Anda di halaman 1dari 11

KONSEP SENI SAYYID HUSEIN NASR

Dikutip dari buku WACANA BARU FILSAFAT ISLAM


Penulis A Khudori Soleh
Penerbit, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2004
Hal. 316-332

Seni Islam, menurut Nasr,1 setidaknya mengandung tiga


hal (1) Mencerminkan nilai-nilai religius, sehingga tidak ada yang
disebut seni sekuler. Tidak ada dikotomi religius dan sekuler
dalam Islam. Apa yang disebut kekuatan atau unsur sekuler
dalam masyarakat Islam selalu memiliki pengertian religius
seperti halnya hukum Ilahi yang secara spesifik memiliki unsur-
unsur religius. (2) Menjelaskan kualitas-kualitas spiritual yang
bersifat santun akibat pengaruh nilai-nilai sufisme. (3) Ada
hubungan yang halus dan saling melengkapi antara masjid dan
istana, dalam hal perlindungan, penggunaan dan fungsi berbagai
seni. Karena itu, seni Islam, bagi Nasr, tidak hanya berkaitan
dengan bahan-bahan material yang digunakan tetapi juga unsur
kesadaran religius kolektif yang menjiwai bahan-bahan material
tersebut.

A. Riwayat Hidup.
Sayyid Husein Nasr lahir di Teheran, Iran, 7 April 1933, dari
keluarga terpelajar. Ayahnya, Sayed Waliyullah Nasr adalah
dokter dan pendidik pada dinasti Qajar, kemudian diangkat
sebagai pejabat setingkat menteri pada masa dinasti Reza Syah.2
Pendidikan awalnya dijalani di Teheran ditambah dari orang
tuanya yang menanamkan disiplin keagamaan secara ketat,
kemudian di Qum dalam bidang al-Qur`an, syair-syair Persia
klasik dan sufisme.3
Nasr kemudian melanjutkan pendidikan di Massachusetts
Institute of Technologi (MIT), AS, dan meraih gelar B.Sc dalam
bidang fisika dan matematika teoritis, tahun 1954,4 dan

