Anda di halaman 1dari 25

Makalah

Ushul Fiqh

SUMBER SUMBER HUKUM ISLAM

Disusun Oleh :

ZULFA SETIAWAN (150211028)


RISKI MAULANA (150211001)
RISKI AMANDA (150211004)
M. IQBAL (150211005)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNIK ELEKTRO


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
BANDA ACEH
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah menganugerahkan akal dan
fikiran kepada manusia, sehingga dengan penggunaan otak dan fikiran secara baik
dan benar manusia menjadi makhluk yang lebih unggul dari yang lainnya.
Shalawat serta salam semoga terus bermuara pada baginda Rasulullah SAW,
pahlawan terhebat di dunia yang membawa perubahan besar dalam sejarah hidup
manusia, dari kejahilan menuju peradaban manusia yang lebih bermartabat
dengan bendera agama islam. Adapun judul Makalah ini Sumber sumber
Hukum Islam.

Sepanjang penulis menyelesaikan Makalah ini tentunya banyak kendala


yang penulis hadapi, hal ini di sebabkan terbatasnya ilmu pengetahuan dan
pengalaman penulis sendiri sehingga penulis merasa sukar dalam
menyelesaikannya, akan tetapi berkat petunjuk dari ibu pembimbing penulis dapat
menyelesaikan tepat pada waktunya.

Sehubungan dengan ini penulis mengucapkan rasa terima kasih yang


sebesar-besarnya kepada orangtua saya yang telah memberikan do’a, dukungan,
dan motivasi agar saya dapat menyelesaikan Makalah. Serta teman-teman sekalian
yang turut berperan dalam memberikan kritikan serta masukan kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini.

Akhirnya saya berharap, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca atau pihak yang membutuhkan.
KATA PENGANTAR..........................................................2
BAB I.............................................................................4
PENDAHULUAN..............................................................4
1. Latar Belakang.....................................................................4
BAB II............................................................................5
SUMBER HUKUM ISLAM YANG DISEPAKATI PARA ULAMA 5
A. Al-Qur’an..................................................................................5
1. Pengertian Al-Qur’an..................................................................5
2. Pokok-pokok isi Al-Qur’an..........................................................5
3. Dasar Kehujjahan Al-Qur’an dan Kedudukannya sebagai
Sumber Hukum................................................................................ 5
4. Pedoman AI-Qur'an dalam Menetapkan Hukum........................6
B. Hadits Nabi s.a.w.......................................................................7
1. Pengertian Al-Hadits..............................................................7
2. Bentuk-bentuk Al-Hadits.......................................................7
3. Dasar Kehujjahan Al-Hadits dan Kedudukannya sebagai
Sumber Hukum............................................................................. 8
4. Fungsi Al-Hadits terhadap Al-Qur’an.................................15
C. Ijma'.......................................................................................16
1. Pengertian Ijma'.....................................................................16
2. Dasar Kehujjahan Ijma’ dan Kedudukannya sebagai
sumber hukum............................................................................ 17
3. Macam dan Tingkatan Ijma’.................................................17
D. Qiyas.......................................................................................18
1. Pengertian Qiyas....................................................................18
2. Rukun Qiyas...........................................................................19
3. Dasar Kehujjahan Qiyas dan Kedudukannya sebagai
Sumber Hukum...........................................................................21
4. Macam-macam Qiyas.............................................................22
5. Sebab-sebab dilakukan Qiyas............................................23

BAB VI.........................................................................24
KESIMPULAN................................................................24
DAFTAR PUSTAKA........................................................25

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Fiqih islam merupakan kumpulan hukum islam yang berkenaan
dengan amal perbuatan, yang digali dari sumber/dalilnya secara terperinci.
Dalil pokok yang merupakan sumber fiqih itu adalah wahyu Tuhan. Satu-
satunya pemilik dan penguasa hukum.
Pengertian wahyu sebagai satu-satunya sumber hukum, ialah
bahwa dialah yang berhak menetapkan adanya sumber lain yang dapat
dijadikan dasar bagi fiqih islam, di antaranya dinyatakan adalah : Qur’an ,
Hadist dan sumber hukum pelengakap islam lainnya.
Sedangkan saat ini kita tidak hanya menggunakan 3 hukum
tersebut. Kita menggunakan hukum yang dibuat oleh pemimpin negara
Indonesia yang berupa Undang-Undang. Akan tetapi di Indonesia muncul
Undang-Undang Islam yang terbaru sampai saat ini adalah KHI
(Kompilasi Hukum Islam).
Semoga tulisan kami ini bisa membantu pembaca dalam
mempelajari hukum islam.
BAB II

