Anda di halaman 1dari 14

Tugas Kelompok Dosen Pengampu

Ushul Fiqh Adam Malik Indra, LC. MA

Amru dan Nahy

Disusun oleh:
Kelompok 6

1. Fitri Nuraini (12110121052)


2. Dimas Dwi Prabowo (12110114461)

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

SEPTEMBER 2022

SLTP/SLTA 3 C
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat serta karunianya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Amru dan nahy”. Tanpa pertolongan-
Nya mungkin kami tidak akan sanggup menyelesaikan laporan penelitian ini dengan baik.
Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Adam Malik Indra, LC. MA. Selaku dosen pengampu
kami yang telah membantu dalam proses penyelesaian makalah ini. Shalawat dan Salam
semoga mendapat terlimpah dan tercurahkan kepada baginda tercinta kita yakni Nabi
Muhammad SAW.

Makalah ini di susun agar kita dapat menambah dan memperluas ilmu mengenai
“Amru dan nahy” yang kami sajikan dan kami ambil dari berbagai sumber. Tugas ini
disajikan sebagai bahan materi mata kuliah Ushul Fiqh.

Dengan makalah ini, kami harap dapat membantu dalam memahami unsur-unsur yang
terdapat dalam Judul makalah kami tersebut. Kami menyadari bahwa kemampuan dalam
penulisan makalah ini jauh dari kata sempurna. Isi karya tulis ilmiah ini sangat masih perlu
memperoleh kritik dan saran dari siapa saja yang telah membacanya. Atas perhatian dan kerja
sama nya kami ucapkan terima kasih.

Pekanbaru, 16 September 2022

Kelompok 6
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................

DAFTAR ISI .....................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................

A. Latar Belakang Masalah ...................................................................................

B. Rumusan Masalah .............................................................................................

C. Tujuan Penulisan...............................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................

A. Defenisi al-Amr.................................................................................................

B. Defenisi Nahyu .................................................................................................

C. Kaidah-kaidah dasar al-Amr dan Nahyu............................................................

BAB III PENUTUPAN .....................................................................................................

A. Kesimpulan........................................................................................................

B. Saran .................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al Qur’an adalah sebuah fenomena menarik sepanjang sejarah agama, ia
bukan hanya menjadi objek perhatian manusia yang percaya padanya, tapi juga
mereka tertarik untuk menelitinya sebagai salah satu karya sejarah. Perannya cukup
besar dalam membebaskan manusia dari sejarah yang kelabu dan membebaskan kaum
muslim dari jeratan sejarah.1 Al Qur’an juga sebagai kalam Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw telah melahirkan komunitas pembaca. Mereka berusaha
memahami dan mengartikulasikan nilai Al Qur’an dalam kancah kehidupan, hingga
akhirnya terbentuk fakta Islam. Hal ini tidak bisa dihindarkan dari adanya kegiatan
penafsiran, pemahaman dan perenungan akan makna yang dikandung Al Qur’an.
Perintah dan larangan Al Qur’an terdapat dalam berbagai bentuk, sementara
perintah biasanya diungkapkan dengan gaya bahasa imperatif, tetapi ada kesempatan
lain digunakan kalimat lampau sebagai pengganti. Memahami Amr dan nahy
sangatlah penting begitu juga dengan kaidah-kaidah yang menyertainya, kerana
wahyu pertama turun dimulai dengan perintah sebagaimana terdapat dalam Al Qur’an
surat al-‘Alaq (96): 1-5 Dua dari lima ayat surat al-Alaq itu berisi amr kedua amr itu
adalah ‫ إقراء‬masing-masing pada ayat satu dan tiga. Beberapa lama kemudian setelah
wahyu pertama turun itu, turun pulalah wahyu kedua ayat 1-10 al-mudatsir, lima dari
10 ayat itu masih berisi amr Tuhan kepada Muhammad.
B. Rumusan Masalah
1. Apa defenisi dari al-Amr?
2. Apa defenisi dari Nahyu?
3. Bagaimana Kaidah-kaidah dasar al-Amr dan Nahyu?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui defenisi dari al-Amr.
2. Mengetahui defenisi dari Nahyu.
3. Kaidah-kaidah dasar al-Amr dan Nahyu.

