Anda di halaman 1dari 35

KEBENARAN DALAM FILSAFAT ILMU

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Ulangan Tengah Semester


Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Program Pascasarjana Konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam
Universitas Islam Negeri Prof.K.H.Saifuddin Zuhri Purwokerto

Disusun Oleh:

KUSWOYO GUMILANG
NIM. 214120500011

Dosen Pengampu :
Dr. ATABIK, M.Ag.

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI PROF. K.H. SAIFUDDIN ZUHRI
PURWOKERTO
2021
A. Perbedaaan antara Ilmu Filsafat dengan Filsafat Ilmu dan pentingnya
Filsafat Ilmu khususnya bagi pendidik dan atau praktisi pendidikan.
1. Pengertian Ilmu Filsafat1

Perkataan Inggris philosophy yang berart filsafat berasal dari kata


Yunani “philosophia” yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan.
Akar katanya ialah philos (philia, cinta) dan Sophia (kearifan). Menurut
pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu filsafat berarti
cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia yang semula itu
ternyata luas sekali. Dahulu sophia ti dak hanya berarti kearifan saja,
melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan
intelektual, petimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan
kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal praktis (The Liang Gie, 1999).
Banyak pengertian-pengertian atau definisi-definisi tentang fi lsafat yang
telah dikemukakan oleh para filsuf. Menurut Merriam-Webster (dalam
Soeparmo, 1984), secara harafiah filsafat berarti cinta kebijaksanaan.
Maksud sebenarnya adalah pengetahuan tentang kenyataan-kenyataan
yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta hakekat manusia dalam
segala aspek perilakunya seperti : logika, etika, estetika dan teori
pengetahuan.
Kalau menurut tradisi filsafat dari zaman Yunani Kuno, orang yang
pertama memakai itilah philosophia dan philosophos ialah Pytagoras (592-
497 S.M.), yakni seorang ahli matematika yang kini lebih terkenal dengan
dalilnya dalam geometri yang menetapkan a2 + b2 = c2. Pytagoras
menganggap dirinya “philosophos” (pencinta kearifan). Baginya kearifan
yang sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan.
Selanjutnya, orang yang oleh para penulis sejarah filsafat diakui sebagai
Bapak Filsafat ialah Thales (640-546 S.M.). Ia merupakan seorang Filsuf

1
Firdaus Achmad. “Filsafat Ilmu dalam Kajian Hukum : Posbakum Antara Teori dan
Praktek” (Pontiamak : IAIN PONTIANAK PRESS. 2021). Hlm.106
yang mendirikan aliran filsafat alam semesta atau kosmos dalam perkataan
Yunani. Menurut aliran filsafat kosmos, filsafat adalah suatu penelaahan
terhadap alam semesta untuk mengetahui asal mulanya, unsur-
unsurnya dan kaidah-kaidahnya (The Liang Gie, 1999).
Menurut sejarah kelahiran islahnya, filsafat terwujud sebagai sikap
yang ditauladankan oleh Socrates. Yaitu sikap seorang yang cinta
kebijaksanaan yang mendorong pikiran seseorang untuk terus menerus
maju dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa dirinya ahli, tidak
menyerah kepada kemalasan, terus menerus mengembangkan
penalarannya untuk mendapatkan kebenaran (Soeparmo, 1984).
Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum dan merasa
heran. Pada tahap awalnya kekaguman atau keheranan itu terarah pada
gejala-gejala alam. Dalam perkembangan lebih lanjut, karena persoalan
manusia makin kompleks, maka tidak semuanya dapat dijawab oleh
filsafat secara memuaskan. Jawaban yang diperoleh menurut Koento
Wibisono dkk. (1997),dengan melakukan refleksi yaitu berpikir tentang
pikirannya sendiri. Dengan demikian, tidak semua persoalan itu harus
persoalan filsafat.
Secara umum ilmu filsafat adalah ilmu yang membahas segala
fenomena yang ada dalam kehidupan serta pemikiran manusia secara
skeptis dan bersifat kritis sebagai gagasan yang penuh pengetahuan,
hikmah dan kebijaksanaan.

2. Pengertian Filsafat Ilmu2


Menurut The Liang Gie (1999), filsafat ilmu adalah segenap
pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang
menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari
kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan

2
Firdaus Achmad. “Filsafat Ilmu dalam Kajian Hukum : Posbakum Antara Teori dan
Praktek” (Pontiamak : IAIN PONTIANAK PRESS. 2021). Hlm.109
campuran yang eksistensidan pemekarannya bergantung pada hubungan
timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu.
Filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat
pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh
karena itu setiap saat ilmu itu berubah mengiku perkembangan zaman dan
keadaan tanpa meninggalkan pengetahuan lama. Pengetahuan lama
tersebut akan menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru. Hal ini
senada dengan ungkapan dari Archie J.Bahm (1980) bahwa ilmu
pengetahuan (sebagai teori) adalah sesuatu yang selalu berubah.
Dalam perkembangannya filsafat ilmu mengarahkan pandangannya
pada strategi pengembangan ilmu yang menyangkut etik dan heuristik.
Bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja
kegunaan atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi
kehidupan manusia (Koento Wibisono dkk., 1997).
Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali secara mendasar
tentang hakekat dari ilmu pengetahuan itu bahkan hingga implikasinya ke
bidang-bidang kajian lain seperti ilmu-ilmu kealaman. Dengan demikian
setiap perenungan yang mendasar, mau tidak mau mengantarkan kita
untuk masuk ke dalam kawasan filsafat. Menurut Koento Wibisono
(1984), filsafat dari sesuatu segi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang
berusaha untuk memahami hakekat dari sesuatu “ada” yang dijadikan
objek sasarannya, sehingga filsafat ilmu pengetahuan yang merupakan
salah satu cabang filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang
berusaha untuk memahami apakah hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri.
Secara terminologis, filsafat diartikan sebagai ilmu yang
membahas hakikat segala sesuatu yang ada (manusia, alam semesta dan
Tuhan). Secara historis, filsafat adalah induk segala ilmu. Sebelum ilmu-
ilmu berkembang dan mempunyai nama-nama sendiri seperti sekarang,
dahulu kebenaran rasional yang direnungkan dan ditemukan orang
dinamakan filsafat.
Objek material filsafat adalah manusia, alam semesta dan Tuhan.
Pembahasan filsafat selama ini lebih banyak membahas tentang manusia
dilihat dari berbagai dimensinya. Objek formal filsafat adalah perenungan
atau refleksi terhadap segala sesuatu (manusia, alam dan Tuhan) untuk
mendapatkan hakikatnya yang terdalam. Sebagai sebuah kajian, filsafat
mempunyai ciri berpikir tersendiri, yaitu radikal, sistematis dan universal.
Ciri radikal yang merupakan ciri pokok filsafat. Sedangkan dua ciri yang
lain (sistematis dan universal) juga terdapat pada ilmu-ilmu empiris
maupun ilmu agama.
Ada banyak pandangan tentang cabang-cabang filsafat. Masing-
masing ahli filsafat mempunyai telaah sendiri-sendiri. Tetapi ada cabang-
cabang filsafat yang utama, yaitu metafisika, epistemologi, aksiologi,
logika, etika, estetika dan filsafat khusus. Filsafat khusus di antaranya
adalah filsafat sains, filsafat hukum, filsafat sosial, filsafat politik dan
filsafat pendidikan.3

3. Pentingnya Filsafat Ilmu khususnya bagi pendidik dan atau


praktisi pendidikan4
Tugas utama filsafat adalah memberikan analitis secara kritis
terhadap asumsi-asumsi dan konsep sains, dan mengadakan sistematisasi
sain. Dalam pengertian luas, filsafat berusaha mengintegrasikan
pengetahuan manusia dari berbagi lapangan pengalaman manusia yang
berbeda-beda dan menjadikan sutau pandangan yang konprehensip tentang
alam semesta, hidup, dan makna hidup. Dari pendapat Titus diatas, filsafat
adalah kegiatan manusia terutama aspek berfikirnya.
Pemikiran manusia ini kemudian menjadi pengetahuan bagi
manusia untuk menjadi hidup di dunia ini. Filsafat dengan demikian dapat
menjadi pandangan hidup manusia. Radikal berasal dari kata radix yang

3
Imam Barnadib. “ Pendidikan – Sistem dan Metode”. : (Yogyakarta: Andi
Offset, .1996.hlm.82.
4
https://madrasahdigital.co/berita/pentingnya-filsafat-dalam-pendidikan/ di akses
tanggal 2 November 2021
berarti akar. Maksudnya dari berpikir radikal ini adalah berpikir sampai ke
hakikatnya, sampai keesensinya. Filsafat pendidikan adalah hasil
pemikiran dan perenungan secara mendalam tentang pendidikan sampai ke
akar-akarnya. Filsafat pendidikan pada dasarnya menjawab tiga
permasalahan pokok pendidikan, yaitu: (1.) Apakah itu pendidikan?, (2.)
Apa tujuan yang hendak dicapai?, (3.) Bagaimana cara yang baik untuk
merealisasikan tujuan tujuan tersebut?