1 Husein Nasr, Spiritualitas & Seni Islam, terj. Setejo, (Bandung, Mizan, 1993), 22-23.
2 Jane I. Smith, ‘Seyyed Hossein Nasr’ dalam John L. esposito (ed.), The Oxford
Encyclopedia of The Modern Islamic World, (New York: Oxford University Press, 1995) p. 230
3 Abd Aziz Dahlan (edit), Suplemen Ensiklipedia Islam, II, (Jakarta, Ichtiar Baru Van
Haouve, 1996), 80. Meski dipedalaman dan dianggap tradisional, pendidikan di Teheran ini terap
mengedepankan intelektualitas. Kajian filsafat tetap berkembang disana dan menjadi kebanggaan
intelektualisme Iran. Menurut Nasr, filsafat Islam tetap berkembang di Iran meski dalam dunia
Islam telah berakhir pada abad tengah. Setidaknya ada dua kali kebangkitan filsafat di Iran, (1)
pada periode Safawi dengan munculnya tokoh seperti Mir Damad dan Mulla Sadra, (2) sepanjang
abad ke-19 M yang dipelopori oleh Mulla ‘Ali Nuri dan Haji Mulla Hadi Sabziwari, dan tradisi
tersebut tetap berlanjut di madrasah-madrasah selama periode Pahlevi. Lihat Hossein Nasr, Islam
Tradisi di Kancah Dunia Modern, (Bandung, Pustaka, 1994), 195.
4 Smith, Seyyed Hossein Nasr, 230; lihat juga C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
seterusnya meraih MSc dalam bidang geologi dan geofisika dari
Harvard. Namun, pada jenjang berikutnya, Nasr lebih tertarik
pada filsafat, sehingga meraih PhD dari Harvard, tahun 1958,
dalam bidang sejarah ilmu pengetahuan dan filsafat dengan
desertasi berjudul An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrine dibawah promotor HAR. Gibb.5 Selama menempuh
pendidikan di Amerika, khususnya di Harvard, Nasr banyak
mengenal pemikiran tokoh filsafat Timur, seperti Gibb,
Massignon, Henry Corbin, Titus Burckhardt dan Schoun.
Pemikiran tokoh-tokoh ini diakui banyak memberikan pengaruh
pada pandangan Nasr.6
Setelah itu, tahun 1958, Nasr pulang ke Iran. Disini ia lebih
mendalami filsafat Timur dan filsafat tradisional dengan banyak
diskusi bersama para tokoh terkemuka agama Iran, seperti
Thabathabai, Abu Hasan al-Qazwini, dan Kazin Asar.7 Dalam
kegiatan akademik, Nasr mengajar di Universitas Teheran,
menjadi dekan fakultas sastra pada lembaga yang sama tahun
1968-1972, dan tahun 1975-1979 menjadi direktur Imperial
Iranian Academy of Philosophy, sebuah lembaga yang didirikan
dinasti Syah Reza Pahlevi, untuk memajukan pendidikan dan
kajian filsafat.8 Nasr berhasil dalam tugas ini sehingga diberi
gelar kebangsawanan oleh Syah.
Kredibilitas Nasr sebagai intelektual dan akademisi tidak
hanya dikenal di negeranya sendiri tetapi juga diakui di negeri
Dalam Islam, terj. Mulyadi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya, t.t), 154. Menurut Georgio de
Santilana, pemilihan bidang matematika dan fisika oleh Nasr ini, kemungkinan, dipengaruhi oleh
kecenderungan dunia keilmuan di Amerika saat itu yang lebih memperhatikan soal-soal ilmu
kealaman. Lihat, Nasr, Sain dan Peradaban Dalam Islam, p. v
5 Smith, Seyyed Hossein Nasr , 230; lihat juga Nasr, Sain dan Peradaban Dalam Islam,
terj. J. Mahyudin (Bandung: Pustaka, 1986), v. Kegandrungan Nasr pada filsafat Timur ini
sebenarnya telah ada sejak kuliah di MIT. Saat itu, Nasr telah mempelajari ilmu-ilmu tradisional
Timur, seperti Hindhu, Budha dan khususnya Islam. Juga berkenalan dengan tulisan tokoh-tokoh
filsafat Timur, seperti Rene Gueneoun, Schoun, Buckhadt dan lainnya. Dahlan, Suplemen
Ensiklipedia Islam, xiv.
6 Nasr, Islam Tradisi di Kancah Dunia Modern, 259. Tentang bagaimana filsafat masuk
ke dunia Amerika setelah adanya gerakan Renaissance yang kemudian ditindaklanjuti dengan
Aufklarung di Eropa, lihat Bernard Delfgaauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, terj. Soejono
Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), 103 & 119.
7 Dahlan, Suplemen Ensiklipedia Islam, II, 80; Dalam diskusi-diskusi ini Nasr sangat
mengagumi Thabathabi yang dianggapnya sebagai orang yang ahli filsafat Timur dan filsafat
tradisional. Tentang ini, lihat pengakuan Nasr, ‘Pengantar’ dalam Thabathabi, Islam Syiah Asal
Usul dan Perkembangannya, tej. Johan Effendi, (Jakarta, Pustaka Grafiti, 1993), 24.
8 Smith, Seyyed Hossein Nasr , 231. Lembaga ini merupakan kelanjutan dari Institut
Franco-Iranien yang didirikan pada tahun 1946 di Teheran. Lembaga itu merupakan departemen
pengkajian tentang keiranan yang didirikan oleh departemen perhubungan dan kebudayaan
Perancis dengan tujuan awalnya untuk memulai serangkaian peblikasi teks yang bertitel
Bibliotheque iranienne (sejumlah besar teks penting mengenai filsafat Islam dan Sufisme) kepada
dunia Islam kontemporer dan Barat Direktur pertamanya adalah Henry Corbin yang bertemu Nasr
pada saat ia baru kembali dari Amerika ke Teheran pada tahun 1958. Keduanya kemudian menjalin
kerjasama yang akrab selama duapuluh tahun. Lihat Nasr, Islam Tradisi, 259 dan 285
Estetika/ Pemikiran Seni Nasr 3

