan harus dibuat dugaan lain sebagai gantinya. Jika dugaan
tersebut di dukung oleh fakta, maka kebenaran isi fakta tersebut harus diuji dengan
cara menurunkan perkiraan/konsekuensi dari teori baru tersebut di periode waktu
yang akan datang. Apabila perkiraan-perkiraan tersebut didukung oleh fakta-fakta
yang terkini ditemukan, maka semakin kokohlah teori baru tersebut. Tetapi apabila
teori baru tersebut disangkal oleh fakta-fakta aktual, maka teori baru itu harus
diteliti ulang, dan demikianlah seterusnya sampai usia peniliti itu habis ditelan
zaman.

Simpulan
Islam menganjurkan kepada para pemeluknya untuk bertindak adil. Salah
satu indikasi keadilan dalam tindakan ialah membuat keputusan berdasarkan
informasi yang benar dan akurat. Untuk mendapatkan akurasi informasi diperlukan
tindak penelitian. Penelitian merupakan poros sekaligus proses menyusun ilmu
pengetahuan yang muatan informasinya benar dan akurat. Ringkasnya, secara
doktrinal, Islam tidak bertentangan dengan cara kerja ilmu pengetahuan.
Demikian pula sumber pengetahuan menurut ajaran Islam tidak tercerai berai
menjadi akal budi lawan pengalaman inderawi, atau kenyataan kongkrit berlawanan
dengan kenyataan ghaib, karena baik akal budi/pengalaman inderawi maupun
kenyataan kongkrit/kenyataan ghaib, keduanya merupakan sumber pengetahuan
yang sah sekaligus bagian terkecil dari keseluruhan ciptaan Tuhan.
Cara menyusun ilmu pengetahuan sepenuhnya hasil “ijtihad”/daya kreasi
manusia. Islam hanya berkepentingan dengan perilaku etis manusia ketika mereka
mau menggunakan hasil ijtihad mereka tersebut. Al-Qur’an menyatakan “telah jelas
dan beda antara jalan lurus dengan jalan sesat”, dan manusia dihalalkan untuk
memilah dan memilih; Apakah ilmu pengetahuan yang dimilikinya akan digunakan
untuk memakmurkan bumi atau menghancurkannya; Apakah aktivitas penelitian
yang dilakukannya ditujukan untuk memberikan kesejahteraan pada sebanyak
mungkin manusia atau justeru untuk menyengsarakannya. Nestapa manusia berawal
dari kebodohannya dan berakhir dengan menyalahgunakan kepintarannya.
Bahan Acuan

Alouis Sonny Keraf & Mikhael Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan
Filosofis. Yogyakarta: Kanisius.

DEPAG RI. 1992. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: PT Inti Tanjung Mas.

Harun Hadiwijono. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat I & II. Yogyakarta: Kanisius.

Harun Nasution. 1991. Pembaharuan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Nasim Butt. 1996. Sains dan Masyarakat Islam, terj. Masdar Hilmy. Bandung:
Pustaka Hidayah.

Nurcholis Madjid. “Shalat” dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.). 1995.


Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina.

Sartono Kartodirdjo. 1986. Ungkapan-ungkapan Filsafat Sejarah Barat & Timur:


Penjelasan Berdasarkan Kesadaran Sejarah, terj. M. Pusposaputro. Jakarta:
Gramedia.

Syed Muhammad Naquib al-Attas. 1995. Islam dan Filsafat Sains, terj. Saeful
Muzani. Bandung: Mizan.

Wan Mohammad Nor Wan Daud. 1997. Konsep Pengetahuan dalam Islam, terj.
Munir. Bandung: Pustaka.

Biodata Penulis

Amir Syamsudin lahir di Ciamis, Jawa Barat. Ia menempuh pendidikan


dasar sampai menengah di Pondok Pesantren Darussalam, Ciamis – Jawa Barat.
Kemudian pada 1991, ia hijrah ke Yogyakarta untuk menimba ilmu agama pada IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta. Maret 1997 menyelesaikan jenjang S-1 dalam bidang
kajian Aqidah dan Filsafat dan Agustus 1999 menyelesaikan jenjang S-2 dalam
program studi Agama dan Filsafat, Konsentrasi Filsafat Islam. Karya tulis yang
pernah dibuat antara lain: Hubungan Subyek-Obyek menurut Cornelis Anthonie van
Peursen dalam buku Strategi Kebudayaan yang diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
sebagai skripsi dan Teori Pengetahuan Ibn Thufayl & Rene Descartes: Perbandingan
tentang Teori Kebenaran yang diajukan kepada Program Pascasarjana IAIN Sunan
Kalijaga sebagai thesis. Mulai tanggal 21 Juli 2008 mendapatkan kesempatan tugas
belajar dari Departemen Agama RI pada Program Studi Penelitian dan Evaluasi
Pendidikan Stratum 3 (PEP S-3) Universitas Negeri Yogyakarta sampai dengan
Agustus 2011. Ia mulai bekerja sebagai staf pengajar Mata Kuliah Pengembangan
Kepribadian (MPK)-Pendidikan Agama Islam pada Universitas Negeri Yogyakarta
sejak Agustus 1999 sampai sekarang.
JURNAL PEMIKIRAN ISLAM Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2022
https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/jpi Halaman: 222-232

PERAN DAN KONTRIBUSI ISLAM DALAM DUNIA ILMU PENGETAHUAN

Abid Nurhuda
Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Surakarta
email: abidnurhuda123@gmail.com

Abstract
This article aims to describe the role and contribution of Islam in science and its impacts.
The method used is descriptive-qualitative with a literature study approach. The results of
the study show that the role and contribution of Islam in science and its impact on life are
the naqliyyah sciences, where Aqidah is the paradigm, sharia is the standard for its use, and
morality is the ethics. The aqliyyah sciences cover medicine, mathematics, science
(Physics, Astronomy, and Chemistry), and social sciences (Economics, Geography, and
Psychology). In addition, Islam also contributed to translating works into Latin, providing
concepts and methodologies to the West, introducing notation and decimal numbers, using
works in college, helping to stimulate European thinking, pioneering universities in Europe,
maintaining Greco-Persian, spreading new teachings in Europe, and teaching knowledge
about hospitals.
Keyword: Contribution of Islam, Science, Life

Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan terkait Peran Dan Kontribusi Islam Dalam
Ilmu Pengetahuan Beserta Dampaknya. Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif
dengan pendekatan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran dan
kontribusi islam dalam ilmu pengetahuan beserta dampaknya terhadap kehidupan antara
lain dalam ilmu-ilmu naqliyyah dimana Aqidah menjadi paradigmanya, syariah standar
pemanfaatannya dan akhlak sebagai etikanya. Adapun dalam ilmu-ilmu aqliyyah
mencakup ilmu kedokteran, matematika, sains (Fisika, Astronomi dan Kimia) hingga ilmu
sosial (Ekonomi, Geografi dan Psikologi). Selain itu islam juga berkontribusi dalam
penerjemahan karya kepada bahasa latin, pemberian konsep dan metodologi kepada barat,
pengenalan notasi dan angka desimal, penggunaan karya di bangku kuliah, membantu
merangsang pemikiran orang Eropa, merintis universitas-universitas di Eropa, pemelihara
Greco-Persian, menyebarkan ajaran baru di Eropa dan mengajarkan pengetahuan tentang
rumah sakit.
Kata Kunci: Kontribusi Islam, Ilmu Pengetahuan, Kehidupan

