Anda di halaman 1dari 30

PEMIKIRAN S.

H, NASR DAN HASSAN HANAFI

Makalah

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Islam Kontemporer

Dosen Pengampu: Dra. Tien Rohmatin, M. A.

Oleh:

Kelompok 10

1. Septi Dian Anggraini (11190331000018)


2. Danah Anggi Novita (11190331000041)
3. Salman Alparis Nasution (11190331000057)

FAKULTAS USHULUDDIN

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Penulis ucapkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah tentang “Pemikiran Sayyed Hossein Nasr dan Hasan
Hanafi ”. Makalah ini telah penulis susun dengan maksimal dan disusun untuk
memenuhi memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Islam Kontemporer.

Terlepas dari semua itu, Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
penulis dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata penulis berharap semoga
makalah tentang “Pemikiran Sayyed Hossein Nasr dan Hasan Hanafi” ini dapat
memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah...............................................................................1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................3

1. Sayyed Hossein Nasr ..........................................................................................3

A. Biografi S. H. NASR....................................................................................3

B. Karya-Karya S. H. NASR ............................................................................4

C. Pemikiran S. H. Nasr ....................................................................................9

2. Hasan Hanafi ....................................................................................................17

A. Biografi Hasan Hanafi................................................................................17

B. Karya-Karya Hassan Hanafi ......................................................................18

C. Rekonstruksi Pemikiran Teologi Islam Hassan Hanafi .............................22

D. Konsep Pemikiran Teologi.........................................................................24

BAB III PENUTUP .............................................................................................27

A. Kesimpulan ...............................................................................................27

B. Saran .........................................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................28

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sayyed Hossein Nasr dan Hassan Hanafi merupakan bagian tokoh pemikir
kontemporer. Yang pertama, hadir seorang pemikir kontemporer bernama Seyyed
Hossein Nasr banyak memberikan kritik atas kenyataan manusia modern saat ini
dari berbagai segi. Salah satu fokus kritiknya adalah masalah fenomena seni
modern yang sedang berkembang pesat ke seluruh bagian masyarakat, termasuk
masyarakat Islam. Seyyed Hossein Nasr merupakan salah satu juru bicara Islam di
Barat yang gigih menyuarakan pemikiran Tradisionalisme untuk membentengi arus
modernisasi yang telah merusak sendi-sendi tradisi luhur masyarakat khususnya
Islam. Sekularisasi seni saat ini juga dirasakan masyarakat Indonesia dengan
berbagai fenomena bahwa seni tidak lagi mempunyai pesan dari Dunia atas,
melainkan hanya sebagai bahan hiburan yang temporal dan terkadang sebagai
barang dagangan murahan tanpa memperhatikan tujuan seni sebagai medium antara
materialisme dunia dan kerohanian yang kekal.

Yang kedua, Hassan Hanafi. Teologi Islam yang dianut oleh mayoritas umat
Islam saat ini menurut Hassan Hanafi belum bisa mengantarkan umat Islam kepada
keyakinan atau pengetahuan yang meyakinkan tentang Tuhan dan wujud-wujud
spiritual lainnya, tetapi baru pada tahap mendekati keyakinan. Selain itu
menurutnya, konsep-konsep teologi yang dianut umat Islam saat ini lebih berisi
konsep-konsep yang melangit dan ideide kosong, bukan ide-ide konkret yang bisa
membangkitkan dan menuntun umat untuk menjalani kehidupan nyata dan seakan
konsep-konsep tersebut seperti asing bagi dirinya sendiri dan orang banyak.

Kenyataannya, konsep-konsep teologi yang berkembang hanya digunakan


untuk mempertahankan dogma-dogma yang bersifat teosentris daripada
mendiskusikan masalahmasalah yang berkaitan dengan kehidupan individu dan
sosial manusia yang bersifat antroposentris. Kalau melihat kembali kepada sejarah
masa lalu, dan bisa jadi juga terjadi pada saat ini, pemikiran teologi kerap dijadikan
persembahan kepada penguasa untuk melanggengkan kekuasaan sehingga tidak
jarang terjadi pemaksaan dan pertumpahan darah dalam perjalanannya. Padahal

1
seharusnya pemikiran teologi bisa menjadi konsep-konsep yang membebaskan
manusia dan menjadi dasar utama motivasi manusia kearah kemandirian, kesadaran
dan kemajuan.

B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana Biografi S.H. Nasr dan Hassan Hanafi?
b. Apa Saja Karya-karya S.H. Nasr dan Hassan Hanafi?
c. Bagaimana Pemikiran S.H. Nar dan Hassan Hanafi?

2
BAB II

PEMBAHASAN
1. Sayyed Hossein Nasr
A. Biografi S. H. NASR
Seyyed Hossein Nasr adalah seorang cendikiawan Islam yang ahli dalam
bidang filsafat dan juga sejarah ilmu. Seyyed Hosein lahir pada 7 April 1933,
tepatnya di kota Teheran, Iran. Kota Teheran adalah kota yang melahirkan para sufi,
filosof, ilmuwan juga penyair muslim terkemuka tak terkecuali Seyyed Hosein.
Seyyed Waliullah Nasr, ayah Seyyed Hosein adalah seorang ulama terkenal di Iran
1
juga seorang dokter dan pendidik pada masa itu. Ayah Seyyed Hosein Nasar
sangat bertentangan dengan paham Barat, sehingga Nasr sedari kecil sudah dibekali
dengan doktrin doktrin Islam. Karena itu lah ayah Nasr mengirim anaknya untuk
belajar di Barat.

Seyyed Hosein mendapat pendidikan tradisional formal di kota


kelahirannya, disekolah tersebut ia mendapat pelajaran menghafal Al-Qur’an juga
menghafal syair-syair Persia klasik. Pada awal Nasr mendapat pendidikan di Iran
disiu sudah diwarnai oleh pergolakan juga ketegangan antar dunia Baat dan Timur.
Peradaban Barat yang sekuler mulai mempengaruhi dunia Islam. Lalu dilanjutkan
dengan ayahnya mengirim ia untuk belajar kepada sejumlah ulama besar di Qum,
Iran untuk mendalami ilmu filsafat, kalam juga tasawuf.

Saat menduduki sekolah tinggi, Seyyed Hosein belajar di Amerika tepatnya


Massachusetts Institut of Technologi (MIT),ia diajar langsung oleh seorang filosof
terkenal, yaitu Betrand Russel. Dan dibawah bimbingan Russel ini lah Nasr
dikenalkan dengan pemikiran pemikiran tokoh tokoh filsuf modern.2 Nasr lulus
dengan mendapatkan diploma B.S. atau Bachelor of Science dan M.A. atau Master
of Art dalam bidang fisika dan matematika. Saat itu ia juga belajar ilmu-ilmu
tradisional agama Timur secara otodidak, dibawah asuhan George De Satillana.

1
Ali Maksum, Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern: Telaah Signifikansi Konsep
Tradisionalisme Seyyed Hossein Nasr, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 35-36
2
Arqom Kuswanjono, Ketuhanan dalam Telaah Filsafat Perennial Refleksi Pluralisme Agama di
Indonesia,
(Yogyakarta: CV. Arindo Nusa Media, Cetakan 1, 2006), 37-38

3
Nasr juga dikenalkan dengan pemikiran-pemikiran tradisi timur lewat tulisan Rene
Guenon, A.E. Comarawamy dan T. Burckhardt.3

Merasa belum puas akan gelar yang ia dapat, Seyyed Hosein melanjutkan
studinya ke Universitas Harvard, pada awalnya ia masuk bidang geologi dan
geofisika, tetapi berubah karena ia lebih tertarik dengan ilmu tradisional. Karena itu
lah akhirnya ia mengambil bidang Filsafat dan Sejarah Ilmu Pengetahuan atau
Philoshopia and History of Sciences. Disini ia mempelajari Sejarah dan Pemikiran
Islam dari H.A.R Gibb, George Sarton, Hary Wolfson. Dan pada tahun 1958 Nasr
mendapat gelar Doktor Ph. D, dan disertasinya di bawah bimbingan H.AR Gibb
diterbitkan pada tahun 1964 setelah direvisi.4

Seyyed Hossein Nasr ini adalah seorang yang punya kemampuan untuk
membicarakan tentang perjumpaan antara tradisi dan modernitas antar Timur dan
Barat. Ia juga menggali kajian kajian Islam secara objektif dan juga jujur. Pada
tahun 1958, ia sudah mengajar di Universitas Teheran, lalu tahun 1962 ia menjadi
dosen tamu di Harvard University tempat ia belajar dulu dan tinggal disana sampai
tahun 1965. Tahun 1994 sampai 1965 Nasr menjadi pimpinan Aga Khan Chair of
Islamic Studies pada American University of Beirut.5

Nasr dikatakan sebagai sebagai Guru Besar dalam kajian sejarah ilmu
pengetahuan dan filsafat menunjukkan kedalaman juga ketajaman pemikirannya. Ia
ilmuwan yang mengkritik tentang dunia Barat juga peradaban modern pada
umumnya dengan pemikiran intelektualnya. Ditengah dominasi peradaban Barat,
Seyyed Hossein Nasr berjasa dalam meyakinkan jika pemikiran dan juga
kebudayaan Islam masih hidup dengan kuat.

