Anda di halaman 1dari 8

Paradigma Qur'ani dalam Perkembangan

IPTEKS
Amanda Nabila A

Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni (IPTEKS) merupakan suatu hal yang terus
dikembangkan oleh peradaban muslim. Hal ini terjadi karena penemuan-penemuan IPTEKS
seperti transportasi, informasi, telekomunikasi, dan lain-lainnya memudahkan manusia dalam
pemenuhan kebutuhan hidupnya. Namun jika dilihat dari sisi lain pengembangan IPTEKS
tanpa memasukan agama didalamnya akan menciptakan manusia yang serakah dan tidak
berakhlak mulia.

Oleh karena itu, di dalam perkembangan IPTEKS, Islam mengambil peran didalamnya, yaitu
dengan Syariah Islam yang  harus dijadikan dasar dalam penggunaan IPTEKS. Ketentuan
halal-haram (hukum-hukum syariah Islam) ini yang harus dijadikan tolak ukur manusia
dalam penggunaan IPTEKS, sebagaimana ilmu yang dapat dipergunakan adalah yang halal
menurut Syariah Islam. Sementara itu IPTEKS yang diharamkan oleh syariah Islam
hendaknya tidak boleh dipergunakan oleh umat Islam.

Seorang muslim diharapkan untuk selalu menuntut ilmu agar dapat mengembangkan akal
fikirannya. Dengan mengembangkan akal fikirannya tersebut manusia akan mencapai pada
suatu pemahaman  yang menjadikan manusia sebagai orang yang berilmu. Orang berilmu
mempunyai kedudukan yang mulia dan tinggi di hadapan Allah SWT dan manusia karena
pemahamannnya.

Dalam beramal dan beribadah -yang salah satunya dengan mengembangkan IPTEKS- kepada
Allah SWT , manusia tentunya harus berpedoman pada Al-Qur'an dan Al-Hadits. Karena
dengan berpegang teguh pada pedoman Al-Qur'an dan Al-Hadits manusia tidak akan tersesat
dalam kehidupannya dan menjadikan manusia sebagai pengguna IPTEKS yang bijak. Serta
dengan Al-Qur'an Al-Hadist yang dijadikan  pedoman bagi manusia yang berilmu,
kedudukan manusia tersebut menjadi mulia dan terhormat di hadapan Allah SWT.

Namun pada pengertian yang seluas-luasnya, Al-Qur'an dan Al-Hadist dijadikan sebagai
sumber bagi sains Islam. Maksud lain dari prinsip ini adalah Al-Qur`an dan Al-Hadits
hanyalah sebagai standar IPTEKS bukan menjadi sumber IPTEKS . Pemahaman ini
menegaskan bahwa umat Islam diperbolehkan untuk mengambil IPTEKS dari sumber
pengetahuan manapun termasuk dari umat selain Islam.

Misalnya saja Nabi Muhammad SAW pernah menerapkan penggalian parit di sekeliling
Madinah dimana strategi militer itu diciptakan oleh kaum Persia yang menganut agama
Majusi. Selain itu, Nabi Muhammad SAW juga pernah mengutus dua sahabatnya untuk pergi
ke Yaman untuk mempelajari teknik persenjataannya disana, padahal mayoritas penduduk
Yaman pada saat itu merupakan ahli kitab (Kristen). Contoh lainnya adalah Umar bin Khatab
pernah mengadopsi sistem administrasi dan pendataan pada Baitul Mal yang berasal dari
Bangsa Romawi yang menganut agama Kristen. Dapat disimpulkan bahwa selama ilmu
tersebut tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam, IPTEKS dapat dipelajari dari
umat selain Islam.
 Manusia harus terus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
melaksanakankan pola berpikir, berdzikir dan menggunakan anugerah yang telah diberikan
oleh Allah SWT. Sehingga biarkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk terus mengalami
pembaharuan dan kemutakhiran. Manusia hanya mampu mengarahkan dan mengendalikan
manusia yang lain sebagai produsen, distribusi, dan konsumen ilmu pengetahuan dan
teknologi agar IPTEKS tidak dijalankan manusia dengan hanya mengikuti hawa nafsu,
melainkan menempatkan IPTEKS ini menurut petunjuk Ilahi dan fitrah kemanusiaan.