Made Pidarta (2007:86) mengutip Zanti Arbi mengungkapkan


tentang tujuan filsafat pendidikan, yaitu menginspirasi, menganalisis,
mengpreskripkan, dan menginvestigasi. Maksud menginspirasi yaitu
memberikan inspirasi kepada para pendidik untuk melaksanakan ide
tertentu dalam pendidikan. Melalui filsafat tentang pendidikan, filosof
memaparkan idenya: Bagaimana pendidikan itu? Ke mana diarahkan
pendidikan itu? Siapa saja yang patut menerima pendidikan? dan
bagaimana cara mendidik dan peran pendidik?
Selanjutnya yang dimaksud dengan menganalisis dalam filsafat
pendidikan adalah memeriksa secara teliti bagain-bagian pendidikan agar
dapat diketahui secara jelas validasinya. Hal ini perlu dilakukan agar
penyusunan konsep pendidikan secara untuh tidak terjadi kerancuan,
tumpang tindih, serta arah yang simpang siur. Mendeskriptifkan dalam
filsafat pendidikan pendidikan adalah upaya mejelaskan atau memberi
pengarahan kepada pendidik melalui filsafat pendidikan.
Yang dijelaskan dapat berupa hakikat manusia, aspek peserta didik
yang perlu dikembangkan, batas-batas keterlibatan pendidik, arah dan
target pendidikan sesuai dengan minat dan bakat peserta didik. Maksud
menginvestigasi adalah memeriksa atau meneliti kebenaran teori
pendidikan. Pendidik tidak dibenarkan begitu saja mengambil konsep atau
teori pendidikan untuk dipraktikkan di lapangan. Senada dengan Made
Pidarta, J.M.Daniel 1986:26) mengatakan bahwa filsafat memiliki tujuan-
tujuan sebagai berikut:
a) Inspirasional, yaitu tujuan filsafat pendidikan yang menyatakan cita-cita
utopia bagi pendidikan manusia, baik pendidikan formal maupun
informal.
b) Analitik, menemukan dan menafsirkan makna dalam percakapan/bahasa
dan praktek pendidikan.
c) Preskriptif, yaitu tujuan filsafat pendidikan memberikan panduan yang
jelas dan tepat bagi praktik pendidikan.
d) Investigasi, yaitu tujuan filsafat pendidikan menyelidiki kebijakan dan
praktek pendidikan yang diadopsi. Filsafat pendidikan Islam tentu
sangat diperlukan sebagai aplikasi filsafat dalam pendidikan. Hal ini
mengingat bahwa tujuan dari pendirian lembaga pendidikan senantiasa
berhubungan dengan individu dan masyarakat yang menyelenggarakan
dan mengkonsumsi pendidikan.
Oleh karena itu, pengelola pendidikan harus memahami filsafat
pendidikan sebagai basis penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan,
termasuk di dalamnya metode dalam pendidikan. Metode merupakan
langkah atau cara menyelenggarakan pendidikan. Karenanya, metode
merupakan salah satu hal krusial yang perlu dirumuskan.
Dalam serangkaian aktifitas belajar-mengajar, metode seringkali
menjadi satu hal yang inheren, sehingga pengajar maupun pelajar kerap
mengabaikannya. Karenanya, sekalipun tidak dipikirkan, metode tetap
includ di dalam proses kependidikan. Menurut H.M. Arifin metode
dalam pandangan filosofis pendidikan merupakan alat yang
dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Alat itu mempunyai
fungsi yang bersifat polipragmatis yakni bilamana metode itu
mengandung kegunaan yang serba ganda di satu sisi memberikan
manfaat dan berdampak positif.
Namun, di sisi lain bisa menjadi sesuatu yang membahayakan dan
berdampak negatif sebagaimana media yang berbasis IT (informsi
teknologi) dan monopragmatis atau alat yang hanya dapat dipergunakan
untuk mencapai satu macam tujuan saja seperti laboratorium. Sebagai
sebuah disiplin ilmu, filsafat pendidikan islam sudah dipastikan
memiliki metode pengembangan dan pengkajiannya yang khas, karena
metode inilah sesungguhnya yang memberikan petunjuk operasional
dan teknis dalam mengembangkan suatu ilmu. Sebagai suatu metode,
pengembangan suatu ilmu biasanya memerlukan empat hal sebagai
berikut:
1) Bahan-bahan yang akan digunakan untuk pengembangan filsafat
pendidikan. Dalam hal ini dapat berupa bahan tertulis yaitu, al-Quran
dan al-Hadist yang disertai pendapat ulama.
2) Serta para filosof lainnya; dan bahan yang diambil dari pengalaman
empirik dalam praktik pendidikan.
3) Metode pencarian bahan. Untuk mencari bahan-bahan yang bersifat
tertulis dapat dilakukan melalui studi kepustakaan dan studi lapangan
yang masing-masing prosedurnya telah diatur sedemikan rupa. Namun
demikian, khusus dalam menggunakan al-Quran dan Al-Hadist dapat
digunakan jasa Ensiklopedi al-Quran semacam mu’jam al-Mufahras li
alfazh al-Quran al-Karim, karangan Muhammad Fuad Abd Al-Baqi
(Kamus untuk mencari ayat-ayat yang diperlukan), dan mu’jan al-
Mufahras li alfazh al-Hadist karangan Weinseink (Kamus untuk
mencari hadist yang diperlukan)
4. Metode pembahasan. Untuk ini Muzayyin Arifin mengajukan alternatif
metode analitis-sintetis, yaitu suatu metode yang berdasarkan
pendekatan rasional dan logis terhadap sasaran pemikiran secara
indukatif, dedukatif, dan analisa ilmiah.
5. Metode pendekatan. Pendekatan ini biasanya diperlukan dalam analisa,
dan berhubungan dengan teori-teori keilmuan tertentu yang akan dipilih
untuk menjelaskan fenomena tertentu pula. Selanjutnya, karena yang
ingin dikembangkan dan dikaji masalah filsafat pendidikan Islam, maka
pendekatan yang harus digunakan adalah perpaduan dari ketiga ilmu
tersebut yaitu filsafat, ilmu pendidikan, dan keislaman (Abuddin Nata,
2005: 20-24).
Secara filosofis, hakikat pendidikan berkaitan dengan hakikat para
pendidik, anak didik, lembaga pendidikan, dasar-dasar dan tujuan
pendidikan, hak dan kewajiban, tugas dan kedudukan semua yang
terlibat dalam pendidikan. Selain itu, secara epistemologi sumber-
sumber dan tolak ukur pendidikan dikaji secara kritis dan mendalam
sehingga akan berjalan harmonis dengan tujuan pendidikan yang
dimaksudkan. Ahmad D. Marimba (1980: 45) mengartikan pendidikan
Islam sebagai usaha untuk membimbing keterampilan jasmaniah dan
rohaniah berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam
menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.

Ukuran-ukuran Islam ditujukan pada akhlak anak didik, perilaku


konkrit yang memberi manfaat kepada kehidupannya di masyarakat.
Hasan Langgulung (1980:23) mengatakan bahwa pendidikan Islam
ialah pendidikan yang memiliki empat fungsi, yaitu (1.) Fungsi
edukatif, artinya mendidik dengan tujuan memberikan ilmu
pengetahuan kepada anak didik agar terbebas dari kebodohan; (2.)
Fungsi pengembangan kedewasaan berfikir melalui proses transmisi
ilmu pengetahuan; (3.) Fungsi penguatan keyakinan terhadap kebenaran
dengan pemahaman ilmiah; (4.) Fungsi ibadah sebagai bagian
pengabdian hamba kepada Sang Pencipta yang telah menganugerahkan
kesempurnaan jasmani dan rohani kepada manusia. Sebagaimana Allah
S.W.T berfirman dalam surah At-Tin ayat 4: “Sesungguhnya Kami
telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”

Muzayyin Arifin menyatakan bahwa mempelajari filsafat


pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran yang mendasar,
sistematis, logis, dan menyeluruh (universal) tentang pendidikan, yang
tidak hanya di latarbelakangi oleh pengetahuan agama Islam saja,
melainkan menuntut kita untuk mempelajari ilmu-ilmu yang relevan.
Pendapat ini memberikan petunjuk bahwa ruang lingkup filsafat
pendidikan Islam adalah maslah-masalah yang terdapat dalam kegiatan
pendidikan, seperti masalah tujuan pendidikan, masalah guru,
kurikulum, dan metode lingkungan.

Karena itu dalam mengkaji filsafat pendidikan Islam seseorang


akan diajak memahami konsep tujuan pendidikan, konsep gyry yang
baik, konsep kurikulum, dan seterusnya yang dilakukan secara
mendalam, sistematik, logis, radikal dan universal berdasarkan tuntutan
agama Islam, khususnya berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadist (Abuddin
Nata, 2005:16).