SUMBER HUKUM ISLAM


YANG DISEPAKATI PARA ULAMA

A. Al-Qur’an

1. Pengertian Al-Qur’an

Menurut bahasa (etimologi) kata Al-Qur’an berasal dari kata “qara-yaqrau-


qur anan” artinya bacaan atau yang dibaca. Sedangkan menurut istilah
(terminologi) Al-Qur’an adalah Kalmullah sebagai mu’jizat yang diturunkan
kepada nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril, dengan bahasa Arab,
ditulis dimushhaf, disampaikan secara mutawatir, dibaca bernilai ibadah.
Diawali dengan surat Al-Fatihan dan diakhiri dengan surat An-Nas.

2. Pokok-pokok isi Al-Qur’an

Pokok-pokok isi Al-Qur’an ada lima yaitu :

a. Tauhid

b. Ibadah

c. Janji dan ancaman

d. Jalan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat

e. Riwayat dan ceritera ( qishah umat terdahulu).


3. Dasar Kehujjahan Al-Qur’an dan Kedudukannya sebagai
Sumber Hukum

Sebagimana kita ketahui Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW


dan disampaikan kepada umat manusia adalah untuk wajib diamalkan semua
perintah-Nya dan wajib ditinggalkan segala larangan-Nya. Firman) Allah SWT
:

Artinya : "Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu


dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara
manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu,
dan janganlah kamu menjadi penantan karena membela orang-
orang yang khianat". (An-Nisa :105).

Artinya : "Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka


menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka (Al-Maidah: 49).

Al-Qur'an merupakan number hukum utama dalam islam dan menempati


kedudukan pertama dari sumber- sumber hukum islam yang lain, ia merupakan
aturan dasar yang paling tinggi. Semua sumber hukum dan ketentuan norma
yang ada tidak boleh bertentangan dengan isi Al-Qur'an.

4. Pedoman AI-Qur'an dalam Menetapkan Hukum.

Pedoman Al-Qur'an dalam menetapkan hukum sesuai dengan perkembangan


dan kemampuan manusia, baik secara fisik maupun rohani. manusia
selalu berawal dari kelemahan dan ketidak mampuan. Untuk itu Al Qur'an
berpedoman kepada tiga hal, yaitu :
a. Tidak memberatkan ( )

Firman Allah SWT :

Artinya : "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai


dengan kesanggupannya..." (Al-Bagarah : 286).

Artinya : "...Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak


menghendaki kesukaran bagimu". (Al-Bagarah : 185)

Contoh :Azimah (ketentuan-ketentuan umum Allah) misal sholat


wajib dll

b. Meminimalisir beban ( )

Dasar ini merupakan konsekwensi logis dari dasar yang pertama. Dengan
dasar ini kita dapati rukhshah (keringanan) dalam beberapa jenis
ibadah, seperti Menjama’ dan mengqashar sholat apabila dalam
perjalanan dengan syarat yang telah ditentukan.

c. Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum ( )

Al-Qur'an dalam menetapkan hukum adalah secara bertahap, hal ini


bisa kita telusuri dalam hukum haramnya meminum-minuman keras,
berjudi serta perbuatan-perbuatan yang mengandung judi ditetapkan
dalam AlQur'an (QS. Al-Baqarah: 219, QS. An-Nisa’ : 43 dan QS. Al-
Maidah : 90).

B. Hadits Nabi s.a.w.


1. Pengertian Al-Hadits
Menurut bahasa (etimologi) Al-Hadits berarti ”yang baru”, ”yang dekat”,
atau ”warta” yaitu sesuatu yang dibicarakan. Sedangkan menurut istilah
(terminologi) Al-Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir (persetujuan)
beliau.

