Anda di halaman 1dari 24

1

FILSAFAT ILMU

Standar kompetensi:

Setelah menyelesaikan mata kuliah ini mahasiswa dapat menjelaskan


kerangka dasar ilmu pengetahuan dalam batasan ontologi, epistimologi,
aksiologi dan logika.

PENGANTAR

Filsafat dan Ilmu adalah dua kata yang saling berkaitan baik secara
substansial maupun historis. Kelahiran suatu llmu tidak dapat dipisahkan dari
peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat.

Ilmu atau Sains merupakan komponen terbesar yang diajarkan dalam


semua strata pendidikan. Walaupun telah bertahun-tahun mempelajari ilmu,
pengetahuan ilmiah tidak digunakan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari.
Ilmu dianggap sebagai hafalan saja, bukan sebagai pengetahuan yang
mendeskripsikan, menjelaskan, memprediksikan gejala alam untuk kesejahteraan
dan kenyamanan hidup. Kini ilmu telah tercerabut dari nilai luhur ilmu, yaitu
untuk menyejahterakan umat manusia. Bahkan tidak mustahil terjadi, ilmu dan
teknologi menjadi bencana bagi kehidupan manusia, seperti pemanasan global dan
dehumanisasi.

Ilmu dan teknologi telah kehilangan rohnya yang fundamental, karena


ilmu telah mengurangi bahkan menghilangkan peran manusia, dan bahkan tanpa
disadari manusia telah menjadi budak ilmu dan teknologi. Oleh karena itu, filsafat
ilmu mencoba mengembalikan roh dan nilai luhur dari ilmu, agar ilmu tidak
menjadi bumerang bagi kehidupan manusia. Filsafat ilmu akan mempertegas
bahwa ilmu dan teknologi adalah instrumen dalam mencapai kesejahteraan bukan
tujuan.

Filsafat ilmu diberikan sebagai pengetahuan bagi orang yang ingin


mendalami hakikat ilmu dan kaitannya dengan pengetahuan lainnya. Bahan yang
2

diberikan tidak ditujukan untuk menjadi ahli filsafat. Dalam masyarakat religius,
ilmu dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai ketuhanan,
karena sumber ilmu yang hakiki adalah Tuhan. Manusia diberi daya fikir oleh
Tuhan, dan dengan daya fikir inilah manusia menemukan teori-teori ilmiah dan
teknologi.

Pengaruh agama yang kaku dan dogmatis kadang kala menghambat


perkembangan ilmu. Oleh karenanya diperlukan kecerdasan dan kejelian dalam
memahami kebenaran ilmiah dengan sistem nilai dalam agama, agar keduanya
tidak saling bertentangan. Dalam filsafat ilmu, ilmu akan dijelaskan secara
filosofis dan akademis sehingga ilmu dan teknologi tidak tercerabut dari nilai
agama, kemanusiaan dan lingkungan. Dengan demikian filsafat ilmu akan
memberikan nilai dan orientasi yang jelas bagi setiap ilmu.

Kesimpulannya adalah bahwa Filsafat Ilmu diberikan guna membentuk


arah berfikir kita dalam memahami fenomena yang ada di sekitar kita yang
berpihak pada kemanusiaan.

Pengertian filsafat secara umum

Secara etimologi

Filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia atau philosophos. Philos


atau philein berarti teman atau cinta, dan shopia atau shopos berarti
kebijaksanaan, pengetahuan, dan hikmah. Filsafat berarti juga mater scientiarum
yang artinya induk dari segala ilmu pengetahuan.

Kata filsafat dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata falsafah


(Arab), philosophie (Prancis, Belanda dan Jerman), serta philosophy (Inggris).
Dengan demikian filsafat berarti mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana
(menjadi kata sifat) bisa berarti teman kebijaksanaan (menjadi kata benda) atau
induk dari segala ilmu pengetahuan.
3

• Phytagoras (572-497 SM) ditahbiskan sebagai orang pertama yang


memakai kata philosopia yang berarti pecinta kebijaksanaan (lover of
wisdom) bukan kebijaksanaan itu sendiri (Liang Gei, 1996 : 5).
• Plato (427-347 SM) mengartikannya sebagai ilmu pengetahuan yang
berminat mencapai kebenaran yang hakiki lewat dialektika. Pencarian
yang bersifat perekaan (spekulatif) sedang filsuf adalah pencinta
pandangan tentang kebenaran (vision of thruth) (Liang Gie, 1996 : 5).
• Aristoteles (382 –322 SM) mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan
tentang kebenaran. Terkait dengan pengetahuan penalaran Aristoteles
mengembangkan konsep analitika dan dialektika. Analitika berpangkal
dari premis yang benar dan dialektika berpangkal pada hipotesis yang
tidak pasti kebenarannya (Ibid. 7)
• Al-Farabi (870–950 ) mengartikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan
tentang alam maujud dan hakekat alam yang sebenarnya.
• Descartes (1590–1650) mendefinisikan filsafat sebagai kumpulan ilmu
pengetahuan tentang tuhan, alam dan manusia.
• Immanuel Kant (1724–1804) mendefinisikan filsafat sebagai ilmu
pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan.
Menurut Kant ada empat hal yang dikaji dalam filsafat yaitu: apa yang
dapat manusia ketahui? (metafisika), apa yang seharusnya diketahui
manusia? (etika), sampai dimana harapan manusia? (agama) dan apakah
manusia itu? (antropologi)
• Jujun Suryasumantri Filsafat : cara berfikir yang radikal dan
menyeluruh, suatu cara berfikir yang mengupas sesuatu yang sedalam-
dalamnya (Sumantri, 2006 : 4).

