Anda di halaman 1dari 26

IBN KHALDUN

(ANDALUSIA)

MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas dan Menjadi Bahan Diskusi
Pada Mata Kuliah Filsafat Islam Modern

Dosen Pengampu
Dr. Tien Rohmatin M.A

Oleh:
Muhammad Hakim Muhyiddin 11210331000008
Salsabilla Safitri 11210331000037
Raihan Azaria Kurniawan 11210331000071

AQIDAH FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2023/1444 H
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr Wb

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas

penulisan makalah filsafat islam modern yang berjudul “Ibnu Khaldun”. Kami

menyadari bahwa kami memiliki banyak kekurangan, sehingga kami mendapat

bantuan dan dorongan dari semua pihak.

Makalah ini disusun dalam rangka memberikan perdalaman materi

pembelajaran tentang Tokoh Filsafat Islam yaitu Ibnu Khaldun beserta Pemikiran

– pemikirannya mengenai Filsafat.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini jauh dari

kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta

masukan yang membangun dari berbagai pihak. Kami ucapkan semoga ini dapat

memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.

Wassalamualakum Wr Wb

Ciputat, 22 Maret 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
BAB I .......................................................................................................................1
PENDAHULUAN ...................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 1

C. Tujuan Masalah .................................................................................................... 2

BAB II .....................................................................................................................3
PEMBAHASAN .....................................................................................................3
A. Biografi Ibnu Khaldun ......................................................................................... 3

Karya – karya Ibnu Khaldun ...............................................................................7


B. Filsafat Pendidikan Ibn Khaldun ..............................................................9
Kurikulum Pendidikan .......................................................................................12
Pendidik Pendidikan Islam .................................................................................13
C. Filsafat Sejarah Ibn Khaldun ............................................................................ 14

Pengertian Sejarah ...............................................................................................15


Metode Historis ....................................................................................................16
Gerak Sejarah ......................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................23

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ibnu Khaldun (1332-1406 M) adalah seorang cendekiawan Muslim yang

hidup pada masa kegelapan Islam. Ia dipandang sebagai satu-satunya ilmuwan

Muslim yang tetap kreatif menghidupkan khazanah intelektualisme Islam pada

periode pertengahan. Ibnu Khaldun dalam lintasan sejarah tercatat sebagai

ilmuwan Muslim pertama yang serius menggunakan pendekatan historis dalam

wacana keilmuan Islam.

Ibnu Khaldun terkadang disebut sebagai seorang sejarawan, ahli filsafat

sejarah, sosiologi, ekonom, geografer, ilmuan politik dan lain-lain. Dikarenakan

Ibnu Khaldun telah berusaha menginterpretasikan peristiwa-peristiwa historis

secara filosofis, maka pada sisi ini banyak pakar telah memandang Ibnu

Khaldun sebagai Bapak Filsafat Sejarah. Dengan luasnya keilmuan Ibnu

Khaldun ini maka tidak heran jika ia diakui sebagai Ilmuan yang hebat baik oleh

bangsa Barat maupun Timur.

B. Rumusan Masalah

1. Siapakah Ibnu Khaldun ?

2. Bagaimana Pemikiran Filsafat Pendidikan Ibnu Khaldun ?

3. Bagaimana Pemikiran Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun?

1
C. Tujuan Masalah

1. Menjelaskan Biografi Ibnu Khaldun

2. Menjelaskan Pemikiran Filsafat Pendidikan menurut Ibnu Khaldun

3. Menjelaskan Pemikiran Filsafat Sejarah menurut Ibnu Khaldun

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Ibnu Khaldun

Nama lengkap Ibnu Khaldun ialah Waliyuddin Abdurrahman bin

Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Hasan bin Jabir bin Muhammad

bin Muhammad bin Abdurrahman bin Khaldun.1 Nasab Ibnu Khaldun digolongkan

kepada Muhammad bin Muhammad bin Hasan bin Jabir bin Muhammad bin

Ibrahim bin Abdurrahman bin Khalid.2 Beliau dikenal dengan nama Ibnu Khaldun

karena dihubungkan dengan garis keturunan kakeknya yang kesembilan, yaitu

Khalid bin Usman. Kakeknya ini merupakan orang pertama yang memasuki negeri

Andalusia bersama para penakluk berkebangsaan Arab. Banyak referensi yang

berbeda-beda mengenai nama lengkap dari Ibnu Khaldun. Selain yang telah

disebutkan diatas, pada kitab Muqaddimah terjemahan Masturi Irham, dkk.

menyebutkan bahwa nama asli dan nama yang lebih dikenal untuk Ibnu Khaldun

ialah Abdurrahman ibnu Khaldun al- Maghribi al-Hadrami al-Maliki.

Abdurrahman ialah nama kecilnya, digolongkan kepada al-Maghribi karena ia lahir

dan dibesarkan di Maghrib kota Tunisia, dijuluki al-Hadrami karena keturunannya

berasal dari Hadramaut Yaman Selatan, dan bergelar al-Maliki karena ia menganut

mazhab Imam Malik.3

1
Enan, Biografi Ibnu Khaldun, terj. Machnun Husein, 14.
2
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terj. Masturi Irham, 1079.
3
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terj. Masturi Irham, 1080

3
Ibnu Khaldun dilahirkan di Tunisia, Afrika Utara, pada 1 Ramadhan 732 H/27 Mei

1332 M, dan wafat di Kairo pada 25 Ramadhan 808 H/19 Maret 1406 M. Beliau

wafat dalam usianya yang ke-76 tahun (menurut perhitungan Hijriyah) di Kairo,

sebuah desa yang terletak di Sungai Nil, sekitar kota Fusthath, tempat keberadaan

madrasah al-Qamhiah dimana sang filsuf, guru, politisi ini berkhidmat.

