A. Riwayat Hidup.
Sayyid Husein Nasr lahir di Teheran, Iran, 7 April 1933, dari
keluarga terpelajar. Ayahnya, Sayed Waliyullah Nasr adalah
dokter dan pendidik pada dinasti Qajar, kemudian diangkat
sebagai pejabat setingkat menteri pada masa dinasti Reza Syah.2
Pendidikan awalnya dijalani di Teheran ditambah dari orang
tuanya yang menanamkan disiplin keagamaan secara ketat,
kemudian di Qum dalam bidang al-Qur`an, syair-syair Persia
klasik dan sufisme.3
Nasr kemudian melanjutkan pendidikan di Massachusetts
Institute of Technologi (MIT), AS, dan meraih gelar B.Sc dalam
bidang fisika dan matematika teoritis, tahun 1954,4 dan
1 Husein Nasr, Spiritualitas & Seni Islam, terj. Setejo, (Bandung, Mizan, 1993), 22-23.
2 Jane I. Smith, ‘Seyyed Hossein Nasr’ dalam John L. esposito (ed.), The Oxford
Encyclopedia of The Modern Islamic World, (New York: Oxford University Press, 1995) p. 230
3 Abd Aziz Dahlan (edit), Suplemen Ensiklipedia Islam, II, (Jakarta, Ichtiar Baru Van
Haouve, 1996), 80. Meski dipedalaman dan dianggap tradisional, pendidikan di Teheran ini terap
mengedepankan intelektualitas. Kajian filsafat tetap berkembang disana dan menjadi kebanggaan
intelektualisme Iran. Menurut Nasr, filsafat Islam tetap berkembang di Iran meski dalam dunia
Islam telah berakhir pada abad tengah. Setidaknya ada dua kali kebangkitan filsafat di Iran, (1)
pada periode Safawi dengan munculnya tokoh seperti Mir Damad dan Mulla Sadra, (2) sepanjang
abad ke-19 M yang dipelopori oleh Mulla ‘Ali Nuri dan Haji Mulla Hadi Sabziwari, dan tradisi
tersebut tetap berlanjut di madrasah-madrasah selama periode Pahlevi. Lihat Hossein Nasr, Islam
Tradisi di Kancah Dunia Modern, (Bandung, Pustaka, 1994), 195.
4 Smith, Seyyed Hossein Nasr, 230; lihat juga C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
seterusnya meraih MSc dalam bidang geologi dan geofisika dari
Harvard. Namun, pada jenjang berikutnya, Nasr lebih tertarik
pada filsafat, sehingga meraih PhD dari Harvard, tahun 1958,
dalam bidang sejarah ilmu pengetahuan dan filsafat dengan
desertasi berjudul An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrine dibawah promotor HAR. Gibb.5 Selama menempuh
pendidikan di Amerika, khususnya di Harvard, Nasr banyak
mengenal pemikiran tokoh filsafat Timur, seperti Gibb,
Massignon, Henry Corbin, Titus Burckhardt dan Schoun.
Pemikiran tokoh-tokoh ini diakui banyak memberikan pengaruh
pada pandangan Nasr.6
Setelah itu, tahun 1958, Nasr pulang ke Iran. Disini ia lebih
mendalami filsafat Timur dan filsafat tradisional dengan banyak
diskusi bersama para tokoh terkemuka agama Iran, seperti
Thabathabai, Abu Hasan al-Qazwini, dan Kazin Asar.7 Dalam
kegiatan akademik, Nasr mengajar di Universitas Teheran,
menjadi dekan fakultas sastra pada lembaga yang sama tahun
1968-1972, dan tahun 1975-1979 menjadi direktur Imperial
Iranian Academy of Philosophy, sebuah lembaga yang didirikan
dinasti Syah Reza Pahlevi, untuk memajukan pendidikan dan
kajian filsafat.8 Nasr berhasil dalam tugas ini sehingga diberi
gelar kebangsawanan oleh Syah.
Kredibilitas Nasr sebagai intelektual dan akademisi tidak
hanya dikenal di negeranya sendiri tetapi juga diakui di negeri
Dalam Islam, terj. Mulyadi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya, t.t), 154. Menurut Georgio de
Santilana, pemilihan bidang matematika dan fisika oleh Nasr ini, kemungkinan, dipengaruhi oleh
kecenderungan dunia keilmuan di Amerika saat itu yang lebih memperhatikan soal-soal ilmu
kealaman. Lihat, Nasr, Sain dan Peradaban Dalam Islam, p. v
5 Smith, Seyyed Hossein Nasr , 230; lihat juga Nasr, Sain dan Peradaban Dalam Islam,
terj. J. Mahyudin (Bandung: Pustaka, 1986), v. Kegandrungan Nasr pada filsafat Timur ini
sebenarnya telah ada sejak kuliah di MIT. Saat itu, Nasr telah mempelajari ilmu-ilmu tradisional
Timur, seperti Hindhu, Budha dan khususnya Islam. Juga berkenalan dengan tulisan tokoh-tokoh
filsafat Timur, seperti Rene Gueneoun, Schoun, Buckhadt dan lainnya. Dahlan, Suplemen
Ensiklipedia Islam, xiv.
