Anda di halaman 1dari 14

AMAR DAN NAHI

(Diajukan Untuk Memenuhi Ushul Fiqih)

Dosen Pengampu: Sudirman, M.Pd.

Oleh Kelompok 4:

Hamzah Nurul Fikri (021111055)


Ilham Firmansyah Nasir (021111012)

Karfika (021111015)

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH
IAIN FATTAHUL MULUK PAPUA

KEMENTRIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA


2022/2023
KATA PENGANTAR

‫الرحِ يم‬
‫الر ْح َم ِن ه‬
‫َّللا ه‬
ِ ‫س ِم ه‬
ْ ‫ِب‬

Segala puja dan puji syukur kita panjatkan Kehadirat Allah Yang Maha Kuasa,karena
dengan karunia dan hidayah-Nyalah saya mampu menyelesaikan makalah mengenai Amar dan
Nahi.

Dan tidak tidak lupa sholawat serta salam selalu terhaturkan kepada Baginda Rosulullah
SAW beserta keluarganya yang telah menjadi suri tauladan bagi kita umat islam untuk
menggapai rahmat dan ridha-Nya didunia dan di akhirat.

Merupakan suatu harapan makalah ini bisa bermanfaat bagi semua pihak sekaligus
menjadi amal shaleh bagi penyusun, Saya sebagai penulis menyadari “Tak ada jalan yang tak
berlubang”. Bila ada kritik dan saran, maka sangat diterima guna menyempurnakan makalah
berikutnya.

Jayapura, 19 Oktober 2022

PENULIS

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................................... ii

BAB I Pendahuluan ................................................................................................................. 1

A. Latar Belakang .................................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................................................... 1

C. Tujuan ................................................................................................................................. 1

BAB II Pembahasan ................................................................................................................. 2

A. Amar .................................................................................................................................. 2

1. Pengertian Amar ............................................................................................................. 2

2. Bentuk-bentuk Amar ...................................................................................................... 3

3. Kaidah-kaidah Amar ...................................................................................................... 4

4. Syarat-syarat Amar ......................................................................................................... 5

B. Nahi.................................................................................................................................... 7

1. Pengertian Nahi .............................................................................................................. 7

2. Bentuk-bentuk Nahi........................................................................................................ 8

3. Kaidah-kaidah Nahi ........................................................................................................ 8

4. Syarat-syarat Nahi .......................................................................................................... 9

BAB III Penutup ...................................................................................................................... 10

A. Kesimpulan ......................................................................................................................... 10

B. Saran ................................................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 11

ii
BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Ushul Fiqih sebagai ilmu metodologi penggalian hukum mempunyai peranan penting
dalam ranah keilmuan agama Islam khususnya dalam ilmu hukum Islam atau ilmu Fiqih.
Pembahasan dari segi kebahasaan atau kajian lughawiyah, sangat penting sekali ditelaah
karena sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits menggunakan bahasa Arab yang
mempunyai banyak makna yang terkandung didalamnya. Ilmu Ushul Fiqih adalah ilmu yang
sangat diperlukan bagi setiap muslim yang ingin mengetahui dan mengistimbahkan hukum
dari dalil-dalil syar’i, terutama untuk mengetahui hukum-hukum dari peristiwa atau hal baru
yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW.

Sehingga banyak para ulama atau tokoh-tokoh agama Islam yang berijtihad bersama
dalam memecahkan banyaknya permasalahan yang semakin hari kian banyak dan
mempengaruhi kemantapan hati umat Islam dalam beribadah kepada Allah SWT. Para ulama
dalam berijtihad tidak hanya menggunakan akal pikiran semata, namun semua pemikiran itu
dilandaskan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian Amar?