Masa pendidikan ini dilalui Ibnu Khaldun di Tunisia dalam jangka waktu

18 tahun, yaitu antara tahun 1332-1350 M. Ibnu Khaldun mengawali pendidikannya

dengan membaca dan menghafal al-Qur’an. Seperti kebiasaan yang membudaya

pada masanya, pendidikan Ibnu Khaldun dimulai pada usia yang dini, dengan

pengajaran yang ketat dari guru pertamanya, yaitu orangtuanya sendiri. Kemudian

barulah beliau menimba berbagai ilmu dari guru-guru yang terkenal pada masanya

sesuai dengan bidangnya masing- masing. Misalnya, mempelajari bahasa Arab

dengan sastranya, al-Qur’an dengan tafsirnya, hadis dengan ilmu-ilmunya, ilmu

tauhid, fikih, filsafat dan ilmu berhitung.4 Beberapa gurunya yang berjasa dalam

perkembangan intelektualnya, yaitu: Abu 'Abdullah Muhammad ibnu Sa'ad bin

Burral al-Anshari dan Abu al-'Abbas Ahmad bin Muhammad al-Bathani dalam

ilmu al-Qur’an (qira'at), Abu ‘Abdillah bin al-Qushshar dan Abu ‘Abdillah

Muhammad bin Bahr dalam ilmu gramatika Arab (bahasa Arab), Syamsuddin

Muhammad bin Jabir bin Sulthan al-Wadiyasyi dan Abu Muhammad bin Abdul

Muhaimin bin Abdul Muhaimin al-Hadhramy dalam ilmu hadis, Abu ‘Abdillah

Muhammad al-Jiyani dan Abu al-Qasim Muhammad al-Qashir dalam ilmu fikih,

serta mempelajari kitab al-Muwatta’ karya Imam Malik pada Abdullah Muhammad

4
Dahlan Malik, Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, 31

4
bin Abdussalam. Sedangkan ilmu-ilmu rasional seperti filsafat, teologi, mantik,

ilmu kealaman, matematika, dan astronomi dipelajari dari Abu ‘Abdillah

Muhammad bin Ibrahim al-Abili. Ibnu Khaldun selalu mendapatkan pujian dan

kekaguman dari guru-gurunya.5

Dari sekian banyak guru-gurunya, Ibnu Khaldun menempatkan dua orang

gurunya pada tempat yang istimewa dan memberikan apresiasi (penghormatan)

yang sangat besar karena keluasan ilmu kedua gurunya ini, yaitu: Pertama, Abu

Muhammad bin Abdul Muhaimin bin Abdul Muhaimin al-Hadhramy, yang

merupakan imam para ahli hadis dan ilmu nahwu dalam ilmu-ilmu agama di

Maroko. Ibnu Khaldun sangat menghargai gurunya ini karena keluasan ilmunya

dalam bidang hadis, musthalah hadis, sirah, dan ilmu linguistik/bahasa. Darinya

beliau pun mempelajari kitab-kitab hadis, seperti al-Kutub al-Sittah dan al-

Muwatta’. Kedua, Abu ‘Abdillah Muhammad bin al- Abili, yang banyak

memberikannya pelajaran tentang ilmu-ilmu filsafat, meliputi ilmu mantik, biologi,

matematika, astronomi, dan juga musik.6

Disini dapat dilihat bahwa jenjang pendidikan yang ketat dengan bimbingan

banyak guru dan sejumlah kitab yang pernah dipelajari oleh Ibnu Khaldun

menggambarkan keluasan ilmu dan kecerdasan otak beliau yang sangat luar biasa,

serta memperlihatkan betapa beliau menjunjung tinggi nilai- nilai moralitas ilmiah.

Hal ini juga menunjukkan bahwa Ibnu Khaldun adalah orang yang memiliki ambisi

tinggi, yang tidak puas dengan satu disiplin ilmu saja. Pengetahuannya begitu luas

5
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terj. Masturi Irham, 1081-1082.
6
Ibid., 1082.

5
dan bervariasi. Dengan luasnya keilmuan Ibnu Khaldun ini tidak heran jika ia

dikenal sebagai ilmuan yang sangat berpengaruh oleh bangsa arab ataupun bangsa

timur itu sendiri.

