Anda di halaman 1dari 17

AL QUR’AN DAN AS SUNAH

SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih

Dosen Pengampu :

Dr. A. Halil Thahir, M. HI

Oleh:
DEWI ROHMAH ARIFANI
NIM 927.002.19.003

PROGRAM PASCASARJANA STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada hakikatnya kata sumber mengandung arti sesuatu yang menjadi dasar lahirnya
sesuatu. Sedangkan pengertian sumber hukum ialah segala sesuatu yang melahirkan atau
menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat,yaitu peraturan yang
apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata.1

Sumber Hukum Islam yaitu segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang menjadi
sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad (Sunnah Rasulullah SAW).
Sebagian besar pendapat ulama ilmu fiqih sepakat bahwa pada prinsipnya sumber utama
hukum islam adalah Al-Qur’an dan Hadist. Sebab, keduanya merupakan dasar lahirnya
ketentuan hukum islam dan merupakan teks – teks nashsh yang menjadi rujukan dalam
menentukan hukum islam itu sendiri.2

Sementara itu terdapat beberapa bidang kajian yang erat berkaitan dengan sumber
hukum islam yaitu : ijma’, ijtihad, istishab, istislah, istihsan, maslahat mursalah, qiyas,ray’yu,
‘urf, dan lain sebagainya, Semua itu bukan sumber hukum, tetapi hanya dalil hukum. sebab
bukan merupakan dasar lahirnya hukum islam, tetapi petunjuk untuk menemukan hukum islam
yang terdapat dalam Al quran dan Sunnah, dimana Al Quran dan Sunnah merupakan sumber
dan dasar hukum islam.3

Secara sederhana dapat dijelaskan, perbedaan antara sumber hukum islam dan dalil
hukum islam ialah, sumber hukum islam itu sebagai dasar utama dan asli yang melahirkan
hukum islam, yaitu Al Qur’an dan Sunnah. Sedangkan yang disebut dengan dalil hukum islam
ialah, cara – cara yang ditempuh melalui ijtihad untuk menemukan hukum islam itu sendiri.
Cara-cara tersebut dapat berupa istihsan, maslahah mursalah, sadd az zari’at, istishab, syar’u
man qablana, dan lain sebagainya. Dalam makalah ini, akan terfokus memaparkan dan
menjelaskan sumber hukum islam atau dasar utama hukum islam yakni Al Qur’an dan Sunnah.

1.2 Rumusan Masalah


1
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh. (Jakarta : AMZAH. 2016)Hlm 113.
2
Ali Zainuddin, Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, Sudarsono, 2005), hal. 13.
3
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh. (Jakarta : AMZAH. 2016)Hlm 114
1. Apa yang dimaksud dengan Al Qur’an?

2. Bagaimana Hujjah Al Qur’an sebagai Sumber Hukum Islam?

3. Apa yang dimaksud dengan Sunnah?

4. Bagaimana Kedudukan Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam?

1.3 Tujuan Penulisan Makalah

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut, penulisan makalah ini
mempunyai tujuan yang akan dicapai antara lain :

a. Untuk memahami lebih dalam definisi Al Qur’an dan Sunnah yang selama ini dijadikan
pedoman umat islam.
b. Supaya mengetahui dan memahami kedudukan Al Qur’an dan Sunnah sebagai Sumber
Hukum Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Al Qur’an


Secara etimologi, Al Qur’an merupakan bentuk mashdar dari kata qara’a (timbangan)
kata wazannya adalah fu’lan, artinya bacaan. Lebih lanjut pengertian kebahasan Al Qur’an
ialah, yang dibaca, dilihat, dan ditelaah.4 Disebut juga “bacaan sempurna” merupakan suatu
nama pilihan Allah yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal
tulis baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi Al-Qur’an Al-Karim, bacaan
sempurna lagi mulia.5

Adapun menurut terminologi, terdapat beberapa definisi Al Qur’an yang dikemukakan


oleh ulama. Pada umumnya ulama ushul fiqh, mendefinisikan Al Qur’an dalam kajian Ushul
Fiqh merupakan objek pertama dan utama pada kegiatan penelitian dalam memecahkan suatu
hukum. Al-Qur’an meurut bahasa berarti “bacaan” dan menurut istilah Ushul Fiqh Al-Qur’an
berarti “kalam (perkataan) Allah yang diturunkannya dengan perantaraan malaikat Jibril kepada
Nabi Muhammad SAW, dengan bahasa arab serta dianggap beribadah membacanya”.