B. Karya-Karya S. H. NASR
Nasr, adalah seorang ilmuan yang sangat produktif, karena ia telah menulis
banyak buku, dan sejumlah artikel dari berbagai kumpulan makalah yang
diterbitkan di berbagai penerbit, dan dipublikasikan melalui media baik cetak

3
Ibid.., 38-39
4
Ibid.., 40.
5
Kata Pengantar Abdurrahman Wahid dalam Seyyed Hossein Nasr. Islam Dalam Cita dan Fakta.
Terj. Abdurrahman Wahid, Jakarta : Leppenas, 1983, h. X

4
maupun elektronik, diterjamahkan dengan berbagai bahasa seperti: bahasa Inggeris,
Prancis, Arab, Persia dan bahasa Indonesia, berkut ringkasan beberapa karya-karya
beliau:

1. An Interduction to Islamic Cosmological Doctrine Conceptions of Nature and


Methodods Used for Its Study by the Ikwan ash-Shafa, al-Biruni and Ibnu Sina”
dicetak tahun 1964, Buku ini mengungkapkan tentang kosmologi Islam yang
pernah berkembang di zaman Pertengahan dengan pemikiran Ikhwan As-Shafah,
Al-Biruni dan Ibnu Sina, sebagai intelektul klasik.

2. Ideal and Realitas of Islam. Nasr menguraikan sejumlah isu tentang Islam sebagai
Agama Universal, al-Qur’an sebagai sumber kajian tentang ilmu pengetahuan
dunia, kemudian syari’ah sebagai ajaran universal dan kemanusiaan yang
dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Buku ini dicetak dan diterbitkan oleh, First
published by George Allen & Unwin 1966.

3. Science and Civilization in Islam, (Sains dan Peradaban di Dalam Islam), Dalam
buku ini di jelaskan tentang kedudukan Sains dalam Islam, Nasr melihat bahwa
eksistensi sains sudah ada sejak abad pertengahan ketika Islam mengalami kejayaan
dan munculnya tokoh sains dalam Islam seperti Umar Kayyam, Albiruni, Ibnu Sina,
Al-Firdausi, Muhhamd Ibnu Al-Jabar, Kosmologi merupakan sumber sains yang
harus dikaji secara propesional. Buku ini diterbitkan University Harvard Press
1968.

4. Man and Nature The Spiritual Crisis of Modern Man (Manusia dan Alam,
Mengalami Krisis Spiritual di Zaman Modern)". Buku ini dicetak dan diterbitkan
First published by George Allen & Unwin in 1968 di Universitas Cicago. Buku ini
menjelaskan tentang kegersangan jiwa manusia mengalami krisis modern.

5. Tsalatsah Hukamah Muslim” versi bahasa Arab (Tiga Pemikir Islam Ibnu Sina,
Suhrawardi, Ibnu Arabi). Buku ini diterbitkan di Beiurut tahun 1971 kemudian versi
bahasa Inggris “Three Muslim Sages” di terbitkan Harvard College Reprinted by
Arrangement with (Harvard University Press, 1964, diterjamahkan dalam bahasa
Indonesia tahun 1986. Dalam buku ini Nasr menulis tiga tokoh Islam yang dianggap

5
mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan pemikiran Islam hingga
sekarang.

6. Traditional Islam in The Modern World, buku ini dicetak, Kegan Paul
International London and New York First published 1987. Dalam buku ini, Nasr
menjelaskan Islam secara tradisional sebagai salah satu bentuk Islam yang popular.
Bagi Nasr Islam dan tradisi tidak bisah dipisahkan dan sangat penting memberikan
bimbingan secara historis, kepada umat Islam.

7. Islam and the Plight of Modern Man, diterbitkan di London First published
Revised and Enlarged Edition ABC International Group tahun, 1975, kemudian
diterjamahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Anas Mahyudin dalam “Islam Dan
Nestapa Manusia Modern” dicetak dan diterbitkan Pustaka, Bandung tahun 1981.
Nasr menjelaskan tentang kondisi manusia modern, yang mengalami keterpurukan
dari berbagai aspek, termasuk spiritual dan moral.

8. Knowledge and the sacred, diterbitkan di New York 1981. Buku diterjamhkan
dengan judul "Pengetahuan dan Kesucian" dan diterbitkan Pustaka Pelajar, tahun
1997. Dalam buku ini sangat jelas diungkapkan bagaimana ke duduakan
pengetahuan yang begitu suci, sesuci dengan fitrah manusia. Manusia kata Nasr
dilihat dari satu titik pandang yang pasti adalah makhluk sosial yang di depinisikan
para filosof dengan kemampuan melebihi dari makhluk yang lain.

9. The Need for a Sacred Science” pertama diterbitkan tahun 1993, kemudian
direvisi kembali, edition First published in the United Kingdom by Curzon Press
Ltd. St John’s Studios Church Road Richmond Surrey This edition published in the
Taylor & Francis Library, 2005. Dalam buku tersebut Nasr berbicara tentang Tuhan
sebagai realitas yang memanifestasikan diri pada berbagai tingkat dan kesadaran.

10. Traditional Islam in The Modern World, London dan New York, 1987 buku ini
diterjamahkan tahun 1994 diterbitkan Pustaka Bandung. Dalam buku ini Nasr
menjelaskan Antara Islam tradisional dengan modernisme, artinya eksistensi Islam
dipertanyakan mampukah ia bertahan dalam era globalisasi atau modern.

6
C. Pemikiran S. H. Nasr
I. Filsafat Perenialisme

Pemikiran yang sangat mempengaruhi Nasr adalah pandangan filsafat


perennial. Diantara para tokohnya yang paling berpengaruh atasnya adalah Frithjof
Schuon seorang perenialis sebagai peletak dasar pemahaman eksoterik dan esoterik
Islam. Nasr sangat memuji karya Schuon yang berjudul Islam and Perennial
Philosopy. Sehingga Nasr memberikan gelar padanya sebagai My Master9. Yang
dimaksud Nasr dengan filsafat perennial adalah kearifan tradisonal dalam Islam.
Pikiran-pikiran Nasr disekitar ini muncul sebagai reaksi terhadap apa yang
dilihatnya sebagai krisis manusia modern. Peradaban modern khususnya di Barat
dan ditumbuh kembangkan di dunia Islam menurut Nasr telah gagal mencapai
tujuannya, yakni semakin terduksinya integritas kemanusiaan10.

Nasr menjelaskan Manusia modern telah lupa siapah ia sesungguhnya.


Karena manusia modern hidup dipinggir lingkaran eksistensinya; ia hanya mampu
memperoleh pengetahuan tentang dunia yang secara kualitatif bersifat dangkal dan
secara kuantitatif berubah-ubah. Dari pengetahuan yang hanya bersifat eksternal
ini, selanjutnya ia berupaya merekonstruksi citra diri. Dengan begitu manusia
modern semakin jauh dari pusat eksistensi, dan semakin terperosok dalam jeratan
pinggir eksistensi11.

Dengan demikian filsafat perennial Sayyid Hossein Nasr adalah respon


yang dimunculkannya setelah melihat dengan seksama krisis manusia modern.
Karenanya topik yang paling menonjol dari pemikiran filsafatnya adalah tentang
pembebasan manusia modern dari perangkap dan keterpasungna budaya dan
peradaban yang diciptakan manusia sendiri.

9
Hanna Widayani, “Pemikiran Sayyid Hossein Nasr Tentang Filsafat Perennial”, Jurnal Al-Afkar,
Vol. 6, No. 1, (2017), 57
10
Hanna Widayani, “Pemikiran Sayyid Hossein Nasr Tentang Filsafat Perennial”, 60
11
Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in The Modern Word, (London: Worts-Power
Associates. 1987), 4-5.