2. Bentuk-bentuk Al-Hadits
Berdasarkan definisi istilah diatas, maka bentuk hadits dapat dibedakan
menjadi 3 macam yaitu :

a. Qauliyah ( ucapan )
b. Fi’liyah ( perbuatan )
c. Taqririyah ( keputusan/ketetapan )
3. Dasar Kehujjahan Al-Hadits dan Kedudukannya sebagai
Sumber Hukum
Banyak kita jumpai ayat - ayat Al-Qur'an dan Hadits-hadits yang
memberikan pengertian bahwa hadits merupakan sumber hukum Islam
selain Al-Qur'an yang wajib diikuti, dan diamalkan baik dalam bentuk
perintah maupun larangannya. Uraian di bawah ini merupakan penjelasan
secara rinci tentang dasar kehujjahan hadits sebagai sumber hukum
Islam dengan mengambil beberapa dalil, baik naqli maupun aqli.

a. DaliI Al-Qur'an

Banyak kita jumpai ayat Al-Qur'an yang menjelaskan tentang kewajiban


mempercayai dan menerima segala yang disampaikan oleh Rasul
kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup sehari-hari . Di
antara ayat-ayat dimaksud adalah:

Firman Allah SWT :

Artinya: Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang


beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia
menyisihkan yang buruk (munafiq) dari yang baik (mukmin).
Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada
kamu hal-hal yang gaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang
dikehendaki-Nya di antara Rasul-rasul-Nya. Karena itu
berimanlah kepada Allah dan Rasul-Rasul-Nya; dan jika
kamu beriman dan bertaqwa, maka bagimu pahala yang besar.
(QS. Ali lmran (3): 179).

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman :

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada


Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan
kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan
sebelumnya. Bagi siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-
malaikat-Nya, Rasulrasul-Nya, dan hari kemudian, maka
sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh jauhnya. (QS. Al-
Nisa' (4): 136).

Ayat-ayat diatas Allah menyuru kaum Muslimin agar mereka


tetap beriman kepada Allah, Rasul-Nya (Muhammad SAW), Al -
Qur'an, dan kitab yang diturunkan sebelumnya. Kemudian Allah
mengancam orang-orang yang mengingkari dan menentang seruan-
Nya.

Di samping itu, Allah juga memerintahkan kepada kaum


muslimin agar menaati dan melaksanakan segala bentuk perundang-
undangan dan peraturan yang dibawa oleh Rasul-Nya, baik berupa
perintah maupun larangan. Tuntutan taat dan patuh kepada Rasul-Nya
sama halnya tuntutan taat dan patuh kepada Allah SWT. Banyak ayat
Al-Qur'an yang berkenaan dengan masalah ini. Firman Allah SWT:

Artinya: Katakanlah ! Taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya;


jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang kafir". (QS. Ali lmran (3): 32).

Dalam firman-Nya yang lain:

Artinya : Hai orang-orang yang beriman ! Taatilah Allah, Rasul, dan


Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, akan kembalilah kepada Allah
dan Rasul, jika kamu benar-benar kepada Allah dan hari
Kemudian. Yang demikian ini lebih utama dan lebih baik
akibatnya. (QS. AN-Nisa (4): 59).

Kemudian dalam ayat yang lain, Allah juga berfirman:

Artinya : Apa yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah dan apa-apa


yang dilarangnya, maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-
Nya. (QS. AI-Hasyr (59): 7).
Artinya: Dan taatlah kamu kepada Allah dan kepada Rasul-Nya,
dan berhati-hatilah. (QS. Al-Maidah (5): 92).

Artinya: Katakanlah: Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada


Rasul; dan jika kamu berpaling, maka sesungguhnya
kewajiban Rasul SAW itu adalah apa yang dibebankan
kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-
mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat
kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk (QS. A1-Nur
(24): 54).

Dari ayat- ayat Al-Qur'an di atas tergambar bahwa setiap ada


perintah taat kepada Allah SWT dalam Al-Qur'an selalu diikuti dengan
perintah taat kepada Rasul-Nya. Demikian pula mengenai peringatan
(ancaman) karena durhaka kepada Allah, sering disejajarkan atau
disamakan dengan ancaman karena durhaka kepada Rasul Muhammad
SAW.

b. Dalil Al-Hadits

Mari kita pahami Dalam salah satu pesan Rasulullah SAW


berkenaan dengan kewajiban menjadikan hadits sebagai pedoman
hidup, disamping Al-Qur'an sebagai pedoman utamanya, beliau
bersabda:
Artinya: "Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian
tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada
keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya".
(HR. Malik).

Saat Rasulullah ingin mengutus Mu'adz bin Jabal untuk


menjadi penguasa di Negeri Yaman, terlebih dahulu dia diajak dialog
oleh Rasulullah S AW.