Menurut Muhammad Ali ash-shabuni, Al Qur’an ialah firman Allah yang merupakan
mukjizat, yang diturunkan kepada “penutup para nabi dan rasul” ; (Muhamma SAW.) melalui
malaikat Jibril, termakhtub di dalam mushaf, yang diriwayatkan kepada kita secara mutawatir,
membacanya merupakan ibadah dimulai dari ssurah Al Fatihah dan di akhiri dengan surah An
nas.6

Sedangkan Ali Hasbullah mendefinisikan, Al Qur’an merupakan firman Allah yang


diturunkan kepada Nabi Muhammad, berbahasa arab yang nyata, sebagai penjelasan untuk
kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.7

Dari beberapa definisi dapat diketahui bahwa pada hakikatnya, Al Qur’an itu sebagai
berikut8

4
Abd. Rahman Dahlan, M.A. Ushul Fiqh. (Jakarta : Sinar Grafika Offset. 2016) hlm 115
5
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung :PT. Mizan Pustaka, 2005) hal 3
6
Abd. Rahman Dahlan, M.A. Ushul Fiqh. (Jakarta : Sinar Grafika Offset. 2016) hlm 116
7
Ibid.
8
Ibid, hlm 116 – 117.
a. Merupakan wahyu yang difirmankan Allah baik makna maupun lafalnya. Dengan
demikian, wahyu yang disampaikan hanya dalam bentuk maknanya. Sedang lafalnya
berasal dari Nabi Muhammad, tidak disebut Al Quran, melainkan hadist qudsi atau
hadist pada umumnya.
b. Diturunkan kepada nabi Muhammad, artinya wahyu Allah yang diturunkan kepdapara
nabi dan rosul sebelum nabi Muhammad. Seperti taurat, zabur, dan injil, bukannya Al
qur’an. Dalam pada itu, Al Qur’an banyak menceritakan kembali dan menyetir yang
diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul terdahulu.
c. Bahasa Al Qur’an adalah bahasa arb. Dengan demikian, tejemah al qur’an ke dalam
bahasa lain atau tafsirannya tidak dapat disebut al qur’an. Sebab, baik terjemah ataupun
tafsiran al qur’an dapat mengandung kesalahan. Oleh karena itu pula, terjemah al qur’an
ke dalam bahasa lain atay tafsiran lain tidak dapat dijadikan rujukan dan digunakan
sebagai dalil untuk menetapkan hukum.
d. Diriwayatkan secara mutawatir, artinya semua ayat al qur’an yang terdapat dalam
mushaf utsmani dijamin kepastian keberadaannya sebagai wahyu Allah, dan tidak satu
ayat pun yang termaktub di dalam mushaf itu yang bukan wahyu Allah.

2.2 Kedudukan Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum Islam

Allah SWT. Menurunkan Al-Qur’an itu, gunanya untuk dijadikan dasar hukum, dan
disampaikan kepada ummat manusia untuk diamalkan segala perintahnya dan ditinggalkan
segala larangannya, sebagaimana firman Allah :

‫اط ُم ْستَقِ ٍيم‬


ٍ ‫ص َر‬ ِ ‫فَا ْستَ ْم ِس ْك بِالَّ ِذي ُأ‬
ِ ‫وح َي ِإلَ ْيكَ ۖ ِإنَّكَ َعلَ ٰى‬
Artinya :
“maka berpeganglah kepada apa diwahyukan kepadamu”. (Az-Zukhruf ayat 43)
Al-Qur’an sebagai kitab Allah SWT menempati posisi sebagai sumber pertama dan
utama dari seluruh ajaran Islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqih. Al-Qur’an juga
membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung
dalam sebagian ayat-ayatnya.9
Karena kedudukan Al-Qur’an itu sebagai sumber utama dan pertama bagi penetapan
hukum, maka apabila seseorang ingin menemukan hukum maka dilakukan penyelesainnya
terlebih dahulu berdasarkan dengan Al-Qur’an. Dan apabila menggunakan sumber hukum lain