lain, sehingga sering diundang seminar atau memberi kuliah


diluar negeri. Antara lain, memberi kuliah tamu di Harvard,
Amerika, tahun 1962-1965; di Universitas Amerika di Beirut
(American University of Beirut) tahun 1964-1965, menjadi
direktur lembaga Aga Khan untuk kajian ke-Islaman (Aga Khan
Chair of Islamic Studies) pada Universitas yang sama.9 Nasr juga
memberikan makalah pada Pakistan Philosophical Congress, di
Pakistan, tahun 1964;10 memberikan kuliah di Universitas
Chicago, tahun 1966, atas sponsor Rockefeller Foundation,11 dan
tahun 1981 memberi kuliah di Giffort Lectures, lembaga yang
didirikan oleh Universitas Edinburg (Edinburg University) tahun
1889.12
Selain itu, tahun 1967, Nasr bersama Muthahhari juga
bergabung dengan Husainiyah Irsyad, sebuah organisasi atas
prakarsa Ali Syariati (1933-1977 M) yang bertujuan untuk
memberikan panduan intelektual pada masyarakat, berdasarkan
pemikiran, pandangan, dan kebijaksanaan Imam Husayn serta
berlandaskan ajaran Islam, kondisi masyarakat dan ajaran Syiah
pada masa kini.13. Akan tetapi, karena ada perbedaan prinsip
dengan Ali Syariati, Nasr dan Muthahhari akhirnya
mengundurkan diri dari organisasi tersebut. Masalahnya,
menurut Nasr, Ali Syari’ati telah membawa faham liberation
theologi dari Marxisme dan Barat kedalam Islam, berupaya
menyajikan Islam sebagai kekuatan revolusioner dengan
9 Nasr, Ideals and Realities of Islam, (London, George Allend & Unwin Ltd, 1986), 7.
Menurut Nasr, posisi Aga Khan di Beirut menjadikannya sebagai lembaga yang strategis, karena
Beirut merupakan titik temu antara Timur dan Barat, Islam dan Barat, dan tempat dimana berbagai
mazhab Islam terwakili. Lembaga ini mengembangkan filsafat Anglo-Saxon, mengadakan dialog
antar agama serta kajian-kajian tentang madzhab-madzhab dalan Islam.
10 Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan, 155-156
11 Dalam kuliah yang bertujuan untuk meneliti soal perdamaian dan kehidupan manusia
ini, Nasr menguraikan akar-akar intelektual dan metafisis terjadinya krisis lingkungan, lalu ia
menyerukan agar prinsip-prinsip kearifan tradisional ditumbuhkan kembali dalam segala aspek
kehidupan modern, terutama sains. Lihat Nasr, The Encounter of Man and Nature, (London:
George Allend & Unwin Ltd, 1968), 13. Buku ini merupakan kumpulan dari materi-materi kuliah
Nasr di Universiatas Chicago tersebut.
12 Nasr, Knowledge and Sacred, (Edinburg: Edinburg University Press, 1981), vii.
Giffort Lectures adalah asosiasi yang prestisius bagi teolog, filosof, maupun scientis Eropa dan
Amerika, yang telah menghasilkan buku-buku berpengaruh di dunia. Nasr adalah sarjana muslim
bahkan sarjana Timur pertama yang mendapat penghargaan untuk tampil dalam forum tersebut,
sejak ia didirikan seabad yang lalu.
13 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, terj. Rahmani Astuti, (Bandung:
Mizan, 1994), 133-134. Lembaga Husainiyah Irsyad ini menawarkan banyak program yang bisa
dibagi dalam tiga kategori, (1) bidang riset meliputi enam kajian; Islamologi, filsafat sejarah dan
sejarah Islam, kebudayaan dan ilmu-ilmu Islam, negara-negara Islam, serta seni dan sastra. (2)
