MAKALAH
Disusun Oleh:
KUSWOYO GUMILANG
NIM. 214120500011
Dosen Pengampu :
Dr. ATABIK, M.Ag.
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI PROF. K.H. SAIFUDDIN ZUHRI
PURWOKERTO
2021
A. Perbedaaan antara Ilmu Filsafat dengan Filsafat Ilmu dan pentingnya
Filsafat Ilmu khususnya bagi pendidik dan atau praktisi pendidikan.
1. Pengertian Ilmu Filsafat1
1
Firdaus Achmad. “Filsafat Ilmu dalam Kajian Hukum : Posbakum Antara Teori dan
Praktek” (Pontiamak : IAIN PONTIANAK PRESS. 2021). Hlm.106
yang mendirikan aliran filsafat alam semesta atau kosmos dalam perkataan
Yunani. Menurut aliran filsafat kosmos, filsafat adalah suatu penelaahan
terhadap alam semesta untuk mengetahui asal mulanya, unsur-
unsurnya dan kaidah-kaidahnya (The Liang Gie, 1999).
Menurut sejarah kelahiran islahnya, filsafat terwujud sebagai sikap
yang ditauladankan oleh Socrates. Yaitu sikap seorang yang cinta
kebijaksanaan yang mendorong pikiran seseorang untuk terus menerus
maju dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa dirinya ahli, tidak
menyerah kepada kemalasan, terus menerus mengembangkan
penalarannya untuk mendapatkan kebenaran (Soeparmo, 1984).
Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum dan merasa
heran. Pada tahap awalnya kekaguman atau keheranan itu terarah pada
gejala-gejala alam. Dalam perkembangan lebih lanjut, karena persoalan
manusia makin kompleks, maka tidak semuanya dapat dijawab oleh
filsafat secara memuaskan. Jawaban yang diperoleh menurut Koento
Wibisono dkk. (1997),dengan melakukan refleksi yaitu berpikir tentang
pikirannya sendiri. Dengan demikian, tidak semua persoalan itu harus
persoalan filsafat.
Secara umum ilmu filsafat adalah ilmu yang membahas segala
fenomena yang ada dalam kehidupan serta pemikiran manusia secara
skeptis dan bersifat kritis sebagai gagasan yang penuh pengetahuan,
hikmah dan kebijaksanaan.
2
Firdaus Achmad. “Filsafat Ilmu dalam Kajian Hukum : Posbakum Antara Teori dan
Praktek” (Pontiamak : IAIN PONTIANAK PRESS. 2021). Hlm.109
campuran yang eksistensidan pemekarannya bergantung pada hubungan
timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu.
Filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat
pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh
karena itu setiap saat ilmu itu berubah mengiku perkembangan zaman dan
keadaan tanpa meninggalkan pengetahuan lama. Pengetahuan lama
tersebut akan menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru. Hal ini
senada dengan ungkapan dari Archie J.Bahm (1980) bahwa ilmu
pengetahuan (sebagai teori) adalah sesuatu yang selalu berubah.
Dalam perkembangannya filsafat ilmu mengarahkan pandangannya
pada strategi pengembangan ilmu yang menyangkut etik dan heuristik.
Bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja
kegunaan atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi
kehidupan manusia (Koento Wibisono dkk., 1997).
Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali secara mendasar
tentang hakekat dari ilmu pengetahuan itu bahkan hingga implikasinya ke
bidang-bidang kajian lain seperti ilmu-ilmu kealaman. Dengan demikian
setiap perenungan yang mendasar, mau tidak mau mengantarkan kita
untuk masuk ke dalam kawasan filsafat. Menurut Koento Wibisono
(1984), filsafat dari sesuatu segi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang
berusaha untuk memahami hakekat dari sesuatu “ada” yang dijadikan
objek sasarannya, sehingga filsafat ilmu pengetahuan yang merupakan
salah satu cabang filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang
berusaha untuk memahami apakah hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri.
Secara terminologis, filsafat diartikan sebagai ilmu yang
membahas hakikat segala sesuatu yang ada (manusia, alam semesta dan
Tuhan). Secara historis, filsafat adalah induk segala ilmu. Sebelum ilmu-
ilmu berkembang dan mempunyai nama-nama sendiri seperti sekarang,
dahulu kebenaran rasional yang direnungkan dan ditemukan orang
dinamakan filsafat.
Objek material filsafat adalah manusia, alam semesta dan Tuhan.
Pembahasan filsafat selama ini lebih banyak membahas tentang manusia
dilihat dari berbagai dimensinya. Objek formal filsafat adalah perenungan
atau refleksi terhadap segala sesuatu (manusia, alam dan Tuhan) untuk
mendapatkan hakikatnya yang terdalam. Sebagai sebuah kajian, filsafat
mempunyai ciri berpikir tersendiri, yaitu radikal, sistematis dan universal.
Ciri radikal yang merupakan ciri pokok filsafat. Sedangkan dua ciri yang
lain (sistematis dan universal) juga terdapat pada ilmu-ilmu empiris
maupun ilmu agama.
Ada banyak pandangan tentang cabang-cabang filsafat. Masing-
masing ahli filsafat mempunyai telaah sendiri-sendiri. Tetapi ada cabang-
cabang filsafat yang utama, yaitu metafisika, epistemologi, aksiologi,
logika, etika, estetika dan filsafat khusus. Filsafat khusus di antaranya
adalah filsafat sains, filsafat hukum, filsafat sosial, filsafat politik dan
filsafat pendidikan.3
3
Imam Barnadib. “ Pendidikan – Sistem dan Metode”. : (Yogyakarta: Andi
Offset, .1996.hlm.82.