Filsafat sebagai Pandangan Hidup (Ideologi)

• Filsafat = cinta Kebijaksanaan, ini merupakan hakekat dari kemanusiaan


• Kebijaksanaan mengandung nilai-nilai ke-Tuhanan yang menunjukkan
bahwa arah hidup kita tertuju kepada Tuhan.
4

• Filsafat selalu terkait dengan persoalan keseharian manusia


• Dengan demikian secara esensial Filsafat dapat dijadikan sebagai
pandangan hidup manusia (Ideologi), namun dalam artian formal terdapat
perbedaan

Filsafat Ideologi
1. Sist. Berpikir 1. Sist. Kepercayaan
2. Berawal dr ragu 2. Berawal dr yakin
3. Landasan logika 3. Landasan mitos
4. Tujuan: wisdom 4. Tujuan: kesejaht.- kelompok
5. Individual 5. Kolektif

Filsafat sebagi Ilmu Pengetahuan (science)

• Filsafat sebagai induk dari ilmu-ilmu. Ilmuwan Inggris Francis Bacon


memberi nama filsafat “induk agung dari ilmu-ilmu. Filsafat menangani
semua pengetahuan sebagai bidangnya.
• Filsafat sebagai ilmu dari ilmu-ilmu. Henry Sidgwick berpendapat,
filsafat memeriksa pengertian-pengertian khusus, azas-azas fundamental,
metode yang tegas, dan kesuimpulan-kesimpulan utama dari suatu ilmu
dengan maksud mengkoordinasikannya hal-hal itu dari ilmu-ilmu yang
lain. Dalam arti ini filsafat diarrtikan sebagai ilmu dari ilmu-ilmu
(scientia scientiarum).
• Filsafat sebagai pengetahuan tentang generlitas tertinggi. Menurut
Herbert Spencer filsafat masih tepat untuk dipertahankan sebagai nama
bagi pengetahuan tentang generalitas yang tingkatannya paling tinggi. Ini
secara diam-diam dikuatkan oleh tercakupnya Tuhan, alam, dan manusia
di dalam lingkupnya.

Pengertian filsafat Ilmu


5

Berbicara tentang filsafat ilmu (philosophy of science) sudah barang tentu


berkaitan dengan Filsafat pengetahuan (the phylosophy of knowledge) yang
lazim dalam dunia keilmuan disebut epistemologi. Epistemologi adalah cabang
filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skup
pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya serta pertanggungjawaban
atas pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki (Hardono Hadi, 1994:5).
Istilah epistemologi pertama kali dipakai oleh J.F. Feriere dari Institut of
Metaphisics (1864) bermaksud untuk membedakan antara dua cabang filsafat
yaitu ontologi dan epistemologi. Ontologi menamakan tentang hakikat “yang
ada”, sedangkan epistemologi bertanya mengenai hakikat pengetahuan. Kata
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme dan logos. Episteme diartikan
sebagai “pengetahuan” atau “kebenaran”, dan logos diartikan “pikiran”, “kata”
atau “teori”, secara etimologis epistemologi dapat diartikan sebagai teori
pengetahuan yang benar. Di dalam bahasa Indonesia disebut “teori
pengetahuan” sebagai terjemahan dari “theory of knowledge” atau “phylosophy
of knowledge”.
Pencetus Epistemologi Plato berpendapat bahwa epistemologi mengolah
masalah-masalah dasar tentang: Apa itu pengetahuan? Di manakah pengetahuan
umumnya ditemukan, dan sejauh manakah apa yang biasanya kita anggap
sebagai pengetahuan benar-benar merupakan pengetahuan? Apakah indera
memberi pengetahuan? Dapatkah budi memberi pengetahuan? Apakah
hubungan antara pengetahuan dan keyakinan yang benar?
Ungkapan epistemologi tersebut mengacu pada pembicaraan epistemologi
umum. Epistemologi umum ini berbicara masalah pengetahuan tentang
pengetahuan, yaitu pengetahuan yang kita (subjek) sadari dan fahami, bukan
pengetahuan orang (subjek) lain atau tentang pengetahuan orang lain, tetapi
bicara tentang pengetahuan yang dimiliki (subjek) itu sendiri (Veuger dalam
Hardono Hadi 1094). Dengan demikian, masalah pokok yang dibahas dalam
epistemologi adalah mengenai terjadinya pengetahuan dan kesakhihan atau
kebenaran pengetahuan. Pengetahuan secara umum pembicaraannya secara
tehnis di dalam epistemologi umum atau philosophy of knowledge. Sedangkan,
6

hakikat pengetahuan ilmiah dibicarakan secara khusus dalam flsafat ilmu atau
philosophy of science.
Filsafat ilmu memberikan penjelasan mengenai duduk perkara ilmu atau
science, apa yang menjadi landasan asumsinya, bagaimana logikanya (doktrin
netralistik etik), apa hasil-hasil empirik yang dicapainya, serta batas-batas
kemampuannya. Berbicara filsafat ilmu selalu berhubungan dengan metodologi
penelitian, karena di dalam metodologi penelitian menjelaskan tentang upaya
pengembangan ilmu berdasarkan tradisi-tradisinya, yang terdiri dari dua bagian,
yaitu deduktif dan induktif. Demikian pula tentang hasil-hasil yang dicapai,
yang disebut pengetahuan atau knowledge, baik yang bersifat diskriptif
(kualitatif dan kuantitatif) maupun yang bersifat hubungan (proporsi tingat
rendah, proporsi tingkat tinggi, dan hukum-hukum).
Filsafat ilmu maupun metodologi penelitian bersifat mengisi dan
memperluas cakrawala kognitif tentang apa yang disebut ilmu, yang diharapkan
akan menimbulkan pengertian untuk berdisiplin dalam berkarya ilmiah,
sekaligus meningkatkan motifasi sebagai ilmuwan untuk melaksanakan tugas
secara sungguh-sungguh (Soetriono & Hanafie, 2007:99).