7
Selain itu John F.Haugh dalam bukunya : Science and Religion; From
Conflict to Conversation. Mengajukan suatu pertanyaan yang sangat menggelitik,
apakah agama bertentangan dengan sains?, untuk menjawab pertanyaan itu Haugh
menjawab dengan empat pendekatan, yaitu pendekatan konflik, pendekatan
12
kontras, pendekatan kontak dan pendekatan konfirmasi . Apa yang menjadi
pemikian John F. Haugh adalah bahwa harus ada dialog antara sains dan agama,
karena berbeda dengan dunia Islam yang menselaraskan agama dengan sains.
Sementara Barat justru meyakini kebenaran ganda bahwa bahasa agama tidak bisa
dipahami dengan bahasa sains, bahasa agama hanya bisa dipahami dengan bahasa
agama, dan dengan instrument agama misalnya semacam pendekatan
hermeuneutic13, dan atau penafsiran-penafsiran lain. Sementara sains untuk
menguji harus melalui riset yang sistematis dilaboratorium, semakin diteliti akan
semakin diketahui titik lemahnya atau malah kelebihannya.

Sayyid Hossein Nasr memberikan jawaban perjumpaan sains dan agama


dengan suatu pendekatan filosofis sebagaimana ia kemukakan : Religions Perennis
atau Philosophy Perennis yang dalam istilah Indonesia lebih populer dengan Agama
dan Filsafat Perennial. Apa yang menjadi inti dari pemikiran agama dan filsafat
perennial itu, adalah bahwa ada sesuatu yang abadi dalam agama itu, yang dengan
keabadiannya menjadi kajian filosofis dan dengan keabadiannya menjadi kajian
sistematis dan ilmiah. Ajaran filsafat yang dikenal baik sebagai massya’I atau

12
John F. Haugh , Science and Religion: From Conflict to Conversation, (New York: Paulist Press ,
1995). diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan Judul; Perjumpaan sains dan Agama,
(Bandung: Mizan, 2004), 1-2.
13
Richard E. Palmer, menjelaskan bahwa Hermeuneutika merupakan senjata paling jitu ketika
ingin memahami bahasa agama secara tematik, bahwa ketika ingin menjelaskan suatu tema
maka segala sesuatu yang berkaitan dengan tema itu harus digunakan, dengan demikian maka
segala sesuatu yang berkaitan dengan tema itu bahwa akan menjadi jelas dengan sendirinya.
Lihat, Richard E. Palmer, Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003), 14-15.

10
filsafat paripatik adalah sintesis ajaran-ajaran wahyu Islam, Aristotelianisme dan
neoplatonisme, baik Atenian maupun Alexsandrian, ditemukan pada abad III/IX
dalam iklim intlektual yang kaya di Bagdad oleh Abu Ya’qub al-Kindi (w.260/873).
Ia juga disebut filosof berkebangsaan Arab yang banyak karya-karyanya, dan telah
menyusun lebih dari dua ratus penjelasan secara rinci dalam kaitannya dengan sains
dan filsafat. Mulai darinsebuah kecenderungan yang mencirikan kelompok Muslim
bijaksana, yakni filosofis saintis dan tidak hanya filosof-filosof14. Inti dari filsafat
ini adalah menemukan kebenaran dimana pun ia ada.

Menurut Nasr kebenaran ini disebut kebenaran abadi apabila ia bisa


dijumpai dalam agama maupun filsafat, sehingga ia disebut sebagai agama abadi
atau filsafat abadi. Agama merupakan pengakuan manusia untuk bersikap pasrah
kepada sesuatu yang lebih tinggi, lebih agung dan lebih kuat dari mereka, yang
bersifat transendental. Telah menjadi fitrah manusia untuk memuja dan sikap
pasrah kepada sesuatu yang dia agung-agungkan untuk dijadikan sebagai
Tuhannya15. Seringkali kita membaca dua sejarah besar antara Islam dan Barat
seakan-akan tak pernah saling bertemu anatara keduanya atau seperti dua sejarah
yang harus dibedakan antara keduanya. Padahal tidaklah begitu, ketika kita mau
membaca atau menyimak sejarah, sains dan ilmu pengetahuan yang kini telah
berkembang pesat di era milenium sekarang ini. Justru terilhami dari kebangkitan
sains Islam pada abad renaisance Islam pada masa Dinasty Abbasiyah.

Secara filosofis bisa dilihat ketika dunia Islam dalam keemasan, banyak
orang-orang ropa pada umumnya, sekitar kurang lebih abad pertengahan negara-
negara Barat mengalami kegelapan dan kemunduran. Setelah berapa saat
mengalami kemajuan dibidang filsafat khususya di negara Yunani di awala abad
Masehi. Alam pikir mereka cenderung mengarah pada profanistik. Sehingga Barat
harus mengakui kemundurannya. Kemajuan yang terjadi di dunia Islam, ternyata

14
Seyyed Hossein Nasr, Qutb al-Din Syirazi, dalam Dictionary of Saintifik Biography, Ed. C.
Gillespie (New York: Charles Scribner’s Sons, 1976), 53-247. Dapat juga anda jumpai dalam Alija
Ali Izet Begovic, seorang Filosuf asal Bosnia Herzegovina, dalam bukunya; Islam Between East and
West, (American: Trust Publication, 1984). Dan buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan judul: Membangun Jalan Tengah Islam antara Timur dan Barat, (Bandung:
Mizan, 1992), 281-284
15
Nurcholish Majid, Islam, kemodernan, dan keindonesiaan, (Jakarta: Mizan Pustaka, 2008), 47

11
memiliki daya tarik tersendiri bagi mereka orang-orang Barat. Maka pada masa
seperti inilah banyak orang-orang Barat yang datang ke dunia Islam untuk
mempelajari filsafat dan ilmu pengetahaun. Kemudian hal ini menjadi jembatan
informasi antara Barat dan Islam. Dari pemikiran-pemikiran ilmiah, rasional dan
filosofis, atau bahkan sains Islam mulai mau di transfer ke daratan Eropa. Kontak
antara dunia Barat dan dunia Islam pada lima abad berikutnya ternyata mampu
mengantarkan Eropa pada masa kebangkitannya kembali (renaisance) pada bidang
ilmu pengetahuan dan filsafat. Selanjutnya berkembang pada era baru yaitu era-
modern.

Zaman baru di Barat yang kemudian lazim dikenal sebagai abad modern
dimulai kurang lebih abad ke-17. Merupakan awal kemenangan supermasi
rasionalisme, empirisme, dan positifisme dari dogmatis agama. Kenyataan ini dapat
dipahami karena abad modern Barat ditandai dengan adanya upaya pemisahan
antara ilmu pengetahuan dan filsafat dari pengaruh agama (sekularisme). Perpaduan
antara rasionalisme, empirisme dan positifisme dalam satu paket epistemologi
melahirkan apa yang T.H Huaxley disebut dengan metode ilmiah (Scientific
Method). Munculnya aliran-aliran tersebut sangat berpengaruh pada peradaban
Barat selanjutnya. Dengan metode ilmiah itu, kebenaran sesuatu hanya mereka
perhitungkan dari sudut fisiologis-lahiriah yang sangat bersifat profanik
(keduniawian atau kebendaan). Aatau dengan istilah lain, kebenaran ilmu
pengetahuan hanya diukur dari sudut koherensi dan korespondensi16.

Bertolak dari pemaparan diatas, maka dengan wataknya tersebut sudah


dapat dipastikan bahwa segala pengetahuan yang berada diluar jangkauan indra dan
rasio serta pengujian ilmiah ditolaknya, termasuk di dalamnya pengetahuan yang
bersumber pada religi. Dengan demikian abad modern di Barat adalah zaman ketika
manusia menemukan dirinya sebagai kekuatan yang dapat menyelesaikan segala
persoalan-persoalan hidupnya. Manusia hanya dipandang sebagai makhluk yang
bebas yang independen dari alam dan Tuhan. Manusia di Barat sengaja
membebaskan dari tatanan ilahiah, untuk selanjutnya membangun tatanan

16
Abu Sahrin, “Agama dan Filsafat Perennial Perspektif Seyyed Hossein Nasr”, Al-Hikma: Jurnal
Theosofi dan Peradaban Islam, Vol. 1, No. 1, (2019), 16

12
Antropomorphisme, suatu tatanan yang semata-mata berpusat pada manusia.
Manusia menjadi tuan atas nasibnya sendiri. Hingga kemudian mulai bermunculan
gerakan-gerakan responsif dan alterratif sebagai respon balik terhadap prilaku
masyarakat modern yang tidak lagi mengenal dunia metafisik. Termasuk di
dalamnya tradisonalisme Islam yang dihidupkan Nasr, atau gerakan New Age di
Barat pada akhir dewasa ini.

