Anda di halaman 1dari 2

Nama: Avisena

NIM: 11210331000077

Kelas: AFI 2C

Harun Nasution

Harun Nasution seorang Ahli Filsafat Islam. Harun menulis beberapa judul buku. Harun Nausution
dalam ceramah-ceramahnya sering mengatakan Islam merupakan agama yang sangat menghargai
akal. Dalam artikel-artikelnya, Harun Nasution sering mengutip ayat Alqur’an yang berisikan tentang
keharusan umat Islam dalam mempergunakan akal. Pernah menjadi rektor IAIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta sejak Maret 1984.

H.A. Jabbar Nasution, adalah ayah Harun Nasuton, bekerja sebagai seorang kadi (pemuka agama).
Harun Nasution sudah lancar memmbaca Al Qur’an saat usianya baru tujuh tahun. Harun pernah
disekolahkan di SD sekuler kolonial Hollandsch Inlandsch School (HIS) kota kelahirannya. Lulus dari
HIS pada 1934, melanjutkan pendidikannya di Moderne Islamietische Kweekschool (MIK) di
Bukittinggi, hingga lulus tahun 1937.

Orang tuanya tidak memberi izin masuk sekolah menengah umum di Yogyakarta. Semasa usia
sekolah, Harun aktif di kepanduan. Tahun 1940, Harun dikirim ke Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.
Harun Nasution berada di luar negeri selama kurang lebih 12 tahun. Setelah itu barulah dia pulang
ke Indonesia.

Setiba di tanah air, Harun Nasution melamar kerja ke Departemen Luar Negeri. Harun bekerja di
Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kairo dan Brussel antara kurun waktu 1953-1960.
Karirnya naik dengan cepat, sampai pada akhirnya menduduki jabatan sebagai Sekretaris III di KBRI
Brasil. Penguasaan bahasa asingnya membuat karirnya cukup baik di Departemen Luar Negeri.

Tahun 1962, Harun Nasution minta ijin mundur dari Departemen Luar Negeri. Dia mendapat
beasiswa untuk kuliah pascasarjana di Universitas McGill, Montreal, Kanada, 1965. Beasiswanya
berasal dari pusat kajian Islam di kampus tersebut. Setelah memperoleh gelar masternya (MA) pada
1965, dia mengambil gelar doktornya. Harun Nasution berhasil meraih gelar doktor pada tahun
1968. Harun Nasution lulus program Doktornya (Ph.D) dengan disertasi berjudul "The Place of
Reason in Abduh's Theology, it's Impact on His Theological System and Views" tahun 1968.

Pada saat masih belajar di Universitas McGill, Montreal, Kanada, ia menemukan aliran teologi Islam
yang menghargai akal disebut Muktazilah. Mulailah sejak saat itu, ia mempergunakan Muktazilah
sebagai prototypenya. Harun Nasution memiliki visi membentuk umat Islam yang maju karena
pemikiran rasionalnya dalam segala bidang. Harun Nasution memandang di masa depan nanti,
Muktazilah atau penggunaan akal dalam peri kehidupan itu umat Islam sangat penting. Bila umat
Islam mampu mempergunakannya maka sudah bisa dipastikan Islam akan mencapai masa keemasan
seperti yang terjadi di dunia Barat yang telah mengalami kemajuan terlebih dahulu dalam
kehidupan.

Sebagai pemikir Islam, sikap Harun Nasution, sempat dicap terlalu liberal. Salah satunya barangkali
hanya karena Harun dia menerima tawaran Dr. Karel A. Steenbrink, sarjana perbandingan agama
dari Universitas Katolik Nijmegen, Belanda, untuk mengajar di program pascasarjana di kampus
Karel.
Sebelum memimpin IAIN sebagai rektor, Harun Nasution sempat menjabat seabgai Dekan Fakultas
Pascasarjana IAIN Jakarta ini selalu menekankan pada murid-muridnya khususnya kaum Islam agar
mampu berpikir secara rasional. Tokoh ini memuji alisan Mutakzillah dalam Islam atau dikenal
dengan pemikiran rasional dalam ilmu pengetahuan pada umumnya.

Sebagai pimpinan IAIN Jakarta, Harun Nasution banyak melontarkan ide-ide pembaharuannya
melalui IAIN Jakarta dan Pascasarjana IAIN Jakarta. Berkat dialah, IAIN Jakarta lambat laun menjadi
'kiblat' semua IAIN di Indonesia.

Tahun 1975, Harun Nasution, yang berpikiran luwes, mengusulkan dibentuknya wadah musyawarah
antar umat beragama, ketika ada permasalahan dalam hubungan antar agama. Tujuan untuk
menghilangkan rasa saling curiga. Jika ada permasalahan, ‘wadah’ tersebut bisa menjadi penengah.

Harun Nasution meninggal pada 18 September 1998 di Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai