Makalah
Oleh:
Kelompok 10
FAKULTAS USHULUDDIN
2021
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Penulis ucapkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah tentang “Pemikiran Sayyed Hossein Nasr dan Hasan
Hanafi ”. Makalah ini telah penulis susun dengan maksimal dan disusun untuk
memenuhi memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Islam Kontemporer.
Terlepas dari semua itu, Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
penulis dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata penulis berharap semoga
makalah tentang “Pemikiran Sayyed Hossein Nasr dan Hasan Hanafi” ini dapat
memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
i
DAFTAR ISI
A. Biografi S. H. NASR....................................................................................3
A. Kesimpulan ...............................................................................................27
B. Saran .........................................................................................................27
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sayyed Hossein Nasr dan Hassan Hanafi merupakan bagian tokoh pemikir
kontemporer. Yang pertama, hadir seorang pemikir kontemporer bernama Seyyed
Hossein Nasr banyak memberikan kritik atas kenyataan manusia modern saat ini
dari berbagai segi. Salah satu fokus kritiknya adalah masalah fenomena seni
modern yang sedang berkembang pesat ke seluruh bagian masyarakat, termasuk
masyarakat Islam. Seyyed Hossein Nasr merupakan salah satu juru bicara Islam di
Barat yang gigih menyuarakan pemikiran Tradisionalisme untuk membentengi arus
modernisasi yang telah merusak sendi-sendi tradisi luhur masyarakat khususnya
Islam. Sekularisasi seni saat ini juga dirasakan masyarakat Indonesia dengan
berbagai fenomena bahwa seni tidak lagi mempunyai pesan dari Dunia atas,
melainkan hanya sebagai bahan hiburan yang temporal dan terkadang sebagai
barang dagangan murahan tanpa memperhatikan tujuan seni sebagai medium antara
materialisme dunia dan kerohanian yang kekal.
Yang kedua, Hassan Hanafi. Teologi Islam yang dianut oleh mayoritas umat
Islam saat ini menurut Hassan Hanafi belum bisa mengantarkan umat Islam kepada
keyakinan atau pengetahuan yang meyakinkan tentang Tuhan dan wujud-wujud
spiritual lainnya, tetapi baru pada tahap mendekati keyakinan. Selain itu
menurutnya, konsep-konsep teologi yang dianut umat Islam saat ini lebih berisi
konsep-konsep yang melangit dan ideide kosong, bukan ide-ide konkret yang bisa
membangkitkan dan menuntun umat untuk menjalani kehidupan nyata dan seakan
konsep-konsep tersebut seperti asing bagi dirinya sendiri dan orang banyak.
1
seharusnya pemikiran teologi bisa menjadi konsep-konsep yang membebaskan
manusia dan menjadi dasar utama motivasi manusia kearah kemandirian, kesadaran
dan kemajuan.
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana Biografi S.H. Nasr dan Hassan Hanafi?
b. Apa Saja Karya-karya S.H. Nasr dan Hassan Hanafi?
c. Bagaimana Pemikiran S.H. Nar dan Hassan Hanafi?
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sayyed Hossein Nasr
A. Biografi S. H. NASR
Seyyed Hossein Nasr adalah seorang cendikiawan Islam yang ahli dalam
bidang filsafat dan juga sejarah ilmu. Seyyed Hosein lahir pada 7 April 1933,
tepatnya di kota Teheran, Iran. Kota Teheran adalah kota yang melahirkan para sufi,
filosof, ilmuwan juga penyair muslim terkemuka tak terkecuali Seyyed Hosein.
Seyyed Waliullah Nasr, ayah Seyyed Hosein adalah seorang ulama terkenal di Iran
1
juga seorang dokter dan pendidik pada masa itu. Ayah Seyyed Hosein Nasar
sangat bertentangan dengan paham Barat, sehingga Nasr sedari kecil sudah dibekali
dengan doktrin doktrin Islam. Karena itu lah ayah Nasr mengirim anaknya untuk
belajar di Barat.