Artinya: "(Rasul bertanya), bagaimana kamu akan menetapkan hukum


bila dihadapkan padamu sesuatu yang memerlukan penetapan
hukum? Mu'az menjawab: saya akan menetapkannya
dengan kitab Allah. Lalu Rasul bertanya; seandainya kamu
tidak mendapatkannya dalam kitab Allah, Mu'az menjawab:
dengan Sunnah Rasulullah. Rasul bertanya lagi, seandainya
kamu tidak mendapatkannya dalam kitab Allah dan juga tidak
dalam Sunnah Rasul, Mu'az menjawab: saya akan berijtihad
dengan pendapat saya sendiri. Maka Rasulullah menepuk-
nepuk belakangan Mu'az seraya mengatakan "segala puji
bagi Allah yang telah menyelaraskan utusan seorang Rasul
dengan sesuatu yang Rasul kehendaki". (HR. Abu Daud dan
Al-Tirmidzi).

Dalam hadits lain Rasul bersabda:


Artinya: "Wajib bagi sekalian berpegang teguh dengan Sunnahku
dan Sunnah Khulafa Ar-Rasyidin (khalifah yang mendapat
petunjuk), berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya.
(HR. Abu Daud dan Ibun Majah).

Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa berpegang teguh


kepada hadits atau menjadikan hadits sebagai pegangan dan
pedoman hidup itu adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang
teguh kepada Al-Qur'an.

c. Kesepakatan Ulama (Ijma')

Seluruh Umat Islam telah sepakat menjadikan hadits sebagai


salah satu dasar hukum Syari'at Islam yang wajib diikuti dan
diamalkan; karena sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah.
Penerimaan mereka terhadap hadits sama seperti penerimaan mereka
terhadap Al-Qur'an, karena keduanya sama-sama dijadikan sebagai
sumber hukum Syariat Islam.

kesepakatan umat Islam dalam mempercayai, menerima dan


mengamalkan semua ketentuan yang terkandung di dalam hadits
ternyata sejak Rasulullah masih hidup hingga sekarang tidak ada yang
mengingkarinya. Banyak diantara mereka yang tidak hanya
memahami dan mengamalkan isi kandungannya, akan tetapi bahkan
mereka menghafal, memelihara, dan menyebarluaskan kepada generasi-
generasi selanjutnya.

Mari kita menengok peristiwa-peristiwa yang menunjukkan


adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber hukum Islam
pada masa sahabat, antara lain dapat diperhatikan peristiwa di bawah ini :
a. Pada saat Abu Bakar Ra. dibaiat menjadi Khalifah, ia dengan
tegas berkata “Saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang
diamalkan / dilaksanakan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut
menjadi orang bila meninggalkan perintahnya".

b. Pada saat Khalifah Umar Ibnu Khattab ada di depan Hajar


Aswad is berkata: “Saya tahu bahwa engkau adalah batu.
Seandainya saya sendiri tidak melihat Rasulullah menciummu,
maka saya tidak akan menciummu".

c. Pada suatu saat pernah ditanyakan kepada Abdullah bin Umar


(Ibnu Umar) masalah ketentuan shalat safar dalam Al-Qur'an. la
menjawab: "Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW
kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu. Maka sesungguhnya
kami berbuat sebagaimana duduknya Rasulullah SAW, saya makan
sebagaimana makannya Rasulullah dan saya shalat sebagaimana
shalatnya Rasul".

d. Diceritakan dari Sa'id bin Musayyab bahwa Khalifah Usman bin


Affan berkata: “Saya duduk sebagaimana mengikuti duduknya
Rasulullah SAW, saya juga makan sebagaimana makannya
Rasulullah, dan saya mengerjakan shalat sebagaimana shalatnya
Rasul”.

Sebenarnya Masih banyak lagi contoh-contoh yang dilakukan


oleh para sahabat yang menunjukkan bahwa apa yang diperintahkan,
dilakukan, dan diserukan, niscaya diikuti oleh umatnya, dan apa
yang dilarang selalu ditinggalkan oleh mereka.

d. Sesuai dengan Petunjuk Akal

Muhammad SAW, sebagai Nabi dan Rasul Allah telah diakui


dan dibenarkan oleh seluruh umat Islam. Di dalam mengemban misinya
itu, kadang-kadang beliau hanya sekedar menyampaikan apa yang
diterima dari Allah SWT, baik isi maupun formulasinya dan kadang
kala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan wahyu dari Allah. Namun
juga tidak jarang beliau membawakan hasil ijtihad semata-mata
mengenai suatu masalah yang tidak ditunjuk oleh wahyu dan juga
tidak dibimbing oleh ilham. Hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku
sampai ada dalil yang menghapuskannyanya

Dan apabila kerasulan Muhammad SAW telah diimani dan


dibenarkan, maka konsekwensi logisnya segala peraturan dan
perundang-undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan
atas bimbingan ilham atau hasil ijtihad semata, ditempatkan sebagai
sumber hukum dan pedoman hidup. Di samping itu secara logika
kepercayaan kepada Muhammad SAW sebagai Rasul Allah
mengharuskan umatnya mentaati dan mengamalkan segala ketentuan
yang beliau sampaikan.