222
JURNAL PEMIKIRAN ISLAM Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2022
https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/jpi Halaman: 222-232

A. Pendahuluan
Islam salah satu agama universal dengan jumlah penganut terbesar dan tersebar di
seluruh belahan dunia, termasuk di Indonesia. Menurut laporan The Royal Islamic Strategic
Studies Center (RISSC), bahwa populasi umat Islam saat ini mencapai 237.56 juta jiwa,
sehingga telah menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim
terbesar di dunia pada tahun 2022 (Rizaty, 2022). Keberadaan umat Islam di Indonesia
tidak terlepas dari usaha yang dilakukan oleh para saudagar Arab ke bumi Nusantara sejak
abad ke VII M (Azra, 1994). Pada awal kemunculannya, Islam dibawa oleh Rasul,
diteruskan oleh khalifah, diperjuangkan bersama sahabat serta para penerus-penerusnya
dalam menghadapi berbagai rintangan, ancaman, kesulitan baik dari luar maupun dalam
yang patut diteladani sehingga Islam bisa bertahan sampai saat ini. Maka hal ini menjadi
salah satu bukti bahwa Islam merupakan agama terakhir yang dipilih oleh Allah sebagai
rahmat bagi alam semesta (Gunawan, 2019).
Sebagai sebuah agama, Islam juga sangat menghargai ilmu pengetahuan. Hal
tersebut dicantumkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, salah satunya ialah ayat yang
pertama kali diturunkan, yakni surat Al-‘Alaq (96) ayat 1-5 yang mana berisi perintah
membaca dan menulis dalam arti seluas-luasnya. Membaca secara harfiah berarti
mengumpulkan informasi yang dapat dilakukan dengan cara membaca tulisan, melalukan
observasi, bertanya, melakukan, menganalisa, menyimpulkan dan menguji coba.
Sementara menulis bisa dilakukan mulai dengan penggunaan tinta hingga laptop/komputer
di masa sekarang. Dalam perkembangannya kemudian, usaha terus menerus yang
dilakukan umat Islam telah mencapai keberhasilan yang tinggi dalam pengembangan ilmu
pengetahuan di segala bidang serta melahirkan sejumlah besar figur intelektual
berkapasitas yang keilmuannya diakui secara universal di seluruh dunia, mulai dari Al-
Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, Ibn Rusyd, Al-Khawarizmi, hingga Ibn Khaldun,
(Daudy, 1985; Mulyadi Kartanegara, 2006).
Hal tersebut juga didukung dengan adanya penghargaan yang besar dari Al-Qur'an
dan juga masyarakat terhadap mereka yang mengembangkan pengetahuannya. Dan Surat
A1-Mujadilah ayat 11 sering kali dijadikan acuan untuk membenarkan pendapat ini. Bahwa
Allah akan meninggikan beberapa derajat orang-orang yang beriman dan berilmu

223
JURNAL PEMIKIRAN ISLAM Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2022
https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/jpi Halaman: 222-232

pengetahuan. Adapun penghargaan serta apresiasi dari masyarakat terhadap pekerjaan


ilmuwan sudah dilakukan sebelum masehi, seperti penghargaan masyarakat Yunani kepada
Socrates, Plato, Aristoteles, serta kepada para filsuf lainnya (Bertens, 1998). Menurut Ali
bin Abi Thalib bahwa tinta dari pena ilmuwan lebih utama dari pada darahnya syuhada,
karena bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. dan wibawa negaranya (Anwar,
1994). Dari latar belakang inilah penulis tertarik untuk membahas peran dan kontribusi
Islam bagi dunia ilmu pengetahuan serta dampaknya terhadap kehidupan manusia.

B. Metode
Pendekatan metode yang dipilih dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang
sifatnya deskriptif. Dalam penelitian ini peneliti mengumpulkan data-data yang bersumber
dari perpustakaan, berupa buku-buku, karya akhir ilmiah mahasiswa, majalah, jurnal, serta
data-data lain yang mendukung hasil penelitian. Data-data yang diperoleh dari sumber-
sumber perpustakaan kemudian dibagi ke dalam beberapa tahapan seperti: mereduksi data
(data reduction), menyajikan data (data display), dan penarikan kesimpulan (conclusion
drawing) (Matthew B. Miles and A. Michael Huberman, 1992). Data-data yang telah pilih
dan dipilah tersebut, kemudian dijadikan sebagai data yang disajikan dalam hasil penelitian.

C. Hasil dan Pembahasan


1. Makna Peran dan Kontribusi
Peran bisa dimaknai sebagai sesuatu yang diharapkan dapat dimiliki oleh seseorang
dalam masyarakat. Peran bisa berupa proses memahami perilaku yang diharapkan dan
dikaitkan dengan kedudukan seseorang. Peran sering juga diartikan dengan aspek yang
dinamis dari status seseorang. Menurut Edi Suharto, Peran lebih menunjukkan pada fungsi
penyesuaian diri dan sebagai sebuah proses yang mencakup tiga hal, antara lain: (1) norma-
norma atau aturan-aturan, (2) suatu yang dilakukan pada masyarakat, (3) perilaku penting
bagi struktur sosial masyarakat (Edi Suharto, 2006). Peran dengan demikian bisa dikatakan
sebagai posisi, status, dan kedudukan yang berfungsi menyesuaikan diri pada sebuah proses
sehingga berkaitan erat dengan norma yang dilakukan ataupun perilaku penting yang
berpengaruh dalam masyarakat.

224
JURNAL PEMIKIRAN ISLAM Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2022
https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/jpi Halaman: 222-232

Adapun makna kontribusi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dapat
berupa uang iuran dan juga bisa berarti sumbangan. Sementara dalam arti lebih luas,
kontribusi merupakan sokongan lebih mendalam sebagai bantuan yang dikeluarkan oleh
individu atau kelompok. Dengan demikian kontribusi sendiri adalah tidak terbatas pada
bantuan pemikiran, bantuan tenaga dan dalam bentuk lain namun segala macam bentuk
bantuan kiranya dapat membantu suksesnya kegiatan yang telah direncanakan sebelumnya
untuk mencapai tujuan yang telah dicanangkan sehingga bisa dikategorikan pada 2 hal
yakni kontribusi langsung dan tidak langsung (Komaruddin, 2002).
Dalam dunia Islam peran dan kontribusi para ilmu sangatlah besar bagi kemajuan
peradaban umat manusia pada abad pertengahan, peran dan kontribusi tersebut secara terus
menerus diberikan tanpa batas hingga saat ini baik secara langsung ataupun tidak langsung.
2. Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Perkembangan dan Kemajuan Ilmu Pengetahuan telah dibuktikan pada dunia
modern sehingga menjadi fakta sejarah yang tak bisa dibantah, selain itu banyak pula yang
berpendapat bahwa di saat dunia Barat dilanda dark ages (masa kegelapan), Islam muncul
dengan membawa ilmu pengetahuan, lalu ditransmisikan ke dunia Barat sehingga terjadi
perubahan menuju zaman enlightenment di Eropa (Hidayat, 2012) .
Menurut Syafri Gunawan, bahwa orang barat mendapat akses melalui dunia Islam
untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dimana mereka tidak
sepenuhnya merujuk kepada sumber-sumber Yunani tapi juga merujuk kepada sumber-
sumber Arab (Gunawan, 2019). Selain itu Islam juga mampu hadir untuk mengubah
kerasnya peradaban Jahiliyah di Jazirah Arab sehingga secara historis Islam sebenarnya
sudah banyak memainkan peran yang signifikan dalam perkembangan ilmu pengetahuan
melalui metode yang berbeda dengan metode dalam dunia barat. Dalam catatan sejarah,
beberapa aspek peradaban dunia mulai dari masa kenabian sampai dengan wafatnya
Rasulullah saw, ekspansi demi ekspansi secara terus menerus dilakukan oleh umat Islam,
dan misi dari ekspansi tidak semata-mata untuk mengambil keuntungan secara material
dari negara yang menjadi tujuan ekspansi, tetapi lebih kepada untuk mewujudkan keadilan,
membangun dan memajukan peradaban sehingga Islam sangat toleran terhadap budaya dan
corak pemikiran suatu negara (M. Thoha, 2012).