9
Muhammad Daut Ali, Prof. H. S.H.. HUKUM ISLAM. (Jakarta: Rajawali Pers. 2011) hlm 78
di luar Al-Qur’an, maka harus sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan tidak boleh melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan Al-Qur’an.10
Hal ini berarati bahwa sumber-sumber hukum selain Al-Qur’an tidak boleh menyalahi
apa yang telah ditetapkan Al-Qur’an. Al-Qur’an juga mengatur hubungan manusia dengan
dirinya sendiri, hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan sesamanya,
dan hubungan manusia dengan alam.
1. Pokok-pokok isi Al Qur’an11
Isi pokok Al Qur’an adalah :
a) Tauhid
b) Ibadah
c) Janji dan ancaman
d) Sejarah

2. Hukum yang terkandung dalam Al Qur’an12


Hukum yang di kandung oleh Al Qur’an ada 3 macam, yaitu:
a) Hukum-hukum akidah (keimanan), yang bersangkut paut dengan hal-hal yang harus di
percayai oleh setiap mukallaf, tentang malaikat nya, kitabnya, para rasulnya.
b) Hukum-hukum Allah , yang bersangkut paut dengan hal-hal yang harus di jadikan
perhiasan oleh setiap mukallaf.
c) Hukum-hukum amaliyah, yang bersangkut paut dengan hal-hal tindakan setiap mukallaf,
meliputi masalah ucapan, perbuatan, akad (contract), dan pembelanjaan (pengelolaan
harta benda).

Maka hukum selain ibadah dalam istilah syara’ disebut hukum muamalah. Sedangkan
menurut istilah modern hukum muamalah telah bercabang cabang sesuai dengan hal-hal yang
berhubungan dengan muamalah manusia yakni :13

a) Hukum badan pribadi yaitu hukum yang dengan unit keluarga , mulai dari pemulaan
berdirinya.contohnya: mengatur hubungan anak dengan orang tua, suami istri, dan kerabat.
Ayat –ayat mengenai hukum ini dalam Al Qur’an sekitar 70 ayat.

10
Ibid.
11
Abdul Wahhab Khallaf, Prof.Dr. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
2000.) hlm 21
12
Ibid, hlm 35
13
Ibid, hlm 41
b) Hukum perdata yaitu : yang berhubungan dengan muamalah antara perorangan ,masyarakat
dan persekuatannya, seperti : jual beli,sewa-menyewa , gadai-menggadai, pertanggungan,
dll. Dalam Al Qur’an ada 70 ayat.
c) Hukum pidana yang berhubungan tindakan kriminal setiap mukalaf dan masalah pidananya
bagi si pelaku kriminal. Dan dalam Al Qur’an terdapat sekitar 30 ayat.
d) Hukum acara yaitu : yang berhubungan dengan pengadilan , kesaksian , dan sumpah. Dalam
Al Qur’an terdapat sekitar 13 ayat
e) Hukum ketatanegaraan ,yaitu: yang berhubungan dengan peraturan pemerintahan dan dasar-
dasarnya. Dalam Al Qur’an tercatat sekitar 13 ayat .
f) Hukum internasional, yaitu : yang berhubungan dengan masalah-masalah hubungan antar
negara-negara islam dengan bukan negara islam,dan tata cara pergaulan selain muslim di
negara islam. Dalam Al Qur’an tercatat sekitar 25 ayat.
g) Hukum ekonomi dan keuangan ,yaitu: yang berhubungan dengan hak orang miskin yang
meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian dari harta orang kaya. Dalam Al
Qur’an tercatat sekitar 10 ayat.

2.4 Definisi Sunnah atau Hadits


Secara terminologi hadis/Sunnah menurut ilmu hadis, segala sesuatu yang disandarkan
kepada nabi Muhammad Saw. Baik perupa perkataan, perbuatan maupun ketetapannya.
Sunnah berasal dari bahasa arab yang secara etimologi berarti "jalan yang biasa dilalui" atau
"cara yang senantiasa dilakukan" atau "kebiasaan yang selalu dilaksanakan". Pengertian
Sunnah secara etimologis ini dapat ditemukan dalam sabda Rasulullah saw, yang
diriwayatkan oleh imam Muslim, yang artinya "barang siapa yang membiasakan sesuatu yang
baik maka ia menerima pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sesudahnya,
dan barang siapa yang membiasakan sesuatu yang buruk, maka ia akan menanggung dosanya
dan dosa orang mengikuti sesudahnya".14
Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa hadis merupakan salah satu sumber ajaran
Islam menempati kedudukan setelah Al-Qur’an. Bagi umat Islam merupakan keharusan untuk
mengikuti hadis sama halnya dengan mengikuti Al-Qur’an baik berupa perintah maupun
larangan. Tanpa memahami dan menguasai hadits, siapapun tidak akan bisa memahami Al-
Qur’an. Sebaliknya, siapapun tidak akan bisa memahami Hadits tanpa memahami Al-Qur’an
karena Al-Qur’an merupakan dasar hukum pertama yang didalamnya berisi garis besar syariat
14
Selviyanti Kaawoan, Memahami ushul fiqhi, (Sultan Amai Press IAIN Sultan Amai, Gorontalo,
2015) hlm. 42-43
dan hadits merupakan dasar hukum kedua yang didalamnya berisi penjabaran dan penjelasan
Al-Qur’an. Dengan demikian antara Hadits dan Al-Qur’an memiliki kaitan yang sangat erat,
yang satu sama lain tidak bisa dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri.
Ditinjau dari segi kekuatan di dalam penentuan hukum, otoritas Al-Qur’an lebih tinggi
satu tingkat daripada otoritas Hadits, karena Al-Qur’an mempunyai kualitas qath’iy baik
secara global maupun terperinci. Sedangkan Hadits berkulitas qath’iy secara global dan tidak
secara terperinci. Disisi lain karena Nabi Muhammad SAW, sebagai manusia yang tunduk di
bawah perintah dan hukum-hukum Al-Qur’an, Nabi Muhammad SAW tidak lebih hanya
penyampai Al-Qur’an kepada manusia.15
Rasulullah SAW adalah orang yang setiap perkataan dan perbuatannya menjadi
pedoman bagi manusia. Karena itu beliau ma’shum (senantiasa mendapat petunjuk Allah
SWT). Dengan demikian pada hakekatnya Sunnah Rasul adalah petunjuk yang juga berasal
dari Allah. Kalau Al Qur’an merupakan petunjuk yang berupa kalimat-kalimat jadi, yang isi
maupun redaksinya langsung diwahyukan Allah, maka Sunnah Rasul adalah petunjuk dari
Allah yang di ilhamkan kepada beliau, kemudian beliau menyampaikannya kepada umat
dengan cara beliau sendiri.

َ‫اس َما نُ ِّز َل ِإلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكرُون‬ ْ ‫الزب ُِر ۗ َوَأ ْن‬
ِ َّ‫زَلنَا ِإلَ ْيكَ ال ِّذ ْك َر لِتُبَيِّنَ لِلن‬ ِ ‫ْالبَيِّنَا‬
ُّ ‫ت َو‬
“kami telah menurunan peringatan (Al-Qur’an) kepada engkau (Muhammad) supaya
kamu menerangkan kepada segenap manusia tentang apa-apa yang diturunkan kepada
mereka” (QS. An-Nahl 44).

