Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tidak bisa di pungkiri bahwa Peradaban barat modern merupakan peradaban


yang secara materi telah berhasil membawa umat manusia ketingkat kemajuan
dan keberhasilan secara materi. Peradaban modern telah berhasil membuktikan
eksistensi manusia sebagai makhluk lebih unggul daripada makhluk manapun di
bumi ini. namun di balik semua itu  Peradaban modern juga semakin berhasil
menggelapkan hati manusia dan semakin menepatkan posisi manusia dalam
kemajuan semu belaka. Apa yang telah menjadi keberhasilan manusia modern
justru tidak semakin mendekatkan manusia pada Tuhan yang secara hakikat ada di
belakang segala keberhasilan umat manusia. Kemajuan peradaban modern justru
telah menggiring manusia pada kesombongan, dan puncak dari kesombongan itu
adalah klaim bahwa manusialah yang telah menjadikan segala keberhasilan yang
selama ini dicapainya, sementara Tuhan tidak memiliki andil apapun.

Sesuatu yang sangat penting mulai di lupakan oleh manusia adalah bahwa
Keyakinan atau aqidah adalah unsur yang sangat berpengaruh dalam kehidupan
manusia, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Ia merupakan
referensi bagi suatu tindakan, dalam arti bahwa sebelum seseorang melakukan
suatu perbuatan, dia hampir selalu menimbang dengan keyakinan yang
dimilikinya. Keyakinan ini pula yang kemudian melandasi gerak perjuangan
Sayyed Hossein Nasr. Tokoh pembaharu islam di abad modern ini yang merasa
khawatir terhadap kecenderungan umat Islam yang lebih mengiblat terhadap
peradaban barat dan telah melupakan akar budayanya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Sayyed Hossein Nasr?
2. Apa saja Karya-karya dari Sayyed Hossein Nasr ?
3. Bagaimana corak pemikiran Sayyed Hossein Nasr?
C. Tujuan
1. Mengetahui biografi Sayyed Hossein Nasr.
2. Mengetahui karya-karya dari Sayyed Hosein Nasr.
3. Mengetahui corak pemikiran Sayyed Hosein Nasr.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Sayyed Hossein Nasr


Dilihat dari nama yang menggunakan Sayyed dapat diduga bahwa Hossein
Nasr merupakan salah seorang keturunan Nabi Muhammad saw. Dia lahir
tahun 1933 di Teheran. Data tentang tanggal dan tempat/kampung dia
dilahirkan tidak ditemukan. Suasana Iran ketika dia dilahirkan di bawah
kekuasaan Syah Reza Pahlevi yang melakukan restorasi di berbagai bidang
kehidupan. Hal ini dapat dipahami karena pada saat itu kekuasaan Iran di
bawah “koordinasi” Amerika yang memang menghendaki perubahan
menyeluruh di negeri Iran. Itulah kenapa Syah Reza dikatakan sebagai kaki
tangan Amerika.
Sebagai anak yang dilahirkan di lingkungan keluarga terdidik, Nasr belajar
sejumlah ilmu, baik tradisional maupun ilmu-ilmu modern. Dia banyak
belajar dan menyerap ilmu dari sejumlah guru di antaranya; Sayyid
Muhammad Kazim Assar, Muhammad Husain Tabataba’i, Sayyid Abul-
Hasan, Qaswini Rafi’i, Jawad Muslih, dan Murtadha Mutahhari.
Merasa tidak cukup mendapat pengetahun di negerinya, Nasr memutuskan
untuk belajar ke Barat. Negara tujuan pertamanya adalah Eropa. Setelah
mendapat gelar diploma Bachelor of Science (B.S) dalam bidang Fisika dari
Massachussets Institute of Technology (MIT), dia melanjutkan studinya ke
Harvard University, dan pada tahun 1958, telah meraih gelar Philosophise
Doctor(Ph.D) dalam usia 25 tahun dengan menulis sebuah karya disertasi
yang berjudul An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (1964).
Karya ini ditulis dilatarbelakangi oleh minimnya pembahasan tentang
kosmologi Islam di dunia Barat. Nasr ingin mengeksplorasi kajian keislaman
terutama di bidang kosmologi dan menyebarkan gagasannya di di dunia
Barat.
Sekembalinya dari Amerika, dia dipercaya untuk mengajar di Universitas
Teheran. Pendidikan Barat yang pernah diterima, tidak mempengaruhi cara
pandang dan pola kehidupan dengan tradisi Islamnya. Meski mengenyam
pendidikan di Barata, tetapi dia masih haus akan tradisi keislaman. Itulah

2
kenapa dia melanjutkan belajat tasauf kepada seorang ulama besar
Muhammad Husain Tabataba’i, seorang penulis kitab Tafsir Tabatabai yang
dianggap sebagai pelanjut pemikir Mu’tazilah.
Di akhir tahun 1962, Nasr diundang menjadi dosen tamu di Harvard
University, untuk memberikan kuliah umum tentang pemikiran Islam. Setelah
itu, pemikirannya tersebar di dunia Timur dan Barat melalui sejumlah buku,
artikel, tabloid, dan kuliah yang dia sampaikan di khalayak publik. Di antara
bukunya yang terkenal adalah Knowledge and the Sacred(1981), Man and
Nature: The Spiritual Cricis of Modern Man (1968), Ideals and Realitis of
Islam (1966), An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (1964).