4
https://madrasahdigital.co/berita/pentingnya-filsafat-dalam-pendidikan/ di akses
tanggal 2 November 2021
berarti akar. Maksudnya dari berpikir radikal ini adalah berpikir sampai ke
hakikatnya, sampai keesensinya. Filsafat pendidikan adalah hasil
pemikiran dan perenungan secara mendalam tentang pendidikan sampai ke
akar-akarnya. Filsafat pendidikan pada dasarnya menjawab tiga
permasalahan pokok pendidikan, yaitu: (1.) Apakah itu pendidikan?, (2.)
Apa tujuan yang hendak dicapai?, (3.) Bagaimana cara yang baik untuk
merealisasikan tujuan tujuan tersebut?
5
Ifa Nurhayati. Skrupsi :“Telaah Konseptual Pendidikan Barat dan Islam”. Program Studi
Pendidikan Guru Madrasah Ibtida’iyah, Universitas Islam Raden Rahmat (UNIRA) Malang . 2021
pendidikan, hakikat pendidikan, dan tujuan akhir pendidikan itu sendiri.
Bagi Barat, ruang lingkup pendidikan hanya dibatasi pada aspek-aspek
dhohir (al-syahaadah) yang Nampak (empirik-positifistik).6
Ruang lingkup muatan pendidikan bagi Barat, hanya dibatasi pada
muatan pendidikan yang bisa dipelajari, difahami, dan dihayati secara
empirik dan dibuktikan secara inderawi karena keberadaannya yang
kasat mata. Ruang lingkup muatan pendidikan adalah ruang lingkup
yang bisa dinalar oleh logika anak didik secara logis-sistematik-
rasionalistik, tanpa menyentuh ruang lingkup lain yang bersifat intuitif-
emosionalistik, yaitu ranah-ranah batin, hati, dan mental.
Karena itulah pendidikan agama, etika maupun moral di Barat
sengaja tidak diajarkan secara terstruktur dalam materi kurikulum
tertentu. Bagi Barat hakikat pendidikan tidak berhubungan secara
langsung dengan nilai etik dan moral yang lebih bersifat emosional.
Pendidikan hanya difahami sebagai upaya pendewasaan anak didik
yang sanggup mengantarkan mereka menghadapi hidup dan kehidupan
yang profan ini.
Hakikat pendidikan Barat selain hanya dibatasi pada ranah dhohir,
pendidikan Barat juga hanya berorientasi pada kedewasaan dunia dan
mengesampingkan akhirat. Peserta didik hanya diajak berpikir secara
sadar pada objek-objek yang bersifat material-positifistik. Pemahaman
ontologis yang demikian tentu akan mengantarkan arah dan tujuan
pendidikan mereka yang sangat sekuler. Urusan moral, etika, dan
agama bagi mereka tidak dikait-kaitkan dengan kehidupan publik.
Agama bagi mereka adalah urusan yang sangat privat (individu). Sebab
agama bagi mereka acapkali berseberangan dengan cara pandang dunia
provan ini. Agama bagi anggapan Barat dalam faktanya banyak
menghalang-halangi proses kemajuan penalaran dan pembangunan.
6
Murtadha Muthahhari, Tema- Tema Penting Filsafat Islam,Terj.A. Rifa’i Hasan dan
Yuliani L (Bandung: Mizan, 1993), hal.25
Sehingga pada sisi tertentu agama harus dinegasikan dari kehidupan
publik mereka.
Sementara itu model pendidikan Islam tidaklah demikian. Model
pendidikan dalam Islam adalah pendidikan yang mutlak berdasarkan
pada paradigma sistem nilai-nilai keagamaan, etika, dan moral.
Pendidikan apapun coraknya, termasuk pendidikan umum, selalu saja
sarat dengan basic nilai. Model pendidikan yang di dalamnya sengaja
ditanamkan nilai-nilai al-akhlaq al-karimah. Oleh karena itu konsepsi
pendidikan Islam adalah konsepsi pendidikan yang menyentuh dua
domain sekaligus, yaitu domain fisik maupun psikis, dhohir maupun
batin, jasmani maupun ruhani, sebagaimana tujuan pendidikan nasional
kita.
Dengan demikian ruang lingkup objek pendidikan Barat dan Islam,
sangatlah berbeda jauh, bagaikan langit dan bumi. Tentu yang demikian
ini, akan melahirkan perbedaan cara pandang ukuran keberhasilan
pendidikan di antara kedua peradaban di atas. Pada satu sisi
keberhasilan pendidikan hanya dinilai dari kaca mata fisik, materi, yang
tampak, dan profan, sementara di sisi lain ukuran keberhasilan
pendidikan harus dipandang dari dua sudut secara bersamaan, yaitu
fisik maupun psikis.