Jika manusia dalam menghasilkan dan menerapkan IPTEKS mengikuti hawa nafsu saja,
IPTEKS yang dihasilkan bukan hanya bermanfaat bagi manusia, namun juga dapat berakibat
kerusakan pada diri sendiri. Dan berlaku sebaliknya jika manusia menghasilkan dan
menerapkan IPTEKS senantiasa memperhatikan alam semesta dan hidayah Ilahi, sudah
dipastikan ia menjadi orang yang berguna di muka bumi ini. Manusia harus berpedoman pada
petunjuk Ilahi dalam menghasilkan dan menerapkan IPTEKS karena pengetahuan dan
kemampuan otak manusia dalam menerima ilmu-ilmu Allah dan segala kemampuan manusia
sangatlah terbatas .

Pada akhirnya manusia paham bahwa tujuan IPTEKS dalam perspektif Al-Qur'an adalah
untuk menggapai kehidupan yang sejahtera, selamat dan bahagia di dunia maupun di akhirat .
Dan tujuan lainnya adalah untuk dapat dipakai dalam rangka pemenuhan tugas manusia
sebagai Abdullah dan kholifatullah yang berpedoman pada Al-Qur'an dan Al-Hadits. Serta
untuk menghindari penggunaan IPTEKS yang tidak tepat dan dapat membuat kerusakan di
segala aspek kehidupan.
Islam Agama Rahmatan Lil'alamin dan
Buktinya dalam Kehidupan
Aisya Sifa Marini Sari
Mahasiswa di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya

Islam adalah agama yang bersifat universal, terbuka, kontekstual, dan akan abadi sepanjang
masa. Kata Islam berasal dari huruf-huruf arab yaitu sin, lam, dan mim, yang apabila
diterjemahkan secara etimologis merupakan turunan dari kata dasar salima yang berarti
sejahtera, tidak tercela, dan tidak cacat. Secara garis besar, Islam terdiri dari akidah, syariah,
dan akhlak yang bersumber dari kitab suci Al-Qur'an yang merupakan wahyu-wahyu dari
Allah sebagai penyempurna wahyu-wahyu sebelumnya yang telah ditafsirkan oleh sunnah
Rasulullah SAW. Sebagai doktrin, Islam sendiri menggariskan tata hubungan ataupun
struktur hubungan manusia dengan Tuhannya, sesama manusia, dan juga manusia dengan
lingkungan sekitarnya baik itu lingkungan alam maupun sosial.

Bukan hal yang baru lagi ajaran islam rahmatan lil'alamin, hal ini telah banyak
diimplementasikan dalam sejarah-sejarah Islam, baik itu pada abad pertengahan maupun abad
klasik. Pada awalnya istilah "Rahmatan Lil'alamin" adalah isitilah yang sering digunakan atau
dipopulerkan oleh Al-Qur'an untuk mengarah pada tujuan dakwah Rasulullah SAW yang
paling utama. Islam sebagai agama rahmatan lil'alamin berarti islam merupakan agama
pencerah, perdamaian, dan penyebar kasih sayang di bumi ini, islam juga mengajarkan
tentang budaya dan tsaqafah cinta, cara menghormati sesama manusia, serta member
petunjuk dan hidayah kepada manusia yang ada di muka bumi ini, tanpa membeda-bedakan
kesukuan, kebangsaan, negara, dan geografis. Rahmatan lil'alamin sendiri berasal dari tiga
gabungan kata, yaitu Rahmatan, Li, dan 'Alamin. Kalimat ini sendiri merujuk kepada firman
Allah dalam Q.S Al-Anbiya ayat 107.

Bukti Islam adalah agama yang rahmatan lil'alamin dapat dilihat dalam muatan-muatan yang
ada pada Ilmu Pengetahuan (Sains) dalam al-Qur'an yang menjelaskan tentang adanya
operasi gabungan atau sinergitas antara Al-Qur'an dengan alam semesta. Hubungan itu
sendiri telah diteliti oleh para ilmuwan yang ada di dunia baik itu muslim maupun
nonmuslim. Peradaban keilmuwan Islam juga maju dengan cukup pesat diiringi oleh
penyebaran agama Islam di dunia. Kolaborasi antara keilmuwan Yunani dengan keilmuwan
Islam membawa dampak positif berupa kemajuan dalam berbagai bidang, seperti medis,
arsitektur, fisika, geografi, astronomi, matematika, serta seni sastra dan sejarah.