B. Karya-Karya Sayyed Hossein Nasr


Nasr banyak menghasilkan karya tulis antara lain :
1. An Interduction to Islamic Cosmological Doctrine Conceptions of Nature
and Methodods Used for Its Study by the Ikwan ash-Shafa, al-Biruni and
Ibnu Sina dicetak tahun 1964, dan edisi revisi by Thames and Hudson Ltd,
1978), sebagai buku pertama, ketika mengambil gelar Ph.D. Buku ini
mengungkapkan tentang kosmologi Islam yang pernah berkembang di
zaman Pertengahan dengan pemikiran Ikhwan As-Shafah, Al-Biruni dan
Ibnu Sina, sebagai intelektul klasik.
2. Ideal and Realitas of Islam. Buku ini diberikan pengantar Titus
Burckhardt dan pendahuluan oleh Huston Smith. Pada mulanya hanya
merupakan sebuah pembahasan dalam mata kuliah yang dibawakan Nasr
di Universitas Beiruit "American Univercity di Beirut tahun 1965. Nasr
menguraikan sejumlah isu tentang Islam sebagai Agama Universal, al-
Qur’an sebagai sumber kajian tentang ilmu pengetahuan dunia, kemudian
syari’ah sebagai ajaran universal dan kemanusiaan yang dicontohkan oleh
Nabi Muhammad saw. Buku ini dicetak dan diterbitkan oleh, First
published by George Allen & Unwin 1966.
3. Science and Civilization in Islam, (Sains dan Peradaban di Dalam Islam),
diberikan kata pengantar Giorgio David (de) Santillana. Dalam buku ini di
jelaskan tentang kedudukan Sains dalam Islam, Nasr melihat bahwa
eksistensi sains sudah ada sejak abad pertengahan ketika Islam mengalami
kejayaan dan munculnya tokoh sains dalam Islam seperti Umar Kayyam,
Albiruni, Ibnu Sina, Al-Firdausi, Muhhamd Ibnu Al-Jabar, Kosmologi

3
merupakan sumber sains yang harus dikaji secara propesional. Disamping
itu, juga menjelaskan metode atau sistem pengajaran dalam lembaga
tradisonal Islam misalnya masalah Kosmologi, Kosmografi, Geografi,
Sejarah Alam, Fisika, Matematika, Astronomi Kedokteran dan Kimia, dan
lainnya. Kemudian juga menjelaskan tentang al-Chemy, Philosopy dan
Gnostik atau ma’rifah sebagai ajaran tradisi yang sakral. Buku ini
diterbitkan University Harvard Press 1968.
4. Man and Nature The Spiritual Crisis of Modern Man (Manusia dan Alam,
Mengalami Krisis Spiritual di Zaman Modern)". Buku ini dicetak dan
diterbitkan First published by George Allen & Unwin in 1968 di
Universitas Cicago. Buku ini menjelaskan tentang kegersangan jiwa
manusia mengalami krisis modern. Kemudian Nasr memberikan alternatif
dengan pendekatan tradisi atau menggunakan filsafat perennial sebagai
jalan alternatif. Tujuannya agar manusia menyadari bahwa dirinya bagian
dari alam semesta, serta mampu memahami ajaran-ajaran agama yang
sakral, sebagai perjanjian primordial kepada Tuhan.
5. Tsalatsah Hukamah Muslim versi bahasa Arab (Tiga Pemikir Islam Ibnu
Sina, Suhrawardi, Ibnu Arabi). Buku ini diterbitkan di Beiurut tahun 1971
kemudian versi bahasa Inggris “Three Muslim Sages” di terbitkan Harvard
College Reprinted by Arrangement with (Harvard University Press, 1964,
diterjamahkan dalam bahasa Indonesia tahun 1986. Dalam buku ini Nasr
menulis tiga tokoh Islam yang dianggap mempunyai pengaruh besar
terhadap perkembangan pemikiran Islam hingga sekarang. seperti Ibnu
Sina dikenal sebagai "dokter dan filosof", Suhrawadi dengan teori
"Iluminasi dan hikmah Israqiyah", Ibnu Arabi dikenal seorang sufistis
dengan ajaran "wahdat alwujud" dan insan al kamil", sebagai kajian di
zaman kontemporer.
6. Traditional Islam in The Modern World, buku ini dicetak, Kegan Paul
International London and New York First published 1987. Dalam buku ini,
Nasr menjelaskan Islam secara tradisional sebagai salah satu bentuk Islam
yang popular. Bagi Nasr Islam dan tradisi tidak bisah dipisahkan dan
sangat penting memberikan bimbingan secara historis, kepada umat Islam.
Kaum tradisionalis dan fundamentalis sama-sama menerima Al-Qur’an
dan Sunnah Nabi sebagai syari'at, namun keduanya terdapat perbedaan
dalam memahami ajaran Islam, berdasarkan metodologinya masing-

