Disusun Oleh :
Kelompok 7
AZ-ZAHRA (021111008)
ZUTHIFA(021111045)
SRINANDA KAPITANG ()
2022
1
KATA PENGANTAR
Makalah yang berjudul “biografi Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun” disusun
untuk memenuhi salah satu tuga mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam. Kami
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran yang sifatnya membangun demi kebaikan makalah ini, sangat diharapkan
dari para pembaca.
Akhir kata, semoga makalah sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................5
D. Bigrafi al-farabi..............................................................................................12
E. karya-karya al-farabi.......................................................................................14
A. Kesimpualan .......................................................................................................30
B. Saran ...................................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................31
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
adalah sebagai anggota majelis keilmuwan Sultan Abu Inal dari Bani Marin di ibu kota Fez.
Kemudian dia diangakat menjadi sekretaris Sultan pada tahun 1354 M. 1
Selain di dunia politik, Ibnu Khaldun juga mengajarkan ilmunya di masjid. Kemudian
dia pindah ke Biskarah. Dari Biskarah kembali ke Andalusia baru dan menuju ke Tilimsan
tahun 1374 M. di Tilimsan ini Ibnu Khaldun menemukan tempat untuk menulis dan membaca
di rumah bani Arif di dekat benteng Qal’at ibn Salamah sebagai tempat tinggal dan tinggal di
istanah Ibnu Salamah. Di tempat inilah selma empat tahun dia memulai karyanya yang
terkenal dengan kitab al-Ibar (sejarah universal).
Pada tahun 1378 dia meninggalkan istana dan meuju Tunisia. Selama di Tunisia dia
melakukan revisi terhadap karyanya dan naskah asli tersebut dihadiahkan kepada Sultan Abu
al- Abbas tahun 1382 M. Pada tahun 1382 M di pindah ke Alexandria dan menetap di Mesir.
Di Mesir ini Ibnu Khaldun mengajar di Masjid al-Azhar. Di masjid tersebut dia memberi
kuliah hadits, fiqih maliki, serta menerangkan teori-teori kemasyhurannya dalam kitab
Muqaddimah di samping juga dia mengajar di perguruan tinggi al-Azhar. Dia diangkat
sebagai hakim madzhab Maliki pada 1384 M dan aktif dalam dunia pendidikan.
Pada tanggal 25 Ramadhan 808 H bertepatan pada tanggal 19 Maret 1406. Ibnu Khaldun
meinggal pada usia 76 tahun. Untuk menghormati nama besarnya dia dia dimakamkan di
pemakaman sufi di Bab al-Nashr Kairo, yang merupakan makam para ulama dan orang-orang
penting.
1
pemikiran-ibnu-khaldun-perspektif-filsafat-pendidikan-islam
6
5. Syifa ‘al syail li tahdz.
Pandangan Ibnu Khaldun tentang pendidikan islam berpijak pada konsep dan
pendekatan filosofis-empiris. Menurutnya ada tiga tingkatan tujuan yang hendak dicapai
dalam proses pendidikn yaitu :
7
b.Peserta didik
Pesreta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah
potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan.
Pada dasarnya peserta didik adalah :
i. Peserta didik bukanlah merupakan miniatur oranf dewasa, akan tetapi memiliki
dunianya sendiri. Hal ini sangat penting untuk dipahami agar perlakuan terhadap
mereka dalam proses kependidikan tidak disamakan denga pendidikan orang dewasa,
bahkan dalam aspek metode, mengajar, materi yang akan di ajarkan, sumber bahan
yang digunakan dan sebagianya.
ii. Peserta didik adalah manusia yang memiliki diferensiasi peroidesasi perkembangan
dan pertumbuhan. Aktivitas kependidikan Islam disesuaikan dengan tingkat
pertumbuan dan perkemangan yang pada umumnya dilalui oleh setiap peserta didik.
Karena kadar kemampuan peserta didik ditentukan oleh faktor-faktor usia dan
periode perkembangan atau pertumbuhan potensi yang dimilikinya.
c. Kurikulum dan materi pendidikan
Pengertian kurikulum pada masa Ibnu Khaldun masih terbatas pada maklumat-maklumat
dan pengetahuan yang dikemukakan oleh guru atau sekolah dalam bentuk mata pelajaran
yang terbatas atau dalam bentuk kitab-kitab tradisisonal yang tertentu, yang dikaji oleh
murid dalam tiap tahap pendidikan.
Sedangkan pengertian kurikulum modern, telah mencakup konsep yang lebih luas yang
di dalamnya mencakup empat unsur pokok yaitu : Tujuan pendidikan yang ingin dicapai,
pengetahuan-pengetahuan,maklumat-maklumat,data kegiatan-kegiatan, pengalaman-
pengalaman dari mana terbentuknya kurikulum itu, metode pengajaran serta bimbingan
kepada murid, ditambah metode penilaian yang dipergunakan untuk mengukur kurikulum
dan hasil proses pendidikan.
Dalam pembahasannya mengenai kurikulum Ibnu Khaldun mencoba membandingkan
kurikulum-kurikulum yang berlaku pada masanya, yaitu kurikulum pada tingkat rendah yang
terjadi di negara-negara Islam bagian Barat dan Timur. Ia mengatakan bahwa sistem
pendidikan dan pengajaran yang berlaku di Maghrib, bahwa orang-orang Maghrib
membatasi pendidikan dan pengajaran mereka pada mempelajari al-Quran dari berbagia segi
kandunganya. Sedangkan orang-orang Andalusia, mereka menjadikan al-Quran sebagai
dasar dalam pengajarannya, karena al-Quran merupakan sumber Islam dan sumber semua
ilmu pengetahuan. Sehingga mereka tidak membatasi pengajaran anak-anak pada
mempelajari al-Quran saja, akan tetapi dimasukkan juga pelajaran-pelajaran lain seperti
syair, karang mengarang, khat, kaidah-kaidah bahasa arab dan hafalan-hafalan lain.