1
Qamarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, (Jakarta: Mizan, 1996), 177-180
BAB II

PEMBAHASAN

A. Defenisi Al-Amr (Perintah)


‫طلب الفعل من األعلى الى األدنى‬
"Al-Amr artinya perintah atau tuntutan perbuatan dari orang yang lebih tiggi
tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya, seperti dari atasan kepada
bawahan".

(‫ )أمرر‬perintah adalah suatu urusan berantonim dengan larangan (‫ )النهي‬yang


sebetulnya mempunyai kesamaan yaitu sama-sama tuntutan yang satunya anjuran
sedangkan yang satunya lagi larangan. Setiap ada perintah maupun larangan
mempunyai karinah tertentu yang mempunyai implikasi yang mempunyai efek
tertentu yang mempunyai efek tertentu.2

Dari definisi tersebut, dapat ditarik ciri penting dari perintah atau amr, yaitu:
a. Subjek atau orang yang memerintah adalah orang yang tingkatannya lebih tinggi,
sedangkan yang dimaksud dalam uraian ini adalah Allah sebagai Dhat yang Maha
tinggi dan Mahakuasa. Oleh karena itu, Dia berhak memerintah seluruh makhluk-
Nya, terutama manusia yang telah baligh dan berakal.
b. Ada materi tertentu yang menjadi sasaran objek perintahnya, misalnya memerintah
salat. Jadi, materi perintahnya adalah salat.
Kalimat perintah ada yang menggunakan kata kerja perintah dan ada pula
yang menggunakan selain kata kerja perintah, bahkan ada yang menggunakan kalimat
majazi, tetapi semuanya dimaknakan sebagai perintah3.
2.1  Kedudukan Hukum Dalam Kalam Amr
Ada dua kaidah yang diajukan Ulama tentang kedudukan hukum dari kalam
amr terkait dengan ahkam al-taklifiyyah. Masing-masing golongan/pendapat dengan
kaidahnya dan alasan masing-masing.
a) Golongan pertama menyatakan bahwa setiap amr itu pada dasarnya menunjukkan
hukum wajib. Kaidahnya berbunyi:

‫األصل في األمر للوجوب‬


2
Khalid bin Usman al-Tsabit, Muhtasar Fi Qawaid Al-Tafsir (Dar Ibnu Affan Li Al-Nasyri Wa Al-Tauziq, 1996) hal.
15
3
Ali Mufron, Ushul Fiqh (Konstruksi Teoretik dan Implementasi), Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2015, hal. 29-
30.
"Pada dasarnya setiap perintah itu menunjukkan wajib”.

Menurut kaidah ini apabila tidak ada qarinah/keterangan lain, maka setiap
perintah itu kedudukan hukumnya adalah wajib ditunaikan/dikerjakan. Hal ini karena
tanpa ada keterangan tersebut berarti perintah itu jazm (mengikat/ tegas). Maka
hukumnya adalah wajib4.

b) Golongan kedua menyatakan bahwa setiap perintah itu pada dasarnya hanya
anjuran (nadb) atau sunah saja. Kaidah mereka berbunyi:

‫االصل في األمر للتدب‬


"Pada dasarnya setiap perintah itu menunjukkan anjuran”
Menurut rumusan ini, apabila tidak ada keterangan yang menunjukkan sifat
wajib, maka setiap perintah itu kedudukan hukumnya hanya anjuran sunah saja.
B. Defenisi al-Nahyu
Nahyu artinya larangan. Menurut istilah hukum islam,
‫طلب الترك من األعلى الى األدنى‬
"Al-nahyu ialah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dari orang yang lebih
tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya".

Menurut bahasa adalah lawan kata dari perintah ‫ نهيا‬،‫ ينهاه‬،‫( نهاه‬saya melarang,
dia melarang, larangan), ‫ كف‬:‫( فانتهى و تنتهي‬menahan/mencegah) sedangkan menurut
istilah yaitu tuntutan mencegah untuk melakukan suatu perbuatan. Dan dikatakan
yaitu perkataan yang menghendaki daripadanya orang yang barkata itu meninggalkan
perbuatan tanpa dirinya.