4
masing. Kemudian Tradisi Islam di tengah perkembangan dunia Modern,
dan tradsisi Islam dunia Barat Modern.
7. Islam and the Plight of Modern Man, diterbitkan di London First
published Revised and Enlarged Edition ABC International Group tahun,
1975, kemudian diterjamahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Anas
Mahyudin dalam “Islam Dan Nestapa Manusia Modern” dicetak dan
diterbitkan Pustaka, Bandung tahun 1981. Nasr menjelaskan tentang
kondisi manusia modern, yang mengalami keterpurukan dari berbagai
aspek, termasuk spiritual dan moral. Perkembangan teknolgi dan Ilmu
Pengetahuan telah memberikan dampak negatif terhadap kehidupan
manusia khususnya di Amerika Serikat. Nasr merasakan kegersanagan
dalam jiwa setiap generasi sehingga Nasr terilhami menulis buku ini
dengan berlatar belakang kehidupan modern yang tidak dilandasi dengan
nilai Spiritual. Disamping itu Nasr juga mengungkapkan problem atau
dilema Islam di negara Barat.
8. Knowledge and the sacred, diterbitkan di New York 1981. Buku
diterjamhkan dengan judul "Pengetahuan dan Kesucian" dan diterbitkan
Pustaka Pelajar, tahun 1997. Dalam buku ini sangat jelas diungkapkan 68
bagaimana ke duduakan pengetahuan yang begitu suci, sesuci dengan
fitrah manusia. Manusia kata Nasr dilihat dari satu titik pandang yang pasti
adalah makhluk sosial yang di depinisikan para filosof dengan
kemampuan melebihi dari makhluk yang lain. Disisi lain manusia adalah
hewan yang berfikir, karena dirinya dilengkapi dengan inteligensia,
pengetahuan, akal dan hati nurani.
9. The Need for a Sacred Science, pertama diterbitkan tahun 1993, kemudian
direvisi kembali, edition First published in the United Kingdom by Curzon
Press Ltd. St John’s Studios Church Road Richmond Surrey This edition
published in the Taylor & Francis Library, 2005. Dalam buku tersebut
Nasr berbicara tentang Tuhan sebagai realitas yang memanifestasikan diri
pada berbagai tingkat dan kesadaran. Kemudian ilmu pengetahuan modern
dan tradisi yang saling bersinergi, pengetahuan dan kesucian sebagai
gambaran atas realitas Ilahi.
10. Traditional Islam in The Modern World, London dan New York, 1987
buku ini diterjamahkan tahun 1994 diterbitkan Pustaka Bandung. Dalam
buku ini Nasr menjelaskan Antara Islam tradisional dengan modernisme,

5
artinya eksistensi Islam dipertanyakan mampukah ia bertahan dalam era
globalisasi atau modern, sehingga Nasr mengatakan yang paling penting
bagi kita adalah kesadaran terhadap apa yang harus kita benahi dalam
menyerap gelombang modernisme, meskipun pada hakikatnya
modernisme telah memberikan berbagai kemudahan bagai manusia.
11. Theology, Philosophy and Spirituality, World Spiritulaity Vol 20,
diterbitkan 1991 oleh CIIS, Perss (Centre for Internastional Islamic
Student) diterjamahkan tahun 1996. Dalam buku ini Nasr menjelaskan
bahwa, intelektual muslim mampu bertahan dengan berbagai tradisi yang
dimilikinya misalnya; Mu'tazilah dengan paham Rasionalnya, Asyari
dengan faham tradisionalnya dan Al-Gazali faham tasawuf atau gnosis dan
filsafat, Nasr yakin dengan mempertahankan paham trdisional ini
eksistensi Islam semakin bertahan diera modern dan kontemporer.
12. Islamic Art and Spirituality. Buku ini diterbitkan di Albany tahun 1987,
dan diterjamahkan pada tahun 1993, Nasr menggambarkan seorang
Muslim memiliki semangat keberagamaan yang tinggi, terutama hal-hal
yang bernuansa spiritual, memiliki jiwa seni sebagai peninggalan sejarah
dan arsitektur Islam, baik kaligrafi, budaya maupun sastra dengan merujuk
kepada Tuhan sebagai yang Maha Indah.
13. Sadr aI-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy, Background, life
and Works Imperial Iranian Academy Tehran 1978. Dalam buku ini Nasr
menjelaskan pemikiran Mullah Sadra, terutama ajaran al-Hikmah al-
Muta’aliyah, atau pengetahun yang tinggi sebagai latar belakang ajaran
Sadr al-Din, kemudian juga menjelaskan konsep teosofi, sebagai doktrin
dalam memahami wujud Allah SWT, meskipun konsep ini memiliki
hubungan dari ajaran Aristoteles dan Plato.
14. Shi’ite Islam, Allamah Sayyed Muhammad Husayn Tabatabai, buku ini
diterbitkan State University of New York Press, 1975. Nasr menjelaskan
konsep syi’ah dalam pemikiran Tabathabai. Atau doktrins shiisme.
Kemudian dicetak kembali di Albany 1988, dengan “The Fender of the
Sacred and Ismic Traditionalism” dalam The Muslims of Amerika,
Oxford 1991, dan menjelaskan pemikiran Tabathabai berkaitan dengan
ajaran Islam secara tradisional, dan memperkenalkan tradisi Islam di
tengah-tengah dunia modern, khususnya di Amerika Serikat.