Perbedaan ruang lingkup objek pendidkan sebagaimana di atas,
efeknya bagi paradigma pendidikan secara makro tidaklah sesederhana
yang kita bayangkan. Perbedaan ruang lingkup objek pendidikan itu
akan berefek pada konstruksi kurikulum secara umum, baik dilihat dari
tujuan pendidikan, strategi/ model pembelajaran, materi/muatan yang
diajarkan, maupun langkah evaluasi yang direncanakan. Perbedaan
konseptual pendidikan Barat dan Islam lebih detil dapat diamati pada
perbedaan konstruksi kurikulumnya, terutama yang menyentuh pada
ranah epistemologi, yaitu berhubungan dengan sumber/materi yang
ditanamkan dan strategi/cara untuk mencapai hakikat materi itu guna
mengantarkan kedewasaan peserta didik.
2). Perbedaan Proses Berfikir (epistemologi) Paradigma Ilmu di Barat
dan Islam
Secara epistemologis, pendidikan Barat dan Islam bisa dibedakan
dari dua instrument mendasar, yaitu instrument sumber pengetahuan dan
instrument cara/strategi menggalinya. Berhubungan dengan intrumen
sumber pengetahuan atau materi, epistemologi akan berbicara tentang dari
mana sumber pendidikan itu di peroleh, dan meliputi apa saja sumber
pendidikan itu diadaptasi. Sementara itu yang berhubungan dengan
instrument cara/strategi, epistemologi akan berbicara tentang bagaimana
cara, strategi, dan proses efektif mentransfer sumber pengetahuan atau
materi pendidikan tersebut ke dalam karakter peserta didik.
Perbedaan epistemologi Barat dan Islam tentang instrument
sumber pengetahuan terlihat sangat menonjol. Sumber pengetahuan atau
materi pendidikan Barat lebih menekankan pada aspek pengalaman
kehidupan secara empirik.7 Pengalaman kehidupan empirik yang
dipandang banyak memberikan arti dalam kehidupannya dianggap sebagai
sumber inspirasi kehidupan yang bisa diulang-ulang, sejauh belum ada
sumber inspirasi kehidupan lain yang dinilai memiliki nilai lebih.
Sumber inspirasi kehidupam inilah yang secara tidak langsung oleh
Barat dijadikan sebagai sistem nilai/pedoman (pattern for behavior) bagi
proses kehidupan mereka. Bagi Barat tidak ada sistem nilai yang baku atau
sakral. Pilihan mereka pada sistem nilai yang menjadi pedoman hidupnya
bukan didasarkan pada nilai sakralitas yang bersifat supra natural tetapi
lebih didasarkan pada nilai-nilai provan/ empirik yang bersifat natural.
Oleh karena itu sumber atau materi yang dipedomani Barat acapkali
mengalamai perubahan-perubahan signifikan sesuai dengan bukti-bukti
empirik mana yang banyak memberikan konstribusi pada mereka.
Sedangkan sumber pengetahuan yang memberikan inspirasi dalam
Islam adalah sumber nilai pengetahuan yang memiliki kebenaran
7
Atho Mudzhar, H.M,. Pendekatan Studi Islam, Dalam Teori dan Praktek (Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 1998).
universal, yaitu tek suci al-Qur’an dan al-Hadits, termasuk kata-kata
hikmah dari para arif. Sumber nilai pengetahuan yang bukan berasal dari
konstruksi pakar maupun elit masyarakat, melainkan dari pencipta alam
semesta secara langsung. Sumber pengetahuan yang memiliki kekuatan
doktrin moral maupun etik kepada manusia. Inilah yang membedakan
dengan Barat.
Sumber pengetahuan yang terjadi di Barat kering dari aspek
sakralitas, sementara Islam sarat dengan muatan-muatan kesucian dan
kesakralan. Dari aspek sumber pengetahuan, antara Barat dan Islam telah
terlihat adanya perbedaan yang sangat menonjol. Perbedaan itu akan lebih
Nampak lagi ketika dilihat dari aspek cara maupun strategi mendapatkan
pengetahuan atau proses transfer knowledge, dari sumber pengetahuan
hingga cara mendapatkannya.
Belakangan ini perkembangan teknologi dan informasi telah
menunjukkan sedemikian kemajuannya. Beberapa efek maupun pengaruh
dari keduanya, baik pengaruh positif maupun negatif tidak bisa lagi
diprediksi oleh penggunanya. Bahkan karena melalui kemajuan keduanya,
proses transfer knowledge pun kini tidak jarang telah menegasikan peran
seorang guru atau pendidik secara langsung. Perang guru maupun pendidik
secara langsung dalam kelas bisa digantikan dengan kecanggihan
teknologi modern. Anak didik tidak lagi banyak tergantung dengan guru.
Mereka mampu belajar mandiri tanpa seorang guru/dosen dalam kelas.
Sudah tersedia teknologi modern yang secara lebih efektif dan efesien
melebihi peran guru. cara inilah yang banyak mewarnai tradisi pendidikan
Barat.
Secara logika rasional strategi transfer knowledge seperti ini
sementara waktu banyak diminati oleh para pakar maupun pemerhati
pendidikan. Hanya saja tanpa terasa cara ini telah mengesampingkan nilai-
nilai esensial dari pendidikan itu sendiri. Nilai-nilai esensial itu ialah nilai
etik dan moral yang acapkali muncul pada saat terjadi gesekan dialektik
antara spirit penstransfer pengetahuan dan penerima pengetahuan itu. Pada
saat itulah ada proses instituasionalisasi dan internalisasi nilai pada diri
anak didik dan pendidik. Sebab semua pengetahuan yang ditransfer
mensaratkan adanya pengendalian dan tanggungjawab moral untuk
menjaganya.