225
JURNAL PEMIKIRAN ISLAM Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2022
https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/jpi Halaman: 222-232

Ada sebagian ilmuwan berpendapat bahwa ilmu-ilmu saintek harus difilter terlebih
dahulu sebelum dikembangkan lebih lanjut oleh para ilmuwan muslim lain secara kreatif.
Namun ada pula sebagian ilmuwan yang mengatakan bahwa teknologi dan sains bebas
diambil dari mana saja. Hal tersebut didasarkan pada asumsi bahwa saintek akan
bermasalah jika disandarkan pada luar Islam karena berhubungan dengan 3 hal dasar dalam
filsafat yakni ontologi (mengapa penelitian dilakukan), epistemologi (membahas tata cara
penelitian itu bisa dilakukan), dan aksiologi (sejauh mana hasil penelitian bisa digunakan).
Para peneliti sebenarnya mengedepankan kebutuhan yang berhubungan dengan tujuan
syariah, selain itu ada pula penelitian yang terinspirasi dari ayat al-Quran dan ada pula yang
dapat dikaji lebih lanjut secara saintek ilmiah.
Salah seorang ilmuan Islam paling terkenal adalah Al-Khawarizmi, beliau telah
berhasil mengembangkan aljabar dengan tujuan untuk membantu memudahkan manusia
khususnya umat Islam dalam membagi hak waris secara akurat. Adapun ditemukan
banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang memberikan inspirasi tentang penelitian dalam
bidang saintek, salah satunya pada surah Al Insan: 17, yang artinya “Di surga itu mereka
diberi segelas minum yang campurannya adalah jahe. Hal tersebut tentu menimbulkan
keraguan sehingga para ilmuwan muslim melakukan riset terhadap kandungan: serta
manfaat jahe memiliki beberapa manfaat antara lain sebagai anti oksidan, meredakan
nyeri dan lain-lain. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa Islam sangatlah
berkesinambungan dengan perkembangan saintek pada masa kini (Hasan, 2000).
Menurut Mulyadi Kartanegara, ada tiga faktor yang mendorong Islam ikut serta
dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan tradisi ilmiah, antara lain: (1) faktor agama
yang harapannya dengan hal tersebut bisa menggali dan menghimpun informasi tentang
perkembangan ilmu-ilmu sains, (2) apresiasi masyarakat terhadap ilmu, yang diharapkan
bisa menggali dan menghimpun informasi tentang perkembangan humaniora, dan (3)
patronase perlindungan dan dukungan] para dermawan dan penguasa terhadap kegiatan
ilmiah yang harapannya bisa berbagai informasi terkait dengan perkembangan seni
(Mulyadi Kartanegara, 2006).
3. Kontribusi Islam dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan

226
JURNAL PEMIKIRAN ISLAM Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2022
https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/jpi Halaman: 222-232

Montgomerry Watt menyatakan bahwa Islam bersikap terbuka dalam


perkembangannya sehingga proses asimilasi kebudayaan dapat berlangsung baik. Hal ini
terlihat ketika peradaban Arab dipadukan dengan peradaban Romawi, Persia ataupun
Yunani yang dilandasi spirit keislaman, maka bisa menghasilkan peradaban baru yang
wajah dan nilainya memancarkan keislaman serta belum pernah terlihat sebelumnya. Selain
itu apresiasi Islam terhadap kebebasan akal telah memberikan ruang untuk melakukan kerja
ilmiah yang begitu besar dimana aktivitas intelektual umat Islam tidak dimonopoli oleh
mereka saja setelah masa khalifah, namun dibuka seluas-luasnya sebagai bentuk kontribusi
konkret dalam perkembangan peradaban umat manusia berikutnya (Adz Dzikri & Solehah,
2022).
Peradaban Islam memiliki warnanya sendiri meskipun tidak membuat tembok tebal
antara Islam dengan non-Islam karena pada dasarnya umat Islam ingin mencoba hal-hal
baru dengan cara mempelajari ilmu pengetahuan secara universal, peradaban, dan juga
kearifan (al-hikmah) yang ada di negeri-negeri selain daratan Arabia, sehingga mereka
tidak memandang sumber dan asal ilmu yang mereka dapatkan. Pada akhirnya Islam
berkembang dan menjadi harapan serta menjadi kontributor penting dari kemajuan
peradaban dunia saat ini dimana keragaman ilmu dan keragaman sosio-kultural bersumber
pada agama (naqliyyah) dan akal (aqliyyah) (Dakir, 2017). Kontribusi dan bentuk
keragaman kedua ilmu (naqliyyah dan aqliyyah) dapat di lihat berikut ini:
a. Kontribusi dalam Ilmu-Ilmu naqliyyah
Konsep ilmu naqliyyah merupakan kesatuan ilmu yang digunakan serta dibangun
para filsuf muslim melalui nilai Ilahiyah dan pendekatan nalar spiritual dalam bidang
Aqidah, syariah, dan akhlak. Uraian ketiga hal tersebut dapat di lihat berikut ini:
Aqidah, akan mempersatukan umat manusia yang terpecah-pecah ke dalam
beberapa etnis, golongan, bahasa, ras dan suku bangsa dimana maksud dan tujuan kajian
Aqidah adalah mentauhidkan Allah Swt sebagai satu satunya penguasa alam semesta. Oleh
karena itu, Aqidah Islam ini menjadi paradigma yang berasaskan kalimat Laa ilaaha
illallah Muhammad Rasulullah harus berperan sebagai pondasi sekaligus standar dari ilmu-
ilmu pengetahuan. Hal itu dibuktikan dengan peristiwa gerhana matahari di masa nabi yang
berbarengan dengan wafatnya putra beliau (Ibrahim) sehingga orang-orang Arab mengira