Demikian pula denga orang-orang Ifrikiyah, mereka mengkombinasikan pengajaran al-
Quran dengan hadits dan kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan tertentu. Adapun metode
yang dipakai orang Timur seperti pengakuan Ibnu Khaldun, sejauh yang ia ketahui bahwa
orang-orang Timur memiliki jeis kurikulum campuran antara pengajaran al-Quran dan
kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan. Dalam hal ini Ibnu Khaldun menganjurkan agar
anak-anak seyogyanya terlebih dahulu diajarkan bahasa Arab sebelum ilmu-ilmu yang lain,
8
krena bahas arab merupakan kunci untuk menyingkap semua ilmu pengetahuan, sehingga
menurutnya mengajarkan al-Quran mendahului pengajarannya terhadap bahasa Arab akan
mengkaburkan pemahaman anak terhadap al-Quran itu sendiri, karena anak akan membaca
apa yang tidak mengerti dan hal ini menurutnya tidak ada gunanya.
Adapun pandangannya mengenai materi pendidikan, karena materi adalah salah satu
komponen opersional pendidikan, maka dalam hal ini Ibnu Khaldun telah
mengklasifikasikan ilmu pengetahuan yang banyak dipelajari manusia pada waktu itu
menjadi dua macam yaitu :
1)Ilmu-ilmu tradisional (naqliyah)
Ilmu naqliyah adalah yang bersumber dari al-Quran dan hadits yang
dalam hal ini peran akal hanyalah menghubungkan cabang permalasahan
dengan cabang utama, karena informasi ilmu ini berdasarkan kepada otoritas
syari’at yang diambil dari al-Quran dan Hadits.
Adapun yang termasuk ke dalam ilmu-ilmu naqliyah itu antara lain: ilmu
tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadits, ilmu ushul fiqih, ilmu fiqh, ilmu kalam,
ilmu kalam, ilmu bahasa arab, ilmu tasawuf, dan ilmu ta’bir mimpi.
2) Ilmu-ilmu filsafat atau rasional (aqliyah)
Ilmu ini bersifat alami bagi manusia, yang diperolehnya melalui
kemampuannya untuk berfikir. Ilmu ini dimiliki semua anggota
masyarakat di dunia, dan sudah ada sejak mula kehidupan peradaban
umat manusia di dunia.
Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu filsafat (aqliyah) ini dibagi
menjadi empat macam ilmu yaitu :
i. Ilmu logika
ii. Ilmu fisika
iii. Ilmu metafisika, dan
iv. Ilmu matematika termasuk di dalamnya ilmu geografi,
aritmatika dan aljabar, ilmu musik, ilmu astronomi, dan
ilmu nujum.
Walaupun Ibnu Khaldun banyak membicarakan tentang ilmu geografi, sejarah dan
sosiologi, namun ia tidak memasukkan ilmu-ilmu tersebut kedalam klsifikasi ilmunya.
Setelah mengadakan penelitian, maka Ibnu Khaldun membagi ilmu berdasarkan
kepentingannya bagi peserta didik menjadi empat macam, yang masing-masing bagian
diletkkan berdasarkan kegunaan dan prioritas mempelajarinya. empta macam pembagian
itu adalah :
i.Ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari tafsir,hadits, fiqh, dan ilmu kalam.
ii.Ilmu ‘aqliyah, yang terdiri dari ilmu kalam, fisika, dan ilmu metafisika (ketuhanan)
iii.Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu filsafat, yaitu logika.2
2
Jurnal.uin.suska.riau/biografi al-farabi
9
d. Metode Pendidikan
Metode pendidikan adalah segala segi kegiatan yang terarah yang dikerjakan oleh guru
dalam rangka kemestian-kemestian mata peljaran yang diajarkannya. Ciri-ciri perkembangan
peserta didik dan suasan alam di sekitarnya dan tujuan membimbing peserta didik untuk
mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku
mereka.
Metode pendidikan sama halnya dengan metode pembelajaran (pengajaran),yang dimana
pemikiran Ibnu Khaldun tentang metode pendidikan terungkap lewat empat sikap reaktifnya
terhadap gaya para pendidik (guru) dimasa nya dalam empat dasar persoalan pendidikan.
Pertama, kebiasaan mendidik dengan metode “indoktrinasi”
terhadap anak-anak didik, para pendidik memulai dengan masalah-
masalah pokok yang ilmiyah untuk diajarkan kepada anak-anak didik
tanpa mempertimbangka kesiapan mereka untuk menerima dan
menguasainya. Maka Ibnu Khaldun lebih memilih metode secara
gradual secara sedikit demi sedikit, pertama-tam disampaikan
permasalahn pokok tiap bab, lalu dijelaskan secara global dengan
mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan kesiapan peserta didik,
hingga selesai materi per-bab.
Kedua,memilah-milah antara ilmu-ilmu yang mempunyai nilai
instrinsik, semisal ilmu-ilmu keagamaan, kealaman, dan ketuhnan,
dengan ilmu-ilmu yang instrumental, semisal ilmu-ilmu kebahasa-
araban, dan ilmu hitung yang dibutuhkan oleh ilu keagamaan, serta
logika yang dibutuhkan oleh filsafat.
Ketiga,Ibnu Khaldun tidak menyukai metode pendidikan yang
terkait dengan strategi berinteraksi dengan anak yang “militeristik” dan
keras, anak didik harus seperti ini dan itu, karena berdampak buruk
bagi peserta didik berupa munculnya kelainan-kelainan psikologis dan
perilaku nakal.
Keempat, Ibnu Khaldun mengajarkan agar pendidik bersikap sopan
dan halus pada peserta didik. Hal ini juga termasuk juga sikap orang
tua terhadap anaknya, karena orang tua adalah pendidik yang utama.
Selanjutnya jika keadaan memaksa harus memukul si anak, pemukulan
anak tidak boleh lebih dari tiga kali.
Ibnu Khaldun memberikan sedikitnya ada dua bentuk pembelajaran
yaitu :
1) Tahapan pembelajaran
10
Pembelajaran yang efektif dan efisien terhadap peserta didik
apabila dilakukan secara berangsur-angsur ,setapk demi setapak,
dan sedikit demi sedikit. Untuk itu apabila satu pembahasan
ingin dicapai dengan baik maka seorang guru harus
mengulangnya sedikit demi sedikit dan mengulangnya sampai
dapat dikuasai dengan benar oleh peserta didik, selain itu
seorang guru harus menjelaskan tujuan pembelajaran, hal ini
dimaksudkan agar peserta didik tidak bingung terhadap alur
pembelajarannya.