II. Krisis Dunia Modern

Dunia modern di Barat yang dimulai sejak abad ke-17 M, merupakan awal
kemenangan supremasi rasionalisme, empirisme, dan positifisme dari dogmatisme
17
agama . Menurut T.H Huxley hubungan anatara rasionalisme, empirisme dan
positifisme yang terkandung dalam epistemologi melahirkan metode ilmiah 18 .
Dengan metode ilmiah ini, kebenaran sesuatu hanya diperhitungkan dari sudut yang
bersifat keindreawian dan kebendaan, sehingga menafikan sudut metafisika 19 .
Karenanya worldview Barat modern itu terkadang dikenal dengan Scientific
Worldview. Hal ini sejatinya telah diwarnai oleh paham sekularisme, rasionalisme,
empirisme cara berpikir dikotomi,desakralisasi, pragmatisme, dan penafian
kebenaran metafisis.

Pandangan hidup inilah akhirnya yang mewarnai peradaban Barat modern.


Pandangan hidup sains moderrn inilah yang telah memberikan kontribusi besar
terhadap sekularisme akan substansi alam, ujar Nasr. Sehingga dampaknya kata
Nasr manusia modern memperlakukan alam sama seperti pelacur; mereka
menikmati dan mengekploitasi kepuasan darinya tanpa rasa kewajiban dan
20
tanggung jawab apapun . Krisis di dunia modern tidak hanya krisis dalam
kehidupan dunia spiritual tapi juga dalam kehidupan sosial sehari-hari.

17
Muhammad Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern; Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, Terj.
Rahayu S. Hidayat, (Jakarta: INIS, 1994), 44
18
T.H. Huxley, “Method of Scientific Investigation”, dalam John R. Burr & Milton Goldinger (Ed),
Philoshopy and Contemporary Issues, Second Edition, (New York: Macmillan Publishing CO., Inc,
1976), 402.
19
Ali Maksum, Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern, (Surabaya: Pustaka Pelajar,
2003),
20
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature “The Spritual Crisis of Modern Man”, (London: George
Allen & Unwin, 1968), 5.

13
Akibatnya manusia modern menjadi pemuja ilmu dan teeknologi, sehingga
tanpa disadari akan mereduksi integritas kemanusiaannya, lalu terperangkap pada
jaringan sistem rasionalitas teknologi yang tidak manusiawi. Hal ini kata Nasr
dikarenakan akibat manusia modern memberontak dan melawan Tuhan dengan
menciptakan sebuah sains yang tidak berlandaskan kepada the light of intellect,
tetapi hanya berlandaskan kepada kekuatan akal manusia semata untuk memperoleh
data melalui indera21.

Dengan demikian abad modern di Barat merupakan zaman ketika manusia


menemukan dirinya sebagai kekuatan yang dapat menyelesaikan persoalan-
persoalan hidupnya. Manusia modern di Barat sengaja membebaskan dirinya dari
tatanan ketuhaanan (teomorphisme). Untuk selanjutnya membangun tatanan yang
semata-mata berpusat pada manusia (antropomorphisme). Manusia menjadi tuan
atas nasibnya sendiri, yang mengakibatkannya terputus dari nilai spiritualnya.
Tetapi ironisnya, seperti yang dikatakan Roger Garaudy justru manusia modern
Barat pada akhirnya tidak mampu menjawab persoalan-persoalan hidupnya
sendiri22.

Akibat dari proses modernisassi yang dijalankan Barat ini, ternyata telah
menjadikan manusia modern kian dihinggapi rasa cemas dan ketidak bermaknaan
dalam hidupnya. Mereka juga telah kehilangan dimensi transendental atau visi
keilahiannya, karena itu mudah dihinggapi kehampaan spiritual. Sebagai akibatnya,
manusia modern menderita keterasingan (alienasi)23. Baik teralienasi dari dirinya,
dari lingkungan sosial maupun teralienasi dari penciptanya.

Aspek spiritual tidak mendapatkan perhatian sama sekali dalam peradaban


modern. Padahal sejatinya manusia adalah mahkluk yang memiliki dua dimensi,

21
Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man, (London: ABC International Group,
1975), 5
22
Roger Garaudy, The Balance Sheet of Western Philosophy in this Century, dalam Toward
Islamization of Disciplines, (Malaysia: the Islamic Institute of Islamic Thought, Islamization of
Knowledge Series, No. 6, 1989), 397
23
Keterasingan atau alienasi berasal dari kata Inggris ‘Alienation’ dan dari kata Latin ‘Alienato’
yang berarti membuat sesuatu atau keadaan menjadi terasing. Lihat di Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, (Jakarta: Gramedia, t.th), 37

14
yaitu dimensi jasmani dan rohani24. Keduanya tidak dapat berjalan sendiri-sendiri,
melainkan harus bersinergis sehingga keduanya dapat berjalan secara seimbang.
Jika manusia hanya mengedepankan aspek lahiriah saja. Maka ia tidak berbeda
dengan binatang. Keduanya harus seimbang demi terciptanya hubungan yang
harmonis. Seorang manusia tidak bisa hidup hanya berorientasikan dunia lain saja
ataupun dunia ini saja. Jika keduanya hanya berjalan sendiri-sendiri, maka akan
menimbulkan kegagalan dalam pencapaian kesejahteraan25.

Dalam pernyataan tersebut maka semakin jelas bahwa kedua aspek tersebut
tidak dapat dipisahkan. Dari sini, bisa kita ketahui bahwa krisis spiritual yang
dialami manusia modern di atas disebabkan karena peradaban modern hanya tegak
di atas landasan konsep mengenai manusia yang tidak menyertakan hal yang paling
esensial dari manusia itu sendiri26. Pada hal ujar Nasr “Manusia terdiri dari tiga
unsur yakni : jasmani, jiwa dan intelek. Yang terkahir (intelek) ini berada di atas
dan dipusat eksistensi manusia. Karenanya ujar Nasr, esensi manusia atau hal yang
esensial dari sifat manusia hanya dapat dipahami oleh intelek (mata hati). Begitu
matahati tertutup maka tidak akan mungkin mencapai pengetahuan yang esensial
tentang hakekat manusia27.

Menurut Nasr, porsi intelectus menjadi tercampakkan terutama sejak


berkembang aliran dualisme Cartesian di Barat Sejak Rasionalisme yang
tersistematisasikan ini tumbuh dan kemudian berkembang, manusia hanya
dipandang dari dimensi jasmani saja. Dualisme Cartesian membagi realitas menjadi
dua : realitas material dan realitas mental, atau realitas fisik dan realitas akal.
Sementara dimensi spiritualnya tercampakkan28.

Kata Nasr, karena manusia modern hidup terlalu mengandalkan kekuatan


nalar dan bergelimang dalam kehidupan materi, maka mata batinnya menjadi
tertutup dan akhirnya terjadilah ketidak seimbangan antara rasio dan intelek. Maka

24
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, (Kuala Lumpur:
ISTAC, 2001), 143.
25
M. Umer Chapra, The Islamic Welfare State and Its Role in the Economy, (Leicester: Islamic
Foundation, T.Th), 4.
26
Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man, 17
27
Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man, 13
28
Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man, 79

15
dari pada itu, untuk mengembalikan ksadaran Ilahiah ini sesorang perlu melatih
kekuatan dan mengasah kekuatan intellectusnya dengan cara
mengimplementasikan ajaran-ajaran sufisme. Dengan cara ini terjadi keseimbangan
antara kekuatan rasio yang berada di otak dengan kekuatan intellectus yang berada
di dalam dadanya. Karena itu hanya tawasuflah yang mampu melatih ketajaman
intellectus karena di dalamnya terdapat pendakian spiritual atau dalam istilah
tasawuf disebut dengan maqamat. Hal ini sebagaimana dikatankan Nasr bahwa :

“Manusia untuk dapat mencapai level eksistensi, tentu harus mengadakan


pendakian spiritual dan melatih ketajaman intellectus. Dan untuk mencapai
pendakian spiritual tasawuf orang harus melalui tahapan-tahapan (maqamat)
tersebut. Tahapan tersebut mulai dari taubat, zuhud, wara, faqr, sabar, tawakal,
ridha, dll.29”

Dengan cara ini maka akan terjadi keseimbangan angtara kekuatan rasio
yang berada di otak dan intellectus yang berada di dada, sehingga lahirlah
30
ketentraman dalam jiwa . Hal ini dikarenakan manusia menurut Nasr
sesungguhnya mempunyai kodrat “damba misti”. Dimana pada saat ketentraman
jiwa tidak lagi bisa di dapat dari terpenuhinya segala kebutuhan-kebutuhan materi
duniawi, maka rohani dalam hal ini akan berpaling kepada Tuhan dan mencari
kebahagiaan bersamanya adalah merupakan ssatu-satunya konsumsi untuk
memenuhi kelaparan jiwa manusia31.