Semua umat Islam telah sepakat dengan bulat bahwa Hadits


Rasul adalah sumber dan dasar hukum Islam setelah Al-Qur'an, dan
umat Islam diwajibkan mengikuti dan mengamalkannya sebagaimana
diwajibkan mengikuti dan mengamalkan Al-Qur'an.

Al-Qur'an dan Hadits merupakan dua sumber hukum pokok syariat


Islam yang tetap, dan orang Islam tidak akan mungkin bisa memahami
syariat Islam secara mendalam dan lengkap tanpa kembali kepada
kedua sumber Islam tersebut. Seorang mujtahid dan seorang ulama'
pun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan mengambil
salah satu dari keduanya.

Berdasarkan uraian di atas bisa diketahui bahwa hadits


merupakan salah satu sumber hukum Islam dan menduduki urutan
kedua setelah Al-Qur'an. Sedangkan bila dilihat dari segi
kehujjahannya, hadits melahirkan hukum zhanny, kecuali hadits yang
mutawatir.

4. Fungsi Al-Hadits terhadap Al-Qur’an


Dalam Al-Qur’an masih banyak ayat bersifat umum dan global yang
memerlukan penjelasan. Dan penjelasan itu diberikan oleh Rasulullah SAW.
Yang berupa Al-Hadits. Tanpa penjelasan dari beliau banyak ketentuan Al-
Qur’an yang tidak bisa dilaksanakan. Maka dari itu Al-Hadits memiliki beberapa
fungsi terhadap Al-Qur’an antara lain :

a. Bayanut Tafsir yaitu sebagai penjelas atau merinci ayat-ayat Al-Qur’an yang
masih global dan memberikan batasan terhadap ayat Al-Qur’an yang dalam
pelaksanaannya belum ada batasannya. Misal hadits tentang tata cara ibadah
sholat, tata cara ibadah haji dan lain-lain.
b. Bayanut Taqrir yaitu sebagai penguat ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan dalam Al-Qur’an. Misal hadits tentang rukun Islam dan lain-lain.
c. Bayanut Tasyri’ yaitu menetapkan hukum suatu perkara yang tidak ada
ketentuan nashnya dalam Al-Qur’an. Misal hadits tentang penyembelehan janin
dalam perut induknya sama dengan penyembelehan induknya dan lain-lain.

C. Ijma'
1. Pengertian Ijma'
Ditinjau dari segi bahasa (etimologi), kata Ijma' merupakan masdar (kata
benda verbal) dari kata yang artinya memutuskan dan
menyepakati sesuatu. Ia juga bisa berarti kesepakatan bulat (konsensus).
Menurut Abdul Wahhab Khalaf, secara istilah Ijma' adalah :

Artinya : "Ijma' adalah kesepakatan (konsensus) seluruh mujtahid


pada suatu masa tertentu sesudah wafatnya Rasul atas
hukum syara' untuk satu peristiwa (kejadian) ".

Dari rumusan di atas dapat diambil beberapa penjelasan sebagai berikut :


1. Kesepakatan adalah kesamaan pendapat baik disampaikan secara
tegas melalui lisan maupun tulisan atau dengan beramal sesuai
dengan hukum yang disepakati itu. Kesepakatan seperti itu disebut
Ijma' yang sebenarnya atau ijma' bayani atau disebut juga Ijma'
Qauli. Jika kesepakatan itu ditunjukkan dengan diam yaitu tidak
memberikan tanggapan maka dinamakan ijma' sukuti, karena
diam itu tidak memberikan tanggapan dipandang sebagai telah
menyetujui terhadap hukum yang sudah sampai kepadanya.

2. Seluruh mujtahid berarti masing-masing mujtahid menyatakan


kesepakatannya. Jika seorang saja tidak menyetujuinya maka tidak
terjadi ijma'. Demikian pula jika pada suatu masa hanya ada pada
seorang mujtahid saja, maka tidak ada ijma' sebab tidak terjadi
kesepakatan.