Jadi, janganlah berpikiran bahwasanya filsafat adalah ilmu yang


menyesatkan ataupun radikal. Karena filsafat mengajarkan kita untuk
berpikir secara sistematis dan teratur, ilmu filsafat ini sangat membantu
dalam pembelajaran maupun pendidikan, banyak cabang-cabang ilmu
filsafat yang digunakan contohnya saja filsafat pendidikan islam dalam
pengkaderan, ilmu filsafat ini bisa diterapkan dalam perkaderan karena
di dalam ilmu ini mempelajari tentang pemikiran yang mendasar,
sistematis, logis, dan menyeluruh tentang pendidikan yang tidak hanya
di latarbelakangi oleh pengetahuan agama Islam saja, melainkan
menuntut kita untuk mempelajari ilmu-ilmu yang relevan.
B. Analisis perbandingan tentang pekembangan paradigma ilmu di
Barat dan dunia Islam (secara ontologi, epistemologi dan aksiologi)5
1). Perbedaan Konseptual (ontologi) paradigma ilmu di Barat dan Islam
Secara konseptual kedua entitas peradaban di atas (Barat dan Islam)
memiliki cara pandang dan tekanan pemahaman yang sangat berbeda
terhadap masalah pendidikan. Perbedaan itu tidak saja karena
perbedaan sistem penalaran masing-masing oleh karena konteks sosio-
kultural yang melingkupinya, namun perbedaan keduanya terlihat
terutama karena pemahaman terhadap ruang lingkup muatan

5
Ifa Nurhayati. Skrupsi :“Telaah Konseptual Pendidikan Barat dan Islam”. Program Studi
Pendidikan Guru Madrasah Ibtida’iyah, Universitas Islam Raden Rahmat (UNIRA) Malang . 2021
pendidikan, hakikat pendidikan, dan tujuan akhir pendidikan itu sendiri.
Bagi Barat, ruang lingkup pendidikan hanya dibatasi pada aspek-aspek
dhohir (al-syahaadah) yang Nampak (empirik-positifistik).6
Ruang lingkup muatan pendidikan bagi Barat, hanya dibatasi pada
muatan pendidikan yang bisa dipelajari, difahami, dan dihayati secara
empirik dan dibuktikan secara inderawi karena keberadaannya yang
kasat mata. Ruang lingkup muatan pendidikan adalah ruang lingkup
yang bisa dinalar oleh logika anak didik secara logis-sistematik-
rasionalistik, tanpa menyentuh ruang lingkup lain yang bersifat intuitif-
emosionalistik, yaitu ranah-ranah batin, hati, dan mental.
Karena itulah pendidikan agama, etika maupun moral di Barat
sengaja tidak diajarkan secara terstruktur dalam materi kurikulum
tertentu. Bagi Barat hakikat pendidikan tidak berhubungan secara
langsung dengan nilai etik dan moral yang lebih bersifat emosional.
Pendidikan hanya difahami sebagai upaya pendewasaan anak didik
yang sanggup mengantarkan mereka menghadapi hidup dan kehidupan
yang profan ini.
Hakikat pendidikan Barat selain hanya dibatasi pada ranah dhohir,
pendidikan Barat juga hanya berorientasi pada kedewasaan dunia dan
mengesampingkan akhirat. Peserta didik hanya diajak berpikir secara
sadar pada objek-objek yang bersifat material-positifistik. Pemahaman
ontologis yang demikian tentu akan mengantarkan arah dan tujuan
pendidikan mereka yang sangat sekuler. Urusan moral, etika, dan
agama bagi mereka tidak dikait-kaitkan dengan kehidupan publik.
Agama bagi mereka adalah urusan yang sangat privat (individu). Sebab
agama bagi mereka acapkali berseberangan dengan cara pandang dunia
provan ini. Agama bagi anggapan Barat dalam faktanya banyak
menghalang-halangi proses kemajuan penalaran dan pembangunan.

6
Murtadha Muthahhari, Tema- Tema Penting Filsafat Islam,Terj.A. Rifa’i Hasan dan
Yuliani L (Bandung: Mizan, 1993), hal.25
Sehingga pada sisi tertentu agama harus dinegasikan dari kehidupan
publik mereka.
Sementara itu model pendidikan Islam tidaklah demikian. Model
pendidikan dalam Islam adalah pendidikan yang mutlak berdasarkan
pada paradigma sistem nilai-nilai keagamaan, etika, dan moral.
Pendidikan apapun coraknya, termasuk pendidikan umum, selalu saja
sarat dengan basic nilai. Model pendidikan yang di dalamnya sengaja
ditanamkan nilai-nilai al-akhlaq al-karimah. Oleh karena itu konsepsi
pendidikan Islam adalah konsepsi pendidikan yang menyentuh dua
domain sekaligus, yaitu domain fisik maupun psikis, dhohir maupun
batin, jasmani maupun ruhani, sebagaimana tujuan pendidikan nasional
kita.
Dengan demikian ruang lingkup objek pendidikan Barat dan Islam,
sangatlah berbeda jauh, bagaikan langit dan bumi. Tentu yang demikian
ini, akan melahirkan perbedaan cara pandang ukuran keberhasilan
pendidikan di antara kedua peradaban di atas. Pada satu sisi
keberhasilan pendidikan hanya dinilai dari kaca mata fisik, materi, yang
tampak, dan profan, sementara di sisi lain ukuran keberhasilan
pendidikan harus dipandang dari dua sudut secara bersamaan, yaitu
fisik maupun psikis.
Perbedaan ruang lingkup objek pendidkan sebagaimana di atas,
efeknya bagi paradigma pendidikan secara makro tidaklah sesederhana
yang kita bayangkan. Perbedaan ruang lingkup objek pendidikan itu
akan berefek pada konstruksi kurikulum secara umum, baik dilihat dari
tujuan pendidikan, strategi/ model pembelajaran, materi/muatan yang
diajarkan, maupun langkah evaluasi yang direncanakan. Perbedaan
konseptual pendidikan Barat dan Islam lebih detil dapat diamati pada
perbedaan konstruksi kurikulumnya, terutama yang menyentuh pada
ranah epistemologi, yaitu berhubungan dengan sumber/materi yang
ditanamkan dan strategi/cara untuk mencapai hakikat materi itu guna
mengantarkan kedewasaan peserta didik.
2). Perbedaan Proses Berfikir (epistemologi) Paradigma Ilmu di Barat
dan Islam
Secara epistemologis, pendidikan Barat dan Islam bisa dibedakan
dari dua instrument mendasar, yaitu instrument sumber pengetahuan dan
instrument cara/strategi menggalinya. Berhubungan dengan intrumen
sumber pengetahuan atau materi, epistemologi akan berbicara tentang dari
mana sumber pendidikan itu di peroleh, dan meliputi apa saja sumber
pendidikan itu diadaptasi. Sementara itu yang berhubungan dengan
instrument cara/strategi, epistemologi akan berbicara tentang bagaimana
cara, strategi, dan proses efektif mentransfer sumber pengetahuan atau
materi pendidikan tersebut ke dalam karakter peserta didik.
Perbedaan epistemologi Barat dan Islam tentang instrument
sumber pengetahuan terlihat sangat menonjol. Sumber pengetahuan atau
materi pendidikan Barat lebih menekankan pada aspek pengalaman
kehidupan secara empirik.7 Pengalaman kehidupan empirik yang
dipandang banyak memberikan arti dalam kehidupannya dianggap sebagai
sumber inspirasi kehidupan yang bisa diulang-ulang, sejauh belum ada
sumber inspirasi kehidupan lain yang dinilai memiliki nilai lebih.
Sumber inspirasi kehidupam inilah yang secara tidak langsung oleh
Barat dijadikan sebagai sistem nilai/pedoman (pattern for behavior) bagi
proses kehidupan mereka. Bagi Barat tidak ada sistem nilai yang baku atau
sakral. Pilihan mereka pada sistem nilai yang menjadi pedoman hidupnya
bukan didasarkan pada nilai sakralitas yang bersifat supra natural tetapi
lebih didasarkan pada nilai-nilai provan/ empirik yang bersifat natural.
Oleh karena itu sumber atau materi yang dipedomani Barat acapkali
mengalamai perubahan-perubahan signifikan sesuai dengan bukti-bukti
empirik mana yang banyak memberikan konstribusi pada mereka.
Sedangkan sumber pengetahuan yang memberikan inspirasi dalam
Islam adalah sumber nilai pengetahuan yang memiliki kebenaran