Dalam kaitan tersebut menurut Nasr, pencarian spiritual dan mistikal


bersifat perennial. Dalam Islam pengertian perennial ini dapat disamakan dengan
fitrah, seperti aditegaskan dalam Al-Qur’an sebagai nilai kemanusiaan yang
berpangkal pada kejadian asal manusia yang suci (fitrah) yang membuatnya
berwatak kesucian dan kebaikan. Fitrah itu merupakan kelanjutan dari perjanjian
dasar antara Tuhan dan ruh Manuisa, sehingga ruh manusia dijiwai oleh sesuatu
yang disebut kesadaran tentang yang mutlak dan maha suci (transenden) yakni

29
Seyyed Hossein Nasr, Sufi Essays, Terj. Rahmat Ali, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), 90-95.
30
Ali Maksum, Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern, 118-119
31
Seyyed Hossein Nasr, Tasawwuf Dulu dan Sekarang, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), 20.
Dikutip dari buku: Asrifin An-Nakhrawie, Ajaran-Ajaran Sufi Imam Al-Ghazali, (Surabaya: Delta
Prima Press, 2013), 35.

16
kesadaran tentang kekuatan Yang Maha Tinggi yang merupakan awal dan tujuan
semua yang ada dan berada di atas alam ini32.

Dengan demikian menurut Nasr, apabila manusia modern ingin mengakhiri


kekeliruan berfikir dan kesesatan yang timbul akibat perbuatan sendiri, lantaran
semakin disingkirkannya dimensi keilahian dalam jiwa. Maka mau tidak mau
pandangan serta sikap hidup keagamaan harus dihidupkan kembali dalam
kehidupan mereka33. Karena inilah Nasr memilih tasawuf sebagai alternatif kepada
manusia modern yang telah dihinggapi kehampaan spiritual dalam jiwanya dengan
melakukan amalan-amalan tasawuf. Bahkan ia merupakan bagian integral dari cara
pandangnya terhadap masalah yang ada di dunia modern ini.

Karenanya di dalam Islam tasawuf itu ibarat jantung sebagai bagian inti dari
pewahyuan Islam. Hal ini dikarenakan tasawuf telah memberikan energi dan
semangat kedalam seluruh aspek dalam Islam, baik aspek sosial maupun
intelektual. Sehingga akhirnya Nasr menyimpulkan bahwa berbagai isu dan
permasalahan dalam sejarah Islam tidak mungkin mampu diselesaikan tanpa
memandang peran yang telah dimainkan Tasawuf34.

2. Hasan Hanafi
A. Biografi Hasan Hanafi
Hassan Hanafi, lahir di kota Kairo, Messir tepatnya pada 13 Februari tahun
1935, ia berdarah Maroko dari kakeknya. Hasaan Hanafi sudah hafal Al-Qur’an
saat usia 5 tahun.35 Pendidikan Hassan Hanafi diawali dengan pendidikan dasar,
dan tamat tahun 1948, lalu di lanjutkan dengan Madrasah Tsanawiyah Khalil Agha,
di Kairo selesai pada tahun 1952. Selama di Tsanawiyah, Hanafi sudah aktif
mengikuti diskusi-diskusi kelompok Ikhwanul Muslimin, karena itu ia paham akan
pemikiran yang dikembangkan dan aktivitas aktvitas sosial yang dilakukan oleh
organisasi tersebut.

32
Lihat di Q.S. Al-Rum [30]: 30:30. Ibnu Katsir menafsirkan bahwa “Fitrah itu adalah Islam, artinya
beragama/ bertuhan meurpakan fitrah manusia”. Ibnu Katsir, Tafsir alQur’an al-Adzim, Juz 6, (Dar
Tayyibah li Nasyr wa al-Tawzi’, 1999), 314.
33
Seyyed Hossein Nasr, Sufi Essays, Terj. Rahmat Ali, 83
34
Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man, 204
35
Riza Zahriyal Falah dan Irzum Farihah. Pemikiran Teologi Hassan Hanafi. Fikrah: Jurnal Ilmu
Aqidah dan Studi Keagamaan, Volume 3, No.1, Juni 2015

17
Hassan Hanafi melanjutkan perguruan tingginya di Universita Kairo dengan
jurusan Filsafat Fakultas Adab dan lulus pada tahun 1956 dengan menyandang gelar
sarjana muda. Ia mendapatkan penghargaan atas tesisnya untuk penulisan karya
ilmiah terbaik di Mesir. Lalu ia melanjutkan studi nya ke Universitas Sorbone, di
Prancis dan menyelesaikan program Master dan Doktor sekaligus dengan tesis
berjudul Les Methodes d’Exegeses: Essei sur La Science des (Essei tentang Metode
Penafsiran) pada tahun 1966. Perjalanan Ilmiah Hanafi selama di Perancis
berlangsung selama kurang lebih 10 tahun yang membuatnya memiliki kesan abadi
pada perkembangan intelektualnya yang membuatnya berucap “itulah barat yang
aku pelajari, aku cintai, aku kritik dan akhirnya aku benci”.36 Namun, walaupun
dikemudian hari ia mengkritik dan bahkan menolak barat, tetapi tidak bisa
dipungkiri bahwa ide-ide liberalisme barat, demokratisasi, rasionalisme, dan
pencerahannya telah merasuk dan mempengaruhi pemikiran-pemikiran hanafi.

Setelah mendapat gelar Doktor, Hassan Hanafi mengajar mata kuliah


Pemikiran Kristen Abad Pertengahan dan Filsafat Islam di Universotas Kairo. Ia
juga mendapat jabatan guru besar di berbagai peruruan tinggi di luar Mesir, dan
pada tahun 1969 ia menjadi profesor tamu di Perancis. Ia juga pernah mengajar di
Belgia (1970), Amerika Serikat (1971-1975, Kuwait (1979), Maroko (1982-1984),
dan Uni Emirat Arab (1985) akibat reputasi dan juga pemikirannya.

Di samping menggeluti dunia akademik,Hanafi juga aktif dalam organisasi


kemasyarakatan, seperti Persatuan Masyarakat Filsafat Mesir sebagai sekretaris
umum, anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika, dan wakil presiden Persatuan
Masyarakat Filsafat Arab. Pemikirannya tersebar di dunia Arab dan Eropa. Tahun
1981, ia memprakarsai sekaligus menjadi pimpinan redaksi Jurnal Ilmiah al-Yasar
al-Islami (Kiri Islam). Pemikirannya dalam jurnal tersebut memancing reaksi keras
dari penguasa Mesir saat itu, Anwar Sadat (1918-1981), sehingga menyeret Hanafi
mendekam dalam penjara. Sejak saat itu, jurnal al-Yasar al-Islami tidak pernah
terbit lagi. Namun pemikiran al-Yasar al-Islami tidak pernah hilang dikalangan

36
M. Ridlwan hanbali, “Hassan Hanafi: dari Islam Kiri, Revitalisasi Turats hingga
Oksidentalisme” dalam M. Aunul Abied (ed). Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur
Tengah (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 218.

18
umat Islam, bahkan menjadi kajian yang menarik dan layak untuk diteliti dan
dikembangkan.37

B. Karya-Karya Hassan Hanafi


a. Oksidentalisme (Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istigrab)

Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istigrab (1991) merupakan karya monumental yang


sempat dirampungkan Hassan Hanafi, yang di dalamnya ia memperkenalkan ‘Ilm
al-Istigrab atau Oksidentalisme. Secara ideologis, Oksidentalisme versi Hassan
Hanafi diciptakan untuk menghadapi Barat yang memiliki pengaruh besar terhadap
kesadaran peradaban kita. Asumsi yang dibangunnya adalah bahwa Barat memiliki
batas sosio-politik-kulturalnya sendiri. Oleh karena itu, setiap usaha hegemonisasi
kultur dan pemikiran Barat atas dunia lain harus dibatasi.