Pada tahun 749 H, Tunisia dilanda wabah pes yang dahsyat. Padahal saat

itu, Tunisia merupakan pusat ulama dan sastrawan besar kota-kota di Timur dan

Barat, karena menjadi tempat berkumpulnya para ulama Andalusia yang tersingkir

dan lari menuju Tunisia akibat dari berbagai peristiwa politik. atau karena negara

mereka sendiri yang tidak ramah kepada mereka. Akibat dari wabah penyakit pes

yang mematikan ini, ketika berusia 18 tahun Ibnu Khaldun kehilangan kedua

orangtua dan beberapa orang gurunya. Sehingga beliau kesulitan dalam

melanjutkan pendidikannya karena sangat berduka cita tersebut. Melihat dampak

yang begitu besar, maka Ibnu Khaldun pun menamakan tragedi penyebaran wabah

pes ini sebagai Tha’un Jaarif (wabah yang membabi buta). 7 Akhirnya pada tahun

1354 M, Ibnu Khaldun ikut serta hijrah mengikuti sebagian besar ulama dan

sastrawan yang selamat dari wabah penyakit tersebut dan telah lebih dulu hijrah

menuju Fez di Maroko pada tahun 1349 M. Selanjutnya beliau kembali memulai

studinya kepada para ulama yang ada di Maroko. Adapun gurunya di Maroko

adalah Muhammad bin al-Saffar, Muhammad bin Muhammad al-Maqqari,

Muhammad bin Ahmad al-‘Alawi, Muhammad bin Abdul Salam, Muhammad bin

Abdul Razaq, Muhammad bin Yahya al-Barji, Ibnu al-Khatib, Ibrahim bin Zarrar,

dan Abdul Barakat Muhammad al-Ballafiqi.8 Pada masa pendidikannya di Maroko,

7
Dahlan Malik, Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, 36
8
Ibid., 37.

6
Ibnu Khaldun terlibat aktif dalam kegiatan ilmiah. Banyak buku dan karya-karya

ilmiah yang beliau hasilkan, namun karya-karya tersebut umumnya sangat sulit

dilacak karena tidak dijelaskan dalam Muqaddimah dan hanya terdiri dari buku-

buku kecil saja. Apalagi karya-karya kecil yang dihasilkan tersebut dinilai kurang

ilmiah oleh Ibnu Khaldun sendiri. Hanya ada tiga dari karya-karyanya yang

dianggap sebagai karya ilmiah oleh Ibnu Khaldun, yaitu: al-‘Ibar, Muqaddimah,

dan al- Ta’rif.

Karya – karya Ibnu Khaldun

Setelah menguraikan tentang masa pendidikannya, berikut ini akan dibahas

mengenai hasil karya-karya Ibnu Khaldun. Sebenarnya Ibnu Khaldun telah

menghasilkan berbagai banyak karya, namun banyak dari karya-karya tersebut

yang belum ditemukan ataupun yang tidak diterbitkan sama sekali. Meskipun Ibnu

Khaldun hidup pada masa dimana peradaban Islam mulai mengalami kehancuran,

akan tetapi beliau mampu tampil sebagai pemikir Muslim yang kreatif dan

melahirkan pemikiran-pemikiran besar dalam beberapa karyanya.

1. Jilid pertama disebut dengan kitab Muqaddimah

Muqaddimah ialah bagian pertama dari kitab al-‘Ibar yang membahas

tentang masyarakat dan gejala-gejalanya, seperti:

pemerintahan,kedaulatan,kekuasaan, otoritas, pencaharian, penghidupan,

perdagangan, keahlian,ilmu-ilmu pengetahuan, dan sebab-sebab, serta

alasan-alasan untuk memilikinya. Muqaddimah merupakan kekayaan yang

tidak terkira dalam warisan intelektual sastra Arab karena pemikiran dan

penelitiannya yang sangat luar biasa serta memuat berbagai metode gejala-

7
gejala sosial dan sejarahnya, memuat berbagai aspek kehidupan dan juga

ilmu pengetahuan. Hal tersebut membuat pemikiran Ibnu Khaldun tetap

dibicarakan hingga kini sebagaimana pemikir-pemikir besar lainnya

sepanjang masa.

Pada abad ke-15 ketika historiografi Eropa masih begitu terbelakang dan

tidak mengenal konsep-konsep karakter yang dikemukakan dan

dipertahankan Ibnu Khaldun, belum ada muncul sebuah buku pun yang

ditulis seperti Muqaddimah, yang membahas semua masalah dan

dikemukakan secara lebih mandiri, untuk membentuk pandangan dasar para

sejarawan modern. Para kritikus Barat menempatkan kitab Muqaddimah di

antara hasil-hasil pemikiran manusia yang paling tinggi dan paling bernilai.9

2. Jilid ke-2 hingga ke-5 disebut dengan kitab al-‘Ibar

Al-‘Ibar merupakan karya utama bagi Ibnu Khaldun. Adapun judul asli dari

kitab al-‘Ibar ini yaitu, Kitab al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar

fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa man Asharuhum min

Dzawi as-Sulthani al-Akbar (Kitab Pelajaran dan Arsip Sejarah Zaman

Permulaan dan Zaman Akhir yang Mencakup Peristiwa Politik mengenai

Orang-orang Arab, Non-Arab, dan Barbar, serta Rajaraja Besar yang

Semasa dengan Mereka).10 Karena judul kitab tersebut terlalu panjang,

sehingga dalam berbagai referensi pada umumnya sering disebut dengan

kitab al-'Ibar atau Tarekh Ibn Khaldun.

9
Enan, Biografi Ibnu Khaldun, terj. Machnun Husein,194.
10
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terj. Masturi Irham, 1085.