Tata cara perenungan Kefilsafatan

Perenungan kefilsafatan adalah usaha untuk menyusun sebuah bagan


konsepsional. Konsepsi merupakan hasil generalisasi dan abstraksi dari
pengalaman tentang hal-hal serta proses-proses satu demi satu. Oleh sebab itu,
filsafat merupakan pemikiran mengenai hal-hal serta proses-proses dalam
hubungan yang umum. Di antara proses-proses yang dibicarakan ini ialah
pemikiran itu sendiri. Filsafat merupkan hasil menjadi – sadarnya manusia
mengenai dirinya sendiri sebagai pemikir, dan menjadi – kritisnya manusia
terhadap diri sendiri sebagai pemikir di dalam dunia yang dipikirkannya (Kattsoff,
2004: 7).
7

Sistem Perenungan Filsafat

1. Sebuah sistem filsafat harus bersifat koheren. Yang dimaksud koheren


dalam hal ini adalah “runtut”. Bagan konsepsional yang merupakan hasil
perenungan kefilsafatan haruslah bersifat runtut (konsisten).
2. Filsafat merupakan pemikiran secara rasional. Perenungan kefilsafatan
berusaha menghasilkan suatu bagan konsepsional yang bersifat rasional.
Yang dimaksud dengan bagan konsepsional yang bersifat rasional adalah
bagan yang bagian-bagiannya secara logis berhubungan satu dengan yang
lain. Dengan kata lain, bagan yang bersifat rasional yaitu bagan yang berisi
kesimpulan yang diperoleh dari premis-premis, dan bagan yang premis-
premisnya ditetapkan dengan baik (Kattsoff dalam Sarjono, 2004: 10).
3. Filsafat senantiasa bersifat menyeluruh (komprehensif). Perenungan
kefilsafatan berusaha menyusun suatu bagan konsepsional yang memadai,
baik untuk dunia tempat kita hidup maupun diri kita sendiri. Dikatakan
bahwa ilmu memberi penjelasan tentang kenyataan empiris yang dialami.
Filsafat berusaha untuk memperoleh penjelasan tentang ilmu itu sendiri.
Filsafat berusaha memberikan penjelasan tentang dunia seluruhnya,
termasuk dirinya sendiri. Filsafat mencafri kebenaran mengenai segala
sesuatu dan kebenaran ini harus dinyatakan dalam bentuk yang paling
umum.

Para filsuf menjelaskan tentang tiga hal yang mendorong manusia untuk
berfilsafat, yaitu: kekaguman atau keheranan, keraguan atau kegengsian, dan
kesadaran akan keterbatasan. Agustinus dan Descartes memulai berfilsafat dari
keraguan. Manusia heran, tetapi kemudian ragu-ragu, apakah tidak ditipu
pancainderanya yang sedang heran? Rasa heran dan ragu ini mendorong manusia
untuk berpikir lebih mendalam, menyeluruh dan kritis untuk mendapatkan
kepastian dan kebenaran yang hakiki. Berpikir secara mendalam, menyeluruh,
dan kritis inilah yang kemudian disebut berfilsafat.
8

Berfilsafat dapat pula berawal dari adanya suatu kesadaran akan


keterbatasan pada diri manusia. Berfilsafat kadang-kadang dimulai apabila
manusia menyadari bahwa dirinya sangat kecil dan lemah, terutama dalam
menghadapi kejadian alam. Ketika seseorang merasa bahwa dirinya sangat
terbatas dan terikat terutama pada saat mengalami penderitaan atau kegagalan,
maka dengan adanya kesadaran akan keterbatasan dirinya tadi manusia mulai
berfilsafat. Ia akan berpikir bahwa di luar manusia yang terbatas pasti ada sesuatu
yang tidak terbatas yang dijadikan bahan kemajuan untuk menemukan kebenaran
hakiki (Soetriono & Hanafie, 2007: 51).

Atas dasar pengetahuannya, terdapat beberapa jenis manusia dalam


kehidupan ini, seperti dipantunkan oleh seorang filsuf:

• Ada orang yang tahu di tahunya


• Ada orang yang tahu di tidak tahunya
• Ada orang yang tidak tahu di tahunya
• Ada orang yang tidak tahu di tidak tahunya
Untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, maka ketahuilah apa yang kau
tahu dan ketahuilah pula apa yang kau tidak tahu.

Pengetahuan diawali dari rasa ingin tahu. Kepastian dimulai dari rasa
ragu-ragu. Filsafat dimulai dari rasa ingin tahu dan keragu-raguan. Berfilsafat
didorong untuk mengetahui apa yang telah diketahui dan apa yang telah diketahui.
Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah diketahui
dalam kesemestaan yang seakan tidak terbatasan ini. Berfilsafat berarti
mengoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh
sebenarnya kebenaran yang dicari telah dicapai.

Ilmu merupakan pengetahuan yang digeluti sejak di bangku sekolah dasar


sampai perguruan tinggi. Berfilsafat tentang ilmu berarti keterusterangan pada diri
sendiri: Apakah sebenarnya yang kita ketahui tentang ilmu itu? Apakah ciri-ciri
yang hakiki yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lain yang
bukan ilmu? Bagaimana mengetahui bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang
9

benar? Kreteria apa yang dipakai dalam menentukan kebenaran secara ilmiah?
Mengapa ilmu mesti dipelajari? Apa kegunaan ilmu yang sebenarnya? Berfilsafat
berarti berendah hati mengevaluasi segenap pengetahuan yang telah diketahui:
Apakah ilmu telah mencakup segenap pengetahuan yang seyogyanya diketahui
dalam hidup ini? Di batas manakah ilmu dimulai? Dan di batas manakah dia
berhenti? Kemanakah kita harus berpaling di batas ketidak-tahuan ini? Apakah
kelebihan dan kekurangan ilmu?