2) Concertie method (metode pemusatan)
Dalam kaitan ini komponen pendidikan sama-sama dituntut
untuk lebih fokus pada satu atau dua pilihan bidang pendidikan
saja, baik guru, para orang tua dan siswa. Dalam beberapa
referensi yang ada sepertinya sosok Ibnu Khaldun adalah seorag
yang menjunjug tinggi metode itu (spesialisasi pelajaran) dan
telaten.selain metode di atas Ibnu Khaldun dalam buku
Muqaddimah nya menjelaskan bahwa didalam memberikan
pengetahuan kepada anak didik, pendidik hendaknya:
i. Memberikan problem-problem pokok yang bersifat
umum dan menyeluruh, dengan memperhatikan
kemampuan akal peserta didik
ii. Setelah pendidik memberikan problem-problem yang
umum dari pengetahuan tadi baru pendidik
membahasnya secara lebih terperinci dan detail.
iii. Pada langkah ketiga ini pendidik menyampaikan
pengetahuan kepada peserta didik lebih terperinci dan
menyeluruh, dan berusaha membahas semua
persoalan bagaimanapun sulitnya agar peserta didik
memperoleh pemahaman yang sempurna.
11
A. Biografi Al-Farabi
Nama lengkap Al-Farabi adalah Abu Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tharkan Ibn
Auzalagh. Ia lahir di wasij. Distrik Farab (sekarang dikenal dengan kota Atrar/Transoxiana)
Turkinistan pada tahun 257 H (870M). Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia, dan
Ibunya berkebangsaan Turki[1]. Di kalangan orang-orang Latin Abad Tengah, Al-Farabi lebih
dikenal sebagau Abu Nasrh (Abunaser), sedangkan sebutan nama Al-Farabi diambil dari nama
kota Farab. Tempat ia dilahirkan.
Untuk memulai karir dalam pengetahuannya, ia hijrah dari negerinya ke kota Baghdad,
yang pada waktu itu disebut sebagai kota ilmu pengetahuan. Dia belajar selama kurang lebih dua
puluh tahun. Ia betul-betul memanfaatkan untuk menimba ilmau pengetahuan kepada: Ibnu Suraj
untuk belajar tata bahasa Arab, Abu Bisyr Matta Ibnu Yunus untuk belajar ilmu mantiq (logika).
Dari Baghdad Al-Farabi mencba pergi ke Harran sebgai salah satu pusat kebudayaan
Yunani di Asia Kecil. Disana ia berguru dengan Yohana Ibnu Hailan, namun tidak lama
kemudian, ia meninggalkan kot ini untuk kembali ke kota Baghdad. Di sini kembali mendalami
filsafat. Ia juaga mampu mencapai ahli ilmu mantiq (logika), kemudia ia mendapatkan
predikat Guru Kedua, maksudnya, ia adalah orang yang pertama kali memasukan ilmu logika ke
dalam kebudayaan Arab. Keahlian ini rupanya yang dialami oleh aristoteles sebagai Guru
Pertama, ia (Aristoteles)orang yang pertama yang menemukan ilmu logika.
Pada tahun 350 H. (941 M), Al-Farabi pindah ke Damsyik. Ia menetap di kota ini,
kedudukan Al-Farabi sangat diperhatikan secara baik oleh Saif Al-Dullah, kholifah dinasti
Hamdan di Allepo (Hallab). Sampai wafat Al-Farabi berusia 80 tahun. Pengalaman selama di
istana Siaf Al-Dullah, Al-Farabi dapat mengembangkan ilmunya dengan para sastrawan, ahli
bahasa, para penyair dan ilmu lainnya. Menjadilah ia filosuf yang terkenal pada masanya di
istana ini. Dalam kepandaian Al-Farabi di bidang filsafat, membawa pengaruh terhadap
kemajuan pemerintah Saif Al-Dullah, sebagaimana Al-Kindi yang dapat mencermelangkan
12
pemerintahan Al Mu’tasyim. Riwayat lain yang dikemukakan oleh Dr. Fuad Al Ahwani bahwa
Al-Farabi masuk ke Istana pemerintahan Sai Al-Dullah dengan pakaina sufi.
Pemikiran Al-Farabi pun datang banyak dari para ahli. Diantaranya Massignon (ahli
masalah ketimuran dari Prancis), bahwa Al-Farabi merupakan merupan filosuf Islam yang
pertama, dan Al-Kindi adalah orang yang membuka pintu filsafat Ynani bagi dunia Islam, akan
tetapi persoalan-persoalan yang memuaskan. Akan tetapi Al-Farabi telah menciptakan suatu
sistem filsafat yang lengkap. Bahkan Al-Farabi dapat memerankan peranan penting di dunia
Islam. Dalam pengembangan keilmuannya agar dapat meluas, ia telah memberikan keilmuannya
kepada , Ibnu Sina, Ibnu Rasyd serta filosuf-filosuf lainnya.
Karya Al-Farabi bila dibandingkan dengan karya muridnya seperti Ibnu Sina masih kalah
dengan jumlahnya. Dengan modal karangannya yang pendek yang berbentuk risalah dan sedikit
sekali jenis karangannya yang berupa buku besar dan mendalam dalam pembicaraannya. Sebagai
karangan Al-Farabi masih diketemukan dibeberapa perpustakaan, sehingga di dunia Islam dapat
mengenang dan mengabadikan namanya. Ciri khas tertentu yang ada pada karangannya adalah
bukan saja mengarang kitab besar atau makalah-makalah, namun juga memebri ulasan-ulasan
dan penjelasan terhadap karya Aristoteles, Iskandar Al Fraudismy, dan Plotinus.