227
JURNAL PEMIKIRAN ISLAM Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2022
https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/jpi Halaman: 222-232

gerhana matahari tersebut disebabkan karena kematian atau kelahiran seseorang, namun
hal tersebut merupakan tanda kekuasaan Allah dan menjadi pengingat bagi hamba-hamba-
Nya (Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani, 2018). Selain itu, paradigma inilah yang mencetak
para cendekiawan muslim sehingga muncullah beberapa karya terkenal yang berkaitan
dengan Aqidah antara lain: Usulu Tsaltsah, Aqidah Wasitiyyah, Qowaidul Arba’, Kaysfu
Syubhat hingga Ilmu Kalam.
Syariah merupakan obyek kajian studi Islam yang sangat penting karena menempati
urutan kedua setelah Aqidah dalam semua referensi kajian Islam. Syariah meliputi seluruh
aspek kehidupan manusia secara langsung (directly) atau secara tidak langsung (explicitly)
baik ibadah dan muamalah. Maka Syariah di sini bisa menjadi tolak ukur pemanfaatan ilmu
pengetahuan hingga terlihat ketentuan halal-haram mau bagaimana pun juga bentuknya
(Abbas, 2011). Sekaligus dengan standar tersebut muncul beberapa cabang ilmu antara lain:
Fiqih, usul fiqh, Tafsir, Ilmu Alquran hingga hadist. Kontras dengan hal ini, muncul
beberapa karya seperti kitab tafsir Assa’di, kutubusittah hingga syarah almumti’.
Akhlak merupakan kebiasaan-kebiasaan serta adat yang sering dilakukan. Biasanya
akhlak ini merupakan buah dan hasil dari pelaksanaan syariat. Ruang lingkup akhlak
menurut Zainuddin (2013) mencakup akhlak kepada sang pencipta, akhlak kepada sesama
manusia, akhlak kepada diri sendiri dan akhlak terhadap alam semesta. Sementara itu
tatanan akhlak tidak hanya terbatas pada penyusunan hubungan antara manusia dengan
manusia namun mengatur hubungan manusia dengan segala yang terdapat dalam wujud
dan kehidupan, dan hubungannya dengan Allah Swt (Sahnan, 2019). Saking luasnya
cakupan tersebut maka para ulama telah membuat beberapa karya antara lain: Ta’limul
mutaalim, Attibyan fi adabi hamaltil qur’an hingga Akhlaq Al-Qur’an.
b. Kontribusi dalam Ilmu-Ilmu ‘aqliyyah
Salah satu aspek penting pada kejayaan Islam ialah kecenderungan, aktivitas serta
keberhasilan intelektual yang tinggi pada segala bidang oleh para ilmuan muslim. Perhatian
dan perkembangan yang terus menerus dilakukan telah melahirkan sejumlah besar figur
intelektual yang kapasitas dan manfaat keilmuannya diakui di seluruh dunia secara
universal.

228
JURNAL PEMIKIRAN ISLAM Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2022
https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/jpi Halaman: 222-232

Beberapa ilmu yang ditemukan oleh cendekiawan muslim, antara lain: Ilmu
Kedokteran, ilmu ini mulai mendapat perhatian ketika Khalifah Al-Mansur sakit sehingga
memanggil Khalid Ibn Barmak (seorang Persia) ke Istana untuk mengobati beliau. Dan
menjadikannya dokter tetap istana. Ilmu kedokteran pada masa ini masih berkaitan dengan
filsafat sehingga ikut berkembang juga. Diantara ilmuan yang terkenal antara lain Ibn Sina,
Al- Razi, Al-Kindi, dan Al-Zahrawi. Berikut kemajuan yang telah dicapai pada bagian
kesehatan antara lain: (a) Farmasi yang berkaitan dengan mutu dan dosis obat-obatan.
Uraian obat-obatan dimuat dalam kitab-kitab yang terkenal seperti Al-Hawi (oleh Ar-Razi,
830 jenis), Qanun (oleh Ibn Sina, 760 jenis), Al-Kindi dan Al-Zahrawi. (b) Anestetik:
pembiusan total untuk pembedahan (besar) dengan menggunakan campuran candu,
mandrake, zoari, hyocyamus dan diberikan melalui suntikan. (c) Operasi: kitab Al-Tasrif
yang ditulis oleh Al-Zahrawi menggambarkan kurang lebih 200 jenis alat dalam bidang
operasi serta menjadi rujukan pertama di masanya. (d) Opthalmologi: Istilah-istilah seperti
retina, katarak dan lain-lain serta teori baru tentang penglihatan pada lensa mata yang
difokuskan ke retina. (e) Anatomi: menyelidiki struktur bentuk dari tubuh manusia. (f)
Ortopedik: uraian tentang patah tulang dan terkilir disertai dengan teknik untuk
membetulkan kembali tulang yang terkilir dari sendinya. (g) Rumah sakit: banyak
ditemukan bangunan rumah sakit pada zaman perkembangan ilmu (abad ke 9–11M), di
negara Islam dari Maroko.
Selain ilmu kedokteran, Matematika menjadi salah satu bidang ilmu yang sangat
penting bagi dunia Islam, ilmu ini tidak terlepas dari peran besar para ilmuan Islam, seperti
Yahya Al-Barmaki dan Uma bin Al-Farukhan yang diundang langsung oleh Sultan Al-
Ma’mun untuk bekerja di istana.
Selain Yahya Al-Barmaki dan Uma bin Al-Farukhan, Al-Khawarizmi, termasuk
ilmuan yang menemukan struktur angka lebih praktis dari struktur angka yang diciptakan
oleh orang-orang Romawi. Salah satu struktur angka adalah angka Nol, sebagai simbol
bersistem yang berperan karena dengan 0 kita dapat menghitung puluhan, ratusan, ribuan
dan seterusnya. Penemu lain adalah Al-Hasan Abu Kamal, beliau dikenal sebagai penemu
angka pecahan atau yang disebut pecahan bilangan desimal.

229
JURNAL PEMIKIRAN ISLAM Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2022
https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/jpi Halaman: 222-232

Dalam bidang Ilmu Sains, Teknologi dan Sosial, kontribusi ilmuan muslim tidak
kalah penting dari ilmuan Barat, mereka terdiri dari Ibnu Khaldun (ahli sejarah, ekonomi
dan sosiologi) dari Tunisia, Ibnu Khawarizmi (ahli matematika, astronomi, geografi dan
astrologi) dari Kufah, Ibnu Batutah (ahli geografi dan Alim) dari Maroko, Al-Biruni (ahli
Fisika, Astronom, Filsuf ) dari Khiva, Al-Battani (ahli Astronomi, matematikawan dan
penemu trigonometri) dari Arab, Jabir bin Hayyan (ahli Kimia dan Fisika) dari Yaman,
Ibnu Al-Baithar (Apoteker dan Pengumpul racikan tumbuhan) dari Malaga, Abbas Al-
Nabati (ahli Biologi dan Farmasi) dari Andalusia, Ibnu Rusyd (ahli sastra, Dokter,
Astronomi) dari Andalusia, Al-Khawarismi (ahli Matematika, Ahli astronomi dan
geografi) dari Kufah, Al- Kindi (Filsuf Islam Pertama), Al-Farabi (Filsuf Islam) dari
Kazakhastan, Al-Biruni (Penulis, Astronomi, Fisikawan) dari Persia, Al-Ghazali (Psikolog,
Ahli Sufi dan Teologi) dari Persia, serta para ilmuan lain yang hidup pada era kontemporer
saat ini yang tidak mungkin disebut satu per satu, dan mereka telah memberikan
sumbangsih pemikiran dalam dunia Islam dan pada dunia Barat (Mehdi Nakosteen, 1996).
Dari paparan di atas bisa dikatakan bahwa ilmu-ilmu naqliyyah yang sumber
ajarannya pada agama tidak mengabaikan realitas saat ini yaitu perkembangan Ilmu
Pengetahuan yang bersandar pada akal (Ilmu-Ilmu Aqliyyah) sebab hal tersebut merupakan
konteks atau wajah dari manusia dunia modern. Merefleksikan hal tersebut maka
paradigma Aqidah, standar pemanfaatan syariah serta etika moral dan akhlak dapat
membantu manusia untuk melihat kualitas Ilmu pengetahuan yang bukan hanya diukur dari
nilai-nilai pragmatis instrumental demi kesejahteraan ekonomis dan sosial, melainkan juga
dari nilai-nilai kemanusiaan secara utuh sehingga bisa mencermati dampak negatif bagi
kehidupan manusia (Suryanti, 2010).
4. Dampak dalam ilmu pengetahuan
Integrasinya ilmu-ilmu naqliyyah dan aqliyyah telah memberikan dampak dan
pengaruh yang cukup signifikan terhadap dunia Islam, antara lain:
1) Terjadinya keseimbangan antara pemahaman ilmu agama dan dunia oleh kaum
muslimin.
2) Mendapatkan status yang tinggi dan terhormat bagi orang Islam yang menguasai
ilmu tersebut.