Analisa

Istilah “analisa” berarti “perincian”. Di dalam dunia filsafat, analisa


berarti perincian istilah-istilah atau pernyataan-pernyataan ke dalam bagian-
bagiannya sedemikian rupa sehingga kita dapat melakukan pemeriksaan atas
makna yang dikandungnya. Pertanyaan pokok dalam yang terdapat dalam bagian
ini ialah, “makna apakah yang anda berikan? Untuk memberi jawaban terhadap
pertanyaan mengenai suatu istilah , misalnya; nyata (real), perlu dilihat
bagaimana istilah itu digunakan dalam hal-hal yang khusus. Misalnya,
nampaknya kita mengetahui apa yang dimaksudkan apabila kita mengatakan:
“meja itu nyata.” Tetapi andai kata saya bertanya, “Apakah impian itu sesuatu
yang nyata”?, maka kita pun harus juga bertanya,”Apakah perkataan ‘nyata’ bila
digunakan dalam hubungannya dengan sebuah meja mempunyai makna yang
sama dengan perkataan ‘nyata’ jika digunakan terhadap impian?”

Oleh sebab itu, analisa terhadap istilah-istilah mungkin mengharuskan kita


melakukan penggolongan atas pelbagai macam pengertian mengenai ‘nyata’.
Sudah barang tentu kita harus memulai dengan sejumlah perkataan yang
dipandang mengandung banyak makna dan cukup tepat untuk maksud tersebut.
Tetapi kata-kata yang pokok selalu perlu dianalisa. Dan sebenarnya kita harus
senantiasa siap menghadapi tantangan mengenai makna sesuatu istilah, atau
istilah-istilah yang sebelumnya dianggap benar. Tantangan-tantangan ini
mungkin mengenai hal-hal yang termasuk dalam lingkup istilah yang
bersangkutan, atau mengenai sifat-sifat lainnya yang melekat pada istilah tersebut.
10

Kedua segi istilah ini masing-masing sering disebut ekstensi (penerapan) dan
intensi (sifat-sifat) dari istilah tadi.

Analisa terhadap suatu makna tidak menetapkan kebenaran ataupun


kesesatan kalimat yang bersangkutan. Misalnya; seseorang mengetahui makna
kalimat ‘hari telah tengah malam’ ini tidak berarti bahwa kini telah tengah malam.
Juga tidak berarti bahwa kini bukan tengah malam. Kalimat tersebut
mempunyaiarti meskipun seandainya kalimat tadi tidak benar, dan meskipun kita
tidak dapat menentukan apakah benar ataukah sesat.

Sintesa

Lawan analisa (perincian) adalah sintesa (pengumpulan). Yang dimaksud


sintesa adalah mengumpulkan semua pengetahuan yang dapat diperoleh untuk
menyusun suatu pendangan dunia. Penyusunan sistem, demikian proses ini sering
dinamakan, atau filsafat spekulatif sebagaimana Broad menyebutnya, memperoleh
nama yang agak kurang terhormat dewasa ini. Meskipun demikian, semua filsuf
cenderung memperluas prinsip-prinsip tertentu sehingga meliputi seluruh
kenyataan. Bahkan hal ini juga dilakukan oleh mereka yang paling gigih
menentang penyusunan sistem. Seorang filsuf bertolak dari sejumlah besar bahan
keterangan. Dan sesungguhnya, semakin banyak pengetahuan yang dimiliki oleh
seorang filsuf mungkin akan menyebabkan sistemnya akan semakin baik dan
semakin luas. Bagi filsafat spekulatif, tidak ada bahaya yang lebih besar dari pada
tidak diketahuinya lapangan-lapangan pengetahuan manusia tertentu. Sintesa
ialah usaha untuk mencari kesatuan di dalam keragaman itu.
11

ONTOLOGI

Pengertian ontologi

Ontologi dalam dunia filsafat juga disebut sebagai Metafisika umum.


Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan-lapangan penyelidikan
kefilsafatan yang paling kuno. Awal pemikiran Barat sudah menunjukkan
munculnya perenungan di bidang ontologi. Segenap filsuf Barat yang tertua yang
kita kenal adalah orang Yunani yang arif dan bijak yang bernama Thales. Atas
perenungannya terhadap air yang terdapat di mana-mana, ia sampai pada
kesimpulan bahwa air adalah substansi terdalam yang merupakan asal mula dari
segala sesuatu.bagi kita, yang penting sesungguhnya bukanlah ajaran-ajaran yang
mengatakan bahwa air itulah asal mula segala sesuatu, melainkan pendiriannya
bahwa mungkin sekali segala sesuatu berasal dari satu substansi belaka.

Thales adalah orang pertama yang berpendirian sangat berbeda di tengah-


tengah pandangan umum yang berlaku saat itu. Di sinilah letak pentingnya tokoh
tersebut. Kecuali dirinya, semua orang waktu itu memandang segala sesuatu
sebagaimana keadaannya yang wajar. Apabila mereka menjumpai kayu, besi, air,
daging, dan sebagainya, hal-hal tersebut dipandang sebagai substansi-substansi
(yang terdiri sendiri-sendiri). Dengan kata lain, bagi kebanyakan orang tidaklah
ada pilihan antara kenampakan (appearance) dengan kenyataan (reality).

Bidang kajian ontologi/metafisika umum

Ontologi yang bersahaja.

Kebanyakan orang setidak-tidaknya mengadakan pembedaan antara barang-


barang yang dapat dilihat, diraba, yang tidak bersifat kejasmanian atau yang
dipahamkan ‘jiwa’. Kadang-kadang orang kebanyakan menjumpai mereka
berpendirian bahwa sesungguhnya jiwa itu tidak ada, yang ada dalam
kenyataannya adalah barang-barang kejasmanian. Pendirian yang demikian ini
tidak begitu diperhatikan, demi pertimbangan keselamatan dari mereka. Tetapi
12

kadang-kadang mereka sangat resah terhadap ajaran-ajaran semacam itu. Mungkin


sekali mereka memaki-maki dengan keras para penganut paham materialisme
tersebut, bahkan mungkin pula mereka setelah mendengar pendirian tersebut –
merenung sejenak memikirkan masalah tersebut sambil bertanya: siapakah
sesungguhnya yang benar dalam hal ini? Dan sesungguhnya apakah hakikat
kenyataan itu?