6
15. This Translation Of Islamic Spirituality Fundations. Orginally Published
in English in 1997. Buku ini diterjamahkan oleh tim penerjamah Mizan
"Ensiklopedi Tematis spiritualitas Islam.” dan diterbitkan oleh Mizan di
Bandung tahun 2003. Ensiklopedi, Nasr sebagai editorial, menjelaskan
bebrgaia latar belakang budaya tarekat yang berkembang secara gelobal.
Kemudian tentang seni dan kesusastraan Islam, tidak lepas dari seni dan
budaya masing-masing Negara, namun berada dalam bingkai spiritual
yang suci, dari berbagai latar belakang budaya masing-masing.

C. Corak Pemikiran Sayyed Hossein Nasr


1. Pengaruh Pemikiran Yang Didapat Semasa Belajar di Barat
Seyyed Hossein Nasr bertemu dengan banyak pemikir Barat yang
mengkaji Islam dari berbagai macam perspektif. Selain belajar tentang
ilmu sains, Nasr juga mempelajari ilmu-ilmu metafisika, khususnya
metafisika Timur yang banyak ia dapatkan diperpustakaan-
perpustakaan Barat. Ketertarikannya terhadap disiplin keilmuan ini
tidak lepas dari latar belakang kehidupannya sebagai seorang Iran
yang kental dengan budaya mistik kesufian dan didukung oleh
pengetahuan mistis dari ajaran Syi’ah.
Diantara para tokohnya yang paling berpengaruh adalah Frithjof
Schuon seorang perenialis sebagai peletak dasar pemahaman eksoterik
dan esoterik Islam. Nasr sangat memuji karya Schuon yang berjudul
Islam and Perennial Philoshopy. Nasr memberikan gelar padanya
sebagai My Master. Salah satu tokoh yang juga banyak
mempengaruhi Nasr adalah Rene Guenon. Rene Guenon merupakan
salah satu tokoh yang banyak mempengaruhi orientasi tradisionalisme
Nasr, khususnya peletak pandangan metafisis hermetisme sebagai
bagian yang penting dalam kerangka besar pemikiran perennial.
Seyyed Hossein Nasr kembali ke Iran tahun 1958 setelah
menyelesaikan program doktornya di Harvard University.
Sekembalinya ke Iran ia segera bergabung dengan kegiatan-kegiatan
akademis di sana. Kedalaman ilmunya memberikan satu tempat
khusus baginya sebagai seorang tokoh baru di Iran. Nasr aktif dalam
kegiatan akademis dan keagamaan, seperti keterlibatannya dalam
diskusi-diskusi dengan para tokoh Syi’ah di sana seperti Allamah

7
Thabathaba’i, Muhammad Kazim Assar dan Abu Hasana Rafi’i
Wazwini. Pada awalnya Nasr lebih berkiprah di dunia akademis. Ia
banyak mempengaruhi filsafat Islam modern di Iran melalui karya-
karyanya.
Filsafat perennial adalah nama lain dari metafisika Islam
sebagaimana dipahami Nasr. Ia juga menyebutnya sebagai ilmu
tentang kenyataan ultim, yang ada dalam semua agama atau tradisi
spiritual sejak awal sejarah intelektual manusia hingga kini. Meskipun
disebut “filsafat”, warna mistikalnya amat kental. Nasr banyak
merujuk pemahaman tentang esoteris dan eksoteris Islam dari buku
Frithjof Schuon berjudul Understanding Islam yang diterjemahkan
dari bahasa aslinya berbahasa Perancis berjudul Comprendre Islam
oleh D.M. Matheson. Buku ini pertama kali diterbitkan oleh
Gallimard tahun 1961. Diterbitkan dalam bahasa Inggris pertama kali
tahun 1963 di London oleh George Allen and Unwin. Buku ini
menjelaskan bagaimana metode filsafat perenial diterapkan dalam
mendekati ajaran Islam.
Diperjelas lagi dengan karya Schuon berikutnya berjudul Islam and
the Pernnial Philosophy yang diterbitkan oleh World of Islam Festival
Publising tahun 1976. Dapat dilihat dalam terjemahan bahasa
Indonesianya dalam Frithjof Schuon, yang berjudul Islam dan Filsafat
Perenial. Pemikir ini banyak memberikan kontribusi mengenai
pandangan-pandangan metafisis dalam filsafat perenial yang berisi
kritik atas filsafat Barat modern. Dan yang paling urgen adalah dia
juga seorang tokoh utama dalam perspektif tradisional di dunia
modern yang banyak berbicara tentang makna tradisi.

2. Kritik Sayyed Hosein Nasr Terhadap Peradaban Modern

Hampir tidak ada lagi pokok perdebatan yang memancing gejolak


rasa dan perdebatan dikalangan umat Islam dewasa ini selain relasi
antara pemikiran Islam dengan dunia barat. Disadari atau tidak
peradaban barat telah menggerogoti konstruk pemikiran Islam
sehingga barangkali sudah lebih dari dua abad umat Islam hidup

8
dalam bayang-bayang peradaban barat. Banyak pihak yang merasa
khawatir akan tercabutnya nilai-nilai Islam itu sendiri dari
pemeluknya.