Mayoritas Ulama usul fiqh mendefinisikan nahi sebagai:


‫الكف عن الفعل على جهة اإلستعالء بالصٌيغة الت ّدال عليه‬
ّ ‫طلب‬
"Larangan melakukan suatu perbuatam dari pihak yang lebih tinggi
kedudukannya kepada yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang
menunjukkan atas hal itu".5

4
Ali Mufron, Ushul Fiqh (Konstruksi Teoretik dan Implementasi), Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2015, hal. 31
5
Ali Mufron, Ushul Fiqh (Konstruksi Teoretik dan Implementasi), Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2015, hal. 51
Jika lafal khusus yang terdapat dalam nas syara' berbentuk nahi atau bentuk
berita yang bermakna larangan, maka berarti haram. Yaitu menuntut untuk tidak
melakukan yang dilarang secara tetap dan pasti.6
2.1 Kedudukan Hukum al- Nahyu
Apabila ada dalil berbentuk nahyu, ada dua pendapat Ulama tentang
kedudukan hukumnya dengan kaidahnya masing-masing

a. Menurut Jumhur al-Ulama' menyatakan bahwa:

‫األصل في النهى للتحريم‬


"Pada dasarnya setiap larangan itu hukumnya haram Seperti firman Allah
SWT

ِ ۙ ْ‫اَل تُ ْف ِس ُدوْ ا فِى ااْل َر‬


‫ض‬

"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi" (Al-Baqarah [2]: 11)

Jadi menurut pendapat ini selama tidak ada keterangan bahwa larangan itu
hanya makruh saja, maka berarti setiap larangan itu betul-betul haram. Timbulnya
pendapat in tidak lepas dari banyaknya dalil yang mengindikasikan bahwa orang yang
melanggar larangan Allah SWT diancam dengan siksa neraka.7

Dengan demikian, manakala tidak ada garisah lain, setiap kita menemui dalil
larangan maka hukum dasarnya adalah haram Misalnya, berbuat zina, karena tidak
ada keterangan Jari jurusan manapun yang menerangkan bahwa zina ito halal maka
perbuatan zina itu tetap diharamkan

b. Golongan Mu'tazilah, menyatakan bahwa

‫األصل في النهي للكراهة‬

"Pada dasarnya setiap larangan itu hanya memanjukkan makruh saja”

Alasannya adalah bahwa manusia lahir kedunia ini adalah membawa hak
kebebasan, sehingga pada dasarnya tidak ada larangan yang bersifat penekanan.
Pendapat mereka ini kalau runtut ada persesuaian dengan gaidah fiqhiyyah yang

6
Ali Mufron, Ushul Fiqh (Konstruksi Teoretik dan Implementasi), Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2015, hal. 52.
7
Ali Mufron, Ushul Fiqh (Konstruksi Teoretik dan Implementasi), Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2015, hal. 52
menyatakan bahwa pada dasarnya sesuatu itu asalnya boleh, kecuali ada keterangan
yang mengharamkan.

‫األصل في األشياء اإلباحة حتى يذل الدليل على التحريم‬

"Pada dasarnya segala sesuatu itu adalah boleh sampai ada dalil yang
melarangnya”

Kemudian yang menjadi dasar adalah bebasnya seseorang dari beban "‫األصل‬
‫( "برأة الديمة‬yang menjadi ukuran dasar adalah kebebasannya seseorang dari beban).8

C. Kaidah-kaidah Amru dan Nahyu


Amru
1. ‫( ٔالمر المطلق يقتضى الوجوب االلصارف‬pada dasarnya amr itu menghendaki wajib)
Lafazh amr yang mutlak menghendaki makna wajib kecuali ada alasan atau
indikasi tertentu. Kaidah amr ini merupakan kesepakatan ulama salaf maupun ulama
khalaf.9
Maksud dari kaidah ini, apabila dalam nash al-Qur’an terdapat lafazh amr atau
kaimat berbentuk berita yang mengandung pengertian perintah, maka perintah
tersebut memberi pengertian wajib, atau mengharuskan. Yaitu menuntut secara tegas
dank eras dari objek untuk melakukan perintah itu. 10
Contohnya :