Ontologi Kuantitatif dan Kualitatif

Ontologi dapat mendekati masalah hakikat kenyataan dari dua sudut


pandang. Orang dapat menanyakan ‘kenyataan itu tunggal atau jamak? Yang
demikian ini merupakan pendekatan kuantitatif. Atau orang dapat pula
mengajukan pertanyaan ‘dalam babak terakhir, apakah yang merupakan kenyataan
itu? Yang demikian itu merupakan pendekatan kualitatif. Dalam hubungan
tertentu, segenap masalah di bidang ontologi dapat dikembalikan kepada sejumlah
pertanyan yang bersifat umum “bagaimanakah cara kita hendak membicarakan
kenyataan?

Ontologi Monistik

Parmenides mengatakan kenyataan itu tunggal adanya, dan segenap


keanekaragaman, perbedaan, serta perubahan bersifat semu belaka. Dewasa ini
sistem monistik seperti itu tidak umum dianut orang. Karena justru perbedaanlah
yang merupakan kategori dasar segenap kenyataan yang ada yang tidak dapat
disangkal lagi kebenarannya. Tetapi ada pula orang yang berpendirian bahwa pada
dasarnya segala sesuatu sama hakikatnya. Pendirian yang demikian ini dianut
oleh para pendukung paham monisme dewasa ini. Yaitu kaum idealisme dan
kaum materialisme.

Yang Ada (Being) dan Kenyataan (Reality)

Istilah ‘yang ada’ (being) memiliki berbagai macam makna. Sebagian


orang menjumbuhkannya dengan dua istilah yang lain—esensi dan eksistensi.
Kita mengatakan sesuatu apapun hanya bersifat ‘yang ada’. Atau singkatnya
13

barang sesuatu itu’ada’. Istilah ini dirterapkan kepada segala sesuatu, hakikat atau
jenisnya.

Sesuatu yang bereksistensi, misalnya kursi, pertama tama harus memiliki


sifat ada sebelum dapat bereksistensi. Begitu pula segenap hal lain, misalnya
pikiran dan perasaan yang tidak dapat dikatakan bereksistensi, dikatakan ‘ada’
atau bersifat ‘yang ada’. Predikat ‘yang ada’ memberi batasan kepada suatu
himpunan (class) sedemikian rupa, sehingga segala sesuatu, baik nyata maupun
dalam angan-angan, termasuk di dalam himpunan tersebut. Dengan kata lain
‘yang ada’ itu merupakan predikat yang paling umum serta paling sederhana di
antara semua predikat. ‘Yang ada’ merupakan predikat universal, dalam arti
bahwa ‘yang ada’ merupakan predikat dari setiap satuan yang mungkin ada.

‘Yang tiada’ (non-being) merupakan istilah yang tidak mengandung makna


dan tidak menunjuk kepada apapun. Memikirkan istilah ‘yang tiada’ berarti
memberikan sifat ’yang ada’ kepada istilahnya, tetapi tidak memberikan sifat
‘yang ada’ kepada sesuatu yang dianggap ditunjuk oleh istilah tersebut (Kattsoff
dalam Soemargono, 2004:188).

Kenyataan (Reality)

Segala sesuatu mempunyai sifat ‘yang ada’, tetapi tidak semua hal bersifat
nyata atau merupakan kenyataan. Misal, perhatikan impian tentang wanita
berambut pirang yang cantik. Sebagai impian, impian itu nyata. Dalam arti impian
tersebut adalah impian yang nyata atau benar dan bukan rekaan belaka.
Sedangkan wanita berambut pirang yang diimpikan itu tidak nyata, yakni ia hanya
terdapat dalam impian dan tidak sungguh-sungguh ada (actual).

Kenyataan dapat pula didifinisikan sebagai sesuatu yang ditangkap dalam


tangkapan yang dapat dipercaya, yang dilawankan dengan apa yang ditangkap
dalam impian atau khayalan. Tangkapan yang dapat dipercaya ialah tangkapan
yang tidak mengandung kesalahan. Istilah ‘kenyataan’ seperti yang dimaksud di
sini tidak boleh dijumbuhkan dengan eksistensi, meskipun ada orang yang
menjumbuhkannya demikian. Seseorang yang melihat gajah-gajah yang berwarna
14

merah jambu, adalah melihat sesuatu yang tidak nyata, tetapi khayalah tersebut
merupakan khayalah yang nyata. Tetapi perhatikan tentang wanita berambut
pirang dan gajah-gajah yang berwarna merah jambu tadi. Kedua mempunyai sifat
‘yang ada’ meskipun dalam kenyataannya keduanya tidak nyata.

Kita dapat mengubah peristilahan kita dan kita mengatakan bahwa nyata
ialah sesuatu yang benar-benar ada. Yang demikian ini menggambarkan prinsip
berikut ini. Yang nyata mempunyai sifat yang ada, tetapi sesuatu yang
mempunyai sifatyang ada tidak harus bersifat nyata. Akhirnya kita dapat
mengatakan bahwa hal-hal yang nyata ada merupakan himpunan bawahan (sub-
class) hal-hal yang ada.

Aliran-aliran dalam ontologi pengetahuan

1. Naturalisme
2. Materialisme
3. Idealisme
4. Hylomorfisme
5. Positivisme logis

EPISTEMOLOGI

Masalah Epistemologi

Masalah epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang


pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu
diperhatikan bagaimana dan dengan sarana apakah kita dapat memperoleh
pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan
mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat diketahui.
Sebenarnya kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah
kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemologi. Kita mungkin mengingkari
kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada
15

kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanyalah kemungkinan adanya kepastian
yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya (Kattsoff,2004:
131).
Jika dikatakan masalah epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan
tentang pengetahuan, apakah yang dimaksud dengan pengetahuan? Di manakah
pengetahuan umumnya ditemukan, dan sejauh manakah apa yang biasa kita
anggap sebagai pengetahuan benar-benar merupakan pengetahuan? Apakah indera
memberi pengatahuan? Dapatkah budi memberi pengetahuan? Apakah hubungan
antara pengetahuan dan keyakinan yang benar?