Peradaban barat telah menimbulkan multi krisis, baik krisis moral,


spiritual, dan krisis kebudayaan yang dimungkinkan lebih disebabkan
corak peradaban modern industrial yang dipercepat oleh globalisasi
yang merupakan rangkaian dari kemajuan barat pasca renaisans yang
membawa nilai-nilai antroposentrisme dan humanisme sekuler. Paham
barat serba mendewakan manusia dan kehidupan dunia yang sifatnya
temporal. Hal ini secara faktual telah melahirkan tercerabutnya
kebermaknaan dalam hidup manusia, akibat hilangnya nilai-nilai
transendental agama dari kehidupan manusia.

Nasr tergolong sebagai pemikir yang sangat tajam dalam


mengkritisi pemikiran sains barat modern, beliau mengkritik sains
modern sebab pertama, pandangan sekuler tentang alam semesta yang
melihat tidak ada jejak Tuhan di dalam keteraturan alam. Alam sudah
dianggap sebagai suatu entitas yang berdiri sendiri. Kedua, alam
digambarkan secara mekanistik seperti mesin yang bisa ditentukan
dan diprediksi secara mutlak, yang memunculkan masyarakat industri
modern, kapitalisme. Ketiga, rasinalis medan empirisme. Keempat,
warisan dualisme Descartes yang mengandaikan pemisahan antara
subjek yang mengetahui dan yang diketahui. Kelima, eksploitasi alam
sebagai sumber kekuatan dan dominasi. (Seyyed, 1990).

Perkembangan teknologi Barat yang tidak diimbangi dengan nilai


esoterios membuat mereka terhempas dalam badai. Iptek yang selama
ini dipuja-puja justru menjadi “bumerang” bagi manusia dengan
mengalirkan arus globalisasi dan informasi yang demikian dahsyat
bahkan menurut Hosen Nasr, ilmu akhirnya menjadi penguasa dan
mendominasi alam.

Sebaliknya pada sebagian kelompok masyarakat dunia terdapat


pula mereka yang sudah mulai jenuh bahkan muak dengan
glamouritas, materialisme, hidonisme, kompetisi tidak sehat,
keserakahan, keangkuhan, sadisme, kekerasan dan sebagainya.

9
Mereka mulai mencari pegangan, arahan dan perlindungan untuk tetap
meng”ada”kan dan menghadirkan nilai spiritualitas di dalam
kehidupannya.

Dalam konteks seperti ini, sufisme menjadi rujukan dan lahan


subur bagi mereka yang mencari perlindungan dari “ancaman”
duniawi yang penuh dengan sandiwara. Dalam konteks inilah Nasr
melihat masyarakat perkotaan (urban people) kini sedang mencari-cari
panasehat yang bersifat spiritual, baik yang berdasarkan pada suatu
tradisi tertentu atau tidak.

Harifuddin Cawidu, mengemukakan tiga faktor utama penyebab


manusia-manusia perkotaan modern melirik spiritualitas sebagai
alternatif.

1. Faktor ideologi dan pandangan hidup

Masyarakat modern (diwakili oleh Barat) didominasi oleh


pandangan hidup materialistik, pragmatis dan sekularistik. Pandangan
hidup semacam ini amat menjunjung tinggi nilai material dan
menafikan aspek spiritual. Akibatnya terjadi desakralisasi kehidupan.
Realitas hidup adalah “kini/kekinian” dan “di sini/kedisinian”. Masa
depan, apalagi hidup sesudah mati, merupakan hal yang nisbi. Jika
mereka beragama, tampaknya agama hanya dianggap sebagai sebuah
identitas simbolik, bukan sebagai suatu nilai yang tercermin dalam
perilaku. Konsekuensinya terjadilah pembusukan nilai agama akibat
agama melekat pada individu yang mengartikulasikan nilainya sebatas
simbol/topeng.

Pandangan hidup seperti di atas berpadu dengan falsafah


humanistik esktrem yang menjadikan manusia sebagai pusat dan
ukuran segala-galanya. Di satu sisi mereka mengagungkan kedudukan
manusia sebagai makhluk yang termulia, tetapi di sisi lain justru
menginjak-injak harkat dan martabat manusia itu sendiri. Di samping
itu humanisme hipokrit juga melanda dunia modern. Pada waktu
tertentu, atas nama demokrasi dan keadilan, terdapat sekelompok
bangsa perkasa menindas, membantai bahkan menghancurleburkan

10
peradaban bangsa lain, tetapi di sisi lain, juga atas nama keadilan dan
demokrasi bangsa perkasa tersebut juga membiarkan kejahatan
kemanusiaan terjadi di depan batang hidungnya.

Gejala semacam ini menyebabkan terjadinya distorsi pada nilai-


nilai kemanusiaan. Agama dan Tuhan seakan diabaikan, bahkan ada
kecenderungan manusia modern memerankan dirinya sebagai “tuhan”
di atas bumi dan membuang dimensi transcendental dari
kehidupannya.

2. Faktor dominasi Ilmu Pengetahuan dan teknologi

Kecanggihan material sebagai hasil kemajuan ilmu dan teknologi


dewasa ini telah mempermudah hidup dan kehidupan manusia.
Banyak kesenangan dan fasilitas hidup dapat dinikmati dengan
bertambahnya setiap penemuan baru di bidang teknologi. Persoalan
teknologi ini sesungguhnya bukanlah hal baru. Sejak 5000 tahun yang
lalu orang sudah memanfaatkan teknologi, sesuai dengan ukuran
zamannya.

