Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH ILMU KALAM

PEMIKIRAN KALAM HARUN NASUTION DAN NURKHOLOS MADJID

Di susun Oleh:
Ernia Sapitri
(1911560016)
Fridiyanto Cahyono
(1911560019)

Dosen Pengampu: Dr. Moh. Dahlan, M.Ag

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM


PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) BENGKULU
2021/1442

i
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh..


 Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah  ini dengan judul
“Pemikiran Kalam Harun Nasution dan Nurkholis Madjid” serta tak lupa pula penulis
haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Nabi kita Muhammad SAW yang telah
membawa kita dari zaman kebodohan menuju zaman yang sekarang ini yakni zaman yang
penuh dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Makalah ini di persiapkan dan di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Ilmu
Kalam” serta menambah wawasan dan ilmu pengetahuan, semoga makalah yang disusun ini
bisa bermanfaat.
 Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh...
Jum’at, Juni 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul.................................................................................................. i
Kata Pengantar..................................................................................................
ii
Daftar Isi........................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan.................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pemikiran Kalam Harun Nasution......................................................... 3
B. Pemikiran Kalam Nurkholis Madjid...................................................... 7

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan............................................................................................. 12
B. Saran........................................................................................................ 13

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
 

A. Latar Belakang
Ilmu kalam atau teologi sudah kita kenal sejak zaman Khulafaur Rasyidin, menurut
Harun Nasution kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut
peristiwa pembunuhan Ustman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Muawiyah atas
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ilmu kalam atau teologi dari masa ke masa mengalami
perkembangan yang cukup pesat, banyak tokoh-tokoh pemikir ilmu kalam bermunculan. Dan
memiliki argumentasi yang berbeda-beda, sehingga persoalan-persoalan yang mengenai ilmu
kalam atau teologi itu sendiri semakin serius untuk dibahas. Karena dari permasalahan
tersebut akan memicu timbulnya pemikiran-pemikiran yang baru dan tanggapan dari
berbagai tokoh-tokoh ilmu kalam itu sendiri.
Ketika Islam memasuki periode perkembangan dan memanfaatkan kebudayaan
(filsafat) Yunani, ajaran Islam mulai dipahami dengan semangat rasionalisme yang berbeda
dengan masa awal (generasi Salafus Shalihin), dimana Islam dipahami, diamalkan secara
sederhana, murni, utuh dan penuh semangat. Sejak saat itulah berkembang berbagai macam
ilmu, kebudayaan dan peradaban Islam. Sejalan dengan semangat tersebut, pemahaman dan
pengamalan Islam menjadi sangat kompleks dan beragam.1 M. Mukti Ali mendeskripsikan
adanya tiga pola pendekatan pemahaman ajaran Islam yang dilakukan umat Islam, yaitu
pendekatan naqli (tradisional), aqli (rasional) dan kasyfi (mistik).2 Ketiga pendekatan
tersebut, masih terus berlangsung hingga sekarang ini.
Arus rasionalisasi cepat melanda dunia Islam abad modern ini dan membawa
pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan ilmu-ilmu keislaman. Pengaruh tersebut juga
sangat dirasakan di Indonesia, terutama sejak tahun 1970-an. Sejalan dengan
perkembangannya, kajian-kajian rasional keislaman dan kajian tentang pemikiran kalam pun
terangkat ke permukaan, bahkan ia menjadi topik kajian menarik dalam konteks kekinian dan
kemoderenan, karena kalam merupakan salah satu persoalan esensial dalam kajian
keagamaan.
1
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Cet. XXV; Bandung: Mizan, 2003), h. 368-369
2
H. A. Mukti Ali, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam (Cet. I; Bandung: Mizan, 1991), h. 19

1
Gagasan untuk mengkaji Islam sebagai nilai alternatif baik dalam perspektif
interpretasi tekstual maupun kajian kontekstual mengenai kemampuan Islam memberikan
solusi baru kepada temuan-temuan di semua dimensi kehidupan akhir-akhir ini semakin
merebak luas. Penguasaan lebih mendalam mengenai wawasan pemikiran secara filosofis,
terutama penjelajahan intelektual terhadap gagasan berpikir Barat yang seakan tak
terbendung lagi datangnya bagi kaum muslimin sudah dimulai sejak abad ke-19 pemikir-
pemikir muslim sedang bergelut kuat menemukan jati diri pemikirannya agar bisa
memanfaatkan ide-ide yang merayap tak terhingga sebagai akibat modernisasi berpikir
radikal yang diterapkan Barat.3
Salah satu corak pemahaman keislaman yang dianut sebagian kecil masyarakat
muslim di Indonesia adalah Islam rasional, oleh orang yang memiliki latar belakang
pendidikan tinggi atau orang yang mempelajari Islam pada perguruan tinggi di Barat.
Munculnya paham rasionalis di Indonesia seiring dengan munculnya gerakan pembaharuan
dalam Islam. Salah satu tokohnya adalah Harun Nasution.4
Dengan adanya permasalahan-permasalahan tentang ilmu kalam ini akan menambah
wawasan keilmuan bagi para tokoh pemikir itu sendiri maupun bagi orang-orang yang
terlibat dalam keilmuan tersebut. Banyaknya tokoh-tokoh yang memiliki latar belakang yang
berbeda, maka banyak pula pemikiran-pemikiran dari mereka yang berbeda tentang
permasalahan ilmu kalam ini. Oleh karena itu, akan di bahas teologi atau ilmu kalam yang
mengacu pada dua tokoh yaitu: Harun Nasution dan Nurkholis Majid.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemikiran kalam menurut Harun Nasution?
2. Bagaimana pemikiran kalam menurut Nurkholis Majid?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pemikiran kalam menurut Harun Nasution
2. Untuk mengetahui pemikiran kalam menurut Nurkholis Majid