8
3. Jilid ke-6 dan ke-7 disebut dengan kitab al-Ta’rif Kitab ketiga yang terdiri

dari dua jilid ini berisi tentang sejarah bangsa Barbar dan suku-suku yang

termasuk di dalamnya, seperti suku Zanata, Nawatah, Mashmudah, Baranis,

serta asal-usul dan generasi-generasinya. Selanjutnya, Ibnu Khaldun pun

membahas tentang sejarah dinasti yang ada pada masanya, seperti Dinasti

Bani Hafs, Dinasti Bani ‘Abdul Wadd, dan Dinasti Bani Marin (Mariyin).

Pembahasan terakhir dari kitab ini ialah tentang Ibnu Khaldun yang

berbicara tentang dirinya sendiri. Beliau menyelesaikan penulisan kitab ini

pada awal tahun 797 H. Kitab ini berjudul al-Ta’rif bi Ibn Khaldun, Mu’allif

Hadza al-Kitab (Perkenalan dengan Ibnu Khaldun, Pengarang Kitab ini).

Kitab ini kemudian direvisi dan dilengkapi dengan hal-hal baru hingga akhir

tahun 808 H, beberapa bulan sebelum beliau wafat. Dengan demikian, karya

itu menjadi lebih tebal dan berganti judul menjadi al-Ta’rif bi Ibn Khaldun

Mu’allif Hadza al-Kitab wa Rihlatuh Gharban wa Syarqan (Perkenalan

dengan Ibnu Khaldun, Pengarang Kitab ini dan Perjalanannya ke Timur dan

Barat).11

B. Filsafat Pendidikan Ibn Khaldun

Selan dikenal sebagai tokoh pemikir islam, Ibnu Khaldun juga dikenal

mahir dalam ilmu sosiologi, sejarah, ekonomi, filsafat, sampai ke pendidikan.

Ibnu Khaldun membagi akal manusia menjadi tiga tingkatan yaitu; (1) al-'aql

al-tamyiz (pikiran yang membedakan), yaitu tingkat nalar yang paling rendah,

11
Ibid., 1086.

9
12
karena kapasitasnya terbatas hanya untuk mengetahui hal-hal yang bersifat

inderawi-empiris. Konsep-konsep yang muncul pada tataran berpikir ini

bersifat deskripsi atau deskripsi (al-tasawwurat). (2) al-'aql al-tarbiyyi (nalar

eksperimental) adalah kemampuan berpikir yang bersama-sama dengan

persoalannya menghasilkan gagasan yang berbeda dan pemikiran etis yang

berbeda untuk tatanan sosial. 3. (al-'aql an nadzari) akal spekulatif adalah akal

yang membekali manusia dengan ilmu ('ilm) atau ilmu hipotetis (dzan) yang

mengetahui sesuatu di luar persepsi indra tanpa tindakan praktis yang

berhubungan dengannya.13

Menurut Ibnu Khaldun, tujuan pendidikan bersifat multifaset dan universal.

Tujuan pendidikan tersebut antara lain:

1. Meningkatkan Pemikiran Ibnu Khaldun berpendapat bahwa salah

satu tujuan pendidikan adalah untuk mengaktifkan akal agar lebih

aktif dan melakukan aktivitas. Ini dapat dilakukan melalui pencarian

pengetahuan dan keterampilan. Melalui pencarian pengetahuan dan

keterampilan, seseorang dapat meningkatkan potensi pikirannya.

Selain itu, ini mendorong orang dengan potensi mereka untuk

memperoleh dan menyimpan informasi. Setiap orang memiliki

potensi intelektual sesuai dengan tingkat kemampuan yang

dimungkinkan. Potensi pikiran ini dapat dikembangkan dengan

12
Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran para Tokoh Pendidikan, (Bandung: Angkasa, 2003),
hlm. 254.
13
bnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Ahmadie Thoha (trj.), (Jakarta: Temprint, 1986), hal.
532.

10
cepat jika dilatih berulang-ulang untuk berpikir mandiri selama

proses pembelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan harus

tetap pada porosnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam

pendidikan tentunya terdapat proses dan kegiatan yang bertujuan

untuk mengembangkan potensi berpikir kreatif siswa melalui semua

metode pembelajaran yang digunakan.

2. Pembangunan Masyarakat Ilmu pengetahuan dan pendidikan

diperlukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat manusia ke

arah yang lebih baik. Semakin dinamis budaya masyarakat, semakin

kompeten dan dinamis keterampilan sosialnya. Oleh karena itu,

orang harus selalu berusaha memperoleh pengetahuan dan

keterampilan untuk hidup lebih baik dalam masyarakat yang

dinamis dan meningkatkan kreativitas. masyarakat yang lebih baik.

Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa pendidikan bukan hanya usaha

untuk mengembangkan seluruh potensi diri, tetapi memberikan

modal penting berupa keterampilan pribadi untuk dapat hidup

bermasyarakat. Seseorang yang menuntut ilmu pasti akan mengerti

dan mampu memahami tugas dan tanggung jawabnya sebagai

bagian dari masyarakat. Oleh karena itu, Ibnu Khaldun beranggapan

bahwa pendidikan memberikan kontribusi yang besar dalam

meningkatkan taraf hidup masyarakat.