7
Atho Mudzhar, H.M,. Pendekatan Studi Islam, Dalam Teori dan Praktek (Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 1998).
universal, yaitu tek suci al-Qur’an dan al-Hadits, termasuk kata-kata
hikmah dari para arif. Sumber nilai pengetahuan yang bukan berasal dari
konstruksi pakar maupun elit masyarakat, melainkan dari pencipta alam
semesta secara langsung. Sumber pengetahuan yang memiliki kekuatan
doktrin moral maupun etik kepada manusia. Inilah yang membedakan
dengan Barat.
Sumber pengetahuan yang terjadi di Barat kering dari aspek
sakralitas, sementara Islam sarat dengan muatan-muatan kesucian dan
kesakralan. Dari aspek sumber pengetahuan, antara Barat dan Islam telah
terlihat adanya perbedaan yang sangat menonjol. Perbedaan itu akan lebih
Nampak lagi ketika dilihat dari aspek cara maupun strategi mendapatkan
pengetahuan atau proses transfer knowledge, dari sumber pengetahuan
hingga cara mendapatkannya.
Belakangan ini perkembangan teknologi dan informasi telah
menunjukkan sedemikian kemajuannya. Beberapa efek maupun pengaruh
dari keduanya, baik pengaruh positif maupun negatif tidak bisa lagi
diprediksi oleh penggunanya. Bahkan karena melalui kemajuan keduanya,
proses transfer knowledge pun kini tidak jarang telah menegasikan peran
seorang guru atau pendidik secara langsung. Perang guru maupun pendidik
secara langsung dalam kelas bisa digantikan dengan kecanggihan
teknologi modern. Anak didik tidak lagi banyak tergantung dengan guru.
Mereka mampu belajar mandiri tanpa seorang guru/dosen dalam kelas.
Sudah tersedia teknologi modern yang secara lebih efektif dan efesien
melebihi peran guru. cara inilah yang banyak mewarnai tradisi pendidikan
Barat.
Secara logika rasional strategi transfer knowledge seperti ini
sementara waktu banyak diminati oleh para pakar maupun pemerhati
pendidikan. Hanya saja tanpa terasa cara ini telah mengesampingkan nilai-
nilai esensial dari pendidikan itu sendiri. Nilai-nilai esensial itu ialah nilai
etik dan moral yang acapkali muncul pada saat terjadi gesekan dialektik
antara spirit penstransfer pengetahuan dan penerima pengetahuan itu. Pada
saat itulah ada proses instituasionalisasi dan internalisasi nilai pada diri
anak didik dan pendidik. Sebab semua pengetahuan yang ditransfer
mensaratkan adanya pengendalian dan tanggungjawab moral untuk
menjaganya.
4. Perbedaan Aksiologis Pendidikan Barat dan Islam.
Sejak awal tulisan ini mengatakan bahwa perbedaan paradigma
pendidikan Barat dan Islam tidak saja terjadi pada aspek perbedaan
ontologi dan epistemologi, namun juga pada ranah aksiologi.
Hubungannya dengan pendidikan, aksiologi berbicara pada aspek
kontribusi langsung pendidikan bagi masyarakat. Sudahkah kualitas
pendidikan melahirkan manusia-manusia yang memiliki kesadaran secara
holistik? Benarkah pendidikan akan melahirkan sebuah peradaban yang
tinggi? Idealnya arah dan tujuan pendidikan memang demikian. Hampir
semua harapan masyarakat memiliki kesamaan cara pandang, bahwa
masyarakat yang semakin tinggi kualifikasi pendidikannya masyarakatnya
semakin maju. Namun demikian fakta sosiologis menunjukkan sebaliknya.
Banyak pakar hukum yang menjalani hukuman, memainkan dan
merekayasi hukum, banyak akuntan, ekonom yang korup, banyak pejabat
yang kolusi, banyak orang pinter tapi keblinger. Statemen ini sederhana
tetapi hal demikian sudah menjadi tradisi yang terlanjur memasyarakat.
Mengapa demikian? Tentu ini semua tidak terlepas dari sumber
pengetahuan apa saja yang berhasil diadaptasinya dan strategi bagaimana
yang digunakan untuk menggalinya.
Untuk itu dalam rangka merealisasikan tujuan pendidikan, Islam
selalu mengkait-kaitkan secara menyeluruh terhadap ketiga ranah di atas,
yaitu ranah ontologi, epistemologi dan aksiologi. Atas dasar itu sudah
menjadi rumus mutlak dalam islam, bahwa semakin tinggi status
pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula kesadaran moralitasnya.
Oleh sebab itu membangun kesadaran moralitas dan spiritualitas tidak
hanya terpusat pada pengurasan tenaga untuk melaksanakan upacara
peribadatan, kegiatan di masjid dan membacaan al-Qur’an, sebagaimana
tampak pada sebagian orang.
Mengingat tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk
manusia yang sempurna (insan kamil), sebagaimana yang tercakup dalam
tujuan akhir pendidikan Islam, maka seluruh kegiatan pendidikan harus
mencerminkan dan mempertimbangkan aspek-aspek kesadaran etik, moral
dan spiritual. Pendidikan Islam telah menjunjung tinggi dan mengarahkan
tujuan itu kepada arah ideal, sehingga pendidikan terhindar dari
penyimpangan atau ketergelinciran, mengabdi kepada kemanusiaan serta
mewujudkan kebahagiaan individu dan masyarakat.

C. Teori Kebenaran8
1) Teori Kebenaran Koherensi atau Konsistensi

Menurut teori Koherensi atau konsistensi suatu proposisi dianggap


benar apabila proposisi tersebut memiliki hubungan dengan gagasan dari
proposisi sebelumnya yang telah dianggap benar, atau proposisi itu
konsisten dengan proposisi sebelumnya. Menurut teori ini, yang didukung
oleh kaum rasionalis dan idealis, manusia tidak pasti dapat mencapai
kesesuaian antara pengetahuannya dengan obyek di luar dirinya, tetapi kita
hanya sampai kepada adanya kesan-kesan tentang sesuatu, atau pendapat
tentang sesuatu. Kesan atau pendapat kita tentang sesuatu itu belum tentu
sama dengan kesan orang lain. Demikian pula belum tentu apakah
pendapat kita akan sesuai dengan pendapat orang lain, apakah pendapat
kita benar atau pendapat orang lain itu yang lebih benar.
Karena itu, menurut teori ini kita harus menentukan atau
menggunakan kriteria untuk mencari kebenaran itu. Kreteria itu ialah,
apakah ada tidaknya ketetapan (konsistensi) antara pendapat-pendapat atau
kesan-kesan yang ada tentang sesuatu. Pendapat itu harus reliable, artinya
dapat dipercaya kebenarannya, yaitu setelah dilakukan ekperimen berkali-
kali maka hasilnya tetap sama (konsisten). Apabila diminta pendapat dari
8
Darwis A.Seolaiman. “Filsafat Ilmu Pengetahuan Perspektif Barat dan Islam” : (Bandar
Publising, Aceh. 2019) hlm. 69-71
sejumlah orang dan setelah berkali-kali dilakukan pendapat mereka itu
tetap sama, maka hal demikian dipandang benar. Kebenaran menurut teori
konsistensi disebut kebenaran immanen, yaitu kebenaran yang terjadi
dalam jiwa kita, kebenaran itu tidak langsung dijangkau dari obyek di luar
diri kita (kenyataan), tetapi sebenarnya telah ada pada diri kita.
Pengetahuan kita tentang obyek adalah penyadaran kembali terhadap apa
yang telah ada dalam diri kita. Inilah yang dikatakan oleh Plato sebagai
doktrin innate ideas, yaitu doktrin bahwa idea itu sudah ada pada kita,
dibawa sejak lahir.

2) Teori Kebenaran Korespondensi9

Menurut teori korespondensi pengetahuan kita itu adalah benar


apabila sesuai dengan kenyataan. Suatu pernyataan atau suatu proposisi
dikatakan benar apabila pernyataan itu sesuai dengan fakta-fakta yang ada.
Kalau tidak sesuai dengan fakta maka pernyataan itu tidak benar.
Pendukung teori ini, yaitu kaum empiris dan realis, berpendapat bahwa
dunia di luar diri kita (obyek) tidak bergantung pada diri kita (subyek).
Kebenaran menurut teori ini adalah kebenaran yang transenden, artinya
kebenaran itu terletak di luar jiwa kita, melampaui batas-batas jiwa kita.
Kebenaran di luar diri kita itu dijangkau secara langsung, artinya kita
langsung berhadapan dengan kenyataan atau objek di luar diri kita. Jadi
kebenaran dirumuskan sebagai persesuaian antara pengetahuan kita
dengan obyek pengetahuan, artinya apa yang kita ketahui itu cocok dengan
kenyataan. Dalam teori ini, diutamakan pengalaman (empiri), adanya
dualitas subyek dan obyek, dan mementingkan bukti (evidence).

3) Kebenaran Pragmatis
Menurut teori ini suatu proposisi dikatakan benar apabila proposisi
itu berlaku, dapat digunakan, berguna. Dengan kata lain bahwa sesuatu itu
dikatakan benar apabila ia berguna, dapat digunakan dalam praktek, akibat

9
Darwis A.Seolaiman. “Filsafat Ilmu Pengetahuan Perspektif Barat dan Islam” : (Bandar
Publising, Aceh. 2019) hlm. 70
atau pengaruhnya memuaskan. Jelas bahwa teori ini berdasarkan pada
filsafat pragmatisme.
Menimbang teori pragmatisme dengan teori-teorikebenaran
sebelumya, pragmatisme memang benar untukmenegaskan karakter praktis
dari kebenaran, pengetahuan, dan kapasitas kognitif manusia. Tapi bukan
berarti teori ini merupakanteori yang terbaik dari keseluruhan teori.
Kriteria pragmatism juga diergunakan oleh ilmuan dalam menentukan
kebenaranilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataanilmiah
yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidaklagi demikian.
Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis
selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka
pernyataan itu dianggap benar,sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat
demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan
pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan, demikian seterusnya10
D. Persamaan dan perbedaan kebenaran antara kebenaran: agama,
filsafat, dan ilmu pengetahuan
Persamaan antara Kebenaran Ilmu, Kebenaran Filsafat, dan
Kebenaran Agama Yang paling pokok adalah sama-sama untuk mencari
kebenaran. Ilmu melalui metode ilmiahnya berupaya mencari kebenaran.
Metode ilmiah yang digunakan dengan cara melakukan penyelidikan atau
riset untuk membuktikan atau mencari kebenaran tersebut. Filsafat dengan
caranya sendiri berusaha menempuh hakikat sesuatu baik tentang alam,
manusia maupun tentang Tuhan. Agama dengan karakeristiknya sendiri
memberikan jawaban atas segala persoalan asasi perihal alam, manusia,
dan Tuhan.11 Ada persamaan antara ilmu, filsafat, dan agama (kursif
penulis) yaitu tujuannya mencari ketenangan dan kemudian bagi manusia

Sedngkan perbedaan antara kebenaran ilmu, kebenaran Filsafat,


dan kebenaran Agama terdapat perbedaan yang mendasar dimana ilmu dan
filsafat bersumber dari akal budi atau rasio manusia, sedangkan agama
10
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu; Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers,
2014), hlm. 59.
11
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos, 1997), Cetakan Pertama, hlm.23
bersumber dari wahyu Tuhan.12 Ilmu pengetahuan mencari kebenaran
dengan cara penyelidikan (riset), pengalaman (empiris), dan percobaan
(eksperimen). Fislafat menemukan kebenaran atau kebijakan dengan cara
penggunaan akal budi atau rasio yang dilakukan secara mendalam,
menyeluruh, dan universal. Kebenaran yang diperoleh atau ditemukan oleh
filsafat adalah murni hasil pemikiran (logika) manusia, dengan cara
perenungan (berpikir) yang mendalam (logika) tentang hakikat sesuatu
(metafisika). Agama mengajarkan kebenaran atau memberi jawaban
berbagai masalah asasi melalui wahyu atau kitab suci yang berupa firman
Tuhan.13 Kebenaran yang diperoleh melalui ilmu pengetahuan, dengan
cara penyelidikan tersebut adalah kebenaran positif, yaitu kebenaran atau
teori yang lebih kuat dalil atau alasannya. Kebenaran filsafat adalah
kebenaran spekulatif, berupa dugaan yang tidak dapat dibuktikan secara
empiris, riset dan eksperimen. Baik kebenaran ilmu maupun kebenaran
filsafat, keduanya nisbi (relatif), sedangkan kebenaran agama bersifat
mutlak (absolut), karena ajaran agama adalah wahyu yang maha benar,
yang maha mutlak.