‫و َما آتَا ُك ُم ال َّرسُو ُل فَ ُخ ُذوهُ َو َما نَهَا ُك ْم َع ْنهُ فَا ْنتَهُوا ۚ َواتَّقُوا‬...............................
َ
“Apa-apa yang didatangkan oleh Rasul kepada kamu, hendaklah kamu ambil dan apa
yang dilarang bagimu hendaklah kamu tinggalkan” (QS. Al-Hasyr 7).
Ayat-ayat diatas menjelaskan bahwa sunnah/ hadits merupakan penjelasan Al-Qur’an.
Sunnah itu diperintahkan oleh Allah untuk dijadikan sumber hukum dalam Islam. 16 Dengan
demikian, sunnah adalah menjelaskan Al-Qur’an, membatasi kemutlakannya dan
mentakwilkan kesamarannya. Allah menetapkan bahwa seorang mukmin itu belum dapat
dikategorikan beriman kepada Allah sebelum mereka mengikuti segala yang diputuskan oleh
Rasulullah SAW dan dengan putusannya itu mereka merasa senang.

15
Hasbi Ash Shiddieqy ,Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits 2,(Jakarta:Bulan Bintang,1976).hlm.34
16
Muhammad Agus Sholahuddin, Ulumul Hadis,(Bandung:CV Pustaka Setia,2009).hlm.45
Berdasarkan definisi-definisi Sunnah yang dikemukakan di atas, Sunnah menjadi
sumber hukum Islam (mashadir al-ahkam) dan dalil hukum Islam kedua (adillat al-ahkam),
itu ada tiga macam, yaitu:
1) Sunnah fi'liyyah, yaitu perbuatan yang dilakukan Nabi SAW. Yang dilihat atau diketahui
dan disampaikan para sahabat kepada orang lain, misalnya tata cara sholat yang ditunjukkan
Rasulullah kemudian disampaikan oleh sahabat yang melihat atau mengetahuinya kepada
orang lain.
2) Sunnah qauliyyah, yaitu ucapan nabi saw., yang didengar dan disampaikan seorang atau
beberapa sahabat kepada orang lain, misalnya sabda rasulullah yang diriwayatkan imam
bukhari dan Muslim, artinya "tidak sah sholat seseorang yang tidak membaca surat Al-
fatihah"
3) Sunnah Taqririyyah, yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan dihadapan atau
sepengetahuan Nabi saw., tetapi nabi hanya diam dan tidak mencegah dari Nabi saw ini
menunjukkan persetujuan nabi atau (taqrir) terhadap perbuAtan sahabat tersebut.
Ketiga macam Sunnah tersebut (qauliyah, fi’liyah dan taqririryah) disampaikan dan
disebarluaskan oleh yang melihat, mendengar, menerima dan mengalaminya dari nabi secara
beranting melalui pemberitaan atau khabar, hingga sampai kepada orang yang
mengumpulkan, menuliskan dan membukukannya sekitar abad ketiga hijriyah. Mengenai
apakah memang Nabi Muhammad SAW pernah berkata, berbuat dan memberikan pengakuan,
lebih banyak tergantung kepada kebenaran pemberita-an tentang adanya Sunnah itu.
Selanjutnya para ulama mengklasifikasikan Sunnah itu berdasarkan kekuatan khabar tersebut.

Kekuatan suatu khabar ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu: berkesinambungannya


khabar itu dari yang menerimanya dari Nabi sampai kepada orang yang mengumpulkan dan
membukukannya; kuantitas orang yang membawa khabar itu untuk setiap sambungan; dan
faktor kualitas pembawa khabar dari segi kuat dan setia ingatannya, juga dari segi kejujuran
dan keadilannya.

Dari segi jumlah pembawa khabar, ulama membagi khabar itu kepada tiga tingkatan:

1) Khabar mutawatir, yaitu khabar yang disampaikan secara berkesinambungan oleh orang
banyak yang kuantitasnya untuk setiap sambungan mencapai jumlah tertentu yang tidak
memungkinkan mereka bersepakat untuk berbohong.
2) Khabar masyhur, yaitu khabar yang diterima dari Nabi oleh beberapa orang sahabat
kemudian disampaikan kepada orang banyak yang untuk selanjutnya disampaikan pula
kepada orang banyak yang jumlahnya mencapai ukuran batas khabar mutawatir.
3) Khabar ahad, yaitu khabar yang disampaikan dan diterima dari Nabi secara perorangan
dan dilanjutkan periwayatannya sampai kepada perawi akhir secara perorangan pula.