Dengan demikian, Barat harus dikembalikan pada kewajaran batas-batas


kulturalnya. Melalui ‘Ilm al-Istigrab (Oksidentalisme), Hassan Hanafi berupaya
melakukan kajian atas Barat dalam perspektif historis-kultural Barat sendiri. Buku
ini dimaksudkan sebagai peletak dasar bagi kajian ilmiah atas Barat dalam rangka
mempelajari perkembangan dan strukturnya serta menghilagkan dominasi Barat
atas kaum Muslim. Oksidentalisme sebagai gagasan perlawanan terhadap
pemikiran Barat yang bersifat Orientalis, sedangkan pemikir Orientalis berpikir
dengan memihak kebaratan dan membuat dunia yang lain terbelakang, tetapi semua
itu menurut Hassan Hanafi merupakan support terhadap perlawanan pemikiran
Eropa sentries.

Hassan Hanafi merefleksikan pembacaan yang mampu memberikan


inspirasi bagi orang Timur sebagai bentuk perlawanan. Bahkan, Hassan Hanafi
menggagas agar orang Timur mampu menggali sumber yang tidak akan pernah
habis. Sebagaimana dalam tulisannya berbunyi, “Kita sekarang benarbenar merugi
(hanya mampu) kembali kepada teks-teks yang baku dengan berpegang pada firman
Allah dan sabda Rasulullah, serta tidak mampu mentranformasikan wahyu kepada
konsepkonsep atau aspek eksoterisme.”38

37
Riza Zahriyal Falah dan Irzum Farihah. Pemikiran Teologi Hassan Hanafi. Fikrah: Jurnal Ilmu
Aqidah dan Studi Keagamaan, Volume 3, No.1, Juni 2015
38
Hassan Hanafi, al-Yamin wa al-Yasar, hlm. 160-171.

19
b. At-Turas wa at-Tajdid

Periode selanjutnya pada tahun 1980-an, Hassan Hanafi mulai mengarahkan


pemikirannya pada upaya universalisasi Islam sebagai paradigma peradaban
melalui sistematisasi proyek “Tradisi dan Modernitas”. Dalam hal ini, buku at-
Turas wa at-Tajdid yang terbit pada tahun 1980 menampilkan makna turas wa
tajdid. Menurut Hassan Hanafi, turas bukanlah sekadar peninggalan masa lampau
yang tidak bermakna, tetapi di dalamnya terdapat energi hidup dan daya dobrak
tentang kesadaran berpikir, berperilaku, dan sebagainya yang harus menjadi pijakan
setiap generasi penerusnya. Bagi Hassan Hanafi, turas harus dikembalikan pada
posisinya yang terhormat.39

Oleh Hassan Hanafi, at-turas wa at-tajdid dimaksudkan sebagai sebuah


rancangan reformasi agama yang tidak saja berfungsi sebagai tantangan intelektual
Barat, tetapi juga dalam rangka rekonstruksi pemikiran keagamaan Islam pada
umumnya. Hanafi merumuskan eksperimentasi at-turas wa at-tajdid berdasarkan
tiga agenda yang saling berhubungan secara dialektis. Pertama, melakukan
rekonstruksi tradisi Islam dengan interpretasi kritis dan kritik sejarah yang
tercermin dalam agenda “apresiasi terhadap khazanah klasik” (mawfiquna min at-
turas al-qadim). Kedua, menetapkan kembali batas-batas kultural Barat melalui
pendekatan kritis yang mencerminkan “sikap kita terhadap peradaban Barat”
(mawfiquna min at-turas al-garb). Agenda terakhir, ketiga, upaya membangun
sebuah hermeneutika Al-Qur’an yang baru, mencakup dimensi kebudayaan dari
agama dalam skala global, agenda mana memosisikan Islam sebagai fondasi
ideologis bagi kemanusiaan modern. Agenda ini mencerminkan “sikap kita
terhadap realitas” (mawfiquna min al-waqi‘).

c. Al-Yasar al-Islami (Kiri Islam), sebuah karya yang berbau ideologis

Nama “Kiri Islam” dipilih secara spontan. Kiri dalam ilmu politik berarti
perlawanan dan kritisisme. Ia juga masuk ke dalam terminologi ilmu tentang
manusia. Ia merupakan terminologi akademis, nama “Kiri Islam” juga sesuai
dengan realitas kaum Muslim yang terbagi ke dalam dua kelompok. Dan, “Kiri

39
Hassan Hanafi, Islamologi 1: dari Teologi Statis ke Anarkis (Yogyakarta: LKiS, 2007), hlm. 1.

20
Islam” memihak pada kelompok yang dikuasai, tertindas, miskin, dan tersingkir.
Maka, “Kiri Islam” menyajikan “Kiri” dalam konotasinya yang akademis. “Kiri
Islam” muncul atas dasar telaah terhadap sejumlah program modernisasi dalam
masyarakat kita.

Pertama, modernisasi cenderung terkait dengan kekuasaan yang


mentransformasikan Islam ke dalam ritus keagamaan yang menekankan pada
akhirat, dan sebaliknya, realitas Islam bertentangan dengan sistem Islam. “Islam
ritualistik” tidak lain daripada selubung yang menyatukan kaum Westernis,
feodalis, dan kapitalis kesukuan. Karena pandangan ilahiah dan konsep pusat-
piramidal alam tunduk pada kecenderungan-kecenderungan ini, maka pandangan
humanistik, konsep sejarah, dan gerakan sosial hilang.

Kedua, kecenderungankecenderungan liberal yang dominan sebelum


revolusi Arab secara kultural berasal dari Barat, walaupun mereka menganggap
imperialisme sebagai musuh. “Kiri Islam” tampil menentang peradaban Barat dan
berusaha untuk menggantinya. Al-Afgani memusatkan perhatiannya pada
imperialisme militer pada zaman penjajahan. “Kiri Islam” memusatkan
perhatiannya pada imperialisme budaya, yakni serangan terhadap kebudayaan kita
dari dalam dengan memusnahkan afiliasinya dengan komunitas (ummah) sehingga
komunitas menjadi tidak berakar. “Kiri Islam” membela rakyat komunitas Islam
dan menentang westernisasi yang pada dasarnya bertujuan untuk memusnahkan
budaya-budaya pribumi untuk menyempurnakan hegemoni budaya Barat.

Tugas “Kiri Islam” adalah mendefinisikan kuantitas Barat, yakni


mengembalikannya ke batas alamiahnya dan mengakhiri mitosnya yang mendunia.
Barat berada pada pusat peradaban dunia dan ingin mengekspor peradabannya
kepada bangsa-bangsa lain. Barat menyediakan model pembangunan sebagai alat
untuk menguasai dan menghilangkan kekhasan bangsa-bangsa lain. Akibatnya,
bangsa-bangsa non-Barat tidak mampu menentukan nasib dan menguasai kekayaan
mereka sendiri.40

Marzuki Agung Prasetya, Model Penafsiran Hassan Hanafi, Jurnal penelitian: Vol. 7. No. 2,
40

Agustus 2013, Hal. 369-370.

21
C. Rekonstruksi Pemikiran Teologi Islam Hassan Hanafi
Hanafi mengajukan konsep baru tentang teologi Islam, gunanya untuk
menjadikan teologi Islam tidak sekedar dogma keagamaan, tetapi menjadikan
sebagai ilmu perjuangan sosial, dan keimanan berfungsi secara aktual sebagai
landasan etik dan motivasi tindakan manusia. Gagasan Hanafi yang terkait tentang
teologi berusaha untuk mentransformulasikan teologi tradisonal yang bersifat
teosentris menuju antroposentris, dari Tuhan kepada manusia, dari tekstual kepada
kontekstual, dari teori kepada tindakan, dari takdir menuju kehendak bebas.

Pemikiran ini didasarkan pada dua alasan; pertama, kebutuhan akan adanya
sebuah teologi yang jelas ditengah pengaruh global diantara berbagai idiologi.
Kedua, pentingnya teologi baru yang bukan hanya bersifat teoritik, tetapi sekaligus
41
juga praktis yang bisa mewujudkan sebuah gerakan dalam sejarah . Untuk
mengatasi kekurangan teologi klasik yang dianggap tidak berkaitan dengan realitas
sosial.