Pentingnya Epistemologi bagi Filsafat

Epistemologi selalu melekat pada pemikiran manusia, lebih-lebih pada


pemikiuran filsafat. Setiap pemikiran filsafat selalu akan bertumpu pada suatu
epistemologi yang khas., tidak ada filsafat yang tanpa dilandasi oleh suatu
epistemologi. Sebagaimana dinyatalan oleh Ayn Rand (1990, 99) “Epistemology
is the foundation of philosophy”. Hal itu dapat adimaklumi sebab epistemologi
bertugas untuk meneangkan struktur dasar pengetahuan manusia serta
mempertanggungjawabkan tentang kebenaran dan kepastian pengetahuan itu.
Epistemologi sebagai cabang filsafat mulai dibicarakan dalam filsafat Plato.
Plato berusaha menjelaskan mengenai apa sebenarnya pengetahuan yang
sesungguhnya yang dapat dicapai oleh mausia (subjek). Ia menjelaskan secara
rinci dalam tulisannya yang berjudul “Republik” buk ke sepuluh dan “Theatetus”.
Kedua tulisan tersebut melukiskan mengenai teori pengetahuan yang lengkap baik
jenis objek, alat untuk memperolehnya maupun bentuk/jenis pengetahuan serta
nilai ke benaran yang dikandung oleh pengetahuan itu. Sejak masa Platolah
pembicaraan mengenai pengetahuan manusia semakin diperdalam dengan
pelbagai sudut pandang yang digunakan (Mintaredja, 2003: 8).

Metode-metode untuk Memperoleh Pengetahuan


1. Metode Empirisisme; pengetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman.
16

a. Empirisisme radikal: pengetahuan dapat dilacak sampai kepada


pengalaman inderawi, dan apa yang tidak dapat dilacak secara demikian
itu dianggap bukan pengetahuan.
b. Pengalaman merupakan istilah yang bermkna ganda;

2. Metode Rasionalisme; sumber pengetahuan terletak pada akal, pengetahuan


dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran; kebenaran dan kesesatan
terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu.
a. Rasionalisme sebagai pengetahuan deduktif; akal budi dipahamkan
sebagai:
1) sejenis perantara khusus yang dengan perantara tersebut dapat dikenal
kebenaran, dan sebagai
2) suatu tehnik deduktif yang dengan memakai tehnik tersebut dapat
ditemukan kebenaran-kebenaran; artinya dengan melakukan
penalaran.
b. Pengalaman merupakan pelengkap bagi akal; pengalaman bukanlah
dipandang sebagai hal yang tidak mengan dung nilai, bahkan sebliknya
pengalamn dicari guna membantu atau mendorong dalam penyelidikan
untuk menemukan kebenaran.
3. Metode Fenomenalisme Ajaran Kant; sebab akibat tehtu merupakan
hubungan yang bersifat niscaya.
a. Sebab akibat tidak dapat dialami; bila ada seorang penderita demam tipus,
pasti terdapat kuman tersebut, dan bila kuman itu tidak terdapat di dalam
diri seseorang amaka orang itu tidak menderita demam tipus.
b. Bentuk-bentuk apriori akal; akal memiliki bentuk-bentuk untuk
mengalami, memahami dan berpikir, pengalaman selalu terdapat dalam
betuk-betuk ini. Hal ini disebut bentuk-bentuk apriori karena bentuk-
bentuk dan pengertian-pengertian ini harus ada sebelum suatu
pengetahuan itu didapatkan.
c. Macam-macam Pengetahuan:
17

1) Pengetahuan yang analitis a priori; yakni pengetahuan yang tidak


tergantung pada pada adanya pengalaman, atau yang ada sebelum
pengalaman. Pengetahuan ini merupakan hasil analisa unsur-unsur
yang a priori. ContoH: semua benda bereksistensi, karena eksistensi
tersirat di dalam difinisi tentang benda.
2) Pengetahuan yang sitetis a priori; yaitu pengetahuan yang dihasilkan
oleh penyelidikan akal terhadap bentuk-bentuk pengalaman sendiri,
dan penggabungan unsur-unsur yang tidak saling bertumpu. Misal: 7
+ 5 = 12.
3) Pengetahuan yang analitis a posteriori; yakni pengetahuan ang
diperoleh dari hasil analisa, yang terjadi sebagai akibat dari
pengalaman.
4) Pengetahuan yang sintetis a posteriori; yaitu pengetahuan yang
merupakan hasil keadaan yang mempersatukan dua hal yang biasanya
terpisah, yang terjadi akibat dari pengalaman.
4. Metode Intuisionisme; suatu cara memperoleh pengetahuan melalui perantara
seseorang yang menceritakan suatu kejadian atau mengenai sesuatu yang
diketahui secatra langsung oleh orang yang menceritakan. Kemungkinan juga
orang yang menceritakan sesuatu yang ia tidak melihat secara langsung ketika
sesuatu itu terjadi tetapi melalui perantara orang lain atau pun media
informasi. Hasil dari pengetahuan yang diperoleh dengan cara demikian itu
dapat dibedakan dalam dua bagian, yakni “pengetahuan mengenai”
Iknowledge about) atau pengetahuan diskursif, dan “pengetahuan tentang”
(knowledge of)atau pengetahuan intuitif.
a. Pengetahuan diskursif; yakni pengetahuan yang diperoleh melalui
penggunaan simbol-simbol yang mencoba mengatakan kepada kita me
ngenai sesuatu dengan jalan berlaku sebagai terjemahan bagi sesuatu itu.
b. Pengetahuan intuitif; yakni pengetahuan yang diperoleh dengan cara
pelukisan tentang sesuatu. Intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui
secara langsung dan seketika. Pengetahan yang diperoleh dengan jalan
18

pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasilpengenalan secra langsung


dari pengetahuan intuitif (Bergon dalam Kattsof, 2004).
5. Metode Ilmiah; metode nini mengikuti prosedur-prosedur tertentu yang sudah
pasti yang dipergunakan dalam usaha memberi jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan yang dihadapi oleh seorang ilmuwan. Metode ilmiah dimulai
dengan pengamatan-pengamatan dan berakhir dengan pengamatan-
pengamatan pula. Tetapi permulaan dan akhir ini hanyalah merupakan
bagian yang bersifat nisbi.