Bidang Pendidikan, meliputi lima kelompok, Islamologi, Qur’anologi, Pelatihan dakwah, Sastra
dan seni, Bahasa dan sastra Arab-Inggris. (3) Bidang propaganda, mencakup retorika, pidato
keagamaan, konferensi ilmiah, kongres, seminar, dan wawancara ilmiah. Tiga program tersebut
didukung satu unit logistik berupa Pusat buku, dokumen dan statistik, perpustakaan keliling,
percetakan, publikasi, terjemahan, dan penyelenggaran ibadah haji. Lihat, Ibid, 134-135
mengorbankan dimensi kerohanian Islam, sering melancarkan
kritik terhadap ulama tradisional, dan menyalahgunakan
lembaga itu untuk kepentingan politik.14
Nasr pernah datang juga ke Indonesia, Juni 1993, atas
undangan Yayasan Wakaf Paramadina bekerja sama dengan
penerbit Mizan. Disini ia memberi tiga ceramah dengan topik
berbeda, (1) tentang ‘Seni Islam’ sekaligus peluncuran buku
Spiritualitas dan Seni Islam (Bandung, Mizan, 1993), (2) tentang
‘Spiritualitas, Krisis Dunia Modern dan Agama Masa Depan’, (3)
tentang ‘Filsafat Perenial’.
Saat terjadi revolosi Iran yang digerakkan Khumaini, tahun
1979, Nasr terpaksa meninggalkan tanah airnya untuk menuju
Amerika karena dianggap pro-Syah. Meski demikian,
kredibilitasnya dalam keilmuan tidak berkurang. Ia menguasai
beberapa kajian keilmuan, antara lain, sejarah Timur dan Barat,
filsafat dan ilmu-ilmu pengetahuan sosial, kajian-kajian teologis
Islam dan Kristen baik yang klasik maupun kontemporer, dan
perkembangan studi Islam baik mistisisme, spiritualitas, seni,
maupun budaya.15 Karena itu, Nasr kemudian diangkat menjadi
Guru Besar Studi Islam di George Washington University dan
Guru Besar studi Islam dan Agama-agama pada Temple
University, Philadelphia.
Nasr banyak menghasilkan karya tulis. Antara lain, An
Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Desertasi,
Inggris, Thames and Hudson Ltd, 1978); Ideals and Realities of
Islam (London, George Allen & Unwim Ltd, 1966) berisi ceramah
Nasr dalam perkuliahannya di American University of Beirut ,
tahun 1964-1965; Islamic Studies, Essays on Law and Society,
The Sciences, and Philosophy and Sufisme (Beirut, Librairie Du
Liban Press, 1967); The Encounter of Man and Nature, the
Spiritual Crisis of Man and Nature (London, George Allen &
Unwim Ltd, 1968), berisi materi perkuliahan di The University of
Chicago, bulan Mei 1966; Science and Civilization in Islam
(Harvard, Harvard University Press, 1968), berisi tentang
berbagai hal dari perspektif Islam; Sufi Essays (London, George
Allen & Unwim Ltd, 1972) berisi kumpulan artikel tentang sufi
dan sufisme yang tersebar dalam berbagai jurnal ilmiah; Islam
and The Plight of Modern Man (London, Longman press, 1975);
Knowledge and The Sacred (Edinburg, Edinburg University Press,
1981) berisi obsesi Nasr membangun filsafat berlandaskan tradisi
universal yang berlaku sepanjang zaman.
14 Konflik yang terjadi antara Nasr dan Syari’ati ini disinyalir merupakan refleksi yang
sangat jelas akan adanya konflik (tidak kesepakatan) Nasr dengan modernis. Azyumardi Azra,
“Tradisionalisme Nasr: Eksposisi dan Refleksi” dalam Junal ilmu dan Kebudayaan Ulumul
Qur’an, (No. 4 Vol. IV Th. 1993), 107.
15 Smith, “Seyyed Hossein Nasr” , p. 230
Estetika/ Pemikiran Seni Nasr 5