3. Pendidikan dari segi spiritual adalah untuk meningkatkan

spiritualitas seseorang dengan cara mengamalkan ibadah, dzikir,

11
14
menyepi (menyendiri) dan menyendiri dari keramaian untuk

beribadah.

Kurikulum Pendidikan

Kurikulum adalah program pendidikan dengan tujuan pendidikan, isi,

metode dan penilaian pembelajaran. Keberadaan kurikulum sangat penting bagi


15
kelangsungan proses pendidikan. Menurut beberapa ahli, peran dan arah

kurikulum itu bermacam-macam, misalnya kurikulum humanistik, rekonstruksi

sosial, teknologi dan ilmu pengetahuan. Mengenai kurikulum, Ibnu Khaldun

merumuskan kurikulum yang tepat sebagai sarana pencapaian tujuan pendidikan.

Dalam kaitan ini, Ibnu Khaldun mengklasifikasikan ilmu ke dalam tiga

jenis; Pertama, kelompok ilmu lisan (linguistik) seperti ilmu nahwu, ilmu bayan,

dan ilmu sastra. Kedua, kelompok ilmu Naql, yaitu ilmu Kitab Suci dan Sunnah

Nabi. Semua pengetahuan yang ditransfer orang dari tempat asalnya dan diwariskan

dari generasi ke generasi. Semua informasi dan segala pengetahuan yang

ditransmisi manusia dari peletaknya dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Semua pengetahuan bersumber dari Tuhan. Ketiga, kelompok ilmu aqli, yaitu hasil

aktivitas berpikir manusia dicapai oleh manusia secara bertahap sejak awal

perkembangannya melalui aktivitas berpikir. Ibnu Khaldun berpandangan bahwa,

ilmu-ilmu tersebut perlu ada dalam sistem pendidikan Islam. Hal itu ada beberapa

14
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2005)
15
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam . . . hal. 129.

12
urgensi yang menjadi alasan beliau untuk mengelompokkan keilmuan tersebut; (a)

ilmu syari’ah dengan semua jenisnya (b) ilmu filsafat (rasio), ilmu alam (fisika)

dan ilmu ketuhanan (metafisika) (c) ilmu alat yang membantu ilmu agama, ilmu

bahasa, gramatika dan sebagainya. (d) ilmu alat yang membantu ilmu falsafah

(rasio), ilmu mantiq, ilmu ushul fiqh.

Pendidik Pendidikan Islam

Pendidikan menurutnya, akan berubah sesuai dengan perubahan sosial.

Ibnu Khaldun tidak membenarkan tindakan guru yang keras kepada murid-

muridnya, karena hal itu akan merusak akhlak anak didik dan perilaku sosial. Guru

harus mampu menarik perhatian muridnya, menjaga mereka hingga pikiran

mereka terbuka dan berkembang sendiri. Guru harus membiasakan perilaku yang

baik kepada murid muridnya, memberi contoh, dan tidak mengajari mereka dengan

perkataan saja Mengutip dalam bukunya Prof. Dr. Abd. Rachman Assegaf, yang

menyatakan bahwasanya; “Menurut pendapat Ibn Khaldun, guru atau ibu bapak

yang menggunakan kekerasan seperti memukul bisa menyebabkan anak-anak

tersebut belajar berdusta untuk membela diri dan demi mengelakkan pukulan

tersebut lagi. Oleh karena itu, kekerasan seperti ini tidak boleh digunakan karena

anak-anak akan lebih mendengar nasihat yang baik jika diberikan dengan lemah-

lembut dan hikmah.”

Metode Pendidikan Islam Metode dalam pendidikan Islam adalah aspek yang

penting, sebab metode merupakan faktor penentu keberhasilan dalam usaha dalam

mewujudkan tujuan pendidikan. Dalam metode tentunya pendidikan akan

13
diharapkan mampu melakukan aktivitas pembelajaran secara kreatif guna

membangun respon positif dari peserta didik. Sebaik apapun ulasan materi

pembelajaran yang disiapkan, jika tidak didukung dengan metode mengajar yang

baik tentunya tidak akan mencapai target maksimal dalam pencapaian tujuan

pendidikan. Ibnu Khaldun mengkritik para pendidik (guru) yang tidak memahami

metode mengajar dengan baik, misalnya memaksa anak untuk memforsir tanaga

dan pikirannya. Maka beliau menyarankan agar tidak terlalu lama memberikan

materi. Ibnu Khaldun menyarankan agar tidak menggunakan metode kekerasan.

Sebab, bila dididik dengan kekerasan maka akan membentuk karakter yang buruk

serta dipengaruhi bayang-bayang kekerasa itu sendiri. Dalam pandangan Ibnu

Khaldun, hukum yang keras di dalam pengajaran dapat berbahaya bagi peserta

didik, karena akan menyebabkan timbulnya kebiasaan buruk. Kekasaran dan

kekerasan dalam pengajaran dapat mengakibatkan bahwa kekerasan itu sendiri

akan menguasai jiwa dan mencegah perkembangan pribadi anak yang

bersangkutan.