230
JURNAL PEMIKIRAN ISLAM Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2022
https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/jpi Halaman: 222-232

3) Munculnya sikap toleran kaum muslim terhadap pemikiran orang luar.


4) Munculnya program islamisasi ilmu pengetahuan khususnya di Indonesia
5) Pendirian lembaga pendidikan Islam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan
peningkatan kualitas SDM.
6) Didirikan berbagai asosiasi, diantaranya Forum Islam International dan selainnya
(H.B. Jumin, 2012).
D. Kesimpulan
Peran dan kontribusi Islam dalam ilmu pengetahuan beserta dampaknya terhadap
ilmu-ilmu naqliyyah dengan Aqidah sebagai paradigmanya, syariah standarnya
pemanfaatannya dan akhlak sebagai etikanya. Adapun dalam ilmu-ilmu aqliyyah
mencakup ilmu kedokteran, matematika, sains (Fisika, Astronomi dan Kimia) hingga ilmu
sosial (Ekonomi, Geografi dan Psikologi). Selain itu Islam juga berkontribusi dalam
penerjemahan karya kepada bahasa Latin, pemberian konsep dan metodologi kepada Barat,
pengenalan notasi dan angka desimal, penggunaan karya-karya ilmiah, telah ikut
merangsang pemikiran masyarakat Eropa pada abad pertengahan. Pada abad modern
sekalipun sains Barat mendominasi dunia saat ini, namun mereka tetap berhutang pada
kemajuan sains Islam sebelum Barat mencapai puncak kemajuan saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, S. (2011). Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh dalam Kerangka Sistem Hukum
Nasional. Dinas Syari’at Islam Aceh.
Adz Dzikri, D. F., & Solehah, N. (2022). Pemikiran William Montgomery Watt Tentang
sosok Muhammad dalam karyanya Muhammad Prophet And Tasteman. Al-Dzikra:
Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an Dan Al-Hadits, 16(1), 1–14. https://doi.org/10.24042/al-
dzikra.v16i1.10941
Anwar, C. (1994). Kontribusi Islam Terhadap Perkembangan Iptek. Unisia, 14(24), 33–40.
https://doi.org/10.20885/unisia.vol14.iss24.art4
Azra, A. (1994). Jaringan ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan
XVIII: Melacak akar-akar pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Mizan.
Bertens, K. (1998). Ringkasan Sejarah Filsafat. Kanisius.
Dakir, D. (2017). KONSEP MULTIKULTURAL PERSPEKTIF KH. IMAM ZARKASYI.

231
JURNAL PEMIKIRAN ISLAM Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2022
https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/jpi Halaman: 222-232

IBDA` : Jurnal Kajian Islam Dan Budaya, 15(2), 297–311.


https://doi.org/10.24090/ibda.v15i2.1337
Daudy, A. (1985). Kuliah Filsafat Islam. Bulan Bntang.
Edi Suharto. (2006). Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Refika Aditama.
Gunawan, S. (2019). Peranan Islam Dalam Pembangunan Dunia. El-Qanuny, 5, 46–60.
http://jurnal.iain-
padangsidimpuan.ac.id/index.php/elqanuniy/article/download/1763/1518
H.B. Jumin. (2012). Sains Dan Teknologi Dalam Islam. Raja Grafindo Persada.
Hasan, A. (2000). Studi Islam Al-qur an dan as-sunnah. Raja Grafindo Persada.
Hidayat, K. (2012). Agama Punya seribu Nyawa, cet. ke- 2. Noura Books Anggota IKAPI.
Komaruddin. (2002). Ensiklopedia Manajemen. Alfabeta.
M. Thoha. (2012). Kontribusi Islam Pada Sains dan Teknologi. Jurnal Kopertais 4.
Matthew B. Miles and A. Michael Huberman. (1992). Qualitative Data Analysis: An
Expanded Sourcebook. UI-Press.
Mehdi Nakosteen. (1996). Kontribusi Islam atas dunia intelektual barat : deskripsi analisis
abad keemasan Islam Adityawan. Risalah gusti.
Mulyadi Kartanegara. (2006). Gerbang Kearifan Sebuah Pengantar Filsafat Islam. Lentera
Hati.
Rizaty, M. A. (2022). Jumlah Penduduk Muslim Indonesia Terbesar di Dunia pada 2022.
DataIndonesia.Id. https://dataindonesia.id/ragam/detail/populasi-muslim-indonesia-
terbesar-di-dunia-pada-2022
Suryanti, C. (2010). Refleksi dan Tantangannya dalam Mengembangkan Moralitas Kaum
Muda. Orientasi Baru, 19(2), 155–170.
Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani. (2018). Bulughul Maram Min Kitab Nizamil Islam (I):
Pengantar Kitab Nizām al-Islām.

232
Jurnal Filsafat, Sains, Teknologi, dan Sosial Budaya
Volume 27, Nomor 1, April 2021

Kontribusi Islam terhadap Perkembangan Sains dan Teknologi


Abad 21

Mercy Aprilia Dyah Arini


Universitas Islam Malang
Mercyaprilia609@gmail.com

Puji Rahayu
Universitas Islam Malang
msrahayu88@gmail.com

Masyhuri Machfudz
Universitas Islam Malang
masyhuri.machfudz@unisma.ac.id

Abstract: Islam is the religion chosen by Allah as the last religion and as rahmatan lil al-
'amen. In the concept of Islam, science since the creation of the first human, namely Adam
AS. The research method uses secondary data both from standard references and from
popular news. The analysis used is descriptive qualitative. The role of Muslim scientists,
ranging from religious studies to natural sciences, it can be seen that Islam is very
meritorious in the context of being mindless with nature, establishing reason, establishing
the existence of definite natural laws by the will of Allah SWT, and being able to reconcile
reason with nature. faith and philosophy with religion. Western nations still create
stereotypes that separate reason and faith and philosophy and religion. Even in the world
of jurisprudence, Islamic law also cannot be denied contributing to the formation and
development of law in modern times today. In relation to the development of science and
technology, Islam and the Qur'an are the mother of all science and technology that has
developed, as well as those that have not been discovered by humans.