2. Apakah pengertian Nahi

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian Amar

2. Untuk mengetahui pengertian Nahi

1
BAB II

Pembahasan

A. Amar

1. Pengertian Amar

Menurut bahasa Arab, Amar artinya perintah, menurut istilah Amar adalah suatu lafadz
yang di dalamnya menunjukkan tuntutan untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan dari atasan
kepada bawahan. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa Amar itu tidak hanya
ditunjukkan pada lafadz-lafadz yang memakai sighat (bentuk kata) Amar saja, tetapi
ditunjukkkan pula oleh semua bentuk kata yang didalamnya mengandung arti perintah. Jadi,
Amar merupakan suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang sifatnya mewajibkan /
mengharuskan / menganjurkan. 1

‫إلى اْأل َ ْدنَى‬


ََ ‫ل ِمنََ أل َ ْعلَى‬ َ :َ‫األ َ ْمر‬
َِ ‫طلَبَ ال ِف ْعـ‬
“Al-Amru (perintah) dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yang lebih rendah”.

Hakikat pengertian amar (perintah) ialah lafal yang dikehendaki supaya orang
mengerjakan perintah apa yang dimaksudkan. Menurut Ali Hasbullah menyatakan bahwa
amar berarti suatu tuntutan perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada
pihak yang lebih rendah kedudukannya. Dalam hal ini, tidak diharuskan bahwa orang yang
menyuruh lebih tinggi derajatnya dari orang yang disuruh itu, karena derajatnya lebih tinggi
daripada yang menyuruh. Sebagian ulama mengsyaratkan bahwa orang yang menyuruh harus
lebih tinggi derajatnya daripada orang yang disuruh, yakni dalam hal ini Allah kepada
hambanya.

1
Muhammad Mas’um Zein Zudbah, Ushul Fiqih (Jawa Timur : Darul Hikmah), 2008,52

2
2. Bentuk-bentuk Amar (Perintah)

Amar merupakan lafal yang mengandung pengertian perintah. Adapun bentuk amar
sebagai berikut:

a. Berbentuk Fi’il Amar / Perintah langsung

‫ص ََل َة َ ََ أَقِيموا‬ َّ ‫اركَعوا‬


َّ ‫الزكَا َة َ َوآتوا ال‬ ْ ‫الرا ِكعِينََ َم ََع َو‬
َّ

“Dan dirikanlah Shalat, Tunaikanlah Zakat, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk”

Apabila lafadz yang khusus dalam nash syar’i datang dalam bentuk amar atau perintah,
maka lafadz itu menunjukkan kewajiban. Artinya menuntut perbuatan yang diperintah itu
secara penetapan dan kepastian.

‫توالمطلقا يتربصن‬

“Wahai wanita yang ditalak menahan diri (menunggu)”

Firman tersebut menunjukkan kewajiban wanita yang ditalaq untuk menahan diri atau
beriddah selama tiga kali quru’ (suci). Sebab menurut pendapat yang unggul bahwasannya
sighat amar dan sighat lain yang bermakna sama dengannya ditetapkan untuk mewajibkan.
Sedangkan suatu lafadz ketika di mutlakkan, maka ia menunjukkan terhadap maknanya yang
hakiki yang telah ditetapkan untuknya. Ia tidak boleh dipalingkan dari maknanya yang hakiki,
kecuali dengan adanya suatu qarinah (hubungan / keterkaitan kata sebelum dan sesudahnya).

Selanjutnya jika ditemukan suatu qarniah yang dapat memalingkan sighat perintah dari
makna kewajiban kepada makna lainnya, maka ia dipahami sesuai dengan apa yang ditunjuki
oleh qarinah itu, seperti ibahah (pembolehan).2

b. Berbentuk Fi’il Mudhari yang di dahului oleh Lam Amar.

Misalnya, Firman Allah:

‫وليطوفوبالميت لعتيق‬

“Dan hendaklah thawaf sekeliling rumah itu (Baitullah)” (Q.S. Al-Hajj: 29)

2
Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib, Ilmu Ushul Fiqih II (Bandung : Pustaka Setia. 2001).112

3
3. Kaidah-kaidah Amar (Perintah)

Amar (perintah) memiliki kaidah yaitu ketentuan-ketentuan yang dipergunakan para


mujtahid dalam mengistinbatkan hukum. Ulama ushul merumuskan kaidah-kaidah amar dalam
lima bentuk, yaitu:

a. ‫ََاالصلَفىَاالمرَللوجوبَاالمادلَالدليلَخَلفة‬

Pada dasanya amar (perintah) itu menunjukkan kepada wajib dan tidak menunjukkan
kepada selain wajib kecuali dengan adanya qarinah (hubungan keterkaitan). Maksud dari kaidah
tersebut adalah bahwa mengerjakan sesuatu pekerjaan yang dituntut oleh suatu perintah adalah
wajib diperbuat.