3. Pada zaman Rasulullah SAW tidak ada ijma' sebab setiap terjadi
ketiadaan hukum, para sahabat bertanya kepada Rasul, lalu
beliau menetapkan hukumnya.

4. Atas hukum syara' ijma' hanya terjadi bagi masalah yang


berhubungan dengan hukum. Syara' dan berdasar kepada hukum
syara' pula ; baik berupa nash yang qoth'i yaitu Al-Qur'an dan
hadits mutawatir, sebab ijma' bukanlah dalil syar'i yang berdiri sendiri.

2. Dasar Kehujjahan Ijma’ dan Kedudukannya


sebagai sumber hukum
Ijma' sebagai dasar hukum walaupun terjadi perbedaan, namun
mayoritas ulama' telah sepakat sebagai sumber hukum Islam yang ke
tiga setelah Al-Qur'an dan AI-Hadits. Apabila sudah terjadi ijma' maka
hukum tersebut menjadi dasar beramal yang tidak boleh diingkari.

Artinya : "Apa-apa yang menurut pendapat kaum muslimin baik,


maka baik (pula) di sisi Allah (HR. Ahmad di dalam Kitab Sunnah-nya)".

Artinya : "Umatku tidak bersepakat atas kesesatan". (H. R. Ibnu


Majah

3. Macam dan Tingkatan Ijma’


a. Ijma' Sharih, (Sharih dari segi bahasa artinya jelas) yaitu Ijma'
yang memaparkan pendapat banyak Ulama' secara jelas dan
terbuka, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Pada saat semua
Ulama' memaparkan pendapatnya, ternyata mereka menghasilkan
pendapat yang sama atas hukum suatu perkara. ljma' jenis ini kita
akui sangat langka karena sangat sulit dicapai darim sekian
banyak Ulama' memberikan sebuah paparan yang sama. Oleh
karena itu, sebagian Ulama' berpendapat bahwa Ijma' semacam ini
hanya dapat terlaksana pada zaman sahabat ketika jumlah mujtahid
masih sedikit dan tempat mereka berdekatan. Ijma' Sharih ini
menempati peringkat Ijma' tertinggi. Hukum yang ditetapkannya
bersifat qat'i, sehingga umat wajib mengikutinya. Maka seluruh
Ulama' sepakat dan menerima untuk menjadikan ijma Sharih ini
sebagai dalil yang sah dan kuat dalam penetapan hukum syari'at
Islam.

b. ljma' sukuti, (Sukuti dari segi bahasa artinya diam) yaitu sebagian
mujtahid memaparkan pendapat-pendapatnya secara terang dan jelas
mengenai suatu hukum suatu peristiwa melalui perkataan atau
perbuatan, sedangkan mujtahid yang lain tidak memberikan
komentar apakah ia menerima atau menolak. ljma' sukuti ini
bersifat dzan dan tidak mengikat. Oleh seabab itu, tidak ada
halangan bagi para mujtahid untuk memaparkan pendapat yang
berbeda setelah Ijma' itu diputuskan. Bagi Imam Syafi'i dan Imam
Malik berpendapat bahwa ljma' sukuti ini tidak dapat dijadikan
dasar hukum. Namun Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin
Hambal berpendapat lain yaitu menjadikannya sebagai dasar
hukum. Mereka yang menerima ljma' sukuti sebagai hujah sebab
menurut kedua Imam tersebut, diamnya mujtahid sebagai tanda setuju.

D. Qiyas
1. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan atau mengukurkan sesuatu
dengan yang lain. Para ahli Ushul Fiqih merumuskan qiyas dengan:

Artinya : "Menyamakan atau mengukur satu kejadian yang tidak ada


nash tentang hukumnya dengan kejadian yang ada nash
tentang hukumnya di dalam hukum yang disebutkan di dalam
nash karena ada kesamaan antara dua kejadian itu di
dalam ilat hukum tersebut".

2. Rukun Qiyas
Dari rumusan diatas dapat dijelaskan beberapa rukun qiyas sebagai berikut :

a. Kejadian adalah peristiwa, perbuatan, tindakan yang


tidak ada hukumnya atau belum jelas hukumnya baik di dalam Al-
Qur'an maupun As-Sunnah. Dalam ilmu Ushul Fiqih hal ini
disebut "Far'un" Suatu peristiwa dapat disebut far'un
apabila : adanya kemudian, ada kesamaan illat dengan peristiwa
yang akan disamainya.

b. Kejadian yang telah ada ketentuan hukumnya baik di dalam Al-


Qur'an maupun sunnah disebut ashal atau disebut juga
"maqiis'alaih" yaitu sesuatu yang akan diqiyaskan
kepadanya, atau "musyabbah bih" yaitu sesuatu yang
akan diserupakan dengannya.
Suatu kejadian dapat disebut ashl apabila :

1) Hukumnya adalah hukum syari'ah amali dan berdasar nash.