Selain itu, Nasr aktif menulis artikel untuk jurnal-jurnal


ilmiah di berbagai negara, antara lain, Journal Milla wa Milla
(Melbourne, Australia), Juornal Iran (terbit di London), Studies in
Comparative Religion (London, Inggris), Religious Studies
(Cambridge, Inggris), The Islamic Quartelly (London, Inggris),
Hamdard Islamicus, dan Word Spirituality.16

B. Sumber Seni Islam.


Seseorang tidak akan menyamakan sebuah masjid dengan
gereja, meski bahan bangunan masjid tersebut diambil dari
gereja, misalnya. Artinya, menurut Nasr,17 cikal bakal seni Islam
dan kekuatan-kekuatan serta prinsip-prinsip yang mendasarinya
tidak mungkin digali dari kondisi sosio-politik yang mengiringinya
tetapi harus dihubungkan dengan pandangan-dunia (world view)
Islam sendiri. Sumber seni Islam harus dicari didalam realitas-
realitas batin (haqâiq) al-Qur`an yang merupakan realitas-relitas
dasar kosmos dan realitas spiritual substansi nabawi yang
mengalirkan ‘barakah muhammadiyah’ (al-barakah al-
muhammadiyah). Aspek-aspek batin dan barakah Nabi inilah
yang merupakan sumber seni Islam, yang tanpa keduanya tidak
akan muncul seni Islam. Al-Qur`an memberikan dokrin keesaan
sedang Nabi memberikan manifestasi keesaan ini dalam
keserbaragaman dan kesaksian dalam ciptaan-Nya. Barakah
Muhammadiyah memberikan daya kreativitas yang
memungkinkan seseorang menciptakan seni Islam.
Kenyataannya, menurut Nasr, para maestro seni Islam
senantiasa memperlihatkan rasa cinta dan kesetiaan yang
istimewa kepada Nabi dan keluarganya.
Selain itu, seni Islam juga berdasarkan atas hikmah, yakni
pengetahuan yang diilhami oleh nilai-nilai spiritual. Seni Islam
mewujudkan realitas-realitas yang ada dalam ‘Perbendaharaan
Ghaib” (khazâin al-ghaib) lewat bantuan ilmu pengetahuan
tentang dunia batin (hikmah).18 Ini bisa dilihat, antara lain, pada
bangunan masjid Syah di Isfahan atau arsitektur masjid lainnya
yang dibangun dengan pola geometri dan arabeska (kaligrafi
tradisional) yang luar biasa,19 atau pada melodi-melodi musik
Arab tradisional yang memberikan alunan musik yang sangat
menawan, yang jika direnungkan secara mendalam pasti akan
16 Nasr, Sufi Essays, (New York: University of New York Press, 1972), 21.
17 Nasr, Spiritualitas & Seni Islam, 17.
18 Ibid, 19.
19 Pada bagian lain buku ini, Nasr menjelaskan secara panjang lebar tentang dasar-dasar
filosofis arsitektur Islam dan kaitannya dengan dimensi-dimensi spiritual Islam. Lihat, Nasr,
Spiritualitas & Seni Islam, 50-74. Dalam referensi lain, lihat Zein Wiryoprawira, Perkembangan
Arsitektur Masjid di Jawa Timur, (Surabaya, Bina Ilmu, 1986), 49-108. Disini diuraikan secara
baik dengan disertai foto-foto tentang model dan keindahan yang luar biasa arsitektur masjid pada
abad-abad pertengahan.
sampai pada sebuah kesimpulan bahwa semua itu digali dari
keindahan dunia kasat mata. Demikian, sehingga karakter
intelektual dari seni Islam tidak bisa dianggap sebagai hasil dari
semacam rasionalisasi, melainkan dari suatu penglihatan
intelektual akan pola-pola dasar dari dunia terestrial. Seni Islam
juga tidak meniru bentuk-bentuk lahir alam, tetapi memantulkan
prinsip-prinsipnya, sehingga ia bukan empirisme, tetapi sebuah
scientia sacra yang hanya bisa diraih berdasarkan cara-cara
tertentu.20 Kenyataannya, dimanapun kehidupan intelektual dan
spiritual Islam mencapai puncak, kreativitas seni Islam juga
mencapai kesempurnaan; sebaliknya, ketika kehidupan spiritual
Islam mengalami keruntuhan, kualitas seni Islam juga mengalami
kemunduran.
Dengan demikian, seni Islam bukan sekedar karena ia
diciptakan oleh seorang muslim tetapi lebih karena didasari oleh
wahyu Ilahi. Seni Islam adalah buah dari spiritualitas Islam,
merupakan hasil dari pengejawentahan Keesaan pada bidang
keanekaragaman. Ia merefleksikan kandungan Prinsip Keesaan
Ilahi, kebergantungan seluruh keanekaragaman kepada Yang Esa,
kesementaraan dunia dan kualitas-kualitas positif dari eksistensi
kosmos. Namun demikian, menurut Nasr,21 meski seni Islam
diilhami spiritualias Islam secara langsung, wujudnya tetap saja
dibentuk oleh karakter-karakter sosial budaya yang meliputinya.
Hanya saja, karakter-karakter tersebut tidak sampai mengurangi
kebenaran dan kandungan batin dan dimensi spiritual Islam yang
menjadi sumber seni Islam.

C. Klasifikasi Seni.
Berdasarkan uraian diatas, dimana seni Islam bersumber
dan berkaitan dengan aspek spiritual atau aspek batin wahyu,
Nasr mengklasifikasikan seni dalam tiga bagian.22 Pertama, seni
suci, yakni seni yang berhubungan langsung dengan praktek-
20 Gagasan Nasr ini hampir sama (tapi tidak persis) dengan teori seni modern yang
dikemukakan Arthur Schopenhauer (1788-1860 M) bahwa seni adalah suatu bentuk pemahaman
atas realitas. Inti dari realitas sejatia dalah kemauan (will) yang bersifat semesta, sedang kenyataan
dunia ini sebagai ide-ide hanya wujud luar dari kemauan semesta tersebut. Ide-ide itu sendiri
bersifat abadi dan tidak berubah. Selanjutnya, ide-ide ini menampakkan diri atau mempunyai
perwujudan dalam benda-benda khusus. Pengetahuan sehari-hari manusia adalah pengetahuan
praktis untuk melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan benda-benda itu. Namun, ada
pengetahuan yang dapat melampaui kedudukan pengetahuan praktis ini, yakni pengetahuan yang
lebih tinggi kedudukannya yang diperoleh dengan cara memusatkan perhatian pada ide-ide dan
merenungkannya demi ide-ide itu sendiri. Dengan perenungan semacam ini yang membebaskan
diri dari kemauan semesta, lahirlah seni. Lihat Arthur Schopenhauer, “The World as Willa and
Idea”, dalam Gene Blocker & Jennifer (edit), Contextualizing Aesthetics from Plato to Lyotard,
(California, Wadsworth, 1999), 97-102. Lihat juga Daniel Bronstein (edit), Basic Problems of
Philosophy Selected Readings with Introductions, (Englewood Cliffs, Prentice Hall, 1957), 332.
21 Nasr, Spiritualitas & Seni Islam, 15.
22 Ibid, 75-77.
Estetika/ Pemikiran Seni Nasr 7