4. Perbedaan Aksiologis Pendidikan Barat dan Islam.
Sejak awal tulisan ini mengatakan bahwa perbedaan paradigma
pendidikan Barat dan Islam tidak saja terjadi pada aspek perbedaan
ontologi dan epistemologi, namun juga pada ranah aksiologi.
Hubungannya dengan pendidikan, aksiologi berbicara pada aspek
kontribusi langsung pendidikan bagi masyarakat. Sudahkah kualitas
pendidikan melahirkan manusia-manusia yang memiliki kesadaran secara
holistik? Benarkah pendidikan akan melahirkan sebuah peradaban yang
tinggi? Idealnya arah dan tujuan pendidikan memang demikian. Hampir
semua harapan masyarakat memiliki kesamaan cara pandang, bahwa
masyarakat yang semakin tinggi kualifikasi pendidikannya masyarakatnya
semakin maju. Namun demikian fakta sosiologis menunjukkan sebaliknya.
Banyak pakar hukum yang menjalani hukuman, memainkan dan
merekayasi hukum, banyak akuntan, ekonom yang korup, banyak pejabat
yang kolusi, banyak orang pinter tapi keblinger. Statemen ini sederhana
tetapi hal demikian sudah menjadi tradisi yang terlanjur memasyarakat.
Mengapa demikian? Tentu ini semua tidak terlepas dari sumber
pengetahuan apa saja yang berhasil diadaptasinya dan strategi bagaimana
yang digunakan untuk menggalinya.
Untuk itu dalam rangka merealisasikan tujuan pendidikan, Islam
selalu mengkait-kaitkan secara menyeluruh terhadap ketiga ranah di atas,
yaitu ranah ontologi, epistemologi dan aksiologi. Atas dasar itu sudah
menjadi rumus mutlak dalam islam, bahwa semakin tinggi status
pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula kesadaran moralitasnya.
Oleh sebab itu membangun kesadaran moralitas dan spiritualitas tidak
hanya terpusat pada pengurasan tenaga untuk melaksanakan upacara
peribadatan, kegiatan di masjid dan membacaan al-Qur’an, sebagaimana
tampak pada sebagian orang.
Mengingat tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk
manusia yang sempurna (insan kamil), sebagaimana yang tercakup dalam
tujuan akhir pendidikan Islam, maka seluruh kegiatan pendidikan harus
mencerminkan dan mempertimbangkan aspek-aspek kesadaran etik, moral
dan spiritual. Pendidikan Islam telah menjunjung tinggi dan mengarahkan
tujuan itu kepada arah ideal, sehingga pendidikan terhindar dari
penyimpangan atau ketergelinciran, mengabdi kepada kemanusiaan serta
mewujudkan kebahagiaan individu dan masyarakat.
C. Teori Kebenaran8
1) Teori Kebenaran Koherensi atau Konsistensi
3) Kebenaran Pragmatis
Menurut teori ini suatu proposisi dikatakan benar apabila proposisi
itu berlaku, dapat digunakan, berguna. Dengan kata lain bahwa sesuatu itu
dikatakan benar apabila ia berguna, dapat digunakan dalam praktek, akibat
9
Darwis A.Seolaiman. “Filsafat Ilmu Pengetahuan Perspektif Barat dan Islam” : (Bandar
Publising, Aceh. 2019) hlm. 70
atau pengaruhnya memuaskan. Jelas bahwa teori ini berdasarkan pada
filsafat pragmatisme.
Menimbang teori pragmatisme dengan teori-teorikebenaran
sebelumya, pragmatisme memang benar untukmenegaskan karakter praktis
dari kebenaran, pengetahuan, dan kapasitas kognitif manusia. Tapi bukan
berarti teori ini merupakanteori yang terbaik dari keseluruhan teori.
Kriteria pragmatism juga diergunakan oleh ilmuan dalam menentukan
kebenaranilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataanilmiah
yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidaklagi demikian.
Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis
selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka
pernyataan itu dianggap benar,sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat
demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan
pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan, demikian seterusnya10
D. Persamaan dan perbedaan kebenaran antara kebenaran: agama,
filsafat, dan ilmu pengetahuan
Persamaan antara Kebenaran Ilmu, Kebenaran Filsafat, dan
Kebenaran Agama Yang paling pokok adalah sama-sama untuk mencari
kebenaran. Ilmu melalui metode ilmiahnya berupaya mencari kebenaran.
Metode ilmiah yang digunakan dengan cara melakukan penyelidikan atau
riset untuk membuktikan atau mencari kebenaran tersebut. Filsafat dengan
caranya sendiri berusaha menempuh hakikat sesuatu baik tentang alam,
manusia maupun tentang Tuhan. Agama dengan karakeristiknya sendiri
memberikan jawaban atas segala persoalan asasi perihal alam, manusia,
dan Tuhan.11 Ada persamaan antara ilmu, filsafat, dan agama (kursif
penulis) yaitu tujuannya mencari ketenangan dan kemudian bagi manusia
12
A, Susanto, Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis Epistimologi dan
Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, tth) Cetakan kedua, h. 134
13
A, Susanto, Filsafat Ilmu …, hlm. 135
14
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 98.