3
Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam, Ed. I (Cet. I; Jakarta:
Raja Grafindo Persada,1998), h. 235
4
H. Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, Ed. I (Cet. I; Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2001), h. 73

2
BAB II
PEMBAHASAN
 
A. Pemikiran Kalam Harun Nasution
a. Biografi Harun Nasution
Harun Nasution lahir Selasa, 23 September 1919 di Pematang Siantar, Sumatera
Utara. Ia adalah seorang guru besar filsafat Islam, penyeru pemikiran rasional bagi umat
Islam Indonesia dan pembaharu.5 Ia adalah putra keempat dari Abdul Jabbar Ahmad, ulama
serta pedagang dan menjadi kadi dan penghulu di Pematang Siantar. Ibunya adalah seorang
keturunan ulama Mandailing, Tapanuli Selatan, pernah bermukim di Mekkah. Selama 7
tahun ia belajar di HIS (Hollandseh-Inlandsce School) dan tamat pada tahun 1934 ketika
berumur 14 tahun. Pelajaran yang disenangi adalah ilmu pengetahun alam dan sejarah.
Kemudian ia melanjutkan studi Islam ke tingkat menengah yang bersemangat modernis,
Moderne-Islamietische Kweek School (MIK) di Bukit Tinggi, menyelesaikannya pada
tahun 1937. Di sekolah ini sudah mulai terlihat kecerdasan dan daya kritisnya. Pada tahun
1938 ia melanjutkan studi ke Ahliah Universitas al-Azhar, tamat pada tahun 1940 dan
selanjutnya menjadi kandidat di Universitas yang sama pada tahun 1942. Harun
menyelesaikan studi sosial dengan gelar sarjana muda dari Universitas Amerika di Cairo
pada tahun 1952. Walaupun di universitas ini, Harun tidak mendalami Islam tetapi ia
mendalami ilmu pendidikan dan ilmu-ilmu sosial.
Interupsi terhadap kegiatan studinya terjadi ketika ia memulai karir sebagai diplomat.
Pada mulanya ia bekerja di kantor Delegasi, kemudian menjadi perwakilan Republik
Indonesia di Cairo. Pada tahun 1953, ia kembali ke Indonesia dan bertugas di Departemen
Luar Negeri bagian Timur Tengah. Tugas diplomatnya di luar negeri berlanjut kembali sejak
ia bekerja di Kedutaan Republik Indonesia di Brussel mulai akhir Desember 1955. Selama 3
tahun bekerja di sana ia banyak mewakili pimpinan ke berbagai pertemuan, terutama karena
kemampuannya berbahasa Belanda, Perancis serta Inggris dan penguasaannya terhadap
masalah politik luar negeri Indonesia ketika itu.6

5
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid 4, Cet. 3 (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1994), h. 19
6
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid 4...h. 19

3
Situasi politik dalam negeri Indonesia pada tahun 60-an membuatnya mengundurkan
diri dari karir politik dan pulang ke Mesir. Di Mesir ia kembali menggeluti dunia ilmu di
sebuah Sekolah Tinggi Studi Islam, di bawah salah seorang ulama fiqh Mesir terkemuka,
Abu Zahra. Ketika belajar, di sinilah Harun mendapat tawaran untuk mengambil studi Islam
di Universitas McGill, Montreal, Kanada.7 Pada tahun 1965 ia memperoleh gelar magister
dari universitas tersebut dengan judul tesis: The Rise of Idiologi, The Movement for its
Creation and the Theory of the Masjumi. Tiga tahun berikutnya (tahun 1968), ia
memperoleh gelar Doktor (Ph.D.) dalam bidang studi Islam pada Universitas McGill dengan
disertasi yang berjudul The Place of Reason in ‘Abduh’s Theology: Its Impact on His
Theological System and Views.
Pada tahun 1969, Harun kembali ke tanah air, dan melibatkan diri dalam bidang
akademis dengan menjadi dosen pada IAIN Jakarta, IKIP Jakarta dan Universitas Nasional.
Kegiatan akademis ini dirangkapnya dengan Jabatan Rektor pada IAIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta selama 11 tahun (1973-1984), menjadi Ketua Lembaga Pembinaan Pendidikan
Agama IKIP Jakarta dan terakhir menjadi Dekan Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta sejak tahun 1982. Harun Nasution telah menulis buku dan semuanya
menjadi buku teks terutama di Lingkungan IAIN seperti halnya: Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya, 2 Jilid (1974), Teologi Islam (1977), Filsafat Agama (1978), Filsafat
dan Mistik dalam Islam (1978), Aliran Modern dalam Islam (1980), dan Muhammad Abduh
dan Teologi Mu’tazilah (1987), dan sebagainya.
b. Pemikiran Kalam Harun Nasution
Harun Nasution dikenal sebagai seorang intelektual muslim yang banyak
memperhatikan pembaharuan dalam Islam dalam arti yang seluas-luasnya, tidak terbatas di
bidang pemikiran saja seperti teologi, filsafat, mistisisme (tasawuf) dan hukum tetapi juga
meliputi seluruh segi kehidupan kaum muslimin. Ada beberapa pemikiran maupun ide
pembaharuan8 yang dilontarkan oleh Harun Nasution dalam pemikiran keagamaan umat
Islam, khususnya masyarakat Indonesia, yaitu:

7
Zaim Uchrowi ”Menyeru Pemikiran Rasional Mu’tazilah”, dalam Aqib Suminto (Ketua Panitia),
Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan
Filsafat, 1989), h. 3.

4
1. Peranan Akal
Harun Nasution memilih problematika akal dalam sistem teologi Muhammad Abduh
sebagai bahan kajian disertasinya di Universitas McGill, Montreal, Kanada. Besar kecilnya
peranan akal dalam sistem teologi suatu aliran sangat menentukan dinamis atau tidaknya
pemahaman seseorang tentang ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini Harun Nasution
menulis demikian, “Akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah, manusia
mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain sekitarnya. Bertambah
tinggi akal manusia, bertambah tinggilah kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain.
Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah rendah juga kesanggupannya
menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut”.8
Di dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan
dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam
perkembangan ajaran- ajaran keagamaan Islam sendiri. Bukanlah tidak ada dasarnya kalau
ada penulis-penulis baik di kalangan Islam sendiri maupun di kalangan non Islam yang
berpendapat bahwa Islam adalah agama rasional.9
2. Pembaharuan Teologi
Pembaharuan teologi yang menjadi predikat Harun Nasution. Pada dasarnya
dibangun atas asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia (juga
di mana saja) adalah disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka. Pandangan ini
serupa dengan pandangan kaum modernis lain pendahulunya (Muhammad Abduh, Rasyid
Ridha Al-Afghani, Sayid Amer Ali, dan lain-lain) yang memandang perlu untuk kembali
kepada teologi Islam yang sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat Islam
dengan teologi fatalistic, irasional, predeterminisme serta penyerahan nasib telah membawa
nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak
mengubah nasib umat Islam. Menurut Harun Nasution, umat Islam hendaklah mengubah
teologi yang berwatak free-will rasional, serta mandiri. Tidak heran jika teori modernisasi
ini selanjutnya menemukan teologi dalam khazanah Islam klasik sendiri yakni teologi
Mu’tazilah.10

8
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Cet. 5; Jakarta:
Universitas Indonesia (UI-Press), 1986), h. 56
9
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1980), h. 101
10
Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997) h. 61

5
3. Hubungan akal dan wahyu
Salah satu focus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan akal dan wahyu. Ia
menjelaskan bahwa hubungan akal dan wahyu memang menimbulkan pertanyaan, tetapi
keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an.
Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-
galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.11
Dalam pemikiran Islam, baik di bidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi di bidang
ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepada teks wahyu.
Teks wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahu dan tidak untuk
menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan
kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Yang dipertentangkan dalam sejarah
pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks
wahyu dengan lain dari teks wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam
Islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.
Pemikiran-pemikiran Harun Nasution di atas, memengaruhi umat Islam pada
umumnya, terutama dalam pembaharuan Islam di Indonesia. Ini terbukti bahwa salah satu
corak paham keislaman yang dianut sebagian kecil masyarakat muslim Indonesia adalah
Islam rasional yang dipelopori oleh Nurcholis Madjid dan Harun Nasution.
B. Pemikiran Kalam Nurkholis Madjid
a. Biografi Nurkholis Madjid
Nurcholish Madjid (Cak Nur), lahir pada 17 Maret 1939/ 26 Muharram 1358 H., di
desa Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, sebuah kota tempat kelahiran organisasi Nahdlatul
Ulama (NU), dan ulama serta tokoh-tokoh NU. Pendidikan dasarnya diperoleh melalui
pendidikan-pendidikan tradisional NU, yang sangat memungkinkan baginya untuk
mengintensifkan kedalamannya dengan literatur-literatur klasik. Sementara pada masa
remajanya, ia disekolahkan di Pesantren Gontor, sebuah pesantren yang bersemangat
modernis. Di pesantren ini, Nurcholish mulai berkenalan dengan ide-ide modernis.