6 Nasr, Islam Tradisi di Kancah Dunia Modern, 259. Tentang bagaimana filsafat masuk
ke dunia Amerika setelah adanya gerakan Renaissance yang kemudian ditindaklanjuti dengan
Aufklarung di Eropa, lihat Bernard Delfgaauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, terj. Soejono
Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), 103 & 119.
7 Dahlan, Suplemen Ensiklipedia Islam, II, 80; Dalam diskusi-diskusi ini Nasr sangat
mengagumi Thabathabi yang dianggapnya sebagai orang yang ahli filsafat Timur dan filsafat
tradisional. Tentang ini, lihat pengakuan Nasr, ‘Pengantar’ dalam Thabathabi, Islam Syiah Asal
Usul dan Perkembangannya, tej. Johan Effendi, (Jakarta, Pustaka Grafiti, 1993), 24.
8 Smith, Seyyed Hossein Nasr , 231. Lembaga ini merupakan kelanjutan dari Institut
Franco-Iranien yang didirikan pada tahun 1946 di Teheran. Lembaga itu merupakan departemen
pengkajian tentang keiranan yang didirikan oleh departemen perhubungan dan kebudayaan
Perancis dengan tujuan awalnya untuk memulai serangkaian peblikasi teks yang bertitel
Bibliotheque iranienne (sejumlah besar teks penting mengenai filsafat Islam dan Sufisme) kepada
dunia Islam kontemporer dan Barat Direktur pertamanya adalah Henry Corbin yang bertemu Nasr
pada saat ia baru kembali dari Amerika ke Teheran pada tahun 1958. Keduanya kemudian menjalin
kerjasama yang akrab selama duapuluh tahun. Lihat Nasr, Islam Tradisi, 259 dan 285
Estetika/ Pemikiran Seni Nasr 3
C. Klasifikasi Seni.
Berdasarkan uraian diatas, dimana seni Islam bersumber
dan berkaitan dengan aspek spiritual atau aspek batin wahyu,
Nasr mengklasifikasikan seni dalam tiga bagian.22 Pertama, seni
suci, yakni seni yang berhubungan langsung dengan praktek-
20 Gagasan Nasr ini hampir sama (tapi tidak persis) dengan teori seni modern yang
dikemukakan Arthur Schopenhauer (1788-1860 M) bahwa seni adalah suatu bentuk pemahaman
atas realitas. Inti dari realitas sejatia dalah kemauan (will) yang bersifat semesta, sedang kenyataan
dunia ini sebagai ide-ide hanya wujud luar dari kemauan semesta tersebut. Ide-ide itu sendiri
bersifat abadi dan tidak berubah. Selanjutnya, ide-ide ini menampakkan diri atau mempunyai
perwujudan dalam benda-benda khusus. Pengetahuan sehari-hari manusia adalah pengetahuan
praktis untuk melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan benda-benda itu. Namun, ada
pengetahuan yang dapat melampaui kedudukan pengetahuan praktis ini, yakni pengetahuan yang
lebih tinggi kedudukannya yang diperoleh dengan cara memusatkan perhatian pada ide-ide dan
merenungkannya demi ide-ide itu sendiri. Dengan perenungan semacam ini yang membebaskan
diri dari kemauan semesta, lahirlah seni. Lihat Arthur Schopenhauer, “The World as Willa and
Idea”, dalam Gene Blocker & Jennifer (edit), Contextualizing Aesthetics from Plato to Lyotard,
(California, Wadsworth, 1999), 97-102. Lihat juga Daniel Bronstein (edit), Basic Problems of
Philosophy Selected Readings with Introductions, (Englewood Cliffs, Prentice Hall, 1957), 332.