15
Akhyar Yusuf, Filsafat Ilmu, hlm. 112
pengalaman inderawilah (al-tajribah) sebagai satu-satunya sumber
kebenaran dan kepastian pengetahuan manusia.16
Aliran Empirisme disandarkan kepada beberapa tokoh pemikir
Barat diantaranya Francis Bacon, Thomas Hobbes, David Hume, dan John
locke.17 John Locke memperkenalkan teori tabula rasa (sejenis buku
catatan kosong), maksudnya ialah bahwa manusia itu pada mulanya
kosong dari pengetahuan, lantas pengalamanya mengisi jiwa yang kosong
itu, lantas ia memiliki pengetahuan. Mula-mula tangkapan indera yang
masuk itu sederhana lama-lama menjadi komplek, lalu tersusunlah
pengetahuan berarti.18
Jadi dalam empirisme, sumber utama untuk memperoleh
pengetahuan adalah dengan pengalaman inderawi. Maka, empirisme
sangat menekankan metode eksperimen dalam proses pencapaian
pengetahuan manusia. Seseorang yang tak memiliki satu jenis indera
tertentu maka ia ia tidak dapat memiliki konsepsi tentang pengetahuan
yang berhubungan indera tersebut.19
2) Kebenaran Logis
Logika merupakan cabang filsafat yang menyelidiki kesehatan
cara berpikir, aturan-aturan mana yang harus dihormati supaya pernyataan-
pernyataan kita sah. Logika tidak mengajar apa pun tentang manusia atau
dunia, melainkan merupakan suatu teknik yang mementingkan segi formal,
yaitu segi bentuk dari pengetahuan. Logika menyusun , mengembangkan,
dan membahas asas-asas, aturan-aturan formal, prosedur-prosedur
normatif, serta kriteria yang sahih bagi penalaran dan penyimpulan demi
mencapai kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
16
Donny Gahrial Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan, (Bandung: Teraju. 2002,
Cet. I), hlm., hlm. 48
17
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 24
18
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 100.
19
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 101
Logika didefinisikan sebagai pengkajian untuk berpikir secara
sahih (Valid). Logika berguna dalam proses penenarikan kesimpulan.
Logika dibagimenjadi logika induktif dan logika deduktif20
3) Kebenaran Etis
20
Syamphadzi Nuroh, “Filsafat Ilmu : Studi kasus : Telaah Buku Filasafat Ilmu , Sebuah
Pengantar Populer oleh Jujun S. Suria sumantri” (Yogyakarta : UGM, 2017) hlm. 6
dibengkakkan (tidak sesuai dengan kenyataannya). Sebagai bawahan
mungkin akan ikut perintah atasan tersebut, walaupun kata hatinya tidak
benar, maka disini sebagai bawahan dituntut suatu keberanian untuk
mengatakan kebenaran bahwa tindakan tersebut salah atau / tidak etis
(non etis).
4) Kebenaran Transedental
21
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu… 121
22
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu… 122
23
Paulus Wahana, Filsafat Ilmu Pengetahuan, ( Yogyakarta : Pustaka Diamond.2016) .
hlm 108
kemampuan untuk menyimpan dan meneruskan nilai-nilai budaya dari
generasi yang satu kepada generasi selanjutnya.
Manusia dapat berpikir dengan baik karena dia mempunyai bahasa.
Tanpa bahasa maka manusia tidak akan dapat berpikir secara rumit dan
abstrak seperti apa yang kita lakukan dalam kegiatan ilmiah. Tanpa bahasa
maka kita tak dapat mengkomunikasikan pengetahuan kita kepada orang
lain. Binatang tidak dikaruniai bahasa yang sempurna sebagaimana kita
miliki, oleh sebab itu maka binatang tidak dapat berpikir dengan baik dan
mengakumulasikan pengetahuannya lewat proses komunikasi seperti kita
mengembangkan ilmu. Bahasa memungkinkan manusia berpikir secara
abstrak di mana obyek-obyek yang faktual ditransformasikan menjadi
simbol-simbol bahasa yang abstrak. Dengan adanya transfomasi ini maka
manusia dapat berpikir mengenai sesuatu obyek tertentu meskipun obyek
tersebut secara faktual tidak berada di tempat di mana kegiatan berpikir itu
dilakukan. Binatang mampu berkomunikasi dengan binatang lainnya
namun hal ini terbatas selama obyek yang dikomunikasikan itu berada
secara faktual waktu proses komunikasi itu dilakukan.
Bahasa adalah rangkaian bunyi yang mengandung makna atau arti.
Rangkaian bunyi tersebut terdiri dari huruf-huruf tersusun menjadi kata,
kata-kata tersusun menjadi kalimat (keputusan), dan kalimat-kalimat
tersusun menjadi paragraph. Rangkaian bunyi yang mengandung arti
tersebut dapat menghasilkan bahasa lisan. Namun selain bahasa lisan,
ternyata manusia juga menciptakan lambang-lambang untuk
mengungkapkan bahasa tersebut dalam tulisan, maka terciptalah bahasa
tulis. Bunyi yang tadinya hanya dapat didengarkan dapat kita lihat dan kita
baca sebagai tulisan, misalnya dalam Bahasa Indonnesia menjadi tulisan
kata “sapu”, yang tersusun dari hurufhuruf s-a-p-u. Dalam Bahasa
Indonesia dapat kita temukan urutan huruf-huruf sebagai abjad, dari huruf
“a” sampai dengan “z”; dan dari huruf-huruf yang tersedia tersebut dapat
digunakan untuk menyusun kata, kalimat, dan rangkaian kalimat-kalimat
yang semakin kompleks. Dalam perkembangannya, manusia juga dapat
menciptakan bahasa yang sudah disepakati, dan diharapkan hanya dapat
ditangkap serta dimengerti maknanya oleh kelompokkelompok tertenntu.