Kata Kunci: contribution; islam; science; technology

PENDAHULUAN kajian tentang perkembangan ilmu


pengetahuan sangatlah luas cakupannya
Islam merupakan salah satu agama jika ditelusuri dari sejarahnya. Pada
universal yang telah berdiri lebih dari konsep agama islam, Ilmu pengetahuan
lima belas abad dan dengan jumlah lahir sejak diciptakannya manusia
penganut yang sangat besar. Bahkan pertama yaitu Adam AS. Hal ini tertera
agama islam hampir tersebar di seluruh pada Al Quran surah Al-baqarah ayat
dunia termasuk Indonesia dengan 30-33 (Anwar, 2016). Pada hakikatnya,
jumlah pengikut kurang lebih sekitar ilmu pengetahuan lahir dari hasrat ingin
207 juta orang (Jadiwijaya, 2010). Sejak tahu dalam diri manusia yang terus
awal kemunculannya, perjuangan Rasul, berkembang sesuai tuntutan dan
shahabat, Khalifah serta para penerus- kebutuhan hidup.
penerusnya dalam menghadapi berbagai Ilmu Pengetahuan, menurut
ancaman yang muncul baik dari luar Bakhtiar (2013) dibagi menjadi empat
maupun dari dalam patut kita teladani periode, yakni: periode yunani kuno,
sehingga Islam bisa bertahan sampai periode islam, masa renaisans dan
saat ini. Hal ini menjadi salah satu bukti modern dan terakhir adalah periode
bahwa Islam merupakan agama yang kontemporer. Periode yunani kuno
dipilih oleh Allah sebagai agama sangatlah identik dengan filsafat yang
terakhir dan sebagai rahmatan lil al- merupakan induk dari ilmu pengetahuan
‘amin (Gunawan, 2019). Pada dasarnya, yang mana filsafat inilah dijadikan

93
Jurnal Filsafat, Sains, Teknologi, dan Sosial Budaya
Volume 27, Nomor 1, April 2021

sebagai landasan berpikir oleh orang Pengaruh ilmu pengetahuan Islam


Yunani dalam menggali ilmu atas Eropa yang berlangsung sejak abad
pengetahuan sampai berkembang ke ke 12 M ini menimbulkan kebangkitan
generasi-generasi selanjutnya. Zaman intelektual dan pustaka Yunani di Eropa
ini berlangsung dari abad 6 SM hingga yang disebut (renaissance) (Jadiwijaya,
abad 6 M dan melahirkan ilmuwan 2010). Mereka mengembangkan
terkemuka seperti Thales (624-545 pemikiran tersebut dengan
SM), Pythagoras (580-500 SM), menerjemahkan karya-karya bertuliskan
Socrates (469-399 SM), Plato (427-347 Arab yang dipelajari dan ditulis kembali
SM), Aristoteles (384-322 SM) dan lain ke dalam bahasa latin. Hal ini
sebagainya. berlangsung hingga abad ke 18 M,
Pada periode kedua, dirangkum sedangkan pada periode kontemporer,
dari sejarah perkembangan dan zaman ini bermula pada awal abad 20
peradaban Islam, tak dipungkiri bahwa M dan berlangsung hingga sekarang.
Islam sebenarnya ajaran yang sangat Zaman ini ditandai dengan munculnya
mencintai dan juga mengikuti teknologi-teknologi canggih,
perkembangan teknologi dan sains. Hal perkembangan ilmu pengetahuan dan
ini tertera pada kandungan ayat suci Al- sains yang sangat pesat baik dari sektor
Quran yang diwahyukan kepada manapun (Askari dan Mustafa, 1986).
Rasulullah pertama kali di gua Hira’ Perkembangan teknologi dan sains
melalui malaikat jibril yaitu kata semakin pesat ditengah era globalisasi,
perintah iqra yang berarti (bacalah). tak bisa dipungkiri pengaruhnya
Pada masa kejayaannya atau disebut terhadap berbagai sektor juga sangat
juga sebagai (Golden Age of Islam) besar termasuk dalam hal pendidikan,
telah memberikan pengaruh yang pesat kesehatan dan lain sebagainya. Oleh
terhadap perkembangan dunia, baik karena itu, penulis melakukan penelitian
dalam hal ilmu pengetahuan, agama tentang kontribusi Islam terhadap
maupun budaya. Pada era inilah Eropa perkembangan sains dan teknologi yang
dan barat mengalami masa gelapnya, berfokus penemuan-penemuan terbaru
sehingga di peradaban dunia Islam di abad ke-21.
melakukan penerjemahan besar-besaran
terhadap karya filsuf yunani. Hingga
pada abad ke 12, peradaban Islam
METODE PENELITIAN
adalah yang tertinggi dimasanya
sehingga banyak menciptakan karangan Adapun metode penelitian
buku mencakup ilmu pengetahuan dan mengunakan data sekunder baik dari
juga filsafat dari para ahli seperti Ibnu referensi-referensi standar maupun dari
Sina (Avicenna) yang dikenal sebagai berita popular. Data tersebut didapat
“Bapak Pengobatan Modern”, Al Kindi, lebih banyak dari referensi dengan latar
Al Farabi, Al Khawarizmi, dan masih belakang sejarah dan laporan
banyak lainnya. Karangan-karangan perkembangan riset, sains dan
tersebut yang akhirnya diterjemahkan teknologi. Metode yang digunakan yaitu
kedalam bahasa Eropa (Eaton, 1985). analisis yang bersifat deskriptif
Islam memiliki peran yang amat penting kualitatif. Penelitian kualitatif dilakukan
yakni sebagai jembatan penghubung untuk menjelaskan dan menganalisis
antara perkembangan ilmu pengetahuan fenomena, peristiwa, dinamika sosial,
klasik dan ilmu pengetahuan modern sikap kepercayaan, dan persepsi
yang saat ini banyak kita ketahui. seseorang atau kelompok terhadap

94
Jurnal Filsafat, Sains, Teknologi, dan Sosial Budaya
Volume 27, Nomor 1, April 2021

sesuatu (Muhajir, 2002). Penelitian misi ekspansi umat Islam semata-mata


kualitatif dimulai dengan menyusun tidak hanya untuk mengambil
asumsi dasar dan aturan berpikir yang keuntungan materi sebanyak-banyaknya
akan digunakan dalam penelitian. Data dari daerah-daerah yang telah dikuasai,
yang dikumpulkan dalam riset melainkan mewujudkan keadilan serta
kemudian ditafsirkan. ikut membangun dan memajukan
peradaban yang ada, maka
pemerintahan kerajaan Islam sangat
HASIL DAN PEMBAHASAN terkesan toleran terhadap budaya-
budaya lokal yang ada (Gunawan,
Sumbangan Islam Terhadap Ilmu
2019).
Pengetahuan
Pada saat ini, sebagian ilmuwan
Sejarah telah membuktikan,
berpendapat bahwa teknologi dan sains
bahwa kemajuan ilmu pengetahuan di
(saintek) dinilai bebas diambil darimana
dunia modern menjadi fakta sejarah
saja, sedangkan, sebagian ilmuwan
yang tidak terbantahkan, bahkan banyak
lainnya terutama orang muslim
yang berpendapat bahwa ilmu
berpendapat bahwa saintek harus difilter
pengetahuan bermula dari dunia Islam
terlebih dahulu sebelum dikembangkan
yang kemudian mengalami transmisi
lebih lanjut secara kreatif oleh para
(penyebaran) dan poliferasi
ilmuwan muslim. Hal ini berdasarkan
(pengembangan) ke dunia Barat yang
asumsi bahwa saintek yang bersandar di
sebelumnya dunia Barat dilanda dark
luar Islam terbukti bermasalah yang
ages (masa kegelapan) sehingga muncul
mana hal ini berhubungan dengan tiga
zaman enlightenment (yang cerah) di
aspek filsafat ilmu yakni ontology,
Eropa (Eaton, 1985). Melalui dunia
epistemology, dan aksiologi. Ontology
Islam mereka mendapat akses untuk
membahas hal-hal yang berkaitan
mendalami dan mengembangkan ilmu
dengan mengapa penelitian tersebut
pengetahuan modern sebagaimana
dilakukan. Epistemology membahas
diungkapkan Gore Barton dalam
tentang tata cara suatu penelitian
Gunawan (2019) bahwa orang-orang
tersebut dilakukan. Aksiologi
Barat dalam mengembangkan ilmu
membahas tentang sejauh mana hasil
pengetahuan tidak merujuk sepenuhnya
penelitian bisa digunakan.
kepada sumber-sumber Yunani
Pada dasarnya, mayoritas ilmuwan
melainkan kepada sumber-sumber Arab.
muslim, dalam penelitiannya selalu
Islam juga hadir di tengah
mengedepankan kebutuhan yang
kerasnya peradaban Jahiliyah di Jazirah
berhubungan dengan tujuan syari’ah,
Arab sehingga mampu merubah
namun ada pula penelitian yang
peradaban Jahiliyah yang ada di Jazirah
terinspirasi dari ayat al-Quran yang
Arab saat itu, maka dalam perspektif
dapat dikaji lebih lanjut secara ilmiah
historis Islam sudah banyak memainkan
dan berkaitan dengan saintek. Seperti
peran yang signifikan dalam
halnya, Al-Khawarizmi, beliau
perkembangan beberapa aspek
mengembangkan aljabar karena ingin
peradaban dunia. Mulai dari masa
membantu memudahkan manusia
kenabian sampai dengan wafatnya
khususnya umat Islam dalam membagi
Rasulullah SAW perkembangan dan
hak waris secara akurat.
pemikiran peradaban Islam terus
Adapun ditemukan banyak sekali ayat-
mengalami berbagai varian berupa
ayat al-Quran yang memberikan
metode, dan kerangka berpikir yang
inspirasi tentang penelitian saintek,
berbeda. Bahkan dalam catatan sejarah,

