Oleh :
Pendahuluan
A. Latar belakang
Proses dialog antara ilmu keagamaan dengan ilmu pengetahuan merupakan sebuah
keharusan. Beberapa periode yang lalu, proses dialog tersebut memunculkan sebuah rencana
islamisasi ilmu pengatahuan yang dicetuskan oleh Naquib Al-Attas, Ziaudin Sardan, Ismail
Raji Al–Faruqi, dan Fazlul Rahman. Kehadiran ide-ide islamisasi ilmu tersebut tidak dapat
dihindarkan dari ketimpangan-ketimpangan yang merupakan keterpisahan antara ilmu
pengetahuan dan ilmu agama. Hal ini terjadi sejak kurun abad 15 Hijriah dengan kemunculan
sekularisme yang membuat ilmu pengetahuan sangat jauh dari agama dan sebaliknya.
Dampak sekularisme ini sangat berpengaruh pada keberlangsungan hidup manusia karena
sekularisme menganut paham pada kepercayaan dan pandangan bahwa agama harus
dipisahkan dari berbagai aktivitas sosial dan politik serta ilmu pengatahuan bagi suatu negara.
Ismail Raji Al-Faruqi berusaha melakukan upaya-upaya untuk mengembalikan ilmu
pengetahuan pada pusatnya yaitu tauhid, hal ini ditujukan agar ada keselarasan antara ilmu
pengetahuan dan ilmu agama.
B. Rumusan masalah
Pembahasan
Epistemology islam
Epistemology berasal dari kata Yunani episteme dan logos. Episteme berarti
pengetahuan, dan logos sering digunakan untuk menunjukkan pengetahuan yang
sistematis. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa epistemology adalah
pengetahuan yang sistematis tentang pengetahuan. Istilah ini pertama kali di
populerkan oleh J.F. Ferrier pada tahun 1854. Dia menciptakan dua cabang filosofis :
Epistemologi dan ontology.
Khabar secara etimologi berarti berita. Secara terminologi khabar berarti berita
yang mengabarkan tentang sesuatu kejadian, yang ditransfer dan dibicarakan melalui
perkataan, tulisan, atau gambaran dari kejadian-kejadian yang baru. Shadiq secara
etimologi berarti benar. Dilihat dari makna terminologisnya, shadiq berarti suatu fakta
yang sesuai dengan realita. Menurut al-Attas, khabar shadiq haruslah didasari oleh
sifat-sifat dasar ilmiah atau agama, yang mana diriwayatkan oleh otoritas agama yang
otentik, bukan diriwayatkan oleh sembarang orang.
2. Panca Indera
3. Akal
4. Intuisi
1. Rasionalisme
Menekankan akal budi sebagai sumber utama pengetahuan.
2. Empirisme.
Doktrib bahwa seluruh pengetahuan juga harus berdasarkan pengalaman
inderawi.
3. Skeptisisme
Segala sesuatu selalu tidak pasti atau selalu ragu dan curiga terhadap
pengetahuan.
Ibnu Sina, dikenal sebagai Avicenna, seorang filsuf, ilmuwan, dan cendekiawan
Muslim Persia yang hidup pada abad ke-10 dan ke-11 Masehi. Konsep unity of science, atau
kesatuan ilmu pengetahuan, dalam pemikiran Ibnu Sina merupakan bagian dari upayanya
untuk mengintegrasikan berbagai cabang ilmu pengetahuan ke dalam satu kerangka
konseptual yang kohesif.
Pemikirann ibnu sina dalam unity of science merujuk pada upayanya untuk
menyatukan dan mengintergrasikan berbagai macam cabang ilmu pengetahuan dalam suatu
kerangka yang terkonsep dan kohesi ( keterpaduan bentuk ).
Ibnu Sina yakin bahwa alam semesta adalah satu kesatuan yang terpadu, dan ilmu
pengetahuan yang mempelajari alam semesta juga harus bersifat terpadu. Konsep unity of
science yang dikemukakannya merupakan suatu usaha untuk menyatukan berbagai bidang
ilmu pengetahuan seperti filsafat, ilmu kedokteran, matematika, logika, dan astronomi ke
dalam suatu sistem yang konsisten dan holistic.
Pemikiran Ibnu Sina dalam unity of science telah memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, terutama dalam konteks keberlanjutan
dan integrasi pengetahuan lintas disiplin. Meskipun dikembangkan pada masa lampau,
konsep unity of science Ibnu Sina tetap relevan dan menjadi sumber inspirasi bagi banyak
ilmuwan dan filsuf masa kini.