Misalnya dalam kelompok pramuka, dapat diciptakan beberapa huruf
sandi. Misalnya militer juga menciptakan lambing-lambang yang hanya
dapat dimengerti oleh kelompok militer terkait dalam kepentingan tertentu.
Dan untuk kepentingan kelompok-kelompok yang mempunyai kebutuhan
khusus (misalnya kelompok tuna rungu), diciptakanlah bahasa isyarat
(baik menggunakan mulut/oral maupun jari).
Adanya simbol bahasa yang bersifat abstrak ini memungkinkan
manusia untuk memikirkan sesuatu secara berlanjut. Bahasa juga
memberikan kemampuan untuk berpikir secara teratur dan sistematis.
Transformasi obyek faktual menjadi simbol abstrak yang diwujudkan
lewat perbendaharaan kata-kata ini dirangkaikan oleh tata bahasa untuk
mengemukakan suatu jalan pemikiran atau ekspresi perasaan. Kedua aspek
bahasa ini, yakni aspek informatif dan emotif, keduanya tercermin dalam
bahasa yang kita pergunakan. Pada hakikatnya informasi yang kita
sampaikan mengandung unsur-unsur emotif, demikian juga kalau kita
menyampaikan perasaan, maka ekspresi itu mengandung unsur-unsur
informatif. Kadang-kadang hal ini dapat dipisahkan dengan jelas seperti
“musik dapat dianggap sebagai bentuk dari bahasa, di mana emosi
terbebas dari informasi, sedangkan buku telepon memberika kita informasi
sama sekali tanpa emosi. Kalau kita telaah lebih lanjut, bahasa
mengkomunikasikan tiga hal, yakni buah pikiran, perasaan, dan sikap.
Bahasa dalam kehidupan manusia mempunyai fungsi simbolik, emotif, dan
afektif. Fungsi simbolik dari bahasa menonjol dalam komunikasi ilmiah,
sedangkan fungsi emotif menonjol dalam komunikasi estetik. Dalam
komunikasi ilmiah sebenarnya proses komunikasi harus terbebas dari
unsur emotif ini, agar pesan yang disampaikan bisa diterima secara
reproduktif, identik dengan yang dikirimkan.
Bahasa dapat kita cirikan sebagai serangkaian bunyi. Kita
mempergunakan bunyi sebagai alat untuk berkomunikasi. Meskipun kita
bisa berkomunikasi dengan mempeprgunakan alat-alat lain, umpamanya
saja dengan memakai berbagai isyarat, namun manusia mempergunakan
bunyi sebagai alat komunikasi yang paling utama. Bahasa merupakan
lambang di mana rangkaian bunyi ini membentuk suatu arti tertentu.
Rangkaian bunyi yang kita kenal sebagai kata melambangkan suatu obyek
tertentu umpamanya saja gunung atau seekor burung merpati. Perkataan
gunung dan burung merpati sebenarnya merupakan lambang yang kita
berikan kepada dua obyek tersebut. Manusia mengumpulkan lambang-
lambang ini dan menyusun apa yang kita kenal sebagai perbendaharaan
kata-kata. Perbendaharaan ini pada hakikatnya merupakan akumulasi
pengalaman dan pemikiran mereka. Artinya dengan perbendaharaan kata-
kata yang mereka punyai maka manusia dapat mengkomunikasikan
segenap pengalaman dan pemikiran mereka karena pengalaman dan
pemikiran manusia berkembang, maka bahasa juga terus berkembang.
Bahasa diperkaya oleh seluruh lapisan masyarakat yang mempergunakan
bahasa tersebut; para ilmuwan, pendidik, ahli politik, remaja, dan bahkan
tukang copet. Lucu memang, namun itulah kenyataannya, tiap profesi
bahkan copet sekalipun, mengembangkan bahasa yang khas untuk
kelompoknya.
2) Matematika24
24
Paulus Wahana, Filsafat Ilmu Pengetahuan, ( Yogyakarta : Pustaka Diamond.2016) .
hlm 115
bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat kabur, majemuk dan
emosional dari bahasa verbal. Lambang-lambang dari matematika dibikin
secara artifisial dan individual yang merupakan perjanjian yang berlaku
khusus untuk masalah yang sedang kita kaji.
Sebuah obyek yang sedang kita telaah dapat kita lambangkan
dengan apa saja sesuai dengan perjanjian kita. Umpamanya bila kita
sedang mempelajari kecepatan jalan kaki seorang anak maka obyek
“kecepatan jalan kaki seorang anak untuk waktu tertentu” tersebut dapat
kita lambangkan dengan k. Dalam hal ini maka k hanya mempunyai satu
arti, yakni “kecepatan jalan kaki seorang anak untuk waktu tertentu” dan
tidak mempunyai pengertian lain. Waktu yang digunakan dalam suatu
kegiatan jalan kaki menggunakaan lambing w. Sedangkan jarak yang
ditempuh dalam waktu ertentu menggunakan lambing j Maka dapat dibuat
rumus “jarak” yang ditempuh sama dengan waktu yang digunakan kali
kecepatan” atau dengan lambing: j = k x w. Pernyataan matematik
mempunyai sifat yang jelas, spesifik dan informatif dengan tidak
menimbulkan konotasi yang bersifat emosional.