1
Ali Maksum, Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern: Telaah Signifikansi Konsep
Tradisionalisme Seyyed Hossein Nasr, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 35-36
2
Arqom Kuswanjono, Ketuhanan dalam Telaah Filsafat Perennial Refleksi Pluralisme Agama di
Indonesia,
(Yogyakarta: CV. Arindo Nusa Media, Cetakan 1, 2006), 37-38
3
Nasr juga dikenalkan dengan pemikiran-pemikiran tradisi timur lewat tulisan Rene
Guenon, A.E. Comarawamy dan T. Burckhardt.3
Merasa belum puas akan gelar yang ia dapat, Seyyed Hosein melanjutkan
studinya ke Universitas Harvard, pada awalnya ia masuk bidang geologi dan
geofisika, tetapi berubah karena ia lebih tertarik dengan ilmu tradisional. Karena itu
lah akhirnya ia mengambil bidang Filsafat dan Sejarah Ilmu Pengetahuan atau
Philoshopia and History of Sciences. Disini ia mempelajari Sejarah dan Pemikiran
Islam dari H.A.R Gibb, George Sarton, Hary Wolfson. Dan pada tahun 1958 Nasr
mendapat gelar Doktor Ph. D, dan disertasinya di bawah bimbingan H.AR Gibb
diterbitkan pada tahun 1964 setelah direvisi.4
Seyyed Hossein Nasr ini adalah seorang yang punya kemampuan untuk
membicarakan tentang perjumpaan antara tradisi dan modernitas antar Timur dan
Barat. Ia juga menggali kajian kajian Islam secara objektif dan juga jujur. Pada
tahun 1958, ia sudah mengajar di Universitas Teheran, lalu tahun 1962 ia menjadi
dosen tamu di Harvard University tempat ia belajar dulu dan tinggal disana sampai
tahun 1965. Tahun 1994 sampai 1965 Nasr menjadi pimpinan Aga Khan Chair of
Islamic Studies pada American University of Beirut.5
Nasr dikatakan sebagai sebagai Guru Besar dalam kajian sejarah ilmu
pengetahuan dan filsafat menunjukkan kedalaman juga ketajaman pemikirannya. Ia
ilmuwan yang mengkritik tentang dunia Barat juga peradaban modern pada
umumnya dengan pemikiran intelektualnya. Ditengah dominasi peradaban Barat,
Seyyed Hossein Nasr berjasa dalam meyakinkan jika pemikiran dan juga
kebudayaan Islam masih hidup dengan kuat.
B. Karya-Karya S. H. NASR
Nasr, adalah seorang ilmuan yang sangat produktif, karena ia telah menulis
banyak buku, dan sejumlah artikel dari berbagai kumpulan makalah yang
diterbitkan di berbagai penerbit, dan dipublikasikan melalui media baik cetak
3
Ibid.., 38-39
4
Ibid.., 40.
5
Kata Pengantar Abdurrahman Wahid dalam Seyyed Hossein Nasr. Islam Dalam Cita dan Fakta.
Terj. Abdurrahman Wahid, Jakarta : Leppenas, 1983, h. X
4
maupun elektronik, diterjamahkan dengan berbagai bahasa seperti: bahasa Inggeris,
Prancis, Arab, Persia dan bahasa Indonesia, berkut ringkasan beberapa karya-karya
beliau:
2. Ideal and Realitas of Islam. Nasr menguraikan sejumlah isu tentang Islam sebagai
Agama Universal, al-Qur’an sebagai sumber kajian tentang ilmu pengetahuan
dunia, kemudian syari’ah sebagai ajaran universal dan kemanusiaan yang
dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Buku ini dicetak dan diterbitkan oleh, First
published by George Allen & Unwin 1966.
3. Science and Civilization in Islam, (Sains dan Peradaban di Dalam Islam), Dalam
buku ini di jelaskan tentang kedudukan Sains dalam Islam, Nasr melihat bahwa
eksistensi sains sudah ada sejak abad pertengahan ketika Islam mengalami kejayaan
dan munculnya tokoh sains dalam Islam seperti Umar Kayyam, Albiruni, Ibnu Sina,
Al-Firdausi, Muhhamd Ibnu Al-Jabar, Kosmologi merupakan sumber sains yang
harus dikaji secara propesional. Buku ini diterbitkan University Harvard Press
1968.
4. Man and Nature The Spiritual Crisis of Modern Man (Manusia dan Alam,
Mengalami Krisis Spiritual di Zaman Modern)". Buku ini dicetak dan diterbitkan
First published by George Allen & Unwin in 1968 di Universitas Cicago. Buku ini
menjelaskan tentang kegersangan jiwa manusia mengalami krisis modern.
5. Tsalatsah Hukamah Muslim” versi bahasa Arab (Tiga Pemikir Islam Ibnu Sina,
Suhrawardi, Ibnu Arabi). Buku ini diterbitkan di Beiurut tahun 1971 kemudian versi
bahasa Inggris “Three Muslim Sages” di terbitkan Harvard College Reprinted by
Arrangement with (Harvard University Press, 1964, diterjamahkan dalam bahasa
Indonesia tahun 1986. Dalam buku ini Nasr menulis tiga tokoh Islam yang dianggap
5
mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan pemikiran Islam hingga
sekarang.
6. Traditional Islam in The Modern World, buku ini dicetak, Kegan Paul
International London and New York First published 1987. Dalam buku ini, Nasr
menjelaskan Islam secara tradisional sebagai salah satu bentuk Islam yang popular.
Bagi Nasr Islam dan tradisi tidak bisah dipisahkan dan sangat penting memberikan
bimbingan secara historis, kepada umat Islam.
7. Islam and the Plight of Modern Man, diterbitkan di London First published
Revised and Enlarged Edition ABC International Group tahun, 1975, kemudian
diterjamahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Anas Mahyudin dalam “Islam Dan
Nestapa Manusia Modern” dicetak dan diterbitkan Pustaka, Bandung tahun 1981.
Nasr menjelaskan tentang kondisi manusia modern, yang mengalami keterpurukan
dari berbagai aspek, termasuk spiritual dan moral.
8. Knowledge and the sacred, diterbitkan di New York 1981. Buku diterjamhkan
dengan judul "Pengetahuan dan Kesucian" dan diterbitkan Pustaka Pelajar, tahun
1997. Dalam buku ini sangat jelas diungkapkan bagaimana ke duduakan
pengetahuan yang begitu suci, sesuci dengan fitrah manusia. Manusia kata Nasr
dilihat dari satu titik pandang yang pasti adalah makhluk sosial yang di depinisikan
para filosof dengan kemampuan melebihi dari makhluk yang lain.