praktek utama agama dan kehidupan spiritual. Lawannya adalah


seni profan. Kedua, seni tradisional, seni yang menggambarkan
prinsip-prinsip agama dan spiritual tetapi dengan cara tidak
langsung. Lawannya adalah seni anti-tradisional. Perbedaan
antara seni suci dan seni tradisional ini bisa dilihat pada contoh
sebuah pedang. Pedang yang dibuat abad pertangahan, baik
Islam maupun Kristen, tidak pernah digunakan secara langsung
dalam acara ritual keagamaan meski merefleksikan prinsip dan
ajaran Islam atau Kristen. Karena itu, ia masuk kategori seni
tradisional. Ini berbeda dengan pedang Shinto di Kuil I Se di
Jepang. Pedang Shinto dikaitkan langsung dengan ajaran agama
tersebut dan merupakan objek ritual yang bermakna tinggi
dalam agama Shinto, sehingga dimasukkan sebagai seni suci.
Ketiga, seni religius, seni yang subjek atau fungsinya bertema
keagamaan, namun bentuk dan cara pelaksanaannya tidak
bersifat tradisional. Masuk dalam kategori ini adalah lukisan-
lukisan religius dan arsitektur Barat sejak renaissance dan
beberapa lukisan religius di dunia Timur selama seabad atau dua
abad lalu dibawah pengaruh seni Eropa.
Selanjutnya, untuk memahami lebih lanjut tentang seni
suci, menurut Nasr,23 seseorang mesti memahami pandangan –
masyarakat-- Islam tentang realitas, kosmik maupun meta-
kosmik. Dalam pandangan filsafat Islam, realitas adalah multi-
struktur, yakni mempunyai berbagai tingkat eksistensi. Realitas
berasal dari Yang Esa dan terdiri atas berbagai tingkat yang,
sesuai dnegan kosmologi Islam, dapat diringkas sebagai alam
malaikat, alam psikhis dan alam material (fisik). Manusia hidup
dalam alam material namun sekaligus dikelilingi oleh seluruh
tingkat eksistensi yang lebih tinggi. Yang suci menandai suatu
pemunculan dunia yang lebih tinggi dalam hal eksistensi psikhis
dan material, keabadian dunia temporal. Semua yang datang
dari dunia spiritual adalah suci karena berperan sebagai sarana
untuk kembalinya manusia menuju dunia spiritual. Namun
kemungkinan ini, yakni kembali ke dunia yang lebih tinggi, tidak
dapat dipisahkan dari realitas penurunan dari yang atas, karena
pada dasarnya hanya yang datang dari dunia spiritual itulah
yang dapat bertindak sebagai sarana untuk kembali ke dunia
yang lebih tinggi. Karena itu, yang suci menandakan adanya
‘keajaiban’ nilai spiritual dalam dunia material. Ia merupakan
gema dari surga untuk mengingatkan manusia di bumi akan
tempat asalnya, surga.
Berdasarkan hal tersebut, seni suci mempunyai atau
mengikuti prinsip-prinsip tertentu yang berkaitan dengan nilai-
nilai Ilahiyah atau dimensi spiritual Islam. Pertama, mengikuti

23 Ibid.
prinsip kesatuan kosmos dan apa yang ada dibalik semesta
dengan kesatuan prinsip Ketuhanan.24 Kosmologi Islam
didasarkan pada penekanan Tuhan sebagai satu-satunya sumber
segala sesuatu, yang mengatur dan menghubungkan eksistensi-
eksistensi yang ada dibawahnya; menghubungkan dunia material
dengan dunia ghaib, dunia ghaib dengan alam malaikat, alam
malaikat dengan alam malaikat muqarrabîn, alam malaikat
muqarrabîn dengan al-rûh dan ruh dengan karya krteatif
primordial Tuhan. Semua bergerak dinamis dalam pola dasar
yang selaras dan seimbang.25
Masjid sebagai bentuk seni arsitektur suci Islam juga
memperlihatkan hal serupa. Kekosongan, kesederhanaan dan
kemiskinan bentuk serta pola menunjukkan status ontologis
dunia sebagai yang papa dan miskin dihadapan Tuhan Yang Maha
Kaya. Ihwal ruang-ruang yang sunyi merefleksikan kedamaian,
sedang lengkungan dan kolom-kolom ruangan adalah ritme yang
mengimbangi eksistensi kosmik yang menjelaskan fase-fase
kehidupan manusia dan juga kosmos yang datang dari-Nya
maupun yang kembali kepada-Nya.26
Kedua, mengikuti prinsip kesatuan hidup individu dan
masyarakat yang diatur oleh hukum Ilahi (al-syarî`ah). Masjid
disebuah kota Islam tradisional, misalnya, bukan hanya sebagai
pusat kegiatan religius melainkan juga seluruh kehidupan
masyarakat, baik kultural, sosial dan politik, juga -–pada tahap
tertentu—- kegiatan ekonomi. Karena itu, secara organis, masjid
senantiasa berhubungan dengan pasar sebagai pusat ekonomi,
istana sebagai pusat kekuasaan politik, sekolah sebagai pusat
kegiatan intelektual, dan seterusnya. Siapa yang memperhatikan
kota Islam tradisional pasti melihat kesatuan dan keterpaduan
seperti itu. Di pusat kota pasti ada masjid, berdekatan dengan
istana dan pasar.27