11
Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam..., h. 70

6
b. Pemikiran Kalam
Dari keseluruhan pembaruan pemikiran Islam Nurcholish di atas, apabila ditelusuri
dari sumbernya yang dalam, ia selalu berangkat dari konsep tawhîd, yang menurutnya
mempunyai efek pembebasan. Tawhîd dalam pemikiran Nurcholish, merupakan sentral dan
dari konsep itu ia transformasikan dalam bentuk pemikiran yang lebih praktis dan aplikatif
dalam kehidupan sosial umat Islam.
Kalimat tauhid (‫ )الاله االهللا‬mengandung dua ungkapan : peniadaaan (nafyu; negation)
dan pengukuhan (itsbat; affirmation), yakni “tiada tuhan selain tuhan”. Perkataan “tidak ada
tuhan” (dengan “t” kecil) adalah peniadaan , dan perkataan “melainkan Tuhan” (dengan “T”
besar) adalah pengukuhan. Pada yang pertama, berarti pembebasan manusia dari objek-
objek palsu dan mitologis, yaitu sikap menuhankan kepada selain Allah, maka setelah
kebebasan itu diperoleh, harus diisi dengan kepercayaan yang benar, yakni ketundukan
manusia kepada Tuhan atau Allah.12 Dalam posisi pemikiran seperti ini, pembaruan
Nurcholish dapat dipandang sebagai “purifikasi” (pemurnian kepercayaan kepada Tuhan).
Purifikasi itu akan tampak dari dua hal: (1) melepaskan diri dari kepercayaan palsu; (2)
pemusatan kepercayaan hanya kepada Yang Benar (Allah) yang memiliki dimensi
absolutisme.
Efek pembebasan tauhîd di atas, dari pembebasan yang bersifat individual, kemudian
akan mengalir kepada pembebasan sosial yang bersifat egalitarian. Dalam perpektif inilah, ia
membangun pandangannya tentang demokrasi dan keadilan sosial di Indonesia. Leih lanjut,
untuk menerapkan ajaran tawhîd, Nurcholish melakukan sosialisasi gagasannya dengan
mengutip bukan saja tokoh Islam seperti Muhammad Iqbal, tetapi juga mengambil pikiran
Karl Marx. Cara kerja semacam itu , bertujuan agar setiap orang tahu bahwa tidak ada
sesuatupun yang pantas disucikan selain Allah. Akibat dari tawhîd ini, papar Nurcholish,
adalah “Bolshevisme plus Allah”, artinya bahwa pandangan Islam terhadap dunia ini dan
masalah-masalahnya adalah sama dengan kaum Komunis (realistis, dilihat menurut apa
adanya, tidak mengadakan penilaian lebih dari apa yang sewajarnya dipunyai oleh obyek
itu), hanya saja Islam mengatakan adanya pandangan dunia (wtltanschaung) dalam
hubungan antara alam dan Tuhan itu sedemikian rupa, sehingga wajar bagaikan badan

12
Rasjidi, Koreksi Terhadap Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi ( Jakarta : Bulan Bintang, 1972
h. 72

7
dengan kepala di atas dan kaki di bawah (istilah Marx), artinya kepercayaan kepada Tuhan
mendasari pandangan pada alam, dan tidak sebaliknya, seperti pada ajaran materialisme
dialektika.
Pandangannya tentang tawhîd juga menjadi landasannya tentang kemungkinan
pengembangan etos kerja dari sudut Islam. Etos kerja dan disiplin tinggi harus berdasarkan
pada “dasar nilai kerja”, yang oleh Nurcholish disebut dengan “niat” (komitmen), yang
berkaitan erat dengan sistem nilai (value system).13 Bagi seorang muslim, niat atau
komitmen kerja itu harus selalu ditransendenkan pada Allah, sehingga mengerjakan sesuatu
demi mencari ridla Allah, dengan sendirinya berimplikasi bahwa kita tidak boleh
melakukannya dengan sembrono, seenaknya, dan tidak terprogram. Kerja harus diniati
dengan ikhlas dan ikhsan (mengerjakan secara optimal). Inilah, kata Nurcholish, etos kerja
yang perlu tumbuh bagi kaum Muslim, agar Indonesia menjadi bangsa yang maju dan
memiliki kualitas SDM yang tinggi di masa depan. Baginya, apabila umat Islam Indonesia
maju, berarti Indonesia juga akan maju, begitu pula sebaliknya. Maka, ia sangat yakin
bahwa maju mundurnya Indonesia sangat tergantung pada umat Islam itu sendiri.
Ikon pemikiran pembaruan Islam telah melekat pada diri Nurcholish. Pada usia yang
relatif sangat muda, ia sudah menjadi sosok pemikir muslim yang sangat kontroversial dan
telah menggoncang wacana pemikiran Islam di Indonesia. Gagasan dan pemikiran Islamnya
bisa dilacak dari keluarga, pendidikan, dan aktivitasnya dalam organisasi. Pemikiran
Nurcholish adalah hasil akumulasi perjalanan hidupnya sekaligus pengembaraan
intelektualnya (Thaha, 2004:72).
Dalam pandangan beberapa pengamat Islam, gebrakan-gebrakan Nurcholish
dipandang sebenarnya memiliki nuansa politis yang cukup besar. Bahwa satu sisi dengan
pemikirannya Nurcholish berhasil melunakkan ataupun mengeliminir sebagai upaya
menghindarkan tabrakan antara pergerakan Islam dengan Pemerintah. Pada sisi lain juga
dimaksudkan sebagai upaya pribadi beliau untuk mendapatkan legalisasi atau semacam
pengakuan diri atau kelompoknya (Husain, 2008:8).
Nurcholish berpandangan bahwa ketika Islam dimaknai secara formal apalagi sampai
pada ranah politik maka tidak akan terelakkan pasti akan menimbulkan ketegangan
ketegangan sektarian dan polarisasi berdasarkan sentimen keagamaan. Dengan kata lain
13
Rasjidi, Koreksi Terhadap Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi...., h. 75