Matematika mempunyai kelebihan lain disbandingkan
dengan bahasa verbal. Matematika mengembangkan bahasa
numerik (dengan menggunakan lambang angka) yang
memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara
kuantitatif. Dengan bahasa verbal, bila kita membandingkan dua
obyek yang berlainan umpamanya gajah dan semut, maka kita
bisa mengatakan bahwa gajah lebih besar dari semut. Kalau kita
ingin menelusur lebih lanjut berapa besar gajah dibandingkan
dengan semut, maka kita mengalami kesukaran dalam
mengemukakan hubungan itu. Bahasa verbal hanya mampu
mengemukakan pernyataan yang bersifat kualitatif. Kita bisa
mengetahui bahwa logam kalau dipanaskan akan memanjang.
Namun pengertian kita hanya sampai di situ. Kita tidak bisa
mengatakan dengan tepat berapa besar pertambahan panjangnya.
Untuk mengatasi masalah ini matematika mengembangkan
konsep pengukuran. Dalam usaha melakukan pengukuran,
matematika menggunakan satuan ukuran standar yang
ditetapkan dan diberlakukan secara universal. Dan untuk
mengetahui banyaknya satuan ukuran dari hal yang diukurnya,
matematika juga menggunakan lambang bilangan, untuk
melakukan pembilangan terhadap hal yang diukurnya
berdasarkan satuan ukuran yang digunakannya. Lambang
bilangan tersebut dapat menggunakan rangkaian lambang
bilangan yang tersusun dari angka-angka sebagai berikut: 1, 2, 3,
4,5, 6, 7, 8, 9, 0. Lewat pengukuran dengan menggunakan satuan
ukuran yang telah disepakati bersama, dan mencatatnya dengan
menggunakan bilangan yang tersusun dari angka-angka tersebut,
maka kita dapat mengetahui dengan tepat berapa panjang
sebatang logam dan berapa pertambahan panjangnya kalau logam
itu dipanaskan. Dengan mengatahui hal ini maka pernyataan
ilmiah yang berupa pernyataan kualitatif seperti “Sebatang logam
kalau dipanaskan akan memanjang” dapat diganti dengan
pernyataan kuantitatif matematik yang lebih eksak (terukur
secara eksak), misalnya menjadi “Sebatang logam yang
panjangnya 1 meter dengan suhu 30 0 C kalau dipanaskan
mencapai suhu 1000 C akan memanjang menjadi 1 meter lebih 1
cm”. Dan lebih lanjut kemungkinan dapat diperhitungkan
pertambahan panjang setiap dipanaskan dengan kenaikan suhu
10 C. Sifat kuantitatif dari matematika ini meningkatkan daya prediktif dan
kontrol dari ilmu. Ilmu memberikan jawaban yang lebih bersifat eksak
yang memungkinkan pemecahan masalah secara terukur lebih tepat dan
cermat. Matematika memungkinkan ilmu mengalami perkembangan dari
tahap kualitatif ke kuantitatif. Perkembangan ini merupakan suatu hal yang
imperatif bila kita menghendaki daya prediksi dan kontrol yang lebih tepat
dan cermat dari ilmu.
3) Statistika25
Ilmu secara sederhana dapat didefinisikan sebagai
pengetahuan yang telah teruji kebenarannya. Semua pernyataan ilmiah
adalah bersifat faktua, di mana konsekuensinya dapat diuji baik dengan
jalan mempergunakan pancaindera, maupun dengan mempergunakan
alatalat yang membantu pencaindera tersebut. Pengujian secara empiris
merupakan salah satu mata rantai dalam metode ilmiah yang
membedakan ilmu dari pengetahuanpengetahuan lainnya. Pengujian
merupakan suatu proses pengumpulan fakta yang relevan dengan
hipotesis yang diajukan. Sekiranya hipotesis itu didukung oleh fakta-
fakta empiris maka pernyataan hipotesis tersebut diterima atau
disahkan kebenarannya. Sebaliknya jika hipotesis tersebut
bertentangan dengan kenyataan maka hipotesis itu ditolak.
Pengujian mengharuskan kita untuk menarik kesimpuan
yang bersifat umm dari kasus-kasus yang bersifat individual.
Umpamanya jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak
umur 10 tahun di sebuah tempat maka nilai tinggi rata-rata yang
dimaksudkan itu merupakan sebuah kesimpulan umum yang ditarik
dalam kasus-kasus anak umum 10 tahun di tempat itu. Jadi dalam hal
ini kita menarik kesimpulan berdasarkan logika induktif. Di pihak lain
penyusunan hipotesis merupakan penarikan kesimpulan yang bersifat
khas dari pernyataan yang bersifat umum dengan mempergunakan
deduksi. Logika deduktif berpaling kepada matematika sebagai sarana
penalaran penarikan kesimpulan, sedangkan logika induktif berpaling
kepada statistika. Statistika merupakan pengetahuan untuk melakukan
penarikan kesimpulan induktif secara lebih seksama.
Penarikan kesimpulan induktif pada hakikatnya berbeda
dengan penarikan kesimpulan secara deduktif. Dalam penalaran
deduktif maka kesimpulan yang ditarik adalah benar sekiranya
25
Paulus Wahana, Filsafat Ilmu Pengetahuan, ( Yogyakarta : Pustaka Diamond.2016) .
hlm 118.
premis-premis yang dipergunakannya adalah benar dan prosedur
penarikan kesimpulannya adalah sah. Sedangkan dalam
penalaraninduktif meskipun premis-premisnya adalah benar
danprosedur penarikan kesimpulannya adalah sah makakesimpulan itu
belum tentu benar. Yang dapat kita katakana adalah bahwa
kesimpulan itu mempunyai peluang untuk benar. Statistika merupakan
pengetahuan yang memungkinkan kita untuk menghitung tingkat
peluang ini dengan eksak.