Al-Farabi yang dikenal sebagai filsuf Islam terbesar memiliki keahlian dalam banyak
bidang keilmuan, seperti ilmu bahasa, matematika, kimia, astronomi, kemiliteran, musik, ilmu
alam, ketuhanan, fiqih, dan mantiq. Oleh karena itu, banyak karya yang ditinggalkan Al-Farabi,
namun karyanya tersebut tidak banyak diketahui seperti karya Ibnu Sina. Hali ini karena karya-
karya Al-Farabi hanya berbentuk risalah-risalah (karangan pendek) dan sedikit sekali yang
berupa buku besar yang mendalam pembicaraannya. Kebanyakan karyanya yang hilang, dan
yang masih dapat dibaca dipublikasikan, baik yang sampai kepada kita maupun tidak, kurang
lebih 30 judul saja. Diantar judul karyanya adalah sebagai berikut:
1. Al-Jam baina Ra ‘ayay Al-Hikimain Aflathun wa Arishur;
2. Thaqiq Ghardh Aristhu fi Kitab ma Ba’da Ath-Thabi’ah;
3. Syara Risalah Zainun Al-Kabir Al-Yunani;
4. At-Ta’liqat;
13
5. Risalah fima Yajibu Ma’rifat Qabla Ta’allumi Al-Falsafah;
6. Kitab Tahsil As-Sa’adah;
7. Risalah fi Itsbat Al-Mufaraqah;
8. ‘Uyun Al-Masa’i;
9. Ara’ Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah;
10 Maqalat fi Ma’ani Al-Aql;
11. Ihsa Al-Ulum wa At-Ta’rif bi Aghradita;
12. Fushul AlHukm;
13. Risalah Al-Aql;
14. As-Syiasah Al-Madaniyah;
15. Al-Masa’il Al-Falsafiyah wwa Al-Ajwibah Anha.
B. Filsafat AL-Farabi
1) Rekonsiliasi AL-Farabi
Al-Farabi telah berhasil mengrekonsiliasikan beberapa ajaran filsafat sebelumnya, seperti
Plato dan Aristoteles dan juga juda antara agama dan filsafat. Oleh karena itu, ia dikenal filosof
sinkretisme yang mempercaya kesatuan filsafat.
Al-Farabi berkeyakinan bahwa aliran filsafat yang bermacam-macam itu hakikatnya satu, yaitu
sama-sama mencari kebenaran yang satu, karena tujuan filsafat ialah memikirkan kebenaran
sedangkan kebenaran itu hanya satu macam dan serupa pada hakikatnya. Justru semua aliran
filsafat pada prinsipnya tidak ada perbedaan. Kalaupun berbeda, hanya pada lahirnya. Upaya ini
terealisasikan ketika ia mendamaikan pemikiran Aristoteles dengan Plato dalam bukunya yang
populer al-Jam ‘bain al-Ra’yai al-Hakimain. Dan antara filsafat dan agama.
Cara Al-Farabi menyatukan kedua filosof di atas ialah dengan mengajukan pemikiran
masing-masing filosof yang cocok dengan pemikirannya. Setiap dalam pembicaran masalah idea
yang menjadikan bahan bahasan polemik antara Aristoteles dan Plato. Filosof yang disebut
pertama yang tidak dapat membenarkannya karena, menurutnya, alam idea hanya terdapat dalam
pikiran. Sedangkan fiosof yang disebut kedua mengakui adanya dan berdiri sendiri.
14
Untuk mempertemukan kedua filosof ini, Al-Farabi menggunakan interpretasi batini, yakni
dengan menggunakan takwil apabila ia menemukan pertentangan pikiran antara keduanya.
Kemudian, ia tegaskan lebih lanjut, sebenarnya Aritoteles mengakui alam rohani yang teradapat
diluar alamini dan perkataannya yang mengingkari alam rohani tersebut dapat ditakwilkan. Jadi,
kedua filosof tersebut sama-sama mengakui adanya idea-idea pada Zat Allah.
Disamping itu telihat pula usaha Al-Farabi merekonsialisasikan antara agama dan filsafat.
Menurutnya para filosof Muslim menyakini, Al-Quran dan hadits adalah hak dan benar dan
filsafat juga adalah benar. Kebenaran itu tidak boleh lebih dari satu. Justru itu ia tegaskan bahwa
antra keduanya tidaklah bertentangan, bahkan mesti cocok dan serasi karena sumber keduanya
sama-sama dari Akal Aktif, hanya yang berbeda cara memperolehnya. Bagi filosof perantaranya
Akal Mustafad, sedangkan dalam agama perantaranya wahyudisampaikan kepada nabi-nabi.
Kalau ada perlawanan, itu hanya dari segi lahirnya dan tidak sampai menembus batinnya. Untuk
menghilangkan perlawanan itu harus dipakai takwil filosofis dan tidak meninggalkan
pertentangan kata-kata. Filsafat memberikan kebenaran dan agama juga menjelaskan kebenaran.
Oleh kaena itu, Al-Farabia tidaklah berbeda kebenarannya yang disampaikan para nabi dengan
kebenaran yang dimajukan filosof, dan antara ajaran Islam dan filsafat Yunani. Akan tetapi, hal
ini tidak berarti Al-Farabi menerima kelebihan filsafat dari agama.3
3
Sejarah Peradaban Islam, edisi I
15
2. Ketuhanan
a. Pemikiran Tentang Tuhan
Al-Farabi dalam pembahasan tentang ketuhanan mengkompromikan anatara filsafat
Aristoteles dan Neo-Platonisme, yakni al-Maujud al-Awwal (wujud pertama) sebagai sebab
pertama bagi segala yang ada. Bentuk filsafat neo-Platonisme sendiri praktis telah melaksanakan
penyatuan filsafat plato dan Aristoteles dalam dirinya. Konsep Al-Farabi ini tidak bertentangan
dengan keesaan yang mutlak dalam ajaran Islam. Dalam membuktikan adanya Allah Al-Farabi
mengemukakan dalilWajibul al-Wujud dan Mumkin al-Wujud ( De Boar, 1954:162).
2) Wujud yang mumkin atau wujud yang nyata karena lainnya
(wajibul-wujud lighairihi), seperti wujud cahaya yang tidak akan ada, kalau sekiranya tidak ada
matahari. Cahaya itu sendiri menurut tabiatnya bisa wujud dan bisa tidak wujud. Atau dengan
perkataan lain cahaya adalah wujud yang mumkin, maka cahaya tersebut menjadi wujud yang
nyata (wajib)karena matahari.
Wujud yang mumkin tersebut menjadi bukti adanya sebabyang pertama (Tuhan), karena
segala yang mumkin harus berakhir kepada sesuatu wujud yang nyatadan yang pertama kali ada.