42
Hasan Hanfi menawarkan dua teori . Pertama, analisa bahasa; dalam
istilah teologi klasik adalah warisan nenek moyang dalam bidang teologi, seolah-
olah sudah menjadi doktrin yang tidak bisa diganggu-gugat. Menurut Hasan Hanafi,
istilah-istilah dalam teologi sebenarnya tidak hanya mengarah pada yang
transenden dan ghaib, tetapi juga mengungkap tentang sifat-sifat dan metode
keilmuan yang empirik, rasional seperti iman, amal dan imamah, yang historis
seperti nubuwwah dan ada pula yang metafisik, seperti Tuhan dan hari akhirat.
Kedua, analisis realitas; menurut Hasan Hanafi, analisis ini dilakukan untuk
mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi dimasa lalu, dan
pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat atau para penganutnya. Selanjutnya
analisis realitas berguna untuk menentukan steressing bagi arah dan orientasi
teologi kontemporer.

Untuk merealisasikan dua pikirannya tersebut, Hasan Hanafi menggunakan


tiga metode berfikir : dialektika, fenomenologi, hermeuneutik43. Dialektika adalah

41
Ridwan, Reformasi. hal. 50.
42
Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, hal. 408.
43
Baullara, Hasan Hanafi terlalu teoritis untuk dipraktekan dalam Islamika, Idisi I Juni-september
1993, hal. 21.

22
metode pemikiran yang didasarkan atas asumsi bahwa perkembangan proses
sejarah terjadi lewat konfrontasi dialektis dimana tesis melahirkan antitesis,
kemudian melahirkan syntesis. Hasan Hanafi menggunakan metode ini, ketika
sebelumnya menjelaskan tentang sejarah perkembangan pemikiran Islam. Hanafi
berusaha untuk menjelaskan kalam yang datang dari yang Maha Tinggi. Yang
dilakukan Hasan Hanafi terhadap kalam klasik ini sama dengan apa yang dilakukan
Marx terhadap pemikiran Hegel. Menurut Marx pemikiran Hegel berjalan di
kepalanya, untuk bisa berjalan normal ia harus diturunkan ke kakinya44. Artinya
kalam klasik yang terlalu theosentris harus dirobah menjadi nyata, harus dipahami
secara jelas.

Hanafi bukan mengikuti metode dialektika Hegel atau Marx, apa yang
dilakukan Hanafi didasarkan pada khazanah keilmuan dan realitas sosial muslim
sendiri. Hanafi sendiri mengkritik secara tajam metode dialektika Marx, yang
dinilainya gagal dalam memberi arahan kepada kemanusiaan. Dialektika Hegel dan
45
Marx justru membawa pada paham totalitarianisme . Kemungkinan Hanafi
terilhami inspirator revolusi sosial Iran; Ali Syariati ketika ia menggunakan metode
dialektikanya dalam menyatakan bahwa manusia adalah syntesa antara ruh Tuhan
sebagai tesanya dan syetan sebagai antitesanya.

Hasan Hanafi menggunakan metode fenomenologi untuk menganalisis,


memahami dan memetakan realitas-realitas sosial, politik, ekonomi, realitas
khazanah Islam dan tantangan Barat, yang kemudian dibangunlah revolusi.
“Sebagai bagian dari gerakan Islam di Mesir”, katanya, saya tidak pilihan lain
kecuali menggunakan metode fenomenologi untuk menganalisa Islam di Mesir”46.
Dengan metode ini, Hanafi ingin agar realitas Islam berbicara bagi dirinya sendiri,
bahwa Islam adalah Islam yang harus dilihat dari kacamata Islam sendiri, bukan
dari Barat, Jika Islam dilihat dari Barat akan terjadilah ketimpangan.

44
Bertens, Filsafat Abad XX Prancis, Gramedia, Jakarta 1996, hal.235
45
Hasan Hanafi, Origin of Modern Conservation and Islamic Fundametalism, Amsterdam,
University Of Amsterdam, 1979. hal 1-2. Yang dikutip oleh Ridwan, dalam Reformasi Intelektual.
hal. 70.
46
Ridwan, Reformasi Intelektua, hal. 22. Yang dikutip dari Hanafi, Dirasah al-Islamiyah, Al-
Maktabah al-Misriyah, Kairo, 1981, hal. 415.

23
Hasan Hanafi juga menggunakan metode hermeunetik untuk menjelaskan
gagasannya mengenai antroposentrisme-teologis; dari wahyu kepada kenyataan,
dari logos sampai praktis, dari pikiran tentang Tuhan sampai pada manusia47. Apa
yang disebut hermeunetik, bagi Hanafi bukanlah sekedar ilmu interpretasi, tetapi
ilmu yang menjaelaskan tentang keinginan Tuhan kepada tingkat dunia, dari yang
sakral menjadi realitas sosial. Hermeunetik Hanafi dipengaruhi metode
hermeunetik Bultmann, tetapi tidak terlalu signifikan. Kelihatannya Hanafi
menggunakan aturan hermeunetik secara umum yang bersifat triadic kemudian
mengisinya dengan nuansa Islam sehingga menjadi khas Hanafian.

D. Konsep Pemikiran Teologi


Hasan Hanafi mencoba merekontruksi teologi dengan cara menafsir ulang
tema-tema teologi klasik secara metaforis-analogis. Ada tiga pemikiran penting
Hasan Hanafi yang berhubunhgan dengan tema-tema kalam, dzat Tuhan, sifat-sifat
Tuhan dan ketauhidan. Menurut Hanafi, konsep tentang dzat dan sifat Tuhan tidak
menunjukkan pada ke Maha-an dan kesucian Tuhan sebagaimana yang ditafsirkan
para teolog. Tuhan tidak butuh pensucian manusia, karena tanpa manusia Tuhan
48
tetap yang Maha Suci dengan segala sifat kesempurnaan-nya . Sedangkan
deskripsi Tuhan tentang dzatnya sendiri memberikan pelajaran kepada manusia
tentang kesadaran akan dirinya sendiri, secara rasional dapat diketahui melalui
perasaan

Penyebutan Tuhan akan dzatnya sama dengan kesadaran akan


keberadaannya, seperti ungkapan cogito dalam diri manusia. Menurut Hasan Hanafi
deskripsi pertama tentang Tuhan adalah wujud (keberadaan). Sedangkan
deskripsinya tentang sifat-sifat Tuhan memberikan kesadaran terhadap lingkungan
alam dunia. Jika dzat mengacu pada cogito, maka sifat-sifat mengacu pada
cogitotum, keduanya memberikan pelajaran dan harapan bagi manusia pada Tuhan
49
agar manusia sadar akan diri dan lingkungannya . Hasan Hanafi berusaha
mengubah term-term keagamaan dari yang spiritual dan sakral menjadi sekedar
matrial, dari teologis menjadi antropologis. Hanafi melakukan ini untuk

47
Hanafi, Muqaddimah fi ilm al-Istighrab, Dar al-Faniyah, Kairo 1981, hal. 63
48
Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, Pustaka Firdaus Jakarta, 1991, hal. 1
49
Khalid al-Baghdadi, Al-Iman wa al_islam, Hakekat Kitabivi, Istambul, 1986. hal. 21.

24
mengalihkan pandangan umat Islam yang cenderung metafisik menuju sikap yang
lebih berorientasi pada realitas empirik. Menurut Hanafi dalam Islam tidak sekedar
Tuhan langit, tetapi juga Tuhan bumi, sehingga berjuang dan membela dan
mempertahankan tanah kaum muslimin, sama dengan membela dan
mempertahankan kekuasaan Tuhan.

Hasan Hanafi menggunakan sifat-sifat Tuhan sebagai penjelas, seperti :


wujud, sifat qidam, sifat baqa, sifat mukhalafatulil hawadits, sifat qiyamuhu
binafsih, dan sifat wahdaniyah. Ia berpendapat wujud disini bukan menjelaskan
wujud Tuhan, wujud disini memiliki makna tajribah wujudiyah, yaitu tuntunan
pada manusia untuk mampu menunjukkan eksistensi dirinya. Sedangkan qidam ia
artikan pengalaman masa lalu yang mengacu pada akar keberadaan manusia di
dalam sejarah. Qidam adalah dasar pengalaman dan pengetahuan kesejarahan untuk
digunakan dalam melihat realitas masa depan, sehingga tidak akan lagi terjatuh
dalam kesesatan, kesalahan dan taqlid50.