E. Kebenaran empiris; kebenaran logis, kebenaran etis, kebenaran


transcendental
1) Kebenaran Empirisme
Empirisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu empeirikos artinya
pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui
pengalamannya.14 yang artinya pengalaman. Dalam filsafat biasanya
bipertentangkan dengan rasionalisme.15 Berbeda dengan rasionalisme yang
menjadikan akal manusia sebagai sumber dan penjamin kepastian suatu
kebenaran pengetahuan manusia. Empirisme memandang hanya

12
A, Susanto, Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis Epistimologi dan
Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, tth) Cetakan kedua, h. 134
13
A, Susanto, Filsafat Ilmu …, hlm. 135
14
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 98.
15
Akhyar Yusuf, Filsafat Ilmu, hlm. 112
pengalaman inderawilah (al-tajribah) sebagai satu-satunya sumber
kebenaran dan kepastian pengetahuan manusia.16
Aliran Empirisme disandarkan kepada beberapa tokoh pemikir
Barat diantaranya Francis Bacon, Thomas Hobbes, David Hume, dan John
locke.17 John Locke memperkenalkan teori tabula rasa (sejenis buku
catatan kosong), maksudnya ialah bahwa manusia itu pada mulanya
kosong dari pengetahuan, lantas pengalamanya mengisi jiwa yang kosong
itu, lantas ia memiliki pengetahuan. Mula-mula tangkapan indera yang
masuk itu sederhana lama-lama menjadi komplek, lalu tersusunlah
pengetahuan berarti.18
Jadi dalam empirisme, sumber utama untuk memperoleh
pengetahuan adalah dengan pengalaman inderawi. Maka, empirisme
sangat menekankan metode eksperimen dalam proses pencapaian
pengetahuan manusia. Seseorang yang tak memiliki satu jenis indera
tertentu maka ia ia tidak dapat memiliki konsepsi tentang pengetahuan
yang berhubungan indera tersebut.19
2) Kebenaran Logis
Logika merupakan cabang filsafat yang menyelidiki kesehatan
cara berpikir, aturan-aturan mana yang harus dihormati supaya pernyataan-
pernyataan kita sah. Logika tidak mengajar apa pun tentang manusia atau
dunia, melainkan merupakan suatu teknik yang mementingkan segi formal,
yaitu segi bentuk dari pengetahuan. Logika menyusun , mengembangkan,
dan membahas asas-asas, aturan-aturan formal, prosedur-prosedur
normatif, serta kriteria yang sahih bagi penalaran dan penyimpulan demi
mencapai kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.

16
Donny Gahrial Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan, (Bandung: Teraju. 2002,
Cet. I), hlm., hlm. 48
17
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 24
18
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 100.
19
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 101
Logika didefinisikan sebagai pengkajian untuk berpikir secara
sahih (Valid). Logika berguna dalam proses penenarikan kesimpulan.
Logika dibagimenjadi logika induktif dan logika deduktif20
3) Kebenaran Etis

Kebenaran etis adalah kebenaran yang bersumber dari


etika. Etika mempelajari prinsip-prinsip dan tindakan moral. Moral
berkaitan dengan praktek-praktek dan kegiatan-kegiatan yang
bersangkut paut dengan benar dan salah. Jadi kebenaran etis adalah
kebenaran yang berdasarkan prinsip-prinsip dan tindakan moral.
Dengan berpedoman pada kebenaran etis ini kita dapat menentukan
apakah suatu tindakan benar atau salah dan mengapa tindakan-tindakan
itu dianggap benar atau salah. Kebenaran Etis menurut pada filsuf
meliputi kejujuran, keberanian, dapat dipercaya, keramah tamahan,
keadilan dan dapat diandalkan, dengan titik sentral keadilan dan
keinginan untuk berbuat baik.Untuk dapat menentukan apakah suatu
tindakan benar atau salah, kita harus memiliki kepekaan yang kuat
terhadap nilai-nilai etis tersebut di atas.
Kepekaan sebenarnya merupakan ketrampilan, dan
ketrampilan atau kepekaan dapat menjadi kuat apabila
dipraktekkkan.Ole karena itu nilai-nilai etis tersebut di atas harus
dipraktekkan oleh semua orang sedangkan para administrator public
dan tenaga-tenaga professional lainnya harus mengaplikasikannya
dalam situasi situasi spesifik yang mereka hadapi selama menjalankan
tugas. Sebagai contoh kebenaran Etis dan Non Etis. Apabila seorang
pejabat telah menyatakan janji, baik tertulis ataupun lisan ska secara
etis pejabat harus memenuhinya, sebaliknya apabila ia tidak memenuhi
janjinya dapat dianggap tidak dapat dipercaya atau tidak etis (non-etis).
Begitu pula apabila seorang pegawai yang oleh atasannya diperintahkan
untuk mengganti uang penegaluaran dinas yang jumlahnya sudah

20
Syamphadzi Nuroh, “Filsafat Ilmu : Studi kasus : Telaah Buku Filasafat Ilmu , Sebuah
Pengantar Populer oleh Jujun S. Suria sumantri” (Yogyakarta : UGM, 2017) hlm. 6
dibengkakkan (tidak sesuai dengan kenyataannya). Sebagai bawahan
mungkin akan ikut perintah atasan tersebut, walaupun kata hatinya tidak
benar, maka disini sebagai bawahan dituntut suatu keberanian untuk
mengatakan kebenaran bahwa tindakan tersebut salah atau / tidak etis
(non etis).
4) Kebenaran Transedental

Pada hakekatnya, manusia hidup di dunia ini adalah sebagai


makhluk yang suka mencari kebenaran. Salah satu cara untuk
menemukan suatu kebenaran adalah agama. Agama dengan
karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala
persoalanasasi yang dipertanyakan manusia; baik tentang alam,
manusia, maupun tentang Tuhan. Dalam mendapatkan kebenaran
menurut teori agama adalah wahyu yang bersumber dari Tuhan.21
Manusia dalam mencari dan menentukan kebenaran sesuatu
dalam agama dengan cara mempertanyakan atau mencari jawaban
berbagai masalah kepada kitab Suci. Dengan demikian, sesuatu hal
dianggap benar apabila sesuai dengan ajaran agama atau wahyu
sebagai penentuk kebenaran mutlak.22
F. Sarana berfikir ilmiah dalam tinjauan Ontologis.
(Alasan Bahasa, Matematika dan Statistika disebut sebagai sarana
berfikir ilmiah)
1) Bahasa 23
Keunikan manusia sebenarnya bukanlah terletak pada kemampuan
berpikirnya melainkan terletak pada kemampuannya berbahasa. Tanpa
mempunyai kemampuan berbahasa, maka kegiatan berpikir secara
sistematis dan teratur tidak mungkin dilakukan. Lebih lanjut, tanpa
kemampuan berbahasa maka manusia tak mungkin mengembangkan
kebudayaannya, sebab tanpa mempunyai bahasa maka hilang pulalah