Bagaimanapun juga panjangnyarangkaian wujud yang mumkin itu, namun tetap membutuhkan
kepada sesuatu yang memberinya sifat wujud, karena sesuatu yang mumkin tidak bisa memberi
wujud kepada dirinya sendiri.
16
Tuhan adalah wujud yang sempurna, ada tanpa sesuatu sebab, kalu ada sebab bagi-Nya,
maka adanya Tuhan tidak sempurna tidak lagi, berarti adanya Tuhan bergantung pada sebab yang
lain. Ia wujud yang paling dahulu dan paling mulia, yang tidak berawal dan tidak berakhir,
sebagai sebab pertama berarti Tuhan tidak ada yang mengawali dan tidak memerlukan yang lain.
Wujud-Tuhan adalah Zat yang paling azali dan yang selalu ada. Wujud-Nya tidak terdiri
dar Matter (benda) dan from (bentuk/surah), yaitu dua bagian pada makhluk. Karena
kesempurnaan itu, maka tidak ada sesuatu yang sempurna yang terdapat pada selain-Nya.
Tuhan itu Maha Esa, tidak terbatas dalam segala sesuatunya, bila ada hal-hal yang
membatasi berarti Tuhan tidak Esa lagi. Maka Tuhan tidak dapat dirumuskan sama sekali denagn
batasan yang akan memberikan pengertian pada manusia, sebab suatu batasan berarti suatu
penyusunan yang akan menggunakan golongan dan pembedaan atau digunakan pengertian zat
dan bentuk, seperti memberi definisi kepada sesuatu benda atau barang.
Tuhan juga adalah Zat yang MahaMengetahui (‘alim) tanpa memerlukansesuatu yang lain
untuk dapat mengetahui. Jadi Tuhan cukup dengan zat-Nya sendiri untuk mengetahui dan
diketahui. Ilmu (pengetahuan) Tuhan terhadap diri-Nya tidak lain hanyalah zatnya sendiri juga.
Dengan demikian, maka ilmu dan zat yang mempunyai ilmu adalah satu juga.
17
Jadi menurut Al-farabi tidak ada perbedaan antara sifat Tuhan dengan zat (substansi)
Tuhan, sifat Tuhan yang berarti juga substansi Tuhan. Tuhan sendiri sebenarnya akal, sebab
segala sesuatu yang tidak membutuhkan benda, maka sesuatu itu benar-benar akal. Begitu pula
denga wujud yang pertama (Tuhan). Zat (substansi) Tuhan yang satu itu adalah akal (pikiran).
Akal adalah zat (substansi) yang berfikir, tetapi sekaligus juga menjadi obyek pemikiran Tuhan
sendiri.
Dalil kosmologi melihat alam sebagai makhluk suatu akibat yang terakhir dalam rangkaian
sebab akibat. Pada akhirnya hubungan sebab akibat akan berhenti pada satu sebab pertama,
karena pada dasarnya kita tidak dapat memikirkan adanya rentetan sebab akibat yang tidak
berkesudahan (berkeputusan). Al-Farabi dalam membuktikan adanya Tuhan menggunakan dalil
penciptaan ini.
Segala sesuatu yang ada, pada dasarnya hanya mempunyai dua keadaan, pertama asda
sebagai kemungkinan disebut wujud yang mungkin, kedua ada sebagai keharusan disebut
dengan wujud yang wajib. Dalam keadaan yang pertama adanya ditentukan oleh ada yang lain,
dan keadaan yang kedua adanya tanpa sesuatu yang lain ada dengan sendirinya dan sebagai
keharusan.
18
Pembuktian dengan dalil kosmologi seperti yang dilakukan oleh Al-Farabi termasuk dalil
yang sederhana mudah dimengerti, tetapi kelemahan dalil ini berpangkal dari suatu keyakianan
yang mengharuskan adanya Tuhan.
3. Emanasi
Al-Farbi manemui kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya yang banyak
(alam( yang bersifat materi dari Yang Maha Esa (Allah) jauh dari arti ateri dam Maha sempurna.
Dalam filsafat Yunani, Tuhan buakanlah pencipta alam, melaikan Penggerak Pertama (prime
cause), seperti yang dikemukakan Aristoteles. Sementara dalam doktrin ortodok Islam (al-
mutakallimin), Allah adalah Pencipta (shani, Agent), dari menciptakan dari tiada menjadi ada
(ceiro ex nihillo).. unutk mengislamkan doktrin ini Al-Farabim, juga filosof lainnya mencari
bantuan kepada Neoplatonis monistik tentang emanasi. Dengan demikian, Tuhan penggerak
Aristoteles bergeser menjadi Allah pencipta.. dengan arti, Allah menciptakan alam semenjak
alam azali, energi alam berasal dari energi yang kadim, sedangkan susunan materi yang menjadi
alam adalah baharu. Sebab itu, menurut filosof muslim, kun Allah yang temaktub dalam Al-
Quran di tunjukan kepada syai (sesuatu) bukan kepada Iasyai (nihil).
Allah Mahasempurna, ia tidak memikirkan dan berhubungan dengan alam karena terlalu
rendah bagi-Nya untuk memikirkan dan berhubungan dengan alam yang tidak sempurna. Allah
cukup memikirkan – membedakan antara term aql dan fikr dalam terminologi Al-Quran—zat-
Nya, maka terciptalah energi yang maha dasyat secara pancaran dan dari energi inilah terjadinya
akal pertama (jugamemandat dalam bentuk materi). Akal pertama berpikir tentang Allah
19
menghasilkan Akal kedua dan berpikirkan dirinya menghasilkan langit pertama. Akal kedia
berpikir tentang Allah menghasilkan Akal ketiga dan berpikir tentang dirinya menghasilkan
bintang-bintang. Akal ketiga berpikir tentang Allah menghasilkan Akal keempatdan berpikir
tentang dirinya menghasilkan Saturnus. Akal keempat berpikir tentang Allah menghasilkan Akal
kelima dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Yupiter. Akal kelima berpkir tentang Allah
menghasilkan akal keenamdan berpikir tentang dirinya menghasilkan Mars. Akal keenam
berpikir tentang Allah menghasilkan Akal ketujuh dan berpikir tentang dirinya menghasilkan
Matahari. Akal ketujuh berpikir tentang Allah menghasilkan Akal kedelapan dan berpikir tentang
dirinya menghasilkan Venus. Akal kedelapan berpikir tentang Allah menghasilkan Akal
kesembilan dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Merkuri. Akal kesembilan berpikir
tentang Allah menghasilkan Akal kesepuluh dan berpikir tentang dirinya menghasilkan
Rembulan. akal kesepuluh, karena adanya akal ini sudah lemah, maka ia tidak dapat lagi
menghasilkan akal sejenisnya dan hanya menghasilkan bumi, roh-roh, dan metri pertama menjadi
dasar keempat unsur pokok: air, udara, api, dan tanah. Akal kesepuluh ini disebut dengan Akal
Fa’al (Akal aktif) atau wahib al-shuwar (pemberi bentuk) dan terkadang disebut Jibril yang
mengurusi kehidupan di bumi.