C. Filsafat Sejarah Ibn Khaldun

Ibn Khaldun merupakan sejarawan sekaligus faylasuf—setidaknya dalam

konteks ini—terkemuka dalam dunia Islam. Ia turut menyumbangkan pelbagai

pemikiran dalam kajian sosial dan humaniora, terutama yang menjadi perhatian

utamanya, adalah sejarah dan aspek-aspek yang menyertainya. Ia sendiri melihat

sejarah sebagai suatu objek kajian yang kompleks dan serius. Lebih lanjut,

persoalan yang akan dihadapi pada filsafat sejarahnya adalah otentisitasnya, apakah

sejarah yang dituliskan itu sungguh terjadi [dengan pertimbangan kritis], atau hanya

14
tulisan meleset yang tak tentu arah historinya ke mana, atau justru sebagai

propaganda politis. Dengan cerdik Khaldun berhasil menemukan asal masalah dan

alternatif untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Racikan gagasan Khaldun ini turut dipuji oleh komentator Barat, di

antaranya Robert Flint dan Arnold Toybee, di mana keduanya mengagumi

bagaimana kecermatan dan ketepatan Khaldun dalam menyusun jejak-rekam masa

lampau menjadi suatu sejarah yang, tentunya, ilmiah. Maka tak berlebihan pula,

jika Flint menyebutkan bahwa Khaldun merupakan sejarawan kelas atas yang tak

tertandingi hingga datangnya Vico, seorang sejarawan terkemukan asal Prancis,

yang muncul beberapa abad sepeninggal Khaldun. Berikut akan dijelaskan

mengenai filsafat sejarah Khaldun secara sistematis.

Pengertian Sejarah

Definisi mengenai ‘sejarah’ bagi Khaldun dapat ditemukan dalam magnum

opus-nya, yaitu Muqaddimah. Di dalam bukunya itu, ia memerikan demikian:

sejarah adalah sebuah seni mengenai doktrin yang berharga, memiliki banyak

manfaat dan tujuan yang mulia; sejarah menginformasikan kepada kita tentang

bangsa-bangsa yang telah berlalu dalam konteks kebiasaan mereka, para nabi dalam

konteks kehidupan mereka, dan para raja dalam konteks negara dan politik mereka,

sehingga mereka yang mencari bimbingan (pelajaran) [dari] masa lalu baik dalam

15
hal duniawi maupun keagamaan dapat memperoleh keuntungan tersebut.16

Pengertian di samping mengindikasikan betapa kayanya sejarah itu.

Khaldun pun menerangkan lebih lanjut bahwa sejarah bukanlah pencatatan

pelbagai peristiwa penting melulu, melainkan rentang kisah masa lalu yang

kompleks, termasuk di dalamnya unsur politik, sosial, dan lingkungannya.

Metode Historis

Khaldun disebut-sebut [juga] sebagai sejarawan yang berhasil menunjukkan

bahwa ilmu sejarah itu saintifik—jika dibandingkan dengan pemikir Barat

semacam Comte, Khaldun jauh berbeda daripadanya. Hal ini dikarenakan Khaldun

berhasil menemukan ‘logika’ tersendiri dalam penelitian kesejarahan. Selain itu,

beberapa orang mengetahui dan mengenal Vico, filsuf Italia (1668-1744), dan

Montesquieu (1689-1755), sebagai penemu dari filsafat sejarah. Namun proyek

intelektual Khaldun (1332-1406) tak boleh dilupakan, bahwa ia juga menggagas

suatu filsafat sejarah yang, tentunya, melalui tahapan riset ilmiah—sebagaimana

dua tokoh di atas. Karenanya, temuan Ibn Khaldun patut dianggap sebagai science

of social.

Kendati demikian, bagian ini akan dimulai terlebih dahulu dengan kritikan

Ibn Khaldun atas tradisi penulisan sejarah yang berkembang di dunia dan Arab,

khusunya. Krtiknya akan meliputi dua hal, pertama, soal ‘sejarah yang palsu’; dan

kedua, pretensi narasi supranatural yang diikutsertakan dalam sejarah. Berikut

16
Khaldun, Muqaddimah.

16
kritik Khaldun atas sejarah yang palsu. Ia memerikan “penyebab kebohongan dalam

sejarah” dengan menyebutkan beberapa kriteria berikut contohnya: 1)

ketidaktahuan tujuan penulisan sejarah, 2) kurangnya sumber-sumber otoritatif, 3)

adanya niat tersembunyi, semisal ingin menyanjung penguasa atau membuat cerita

fiktif untuk melanggengkan kekuasaan, dan 4) kemalasan untuk menggunakan akal

sehat. Misalnya sejarah yang dicatat oleh al-Mas’udi dan sejarawan Arab [buruk]

lainnya, menjelaskan demikian: terdapat 600.000 pasukan Israel berusia sekitar 20

tahunan atau lebih, yang dibawa oleh Musa. Ibn Khaldun mengajukan keberatan

atas klaim sejarah di samping, ia mengajukan beberapa pertimbangan, bahwa 1)

ketika Yakub dan keluarganya memasuki Mesir, jumlah orang Israel saat itu hanya

70 orang, mengingat 2) jarak Yakub dengan Musa cuma empat generasi. Di sisi

lain, menurut ‘pengakuan’ orang Israel sendiri [saat itu], 3) menyatakan bahwa

kekuatan terbesar pada masanya, yakni milik Raja Salomo, dengan tantara

berjumlah 12.000 personil beserta 1.400 ekor kuda. Belum lagi kondisi tanah yang

diduduki (dikuasai) Israel hari itu sangat terbatas, 4) lantas bagaimanakah tanah