b. Perintah setelah larangan menunjukkan kepada kebolehan. Makud dari kaidah ini ialah,
apabila ada perbuatan-perbuatan yang semula dilarang, lalu datang perintah mengerjakan, maka
perintah tersebut bukan perintah wajib tetapi bersifat membolehkan. Seperti Firman Allah SWT:

‫فاذاَقضبتَالصَلةَفاَنتشروافيَاالرضَوابتغواَمنَفضلَهللا‬

“Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebarkanlah kamu di bumi, carilah karunia
Allah” (Q.S. Al-Jumu’ah)

Dengan demikian perintah bertebaran dimuka bumi, seperti kata ayat diatas, hukumnya tidak
wajib, tapi diperbolehkan.

c. ‫االصلَفىَاالمرَالىقتضَالفور‬

Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki segera dilaksanakan, Misalnya tentang
haji. Jumhur ulama sepakat bahwa perintah mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan
waktu, maka harus dikerjakan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan tidak boleh di luar
waktu. Bila dilakukan diluar waktu, tanpa sebab yang dibenarkan oleh syara’ maka hukumnya
akan berdosa.

d. ‫االصلَفىَاالمرَالىقتضَالتكرارَاالمادلَالدلىل‬

Pada dasarnya perintah ini tidak menghendaki pengulangan (berkali-kali mengerjakan


perintah). Misalnya dalam ibadah haji, yaitu satu kali seumur hidup namun bila perintah itu

4
dimaksudkan pengulangan, maka harus ada qarinah atau kalimat yang menunjukkan pada
pengulangan.

Allah berfirman:

‫واتمَاحجَوالعمرةَهلل‬

“Dan sempurnakan haji dan umrah karena Allah” (Q.S. Al-Baqarah 196).

Kewajiban haji dan umrah hanya sekali seumur hidup. Jadi bila dikerjakan sekali saja
sudah cukup.

e. ‫االمربالشىىَامرَبوساَهلل‬

Kaidah ini menjelaskan bahwa perbuatan yang diperintahkan itu tidak bisa terwujud
tanpa disertai dengan sesuatu perbuatan lain yang dapat mewujudkan perbuatan yang diperintah
itu. Misalnya, kewajiban melaksanakan shalat, shalat ini tidak sah untuk dikerjakan tanpa suci
(wudhu) terlebih dahulu. Maka para ulama menetapkan bahwa “Tiap-tiap perkara yang
kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya, maka perkara itu wajib pula”.

4. Syarat yang harus ada pada kata Amar (perintah) adalah:

a. Harus berupa ucapan perintah (Amar) seperti kata uf’ul (kerjakanlah).

b. Harus berbentuk kata permintaan

c. Tidak ada tanda-tanda (Qarinah) yang menunjukkan permintaan itu berstatus tidak
mewajibkan atau mengharuskan.

d. Datangnya permintaan itu harus dari atasan, sebab jika dari bawahan namanya do’a

Suatu kata perintah (fiil amar) dapat dipandang dari dua sisi yakni:

a. Cara menyatakan perintah dari bentuk kata. Hal ini menunjukkan tuntutan perbuatan
dalam waktu yang tertentu atau waktu mendatang.

b. Maksud yang dikandung dalam perintah itu atau perbuatan yang diminta (ma’addatul
amri). Hal ini menunjukkan macamnya perbuatan yang diminta, seperti berdiri, duduk.

5
Apabila disatukan kedua sisi tersebut dalam amar, maka maksudnya tidak lebih dari
pada hanya menuntut perbuatan yang disebutnya, dan tidak ada tanda-tanda yang
menunjukkan berulang-ulangnya perbuatan itu. Memenuhi tuntutan suruhan tersebut
cukup dengan dikerjakan sekali saja. Karena menurut kaidah “tidak ada kewajiban
lebih dari pada tanggapan yang sebenarnya (sesuai kemampuan seorang hamba).