9. The Need for a Sacred Science” pertama diterbitkan tahun 1993, kemudian
direvisi kembali, edition First published in the United Kingdom by Curzon Press
Ltd. St John’s Studios Church Road Richmond Surrey This edition published in the
Taylor & Francis Library, 2005. Dalam buku tersebut Nasr berbicara tentang Tuhan
sebagai realitas yang memanifestasikan diri pada berbagai tingkat dan kesadaran.
10. Traditional Islam in The Modern World, London dan New York, 1987 buku ini
diterjamahkan tahun 1994 diterbitkan Pustaka Bandung. Dalam buku ini Nasr
menjelaskan Antara Islam tradisional dengan modernisme, artinya eksistensi Islam
dipertanyakan mampukah ia bertahan dalam era globalisasi atau modern.
6
C. Pemikiran S. H. Nasr
I. Filsafat Perenialisme
9
Hanna Widayani, “Pemikiran Sayyid Hossein Nasr Tentang Filsafat Perennial”, Jurnal Al-Afkar,
Vol. 6, No. 1, (2017), 57
10
Hanna Widayani, “Pemikiran Sayyid Hossein Nasr Tentang Filsafat Perennial”, 60
11
Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in The Modern Word, (London: Worts-Power
Associates. 1987), 4-5.
7
Selain itu John F.Haugh dalam bukunya : Science and Religion; From
Conflict to Conversation. Mengajukan suatu pertanyaan yang sangat menggelitik,
apakah agama bertentangan dengan sains?, untuk menjawab pertanyaan itu Haugh
menjawab dengan empat pendekatan, yaitu pendekatan konflik, pendekatan
12
kontras, pendekatan kontak dan pendekatan konfirmasi . Apa yang menjadi
pemikian John F. Haugh adalah bahwa harus ada dialog antara sains dan agama,
karena berbeda dengan dunia Islam yang menselaraskan agama dengan sains.
Sementara Barat justru meyakini kebenaran ganda bahwa bahasa agama tidak bisa
dipahami dengan bahasa sains, bahasa agama hanya bisa dipahami dengan bahasa
agama, dan dengan instrument agama misalnya semacam pendekatan
hermeuneutic13, dan atau penafsiran-penafsiran lain. Sementara sains untuk
menguji harus melalui riset yang sistematis dilaboratorium, semakin diteliti akan
semakin diketahui titik lemahnya atau malah kelebihannya.
12
John F. Haugh , Science and Religion: From Conflict to Conversation, (New York: Paulist Press ,
1995). diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan Judul; Perjumpaan sains dan Agama,
(Bandung: Mizan, 2004), 1-2.
13
Richard E. Palmer, menjelaskan bahwa Hermeuneutika merupakan senjata paling jitu ketika
ingin memahami bahasa agama secara tematik, bahwa ketika ingin menjelaskan suatu tema
maka segala sesuatu yang berkaitan dengan tema itu harus digunakan, dengan demikian maka
segala sesuatu yang berkaitan dengan tema itu bahwa akan menjadi jelas dengan sendirinya.
Lihat, Richard E. Palmer, Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003), 14-15.
10
filsafat paripatik adalah sintesis ajaran-ajaran wahyu Islam, Aristotelianisme dan
neoplatonisme, baik Atenian maupun Alexsandrian, ditemukan pada abad III/IX
dalam iklim intlektual yang kaya di Bagdad oleh Abu Ya’qub al-Kindi (w.260/873).
Ia juga disebut filosof berkebangsaan Arab yang banyak karya-karyanya, dan telah
menyusun lebih dari dua ratus penjelasan secara rinci dalam kaitannya dengan sains
dan filsafat. Mulai darinsebuah kecenderungan yang mencirikan kelompok Muslim
bijaksana, yakni filosofis saintis dan tidak hanya filosof-filosof14. Inti dari filsafat
ini adalah menemukan kebenaran dimana pun ia ada.
Secara filosofis bisa dilihat ketika dunia Islam dalam keemasan, banyak
orang-orang ropa pada umumnya, sekitar kurang lebih abad pertengahan negara-
negara Barat mengalami kegelapan dan kemunduran. Setelah berapa saat
mengalami kemajuan dibidang filsafat khususya di negara Yunani di awala abad
Masehi. Alam pikir mereka cenderung mengarah pada profanistik. Sehingga Barat
harus mengakui kemundurannya. Kemajuan yang terjadi di dunia Islam, ternyata
14
Seyyed Hossein Nasr, Qutb al-Din Syirazi, dalam Dictionary of Saintifik Biography, Ed. C.