2) illat hukumnya dapat Diketahui secara aqli

3) Hukumnya bukan merupakan cabang (far'un) dari ashal


mansukh

4) Nash hukum ashal tidak meliputi hukum far'un.

5) Hukum ashal adalah hukum yang disepakati dan tidak mansukh

6) Hukum pada ashal tidak mempunyai qiyas rangkap.

c. Illat yaitu suatu sifat yang menjadi dasar hukum pada ashal.
Sifat ini pula yang harus ada pada “far'un". Haramnya minum
khamr adalah ashal karena ada nash yang menyatakan itu, yaitu
firman Allah SWT :

(maka jauhilah) karena sifatnya yang memabukkan.

Perasan anggur adalah "far'un" yang tidak disebutkan


hukumnya tetapi sifatnya saja yaitu memabukkan. Karena
sifatnya sama maka rasa anggur dan semua makanan dan
minuman yang memiliki sifat memabukkan hukumnya disamakan
dengan khamar yaitu haram.

Kata ‘illah : penggunaannya sering tumpang tindih dengan sebab


dalam hukum wadh'i sebab biasanya berhubungan dengan suatu
asalan yang tidak bisa dipahami akal. Jadi, setiap sabab pastilah
'illah, tetapi tidak semua 'illah merupakan sabab.

d. Hukum ashal yaitu hukum suatu kejadian yang sudah


disebutkan dan akan ditetapkan bagi far'un karena sama sifatnya
(illatnya). Suatu sifat dapat dijadikan sebagai illat, apabila : jelas
atau dzonni (dapat dibuktikan), dapat dibatasi secara pasti
sama antara ashal dengan far'un serta munasabah
yaitu dugaan kuat bahwa sifat tersebut merupakan alasan hukum
pada ashal, sehingga adanya menyebabkan adanya hukum dan
tidak adanya mengakibatkan tidak adanya hukum.

Al-Ashlu Al-Far’u ‘Ilah Hukum

Khamar Narkoba Memabukkan Haram

3. Dasar Kehujjahan Qiyas dan Kedudukannya sebagai


Sumber Hukum
Sebagian Ulama' Sunni berpendapat bahwa qiyas adalah salah satu
sumber hukum Islam. Ulama' yang menjadikan qiyas sebagai
sumber hukum atau disebut (musbitul qiyas) dan mereka mempunyai
dasar yang kuat baik dari nas maupun dari akal. Dalam Al-Qur'an
terdapat banyak ayat yang menyuruh manusia menggunakan akalnya
semaksimal mungkin. Tidak kurang dari 50 ayat Al-Qur'an yang
mendorong manusia menggunakan akalnya. Di antaranya dapat dilihat
dalam Surat al-Hasyr ayat 2 berikut ini :

Artinya: Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai


orang-orang yang mempunyai pandangan.

Dasar qiyas sebagai sumber hukum adalah sebuah.hadits dari Ibnu Abbas

Artinya: Dari Ibnu Abbas, seorang perempuan dari kabilah Juhainah


telah datang kepada Nabi. la bertanya, "sesungguhnya
ibuku telah bernazar akan pergi haji tapi ia tidak
melaksanakannya sampai wafat". Apakah saya boleh
mengerjakan haji untuk ibuku?" Nabi menjawab, "Ya
boleh, kerjakanlah haji untuknya. Bagaimana
pendapatmu kalau ibumu sewaktu wafat meninggalkan
utang, bukankah engkau yang membayarnya? Hendaklah
kamu bayar hak Allah sebab hak Allah lebih utama
untuk dipenuhi". (HR. Bukhari).

Dari hadits di atas, dapat dijelaskan bahwa membayar hutang kepada


Allah disamakan dengan hutang kepada manusia. Kalau hutang kepada
manusia saja wajib dibayar, maka hutang kepada Allah juga harus
dibayar.