6
B. Nahi

1. Pengertian Nahi

Nahi menurut bahasa artinya mencegah, melarang. Sedangkan menurut istilah adalah
lafadz yang meminta untuk meninggalkan sesuatu perbuatan kepada orang lain dengan
menggunakan ucapan yang sifatnya mengharuskan, atau lafadz yang menyuruh kita untuk
meninggalkan suatu pekerjaan yang diperintahkan oleh orang yang lebih tinggi dari kita. Akal
juga disebut nuhyah (nahyu), karena dia dapat mencegah orang yang berakal itu untuk tidak
berbuat salah.

‫طلبَالتركَمنَاالعلىَالىَاالدنى‬

“Memerintah meninggalkan sesuatu dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang
lebih rendah tingkatannya”

Menurut Abdul Hamid Hakim menyebutkan bahwa nahi adalah perintah untuk
meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan. Jadi Nahi adalah suatu larangan yang harus
ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni dari Allah SWT kepada hamba-Nya.

Adapun maksud nahi yang sebenarnya adalah menunjukkan haram, seperti dalam firman
Allah:

‫والتاكالواَالرباَاضعاَفاَمضاَعفة‬

“Dan janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda” (Q.S. Ali Imran:130)

Karena Lata’kulu berbetuk nahi sedangkan ketentuan nahi adalah haram, maka makan harta
riba hukumnya haram, karena tidak diridhai Allah SWT. Inilah hukum asli dari nahi.

Kecuali apabila ada qarinah yang memengaruhinya, maka nahi tersebut tidak lagi
menunjukkan hukum haram, tetapi menunjukkan hukum makruh, mubah, dan sebagainya. Sesuai
dengan qarinah yang memengaruhinya itu. Ada ulama yang berpendapat bahwa nahi yang masih
asli itu menunjukkan hukum makruh. Namun, pendapat yang lebih kuat, bahwa nahi adalah
haram.
7
2. Bentuk-bentuk Nahi (Larangan)

Kalimat larangan yang tidak memiliki qarinah menunjukkan hakikat larangan yang
mutlak. Seperti firman Allah SWT:

‫ىااىهاالذىنَامنوَاالتقربَاصَلةَوانتمَسكارى‬

“Hai orang-orang yang beriman, jangan kamu kerjakan shalat dalam keadaan mabuk”.
(Q.S. An-Nisa : 43)

Ungkapan yang menunjukkan kepada nahi (larangan) itu ada beberapa bentuk
diantaranya:

a. Fi’il Mudhari yang disertai dengan la nahi, seperti:

َ‫الَتفسدَواَفىَاالرض‬

“Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. (Q.S. Al-Baqarah : 11).

b. Laadz-lafaz yang memberi pengertian haram atau perintah meninggalkan sesuatu


perbuatan, seperti :

‫واحلَهللاَالبىعَوحرمَالربوا‬

“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Q.S. Al-Baqarah : 275)

3. Kaidah-kaidah Nahi:

a. Pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram, seperti:

‫والتقربواَالزنى‬

“Dan janganlah kalian mendekati zina” (Q.S. Al-Isra: 32).

8
b. Larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan kebaikannya, seperti:

‫التشركَباَهلل‬

"Dan janganlah kamu mempersekutukan Allah”.

4. Syarat-syarat Nahi

a. Menunjukkan Haram

Alasannya, apabila ada kata-kata larangan yang tidak disertai qarinah, akal kita dapat
dimengerti keharusan yang diminta larangan itu, yang segera dapat dimengerti menunjukkan
pengertian yang sebenarnya. Demikian pula pemahaman lama salaf. Qarinah ialah kata-kata
yang menyerupai larangan, yang menyebabkan larangan itu tidak menyebabkan haram.