‫َوا ْعبُدُوا هّٰللا َ َواَل تُ ْش ِر ُكوْ اـ بِ ٖه َش ْيـًٔا َّوبِ ْال َوالِ َدي ِْن اِحْ َسانًا‬
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.
Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, (QS, an-Nisa’,
4:36)
2. ‫( أالمر بااشٔي يستلزم النهي عن ضده‬perintah terhadap sesuatu larangan untuk lawannya)
Ulama berpendapat amr (perintah) terhadap sesuatu maka menjadi nahy
(larangan) untuk lawan dari sesuatu yang diperintahkan tersebut. Maksudnya apabila
seseorang diperintahkan untuk beriman kepada asmaAllah maka larangan untuk
kafir.11
Contoh dalam firman Allah Qs. An-Nisa’ ayat 36:

‫ُوا ٱهَّلل َ َواَل تُ ْش ِر ُك ۟ـ‬


‫وا بِِۦه َش ْيـًٔا ۖ َوبِ ْٱل ٰ َولِ َدي ِْن ِإحْ ٰ َسنًا‬ ۟ ‫َوٱ ْعبُد‬
sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.
dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapa,

8
Ibid, hal. 127.
9
Khalid bin ‘Utsman As-sabt, Qawaidu At-Tafsir, Juzu’ I, (Dar Ibnu ‘affan) 479
10
Miftah Faridi dan Agus Syihabuddin, Al-Qur’an Sumber Hukum Islam yang
Pertama, Cet. I… 200
11
Wahbah Zuhayli, Ushulul Fiqh Islamy, … 228
Ayat tersebut Allah memerintahkan bertauhid kepada Allah maka larangan
tidak menyembah Allah atau menyembah selain Allah kata lain larangan
mempersekutukan Allah.

3. ‫( أالمر يقتضي الفور اال لقرينة‬perintah itu menghendaki segera dilakukan kecuali ada
indikasi lain)
Apabila syari’ (Allah) telah memberikan perintah, maka bagi yang
diperintahkan hendaklah melakukannya segera atau langsung, kecuali apabila ada
indikasi atau karenah lain yang membolehkan untuk mentakhirkan atau menunda
untuk melakukannya.12
Contoh amr (perintah) yang tanpa ada indikasi atau karenah yang membolehkan
menunda melakukannya ( perintah yang langsung dilakukan oleh yang diperintahkan
melakukan sesuatu).
QS. Ali Imran, 3 : 97

ِ ‫ۚ َوـ هَّلِل ِـ َعـ لَـ ىـ اـلـنَّـ اـ‬


ِ ‫سـ ِـحـ جـُّـ اـ ْلـ بَـ ْيـ‬
‫تـ َمـ ِنـ اـ ْسـ تَـ طَـ اـ َعـ ِإ لَـ ْيـ ِهـ َسـ بِـ يـاًل‬
mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang
sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah.

4. ‫( اذا علق أالمرعلى شرط او صفة فانه يقتضي التكرار‬apabila amr dikaitkan dengan syarat atau
sifat maka amr tersebut menghendaki berulang-ulang)
Amr yang dikaitkan dengan syarat dan sifat menghendaki lawan bicara berulang-
ulang untuk melakukan syarat dan sifat tersebut.
Contoh yang dikaitkan dengan sifat, QS. An-Nur : 2

‫اَل َّزانِيَةُ َوال َّزانِ ْي فَاجْ لِ ُدوْ ا ُك َّل َوا ِح ٍد ِّم ْنهُ َما ِماَئةَ َج ْل َد ٍة‬
perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang
dari keduanya seratus dali dera

Contoh yang dikaitkan dengan syarat QS. Al-Maidah, 5:6

‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِ َذا قُ ْمتُ ْم اِلَى الص َّٰلو ِة فَا ْغ ِسلُوْ ا ُوجُوْ هَ ُك ْم َواَ ْي ِديَ ُك ْم اِلَى ْال َم َرافِ ِـ‬
‫ق َوا ْم َسحُوْ اـ‬
‫بِ ُرءُوْ ِس ُك ْم َواَرْ ُجلَ ُك ْم اِلَى ْال َك ْعبَي‬
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,

Abu Zahrah berpendapat bahwa pada hakikatnya sighat amr tidak menghendaki
berulang-ulang tetapi menunjukkan bahwa melaksanakan amr secara berulang-ulang
tidak dilakukan hanya sekali saja.13 Jadi amr secara hakikat menunjukkan atas
tuntutan melakukan sesuatu tanpa memandang itu sekali atau berulangulang.