Gillespie (New York: Charles Scribner’s Sons, 1976), 53-247. Dapat juga anda jumpai dalam Alija
Ali Izet Begovic, seorang Filosuf asal Bosnia Herzegovina, dalam bukunya; Islam Between East and
West, (American: Trust Publication, 1984). Dan buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan judul: Membangun Jalan Tengah Islam antara Timur dan Barat, (Bandung:
Mizan, 1992), 281-284
15
Nurcholish Majid, Islam, kemodernan, dan keindonesiaan, (Jakarta: Mizan Pustaka, 2008), 47
11
memiliki daya tarik tersendiri bagi mereka orang-orang Barat. Maka pada masa
seperti inilah banyak orang-orang Barat yang datang ke dunia Islam untuk
mempelajari filsafat dan ilmu pengetahaun. Kemudian hal ini menjadi jembatan
informasi antara Barat dan Islam. Dari pemikiran-pemikiran ilmiah, rasional dan
filosofis, atau bahkan sains Islam mulai mau di transfer ke daratan Eropa. Kontak
antara dunia Barat dan dunia Islam pada lima abad berikutnya ternyata mampu
mengantarkan Eropa pada masa kebangkitannya kembali (renaisance) pada bidang
ilmu pengetahuan dan filsafat. Selanjutnya berkembang pada era baru yaitu era-
modern.
Zaman baru di Barat yang kemudian lazim dikenal sebagai abad modern
dimulai kurang lebih abad ke-17. Merupakan awal kemenangan supermasi
rasionalisme, empirisme, dan positifisme dari dogmatis agama. Kenyataan ini dapat
dipahami karena abad modern Barat ditandai dengan adanya upaya pemisahan
antara ilmu pengetahuan dan filsafat dari pengaruh agama (sekularisme). Perpaduan
antara rasionalisme, empirisme dan positifisme dalam satu paket epistemologi
melahirkan apa yang T.H Huaxley disebut dengan metode ilmiah (Scientific
Method). Munculnya aliran-aliran tersebut sangat berpengaruh pada peradaban
Barat selanjutnya. Dengan metode ilmiah itu, kebenaran sesuatu hanya mereka
perhitungkan dari sudut fisiologis-lahiriah yang sangat bersifat profanik
(keduniawian atau kebendaan). Aatau dengan istilah lain, kebenaran ilmu
pengetahuan hanya diukur dari sudut koherensi dan korespondensi16.
16
Abu Sahrin, “Agama dan Filsafat Perennial Perspektif Seyyed Hossein Nasr”, Al-Hikma: Jurnal
Theosofi dan Peradaban Islam, Vol. 1, No. 1, (2019), 16
12
Antropomorphisme, suatu tatanan yang semata-mata berpusat pada manusia.
Manusia menjadi tuan atas nasibnya sendiri. Hingga kemudian mulai bermunculan
gerakan-gerakan responsif dan alterratif sebagai respon balik terhadap prilaku
masyarakat modern yang tidak lagi mengenal dunia metafisik. Termasuk di
dalamnya tradisonalisme Islam yang dihidupkan Nasr, atau gerakan New Age di
Barat pada akhir dewasa ini.
Dunia modern di Barat yang dimulai sejak abad ke-17 M, merupakan awal
kemenangan supremasi rasionalisme, empirisme, dan positifisme dari dogmatisme
17
agama . Menurut T.H Huxley hubungan anatara rasionalisme, empirisme dan
positifisme yang terkandung dalam epistemologi melahirkan metode ilmiah 18 .
Dengan metode ilmiah ini, kebenaran sesuatu hanya diperhitungkan dari sudut yang
bersifat keindreawian dan kebendaan, sehingga menafikan sudut metafisika 19 .
Karenanya worldview Barat modern itu terkadang dikenal dengan Scientific
Worldview. Hal ini sejatinya telah diwarnai oleh paham sekularisme, rasionalisme,
empirisme cara berpikir dikotomi,desakralisasi, pragmatisme, dan penafian
kebenaran metafisis.
17
Muhammad Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern; Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, Terj.
Rahayu S. Hidayat, (Jakarta: INIS, 1994), 44
18
T.H. Huxley, “Method of Scientific Investigation”, dalam John R. Burr & Milton Goldinger (Ed),
Philoshopy and Contemporary Issues, Second Edition, (New York: Macmillan Publishing CO., Inc,
1976), 402.
19
Ali Maksum, Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern, (Surabaya: Pustaka Pelajar,
2003),
20
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature “The Spritual Crisis of Modern Man”, (London: George
Allen & Unwin, 1968), 5.
13
Akibatnya manusia modern menjadi pemuja ilmu dan teeknologi, sehingga
tanpa disadari akan mereduksi integritas kemanusiaannya, lalu terperangkap pada
jaringan sistem rasionalitas teknologi yang tidak manusiawi. Hal ini kata Nasr
dikarenakan akibat manusia modern memberontak dan melawan Tuhan dengan
menciptakan sebuah sains yang tidak berlandaskan kepada the light of intellect,
tetapi hanya berlandaskan kepada kekuatan akal manusia semata untuk memperoleh
data melalui indera21.
Akibat dari proses modernisassi yang dijalankan Barat ini, ternyata telah
menjadikan manusia modern kian dihinggapi rasa cemas dan ketidak bermaknaan
dalam hidupnya. Mereka juga telah kehilangan dimensi transendental atau visi
keilahiannya, karena itu mudah dihinggapi kehampaan spiritual. Sebagai akibatnya,
manusia modern menderita keterasingan (alienasi)23. Baik teralienasi dari dirinya,
dari lingkungan sosial maupun teralienasi dari penciptanya.