21
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu… 121
22
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu… 122
23
Paulus Wahana, Filsafat Ilmu Pengetahuan, ( Yogyakarta : Pustaka Diamond.2016) .
hlm 108
kemampuan untuk menyimpan dan meneruskan nilai-nilai budaya dari
generasi yang satu kepada generasi selanjutnya.
Manusia dapat berpikir dengan baik karena dia mempunyai bahasa.
Tanpa bahasa maka manusia tidak akan dapat berpikir secara rumit dan
abstrak seperti apa yang kita lakukan dalam kegiatan ilmiah. Tanpa bahasa
maka kita tak dapat mengkomunikasikan pengetahuan kita kepada orang
lain. Binatang tidak dikaruniai bahasa yang sempurna sebagaimana kita
miliki, oleh sebab itu maka binatang tidak dapat berpikir dengan baik dan
mengakumulasikan pengetahuannya lewat proses komunikasi seperti kita
mengembangkan ilmu. Bahasa memungkinkan manusia berpikir secara
abstrak di mana obyek-obyek yang faktual ditransformasikan menjadi
simbol-simbol bahasa yang abstrak. Dengan adanya transfomasi ini maka
manusia dapat berpikir mengenai sesuatu obyek tertentu meskipun obyek
tersebut secara faktual tidak berada di tempat di mana kegiatan berpikir itu
dilakukan. Binatang mampu berkomunikasi dengan binatang lainnya
namun hal ini terbatas selama obyek yang dikomunikasikan itu berada
secara faktual waktu proses komunikasi itu dilakukan.
Bahasa adalah rangkaian bunyi yang mengandung makna atau arti.
Rangkaian bunyi tersebut terdiri dari huruf-huruf tersusun menjadi kata,
kata-kata tersusun menjadi kalimat (keputusan), dan kalimat-kalimat
tersusun menjadi paragraph. Rangkaian bunyi yang mengandung arti
tersebut dapat menghasilkan bahasa lisan. Namun selain bahasa lisan,
ternyata manusia juga menciptakan lambang-lambang untuk
mengungkapkan bahasa tersebut dalam tulisan, maka terciptalah bahasa
tulis. Bunyi yang tadinya hanya dapat didengarkan dapat kita lihat dan kita
baca sebagai tulisan, misalnya dalam Bahasa Indonnesia menjadi tulisan
kata “sapu”, yang tersusun dari hurufhuruf s-a-p-u. Dalam Bahasa
Indonesia dapat kita temukan urutan huruf-huruf sebagai abjad, dari huruf
“a” sampai dengan “z”; dan dari huruf-huruf yang tersedia tersebut dapat
digunakan untuk menyusun kata, kalimat, dan rangkaian kalimat-kalimat
yang semakin kompleks. Dalam perkembangannya, manusia juga dapat
menciptakan bahasa yang sudah disepakati, dan diharapkan hanya dapat
ditangkap serta dimengerti maknanya oleh kelompokkelompok tertenntu.
Misalnya dalam kelompok pramuka, dapat diciptakan beberapa huruf
sandi. Misalnya militer juga menciptakan lambing-lambang yang hanya
dapat dimengerti oleh kelompok militer terkait dalam kepentingan tertentu.
Dan untuk kepentingan kelompok-kelompok yang mempunyai kebutuhan
khusus (misalnya kelompok tuna rungu), diciptakanlah bahasa isyarat
(baik menggunakan mulut/oral maupun jari).
Adanya simbol bahasa yang bersifat abstrak ini memungkinkan
manusia untuk memikirkan sesuatu secara berlanjut. Bahasa juga
memberikan kemampuan untuk berpikir secara teratur dan sistematis.
Transformasi obyek faktual menjadi simbol abstrak yang diwujudkan
lewat perbendaharaan kata-kata ini dirangkaikan oleh tata bahasa untuk
mengemukakan suatu jalan pemikiran atau ekspresi perasaan. Kedua aspek
bahasa ini, yakni aspek informatif dan emotif, keduanya tercermin dalam
bahasa yang kita pergunakan. Pada hakikatnya informasi yang kita
sampaikan mengandung unsur-unsur emotif, demikian juga kalau kita
menyampaikan perasaan, maka ekspresi itu mengandung unsur-unsur
informatif. Kadang-kadang hal ini dapat dipisahkan dengan jelas seperti
“musik dapat dianggap sebagai bentuk dari bahasa, di mana emosi
terbebas dari informasi, sedangkan buku telepon memberika kita informasi
sama sekali tanpa emosi. Kalau kita telaah lebih lanjut, bahasa
mengkomunikasikan tiga hal, yakni buah pikiran, perasaan, dan sikap.
Bahasa dalam kehidupan manusia mempunyai fungsi simbolik, emotif, dan
afektif. Fungsi simbolik dari bahasa menonjol dalam komunikasi ilmiah,
sedangkan fungsi emotif menonjol dalam komunikasi estetik. Dalam
komunikasi ilmiah sebenarnya proses komunikasi harus terbebas dari
unsur emotif ini, agar pesan yang disampaikan bisa diterima secara
reproduktif, identik dengan yang dikirimkan.
Bahasa dapat kita cirikan sebagai serangkaian bunyi. Kita
mempergunakan bunyi sebagai alat untuk berkomunikasi. Meskipun kita
bisa berkomunikasi dengan mempeprgunakan alat-alat lain, umpamanya
saja dengan memakai berbagai isyarat, namun manusia mempergunakan
bunyi sebagai alat komunikasi yang paling utama. Bahasa merupakan
lambang di mana rangkaian bunyi ini membentuk suatu arti tertentu.
Rangkaian bunyi yang kita kenal sebagai kata melambangkan suatu obyek
tertentu umpamanya saja gunung atau seekor burung merpati. Perkataan
gunung dan burung merpati sebenarnya merupakan lambang yang kita
berikan kepada dua obyek tersebut. Manusia mengumpulkan lambang-
lambang ini dan menyusun apa yang kita kenal sebagai perbendaharaan
kata-kata. Perbendaharaan ini pada hakikatnya merupakan akumulasi
pengalaman dan pemikiran mereka. Artinya dengan perbendaharaan kata-
kata yang mereka punyai maka manusia dapat mengkomunikasikan
segenap pengalaman dan pemikiran mereka karena pengalaman dan
pemikiran manusia berkembang, maka bahasa juga terus berkembang.
Bahasa diperkaya oleh seluruh lapisan masyarakat yang mempergunakan
bahasa tersebut; para ilmuwan, pendidik, ahli politik, remaja, dan bahkan
tukang copet. Lucu memang, namun itulah kenyataannya, tiap profesi
bahkan copet sekalipun, mengembangkan bahasa yang khas untuk
kelompoknya.