Akan tetapi fenomena dominasi Iptek yang dipaketkan dengan


ideologi kapitalisme menyebabkan manusia kehilangan kebebasan dan
makna kemanusiannya yang hakiki di tengah kehidupan
megamekanis. Peran-peran manusia telah digantikan oleh dominasi
mesin yang bersifat atomistis, bahkan pemberian nilai-nilai edukatif
orang tua di rumah tangga sekalipun, diambil alih oleh peran media
elektronik. Jika pada masa lalu, anak tertidur di dalam belaian ibunya,
diiringi dengan senandung religius, budaya atau dongeng sebelum
tidur., fenomena sekarang menunjukkan sebaliknya. Tidak sedikit
anak tertidur di depan tayangan sinetron televisi yang menyajikan
kekerasan, dendam, romantisme, pergaulan bebas dan lain-lain.

Akibatnya, tujuan hidup mulai kabur, ekosistem dikacaukan,


masyarakat diracuni oleh posmodernisme, lembaga perkawinan tidak
dianggap lagi sakral, rumah tangga berantakan, adat dan tradisi
menjadi rusak dan iman telah lama menguap dari lubuk hati manusia.
Mereka terasing dari dirinya sendiri, dari lingkungan dan dari

11
Tuhannya. Terjadilah apa yang diistilahkan ahli psikologi sebagai
dislokasi kejiwaan, disorientasi dan deprivasi relatif. Mereka merasa
tersingkir, terhempas dalam ketidakberdayaan. Eskapisme ini
akhirnya mengambil bentuk mabuk-mabukan, penyalahgunaan zat-zat
adiktif, selingkuh (memburu “kesenangan” di luar rumah tangganya)
dan ada juga yang lari ke agama atau ke pseudo agama yang
menjanjikan ketenteraman batin.

3. Melemahnya pengaruh gereja tradisional menyebabkan


disfungsionalnya agama Nasrani (Kasus di Barat)

Pelarian manusia kepada non organized religion disebabkan agama


formal di Barat (Nasrani) tidak memberi tempat yang sejuk bagi
kegersangan masyarakat. Agama formal tersebut tidak cukup
akomodatif menampung aspirasi, keresahan, kegelisahan jiwa,
frustasi, dan penyakit modern seperti ; perceraian,broken home,
kekerasan seksual dan berbagai bentuk sadisme yang lain. Jembatan
Golden Gate di Amerika Serikat sebagai simbol kemajuan Intelegence
Qoutient (IQ) manusia, justru saat ini menjadi saksi bisu tewasnya
ribuan manusia akibat terjun bebas dari jembatan tersebut.

Kondisi seperti ini terjadi akibat tidak adanya keseimbangan antara


dimensi zikir dan pikir, rasa dan rasio. Akal tidak diharmoniskan
dengan wahyu, aspek individu tidak diimbangi dengan sosial,
kreatifitas tidak dibarengi dengan cita, cinta kasih dan sebagainya.
Akibatnya, manusia modern (perkotaan ) terhempas dalam badai
kehampaan. Oleh karena itu, agama menawarkan jalan alternatif
(khususnya) di dalam ajaran Islam melalui pintu sufisme/tasauf yang
lebih mengedapankan kasih sayang, humanisme, peradaban, kesamaan
yang berorientasi kepada persaudaraan universal.

Terdapat beberapa cara pandang mengapa urban sufism (Sufisme


perkotaan) semakin berkembang terutama di kota-kota besar. Dalam
kaitan ini, Kamaruddin Hidayat memberikan beberapa catatan
penting. Pertama, sufisme di perkotaan lahir sebagai bentuk dari
pencarian makna hidup (searching for meaning) akibat menguatnya
paham dan gaya hidup materialisme yang menyisakan ruang hampa

12
dan kering dalam lubuk hati seseorang. Kedua, maraknya spritualitas
pada masyarakat perkotaan mungkin juga sebagai mediumcatarsis dari
rasa dosa yang melilit kehidupan sosial serta sebagai pelarian diri dari
kepengapan hidup di kota modern yang penuh kompetisi
(Psychological Escapism). Ketiga, maraknya fenomena sufisme juga
dilihat sebagai respons dan kritik terhadap wacana keagamaan yang
kering dan legalisitik yang kurang memberikan ruang imajinasi dan
eskplorasi rasa keagamaan, sehingga ruang agama terasa sempit dan
penuh ancaman neraka yang menakutkan.Keempat, pendekatan tasauf
dirasakan sebagai jalan termudah dan ternyaman untuk menemukan
identitas keberagamaan bagi kelas menengah kota yang selama ini
merasa jauh dari agama.

Tekanan kepada dimensi kemanusiaan, menjadikan sufisme


semakin relevan dan mendesak diaplikasikan dalam mengadapi era
globalisasi ini, yaitu zaman yang menyaksikan proses semakin
menyatunya peradaban seluruh umat manusia berkat kemajuan
teknologi komunikasi dan transportasi.