21
Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man, (London: ABC International Group,
1975), 5
22
Roger Garaudy, The Balance Sheet of Western Philosophy in this Century, dalam Toward
Islamization of Disciplines, (Malaysia: the Islamic Institute of Islamic Thought, Islamization of
Knowledge Series, No. 6, 1989), 397
23
Keterasingan atau alienasi berasal dari kata Inggris ‘Alienation’ dan dari kata Latin ‘Alienato’
yang berarti membuat sesuatu atau keadaan menjadi terasing. Lihat di Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, (Jakarta: Gramedia, t.th), 37
14
yaitu dimensi jasmani dan rohani24. Keduanya tidak dapat berjalan sendiri-sendiri,
melainkan harus bersinergis sehingga keduanya dapat berjalan secara seimbang.
Jika manusia hanya mengedepankan aspek lahiriah saja. Maka ia tidak berbeda
dengan binatang. Keduanya harus seimbang demi terciptanya hubungan yang
harmonis. Seorang manusia tidak bisa hidup hanya berorientasikan dunia lain saja
ataupun dunia ini saja. Jika keduanya hanya berjalan sendiri-sendiri, maka akan
menimbulkan kegagalan dalam pencapaian kesejahteraan25.
Dalam pernyataan tersebut maka semakin jelas bahwa kedua aspek tersebut
tidak dapat dipisahkan. Dari sini, bisa kita ketahui bahwa krisis spiritual yang
dialami manusia modern di atas disebabkan karena peradaban modern hanya tegak
di atas landasan konsep mengenai manusia yang tidak menyertakan hal yang paling
esensial dari manusia itu sendiri26. Pada hal ujar Nasr “Manusia terdiri dari tiga
unsur yakni : jasmani, jiwa dan intelek. Yang terkahir (intelek) ini berada di atas
dan dipusat eksistensi manusia. Karenanya ujar Nasr, esensi manusia atau hal yang
esensial dari sifat manusia hanya dapat dipahami oleh intelek (mata hati). Begitu
matahati tertutup maka tidak akan mungkin mencapai pengetahuan yang esensial
tentang hakekat manusia27.
24
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, (Kuala Lumpur:
ISTAC, 2001), 143.
25
M. Umer Chapra, The Islamic Welfare State and Its Role in the Economy, (Leicester: Islamic
Foundation, T.Th), 4.
26
Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man, 17
27
Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man, 13
28
Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man, 79
15
dari pada itu, untuk mengembalikan ksadaran Ilahiah ini sesorang perlu melatih
kekuatan dan mengasah kekuatan intellectusnya dengan cara
mengimplementasikan ajaran-ajaran sufisme. Dengan cara ini terjadi keseimbangan
antara kekuatan rasio yang berada di otak dengan kekuatan intellectus yang berada
di dalam dadanya. Karena itu hanya tawasuflah yang mampu melatih ketajaman
intellectus karena di dalamnya terdapat pendakian spiritual atau dalam istilah
tasawuf disebut dengan maqamat. Hal ini sebagaimana dikatankan Nasr bahwa :
Dengan cara ini maka akan terjadi keseimbangan angtara kekuatan rasio
yang berada di otak dan intellectus yang berada di dada, sehingga lahirlah
30
ketentraman dalam jiwa . Hal ini dikarenakan manusia menurut Nasr
sesungguhnya mempunyai kodrat “damba misti”. Dimana pada saat ketentraman
jiwa tidak lagi bisa di dapat dari terpenuhinya segala kebutuhan-kebutuhan materi
duniawi, maka rohani dalam hal ini akan berpaling kepada Tuhan dan mencari
kebahagiaan bersamanya adalah merupakan ssatu-satunya konsumsi untuk
memenuhi kelaparan jiwa manusia31.
29
Seyyed Hossein Nasr, Sufi Essays, Terj. Rahmat Ali, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), 90-95.
30
Ali Maksum, Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern, 118-119
31
Seyyed Hossein Nasr, Tasawwuf Dulu dan Sekarang, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), 20.
Dikutip dari buku: Asrifin An-Nakhrawie, Ajaran-Ajaran Sufi Imam Al-Ghazali, (Surabaya: Delta
Prima Press, 2013), 35.
16
kesadaran tentang kekuatan Yang Maha Tinggi yang merupakan awal dan tujuan
semua yang ada dan berada di atas alam ini32.
Karenanya di dalam Islam tasawuf itu ibarat jantung sebagai bagian inti dari
pewahyuan Islam. Hal ini dikarenakan tasawuf telah memberikan energi dan
semangat kedalam seluruh aspek dalam Islam, baik aspek sosial maupun
intelektual. Sehingga akhirnya Nasr menyimpulkan bahwa berbagai isu dan
permasalahan dalam sejarah Islam tidak mungkin mampu diselesaikan tanpa
memandang peran yang telah dimainkan Tasawuf34.