8
formalisasi agama dalam ranah bangsa akan menimbulkan apa yang disebut politik identitas
yang sangat menghambat laju pluralisme yang sedang dibutuhkan bangsa Indonesia dalam
menghadapi banyak keanekaragaman budaya dan agama masyarakatnya guna membangun
komitmen bersama sebagai satu bangsa.14
Kritiknya yang keras terhadap fundamentalisme ditujukan kepada proses stigmatisasi
terhadap sebagian kalangan umat Islam yang mendorong tegaknya syariat Islam di
kehidupan negera. Dalam konteks ini pemikiran inklusif Nurcholish yang liberal nampaknya
muncul sebagai perimbangan terhadap pemahaman agama yang formal-eksklusif.
Pemikiran-pemikirannya yang kritis dan liberal juga merupakan refleksi intelektual dan
kesadaran moral spiritualnya terhadap tradisi keberagamaan yang cenderung formalistik dan
tekstual oriented.
Ia mulai mengembangkan teologi inklusif sebagai syarat niscaya menciptakan
kerukunan agama dalam konteks Indonesia yang plural. Karena teologi ekslusif sebagai
dipandang tidak kondusif lagi dan bahkan seringkali menjadi embrio dan pemicu konflik
horisontal. Disamping itu pemikiran Nurcholish juga merupakan imbas dari kesadaran
makro umat Islam untuk mengubah paradigma keberagamaan yang selama ini tekstual-statis
menjadi kontekstual dinamis.
Pada awal abad 20 diantaranya Iqbal dengan teorinya The Reconstruction of
Religious Thought in Islam yang berpendapat bahwa literatur keislaman telah kehilangan
orisinalitasnya dan cenderung mengulang-ulang tentang tema yang sama, berawal dengan
teori dan metode yang sama tetapi berpangkal pada kesimpulan yang sama pula. Tradisi
pemikiran Nurcholish adalah tradisi pemikiran kritis seperti dikembangkan Fazlurrahman,
M. Arkoun, Hassan Hanafi dan lainnya. Tradisi ini bermula dari pemikiran filosofis-kritis
terhadap segala bentuk pemikiran manusia termasuk pemikiran keagamaan yang cenderung
melihat Islam historis pada umumnya adalah produk sejarah biasa. Dengan demikian secara
obyektif, pemikiran Nurcholish adalah sebuah mata rantai dari perjalanan pemikiran kritis
yang mungkin selalu ada di setiap ruang dan zaman yang hadir untuk menggedor tradisi
keagamaan yang dianggap telah mengalami proses fosolisasi atau kebekuan. Demikian
pengaruh pemikir terdahulu jelas mempunyai implikasi baik dalam sisi teori, pendekatan