Akal-akal dan planet-planet itu terpancar secara beruntutan dalam waktu yang sama. Hal
ini dapat terjadi karena dalam Allah berpikir tentang diri-Nya, dissebutkan, menghasilkan daya
atau energi.
Kalau pada Allah hanya terdapat satu objek pemikiran, yakni zat-Nya, sedangkan pada
akal-akal erdapat objek pemikiran Allah dan akal-akal.
Di sini yang perlu dipertanyakan, faktor apa yang mendorong Al-Farabi mengemukakan
emanasi ini? Tampaknya Al-Farabi ingin menegaskan tentang keesaan Allah, bahkan melebihi
Al-Kindi. Allah bukan hanya dinegasikan dalam artian ‘aniah dan mahiah, tetapi juga lebih
jauhlagi. Allah adalah Esa sehingga tidak mungkin Ia berhubungan dengan yang tidak Esa atau
yang banyak. Andaikan alam diciptakan secara langsung oleh Allah, maka mengakibatkan Ia
berhubungan dengan yang tidak sempurna dan ini akan menodai keesaan-Nya oleh sebab itu, dari
20
Allah hanya timbul satu, yakni Akal pertamaberfungsi sebagai mediator antara Yang Esa dan
banyak sehingga dapat dihindarkan hubungan antara Ynag Esa dan yang banyak.
4. Kenabian
Filsafat kenabian Al-Farabi erat kaitannya antara nabi dan filosof dalam kesanggupanya
untuk mengadakannya komunikasi dengan akal fa’al. Motif lahirnya filsafat Al-Farabi
ini disebabkan adanya pengingkaran terhadap eksistensi kenabian secara filosofis oleh Ahmad
Inu Ishaq Al-Ruwandi (w. Akhir abad III H). Tokoh yang berkebangsaan Yahudi ini menurunkan
beberapa karya tulis yang isinya mengingkari kenabian pada umumnya dan kenabian Muhammad
Saw. Khususnya kritiknya ini dapat dideksripsikan sebagai berikut:
a. Nabi sebenarnya tidak diperlukan manusia, karena Tuhan telah
mengaruniakan akal kepada manusia tanpa terkecuali. Akal manusia dapat
mengetahui Tuhan beserta segala nikmat-Nyadan dapat pula mengetahui perbuatan
baikm dan buruk.
b. Ajaran agama meracuni prinsip akal. Secara logika tidak ada
bedanya thawaf di Ka’bah, dan sa’i di Bukit Shafa dan Marwah dengan tempat-
tempat lain.
c. Mukjizat hanya semacam cerita khayal belaka yang hanya menyesatkan
manusia.
d. Al-Qur’an bukanlah Mukjizat dan bukan persoalan yang luar biasa (Al-
khawariqal-adat). Orang yang non Arab jelas saja heran dengan balaghah Al-
Quran, karena mereka tidak kenal dan memgerti Bahsa Arab dan Muhammad
adalah kabilah yang paling fasahah dikalangan orang Arab.
21
Dalam suasana yang demikian, Al-Farabi merasa terpanggil untuk menjawab tantangan
tersebut. Karena kenabian adalah asa sentral dalam agama, apabila ia telah batal, maka akibatnya
membawa kebatalan pada agama itu sendiri.
Menurut Al-Farabi, manusia dapat berhubungan dengan akal fa’al (Jibril) melalui dua cara,
yakni penalaran atau renungan pemikiran dan imajinasi atau inspirasi (ilham). Cara pertama
hanya dapat dilakukan oleh para filosof yang dapat menembus alam materi dan dapt mencapai
cahaya ketuhanan, sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan oleh nabi.
Telah dimaklumi bahwa ilham-ilham kenabian adakalanya terjadi waktu tidur dan waktu
bangun. Dengan kata lain, dalam bentuk impian yang benar atau wahyu. Perbedaan keduanya
hanya terletak pada tingkatannya dan tidak mengenai esensinya. Mimoi yang benar tidak lain
adalah satu tanda dari tanda kenabian.
Menurut Al-Farabi, bila kekuatan imajinasi pada seseorang kuat sekali, oobjek indrawi dari
luar tidak akan dapat mempengaruhinya sehingga ia dapar berhubungan dengan akal fa’al.
Apabila kekuatan imajinasinya telah mencapai taraf kesempurnaan, tidak ada halangan bainya
menerima peristiwa-peristiwa sekarang atau mendatang dari Akal Fa’al pada waktu bangun.
Dengan adanya penerimaan demikian maka ia dapat nubuwwat terhadap perkara-perkara
ketuhanan.
Jadi, ciri khas seorang nabi oleh Al-Farabi ialah mempunyai daya imajinasi yang kuat dan
ketika berhubungan dengan Aka; Fa’al ia dapat menerima visi dan kebenara-kebenaran dalam
bentuk wahyu. Wahyutidak lain adalah limpahan dari Allah melalui Akal Fa’al (Akal kesepuluh)
yang dalam penjelasan Al-Farabi adalah Malaikat Jibril. Sementara itu filosof dapat
22
berkomnikasi dengan Allah melalui akal perolehan yang telah terlatih dan kuat daya tangkapnya
sehingga sanggup menangkapn hal-hal yang bersifat abstrak murni dari akal kesepuluh.