2. Hasan Hanafi
A. Biografi Hasan Hanafi
Hassan Hanafi, lahir di kota Kairo, Messir tepatnya pada 13 Februari tahun
1935, ia berdarah Maroko dari kakeknya. Hasaan Hanafi sudah hafal Al-Qur’an
saat usia 5 tahun.35 Pendidikan Hassan Hanafi diawali dengan pendidikan dasar,
dan tamat tahun 1948, lalu di lanjutkan dengan Madrasah Tsanawiyah Khalil Agha,
di Kairo selesai pada tahun 1952. Selama di Tsanawiyah, Hanafi sudah aktif
mengikuti diskusi-diskusi kelompok Ikhwanul Muslimin, karena itu ia paham akan
pemikiran yang dikembangkan dan aktivitas aktvitas sosial yang dilakukan oleh
organisasi tersebut.
32
Lihat di Q.S. Al-Rum [30]: 30:30. Ibnu Katsir menafsirkan bahwa “Fitrah itu adalah Islam, artinya
beragama/ bertuhan meurpakan fitrah manusia”. Ibnu Katsir, Tafsir alQur’an al-Adzim, Juz 6, (Dar
Tayyibah li Nasyr wa al-Tawzi’, 1999), 314.
33
Seyyed Hossein Nasr, Sufi Essays, Terj. Rahmat Ali, 83
34
Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man, 204
35
Riza Zahriyal Falah dan Irzum Farihah. Pemikiran Teologi Hassan Hanafi. Fikrah: Jurnal Ilmu
Aqidah dan Studi Keagamaan, Volume 3, No.1, Juni 2015
17
Hassan Hanafi melanjutkan perguruan tingginya di Universita Kairo dengan
jurusan Filsafat Fakultas Adab dan lulus pada tahun 1956 dengan menyandang gelar
sarjana muda. Ia mendapatkan penghargaan atas tesisnya untuk penulisan karya
ilmiah terbaik di Mesir. Lalu ia melanjutkan studi nya ke Universitas Sorbone, di
Prancis dan menyelesaikan program Master dan Doktor sekaligus dengan tesis
berjudul Les Methodes d’Exegeses: Essei sur La Science des (Essei tentang Metode
Penafsiran) pada tahun 1966. Perjalanan Ilmiah Hanafi selama di Perancis
berlangsung selama kurang lebih 10 tahun yang membuatnya memiliki kesan abadi
pada perkembangan intelektualnya yang membuatnya berucap “itulah barat yang
aku pelajari, aku cintai, aku kritik dan akhirnya aku benci”.36 Namun, walaupun
dikemudian hari ia mengkritik dan bahkan menolak barat, tetapi tidak bisa
dipungkiri bahwa ide-ide liberalisme barat, demokratisasi, rasionalisme, dan
pencerahannya telah merasuk dan mempengaruhi pemikiran-pemikiran hanafi.
36
M. Ridlwan hanbali, “Hassan Hanafi: dari Islam Kiri, Revitalisasi Turats hingga
Oksidentalisme” dalam M. Aunul Abied (ed). Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur
Tengah (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 218.
18
umat Islam, bahkan menjadi kajian yang menarik dan layak untuk diteliti dan
dikembangkan.37
37
Riza Zahriyal Falah dan Irzum Farihah. Pemikiran Teologi Hassan Hanafi. Fikrah: Jurnal Ilmu
Aqidah dan Studi Keagamaan, Volume 3, No.1, Juni 2015
38
Hassan Hanafi, al-Yamin wa al-Yasar, hlm. 160-171.
19
b. At-Turas wa at-Tajdid
Nama “Kiri Islam” dipilih secara spontan. Kiri dalam ilmu politik berarti
perlawanan dan kritisisme. Ia juga masuk ke dalam terminologi ilmu tentang
manusia. Ia merupakan terminologi akademis, nama “Kiri Islam” juga sesuai
dengan realitas kaum Muslim yang terbagi ke dalam dua kelompok. Dan, “Kiri
39
Hassan Hanafi, Islamologi 1: dari Teologi Statis ke Anarkis (Yogyakarta: LKiS, 2007), hlm. 1.
20
Islam” memihak pada kelompok yang dikuasai, tertindas, miskin, dan tersingkir.
Maka, “Kiri Islam” menyajikan “Kiri” dalam konotasinya yang akademis. “Kiri
Islam” muncul atas dasar telaah terhadap sejumlah program modernisasi dalam
masyarakat kita.
Marzuki Agung Prasetya, Model Penafsiran Hassan Hanafi, Jurnal penelitian: Vol. 7. No. 2,
40
21
C. Rekonstruksi Pemikiran Teologi Islam Hassan Hanafi
Hanafi mengajukan konsep baru tentang teologi Islam, gunanya untuk
menjadikan teologi Islam tidak sekedar dogma keagamaan, tetapi menjadikan
sebagai ilmu perjuangan sosial, dan keimanan berfungsi secara aktual sebagai
landasan etik dan motivasi tindakan manusia. Gagasan Hanafi yang terkait tentang
teologi berusaha untuk mentransformulasikan teologi tradisonal yang bersifat
teosentris menuju antroposentris, dari Tuhan kepada manusia, dari tekstual kepada
kontekstual, dari teori kepada tindakan, dari takdir menuju kehendak bebas.
Pemikiran ini didasarkan pada dua alasan; pertama, kebutuhan akan adanya
sebuah teologi yang jelas ditengah pengaruh global diantara berbagai idiologi.