Ibnu Sina tidak secara eksplisit membahas konsep unity of science sebagaimana
didefinisikan dalam konteks modern, pemikirannya menunjukkan beberapa elemen yang
relevan dengan konsep tersebut :
1. Keterpaduan Pengetahuan
Ibnu Sina meyakini bahwa alam semesta adalah satu kesatuan dan ilmu
pengetahuan yang mempelajari alam semesta haruslah juga bersifat terpadu. Dia
melihat bahwa berbagai cabang ilmu seharusnya tidak terpisah secara mutlak,
melainkan saling melengkapi dan menyatu dalam upaya untuk memahami alam
semesta.
2. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan:
Ibnu Sina tidak memisahkan filsafat dari ilmu pengetahuan. Baginya, filsafat
adalah fondasi bagi ilmu pengetahuan. Dalam karyanya, Ibnu Sina sering
menggunakan metode rasional dan analisis filosofis untuk memperoleh
pemahaman yang lebih dalam tentang realitas.
3. Metode Ilmiah yang Universal:
Ibnu Sina mengembangkan metodologi ilmiah yang universal yang dapat
diterapkan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Metode ilmiahnya
mencakup observasi, eksperimen, penginderaan, dan penalaran logis.
4. Pemikiran Holistik:
Pemikiran Ibnu Sina cenderung bersifat holistik, di mana ia berusaha untuk
memahami hubungan antara berbagai aspek alam semesta dan kehidupan manusia
secara menyeluruh.
Meskipun tidak secara langsung menggunakan istilah "unity of science" seperti yang
kita kenal hari ini, pemikiran Ibnu Sina mencerminkan semangat integrasi dan kesatuan
dalam pengetahuan yang menjadi dasar bagi konsep unity of science. Kontribusinya
terhadap pemikiran filosofis dan ilmiah telah memberikan landasan yang kuat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam dan di seluruh dunia.
1. Kedokteran
Salah satu bidang terkenal dari karya Ibnu Sina adalah dalam kedokteran. Karya
utamanya, "The Canon of Medicine", menjadi salah satu referensi utama dalam dunia
kedokteran selama berabad-abad. Dalam karyanya ini, Ibnu Sina mengintegrasikan
pengetahuan dari berbagai tradisi kedokteran klasik seperti Yunani, Persia, dan India.
Ia menggunakan pendekatan ilmiah yang holistik dengan menyatukan anatomi, fisika,
dan psikologi untuk memahami penyakit dan pengobatan.
2. Filsafat: Ibnu Sina juga terkenal karena kontribusinya dalam filsafat. Dalam karya-
karyanya, seperti "The Book of Healing" dan "The Book of Guidance", ia
mengintegrasikan pemikiran filsafat Yunani klasik, terutama Aristoteles dan Plato,
dengan pemikiran Islam. Ia mencoba untuk menyatukan logika, metafisika, dan etika
dalam suatu kerangka konseptual yang kohesif.
3. Matematika dan Astronomi: Ibnu Sina juga memiliki kontribusi dalam bidang
matematika dan astronomi. Dalam karya-karyanya tentang ilmu falak dan astronomi,
ia menggunakan metode ilmiah yang canggih untuk mempelajari gerak planet dan
benda langit lainnya. Konsep-konsep matematika seperti geometri dan aritmetika juga
diterapkan dalam karya-karyanya tentang ilmu alam.
4. Etika dan Moralitas: Dalam filsafatnya, Ibnu Sina juga membahas tentang etika dan
moralitas. Ia mencoba untuk menyatukan prinsip-prinsip moralitas dengan pemikiran
rasional dan keagamaan. Dalam pandangannya, ilmu pengetahuan tidak hanya
berfungsi untuk memahami alam semesta, tetapi juga untuk membimbing perilaku
manusia agar mencapai kesempurnaan moral.
Dalam berbagai bidang ilmu yang dikembangkan oleh Ibnu Sina, terdapat upaya untuk
mengintegrasikan berbagai cabang ilmu pengetahuan ke dalam suatu kerangka konseptual
yang kohesif. Meskipun tidak secara langsung menyebutkan konsep "unity of science",
prinsip-prinsip kesatuan ilmu pengetahuan tercermin dalam pendekatan interdisipliner dan
holistik yang diterapkan oleh Ibnu Sina dalam karya-karyanya.