14
Nasitotul Janah, CAKRAWALA: Jurnal Studi Islam, Vol. XII, No. 1, 2017, h. 46

9
ataupun metodologi. Seperti halnya dalam konteks hukum Islam, Nurcholish juga tidak
melepaskan pemikirannya dari maslahanya Imam Syatibi ataupun muqasyid syariah Ghazali.
Gerakan intelektual yang digagas Nurcholis pada tahun 1970±an dikenal dengan
Gerakan Pembaharuan Pemikiran Keagamaan. Bangkitnya gerakan ini dinilai sebagai suatu
gerakan yang paling radikal dalam pemikiran religiopolitik di Indonesia hingga saat ini.
Makna penting dari gerakan ini terletak pada upayanya untuk mereformulasikan postulat
doktrin Islam yang paling pokok berkaitan dengan masalah ketuhanan, kemanusiaan, dan
dunia, dan bentuk hubungan diantara semua aspek tersebut dalam realitas politik dan
kebangsaan. Berdasarkan reformulasi inilah Nurcholis dianggap oleh Kamal Hasan sebagai
akomodasionis.
Pendekatan Nurcholish dalam usaha memahami ajaran Islam lebih bersifat kultural
normatif ketimbang formal legalistik, sehingga ia lebih mementingkan komunitas dan
integralistik umat dari pada substansi sektarian individual. Nurcholish memformulasikan
ide-idenya tentang Islam kultural sebagai agama yang berperan utama sebagai sumber nilai
dan pedoman perilaku etika Islam di Indonesia. Namun demikian pemahaman keagamaan
Nurcholish lebih bersifat global, seperti umat harus menegakkan prinsip-prinsip ijtihad,
berpegang pada fiqih rasional dan bebas madzhab, memahami tauhid lebih berorientasi
kepada masa depan dan tidak sempit pada satu teologi tertentu saja.
c. Kerangka Teoritis Nurkholis Madjid
Kerangka konseptual seluruh pemikiran Nurcholish dibangun dari sebuah pertanyaan
yang fundamental yaitu bagaimana Islam yang universal bisa ditempatkan dalam kerangka
kemodernan dan budaya lokal. Islam adalah universal dan implikasi dari keuniversalannya
adalah bahwa Islam harus dapat dipahami dan dilaksanakan pada setiap ruang dan waktu.
Dengan demikian Islam bisa bahkan harus disesuaikan dengan kemodernan. Jika terjadi
konflik antara ajaran Islam dan pencapaian modernitas, maka yang harus dilakukan adalah
bukan menolak modernitas tersebut melainkan menafsirkan kembali ajaran tersebut (Madjid,
2000:493).
Nurcholish memisahkan antara firman Tuhan dengan tafsirnya, ia membebaskan al-
Qur’an dari setiap wacana tunggal dan melepaskan syariah dari fiqih tunggal. Semua ayat al-
Qur’an punya dua makn satu harus dipahami oleh setiap generasi, yang lain mutlak dan
umum. Dalam batas-batas yang ditetapkan oleh prinsip-prinsip permanen dan historis

10
tersebut Islam akan terus berkembang. Namun demikian ia tetap terhindar dari relativisme
apalagi nihilisme dan absurditas nilai karena konteksnya pada firman Tuhan yang a-historis,
karenanya hanya mode ekspresinya yang berbeda menurut waktu. Berbeda dengan kalangan
tradisionalis yang literalis, sebagai sebuah pemikir yang kritis dengan liberal-rasional
sebagai watak khasnya, Nurcholish membedakan secara tegas antara doktrin Islam yang
bersifat universal, perenial dan trans-historis, dengan pemahaman Islam yang parsial,
temporal dan lokal. Doktrin adalah Islam cita dan idealita yang tak tersentuh perubahan,
sedang Islam empiris adalah sebaliknya, sangat rentan terhadap perubahan sehingga karakter
dasarnya adalah sangat akomodatif terhadap perkembangan zaman dan ruang lokalnya.
Nurcholish melihat tradisi pemikiran keagamaan Islampun merupakan hasil
akumulasi interprestasi manusia yang terikat oleh ruang dan waktu yang absurd dan nisbi.
Pengalaman manusia masing-masing jauh berbeda. Karenanya mempertahankan
universalitas dan otensitas Islam harus dilakukan justru dengan cara lebih melihat aspek
etika sosial dan spiritual keberagamaan yang bersifat terbuka ±inklusif bukan aspek legal
formal yang cenderung eksklusif-tertutup.
d. Pendekatan dalam Pengkajian
Berbeda dengan pemikiran klasik, dalam pandangan Nurcholish, absolutisme harus
diruntuhkan dan relativisme harus diteguhkan. Pemahaman yang dianggap kebenaran oleh
umat Islam, dalam pandangan Nurcholish kebenaran bukanlah taken for granted, statis dan
tidak berubah. Setiap pemahaman terhadap kebenaran adalah proses pencarian yang terus
menerus, karenanya ia tidak tunggal dan tidak final. Pemahaman terhadap kebenaran sangat
dipengaruhi oleh konteks ruang dan waktu. Karenanya ia tidak mutlak dan sangat memberi
ruang untuk dikritisi. Dengan asumsi seperti itu, maka tidak heran jika pemikirannya
dipenuhi tafsir baru, kritik, revisi, bahkan dekontruksi terhadap konsep-konsep Islam yang
selama ini sudah terlanjur dianggap kebenaran yang final. Tujuan akhirnya adalah untuk
menemukan makna baru yang lebih segar dan progresif.
Dalam menemukan gagasan-gagasan pemikirannya, Nurcholish senantiasa memakai
pendekatan humanistik, artinya upaya pembelaan terhadap harkat kemanusiaan lebih
ditekankan daripada klaim-klaim ketuhanan. Agama pada akhirnya harus membela umat
manusia daripada klaim ketuhanan. Pendekatan humanistik ini dalam pandangan Nurcholish
menjadikan agama lebih membumi, berdialog dengan konteks ruang dan waktu. Dalam