Kedua, pentingnya teologi baru yang bukan hanya bersifat teoritik, tetapi sekaligus
41
juga praktis yang bisa mewujudkan sebuah gerakan dalam sejarah . Untuk
mengatasi kekurangan teologi klasik yang dianggap tidak berkaitan dengan realitas
sosial.
42
Hasan Hanfi menawarkan dua teori . Pertama, analisa bahasa; dalam
istilah teologi klasik adalah warisan nenek moyang dalam bidang teologi, seolah-
olah sudah menjadi doktrin yang tidak bisa diganggu-gugat. Menurut Hasan Hanafi,
istilah-istilah dalam teologi sebenarnya tidak hanya mengarah pada yang
transenden dan ghaib, tetapi juga mengungkap tentang sifat-sifat dan metode
keilmuan yang empirik, rasional seperti iman, amal dan imamah, yang historis
seperti nubuwwah dan ada pula yang metafisik, seperti Tuhan dan hari akhirat.
Kedua, analisis realitas; menurut Hasan Hanafi, analisis ini dilakukan untuk
mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi dimasa lalu, dan
pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat atau para penganutnya. Selanjutnya
analisis realitas berguna untuk menentukan steressing bagi arah dan orientasi
teologi kontemporer.
41
Ridwan, Reformasi. hal. 50.
42
Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, hal. 408.
43
Baullara, Hasan Hanafi terlalu teoritis untuk dipraktekan dalam Islamika, Idisi I Juni-september
1993, hal. 21.
22
metode pemikiran yang didasarkan atas asumsi bahwa perkembangan proses
sejarah terjadi lewat konfrontasi dialektis dimana tesis melahirkan antitesis,
kemudian melahirkan syntesis. Hasan Hanafi menggunakan metode ini, ketika
sebelumnya menjelaskan tentang sejarah perkembangan pemikiran Islam. Hanafi
berusaha untuk menjelaskan kalam yang datang dari yang Maha Tinggi. Yang
dilakukan Hasan Hanafi terhadap kalam klasik ini sama dengan apa yang dilakukan
Marx terhadap pemikiran Hegel. Menurut Marx pemikiran Hegel berjalan di
kepalanya, untuk bisa berjalan normal ia harus diturunkan ke kakinya44. Artinya
kalam klasik yang terlalu theosentris harus dirobah menjadi nyata, harus dipahami
secara jelas.
Hanafi bukan mengikuti metode dialektika Hegel atau Marx, apa yang
dilakukan Hanafi didasarkan pada khazanah keilmuan dan realitas sosial muslim
sendiri. Hanafi sendiri mengkritik secara tajam metode dialektika Marx, yang
dinilainya gagal dalam memberi arahan kepada kemanusiaan. Dialektika Hegel dan
45
Marx justru membawa pada paham totalitarianisme . Kemungkinan Hanafi
terilhami inspirator revolusi sosial Iran; Ali Syariati ketika ia menggunakan metode
dialektikanya dalam menyatakan bahwa manusia adalah syntesa antara ruh Tuhan
sebagai tesanya dan syetan sebagai antitesanya.
44
Bertens, Filsafat Abad XX Prancis, Gramedia, Jakarta 1996, hal.235
45
Hasan Hanafi, Origin of Modern Conservation and Islamic Fundametalism, Amsterdam,
University Of Amsterdam, 1979. hal 1-2. Yang dikutip oleh Ridwan, dalam Reformasi Intelektual.
hal. 70.
46
Ridwan, Reformasi Intelektua, hal. 22. Yang dikutip dari Hanafi, Dirasah al-Islamiyah, Al-
Maktabah al-Misriyah, Kairo, 1981, hal. 415.
23
Hasan Hanafi juga menggunakan metode hermeunetik untuk menjelaskan
gagasannya mengenai antroposentrisme-teologis; dari wahyu kepada kenyataan,
dari logos sampai praktis, dari pikiran tentang Tuhan sampai pada manusia47. Apa
yang disebut hermeunetik, bagi Hanafi bukanlah sekedar ilmu interpretasi, tetapi
ilmu yang menjaelaskan tentang keinginan Tuhan kepada tingkat dunia, dari yang
sakral menjadi realitas sosial. Hermeunetik Hanafi dipengaruhi metode
hermeunetik Bultmann, tetapi tidak terlalu signifikan. Kelihatannya Hanafi
menggunakan aturan hermeunetik secara umum yang bersifat triadic kemudian
mengisinya dengan nuansa Islam sehingga menjadi khas Hanafian.
47
Hanafi, Muqaddimah fi ilm al-Istighrab, Dar al-Faniyah, Kairo 1981, hal. 63
48
Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, Pustaka Firdaus Jakarta, 1991, hal. 1
49
Khalid al-Baghdadi, Al-Iman wa al_islam, Hakekat Kitabivi, Istambul, 1986. hal. 21.
24
mengalihkan pandangan umat Islam yang cenderung metafisik menuju sikap yang
lebih berorientasi pada realitas empirik. Menurut Hanafi dalam Islam tidak sekedar
Tuhan langit, tetapi juga Tuhan bumi, sehingga berjuang dan membela dan
mempertahankan tanah kaum muslimin, sama dengan membela dan
mempertahankan kekuasaan Tuhan.