Selanjutnya, pada abad pertengahan, hasil dari kolaborasi tersebut mulai disebarluaskan ke
benua Eropa yang mana hasil ilmuwan tersebut dijadikan sebagai dasar ilmu yang digunakan
untuk menemukan dan menciptakan alat-alat canggih yang membantu menemukan kuadran
dan navigasi yang sebelumnya telah dikemban oleh umat Islam, seperti misalnya penrnyataan
tentang Bumi Berbentuk Bulat Telur. Pada zaman dahulu, hampir semua orang percaya
dengan pendapat bahwa bumi itu datar dan bertepi. Akan tetapi, pendapat tersebut ternyata
bertentangan dengan fakta yang kemudian mereka temukan. Sir Francis Drake, seorang
kapten kapal berkebangsaan Inggris, merupakan orang yang pertama kali membuktikan
bahwa bumi itu bulat dan bukannya datar pada tahun 1597 M setelah ia berlayar mengelilingi
bumi

Selain itu, buktinya dapat dilihat juga dalam geografi modern. Dr Frank Press, seorang ahli
geofisika berkebangsaan Amerika menjelaskan bahwasanya gunung memiliki fungsi dan
peranan yang cukup penting dalan memperkuat serta memperkokoh lempengan bumi.
Panjang jari-jari bumi adalah sekitar 3,750 mil dan kulit bumi memiliki ketebalan 1-30 mil.
Oleh karena kulit bumi ini yang cukup tipis, maka ada kemungkinan bahwa bumi akan
mengalami guncangan. Gunung-gunung inilah yang menjadi penopang dan menahan kulit
bumi serta menjaga kestabilan dan keseimbangannya. Para ilmuwan yang menemukan fakta
ini pada abad modern kemudian membuat fakta ini sebagai hukum dasar dalam geologi.

Kehadiran Islam di dunia memang membawa dan membuat banyak sekali perubahan besar
dalam kehidupan manusia, terutama dalam perkembangan ilmu pengetahuan (sains). Al-
Qur'an yang merupakan ayat qauliyah selalu memperlihatkan hal yang sama dengan ayat
kauniyah yang dapat diamati oleh siapa saja baik muslim maupun nonmuslim. Oleh karena
itu, Islam disebut sebagai agama yang Rahmatan Lil'alamin karena Islam hadir ke dunia ini
dengan membawa rahmat yang sangat berarti bagi semua manusia di muka bumi ini. 

Referensi :

http://library.fis.uny.ac.id/digital/fisbook/66f041e16a60928b05a7e228a89c3799/

https://books.google.co.id/books?
hl=id&lr=&id=atunDwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA5&dq=Islam+agama+rahmatan+lil+alamin
&ots=FK999_804E&sig=YvWzBsGHs7JE-
Az9XNGBkmY_xug&redir_esc=y#v=onepage&q=Islam%20agama%20rahmatan%20lil
%20alamin&f=false

https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/idajhs/article/view/1438

Ilyas, H. H. (2018). Fikih Akbar: Prinsip-Prinsip Teologis Islam Rahmatan Lil ‘Alamin.
Pustaka Alvabet.
By. Suherman Syach

Terkadang "ibadah" dimaknai sempit sebagian orang. Para awam menganggap ibadah keagamaan
hanyalah yang bersifat ritual dan bersyariat khusus. Amalan selain ibadah ritual tersebut, mereka
tidak menggolongkannya sebagai ibadah. Implikasinya, mereka menilai hanya ibadah ritual yang
menjadi sarana penyembahan kepada Allah Swt dan berharap memperoleh pahala darinya.
Sementara amalan selainnya, bukan bentuk ibadah penyembahan kepada-Nya dan mereka tidak
berharap ganjaran pahala dari amalan tersebut.

Pandangan seperti ini, tentu saja parsial dan menyempit. Dalam Islam, hakikat dari ibadah adalah
kepatuhan dan ketundukan hanya kepada Allah Swt. Ibnu Taimiyah mengartikulasi ibadah dengan
segala yang mencakup perbuatan yang disukai dan diridhai oleh Allah SWT, baik berupa perkataan
maupun perbuatan, baik terang-terangan maupun tersembunyi dalam rangka mengagungkan Allah
SWT dan mengharapkan pahala-Nya.