Adanya lambang-lambang ini memungkinkan manusia dapat


berpikir dan belajar dengan lebih baik. Sekiranya kita tidak mempunyai
perkataan gunung dan merpati, jika saya ingin mengatakan kepada
seseorang, “Ada seekor merpati di tepi gunung”, maka saya harus
membawa orang tersebut kepada obyek yang dilambangkan dengan
gunung dan merpati itu. Jelas hal ini sangat merepotkan meskipun
pekerjaan itu masih bisa dilakukan. Apalagi bila kita ingin
mengkomunikasikan bahwa “Makhluk Yeti hidup di puncak Gunung
Himalaya”. Adanya bahasa ini memungkinkan kita untuk memikirkan
sesuatu dalam benak kepala kita meskipun obyek yang sedang kita
pikirkan tersebut tidak berada di dekat kita. Di kamar kecil kita bisa
memikirkan soal aljabar kita atau merencanakan apa yang akan kita
lakukan setelah makan malam nanti. Dengan kemampuannya berbahasa
memungkinkan manusia untuk memikirkan sesuatu masalah secara terus-
menerus.
Dengan adanya bahasa maka manusia hidup dalam dua dunia,
yakni dunia pengalaman yang nyata dan dunia simbolik yang dinyatakan
dengan bahasa. Berbeda dengan binatang, maka manusia mencoba
mengatur pengalaman yang nyata ini dengan berorientasi kepada manusia
simbolik. Bila binatang hidup menurut naluri mereka, dan hidup dari
waktu ke waktu berdasarkan fluktuasi biologis dan fisiologis mereka,
maka manusia mencoba menguasai semua ini. Pengalaman mengajarkan
kepada manusia bahwa hidup seperti ini kurang bisa diandalkan di mana
eksistensi hidupnya sangat tergantung kepada faktor faktor yang sukar
dikontrol dan diramalkan. Manusia mempunyai pegangan yang
mengajarkan manusia agar mengekang hawa nafsu dan tidak mengikutinya
seperti kuda tanpa kendali. Dalam dunia fisik yang kejam dan sukar
diramalkan, maka manusia bangkit dan melawannya. Manusia lalu
mengembangkan pengetahuan untuk menguasainya: tanah diolahnya,
belantara ditebangnya, air dan iklim dikuasai dan dimanfaatkannya. Lewat
pengetahuan ini maka manusia menjadi penguasa dunia. Mereka mencoba
mengerti semua gejala yang dihadapinya dan membuahkan pengetahuan
yang memberikan penjelasan kepadanya. Berbekal pengetahuan ini, maka
manusia tidak takut lagi terhadap alam. Dan lewat bahasa, manusia
menyusun sendi-sendi yang membuka rahasia alam dalam berbagai teori
seperti elektkronik, termodinamik. Pengetahuan adalah kekuasaan, dan
dengan kekuasan ini manusia mencoba mengerti hidupnya. Manusia tidak
mau lagi dikuasai alam, dia bangkit dan menguasainya.
Di samping pengetahuan manusia juga mencoba memberi arti
kepada semua gejala fisik yang dialaminya. Kejadian sehari-hari yang
penuh dengan ketawa dan air mata, kelahiran dan kematian, pertemuan dan
perpisahan, semuanya dirangkainya dengan bahasa menjadi sesuatu yang
koheren dan mempunyai arti. Manusia lalu mempertanyakan masalah-
masalah yang sangat hakiki, apakah hidup ini ada tujuannya? Dengan ini
manusia memberi arti kepada hidupnya. Arti yang terpateri dalam dunia
simbolik yang diwujudkan lewat kata-kata. Kata-kata lalu mempunyai arti
bahkan kekuatan, misalkan kekuatan dalam tuah mantera dan jampi-jampi,
kekuatan dalam kepercayaan dan keyakinan moral. Kekuatan itu memberi
dorongan dan arah dalam berkehidupan, semacam pegangan yang
membedakan mana yang suci dan luhur, mana yang rendah dan
menghinakan. Tanpa bahasa maka semua ini tak mungkin ada.
Seni merupakan kegiatan estetik yang banyak mempergunakan
aspek emotif dari bahasa baik itu seni suara maupun seni sastra. Dalam hal
ini bahasa bukan saja dipergunakan untuk mengemukakan perasaan itu
sendiri melainkan juga merupakan ramuan untuk menjelmakan
pengalaman yang ekspresif tadi. Bahasa dipergunakan secara plastis,
seperti kita membuat patung dari tanah liat, di mana komunikasi yang
terjadi mempunyai kecenderungan emotif.
Komunikasi ilmiah mensyaratkan bentuk komunikasi yang sangat
lain dengan komunikasi estetik. Komunikasi ilmiah bertujuan untuk
menyampaikan informasi yang berupa pengetahuan. Agar komunikasi
ilmiah ini berjalan dengan baik, maka bahasa yang dipergunakan harus
terbebas dari unsur-unsur emotif. Komunikasi ilmiah harus bersifat
reproduktif, artinya bila si pengirim komunikasi menyampaikan suatu
informasi yang katakanlah berupa x, maka si penerima komunikasi harus
menerima informasi yang berupa x pula. Proses komunikasi ilmiah harus
bersifat jelas dan obyektif yakni terbebas dari unsur-unsur emotif.
Berbahasa dengan jelas artinya ialah bahwa makna yang
terkandung dalam kata-kata yang dipergunakan diungkapkan secara
tersurat (eksplisit) untuk mencegah pemberian makna yang lain. Maka
dalam komunikasi ilmiah kita sering sekali mendapatkan definisi dari
katakata yang dipergunakan. Berbahasa dengan jelas artinya juga
mengemukakan pendapat atau jalan pemikiran secara jelas. Bila kita teliti
lebih lanjut, maka kalimat-kalimat sebuah karya ilmiah pada dasarnya
merupakan suatu pernyataan. Pernyataan itu melambangkan suatu
pengetahuan yang ingin kita komunikasikan kepada orang lain. Misalnya,
kalimat seperti “Logam kalau dipanaskan akan memanjang” pada
hakikatnya merupakan suatu pernyataan yang mengandung pengetahuan
tentang hubungan sebab-akibat antara panjang logam dan kenaikan suhu.
Karya ilmiah pada dasarnya merupakan kumpulan pernyataan yang
mengemukakan informasi tentang pengetahuan maupun jalan pemikiran
dalam mendapat pengetahuan tersebut. Untuk mampu
mengkomunikasikan suatu pernyataan dengan jelas, maka seseorang harus
menguasai tata bahasa yang baik. Penguasaan tata bahasa dengan baik
merupakan syarat mutlak bagi suatu komunikasi ilmiah yang benar. Gaya
penulisan ilmiah, di mana tercakup di dalamnya penggunaan tata bahasa
dan penggunaan kata-kata, harus diusahakan sedemikian mungkin
menekan unsur-unsur emotif. Selain itu karya ilmiah mempunyai format-
format penulisan tertentu seperti cara meletakkan catatan kaki atau
menyertakan daftar bacaan. Kesemuanya ini harus dikuasai dengan baik
oleh seorang ilmuwan agar dapat berkomunikasi dengan sesama kaum
ilmuwan secara benar.
Sebagai sarana komunikasi ilmiah, maka bahasa mempunyai
beberapa kekurangan. Kekurangan ini pada hakikatnya terletak pada
peranan bahasa itu sendiri yang bersifat multifungsi, yakni sebagai sarana
komunikasi emotif, afektif, dan simbolik. Dalam komunikasi ilmiah kita
ingin mempergunakan aspek simbolik saja dari ketiga fungsi tersebut tadi,
di mana kita ingin mengkomunikasikan informasi tanpa kaitan emotif dan
afektif. Bahasa ilmiah pada hakikatnya haruslah bersifat obyektif tanpa
mengandung emosi dan sikap; atau dengan perkataan lain, bahasa ilmiah
haruslah bersifat antiseptik dan reproduktif.
Kekurangan yang kedua terletak pada arti yang tidak jelas dan
eksak yang dikandung oleh kata-kata yang membangun bahasa. Jika kita
ingin mengetahui arti dari istilah ilmu umpamanya, yang menjadi pokok
pembicaraan kita selama ini, maka sukar sekali bagi kita untuk
mendefinisikan ilmu tersebut dengan sejelas dan seeksak mungkin,
bagaimanapun hal itu kita coba.
Di samping itu bahasa mempunyai beberapa kata yang memberikan
arti yang sama. Umpamanya pengertian tentang “usaha kerja sama yang
terkoordinasi dalam mencapai suatu tujuan tertentu” disebutkan sebagai
administrasi, manajemen, pengelolaan, dan tatalaksana. Sifat majemuk
dari bahasa ini sering menimbulkan apa yang dinamakan kekacauan
semantik, di mana dua orang yang berkomunikasi mempergunakan sebuat
kata yang sama namun untuk pengertian yang berbeda, atau sebaliknya,
mereka mempergunakan dua kata yang berbeda untuk sebuat pengertian
yang sama. Dan akhirnya bahasa sering berputar-putar dalam
mempergunakan katakata terutama dalam memberikan definisi.
Umpamanya kata “pengelolaan” didefinisikan sebagai “kegiatan yang
dilakukan dalam sebuah organisasi”, sedangkan “organisasi” didefinisikan
sebagai “suatu bentuk kerja sama yang merupakan wadah dari kegiatan
pengelolaan”.

2) Matematika24

Matematika adalah bahasa numerik yang melambangkan


serangkaian hitungan dari pernyataan yang ingin kita sampaikan.
Lambang-lambang matematika bersifat “artifisial” yang baru mempunyai
arti setelah sebuah makna diberikan padanya, untuk membantu dalam
kegiatan perhitungan pengukuran. Tanpa itu maka matematika hanya
merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati.
Bahasa verbal seperti telah kita lihat sebelumnya mempunyai
beberapa kekurangan yang sangat mengganggu. Untuk mengatasi
kekurangan yang terdapat pada bahasa maka kita berpaling kepada
matematika. Dalam hal ini dapat kita katakan bahwa matematika adalah