95
Jurnal Filsafat, Sains, Teknologi, dan Sosial Budaya
Volume 27, Nomor 1, April 2021

salah satunya ada pada surah Al- termasuk al-Qur'an, pertama kali
Insan:17 yang berbunyi: mengandung makna aqidah. Kajian
“Di surga itu mereka diberi segelas utama aqidah adalah rukun Iman (arkan
minum yang campurannya adalah al-iman) yang terdiri dari enam hal.
jahe.” Maksud dan tujuan kajian aqidah adalah
Berdasarkan kutipan ayat men-tauhid-kan (mengakui keesaan)
tersebut, munculah pertanyaan Allah SWT sebagai satu-satunya dzat
dikalangan ilmuwan muslim tentang penguasa alam semesta. Tauhid akan
jahe yang disebut sebagai minuman ahli mempersatukan umat manusia yang
surga, sehingga para ilmuwan muslim terbagi ke dalam beberapa etnis,
melakukan riset terhadap kandungan golongan, bahasa, ras dan suku bangsa.
serta manfaat jahe. Jahe memiliki Syari'ah merupakan obyek kajian studi
beberapa manfaat antara lain sebagai Islam yang sangat penting. Syari'ah
anti oksidan yang tinggi, jahe mampu menempati urutan kedua setelah aqidah
melawan kanker dan juga mengandung dalam semua referensi kajian Islam.
zat anti aging. Hal tersebut menjadi Syari'ah meliputi seluruh aspek
salah satu bukti bahwa Islam sangatlah kehidupan manusia secara langsung
berkesinambungan dengan (directly) atau secara tidak langsung
perkembangan saintek pada masa kini (explicitly). Kandungan dari kajian
(Hasan, 2000). syari'ah menurut William dalam
Adanya peranan dari ilmuwan- Gunawan (2019) terdiri dari :
ilmuwan Muslim, mulai ilmu agama a. Ibadah, yaitu perbuatan dalam
sampai kepada ilmu pengetahuan alam melaksanakan hubungan dengan Allah
dari sini terlihat bahwa Islam sangat SWT secara langsung. Perbuatan pokok
berjasa dalam rangka menyatukan akal yang termasuk ibadah adalah lima hal
dengan alam, menetapkan kemandirian yang disebut dengan rukun Islam (arkan
akal, menetapkan keberadaan hukum al-Islam). Ibadah merupakan bahasan
alam yang pasti atas kehendak Allah pertama dari kebanyakan buku-buku
SWT, serta telah mampu mendamaikan fiqih. Buku yang secara komperensif
akal dengan iman dan filsafat dengan dan secara khusus memuat tentang
agama sedangkan bangsa Barat masih ibadah dalam arti hubungan manusia
membuat stereotip yang memisahkan dengan tuhannya ditulis oleh Imam
antara akal dan iman serta filsafat Ahmad ibn Hanbal di Baghdad dengan
dengan agama. Bahkan di dunia ilmu judul al-'Umdah tata cara hubungan
hukum, hukum Islam juga tidak dapat manusia dengan tuhannya (ibadah)
dibantahkan turut serta memberikan yang dibahas dalam sudut pandang fiqih
kontribusi dalam pembentukkan dan fundamental, yang tentu saja saat itu
perkembangan hukum di zaman modern banyak berseberangan dengan praktek
saat ini. yang dijalankan oleh Islam rasional
(Mu'tazilah) yang banyak menghiasi
Peta Kajian Islam dalam Bidang lembaga-lembaga pendidikan saat itu.
Sains b. Mu’amalah, yaitu bentuk hubungan
1. Bidang Aqidah, Syari'ah dan manusia dengan manusia yang lain, baik
Akhlak seagama maupun antar umat yang
Aqidah (faith) sebagai obyek kajian berlainan agama. Hubungan tersebut
Islam merupakan hal yang sangat berlangsung dari individu ke individu
fundamental dan mendasar. Isi lain atau antar satu individu dengan satu
kandungan seluruh kitab samawi, komunitas. Menurut William, buku