12
Khalid bin ‘Utsman As-sabt, Qawaidu At-Tafsir, Juzu’ I, (Dar Ibnu ‘affan) 483
13
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Al-fiqh, (Mesir: Dar al-fikr), 140-141
5. ‫( االمر الواردبعدالحظريعودحكمهـ الي حاله قبل الحظر‬amr atau perintah yang datang setelah
dilarang hukumnya dikembalikan kepada kondisi sebelum dilarang)
Apabila lafazh amr datang setelah adanya larangan menurut ahli ilmu faedahnya
adalah kembali kepada hukum sebelum terjadinya larangan. Apabila sebelum
larangan tersebut hukumnya adalah mubah maka perintah setelah larangan itu
hukunya memfaedahkan kepada ibahah.14
Jumhur ulama berpendapat bahwa amr yang didahului oleh larangan itu tidak
lagi berfungsi sebagaimana asalnya, tetapi telah berubah menjadi ibahah, bagaimana
bentuk amr sebelum adanya larangan itu, alasan mereka :
a. Berdasarkan ‘urf (kebudayaan) dan kebiasaan dalam pembicaraan (ucapan)
seseorang, bila ia menyuruh sesudah sebelumnya melarang, maka suruhan itu
bukan lagi dalam bentuknya yang semula (keharusan), tetapi berubah menjadi
kebolehan.
b. Berdasarkan ‘urf syar’i, amr yang berasal sesudah larangan berubah hukumnya
menjadi ibahah (boleh).15 Contoh dalam firman Allah : QS. Al-Maidah 5 : 2
ۤ ‫هّٰللا‬
َ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تُ ِحلُّوْ ا َش َع ۤا ِٕى َـر ِ َواَل ال َّش ْه َر ْال َح َرا َم َواَل ْالهَ ْد‬
َ‫ي َواَل ْالقَاَل ۤ ِٕى َد َوٓاَل ٰا ِّم ْينَ ْالبَيْت‬
‫ْال َح َرا َم يَ ْبتَ ُغ ْو َن فَضْ اًل ِّم ْن َّربِّ ِه ْم َو ِرضْ َوانًاـ ۗ َواِ َذا َحلَ ْلتُ ْم فَاصْ طَاد ُْواـ‬

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah], dan
jangan melanggar kehormatan bulanbulan haram, jangan (mengganggu) binatang-
binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu
orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan
keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka
bolehlah berburu.

6. ‫( اذا كان االمرواردا علي سؤال عن الجواز فهو لالباحة‬perintah terhadap persoalan yang
dibolehkan maka hukumnya ibahah atau boleh)
Amr (perintah) yang datang terhadap hal yang diperbolehkan tidak diwajibkan
maka makna amr yang menuntut wajib berubah menjadi ibahah.
Contoh dalam firman Allah : QS. Al-Maidah, 5 :4

‫ح ُم َكلِّبِ ْينَ تُ َعلِّ ُموْ نَه َُّن ِم َّما عَلَّ َم ُك ُم‬ ِ ‫ت َو َما عَلَّ ْمتُ ْم ِّمنَ ْال َج َو‬
ِ ‫ار‬ ُ ۙ ‫يَ ْسـَٔلُوْ نَكَ َما َذٓا اُ ِح َّل لَهُ ۗ ْم قُلْ اُ ِح َّل لَ ُك ُم الطَّيِّ ٰب‬
‫هّٰللا ُ فَ ُكلُوْ ا ِم َّمٓا اَ ْم َس ْكنَ َعلَ ْي ُك ْم َو ْاذ ُكرُواـ ا ْس َم هّٰللا ِ َعلَ ْي ِه‬

mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang Dihalalkan bagi mereka?".


Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh
binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu
mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah
dari apa yang ditangkapnya untukmu. dan sebutlah nama Allah atas binatang buas
itu (waktu melepaskannya.

7. ‫( االمر المعلق علي اسم هل يقتضي االقتصارعلي اوله‬Perintah yang dikaitkan dengan suatu isim
apakah menghendaki batasan pada awalnya)

14
Khalid bin ‘Utsman As-sabt, Qawaidu At-Tafsir,… 487
15
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2,… 187
Amr (perintah) yang dikaitkan dengan isim yang bersifat masih umum, apakah
membutuhkan suatu pembatasan. Apakah membutuhkan batas maksimalnya dan
batas minimalnya. Contoh QS. An-Nisa’: 92

ٌ‫َو َما َكانَ لِ ُمْؤ ِم ٍن اَ ْن يَّ ْقتُ َل ُمْؤ ِمنًا اِاَّل َخطَـًٔا ۚ َو َم ْن قَتَ َل ُمْؤ ِمنًاـ خَ طَـًٔا فَتَحْ ِر ْي ُر َرقَبَ ٍة ُّمْؤ ِمنَ ٍة َّو ِديَة‬

َّ َّ‫ُّم َسلَّ َمةٌ اِ ٰلٓى اَ ْهلِ ٖ ٓه آِاَّل اَ ْن ي‬


‫ص َّدقُوْ ا ۗ فَاِ ْن َكانَ ِم ْن قَوْ ٍـم َعد ٍُّو لَّ ُك ْم َوهُ َو ُمْؤ ِم ٌن فَتَحْ ِر ْي ُـر َرقَبَ ٍة ُّمْؤ ِمنَ ٍة‬

Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia

memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang

diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga

terbunuh) bersedekah. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada Perjanjian

(damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat

yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba

sahaya yang beriman.

Nahyu

1. ‫( النهي يقتضــي التحــريم الفوروالــدام االلقرينة‬Nahyu menghendaki tahrim(haram), segera,

selamanya kecuali ada indikasi lain) Lafazh nahy menghendaki tuntutan

larangan secara kekal (dawam) dan spontan (fauran). Sebab yang dituntut itu

(larangan) tidak dapat terwujud kecuali apabila tuntutan larangan itu bersifat

kekal. Maksudnya bahwa setiap kali jiwa seorang mukallaf mendorongnya untuk

melakukan yang terlarang, maka setiap kali itu pula nahy menuntut dia untuk

meninggalkan.16 seperti: perkataan seorang bapak kepada anaknya ‘jangan kamu

dekati singa’, maka anak itu disuruh menjauhi binatang tersebut selama-lamanya

karena untuk melepaskan diri dari kebinasaan.

2. ‫واذا امربشٔي كان امرا بجميعه‬،‫نهي عن بعضه‬،‫( اذا نهي الشارع عن شٔي‬apabila syari’ melarang
sesuatu maka juga larangan untuk bagiannya, dan apabila diperintahkan sesuatu
merupakan perintah untuk keseluruhannya)

16
Miftah Faridi dan Agus Syihabuddin, Al-Qur’an Sumber Hukum Islam yang Pertama, Cet. I…211
Jika Allah melarang atau mengharamkan sesuatu maka secara mutlak
keseluruhan bagian-bagian dari yang diharamkan itu juga ikut haram, seperti
haram babi, haram meminum khamar dan lain-lain. Secara tidak langsung
larangan itu juga mengharamkan bagian-bagiannya, contoh haramnya memakan
babi berarti keseluruhan bagian dari babi itu adalah haram tidak hanya
dagingnya saja.17

3. ‫ ( االنشاء بصيغة الخبر ابلغ من ايراده بصيغة االنشاء‬Maksud insya’ menggunakan bentuk
khabr lebih jelas penyampaianya dari pada menggunakan shigat insya’ itu
sendiri)
Lafaz nahy yang bertujuan untuk insya’ tetapi menggunakan kata khabar lebih
jelas maknanya dari pada menggunakan lafaz insya’ itu sendiri.18