Mengenai sifat baqa, yang berarti kekal, pengalaman manusia yang


diperoleh dari lawan kefanaan alam, merupakan tuntunan pada manusia untuk
membuat dirinya tidak cepat rusak atau biansa, untuk itu dapat dilakukan hal-hal
yang konstruktif, dalam perbuatan-perbuatan maupun pemikiran dan menjauhi
tindakan-tindakan yang dapat mempercepat kerusakan di bumi. Sifat baqa adalah
pelajaran bagi manusia untuk senantiasa menjaga melestarikan alam lingkungan.

Sifat mukhalafatulil hawadits yang berararti berbeda dengan alam dan sifat
qiyamuhu binafsih merupakan deskripsi tentang titik tolak dan gerakan yang
dilakukan secara terencana, dan penuh kesadaran untuk mencapai sebuah tujuan
akhir, sesuai dengan segala potensi dan kemampuan diri. Selanjutnya sifat
wahdaniyah yang berarti keesaan, merupakan pensucian Tuhan dari kesyirikan
yang ditujukan kepada paham politheisme, tetapi lebih mengarah pada
eksperimentasi kemanusiaan tentang kesatuan.

Penafsiran kalam yang bersifat materi dan duniawi ini, maka apa yang
dimaksud dengan istilah tauhid, dalam pandangan Hasan Hanafi bukan konsep yang

50
Hanafi, Min al-Aqidah ila al-Tsaurah, II. hal.600.

25
menegaskan tentang keesaan Tuhan yang dituka pada paham poltitheisme, tetapi
lebuh pada kesatuan pribadi manusia yang jauh dari perilaku dualistik seperti
hipokrit, kemunafikan atau perilaku oportunistik. Menurut Hasan Hanafi apa yang
dimaksud dengan tauhid bukan merupakan sifat dari sebuah dzat (Tuhan), deskripsi
ataupun sekedar konsep kosong yang ada hanya dalam khayal belaka, tetapi lebih
mengarah pada sebuah tindakan kongkret, baik dari sisi penafsiran maupun dalam
penetapan.

Realisasi dari penetapan suatu ideologi yang menyatukan dan


membebaskan manusia dari belenggu yang di pertuhan pada abad modern. Dalam
konteks kemanusiaan yang lebih kongkret, tauhid adalah upaya pada kesatuan
sosial masyarakat tanpa kelas. Tauhid berarti kesatuan kemanusiaan tanpa
diskriminasi ras, tanpa perbedaan ekonomi, tanpa perbedaan masyarakat maju dan
berkembang, masyarakat Barat dan masyarakat Timur.

26
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Sayyed Hossein Nasr dan Hassan Hanafi merupakan bagian tokoh pemikir
kontemporer. Seyyed Hossein Nasr adalah seorang cendikiawan Islam yang ahli
dalam bidang filsafat dan juga sejarah ilmu. Seyyed Hosein lahir pada 7 April 1933,
tepatnya di kota Teheran, Iran. Kota Teheran adalah kota yang melahirkan para sufi,
filosof, ilmuwan juga penyair muslim terkemuka tak terkecuali Seyyed Hosein.
Seyyed Waliullah Nasr, ayah Seyyed Hosein adalah seorang ulama terkenal di Iran
juga seorang dokter dan pendidik pada masa itu. Seyyed Hossein Nasr ini adalah
seorang yang punya kemampuan untuk membicarakan tentang perjumpaan antara
tradisi dan modernitas antar Timur dan Barat. Ia juga menggali kajian kajian Islam
secara objektif dan juga jujur.

Hassan Hanafi. Teologi Islam yang dianut oleh mayoritas umat Islam saat
ini menurut Hassan Hanafi belum bisa mengantarkan umat Islam kepada keyakinan
atau pengetahuan yang meyakinkan tentang Tuhan dan wujud-wujud spiritual
lainnya, tetapi baru pada tahap mendekati keyakinan. Selain itu menurutnya,
konsep-konsep teologi yang dianut umat Islam saat ini lebih berisi konsep-konsep
yang melangit dan ideide kosong, bukan ide-ide konkret yang bisa membangkitkan
dan menuntun umat untuk menjalani kehidupan nyata dan seakan konsep-konsep
tersebut seperti asing bagi dirinya sendiri dan orang banyak.

B. Saran
Setelah mengetahui kisah, biografi kehidupan, karya-karya serta pemikiran
Sayyed Hosein Nasr dan Hassan Hanafi, maka perlu kita meneladani sifat beliau
yang taat dan tegas dalam bidang agama, sosial dan bahkan politik. Begitu juga
dalam hal akidah, tetap istiqomah. Semoga kita semua selalu barokah. Amin.

27
DAFTAR PUSTAKA
Ali Maksum. 2003. Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern:
Telaah Signifikansi Konsep Tradisionalisme Seyyed Hossein Nasr. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Arqom Kuswanjono. 2006. Ketuhanan dalam Telaah Filsafat Perennial


Refleksi Pluralisme Agama di Indonesia. Yogyakarta: CV. Arindo Nusa Media,
Cetakan 1.

Abdurrahman Wahid dalam Seyyed Hossein Nasr. 1983. Islam Dalam Cita
dan Fakta. Terj. Abdurrahman Wahid, Jakarta : Leppenas.

A. Khudori Soleh. 2013. Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer.


Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Abu Sahrin. 2019. “Agama dan Filsafat Perennial Perspektif Seyyed


Hossein Nasr”. Al-Hikma: Jurnal Theosofi dan Peradaban Islam, Vol. 1, No. 1

Baullara. 1993. Hasan Hanafi terlalu teoritis untuk dipraktekan dalam


Islamika, Idisi I Juni-september

Hanafi. 1981.Muqaddimah fi ilm al-Istighrab, Dar al-Faniyah. Kairo

Hanafi. 1991. Dialog Agama dan Revolusi. Jakarta: Pustaka Firdaus Jakarta

Husein Nasr. 1972. Sufi Essays. New York: University of New York Press.

Hanna Widayani. 2017. “Pemikiran Sayyid Hossein Nasr Tentang Filsafat


Perennial”. Jurnal Al-Afkar, Vol. 6, No. 1

Hasan Hanafi. 1979. Origin of Modern Conservation and Islamic


Fundametalism, Amsterdam, University Of Amsterdam.

Nurcholish Majid. 2008. Islam, kemodernan, dan keindonesiaan. Jakarta:


Mizan Pustaka.

Muhammad Arkoun. 1994. Nalar Islami dan Nalar Modern; Berbagai


Tantangan dan Jalan Baru. Terj. Rahayu S. Hidayat. Jakarta: INIS

28
M. Ridlwan hanbali, 2001. “Hassan Hanafi: dari Islam Kiri, Revitalisasi
Turats hingga Oksidentalisme” dalam M. Aunul Abied (ed). Islam Garda Depan:
Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung: Mizan, 2001)

Richard E. Palmer. 2003. Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi,


Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

Roger Garaudy. 1989. The Balance Sheet of Western Philosophy in this


Century, dalam Toward Islamization of Disciplines. Malaysia: the Islamic Institute
of Islamic Thought, Islamization of Knowledge Series, No. 6.

Riza Zahriyal Falah dan Irzum Farihah. 2015. Pemikiran Teologi Hassan
Hanafi. Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan, Volume 3, No.1.

Syed Muhammad Naquib Al-Attas. 2001. Prolegomena to the Metaphysics


of Islam, Kuala Lumpur: ISTAC

Seyyed Hossein Nasr, Sufi Essays, Terj. Rahmat Ali, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1991), 90-95.

Seyyed Hossein Nasr. 1994. Tasawwuf Dulu dan Sekarang. Jakarta: Pustaka
Firdaus. Dikutip dari buku: Asrifin An-Nakhrawie, Ajaran-Ajaran Sufi Imam Al-
Ghazali. 2013. Surabaya: Delta Prima Press.

T.H. Huxley. 1976. “Method of Scientific Investigation”, dalam John R.


Burr & Milton Goldinger (Ed), Philoshopy and Contemporary Issues, Second
Edition. New York: Macmillan Publishing CO., Inc,

Helmi Zul, 2019, Rekonstruksi Pemikiran Hasan Hanafi Dalam Bidang Teologi
Islam, Artikel.

Mumtaz Muhammad Nadhif, 2014, Hakikat Pemikiran Sayyed Hossein Nasr,


Artikel.

29

Anda mungkin juga menyukai