AKSIOLOGI

Pengertian Aksiologi

Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai, yang


umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Nilai adalah sesuatuyang
dipandang baik, dicita-citakan dan diharapkan untuk dapat dicapai.
Masalah yang “Baik” dan masalah “Nilai”
Kata “baik” dapat digunakan dalam arti yang berbeda-beda dalam tiap-tiap
pernyataan; misalnya: “pembelian ini baik”, “ia orang baik”, ini pisau baik”,
“kiranya baik menjadi orang sehat”. Yang menjadi masalah jika kata “baik” itu
dimaknai setara, suah barang tentu akan menimbulkan pengertian yang campur
aduk. Kecuali jika kita dapat menunjukkan bahwa memang terdapat inti makna ,
mungkin dapat bermakna sebagai nilai nomnal (uang), mungkin juga dimaknai
sebagai nilai kesusilaan (manusia), mungkin dimaknai sebagai nilai intrinsik
(benda), dan mungkin juga dimaknai sebagai nilai kehidupan (manusia).

Yang bernilai dan yang diberi Nilai


Untuk menjelaskan hal ini marilah kita kembali kepada pernyataan
“kesehatan merupakan sesuatu yang baik” dan mengubah bentuknya menjadi
“kesehatan merupakan sesuatu yang bernilai”. Dimisalkan setelah mendengar itu
seorang pesimis mengatakan “omong kosong, kesehatan bukan sesuatu yang
19

bernilai, karena sekedar memperpanjang kehidupan yang tidak berharga”.


Pendapat orang pesims tersebut merupakan orang yang memberi nilai negatif, atau
lebih tepatnya menilai rendah, baik terhadap kesehatan paupun kehidupan. Tetapi
berbeda ketika anda memberi sangkalan “Tidak, kesehatan merupakan sesuatu
yang bernilai, bukan karena saya menyukai atau memberi nilai kepadanya,
melainkan karena (sejak semula sudah) mengandung nilai di dalam dirinya. Dan
anda, seorang yang pesimis, seperti orang buta yang tidak dapat melihat
kenyataan”. Contoh ini menunjukkan perbedaan antara yang bernilai dan yang
diberi nilai”.

Nilai Intrinsik dan Nilai Instrumental


Apakah segenap nilai itu bersifat intrinsik, instrumental, atau bersifat
keduanya? Atau tidak bersifat keduanya? Jika seseorang mengatakan “kesehatan
merupakan sesuatu yang mernilai” apakah ucapan semacam ini harus ditulis
dalam bentuk pernyatan subjek dan predikat A ialah B, yang dalam hal ini orang
dapat melakukan verifikasi terhadap pernyataan semacam itu, misalnya “kayu
adalah sesuatu yang keras”.
Atau apakah bentuk pernyataan harus A memberi nilai kepada B? Artinya,
sesuatu subjek menilai sesuatu yang baik?. Dalam hal ini yang harus diverifikasi
bukanlah bahwa “kesehatan merupakan sesuatu yang baik”, melainkan bahwa A
memberi nilai kepada kesehatan. Perlu dicatat pula bahwa alasan-alasan megapa
A memberi nilai kepada kesehatan mungkin berlainan sama sekali dengan alasan-
alasan yang diajukan oleh orang lain, dan kedua macam perangkat alasan tersebut
mungkin tidak ada sangkut pautnya dengan gagasan yang dimiliki oleh seorang
dokter mengenai apakah yang dinamakan kesehatan itu? Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa nilai intrinsik adalah nilai yang melekat pada suatu benda atau
objek tertentu, sedangkan nilai instrumental adalah nilai yang diberikan oleh
subjek sesuai dengan fungsi dan peran sesuatu benda itu. Berbicara tentang nilai
sebenarnya berbicara sesuatu yang tidak dapat diberkan batasan secara pasti,
karena nilai pada hakikatnya merupakan kualitas empiris yang tidak dapat
didefinisikan.
20

LOGIKA

Pengertian Logika

Logika ialah ilmu pengetahuan mengenai penyimpulan yang lurus. Ilmu


pengetahuan ini menguraikan tentang aturan-aturan serta cara-cara untuk
mencapai kesimpulan, setelah didahului oleh suatu perangkat premis (Kattsoff
dalam Soemargono, 2004: 28).

Logika merupakan bagian dari cabang filsafat (lih. Jan Hendrik Rapar).
Logika bagian dari metode berfikir filsafati (lih. Asmoro Achmadi, Louis O
Kattsoff). Dalam konteks kuliah ini logika kita tempatkan sebagai metode berfikir
filsafati.

Logika Deduktif

Logika deduktif tokohnya adalah Aristoles. Logik ini membicarakan cara-cara


untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan bila lebih dahulu telah diajukan
pertanyaan-pertanyaan mengenai semua atau sejumlah ini di antaranya suatu
kelompok barang sesuatu. Kesimpulan yang sah pada suatu penalaran deduktif
selalu merupakan akibat yang bersifat keharusan dari pernyataan-pernyataan yang
lebih dahulu diajukan. Pembahasan mengenai logika deduktif itu sangat luas dan
meliputi salah satu di antara persoalan-persoalan yang menarik. Secara ringkas
dapat dikatakan bahwa, logika deduktif adalah cara berfikir dari pernyataan yang
bersifat umum ditarik kesimpulan yg bersifat khusus.