D. Fungsi Spiritual Seni Islam.


Tidak berbeda dengan seni-seni lain yang mengandung
banyak fungsi,28 seni Islam juga mengandung fungsi-fungsi
khusus. Menurut Nasr, seni suci Islam setidaknya mengandung

24 Ibid, 72.
25 Ibid, 57.
26 Ibid, 58. Lihat juga Husein Nasr, The Encounter of Man and Nature, (London: George
Allend & Unwin Ltd, 1976), 75 dan seterusnya.
27 Nasr, Spiritualitas & Seni Islam, 73. Lihat juga, Zein Wiryoprawira, Perkembangan
Arsitektur Masjid, 30-31.
28 Secara umum, menurut The Liang Gie, seni setidaknya mengandung empat fungsi. (1)
fungsi spiritual, (2) fungsi hidonistik (kesenangan), (3) fungsi edukatif atau pendidikan, (4) fungsi
komunikatif (tata hubungan). Dengan fungsi-fungsi yang lebih lengkap, seni bisa menjadi
perlengkapan manusia yang bersifat immortal (abadi) dan universal (semesta). Lihat The Liang
Gie, Filsafat Seni, (Yogya, Pubib, 1996), 47-52.
Estetika/ Pemikiran Seni Nasr 9

empat pesan atau fungsi spiritual. Pertama, mengalirkan barakah


sebagai akibat hubungan batinnya dengan dimensi spiritual
Islam. Tidak bisa diingkari, seorang muslim yang paling modern
sekalipun, akan mengalami rasa kedamaian dan kegembiraan
dalam lubuk hatinya, semacam ‘ketenangan’ psikologis, ketika
memandang kaligrafi, duduk diatas karpet tradisional,
mendengarkan dengan khusyuk bacaan tilawah al-Qur`an atau
beribadah disalah satu karya besar arsitektur Islam.29
Kedua, mengingatkan kehadiran Tuhan dimanapun
manusia berada. Bagi seseorang yang senantiasa ingat kepada
Tuhan, seni Islam selalu menjadi pendorong yang sangat bernilai
bagi kehidupan spiritualnya dan sarana untuk merenungkan
realitas Tuhan (al-haqâiq). Bahkan, seni Islam yang pada
dasarnya dilandasi wahyu Ilahi adalah penuntun manusia untuk
masuk ke ruang batin wahyu Ilahi, menjadi tangga bagi
pendakian jiwa untuk menuju pada Yang Tak Terhingga, dan
bertindak sebagais arana untuk mencapai Yang Maha Benar (al-
Haqq) lagi Maha Mulia (al-Jalâl) dan Maha Indah (al-Jamâl).
sumber segala seni dan keindahan.30
Kenyataan tersebut terjadi dalam semua bentuk seni Islam.
Seni kaligrafi, misalnya. Kaligrafi yang merupakan seni
perangkaian titik-titik dan garis-garis pada pelbagai bentuk dan
irama yang tiada habisnya merangsang ingatan akan tindak
primordial dari pena Tuhan. Ia merupakan refleksi duniawi atas
firman Tuhan yanga da di Lauh Mahfûzh, yang menyuarakan
sekaligus menggambarkan tanggapan jiwa manusia terhadap
pesan Ilahi dan merupakan visualisasi atas realitas-realitas
spiritual yang terkandung dalam wahyu Islam.31 Begitu pula
dalam seni liturgi, tilâwah al-Qur`an, mengingatkan manusia
akan keagungan Tuhan. Hal senada juga terjadi dalam syair-syair,
musik dan karya-karya sastra lainnya yang nota bene lahir dari
model teks suci al-Qur`an. Keselarasan bait-bait syair dan irama
musik menghubungkan diri dengan keselarasan dan ritme
universal kosmik.32
Ketiga, menjadi kriteria untuk menentukan apakah sebuah
gerakan sosial, kultural dan bahkan politik benar-benar otentik
Islami atau hanya menggunakan simbol Islam sebagai slogan
untuk mencapai tujuan tertentu. Sepanjang sejarah dan dengan
kedalaman serta keluasan manifestasi otentiknya, mulai dari
arsitektur sampai seni busana, seni Islam senantiasa
menekankan keindahan dan ketakterpisahan darinya.33 Apakah
29 Nasr, Spiritualitas & Seni Islam, 214.
30 Ibid, 17-18.
31 Ibid, 27-29.
32 Ibid, 102 & 170.
33 Ibid, 218.
mereka yang mengklaim berbicara atas nama Islam juga telah
menciptakan bentuk-bentuk keindahan dan kedamaian? Apakah
ada kualitas ketenangan, keselarasan, kedamaian dan
keseimbangan yang menjadi ciri khas Islam maupun manifestasi
artistik dan kulturalnya, dalam sikap dan perilaku gerakan-
gerakan dan organisasi Islam tersebut?
Keempat, sebagai kriteria untuk menentukan tingkat
hubungan intelektual dan religius masyarakat muslim. Saat ini
banyak tokoh berbicara tentang islamisasi pendidikan, sistem
ekonomi maupun sistem masyarakat Islam sendiri, disamping
banyak yang melakukan berbagai usaha kongkrit untuk
mencapai tujuan tersebut. Semua itu bukan usaha yang mudah
dan pasti menghadapi kendala dan tantangan yang berat.
Apakah mereka yang melakukan usaha-usaha tersebut
menyadari bentuk keislaman diluar ketentuan syari`ah yang
bersifat eksoterik? Seni Islam dalam pengertian universalnya
dapat dijadikan kriteria untuk menilai sifat proses pencapaian
tersebut beserta hasil-hasilnya, karena tidak ada yang otentik
Islam tanpa memiliki kualitas yang lahir dari spiritual dan
menjelmakan dirinya disepanjang sejarah seni tradisional Islam,
mulai dari tembikar hingga sastra dan musik.34 Artinya, tingkat
keberhasilan yang dicapai yang bisa diukur lewat data-data
empiris berkaitan dan sekaligus menunjukkan tingkat kualitas
spiritual yang menyertainya.