Perbedaan yang jelas di antara ketiganya adalah sebagai berikut. Khabar mutawatir
diterima dan disampaikan dari pangkal sampai keujung secara mutaatir. Khabar masyhur
yaitu khabar yang diterima dan disampaikan pada tingkat awal secara perorangan, kemudian
dilanjutka sampai keujungnya secara mutawatir. Khabar ahad diterima dan disampaikan
kemudian secara beranting sampai keujungnya secara perorangan. Ketiganya berbeda dari
tingkat kebenaranya. Tinkat kebenaran yang paling tinggi adalah khabar mutawatir, kemudian
khabar masyhur, sedangkan yang paling rendah tingkat kebenarannya adalah khabar ahad.17

2.5 Kedudukan Sunnah atau Hadits sebagai Sumber Hukum Islam

Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua
setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum
Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum
Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum Islam, bukan saja
memperoleh dosa, tetpai juga murtad hukumnya. Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri telah cukup
menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran Al-Hadits, ini sebagai sumber hukum Islam. Di
dalam Al-Quran dijelaskan umat Islam harus kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah,
diantara ayatnya adalah sebagai berikut :18

1) Setiap Mu’min harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah. (Al-Anfal: 20, Muhammad:
33, an-Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32, al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54, al-Maidah: 92).

2) Patuh kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah. (An-Nisa: 80, Ali ‘Imran: 31).

3) Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah: 5,
An-Nisa: 115).

4) Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65).

17
Amir Syarufuddin, Ushul Fiqh Jilid 1(PT LOGOS Wacana Ilmu: jakarta, 1997) . hlm. 82
18
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002).hlm 23
Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di
perintahkan oleh Al-Qur’an juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu
perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al
Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum,
maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata
cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya.19

Imam-imam pembina mazhab semuanya mengharuskan kita umat Islam kembali kepada
As-Sunnah dalam menghadapi permasalahannya.

Asy-Syafi’i berkata :

“Apabila kamu menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlawanan dengan sunnah
Rasulullah Saw. Maka berkatalah menurut Sunnah Rasulullah Saw, dan tinggalkan apa yang
telah aku katakan.”

Perkataan imam Syafi’i ini memmberikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama
harus kita tinggalkan apabila dalam kenyataannya berlawanan dengan hadits Nabi SAW. Dan
apa yang dikategorikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama harus kita tinggalkan
apabila dalam Asy-Syafi’i ini juga dikatakan oleh para ulama yang lainnya.

Tetapi Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus
diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.
Untuk mengetahui sejauh mana kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam, dapat dilihat
dalam beberapa dalil, baik dalam bentuk naqli ataupun aqli :20

1. Dalil Al-Qur’an21

Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan


menerima segala yang datng daripada Rasulullah Saw untuk dijadikan pedoman hidup.
Diantaranya adalah :

Firman Allah Swt dalam surah Ali Imran ayat 179 yang berbunyi :

19
Ibid.hlm 24
20
Zufran Rahman, ,Kajian Sunnah Nabi SAW Sebagai Sumber Ajaran Islam,(Jakarta:Pedoman Ilmu
Jaya,1995).hlm 27.
21
Ibid.hlm.21
ْ ‫ب ۗ َو َما َكانَ هَّللا ُ لِي‬
‫ُطلِ َع ُك ْم‬ ِ ِّ‫يث ِمنَ الطَّي‬
َ ِ‫َما َكانَ هَّللا ُ لِيَ َذ َر ْال ُمْؤ ِمنِينَ َعلَ ٰى َما َأ ْنتُ ْم َعلَ ْي ِه َحتَّ ٰى يَ ِميزَ ْال َخب‬

‫ب َو ٰلَ ِك َّن هَّللا َ يَجْ تَبِي ِم ْن ُر ُسلِ ِه َم ْن يَ َشا ُء ۖ فَآ ِمنُوا بِاهَّلل ِ َو ُر ُسلِ ِه ۚ َوِإ ْن تُْؤ ِمنُوا َوتَتَّقُوا فَلَ ُك ْم َأجْ ٌر‬
ِ ‫َعلَى ْال َغ ْي‬

