Pendahuluan
1
Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam: Perspektif Historis, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2013), hlm.
153.
tentang filsafat dan juga ilmu,2 yang implikasi ini sekaligus mengisyaratkan
adanya ketidakpercayaan mereka terhadap Kristen. Oleh karena itu, mereka
pun akhirnya menganggap bahwa ilmu memiliki nilai tersendiri yang terbebas
dari adanya nilai-nilai agama, doktrin, adat dan juga kepercayaan, dan para
saintis menilai bahwa agama Kristen merupakan penyebab terjadinya ilmu
pengetahuan menjadi kaku, yang dalam perspektif sejarah, trauma tersebut
lahir ketika pada masa patristik.3
2
Aceng Rachmat, et al, Filsafat Ilmu Kelanjutan, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 123.
3
Cecep Sumarna, Rekonstruksi Ilmu: Dari Empirik-Rasional Ateistik Ke Empirik-Rasional Teistik, (Bandung: Benang
Merah Press, 2005), hlm. 46-47.
4
Endang Komara, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, (Bandung: Refika Aditama, 2011), hlm. 3.
5
Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 68.
Seorang ilmuwan Prancis, Dr. Paul Topinard, secara ringkas
menyimpulkan proses revolusi ilmiah. Pada akhirnya, Kristen bukan
mengalahkan dunia pagan, malah justru dikalahkan. Sebagaimana dikatakan
Huxley, selama abad pertengahan, ilmu pengetahuan telah hilang dari Barat.
Filsafat yang merupakan celah antara metafisika dan teologi menjadi paham
keagamaan. Kemudian, kumpulan keadaan yang terjadi sebagaimana masa
lima belas abad sebelumnya, mengalihkan dunia Barat. Meskipun secara
berbeda memperkenalkan masa-masa modern, untuk mengakali bahwa
pengetahuan Barat telah mengambil tempat perlindungan orang-orang Arab.6
1. Akan menimbulkan pendapat bahwa ilmu studi agama akan sama saja
dengan studi ilmiah lainnya, yang tidak dapat disusun suatu framework yang
ideal, benar dan konseptual. Menurutnya, mestinya frameworknya itu
menyeluruh, metode dan teorinya terintegrasi. Tetapi tidak dapat demikian,
sebagaimana halnya yang terjadi pada ilmu alam.
Berkaitan dengan studi agama, studi ini dianggap bukan sebagai sains, meski
adanya metode sejarah pada studi agama, namun menurutnya, hal itu tidak
mengarah kepada kontrol dan prediksi.7 Dari adanya pendapat Whaling di
atas, setidaknya mewakili para ahli ilmu dari Barat, ternyata studi agama
bukanlah termasuk ke dalam sains (ilmu), melainkan hanya sekedar
pengetahuan saja.
7
M. Amin Abdullah, dkk, Re-Strukturisasi Metode Islamic Studies Mazhab Yogyakarta, (Yogyakarta: Suka Press,
2007), hlm. 34-35.
8
Haidar Bagir, Epistemologi Tasawuf: Sebuah Pengantar, (Bandung: Mizan, 2018), hlm. 46.
Adanya pembagian ilmu yang secara teknis dibagi menjadi dua, yaitu
science yang diperuntukkan bagi bidang-bidang ilmu fisik atau empiris (dalam
bahasa Indonesia diterjemahkan dengan ilmu pengetahuan), dan knowledge
yang diperuntukkan bagi bidang-bidang ilmu non-fisik seperti konsep mental
dan metafisika (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi
pengetahuan), sebenarnya tidaklah ditemukan pada masa Abad Pertengahan,
melainkan baru terjadi pada masa modern. Namun menurut Jujun S.
Suriasumantri, dari adanya perbedaan istilah dan peruntukkannya itu, yakni
ilmu pengetahuan untuk science dan pengetahuan untuk knowledge, justru
hal tersebut telah melahirkan beberapa kelemahan di dalamnya, diantaranya:
1. Suatu hal yang tidak layak jika knowledge dinilai sebagai terminologi
generik dan science adalah species (anggota) dari (genus) kelompok tersebut.
2. Kata sifat dari science yakni scientifik; yang sekiranya secara konsekuen
kita mempergunakan untuk ilmu adalah pengetahuan ilmiah atau ke-ilmu-
pengetahuan-an. Menurutnya, dua terminologi tersebut akan menyesatkan
dan kurang nyaman untuk dipergunakan. Pengetahuan ilmiah bisa diartikan
sebagai scientifik knowledge, yang dalam bahasa Inggris adalah sinonim
dengan science; sedangkan ke-ilmu-pengetahuan-an terasa sebagai istilah
yang dibuat-buat.
Orang yang tahu atas sesuatu, maka ia disebut sebagai orang yang telah
mempunyai pengetahuan, lalu apa itu definisi pengetahuan? Encyclopedia of
Philosophy, telah mendefinisikan pengetahuan sebagai suatu kepercayaan
yang mengandung kebenaran, rumusan tersebut sangatlah mirip dengan
pernyataan John Dewey yang telah mempersepsikan pengetahuan dengan
9
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2010), hlm. 294.
kebenaran. Jadi, berdasarkan dua pandangan tersebut, pengetahuan
diidentikkan dengan kebenaran, dalam artian, suatu hal akan dianggap
sebagai pengetahuan jika di dalamnya memiliki kebenaran, karena jika di
dalamnya tidak ada kebenaran, maka hal tersebut akan menghasilkan
kontradiksi. Namun lain halnya dengan Sidi Gazalba, menurutnya,
pengetahuan adalah apa yang telah diketahui atau suatu pekerjaan yang
membuat kita menjadi tahu, dan pekerjaan tahu tersebut merupakan hasil
dari kenal, sadar, insaf, mengerti, dan pandai. Sedangkan menurut Mulyadhi
Kartanegara, pengetahuan identik dengan pengetahuan umum yang
didasarkan kepada akal sehat atau opini, yang akal sehat tersebut diperoleh
dari adanya pengalaman hidup sehari-hari, seperti makanan dapat
memuaskan rasa lapar; musim kemarau akan mengeringkan sawah, dan opini
yang dalam bahasa Arabnya adalah al-Ra’yu merupakan pengetahuan umum
atau sembarang pengetahuan yang kebenarannya belum teruji melalui
penelitian-penelitian secara seksama.10
10
Nunu Buhanuddin, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), hlm. 62-63.
11
Endang Komara, op.cit., hlm. 26.
Ketiga, pengetahuan mistik. Pengetahuan yang tidak bisa dibuktikan secara
logis maupun empiris.12
12
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2016),
hlm. 16-17.
13
Adian Husaini, et.al, Filsafat Ilmu: Perspektif Barat Dan Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2013), hlm. 72-74.
pengetahuan alam. Sedangkan pengetahuan teologis, betapa pun
sistematisnya, tetap saja ia bersifat deduktif, sedangkan pengetahuan alam
sifatnya induktif.14
Kesimpulan
14
Cecep Sumarna, op.cit., hlm. 154.
15
Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu: Dari Hakikat Menuju Nilai, (Bandung: Pusataka Bani Quraisy, 2006), hlm. 98-99.
16
Adian Husaini, et.al, op.cit., hlm. 7-8.
gunakan itu adalah akal dan pancaindera. Padahal, sumber pengetahuan yang
mereka gunakan tersebut, masing- masing memiliki kelemahan antara satu
sama lain, selain bersifat relatif.