Sampai di sini terkesan bahwa kenabian telah menjadi suatu yang dapat diusahakan
(muktasabat). Akan tetapi, jika diamati secaa cermat; kesan ini meleset sama sekali. Hal ini
disebabkan nabi adalah pilihan Allah dan komunikasinya dengan Allah bukan melalui Akal
mustafad, tetapi melalui akal dalam derajad materiil. Seorang nabi dianugrahi Allah akal yang
mempunyai daya tangkap yang luas biasa sehingga tanpa latihan dapat mengadakan komunikasi
langsung dengan akal kesepuluh (Jibril).
Akal ini mempunyai kekuatan suci (qudsiyyat) dan di beri nama hads. Tidak ada akal
yang lebih kuat daripada demikian dan hanya nabi-nabi yang memperoleh akal seperti itu.
Sementara itu, filosof dapat berhubungan dengan akal kesepuluh adalah usaha sendiri, melalui
latihan dan pemikiran. Seorang filosof hanya memiliki akal mustafad (perolehan) lebih rendah
dari pada nabi yang mempunyai akal meteriil dan hads. Oleh karena itu, setiap nabi adalah filosof
dan tidak semua filosof itu nabi. Akan tetapi, filosof tidak bisa menjadi nabi, yang selamanya ia
(nabi) tetap manusia Allah.
Dari sisi pengetahuan dan sumbernya, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, antara
filosof dan nabi terdapat kesamaan. Oleh karena itu, Al-Farabi menekankan bahwa kebenaran
wahyu tidak bertentangan dengan pengetahuan filsafat sebab antara keduanya sama-sama
mendapatkan dari sumber yang sama, yakni Akal Fa’al (Jibril). Demikian pula dengan mukjizat
sebagai bukti kenabian, menurut Al-Farabi, dapat terjadi dan tidak bertentangan dengan hukum
alam karena sumber hukum alam dan mukjizat sama-sama berasal dari Akal kesepuluh sebagai
pengatur dunia ini.
Dari uraian di atas telihat keberhasilan Al-Farabi dalam menjelaskan kenabian secara
filosofis dan menafsirkannya secara ilmiah yang dapat dikatakan tiada duanya, terutama di
“pentas” filsafat Islam.
23
5. Kenegaraan dan Polotik
Manusia menurut Al-Farabi seperti halnya Plato, Aristoteles dan ibn Abi Rabi’, bersifat
sosial yang tidak mugkin hidup sendiri-sendiri. Makhluk yang berkecenderungan alami untuk
hidup bermasyarakat dan bantu-membantu untuk kepentingan bersama dalam mencapai tujuan
hidup, yakni kebahagiaan. Hal ini karena manusia tidak mampu memenuhi semua kebutuhannya
sendiri tanpa bantuan atau kerja sama denagn pihak lain.
b. masyarakat tidak sempurna atau belum sempurna, adalah penghidupan sosial di tingkat
desa, kampung, lorong dan keluarga. Selanjutnya, di antara tuga bentuk penghuni sosial itu,
keluarga merupakan yang paling tidak sempurna.
24
Pandangan ini didasari oleh pemikiran filsafatnya bahwa manusia tidak sama satu sama
lainnnya, disebabkan bnayak faktor, antara lain: faktor iklim dan lingkungan tempat mereka
hidup, dan faktor makanan. Faktor-faktor tersebut banyak berpengaruh dalam pembentukan
watak, pola pikir dan perilaku, orientasi atau kecendurangan serta adat kebiasaan.
Pokok filsafat kenegaraan Al-Farabi ialah autokrasi dengan seorang raja yang berkuasa
mutlak mengatur negaranya. Disini nyata teori kenegaraan iti paralel dengan filsafat
25
mettafisikanya tentang kejadian alam ( emanasi yang bersumber pada yang satu ). Al-Farabi
menegaskan bahwa negeri yang utama adalah negeri yang memperjuangkan kemakmuran dan
kebhagiaan warga negaranya.
Al-Farabi berpendapat, ilmu polotik adalah ilmu yang meneliti berbagai bentuk tindakan,
cara, hidup, watak, disposisi positif dan akhlak. Kebahagiaan manusia diperoleh karena
perbuatan atau tindakan dan cara hidup yang dijalankannya. Al-Farabi berpendapat bahwa
kebahagiaan yang hakiki (sebenanya) tidak mungkin dapat diperoleh sekarang (di dunia ini),
tetapi sesudah kehidupan sekarang yaitu kehidupan akhirat. Namun sekarang ini juga ada
kebahagiaan yang nisbi seperti halnya kehormatan, kekayaan, dan kesenangan yang dapat
nampak dan dijadikan pedoman hidup.
26
6. Jiwa
jiwa manusia berasal dari materi asalnya memancar dari akal kesepuluh. Jiwa
adalah jauhar rohani sebagai from bagi jasad. Kesatuan keduanya merupakan kesatuan
secara accident, artinya masing-masing keduany mempunyai sebstansi yang berbeda dan
binasanya jasad tidak membawa binasa pada jiwa. Jiwa manusia disebut dengan al-nafs al-
nathiqal, berasal dari alam ilahi, sedanglan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk berupa,
berkadar, dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.
Tentang bahagia dan sengsaranya jiwa, Al-Farabi mengaitkan filsafat Negara utama, yakni
jiwa yang kenal dengan Allah dan melaksanakan perintah Allah, maka jiwa ini, menurut Al-
Farabi, akan kembali kea lam nufus, (alam kejiwaan) dan abadidalam kebahagiaan. Jiwa yang
hidup pada Negara fasiqahi, yakni jiwa yang kenal dengan Allah, tetapi ia tidak melaksanakan
segala perintah allah, ia kembali kealam nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam kesengsaraan.
27
Sementara itu, jiwa yang hidup pada Negara jahilah, yakni yang tidak kenal dengan Allah dan
tidak pernah melakukan perintah Allah, ia lenyap bagaikan jiwa hewan.
7. Akal
Telah disebutkan bahwa akal, menurut Al-Farabi, ada tiga jenis, pertama, Allah sebagai
Akal; kedua, akal-akal dalam filsafatemanasi satu sampai sepuluh dan ketiga, akal yang terdapat
dalam diri manusia. Akal pada jenis pertama dan kedua tidak berfisik (imateri/rohani) dan tidak
menempati fisik, namun antara keduanya terdapat perbedaanyang sangat tajam. Allah sebagai
Akal adalah Pencipta dan Esasemutlak-mutlaknya, Mahasempurna dan tidak mengandung
pluralitas sebagai zat yang Esa, maka objek ta’aqqul Allah hanya satu, yakni Zat-Nya.