E. Penutup.
Seni bukan untuk seni sendiri. Tidak ada istilah l’art pour
l’art. Karya-karya seni, bagi Nasr, harus digali dan
mengekspresikan dimensi-dimensi spiritual, merefleksikan
prinsip-prinsip tauhid, sehingga ia mampu mengingatkan dan
menuntun manusia untuk kembali kepada Tuhan. Inilah ciri khas
pemikiran Nasr yang perennial. Gagasan ini hampir sama dengan
teori seni dan keindahan Iqbal. Bedanya, seni Nasr merupakan
ekspresi dimensi spiritual sedang seni Iqbal adalah ekspresi
kreatifitas ego. Namun, lepas dari corak pemikirannya, cara
pandang Nasr ini adalah sesuatu yang sangat positif, bisa
digunakan sebagai jalan alternatif atas dampak negatif
modernitas yang ternyata justru menjauhkan manusia dari
spiritualitas, sehingga menimbulkan kekeringan jiwa dan
menimbulkan kerusakan.35
Namun, hal itu bukan berarti tanpa persoalan. Menurut
Faisal Ismael, jika seni dikaitkan atau bahkan dibatasi oleh
34 Ibid.
35 Husein Nasr, Islam & Nestapa Manusia Modern, terj. Anas Mahyudi, (Bandung,
Pustaka, 1983), 32-33; Husein Nasr, Menjelajah Dunia Modern, terj. Hasti Tarekat, (Bandung,
Mizan, 1994), 221-232.
Estetika/ Pemikiran Seni Nasr 11

agama akan menyebabkan beberapa hal. (1) adanya keterikatan


bentuk dan isi dari seni itu sendiri, (2) adanya ketegangan antara
nilai seni yang longgar dengan nilai agama yang ketat, (3)
terbatasnya ruang gerak seni karena dipakai sebagai bagian dari
praktek keagamaan, (4) terganggunya kebebasan kreativitas
karena adanya norma-norma agama yang mengatur.36
Berdasarkan hal ini, tidakkah pemikiran Nasr justru akan
menyebabkan seni Islam sulit berkembang?

---0---

36 Faisal Ismael, Paradigma Kebudayaan Islam, (Yogya, Titian Ilahi Press, 1996), 65-66.

Anda mungkin juga menyukai