Penarikan kesimpulan secara induktif menghadapkan kita
kepada sebuah permasalahan mengenai banyaknya kasus yang harus
kita amati sampai kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum.
Dalam hal ini satistika memberikan sebuah jalan keluar. Statistika
memberikan cara untuk dapat menarik kesimpulan yangbersifat umum
dengan jalan mengamati hanya sebagian dari populasi yang
bersangkutan. Jadi untuk mengetahui tinggi rata-rata anak umur 10
tahun di Indonesia kita tidak melakukan pengukuran terhadap seluruh
anak yang berumur tersebut di seluruh Indonesia, namun cukup hanya
dengan jalan melakukan pengukuran terhadap sebagian anak saja.
Tentu saja penarikan kesimpulan seperti ini, yang ditarik berdsarkan
contoh (sample) dari populasi yang bersnagkutan, tidak selalu akan
seteliti kesimpulan yang ditarik berdasarkan sensus yakni dengan jalan
mengamati keseluruhan populasi tersebut. Bukankah dalam
penelaahan keilmuan yang bersifat pragmatis, di mana teori keilmuan
tdak ditujukan kearah penguasaan pengetahuan yang bersifat absolut,
namun ditujukan kearah sesuatu yang tidak mutlak teliti, tetapi dapat
dipertanggungjawabkan, adalah sudah memenuhi syarat.
Statistika mampu memberikan secara kuantitatif tingkat
ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut, yang pada pokoknya
didasarkan pada asas yang sangat sederhana, yakni makin besar
contoh yang diambil makamakin tinggi pula tingkat ketelitian
kesimpulan tersebut.Sebaliknya makin sedikit contoh yang diambil
maka makin rendah pula tingkat ketelitiannya. Karakteristik ini
memungkinkan kita untuk dapat memilih dengan saksama tingkat
ketelitian yang dibutuhkan sesuai dengan hakikat permasalahan yang
dihadapi. Tiap permasalahan membutuhkan tingkat ketelitian yang
berbeda-beda.
Statistika juga memberikan kemampuan kepada kitauntuk
mengetahui apakah suatu hubungan kausalita antara dua faktor atau
lebih bersifat kebetulan atau memang benar-benar terkait dalam suatu
hubunganyang bersifat empiris. Pengamatan secara sepintas lalu
seringmemberikan kesan kepada kita terdapatnya suatu hubungan
kausalita antara beberapa faktor, di mana kalau kita teliti lebih lanjut
ternyata hanya bersifat kebetulan. Jadi dalam hal ini statistika
berfungsi meningkatkan ketelitian pengamatan kita dalam menarik
kesimpulan dengan jalan menghindarkan hubungan semu yang
bersifat kebetulan.
Terlepas dari semua itu, maka dalam penarikan kesimpulan
secara induktif kekeliruan memang tidak bisa dihindarkan. Dalam
kegiatan pengumpulan data kita terpaksa mendasarkan diri kepada
berbagai alat yang pada akikatnya juga tidak terlepas dari cacat yang
berupa ketidaktelitian dalam pengamatan. Pancaindera manusia
sendiri tidak sempurna yang bisa mengakibatkan berbagai kesalahan
dalam pengamatan kita. Demikian juga dengan alat-alat yang
dipergunakan, semua tak ada yang sempurna. Statistika memberikan
sifat yang pragmatis kepada penelaahan keilmuan; meskipun
kebenaran absolut tidak mungkin dapat dicapai, namun suatu
kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan dapat diperoleh.
Penarikan kesimpulan secara statistik memungkinkan kita
untuk melakukan kegiatan ilmiah secara ekonomis, dimana tanpa
statistika hal ini tak mungkin dapat dilakukan. Karakteristik yang
dipunyai statistika inisering kurang dikenali dengan baik yang
menyebabkan orang sering melupakan pentingnya statistika dalam
penelaahan keilmuan. Logika lebih banyak dihubungkan dengan
matematika dan jarang sekali dihubungkan dengan statistika, padahal
hanya logika deduktif yang berkaitan dengan matematika, sedangkan
logika induktif justru berkaitan dengan statistika. Secara hakiki
statistika mempunyai kedudukan yang sama dalam penarikan
kesimpulan induktif seperti matematika dalam penarikan kesimpulan
secara deduktif. Dan penarikan kesimpulan deduktif dan induktif
keduanya mempunyai kedudukan yang sama pentingnya dalam
penelaahan keilmuan. Jika kita terlalu mementingkan logika deduktif
maka kita terjatuh kembali kepada paham rasionalisme, sebaliknya
jika kita terlalu mementingkan logika induktif maka kita mundur
kembali kepada empirisme. Ilmu dalam perkembangan sejarah
peradaban manusia telah menggabungkan kedua pendekatan ini dalam
bentuk metode ilmiah yang mendasarkan diri kepada keseimbangan,
maka harus dijaga pula keseimbangan antara pengetahuan tentang
matematika dan statistika ini.
DAFTAR PUSTAKA