11
bahasa lain teosentrisme harus disatupadukan dengan antroposentrisme. Manusia
menemukan kepribadiannya yang utuh hanya jika memusatkan orientasi transendental
hidupnya pada Allah. Pemusatan oreintasi transendental ini harus dalam bingkai
antroposentrisme. Untuk membela kemanusiaan, maka harus dipetakan secara jelas dan tepat
wilayah keduniaan yang harus disekulerkan dan diprofankan dan apa yang menjadi wilayah
religius yang disakralkan dan dimutlakkan. Dalam pandangan Nurcholish kemanusiaan itu
universal, sehingga manusia didudukan secara equal tanpa membedakan perbedaan atribut
dan agama. Pendekatan humanistik inilah yang sejalan dengan upaya kemaslahatan manusia,
karena agama haruslah untuk kemaslahatan manusia bukan untuk agama itu sendiri.
e. Metode dalam Pengkajian
Berbeda dengan muslim tradisional, dimana bahasa al-Qur’an merupakan landasan
bagi pengetahuan mutlak tentang dunia, maka bagi Nurcholish bahasa alQur’an sederajat
dengan hakikat wahyu dan makna pewahyuan pada dasarnya tidak bersifat harfiah verbal
karena kata-kata dalam al-Qur’an sevara tidak langsung mengungkapkan makna pewahyuan,
maka dari itu diperlukan upaya pemahaman yang berbasis pada kata-kata dan mencari apa
yang sesungguhnya hendak diungkapkan atau diwahyukan melalui bahasa. Nurcholish
berhasil mengelaborasi bahasa-bahasa agama yang bersifat metafisis dan intuitif, menjadi
rasional dan obyektif dengan menggunakan metode filologi dan historis induktif serta teori-
teori sosial modern.
Sebagai seorang pemikir yang berpandangan bahwa Islam bisa dan bahkan harus
dimodernkan, maka menurut Nurcholish, jika terjadi konflik antara ajaran Islam dan
pencapaian modernitas, maka yang harus dilakukan adalah bukan menolak modernitas
tersebut melainkan menafsirkan kembali ajaran tersebut. Nurcholish mendasari epistemologi
pemikirannya dengan mempertimbangkan konteks nilai-nilai fundamental Islam yang
bersumber pada tradisi Islam klasik yang dipadukan dengan literatur dan metodologi modern
atas kasus-kasus actual. Dengan kata lain gagasan pembaruan Nurcholish berangkat dan
bertolak dari tradisi khazanah Islam klasik yang ditransformasikan dalam jargon dan
terminologi modern. Inilah watak dan karakter pemikirannya.

12
f. Corak berpikir Nurkholis Madjid
1. Keislaman, Keindonesiaan dan Kemoderenan
Pemikiran Cak Nur identik dengan keislaman, keindonesian dan kemoderenan,
bahkan beliau merupakan tokoh yang pertama kali mengungkapkan hal tersebut, hal ini
diungkapkan oleh Saifullah dalam Pena Almuslim “Mengawinkan keislaman, kemodernan.
Gagasan ini pertama kali dikemukan oleh Nurchalish Madjid pada era 70-an, dan sekarang
ini dirasakan pentingnya gagasan tersebut direaktualisasi dalam konteks pembangunan
karakter bangsa” .Kemudian mengenai corak pemikiran Cak Nur yang keislaman,
keindonesian dan kemoderenan bisa diketahui melalui karya tulis beliau yang identik dengan
judul dan pembahasannya dengan tiga hal tersebut, salah satu bukunya berjudul “Islam
Kemoderenan dan Keindonesiaan”.15
2. Sekularisasi Islam
Pada tanggal 2 Januari 1970, Nurchalis Madjid menyampaikan pidato pada
pertemuan gabungan empat organisasi Islam, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pelajar
Islam Indonesia (PII), Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), dan Persatuan Sarjana
Muslim Indonesia (PERSAMI).Dalam makalahnya berjudul: Keharusan Pembaharuan
Pemikiran Dalam Islam dan Masalah Integrasi Umat, ia mengajukan pengamatan yang terus
terang bahwa kaum muslim Indonesia mengalami kemandekan dalam pemikiran
keagaamaan dan telah kehilangan “kekuatan daya gebrak psikologis” (psycological striking
force) dalam perjuangan mereka. Menurut Nurchalish Madjid usaha keras ini hanya dapat
dicapai apabila kaum muslimin mempunyai tingkat kepercayaan diri yang tinggi untuk
membiarkan gagasan-gagasan apapun, betapapun tidak konvensionalnya gagasan itu, untuk
dikemukakan dan dikomunikasikan secara bebas.16
3. Universalisme Islam
“Penekanan Nurchalis Madjid pada Islam yang bersifat rahmatan lil ‘alamin ini
merupakan kunci dari pemikirannya. Dengan penekanan ini Nurchalis Madjid ingin
“membebaskan” pengertian Islam dari penjara-penjara partikularisme. ”Mengenai konsep
Universalime Islam, Cak Nur mencurahkan Pemikirannya secara mendalam dalam buku