Sifat mukhalafatulil hawadits yang berararti berbeda dengan alam dan sifat
qiyamuhu binafsih merupakan deskripsi tentang titik tolak dan gerakan yang
dilakukan secara terencana, dan penuh kesadaran untuk mencapai sebuah tujuan
akhir, sesuai dengan segala potensi dan kemampuan diri. Selanjutnya sifat
wahdaniyah yang berarti keesaan, merupakan pensucian Tuhan dari kesyirikan
yang ditujukan kepada paham politheisme, tetapi lebih mengarah pada
eksperimentasi kemanusiaan tentang kesatuan.
Penafsiran kalam yang bersifat materi dan duniawi ini, maka apa yang
dimaksud dengan istilah tauhid, dalam pandangan Hasan Hanafi bukan konsep yang
50
Hanafi, Min al-Aqidah ila al-Tsaurah, II. hal.600.
25
menegaskan tentang keesaan Tuhan yang dituka pada paham poltitheisme, tetapi
lebuh pada kesatuan pribadi manusia yang jauh dari perilaku dualistik seperti
hipokrit, kemunafikan atau perilaku oportunistik. Menurut Hasan Hanafi apa yang
dimaksud dengan tauhid bukan merupakan sifat dari sebuah dzat (Tuhan), deskripsi
ataupun sekedar konsep kosong yang ada hanya dalam khayal belaka, tetapi lebih
mengarah pada sebuah tindakan kongkret, baik dari sisi penafsiran maupun dalam
penetapan.
26
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sayyed Hossein Nasr dan Hassan Hanafi merupakan bagian tokoh pemikir
kontemporer. Seyyed Hossein Nasr adalah seorang cendikiawan Islam yang ahli
dalam bidang filsafat dan juga sejarah ilmu. Seyyed Hosein lahir pada 7 April 1933,
tepatnya di kota Teheran, Iran. Kota Teheran adalah kota yang melahirkan para sufi,
filosof, ilmuwan juga penyair muslim terkemuka tak terkecuali Seyyed Hosein.
Seyyed Waliullah Nasr, ayah Seyyed Hosein adalah seorang ulama terkenal di Iran
juga seorang dokter dan pendidik pada masa itu. Seyyed Hossein Nasr ini adalah
seorang yang punya kemampuan untuk membicarakan tentang perjumpaan antara
tradisi dan modernitas antar Timur dan Barat. Ia juga menggali kajian kajian Islam
secara objektif dan juga jujur.
Hassan Hanafi. Teologi Islam yang dianut oleh mayoritas umat Islam saat
ini menurut Hassan Hanafi belum bisa mengantarkan umat Islam kepada keyakinan
atau pengetahuan yang meyakinkan tentang Tuhan dan wujud-wujud spiritual
lainnya, tetapi baru pada tahap mendekati keyakinan. Selain itu menurutnya,
konsep-konsep teologi yang dianut umat Islam saat ini lebih berisi konsep-konsep
yang melangit dan ideide kosong, bukan ide-ide konkret yang bisa membangkitkan
dan menuntun umat untuk menjalani kehidupan nyata dan seakan konsep-konsep
tersebut seperti asing bagi dirinya sendiri dan orang banyak.
B. Saran
Setelah mengetahui kisah, biografi kehidupan, karya-karya serta pemikiran
Sayyed Hosein Nasr dan Hassan Hanafi, maka perlu kita meneladani sifat beliau
yang taat dan tegas dalam bidang agama, sosial dan bahkan politik. Begitu juga
dalam hal akidah, tetap istiqomah. Semoga kita semua selalu barokah. Amin.
27
DAFTAR PUSTAKA
Ali Maksum. 2003. Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern:
Telaah Signifikansi Konsep Tradisionalisme Seyyed Hossein Nasr. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Abdurrahman Wahid dalam Seyyed Hossein Nasr. 1983. Islam Dalam Cita
dan Fakta. Terj. Abdurrahman Wahid, Jakarta : Leppenas.
Hanafi. 1991. Dialog Agama dan Revolusi. Jakarta: Pustaka Firdaus Jakarta
Husein Nasr. 1972. Sufi Essays. New York: University of New York Press.
28
M. Ridlwan hanbali, 2001. “Hassan Hanafi: dari Islam Kiri, Revitalisasi
Turats hingga Oksidentalisme” dalam M. Aunul Abied (ed). Islam Garda Depan:
Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung: Mizan, 2001)
Riza Zahriyal Falah dan Irzum Farihah. 2015. Pemikiran Teologi Hassan
Hanafi. Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan, Volume 3, No.1.
Seyyed Hossein Nasr, Sufi Essays, Terj. Rahmat Ali, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1991), 90-95.
Seyyed Hossein Nasr. 1994. Tasawwuf Dulu dan Sekarang. Jakarta: Pustaka
Firdaus. Dikutip dari buku: Asrifin An-Nakhrawie, Ajaran-Ajaran Sufi Imam Al-
Ghazali. 2013. Surabaya: Delta Prima Press.
Helmi Zul, 2019, Rekonstruksi Pemikiran Hasan Hanafi Dalam Bidang Teologi
Islam, Artikel.
29