KH. Ali Mustafa, Imam besar Mesjid Istiqlal Jakarta menyebut ibadah dalam dua jenis, yaitu ibadah
individual (qashirah) dan ibadah sosial (muta'addiyah). Ibadah individual, manfaat dan pahalanya
hanya dirasakan oleh pelaku ibadah itu saja. Ibadah individual lebih identik dengan ibadah mahdhah.
Ibadah mahdhah merupakan ibadah yang secara khusus telah ditetapkan ketentuannya oleh Allah
Swt dan Rasulullah Saw yang lebih berorientasi pada hablum minallah. Ibadah yang masuk dalam
kategori ini, yakni ibadah shalat, puasa, zakat, haji, umrah, thaharah dan lain-lain.

Sebaliknya ibadah sosial, pahala dan manfaatnya bukan hanya dirasakan pelakunya tetapi juga orang
lain. Ibadah sosial lebih identik dengan ibadah ghair mahdhah yang berorientasi pada hablum
minannas. ibadah ghair mahdha merupakan ibadah yang tidak berkentuan khusus pelaksanaannya
dari Allah Swt dan Rasulullah Saw. Amalan yang masuk kategori ini adalah amal-amal shaleh, seperti
tolong menolong, kesabaran, nasehat menasehati, menuntut ilmu pengetahuan, saling
menghormati, jujur dan lain-lain.

KH. Ali Mustafa mengkritik umat Islam yang lebih mementingkan pelaksanaan ibadah individual dari
pada ibadah sosial. Menurutnya, umat Islam sibuk mengejar keshalehan individual tetapi
mengabaikan keshalehan sosial. Egoistik beragama ini berdampak pada kehidupan umat Islam yang
pada umumnya mengalami keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan, dan kemelaratan.

Pada prinsipnya, Islam adalah agama yang menempatkan kemanusiaan sebagai nilai fundamental.
Bahkan menjadi misi utama atas kerasulan Muhammad Saw, yaitu menjadi rahmatan lil 'alamin.
Islam hadir untuk menjadi panduan bagi umat manusia dalam mengukuhkan eksistensi dan fitrahnya
sebagai mahluk sosial. Relevansi nilai-nilai sosial dalam Islam terbaca dalam deretan dalil-dalil
naqliyah, antara lain dalam QS. al-Maidah ayat 2, QS. al-Hujarat ayat 10-13, QS. Lukman ayat 10, QS.
al-Ankabut ayat 45, dan banyak ayat-ayat yang lain.

Ibadah sosial setara atau sama pentingnya dengan ibadah individu. Bahkan ibadah individu itu harus
berimplikasi sosial, misalnya shalat, puasa dan zakat. Allah Swt mengisaratkan agar orang yang shalat
senantiasa berbuat ma'ruf dan jauh dari perbuatan mungkar. Orang-orang shalat akan memperoleh
kerugian (celaka) jika enggan menolong orang lain dengan hartanya, menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya.

Begitu pun dengan ibadah puasa, yang menjadi "sekolah" pembelajaran bagi umat Islam untuk
mengendalikan diri, meng-internalisasi dan membumikan keshalehan sosialnya. Tujuan puasa itu
untuk memanusiakan manusia, baik secara personal, komunal atau pun bermasyarakat. Orang yang
berpuasa sedang membentuk jati dirinya lebih manusiawi untuk menjadi bekal relasi dengan orang
lain dan dalam masyarakat umum.

Ibadah zakat dan haji juga berdeminsi sosial yang tinggi. Zakat dan diferensiasinya seperti shadaqah,
infaq, wakaf, wasiat, dll. menjadi perekat tanggungjawab sosial dalam mendistribusi harta
kekayaannya kepada orang lain. Melalui zakat, terbangun hubungan humanis antara orang kaya
dengan orang miskin, orang termajinal, dan orang kurang berkemampuan lainnya. Sementara ibadah
haji mensaratkan nilai-nilai kemanusiaan, terutama persatuan, persaudaraan dan persamaan antar
manusia, khususnyanya umat Islam.