Dalam kaitan ini, Nasr mengidentifikasi urgensi sufisme dalam


kehidupan masyarakat modern, sebagai mystical quest (kebutuhan
mistik permanen). Sufisme, dalam konteks substantifnya menurut
Nasr memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, dari
suku dan agama manapun, karena pada dasarnya, manusia
memerlukan kedamaian dan kebahagiaan abadi. Kedua hal ini tidak
ditemukan dalam dunia bendawi yang hanya memberikan kesenangan
sementara. Oleh karena itu, manusia modern mau tidak mau, sadar
atau tidak sadar sedang berlomba mencari ajaran-ajaran mistik,
termasuk dalam tradisi keagamaan, Fenomena seperti itu disebabkan
oleh kenyataan bahwa manusia pada asalnya merasakan dambaan
mistik (mystical quest) yang sifatnya langgeng.

Ketika membahas masalah ini, Nasr mengutip penafsiran


Kamaluddin Husain Kashifi, pengulas sufi abad 9 H. terhadap istilah
Al-Qur’an ahsan taqwim dalam QS. al-Thin (95:465), bahwa hal itu
berarti Tuhan menciptakan manusia sebagai alamat Tuhan yang paling

13
lengkap dan sempurna, pentas paling universal di mana bermain
segala lakon ke-Tuhanan, sehingga dengan begitu ia mampu menjadi
pembawa amanat Tuhan dan sumber dari pancaran yang tak terbatas.
Menurut Nasr, jika manusia membawa cetak biru bentuk ke-Tuhan-an
sudah tentu ia memiliki kodrat ke-Tuhan-an seperti dinyatakan dalam
sebuah hadis, “Tuhan menciptakan manusia menurut gambaran diri-
Nya Khalaqa Allah Adam ala suratih.

Perjanjian primordialisme manusia dengan Tuhan di saat mereka


diambil persaksian (QS. Al-Araf; 172) menjadikan manusia, baik
yang beragama maupun mengaku tidak beragama tidak dapat
berpaling dari nilai-nilai ketuhanan. Mereka dapat saja menyatakan
tidak percaya kepada Tuhan, tetapi mereka membutuhkan keadilan,
kedamaian dan kejujuran. Bukankah sifat-sifat ini berasal dari sifat
Tuhan (al-adl, al- Salam, al-Mu’min/al-Haqq). Itulah kenapa Tuhan
berkata; Ke manapun engkau menghadap, engkau akan bertemu
Tuhan. (QS. Al-Baqarah; 115)

Nasr menegaskan bahwa seluruh makhluk bumi yang fana berasal


dari yang ada, sumber cahaya dari segala yang hidup, dan wujud serta
pengetahuan merupakan tujuan akhirnya. Ini merupakan prinsip
kehidupan yang sangat sistematis. Jika limpahan cahaya yang ditadah
oleh orang-orang yang berwatak kontempalatif tidak lagi mencerahi
lingkungan bumi yang fana, maka rantai penghubung antara wujud
dan manifestasi kebumiannya akan terputus dan berakhir.
Konsekuensinya adalah bahwa tanpa pertalian antara manisfestasi
dengan sumbernya, maka ia akan terjerembab ke dalam lembah
kebahagiaan nihil atau kehampaan.

Dalam konteks ini, Nasr memberi dalih bahwa prinsip ini sama
benarnya dengan sebuah ungkapan tradisi yang menegaskan bahwa
dunia tidak akan kiamat sepanjang masih terdapat manusia yang
menyapa dan menyeru Tuhan. Oleh karena alasan itulah, maka dalam
Islam terdapat ungkapan “bumi tidak akan kosong dari kesaksian
Tuhan”.

14
Nasr menganalisis bahwa kondisi ”gerah” yang melanda kehidupan
manusia modern akibat terjadi split soul(keterbelahan jiwa). Terjadi
pemisahan antara segmentasi intelektualitas dan spiritualitas. Jika di
mesjid, orang hanya bicara spiritualitas lupa intelektualitas, sebaliknya
jika di kantor atau perguruan tinggi, orang berbicara intelektualitas,
lupa spiritualitas.

Berpijak pada pengamatannya terhadap kondisi manusia modern,


Nasr menyadari pentingnya mengintroduser ajaran-ajaran Islam baik
dalam bentuk doktrin maupun yang bersifat praktis untuk mengatasi
dan menghadapi problem-problem manusia Barat modern sendiri,
kemudian mengalihkan perhatian kepada ajaran Islam tentang
kehidupan kontemplatif dan aktif sebagai alternatif bagi kebutuhan
spiritual manusia. Di samping itu, kerancuan dan kontradiksi dalam
pemikiran serta kekaburan dan jerat-jerat intelektual yang mencirikan
pemikiran modern yang merupakan halangan terbesar bagi integrasi
pikiran manusia yang dapat diobati dengan penyucian melalui doktrin
metafisika sufi yang membersihkan limbah ketakpastian.

Nasr memberikan contoh bahwa dengan merenungi sekuntum


bunga, misalnya, atau setangkai gandum, serumpun semak, atau
sebatang pohon. Memandang fenomena ini mestinya membawa
seseorang dekat kepada Tuhan melalui kontemplatif dengan
mengajukan sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang mampu
menggugah kesadaran siapa dibalik penciptaan yang ada. Dengan
demikian seorang muslim yang jiwanya cenderung kontemplatif akan
merasakan kepuasan jiwa yang dapat mengantarnya menuju kepada
yang Tak Terhingga (Allah).