Jika diandaikan objek ta’aqul Allah lebih dari atu, maka pada pada diri Allah terjadi
pluralitas. Hal ini bertentangan dengan prinsip tauhid. Demikian juga Allah Maha Sempurna
tidak berhubungan dengan selain diri-Nya. Jika dikatkan Allah berhubungan dengan selain diri-
Nya, berarti ia berhubungan dengan yang tidak sempurna. Hal ini juga merusak citra tauhid. Atas
dasar inilah Al-Farbi menjelaskan bahwa materi asal deiciptakan Allah dari sesuatu yang sudah
ada dan diciptakan secara emanasi sejak azali, karena sifat Khalik Allah ada sejak Ia wujud
(bukan berarti Allah didahului dari tidak ada) dan semenjak itu pula ia langsung menciptaka.
Dari hasil ta’aqqul-Nya muncul dua, berarti Allah mempunyai dua sisi yang pluralitas.
Adapun jenis akal yang kedua yakni akal-akal pada filsafat emanasi, akal pertama esa pada
zatnya, tetapi dalam dirinya mengandung keenakpotensial. Ia diciptakan oleh Allah sebagai Akal
maka objek ta’aqqul-Nya (juga akal-akal lainnya) tidaklah lagi satu, tetapi sudah dua; Allah
sebagai Wajib al-Wujud dan dirinya sebagai mukmin al-wujud. Telah dikemukakan ada sepuluh
akal dan sembilan planet. Akal kesepulul (Akal Fa’al), disamping melimpahkan kebenaran
kepada para nabi dan filosof, juga berfungsi mengurusi bumu dan segala isinya. Juga telah
disebutkan bahwa pendapat Al-Farabi tentang sembilan planet terpengaruh oleh Atronomi
Yunani saat itu yang mengatakan sembilan planet.
Akal jenis ketiga ialah akal sebagai daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Akal
jenis ini juga tidak berfisik, tetapi bertempat pada materi. Akat ini bertingkat-tingkat, terdiri dari
28
akal potensial, akal aktual, dan akal mustafad. Akal yang disebutkan terakhir.ini yang dimiliki
para filosof yang dapat menangkap cahaya yang dipancarkan Allah ke dalam materi melalui Akal
kesepuluh (Akal Fa’al).
Demikian tentang uraian Al-Farabi, kendati ia terpengaruh oleh filsafat Aristoteles, plato,
dan platonius, namun ia telah berhasil mengembangkan dan memperdalamnya sehingga dapat
dikatakanhasil filsafatnya sendiri. Selain itu, ia juga menciptaka filsafat sendiri yang belum
dibicarakan oleh filosof Yunani. Dengan demikian, ia telah menghasilkan filsafat Islam yang
mempunyai watak dan ciri khas tersendiri. Secara umum, dapat dilihat bahwa filsafat Al-Farabi
begitu kompleks sehingga dapat dibicarakan oleh para filosof muslim sesudahnya hampir sudah
pernah disinggung oleh pewaris logikaAristoteles ini. Melihat ketajaman pisau analisis dan
kepiawaian serta kedalaman filsafatnya, sangat pantas ia menerima segudang anugrah sanjungan
dari berbagai pihak, seperti Al-Farabi alah filosof muslim terbesar tanpa tanding, Al-Farabi
adalah filosof Muslim dalam arti yang sesungguhnya, Al-Farabu adalah peletak dasar filsafat
Islam, dan lain-lainnya.
29
BAB III
PENUTUP
A. kesimpulan
Adapun hal-hal yang dapat disimpulakan dari konsep pendidikan kedua tokoh
pendidikan Islam tersebut adalah sebagai berikut :
1. Nama lengkap dari Ibnu Khaldun adalah Abu Zayd ‘abd al-Rahman ibn
Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami. Beliau adalah seorang sejarawan muslim
dari Tunisia dan sering disebut sebagai bapak pendiri ilmu historiologi,
sosiologi dan ekonomi. Karya nya yang terkenal adalah Muqaddimah.
2. Al-Farabi yang dikenal sebagai filsuf Islam terbesar memiliki keahlian dalam
banyak bidang keilmuan, seperti ilmu bahasa, matematika, kimia, astronomi,
kemiliteran, musik, ilmu alam, ketuhanan, fiqih, dan mantiq. Oleh karena itu,
banyak karya yang ditinggalkan Al-Farabi, namun karyanya tersebut tidak
banyak diketahui seperti karya Ibnu Sina. Hali ini karena karya-karya Al-Farabi
hanya berbentuk risalah-risalah (karangan pendek) dan sedikit sekali yang
berupa buku besar yang mendalam pembicaraannya.
B. Saran
Demikian makalah yang kami susun dan kami sangat menyadari makalah ini jauh
dari kata kesempurnaan. Maka kritik dan yang membangun demi perbaikan dan
pengembangan sangat kami harapkan. Dan semoga makalah ini dapat memberi ilmu
dan manfaat kepada kita semua, Aamiin.
30
DAFTAR PUSTAKA
https://www.kompasiana.com.cdn.amproject.org/pemikiran-ibnu-khaldun-
perspektif-filsafat-pendidikan-islam (di akses pada tanggal 21 oktober 2022, pukul
21.15 WIT)
Jurnal.uin.suska.riau/biografi al-farabi
Hodgeston, The Venture of Islam, Vol. 1. The University of Chicago Press, 1961.
Katsir, Ibn, al-Bidayah wa al-Nihaya, jilid IX, juz 14, Bairut: Daar al-Fikr, tt. al-
Kailani, Majid ‘Ursan, al-Fikr al-Tarbawi ‘inda Ibn Taimiyah, Mesir: Dar
alTurats, tt.
___________, al-In, Kairo: Dar al-Hadis|, t.t. Yatim, Badri, Sejarah Peradaban
Islam, edisi I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008. Zahrah, Abu, Ibn
Taimiyah: Hayatuhu wa ‘Ashruhu, Ara’ahu wa Fiqhuhu, Bairut: Dar al-Fikr
al-‘Arab, tt.
31
32