Contoh QS : Al-Baqarah : 83

‫ق بَنِ ْٓي اِ ْس َر ۤا ِء ْي َل اَل تَ ْعبُ ُدوْ نَ اِاَّل هّٰللا َ َوبِ ْال َوالِ َدي ِْن اِحْ َسانًا‬ ْ َ‫َواِ ْذ ا‬
َ ‫خَذنَا ِم ْيثَا‬

dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah

kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa,

4. ‫( النهي يقتضي الفساد‬larangan itu ada karena ada kerusakan terhadap yang dilarang)

Allah melarang atau mengharamkan melakukan sesuatu karena bertujuan mencegah


dan menolak terjadinya kerusakan tersebut. Allah melarang melakukan hal yang
tidak Dia sukai karena ada kerusakan di dalamnya.
Larangan itu ada karena fasad (ada kerusakan) ada dua :
a. Sesuatu yang dilarang tersebut karena dzatnya Contoh QS : Al-Isra’ : 32

‫َواَل تَ ْق َربُوا ال ِّز ٰن ٓى اِنَّهٗ َكانَ فَا ِح َشةً ۗ َو َس ۤا َء َسبِ ْياًل‬


dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.

b. Sesuatu yang dilarang tersebut karena sifatnya Contoh QS : An-Nisa :43

ٰ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تَ ْق َربُوا الص َّٰلوةَ َواَ ْنتُ ْم ُس َك‬
‫ارىـ‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam
Keadaan mabuk,

17
Khalid bin ‘Utsman As-sabt, Qawaidu At-Tafsir,… 511-512
18
Khalid bin ‘Utsman As-sabt, Qawaidu At-Tafsir,… 514
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sumbangsih ulama dalam beberapa kaidah tentang penafsiran tidak bisa
dilupakan begitu saja, termasuk dalam hal amr dan nahy. Secara bahasa kita bisa
memahami bahwa amr dan nahy adalah suatu larangan dan perintah tapi kadang-
kadang dia berubah maknanya sesuai dengan qarinah yang ada, karena amr dan
nahy mempunyai makna hakiki dan majazi.
Tidak hanya itu, memahami amr dan nahy sangat penting karena didalamnya
akan banyak ditemukun konsekwensi hokum yang berbeda-beda dan akan dipakai
dalam kehidupan sehari-hari, tetapi walau bagaimana perbedaan yang dibingkai
oleh tirai ketulusan dalam membentangkan syariat yang elastis akan menciptakan
kemajuan signifikansi dalam tatanan kejayaan Islam.

B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami buat mengenai materi Amru dan Nahy.
Penulis menyadari masih banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan dalam
makalah yang kami buat karena keterbatasan kemampuan pemakalah dalam
menulisnya. Pemakalah berharap para pembaca dapat memberikan kritik dan
saran yang membangun kepada pemakalah demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
al-Bashri, Abi al-Husain, Al-Mu’tamad Fi Ushul al-Fiqh, Beirut: Dar al-
Kutub, Tt.
al-Jarimi, Ali dan Mushtafa Utsman, (2004), Al-Balaghah al-Wadhihah,
Terjemahan Mujiyo, dkk, Bandung: Sinar Baru Algensindo.
ar-Razi, Fakhruddin, (1997), al-Mahshul Fi ‘Ilmi Ushul al-Fiqh, Beirut:
Muassah ar- Risalah.
Hidayat Qamarudin, 1996, Memahami Bahasa Agama, Jakarta: Mizan.
Ibid
Mufron Ali, 2015, Ushul Fiqh (Konstruksi Teoretik dan Implementasi),
Yogyakarta: Lentera Kreasindo,
Nashir as-Sa’di, Abd. Rahman, (2001), 70 Kaidah Penafsiran al-Quran,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001). Terj. Mursani dan Mustahab.
Syarifudin, Amir, (2001), Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Pt. Logos Wacana Ilmu.
Utsman, Khalib bin, (1421 H), Qawaid Tafsir Jam’an wa Dirasatan, Kairo:
Dar ibn Utsman.

Anda mungkin juga menyukai