15
Saifullah, Pendidikan Karakter dalam Perspektif Pendidikan Islam, dalam Pena Almuslim, volume
2, nomor 2, h. 9
16
Madjid, Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Integrasi Umat Islam, dalam Nurcholis
Madjid et.al, Pembaharuan Pemikiran Islam, (Jakarta: Islamic Research Centre, 1970), h. 12

13
berjudul “Islam Universal”. Dalam buku tersebut secara garis besar membahas
partikularisme Islam dalam beberapa hal, bukanlah sesuatu yang harus ditolak, bahkan,
sekali lagi, bisa dan telah terbukti bermanfaat pada masyarakat atau komunitas-komunitas
tertentu. Dengan konsep ini, ada dua hal pokok yang bisa dicapai. Pertama, pengembalian
peran dan fungsi Islam pada konteks yang universal telah membuat baik ajaran maupun
pengikutnya menjadi lebih bebas memfokuskan perhatian pada masalah-masalah yang
menjadi agenda manusia secara universal.17
Kedua, dengan pengembalian fungsi dan peran Islam ke tempat yang abadi dan
universal, Nurchalish Madjid dan kalangan yang sepaham dengannya, telah pula sekaligus
mendekonstruksikan kemapanan lembaga-lembaga dan corak-corak pemikiran Islam yang
bersifat partikularistik. Dari pemaparan tentang biografi Cak Nur di atas, dapat penulis
tegaskan bahwa Nurchalish Madjid adalah sosok tokoh yang mempunyai andil besar dalam
khazanah keislaman di Indonesia. Gerakan pemikiran yang reformis membuka mata umat
Islam Indonesia bahwa Islam tidak harus terbelenggu dengan normative keislaman tetapi
lebih dari itu umat Islam Indonesia harus mampu melahirkan pemikiran yang cemerlang
melalui berbagai tulisan dan buah pikiran lainnya.

 
 
 
BAB III
17
Ibid, h. 13

14
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Harun Nasution adalah seorang
tokoh pemikir ilmu kalam/teologi di mana beliau memilki beberapa pemikiran-pemikiran
terkait dengan masalah ini, di antaranya yaitu: beliau pernah menulis bahwa Akal
Melambangkan Kekuatan Manusia, hal ini mengartikan bahwa dengan akal lah manusia
dapat melakukan berbagai aktivitas yang berkaitan dengan keperluan hidupnya. Dengan akal
manusia dapat mengalahkan makhluk lain, dan bertambah tingginya akal manusia maka
bertambah tinggi pula kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah
kekuatan akal manusia, bertambah lemah pulalah kesanggupannya untuk menghadapi
kekuatan-kekuatan lain tersebut.
Beliau juga berpendapat bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam
Indonesia (juga di mana saja) adalah disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka,
maka dari itu beliau memiliki pemikiran tentang pembaharuan teologi. Beliaupun
berpendapat bahwa ada hubungan antara akal dan wahyu. Akal mempunyai kedudukan yang
tinggi dalam Al-Qur’an, orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah
mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan
keagamaan.
B. Saran
Demikianlah pembahasan makalah mengenai pemikiran kalam di Indonesia menurut
Harun Nasution, Nurkholis Majid. Semoga dapat bermanfaat bagi rekan sekalian dalam
menambah literatur lainnya.
 

DAFTAR PUSTAKA

15
Abuddin Nata, tokoh-tokoh pembaharuan pendidikan islam di Indonesia, Jakarta: PT Rajawali
Grafindo Persada, 2004

Ali, A. H. Mukti. 1991. Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam. Bandung: Mizan

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. 1994. Ensiklopedi Islam. Jilid 4. Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve

Madjid, Nurcholis, 1997. Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta:  Paramadina

Madjid, Nurkholis, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan Transformasi


NilaiNilai Islam Menuju Masyarakat Madani, Cet. 6, Jakarta: Mediacita, 2002

Nata, Abuddin, H. 2001. Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia. Ed. I. Jakarta: Raja
Grafindo Persada

Nasution,Harun. 1980. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press

Nasution,Harun.1986. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta:


Universitas Indonesia (UI-Press)

Nasitotul Janah, Cakrawala: Jurnal Studi Islam, Vol. XII, No. 1, 2017

Rasjidi, 1972. Koreksi Terhadap Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi, Jakarta: Bulan Bintang

Sani, Abdul. 1998. Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam. Ed. I.
Jakarta: Raja Grafindo Persada,1998.

Shihab, M. Quraish. 2003. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Bandung: Mizan

Uchrowi, Zaim. 1989. “Menyeru Pemikiran Rasional Mu’tazilah”, dalam Aqib Suminto (Ketua
Panitia), Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution. Jakarta:
Lembaga Studi Agama dan Filsafat

16

Anda mungkin juga menyukai