sekecil itu mampu menampung ratusan ribu pasukan?17 Artinya, sangat tidak masuk

akal dongeng yang diceritakan oleh al-Mas’udi dan kawan-kawan. Diperoleh

kesimpulan bahwa, contoh di atas merupakan kisah bohong yang pernah diwartakan

kepada khalayak

17
Al-Jubouri, Ibn Khaldun and the Philosophy of History, h. 2

17
Selain itu, Khaldun juga mengkritik penulisan sejarah yang dibumbui

narasi-narasi mitologis.18 Bahwa penambahan demikian (narasi supranatural) justru

menghilangkan sisi keilmiahan sejarah, dan menjatuhkannya menjadi sekadar seni

dan sastra. Itu artinya sejarah bukan lagi persoalan fakta masa lalu, melainkan

ceritera karangan yang, entah bagaimana, dianggap benar begitu saja. Misalnya,

cerita tentang terdapat seorang pemuda tampan yang, katanya saking tampannya,

ditulis bahwa ia diturunkan dari kayangan. Padahal setelah ditelusuri, pemuda itu

mendapatkan ketampanannya dari ayah dan ibunya secara genital, alih-alih dari

kayangan.

Melihat fenomena penulisan sejarah yang tidak ilmiah itu—dari dua

kritiknya di atas, dapat diketahui bahwa untuk menyelediki suatu sejarah—Khaldun

membuat suatu metode tersendiri untuk melacak suatu sejarah secara saintifik.

Metode tersebut ialah kritik, observasi, komparasi, dan pemeriksaan. Kritik, atau

‘membaca secara kritis’ ini diperlukan untuk menelusuri secara elaboratif apakah

yang dicatat oleh sejarah A atau sejarawan B itu masuk akal dan benar adanya.

Observasi, dalam artian kita memerlukan observasi empiris, karena sejarah

merupakan bagian dari kenyataan indrawi. Karenanya tidak sah dan memang tidak

bisa melacak peristiwa faktual menggunakan kacamata mitologis. Komparasi,

Khaldun menekankan bahwa terkadang terdapat beragam narasi mengenai satu

18
‘Logika sejarahnya’ membuang jauh-jauh ide-ide supranatural, sehingga penyelidikan historis

harus bersandar pada fakta-fakta indrawi, seperti peninggalan, catatan sejarah, dan sumber-sumber

fisik lainnya—pendekatan seperti ini nantinya digunakan oleh Positivisme modern.

18
peristiwa yang sama, atau ada peristiwa yang serupa di waktu yang berbeda. Itulah

mengapa membandingkan teks yang satu dengan yang lain dilaksanakan, untuk

mengetahui secara lebih cermat manakah peristiwa yang terjadi dengan tepat secara

kronologis. Dan, pemeriksaan, dimaksudkan untuk mengoreksi kembali catatan-

catatan historis yang telah orang lain garap atau hasil penelitian kita sendiri.

Sehingga kebenaran suatu sejarah, nantinya, dapat dibuktikan secara ilmiah melalui

beberapa metode di atas.

Khaldun pun memberikan kualifikasi ketat terkait ‘sejarawan yang baik’.

Baginya, sejarawan bukan sekadar orang yang meneliti peristiwa masa lalu,

melainkan diperlukan keahlian khusus. Berikut syarat-syarat sejarawan: 1) paham

betul mengenai peraturan politik dan perangai manusia; 2) memiliki pengetahuan

tentang lingkungan alam dan bagaimana perbedaannya terkait ruang dan waktu; 3)

mengenal lingkungan sosial dari pelbagai bangsa dengan ciri khasnya masing-

masing, termasuk di dalamnya pandangan moral, doktrin—kepercayaan atau

ideologi—yang dianut, dan gaya hidup; 4) paham dan mampu membedakan serta

mengomparasikan masa lalu dan masa kini; dan 5) mengetahui prinsip fondasional

yang mendasari [berdirinya] suatu negara atau institusi sosial tertentu.19 Sekiranya

menjadi terang kalau menjadi sejarawan yang baik diperlukan kerangka berpikir

yang logis, berparadigma ‘positivistik’, jika memang layak disebut demikian, dan

berpengetahuan luas nun menyeluruh terkait lingkungan atau sejarah yang ingin

dielaborasi.

19
Al-Jubouri, Ibn Khaldun and the Philosophy of History, h. 3

19
Gerak Sejarah

Khaldun juga tak luput membahas bagaimana hubungan antarmanusia dan

‘perjalanan’ suatu [struktur] negara. Nah, selaras dengan hubungan antarmanusia,

Khaldun memerikan beberapa karakteristik dasar manusia: 1) berusaha untuk

memenuhi kebutuhannya, 2) membutuhkan otoritas tertentu yang mampu

membatasi mereka (manusia), dan 3) adanya peradaban.20 Karena ciri khas manusia

yang demikian, maka teranglah bahwa yang fundamental dalam dunia manusia,

adalah kohesi sosial21, atau yang Khaldun istilahkan sebagai ‘ashabiyyah. Konsep

‘ashabiyyah ini nantinya akan menjadi pusat dari analisanya mengenai teori sejarah

Khaldun. Darinya (‘ashabiyyah) Khaldun akan menganalisa hubungan

antarmanusia dan struktur negara.