‫َع ِظي ٌم‬

Artinya: “Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam
keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik
(mu'min). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang
ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya.
Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan
bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.”(QS:Ali Imran:179)

Dalam QS. Ali Imran di atas, Allah memisahkan antara orang-orang mukmin dengan
orang-orang yang munafiq, dan akan memperbaiki keadaan orang-orang mukmin dan
memperkuat iman mereka. Oleh karena itulah, orang mukmin dituntut agar tetap beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan pada QS. An-Nisa, Allah menyeru kaum
Muslimin agar mereka tetap beriman kepada Allah, rasul-Nya (Muhammad SAW), al-
Qur’an, dan kitab yang diturunkan sebelumnya. Kemudian pada akhir ayat, Allah
mengancam orang-orang yang mengingkari seruan-Nya.

Selain Allah SWT memerintahkan kepada umat Islam agar percaya kepada
Rasulullah Saw. Allah juga memerintahkan agar mentaati segala peraturan dan perundang-
undangan yang dibawanya. Tuntutan taat kepada Rasul itu sama halnya dengan tuntutan
taat dan patuh kepada perintah Allah Swt. Banyak ayat al-Qur’an yang mnyerukan seruan
ini.

Perhatikan firman Allah SWT. Dalam surat Ali-Imran ayat 32 dibawah ini:

َ‫ُول ۖ فَِإ ْن ت ََولَّوْ ا فَِإ َّن هَّللا َ اَل ي ُِحبُّ ْال َكافِ ِرين‬
َ ‫قُلْ َأ ِطيعُوا هَّللا َ َوال َّرس‬
Artinya: “Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (QS:Ali Imran : 32).
2. Dalil Hadits

Dalam salah satu pesan yang disampaikan baginda Rasul berkenaan dengan kewajiban
menjadikan hadits sebagai pedoman hidup disamping Al-Qur’an sebagai pedoman
utamanya, sabdanya:

“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, dan kalian tidak akan tersesat selam-
lamanya, selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan Sunnah
Rasul-Nya.” (HR. Malik).

Hadits di atas telah jelas menyebutkan bahwa hadits merupakan pegangan hidup setelah
Al-Qur’an dalam menyelesaikan permasalahan dan segalah hal yang berkaitan dengan
kehidupan khususnya dalam menentukan hukum.22

Untuk mengetahui secara kongkrit fungsi dan kedudukan Hadis dalam Islam, kita
perlu mengetahui lebih dahulu tentang tugas-tugas yang dibebankan kepada Nabi
Muhammad saw. Dalam al-Qur’an kita dapati bahwa nabi saw. mempunyai tugas dan
wewenang sebagai berikut.
1. Menjelaskan kitab Allah (al-Qur’an)
Tugas ini berdasarkan firman Allah, “Dan Kami turunkan kepadamu al-Dzikr (al-
Qur’an) agar kamu menerangkan kepada manusia tentang apa yang diturunkan kepada
mereka”. (Q.S al-Nahl : 44). Penjelasan Nabi saw. terhadap al-Qur’an itu dapat berupa
perkataan beliau, dan dapat pula berupa perbuatan beliau. Dua hal ini merupakan bagian
terbesar dari apa yang disebut Hadis Nabawi. Karenanya, penolakan terhadap Hadis
sebenarnya juga merupakan penolakan terhadap al-Qur’an, karena Hadis yang berfungsi
sebagai penjelas al-Qur’an tadi telah memperoleh legitimasi dari al-Qur’an. Bahkan Hadis
merupakan konsekwensi logis dari al-Qur’an.23
2. Nabi saw. wajib ditaati (mutha’)24
“Sosok yang harus dipatuhi”. Ada beberapa ayat dalam al-Qur’an yang
memerintahkan ketundukan penuh kepada Nabi saw. Allah berfirman yang artinya, “Dan
Kami tidak mengutus seorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.”25