21 Nasr, Spiritualitas & Seni Islam, 15.
22 Ibid, 75-77.
Estetika/ Pemikiran Seni Nasr 7
23 Ibid.
prinsip kesatuan kosmos dan apa yang ada dibalik semesta
dengan kesatuan prinsip Ketuhanan.24 Kosmologi Islam
didasarkan pada penekanan Tuhan sebagai satu-satunya sumber
segala sesuatu, yang mengatur dan menghubungkan eksistensi-
eksistensi yang ada dibawahnya; menghubungkan dunia material
dengan dunia ghaib, dunia ghaib dengan alam malaikat, alam
malaikat dengan alam malaikat muqarrabîn, alam malaikat
muqarrabîn dengan al-rûh dan ruh dengan karya krteatif
primordial Tuhan. Semua bergerak dinamis dalam pola dasar
yang selaras dan seimbang.25
Masjid sebagai bentuk seni arsitektur suci Islam juga
memperlihatkan hal serupa. Kekosongan, kesederhanaan dan
kemiskinan bentuk serta pola menunjukkan status ontologis
dunia sebagai yang papa dan miskin dihadapan Tuhan Yang Maha
Kaya. Ihwal ruang-ruang yang sunyi merefleksikan kedamaian,
sedang lengkungan dan kolom-kolom ruangan adalah ritme yang
mengimbangi eksistensi kosmik yang menjelaskan fase-fase
kehidupan manusia dan juga kosmos yang datang dari-Nya
maupun yang kembali kepada-Nya.26
Kedua, mengikuti prinsip kesatuan hidup individu dan
masyarakat yang diatur oleh hukum Ilahi (al-syarî`ah). Masjid
disebuah kota Islam tradisional, misalnya, bukan hanya sebagai
pusat kegiatan religius melainkan juga seluruh kehidupan
masyarakat, baik kultural, sosial dan politik, juga -–pada tahap
tertentu—- kegiatan ekonomi. Karena itu, secara organis, masjid
senantiasa berhubungan dengan pasar sebagai pusat ekonomi,
istana sebagai pusat kekuasaan politik, sekolah sebagai pusat
kegiatan intelektual, dan seterusnya. Siapa yang memperhatikan
kota Islam tradisional pasti melihat kesatuan dan keterpaduan
seperti itu. Di pusat kota pasti ada masjid, berdekatan dengan
istana dan pasar.27
24 Ibid, 72.
25 Ibid, 57.
26 Ibid, 58. Lihat juga Husein Nasr, The Encounter of Man and Nature, (London: George
Allend & Unwin Ltd, 1976), 75 dan seterusnya.
27 Nasr, Spiritualitas & Seni Islam, 73. Lihat juga, Zein Wiryoprawira, Perkembangan
Arsitektur Masjid, 30-31.
28 Secara umum, menurut The Liang Gie, seni setidaknya mengandung empat fungsi. (1)
fungsi spiritual, (2) fungsi hidonistik (kesenangan), (3) fungsi edukatif atau pendidikan, (4) fungsi
komunikatif (tata hubungan). Dengan fungsi-fungsi yang lebih lengkap, seni bisa menjadi
perlengkapan manusia yang bersifat immortal (abadi) dan universal (semesta). Lihat The Liang
Gie, Filsafat Seni, (Yogya, Pubib, 1996), 47-52.
Estetika/ Pemikiran Seni Nasr 9
E. Penutup.
Seni bukan untuk seni sendiri. Tidak ada istilah l’art pour
l’art. Karya-karya seni, bagi Nasr, harus digali dan
mengekspresikan dimensi-dimensi spiritual, merefleksikan
prinsip-prinsip tauhid, sehingga ia mampu mengingatkan dan
menuntun manusia untuk kembali kepada Tuhan. Inilah ciri khas
pemikiran Nasr yang perennial. Gagasan ini hampir sama dengan
teori seni dan keindahan Iqbal. Bedanya, seni Nasr merupakan
ekspresi dimensi spiritual sedang seni Iqbal adalah ekspresi
kreatifitas ego. Namun, lepas dari corak pemikirannya, cara
pandang Nasr ini adalah sesuatu yang sangat positif, bisa
digunakan sebagai jalan alternatif atas dampak negatif
modernitas yang ternyata justru menjauhkan manusia dari
spiritualitas, sehingga menimbulkan kekeringan jiwa dan
menimbulkan kerusakan.35
Namun, hal itu bukan berarti tanpa persoalan. Menurut
Faisal Ismael, jika seni dikaitkan atau bahkan dibatasi oleh
34 Ibid.
35 Husein Nasr, Islam & Nestapa Manusia Modern, terj. Anas Mahyudi, (Bandung,
Pustaka, 1983), 32-33; Husein Nasr, Menjelajah Dunia Modern, terj. Hasti Tarekat, (Bandung,
Mizan, 1994), 221-232.
Estetika/ Pemikiran Seni Nasr 11
---0---
36 Faisal Ismael, Paradigma Kebudayaan Islam, (Yogya, Titian Ilahi Press, 1996), 65-66.