4. Macam-macam Qiyas
Qiyas mempunyai tingkatan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut
didasarkan pada tingkat kekuatan hukum karena adanya `illah yang ada
pada asal dan furu', adapun tingkatan tersebut pada umumnya dibagi
menjadi tiga yaitu :

a. Qiyas aula, yaitu qiyas yang apabila 'illahnya mewajibkan adanya


hukum. Hukum cabang memiliki nilai yang lebih utama dari pada
hukum yang ada pada al-ashal. Misalnya berkata kepada kedua orang
tua dengan mengatakan "ah", "eh", "busyet" atau kata-kata lain yang
semakna dan menyakitkan itu hukumnya haram, sesuai dengan
firman Allah QS. Allsra' (17): 23.

Artinya: "Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada


keduanya perkataan "ah".

Lalu diqiyaskan memukul dengan perkataan "ah", "busyet" dan


sebagainya hukumnya Iebih utama. Rasionalnya, berkata "ah" saja
dilarang, apalagi memukulnya. Memukul tentu lebih menyakitkan
dibanding berkata "ah" bukan?

b. Qiyas musawi, yaitu qiyas yang apabila 'illahnya mewajibkan adanya


hukum. Hukum yang ada pada ashal dan hukum yang ada pada
cabang nilainya sama. Contohnya, keharaman memakan harta
anak yatim berdasarkan firman Allah Surah an-Nisa' (4): 10.

Artinya: Sebenarnya orang-orang yang memakan harta anak yatim


secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam
perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka).

Dari ayat di atas, kita dapat mengqiyaskan bahwa segala bentuk


kerusakan atau kesalahan pengelolaan atau salah menejemen
yang menyebabkan hilangnya harta tersebut juga dilarang seperti
memakan harta anak yatim tersebut.

c. Qiyas adna yaitu qiyas yang apabila 'illahnya mewajibkan adanya


hukum. Hukum cabang nilainya lebih lemah dari pada hukum ashal.
Sebagai contoh, mengqiyaskan hukum apel kepada gandum dalam hal
riba fadl (riba yang terjadi karena adanya kelebihan dalam tukar-
menukar antara dua bahan kebutuhan pokok atau makanan). Dalam
kasus ini, `illah hukumnya adalah baik apel maupun gandum
merupakan jenis makanan, yang bisa dimakan dan ditukar. Namun ada
segi yang lain dari 'illah gandum yang tidak terdapat pada apel, apa itu
? apel tidak makanan pokok. Oleh karenanya, 'illah yang ada pada
apel lebih lemah dibandingkan dengan illat yang ada pada
gandum yang menjadi makanan pokok.
5. Sebab-sebab dilakukan Qiyas

Diantara sebab-sebab dilakukan qiyas adalah :

a. Adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya,


sementara di dalam nash Al-Qur’an dan As-Hadits tidak ditemukan
hukumnya dan mujtahid pun belum melakukan ijma’
b. Nash baik yang berupa Al-Qur’an maupun Al-Hadits telah berakhir dan
tidak turun lagi
c. Adanya persamaan illat antara peristiwa yang belum ada hukumnya
dengan peristiwa yang hukumnya telah ditentukan oleh nash.

BAB VI

KESIMPULAN

Dalam menentukan hukum, islam sangatlah sistematis yang pertama


dalam menentukan hukum islam menggunakan Al-Qur’an terlebih dahulu. Al-
Quran dalam menetapkan hukum tidak memberatkan, memminimalisisr beban
dan berangsur-angsur dalam menetapkan hukum. Kemudian Al-Hadist dan yang
terakhir adalah sumber hukum pelengkap yang salah satunya ijtihad.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Dr. H. Sulaiman, Sumber Hukum Islam Permasalahn dan
Fleksibilitasnya, Jakarta, Sinar Grafika, 1995.

Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Arrisalah, Bandung, 1985

Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta, Sinar Grafika,
1995

A.Hanafi, Ushul Fiqih, Bumirestu, Jakarta, 1981

A.Syafi’i Karim, Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 2006

Dedi Supriyadi, Perbandingan Fiqih Syiyasah, Pustaka Setia, Bandung, 2007

Dedi Supriyadi, Perbandingan Mazhab dengan Pendekatan Baru, Pustaka Setia,


Bandung, 2008

Idris Ramulyo, Mohammad, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum

Mahrus As’ad dkk, Memahami Fiqih Kelas III Madrasah Aliyah, Armico,
Bandung, 2006

Muzilanto dkk, Modul Fiqih Kelas XII Madrasah Aliyah, Akik Pusaka, Solo, 2009

Anda mungkin juga menyukai