96
Jurnal Filsafat, Sains, Teknologi, dan Sosial Budaya
Volume 27, Nomor 1, April 2021

pertama yang sangat komperehensif dan bahwa alam semesta mengandung nilai-
monumental serta ditulis dengan nilai pengetahuan yang senantiasa
sistematika ilmiah yang standar dan memerlukan penelitian. Hasil penelitian
khusus membahas tentang muamalah, para ilmuan melahirkan beberapa
ditulis oleh Burhanuddin al-Marghinany disiplin ilmu yang menakjubkan,
(w. 593H/1197) dengan judul al- seperti:
Hidayah. Akan tetapi sebelum itu telah a. Ilmu astronomi, yaitu ilmu
ditemukan banyak sekali buku-buku pengetahuan yang berkaitan dengan
yang secara implisit membahas pergerakan dan penyebaran benda-
muamalah bersama dengan kajian benda langit. Banyak ditemukan dalam
syari'ah lainnya. Buku seperti ini dapat ayat Al -Qur'an,diantaranya:
dicontohkan seperti karya-karya Imam Maka Apakah mereka tidak melihat
Abu Hanifah (w. 150H/767M), karya- akan langit yang ada di atas mereka,
karya qadhi Abu Yusuf yang hidup bagaimana Kami meninggikannya dan
pada masa pemerintahan Harun al- menghiasinya dan langit itu tidak
Rasyid dan karya-karya monumental mempunyai retak-retak sedikitpun? (QS.
Imam Syafi'iy seperti al-Umm dan Qaf : 6)
lainnya. b. Ilmu fisika, yaitu ilmu yang
c. Perintah berbuat baik (amar ma'ruf) menyelidiki dan mengamati fenomena
d. Larangan berbuat kemungkaran dari benda-benda yang tidak bernyawa,
(nahy 'an al-munkar) dalam hal ini Al-Qur'an berfirman:
Allah (Pemberi) cahaya kepada langit
Pendidikan, Sains dan Lain-lain dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah
Kajian pendidikan merupakan adalah seperti sebuah lubang yang tak
kajian yang melandasi seluruh kajian tembus, yang di dalamnya ada pelita
yang lain. Al-Qur'an diturunkan dengan besar. pelita itu di dalam kaca (dan)
pesan pertama bernuansa pendidikan kaca itu seakan-akan bintang yang
(iqra', bacalah). Dengan demikian bercahaya seperti mutiara, yang
manusia akan menemukan jati dirinya dinyalakan dengan minyak dari pohon
melalui proses belajar dan belajar yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun
tersebut adalah proses pendidikan yang tumbuh tidak di sebelah timur
menuju pendewasaan intelektual, (sesuatu) dan tidak pula di sebelah
emosional dan diwujudkan dengan barat(nya), yang minyaknya (saja)
tingkah laku yang sesuai dengan Hampir-hampir menerangi, walaupun
kehendak Allah. Di anatara sekian tidak disentuh api. cahaya di atas
banyak tujuan pendidikan adalah cahaya (berlapislapis), Allah
mewujudkan manusia yang baik sebagai membimbing kepada cahaya-Nya siapa
hamba Allah yang menjalani kehidupan yang Dia kehendaki, dan Allah
dengan semangat pengabdian (ibadah) memperbuat perumpamaan-
kepada-Nya, baik yang berupa ritual perumpamaan bagi manusia, dan Allah
(ubudiyah) maupun interaksi sosial Maha mengetahui segala sesuatu (QS.
(mu’amalah) (Jalal, 1988). al-Nur : 35)
`Kaitannya dengan pengembangan c. Ilmu matematika, yaitu ilmu yang
sains, Islam dengan Al-Qur'an mempelajari tentang bilangan. Dalam
merupakan induk dari semua sains yang QS. al-Kahfi:19, Allah berfirman
telah berkembang, maupun yang belum sebagai berikut :
ditemukan oleh manusia. Ayat yang dan Demikianlah Kami bangunkan
turun pertama kali memberikan isyarat mereka agar mereka saling bertanya di

97
Jurnal Filsafat, Sains, Teknologi, dan Sosial Budaya
Volume 27, Nomor 1, April 2021

antara mereka sendiri. berkatalah salah bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi


seorang di antara mereka: sudah dan berbuat baiklah (kepada orang
berapa lamakah kamu berada lain) sebagaimana Allah telah berbuat
(disini?)". mereka menjawab: "Kita baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berada (disini) sehari atau setengah berbuat kerusakan di (muka) bumi.
hari". berkata (yang lain lagi): "Tuhan Sesungguhnya Allah tidak menyukai
kamu lebih mengetahui berapa lamanya orang-orang yang berbuat kerusakan.
kamu berada (di sini). Maka suruhlah
salah seorang di antara kamu untuk
pergi ke kota dengan membawa uang KESIMPULAN
perakmu ini, dan hendaklah Dia Lihat Obyek pokok kajian Islam (al-
manakah makanan yang lebih baik, Dirasat al-Islamiyah) yang terdiri dari
Maka hendaklah ia membawa makanan aqidah, syari'ah, akhlak, politik,
itu untukmu, dan hendaklah ia Berlaku ekonomi, sosial, budaya, hukum,
lemah-lembut dan janganlah sekali-kali pendidikan, sains dan lain sebagainya
menceritakan halmu kepada merupakan satu kesatuan yang integral.
seorangpun. Obyek-obyek tersebut saling
d. Ilmu sejarah yaitu ilmu yang melengkapi satu dengan yang lain. Oleh
mempelajari latar belakang kehidupan karena itu memerlukan pendekatan
manusia, tumbuh-tumbuhan, binatang kajian yang simultan dan komperehensif
dan kemajuan-kemajuannya. Dalam QS. untuk memperoleh pemahaman yang
al-Tiin : 1-8, Allah sempurna terhadap obyek-obyek
berfirman: tersebut.
(1) demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun, Sekalipun kekuasaan Islam
(2) dan demi bukit Sinai, (3) dan demi secara mutlak tidak lagi menjadi
kota (Mekah) ini yang aman, (4) nomber one (penguasa) di dunia, namun
Sesungguhnya Kami telah menciptakan ajaran-ajaran Islam yang telah tersebar
manusia dalam bentuk yang sebaik- ke berbagai penjuru dunia merupakan
baiknya, (5) kemudian Kami mutiara bagi peradaban dunia. Maka
kembalikan Dia ke tempat yang patut dicatat, bahwa sekalipun ilmuan-
serendah-rendahnya (neraka), (6) ilmuan Barat yang menjadi kiblat ilmu
kecuali orang-orang yang beriman dan pengetahuan dan peradaban yang
mengerjakan amal saleh; Maka bagi sebenarnya dimotori oleh keilmuan
mereka pahala yang tiada putus- Islam zaman dahulu,
putusnya, (7) Maka Apakah yang terutama dibidang huku. Hukum Islam
menyebabkan kamu mendustakan (hari) sangat banyak memberikan kontribusi
pembalasan sesudah (adanya terhadap perkembangan tatanan hukum
keterangan-keterangan) itu? (8) di dunia, sebab hukum Islam sangat
Bukankah Allah hakim yang seadil- elastis dapat bercampur padu dengan
adilnya? hukum-hukum lainnya, termasuk di
e. Ilmu ekonomi, yaitu ilmu yang Indonesia, termasuk Kompilasi Hukum
mempelajari sistem kebutuhan manusia. Islam (KHI).
Dalam QS. al-Qashas : 77, Allah
berfirman sebagai berikut:
dan carilah pada apa yang telah REFERENSI
dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan Anwar, C. .2016. Kontribusi Islam
janganlah kamu melupakan Terhadap Perkembangan

98
Jurnal Filsafat, Sains, Teknologi, dan Sosial Budaya
Volume 27, Nomor 1, April 2021

Iptek. UNISIA jurnal Ilmu-Ilmu


Sosial: Values Innovation
Perfection. Vol. 0, No. 24, pp.
33-40.
Askari, Mustafa, A. 1986. "Islam dan
Perubahan Ekonomi Modern"
dalam Identitas Islam pada
Perubahan Sosial Politik.
Jakarta : Bulan Bintang.
Bakhtiar, A. 2013. Filsafat Ilmu.
Jakarta: Raja Grafindo Persada,
Eaton, C. G. 1985. Islam and Distiny of
Man. USA : State University of
New York Press.
Gunawan. 2019. Peranan Islam Dalam
Membangun Peradaban Dunia.
Jurnal el-Qanuniy: Jurnal
Ilmu-Ilmu Kesyariahan dan
Pranata Sosial. 10.24952/el-
qununiy.v5il.1763
Jadiwijaya, 2010. Sejarah
Perkembangan Ilmu
Pengetahuan. Semarang:
Universitas Negeri Semarang
dalam
http://jadiwijaya.blog.uns.ac.id/
2010/06/02/sejarah
perkembangan-ilmu/ diakses 13
April 2021
Jalal, A. F. 1988. Azaz-azaz
Pendidikan Islam. Bandung :
Diponegoro
Hasan, M. A. 2000. Studi Islam Al-
Quran dan As-Sunnah.
Jakarta: Raja Grasindo
Persada.
Muhajir, N. 2002. Metodologi
Penelitian Kualitatif.
Yogyakarta: Rake Sarasin.

99

Anda mungkin juga menyukai