Uraian ini menunjukkan bahwa ibadah-ibadah personalitas sangat berpengaruh terhadap kehidupan
sosial. Oleh karenanya, kedua jenis ibadah ini jangan dipandang secara dikotomis. Nilai ketuhanan
dan kemanusiaan merupakan nilai two in one dalam Islam. Keduanya menjadi ajaran pokok Islam
yang inheren, tidak terpisah satu dengan lainnya.

Seorang muslim wajib menunaikannya secara menyuluruh dan berimbang. Penting bagi umat Islam,
memposisikan ibadah individu ghair mahdah sebagai ibadah wajib agar mereka secara konsekwen
menjalani aktivitas kehidupan mereka atas dasar ketaatan dan kepatuhan hanya kepada Allah Swt.
Allahu 'alam bissawab

Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Ibadah Sosial", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/abangsuher7763/60e6847306310e778309e082/ibadah-sosial?
page=2&page_images=1

Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Ibadah Sosial", Klik untuk baca:

https://www.kompasiana.com/abangsuher7763/60e6847306310e778309e082/ibadah-sosial
Terkadang «ibadah» dimaknai sempit sebagian orang. Para awam menganggap ibadah keagamaan
hanyalah yang bersifat ritual dan bersyariat khusus. Amalan selain ibadah ritual tersebut, mereka
tidak menggolongkannya sebagai ibadah. Implikasinya, mereka menilai hanya ibadah ritual yang
menjadi sarana penyembahan kepada Allah Swt dan berharap memperoleh pahala darinya.

Sementara amalan selainnya, bukan bentuk ibadah penyembahan kepada-Nya dan mereka tidak
berharap ganjaran pahala dari amalan tersebut. Dalam Islam, hakikat dari ibadah adalah kepatuhan
dan ketundukan hanya kepada Allah Swt. Ibnu Taimiyah mengartikulasi ibadah dengan segala yang
mencakup perbuatan yang disukai dan diridhai oleh Allah SWT, baik berupa perkataan maupun
perbuatan, baik terang-terangan maupun tersembunyi dalam rangka mengagungkan Allah SWT dan
mengharapkan pahala-Nya. Ali Mustafa, Imam besar Mesjid Istiqlal Jakarta menyebut ibadah
dalamdua jenis, yaitu ibadah individual dan ibadah sosial .

Ibadah individual, manfaat dan pahalanya hanya dirasakan oleh pelaku ibadah itu saja. Ibadah
individual lebih identik dengan ibadah mahdhah. Ibadah mahdhah merupakan ibadah yang secara
khusus telah ditetapkan ketentuannya oleh Allah Swt dan Rasulullah Saw yang lebih berorientasi
pada hablum minallah. Ibadah yang masuk dalam kategori ini, yakni ibadah shalat, puasa, zakat, haji,
umrah, thaharah dan lain-lain.

Sebaliknya ibadah sosial, pahala dan manfaatnya bukan hanya dirasakan pelakunya tetapi juga orang
lain. Ibadah sosial lebih identik dengan ibadah ghair mahdhah yang berorientasi pada hablum
minannas. ibadah ghair mahdha merupakan ibadah yang tidak berkentuan khusus pelaksanaannya
dari Allah Swt dan Rasulullah Saw. Ali Mustafa mengkritik umat Islam yang lebih mementingkan
pelaksanaan ibadah individual dari pada ibadah sosial.

Ibadah sosial setara atau sama pentingnya dengan ibadah individu. Bahkan ibadah individu itu harus
berimplikasi sosial, misalnya shalat, puasa dan zakat. Ibadah zakat dan haji juga berdeminsi sosial
yang tinggi. Sementara ibadah haji mensaratkan nilai-nilai kemanusiaan, terutama persatuan,
persaudaraan dan persamaan antar manusia, khususnyanya umat Islam.

Uraian ini menunjukkan bahwa ibadah-ibadah personalitas sangat berpengaruh terhadap kehidupan
sosial. Oleh karenanya, kedua jenis ibadah ini jangan dipandang secara dikotomis. Penting bagi umat
Islam, memposisikan ibadah individu ghair mahdah sebagai ibadah wajib agar mereka secara
konsekwen menjalani aktivitas kehidupan mereka atas dasar ketaatan dan kepatuhan hanya kepada
Allah Swt.

Anda mungkin juga menyukai