24
Paulus Wahana, Filsafat Ilmu Pengetahuan, ( Yogyakarta : Pustaka Diamond.2016) .
hlm 115
bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat kabur, majemuk dan
emosional dari bahasa verbal. Lambang-lambang dari matematika dibikin
secara artifisial dan individual yang merupakan perjanjian yang berlaku
khusus untuk masalah yang sedang kita kaji.
Sebuah obyek yang sedang kita telaah dapat kita lambangkan
dengan apa saja sesuai dengan perjanjian kita. Umpamanya bila kita
sedang mempelajari kecepatan jalan kaki seorang anak maka obyek
“kecepatan jalan kaki seorang anak untuk waktu tertentu” tersebut dapat
kita lambangkan dengan k. Dalam hal ini maka k hanya mempunyai satu
arti, yakni “kecepatan jalan kaki seorang anak untuk waktu tertentu” dan
tidak mempunyai pengertian lain. Waktu yang digunakan dalam suatu
kegiatan jalan kaki menggunakaan lambing w. Sedangkan jarak yang
ditempuh dalam waktu ertentu menggunakan lambing j Maka dapat dibuat
rumus “jarak” yang ditempuh sama dengan waktu yang digunakan kali
kecepatan” atau dengan lambing: j = k x w. Pernyataan matematik
mempunyai sifat yang jelas, spesifik dan informatif dengan tidak
menimbulkan konotasi yang bersifat emosional.
Matematika mempunyai kelebihan lain disbandingkan
dengan bahasa verbal. Matematika mengembangkan bahasa
numerik (dengan menggunakan lambang angka) yang
memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara
kuantitatif. Dengan bahasa verbal, bila kita membandingkan dua
obyek yang berlainan umpamanya gajah dan semut, maka kita
bisa mengatakan bahwa gajah lebih besar dari semut. Kalau kita
ingin menelusur lebih lanjut berapa besar gajah dibandingkan
dengan semut, maka kita mengalami kesukaran dalam
mengemukakan hubungan itu. Bahasa verbal hanya mampu
mengemukakan pernyataan yang bersifat kualitatif. Kita bisa
mengetahui bahwa logam kalau dipanaskan akan memanjang.
Namun pengertian kita hanya sampai di situ. Kita tidak bisa
mengatakan dengan tepat berapa besar pertambahan panjangnya.
Untuk mengatasi masalah ini matematika mengembangkan
konsep pengukuran. Dalam usaha melakukan pengukuran,
matematika menggunakan satuan ukuran standar yang
ditetapkan dan diberlakukan secara universal. Dan untuk
mengetahui banyaknya satuan ukuran dari hal yang diukurnya,
matematika juga menggunakan lambang bilangan, untuk
melakukan pembilangan terhadap hal yang diukurnya
berdasarkan satuan ukuran yang digunakannya. Lambang
bilangan tersebut dapat menggunakan rangkaian lambang
bilangan yang tersusun dari angka-angka sebagai berikut: 1, 2, 3,
4,5, 6, 7, 8, 9, 0. Lewat pengukuran dengan menggunakan satuan
ukuran yang telah disepakati bersama, dan mencatatnya dengan
menggunakan bilangan yang tersusun dari angka-angka tersebut,
maka kita dapat mengetahui dengan tepat berapa panjang
sebatang logam dan berapa pertambahan panjangnya kalau logam
itu dipanaskan. Dengan mengatahui hal ini maka pernyataan
ilmiah yang berupa pernyataan kualitatif seperti “Sebatang logam
kalau dipanaskan akan memanjang” dapat diganti dengan
pernyataan kuantitatif matematik yang lebih eksak (terukur
secara eksak), misalnya menjadi “Sebatang logam yang
panjangnya 1 meter dengan suhu 30 0 C kalau dipanaskan
mencapai suhu 1000 C akan memanjang menjadi 1 meter lebih 1
cm”. Dan lebih lanjut kemungkinan dapat diperhitungkan
pertambahan panjang setiap dipanaskan dengan kenaikan suhu
10 C. Sifat kuantitatif dari matematika ini meningkatkan daya prediktif dan
kontrol dari ilmu. Ilmu memberikan jawaban yang lebih bersifat eksak
yang memungkinkan pemecahan masalah secara terukur lebih tepat dan
cermat. Matematika memungkinkan ilmu mengalami perkembangan dari
tahap kualitatif ke kuantitatif. Perkembangan ini merupakan suatu hal yang
imperatif bila kita menghendaki daya prediksi dan kontrol yang lebih tepat
dan cermat dari ilmu.
3) Statistika25
Ilmu secara sederhana dapat didefinisikan sebagai
pengetahuan yang telah teruji kebenarannya. Semua pernyataan ilmiah
adalah bersifat faktua, di mana konsekuensinya dapat diuji baik dengan
jalan mempergunakan pancaindera, maupun dengan mempergunakan
alatalat yang membantu pencaindera tersebut. Pengujian secara empiris
merupakan salah satu mata rantai dalam metode ilmiah yang
membedakan ilmu dari pengetahuanpengetahuan lainnya. Pengujian
merupakan suatu proses pengumpulan fakta yang relevan dengan
hipotesis yang diajukan. Sekiranya hipotesis itu didukung oleh fakta-
fakta empiris maka pernyataan hipotesis tersebut diterima atau
disahkan kebenarannya. Sebaliknya jika hipotesis tersebut
bertentangan dengan kenyataan maka hipotesis itu ditolak.
Pengujian mengharuskan kita untuk menarik kesimpuan
yang bersifat umm dari kasus-kasus yang bersifat individual.
Umpamanya jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak
umur 10 tahun di sebuah tempat maka nilai tinggi rata-rata yang
dimaksudkan itu merupakan sebuah kesimpulan umum yang ditarik
dalam kasus-kasus anak umum 10 tahun di tempat itu. Jadi dalam hal
ini kita menarik kesimpulan berdasarkan logika induktif. Di pihak lain
penyusunan hipotesis merupakan penarikan kesimpulan yang bersifat
khas dari pernyataan yang bersifat umum dengan mempergunakan
deduksi. Logika deduktif berpaling kepada matematika sebagai sarana
penalaran penarikan kesimpulan, sedangkan logika induktif berpaling
kepada statistika. Statistika merupakan pengetahuan untuk melakukan
penarikan kesimpulan induktif secara lebih seksama.
Penarikan kesimpulan induktif pada hakikatnya berbeda
dengan penarikan kesimpulan secara deduktif. Dalam penalaran
deduktif maka kesimpulan yang ditarik adalah benar sekiranya
25
Paulus Wahana, Filsafat Ilmu Pengetahuan, ( Yogyakarta : Pustaka Diamond.2016) .
hlm 118.
premis-premis yang dipergunakannya adalah benar dan prosedur
penarikan kesimpulannya adalah sah. Sedangkan dalam
penalaraninduktif meskipun premis-premisnya adalah benar
danprosedur penarikan kesimpulannya adalah sah makakesimpulan itu
belum tentu benar. Yang dapat kita katakana adalah bahwa
kesimpulan itu mempunyai peluang untuk benar. Statistika merupakan
pengetahuan yang memungkinkan kita untuk menghitung tingkat
peluang ini dengan eksak.
Penarikan kesimpulan secara induktif menghadapkan kita
kepada sebuah permasalahan mengenai banyaknya kasus yang harus
kita amati sampai kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum.
Dalam hal ini satistika memberikan sebuah jalan keluar. Statistika
memberikan cara untuk dapat menarik kesimpulan yangbersifat umum
dengan jalan mengamati hanya sebagian dari populasi yang
bersangkutan. Jadi untuk mengetahui tinggi rata-rata anak umur 10
tahun di Indonesia kita tidak melakukan pengukuran terhadap seluruh
anak yang berumur tersebut di seluruh Indonesia, namun cukup hanya
dengan jalan melakukan pengukuran terhadap sebagian anak saja.
Tentu saja penarikan kesimpulan seperti ini, yang ditarik berdsarkan
contoh (sample) dari populasi yang bersnagkutan, tidak selalu akan
seteliti kesimpulan yang ditarik berdasarkan sensus yakni dengan jalan
mengamati keseluruhan populasi tersebut. Bukankah dalam
penelaahan keilmuan yang bersifat pragmatis, di mana teori keilmuan
tdak ditujukan kearah penguasaan pengetahuan yang bersifat absolut,
namun ditujukan kearah sesuatu yang tidak mutlak teliti, tetapi dapat
dipertanggungjawabkan, adalah sudah memenuhi syarat.
Statistika mampu memberikan secara kuantitatif tingkat
ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut, yang pada pokoknya
didasarkan pada asas yang sangat sederhana, yakni makin besar
contoh yang diambil makamakin tinggi pula tingkat ketelitian
kesimpulan tersebut.Sebaliknya makin sedikit contoh yang diambil
maka makin rendah pula tingkat ketelitiannya. Karakteristik ini
memungkinkan kita untuk dapat memilih dengan saksama tingkat
ketelitian yang dibutuhkan sesuai dengan hakikat permasalahan yang
dihadapi. Tiap permasalahan membutuhkan tingkat ketelitian yang
berbeda-beda.
Statistika juga memberikan kemampuan kepada kitauntuk
mengetahui apakah suatu hubungan kausalita antara dua faktor atau
lebih bersifat kebetulan atau memang benar-benar terkait dalam suatu
hubunganyang bersifat empiris. Pengamatan secara sepintas lalu
seringmemberikan kesan kepada kita terdapatnya suatu hubungan
kausalita antara beberapa faktor, di mana kalau kita teliti lebih lanjut
ternyata hanya bersifat kebetulan. Jadi dalam hal ini statistika
berfungsi meningkatkan ketelitian pengamatan kita dalam menarik
kesimpulan dengan jalan menghindarkan hubungan semu yang
bersifat kebetulan.
Terlepas dari semua itu, maka dalam penarikan kesimpulan
secara induktif kekeliruan memang tidak bisa dihindarkan. Dalam
kegiatan pengumpulan data kita terpaksa mendasarkan diri kepada
berbagai alat yang pada akikatnya juga tidak terlepas dari cacat yang
berupa ketidaktelitian dalam pengamatan. Pancaindera manusia
sendiri tidak sempurna yang bisa mengakibatkan berbagai kesalahan
dalam pengamatan kita. Demikian juga dengan alat-alat yang
dipergunakan, semua tak ada yang sempurna. Statistika memberikan
sifat yang pragmatis kepada penelaahan keilmuan; meskipun
kebenaran absolut tidak mungkin dapat dicapai, namun suatu
kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan dapat diperoleh.
Penarikan kesimpulan secara statistik memungkinkan kita
untuk melakukan kegiatan ilmiah secara ekonomis, dimana tanpa
statistika hal ini tak mungkin dapat dilakukan. Karakteristik yang
dipunyai statistika inisering kurang dikenali dengan baik yang
menyebabkan orang sering melupakan pentingnya statistika dalam
penelaahan keilmuan. Logika lebih banyak dihubungkan dengan
matematika dan jarang sekali dihubungkan dengan statistika, padahal
hanya logika deduktif yang berkaitan dengan matematika, sedangkan
logika induktif justru berkaitan dengan statistika. Secara hakiki
statistika mempunyai kedudukan yang sama dalam penarikan
kesimpulan induktif seperti matematika dalam penarikan kesimpulan
secara deduktif. Dan penarikan kesimpulan deduktif dan induktif
keduanya mempunyai kedudukan yang sama pentingnya dalam
penelaahan keilmuan. Jika kita terlalu mementingkan logika deduktif
maka kita terjatuh kembali kepada paham rasionalisme, sebaliknya
jika kita terlalu mementingkan logika induktif maka kita mundur
kembali kepada empirisme. Ilmu dalam perkembangan sejarah
peradaban manusia telah menggabungkan kedua pendekatan ini dalam
bentuk metode ilmiah yang mendasarkan diri kepada keseimbangan,
maka harus dijaga pula keseimbangan antara pengetahuan tentang
matematika dan statistika ini.

DAFTAR PUSTAKA

Dwiloka, B. 2005. Teknik Menulis Karya Ilmiah, Jakarta: Rineka Cipta


Hardjasoemantri, K. 1999. Hukum Tata Lingkungan, Edisi Ketujuh. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Sudirdja, E. R. 2010. Rangkuman Buku Filsafat Ilmu: Sebuah PengantarPopuler.
Bandung: Fakultas Hukum Universitas Pasundan
Suriasumantri, S.J. 2007. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Bakhtiar, Amsal, Drs., MA,. 1997. Filsafat Agama. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Sumaryono, E., Hermeneutika, Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius,
1999)
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:
Penerbit Sinar Harapan, 1985) cet. Ke-2

Anda mungkin juga menyukai