b. Menunjukkan Makruh

Alasannya, larangan itu hanya menunjukkan buruknya (tidak baiknya) perbuatan yang
dilarang. Keburukan ini tidak berarti haram atau larangan menunjukkan rusaknya perbuatan yang
dilarang.3

c. Melarang sesuatu mengakibatkan perbuatan yang dilarang hukumnya menjadi rusak


dan tidak sah

Larangan melakukan suatu perbuatan itu akan mengakibatkan perbuatan yang dilarang
tadi apabila dilakukan hukumnya menjadi tidak sah. Contoh zina, sebagian ulama termasuk
Imam Al-Ghazali dan Ar-Razi berpendapat bahwa “Nahi itu tidak menyebabkan tidak sahnya
suatu perbuatan yang dilakukan, kecuali hanya dalam soal ibadah saja, tidak dalam muamalah”.
Sebagian ulama Syafi’iyah, Hanafiah, dan Mu’tazilah berpendapat bahwa “Nahi itu tidak
menyebabkan tidak sahnya perbuatan yang dilarang, tidak pada lughah/bahasanya, tidak pada
syara’, dan tidak pula dalam soal-soal ibadah dan muamalah”. Sementara Imam Syaukani
berkata dalam kitab Irsyadul Fuhul bahwa “ Tiap-tiap yang tidak membedakan antara ibadah dan
muamalah menyebabkan perbuatan yang dilarang itu haram hukumnya, dan tidak sahnya hukum
menurut syara’ berarti batal (tidak sah).

3
Chaerul Uman dan Achyar Amimudin Ushul Fiqih H, 118

9
BAB III

Penutup

A. Kesimpulan

Amar (perintah) adalah lafaz yag dikehendaki supaya orang mengerjakan apa yang
dimaksudkan. Bentuk lafaz amar bermacam-macam diantaranya, fiil amar, fiil mudhari, yang
diawali lam amar, masdar pengganti fiil, dan beberapa lafaz yang mengandung makna perintah
seperti, kutiba, amara, faradha. Kaidah-kaidah Amar dalam Al-Qur’an yaitu seperti kaidah
pertama seperti pada dasarnya Amar (perintah) itu menunjukkan kepada wajib dan tidak
menunjukkan kepada selain wajib kecuali dengan qarinah-qarinah tersebut. Qarinah-qarinah
tersebut ibahah, nadh, irsyad, tahdif, ta’jiz yang memalingkan makna asalnya yaitu wajib.

Sedangkan Nahi adalah suatu lafaz yang mengandung makna tuntutan meninggalkan
sesuatu yang datangnya dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih
rendah tingkatannya. Bentuknya yaitu fiil yang didahului oleh lanahiyah, beberapa lafaz yang
mengandung makna nahi. Kaidah nahi yaitu pada dasarnya larangan itu mennunjukkan kepada
haram kecuali ada qarinah-qarinah tertentu. Pada dasarnya larangan itu menghendaki fasad
(rusak) secara mutlak. Pada dasarnya larangan yang mutlak menghendaki pengulangan larangan
dalam setiap waktu. Bagi para mufassir sangat penting untuk mengetahui kaidah-kaidag tersebut
karena memudahkan dalam menafsirkan Al-Qur’an terutama ayat-ayat yang berhubungan
dengan penggalian suatu hukum.

B. Saran

Penulis menyarankan kepada pembaca bahwasannya kita semua selalu melakukan amar
ma’ruf dan nahi mungkar artinya kita semua hendak selalu melakukan segala perbuatan yang
menunjukkan kepada kebaikkan dan selalu menjauhi larangan yang telah ditetapkan dalam
pedoman umat Islam yakni Al-Qur’an dan Hadits. Agar kita dapat mewujudkan kehidupan
manusia yang lebih indah dan Islamiah.

10
DAFTAR PUSTAKA

Karim, Syafi’i. 2001. Fiqih-Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia.)

Rifa’i, Moh. 1973 Ushul Fiqih (Bandung: PT Alma’arif)

Uman, Chaerul dan Achyar Amimudin, 2001. Ushul Fiqih II (Bandung: Pustaka Setia)

Zein, Ma’shumdan Satria Efendi, 2008. Ushul Fiqih (Jawa Timur Darul Hikmah)

Zuhri, Moh dan Ahmad Qarib. 1994. Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Toha Putra Group)

11

Anda mungkin juga menyukai