Kontemplasi dalam pengertian Nasr, selalu diintegrasikan dengan


pengertian aksi. Bentuk kontemplasi spiritualitas Islam tidak pernah
bertentangan dengan aksi yang benar; bahkan sebaliknya, menurut
Nasr, ia sering berpadu dengan dorongan batin yang dapat dibendung
untuk melakukan aksi. Nasr melihat, bahwa perpaduan di dalam batin
inilah sesungguhnya yang menjadikan kebudayaan Islam mencapai
puncak kejayaan sebagai kebudayaan yang paling kokoh dan aktif

15
sepanjang sejarah manusia, yang sekaligus memperlihatkan kehidupan
kontemplatif yang paling intensif.

Lebih jauh, keselarasan antara kontemplasi dan aksi dalam tradisi


Islam telah ditunjukkan dalam tradisi Islam. Menurut Nasr ajaran Al-
Qur’an menunjukkan keselarasan antara kontemplasi dengan aksi,
atau antara al-ilm dengan al-amal. Di dalam penciptaan alam semesta
maupun di alam realitas metakosmosnya, senantiasa diikuti oleh
seruan untuk beraksi secara benar sesuai prinsip-prinsip yang
diperoleh dari kebijaksanaan tersebut. Itulah sebabnya, di dalam
penciptaan alam semesta, Dia tidak saja berkata Kun(jadilah), tetapi
melanjutkan dengan aksi mewujudkan sesuati yang terucap. Di sini,
menurutnya, aksi Allah berkaitan erat dengan kontemplasi-Nya
terhadap esensi segala sesuatu.

Pada intinya, sains modern telah mereduksi banyak hal dalam


kehidupan manusia, selanjutnya Hossein Nasr memberikan idiom
“nesatapa manusia modern”. Modernisme telah membawa kehampaan
dan ketidabermaknaan hidup bagi manusia. Atas kebebalan
rasionalisme modern, manusia telah menyangsikan Tuhan dan
spiritualitas lalu merindukannya kembali. Bukan hanya itu, seluruh
krisis lingkungan kerusakan ekologi merupakan wujud dari peran
tunggal manusia sebagai raja di muka bumi (antroposentrisme), alam
lalu tidak menjadi seimbang justru sebab arogansi manusia dengan
ilmu pengetahuan, mereka merasa mampu mengola alam dengan
bekal rasio-empirik belaka, celakanya manusia justru menjadi
menjadikan alam sebagai pelacur, dikeruk kemudian tanpa
pertanggungjawaban untuk tetap terawat dan seimbang. Dalam
keadaan demikianlah, maka Syed Hossein Nasser mengusulkan
Scientia Sacra sebagai basis pengetahuan manusia yang diilhami oleh
wahyu Tuhan.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sayyed Hossein Nasr adalah seorang intelektual dan akademisi yang
luar biasa. Sudah banyak karya-karya yang beliau ciptakan, mulai dari
essay sampai buku-buku. Beliaupun mempunyai garis besar pemikiran
yang beragam, diantaranya tentang spiritualisme Islam, saat pembaratan
terhadap umat Islam sudah mengalami titik puncak pada hal tertentu,
beberapa imensi kehidupannya mengalami westernisasi. Lainnya dalam
bidang metafisika yang dipengaruhi oleh George De Santillana.
Sedangkan pemikiran beliau tentang agama adalah bahwa agama secara
objektif yaitu mengandalkan adanya realitas suprim yang personal,
sedangkan agama dipandang secara subjektif ialah agama
mengandalkan adanya kemampuan manusia untuk menerima kebenaran
yang diwahyukan.Dalam pemikiran filsafat, beliau memberikan
pandangan pada filsafat perennial. Yang dimaksud Nasr dengan filsafat
perennial adalah kearifan tradisional dalam Islam. Pikiran-pikiran Nasr
disekitar ini muncul sebagai reaksi terhadap apa yang dilihatnya sebagai
krisis manusia modern. Peradaban modern khususnya di Barat dan
ditumbuh kembangkan di dunia Islam menurut Nasr telah gagal
mencapai tujuannya, yakni semakin terduksinya integritas kemanusiaan.
Dengan demikian, filsafat perennial Sayyed Hossein Nasr adalah respon
yang dimunculkannya setelah melihat dengan seksama krisis manusia
modern.

17
DAFTAR PUSTAKA

Smith, Jane , ‘Sayyed Hossein Nasr’ dalam John L. Esposito (ed.), The Oxford

Encyclopedia of The Modern Islamic World, (New York: Oxford

University Press, 1995),

Dahlan, Abdul Aziz (edit), Suplemen Ensiklopedia Islam, II,   (Jakarta : Ichtiar

Baru Van Haouve, 1995),

Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, terj. Mulyadi

Kartanegara  (Jakarta : Pustaka Jaya, t.t),

Nasr,Hossein, Sain dan Peradaban Dalam Islam terj. J. Mahyudin,  (Bandung

: Pustaka, 1986),

Soleh Khudari, Wacana Baru Filsafat Islam, ( Yogyakarta : Pustaka

Belajar,  2004),

Nasr, Spritualitas & Seni Islam,terj. Setejo (Bandung : Mizan, 1993).

18

Anda mungkin juga menyukai