Basis (fondasi) bagi hubungan antarmanusia itu sendiri, adalah agama. Bahwa spirit

keagamaan mampu untuk, entah menggulingkan kekuasaan atau membangun suatu

peradaban yang mutakhir. Khaldun menyaksikan sendiri bagaimana agama

mempunyai peranan sangat penting dalam perkembangan peradaban. Namun spirit

religius itu memerlukan pemimpin yang tegas pula. Artinya, pemimpin di sini

sebagai pemegang otoritas juga menjadi motor bagi bergeraknya masyarakat—

ingat ciri dasar manusia nomor dua. Sehingga gerakan sosial tanpa adanya

20
Lakhsassi, “Ibn Khaldun,” h. 448
Kohesi sosial (‘ashabiyyah) yang dimaksud, adalah gerak Tarik menarik atau hubungan
21

antarmanusia yang saling memengaruhi satu sama lain

20
manajemen atau pengaturan masyarakat yang jelas menyebabkan ketidakjelasan

dalam arah masyarakatnya dan vice versa.

Selanjutnya, dalam konteks ‘gerak sejarah’22, akan dijumpai dua objek

utama kajiannya, yakni esensi peradaban [manusia] beserta unsur-unsur yang

meliputinya dan organisasi sosial. Elemen-elemen esensial bagi suatu peradaban

meliputi seni dan keterampilan, serta ilmu pengetahuan.23 Nah, dalam peradaban

itu terdapat struktur negara atau, seperti yang diistilahkan Gellner, ‘siklus para elite

suku’. Gellner sendiri menjelaskan teori sejarah Khaldun dalam ilustrasi tiga

lingkaran konsentris. Lapisan lingkaran dalam, isinya meliputi pemerintahan, di

mana mereka bebas pajak dan memberikan pengaturan serta keamanan bagi

lingkungan lingkaran tengah. Lingkaran tengah, beranggotakan warga sipil yang

dikenakan pajak oleh pihak lingkaran dalam beserta jaminan atas keamanan

mereka. Dan lapisan terakhir, yakni lingkaran luar, merupakan suku-suku yang

tidak terkena pajak.24

Tiga lingkaran itu, kemudian, diibaratkan dengan beberapa aktor, seperti

anjing gembala, serigala, dan kawanan domba. Lingkaran dalam menjadi anjing

gembala bagi lingkaran tengah, di satu sisi; dan menjadi serigala bagi lingkaran

22
Gerak di sini berarti perpindahan dari satu masa ke masa lainnya dengan melenyapnya masa

sebelumnya secara bergantian. Namun, Khaldun memahami sejarah itu sendiri sebagai

‘pengulangan tiada henti’, artinya jika tahap pertama dilalui, kemudian tahap selanjutnya, dan

seterusnya, sangat dimungkinkan ‘perputaran’ tahapan itu akan terjadi lagi dan lagi.
23
Lakhsassi, “Ibn Khaldun,” h. 446.

24
Gellner, Words and Things, h. 10.

21
luar. Di sini kawanan yang berada di lingkaran luar akan berseteru dengan serigala.

Perseteruan itu dapat diselesaikan dengan hadirnya ratu adil di dalamnya, dengan

syarat adanya ‘ashabiyyah yang diselipkan misi religius. Lalu, setelah berhasilnya

kudeta oleh kawanan domba terhadap para anjing gembala, kekuasaan sekarang

berada di kawanan domba. Kawanan domba akhirnya berubah menjadi anjing

gembala, dan perselisihan serigala [baru] dan kawanan domba akan terulang

kembali. ‘Gerak’ tersebut, menurut Khaldun, membutuhkan waktu sekitar 40 tahun

pada tiap tahapannya.25

25
Lakhsassi, “Ibn Khaldun,” h. 447.

22
DAFTAR PUSTAKA

Abderrahmane Lakhsassi, “Ibn Khaldun,” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver
Leaman, (ed.) Ensikloped Tematis Filsafat Islam, bag. Ketiga (Bandung:
Penerbit Mizan, 2003), h. 440-458.

Abdullah Enan, Muhammad. 2013. Biografi Ibnu Khaldun. Terj. Machnun Husein.
Jakarta: Zaman

Assegaf, Abd. Rachman, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam: Hadharah Keilmuan


Tokoh Klasik Sampai Modern, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013

Ernest Gellner, Words and Things (Penguin, 1986).

Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terj. Masturi Irham, Pustaka Al-Kautsar, 2011

Imaldadin Al-Jubouri, “Ibn Khaldun and the Philosophy of History,” dalam


Philosophy Now, vol. 50 (2005): 1-3.

Khaldun, Ibnu, Muqaddimah Ibn Khaldun, Ahmadie Thoha (trj.), Jakarta:


Temprint, 1986.

Kosim, Muhammad, Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Khaldun: Kritis, Humanis,


dan Religius, Jakarta: Rineka Cipta, 2012

Malik, Dahlan. 2007. Pemikiran Politik Ibnu Khaldun. Jambi: Sulthan Thaha Press.

23

Anda mungkin juga menyukai