Logika deduktif dibagi menjadi 2 macam, yakni deduksi langsung dan deduksi
tidak langsung. Deduksi langsung terdiri dari inversi, konversi, obversi,
kontraposisi dan oposisi. Contoh : Konversi dilakukan dengan cara
membalikkan/mempertukarkan term predikat menjadi term subyek dan
sebaliknya.
Ex. Sebagian filsuf adalah menusia.
Sebagian manusia adalah filsuf.
21

Deduksi langsung didasarkan pada 4 jenis proposisi sebagaimana yg telah


disampaikan dahulu. Deduksi langsung, penarikan kesimpulannya hanya dari
sebuah premis.
Deduksi tidak langsung (silogisme). Di sini studi yang kita lakukan
difokuskan pada deduksi tak langsung (Silogisme). Silogisme terdiri dari 3
proposisi. Proposisi 1 dinamakan premis mayor (PM); proposisi ke 2 dinamakan
premis minor (Pm); dan proposisi ke 3 adalah konklusi (k). Ketepatan penarikan
kesimpulan tergantung pada :

1.Kebenaran premis mayor


2.Kebenaran premis minor
3.Keabsahan pengambilan kesimpulan
Contoh:
• (PM) Semua mahasiswa pedalangan adalah dalang. (Pm) Catur adalah
mahasiswa pedalangan. (K) Catur adalah dalang
• (PM) Semua pengendara sepeda motor harus mengenakan helm. (Pm)
Sebagian pengendara mengenakan sarung tangan. (K)…….
• Tidak semua hipotesis peneltian terbukti benar. Beberapa penelitian
skripsi tidak menguji hipotesis. Maka….

Logika Induktif.

Logika induktif tokohnya adalah Aristoteles (384-322) dan Francis Bacon


(1561-1662). Logika Induktif membicarakan tentang penarikan kesimpulan
bukan dari pernyataan-pernyataan yang umum, melainkan dari pernyataan-
pernyataan yang khusus. Kesimpulannya hanya bersifat probibilitas berdasarkan
atas pernyataan-pernyataan yang telah diajukan. Misalkan, kita melihat tiga
peristiwa, yang di dalamnya seseorang yang pergi ke gereja secara tetap memberi
bantuan kepada orang-orang yang miskin. Kita mungkin terpengaruh untuk
menyimpulkan bahwa semua orang yang pergi ke gereja memberi bantuan kepada
orang-orang miskin. Hal ini sebenarnya jumlah peristiwa yang kita dapatkan sulit
22

untuk menjamin kebenaran penyamarataan yang kita lakukan. Tetapi bagaimana


pun, hal itulah contoh yang terdapat dalam induksi. Dan celakanya, bagi
penyamarataan secara induktif tidak ada aturan yang ditetapkan kecuali hal-hal
yang bersifat umum.

Cara penarikan kesimpulan dalam logika induktifn didasarkan pada kasus


yang bersifat indiviudal nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum,
didasarkan pada sesuatu yang bersifat empiris. Prosesnya dilakukan dengan cara
mengemukakan pernyataan-pernyataan yang sifatnya khas dan terbatas.

Induktif Baru

Logika induktif baru pelopornya adalah Francis Bacon (1561-16260.


Menurutnya untuk mengenal sifat segala sesuatu diperlukan penelitian empiris
dan logika silogistis tradisional tidak sanggup menghasilkan penemuan2 empiris.
Tujuannya adalah meraih kebenaran ilmiah yang konkret, praktis, dan bermanfaat
bagi manusia. (hukum yg berlaku umum). Logika silogistis menurutnya seperti
laba2 yg memintal jaringnya dari apa yg ada di dalam tubuhnya. Sedangkan
Logika induktif tradisional seperti semut yg hanya mengumpulkan makanannya.
Logika modern seperti lebah yg tahu bagaimana mengumpulkan dan tahu
bagaimana menata. Secara metodologis penarikan suatu kesimpulan tidak hanya
dengan melakukan penelitian dan observasi, namun juga dengan eksperimentasi
yg sistematis.

Contoh:

• Halin dapat memainkan wayang, Aman dapat memainkan wayang, Dono


dapat memainkan wayang. Kesimpulannya bahwa semua mahasiswa
pedalangan dapat memainkan wayang.

• Kucing mempunyai mulut, harimau mempunyai mulut, ikan mempunyai


mulut, rusa mempunyai mulut. (semua hewan mempunyai mulut)
23

Perbedaan Deduksi dan Induksi

• Deduksi:
Semua dalang lulusan ISI Ska (adalah) Dalang Kondang
Dalang Ki Navis lulusan ISI Ska
Ki Navis adalah Dalang Kondang

• Induksi:
Dalang Ki Navis lulusan ISI Ska
Ki Navis adalah Dalang Kondang
Semua dalang lulusan ISI Ska (adalah) Dalang Kondang

Bacaan Wajib

1. Abas Hamami Mintaredja. Teori-Teori Epistemologi. Yogyakarta:


Paradigma, 2003.
2. Asmoro. Achmadi, Filsafat Umum, Jakarta, Raja Grafindo Persada. 2009
3. Bagus, Lorens, Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2005.
4. Hardono Hadi, Epistemologi Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius,
1994.
5. Mustansyir Rizal dan Munir, Misnal, 2008, Filsafat Ilmu, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar.
6. Soetisno, Rita Hanafi, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian.
Yogyakarta: Anda, 2007
7. Suyanto, Nilai Kepemimpinan Lakon Wahyu Makutharama dalam
Prespektif Metafisika. Surakarta: ISI Press 2009
8. Sumantri. Jujun S., Tentang Hakekat Ilmu : Sebuah Pengantar Redaksi,
dalam Ilmu dalam Perspektif, Jakarta, YOI. 2006. Hlm. 1- 40
9. Sidi Gazalba, Pengantar Kepada: Dunia Filsafat. Teori Pengetahuan.
Metafisika. Teori Nilai. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
10. Kennet T, Gallagher oleh Hardono Hadi, P. Epistemologi. Yogyakarta:
Kanisius, 1994.
11. Louis O. Kattsoff, Penganar Filsafat, alih bahasa Soejono Soemargono.
Yogyakarta: Tiara Wacana 2004.
24

Anda mungkin juga menyukai