Ibid.hlm.28
22

Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis., Pustaka Firdaus, Jakarta. Cet-V,2008. Hlm. 35
23

24
M. M. Azami, Menguji Keaslian Hadis-hadis Hukum; sanggahan atas : The origins of
Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht, Pustaka Firdaus, Jakarta, cet-I, 2004. Hlm. 15-16
25
Al-Qur’an, 4: 64
Lebih jauh Allah swt. berfirman yang artinya, “Katakanlah: “Taatilah Allah dan
Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
kafir”.26
Satu ayat secara eksplisit khusus menyatakan bahwa menaati Nabi saw. adalah
menaati Allah yang artinya, “Barangsiapa menaati Rasul itu, sesungguuhnya ia telah
menaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling, (dari ketaatan itu), maka Kami tidak
mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.27
Dalam konteks kehidupan sekarang, taat kepada Allah berarti taat kepada ajaran-
ajaran yang termaktub dalam al-Qur’an, sementara taat kepada Rasul berarti taat kepada
ajran-ajaran yang terhimpun dalam hadis Nabawi. Karenanya, tidak mungkin seorang
muslim memisahkan apa yang berasal dari Nabi saw. (Hadis) dari apa yang datang dari
Allah (al-Qur’an). Karena memisahkan Hadis dari al-Qur’an sama artinya dengan
memisahkan al-Qur’an dari kehidupan manusia.28
3. Menetapkan hukum
Dalam hadis terdapat hukum-hukum yang tidak dijelaskan al-Qur’an, ia bukan
penjelas dan bukan penguat. Akan tetapi, Sunnah sendirilah yang menjelaskan sebagai dalil
atau ia menjelaskan yang tersirat dalam ayat-ayat al-Qur’an. Misalnya, keharaman jual beli
dengan berbagai cabangnya menerangkan yang tersirat dalam surah Al-baqarah: 275 dan
An-nisa’: 29: “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka di antara kamu.” (QS. An-nisa:29)
Demikian juga keharaman makan daging keledai ternak, keharaman setiap binatang
yang berbelalai, dan keharaman menikahi seorang wanita bersama bibi dan paman
wanitanya. Hadis tasyri’ diterima oleh para ulama karena kapasitas hadis juga sebagai
wahyu dai Allah swt. yang menyatu dengan al-Qur’an, hakikatnya ia juga merupakan
penjelasan secara implisit dalam al-Qur’an.
4. Memberikan teladan
Tugas nabi ini berdasarkan firman Allah, “sesungguhnya telah terdapat pada diri
Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu”29

26
Al-Qur’an, 3: 32
27
Al-Qur’an, 4: 80
28
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis., Pustaka Firdaus, Jakarta. Cet-V,2008. Hlm. 36
29
Al-Qur’an, 33: 21.
Nabi saw` bertugas memberikan suri teladan kepada umatnya, sementara umatnya
wajib mencontoh dan meniru teladan-teladan itu.30
Setelah mengetahui tugas dan wewenang nabi saw. di atas, maka dapat diketahui
bahwa kedudukan Sunnah itu sebagai berikut.
1) Sunnah sebagai penguat Al-Qur'an,
2) Sunnah sebagai penjelas Al-Qur'an, QS an-Nahl : 44, yang artinya : “Keterangan-
keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya
mereka memikirkan.”
Kehadiran Sunnah sebagai penjelas terhadap hal-hal yang global, penguat secara
mutlak, sebagai taksis terhadap dalil Al-Qur'an yang masih umum.
3) Sunnah sebagai musyar'i (pembuat syari'at): memuat hal-hal yang belum ada dalam Al-
Qur'an, tidak memuat hal-hal baru yang tidak ada dalam Al-Qur'an tapi membuat hal-hal
yang landasnya ada dalam Al-Qur'an.31

30
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis., Pustaka Firdaus, Jakarta. Cet-V,2008. Hlm. 34
31
Selviyanti Kaawoan, Memahami ushul fiqhi, Sultan Amai Press IAIN Sultan Amai Gorontalo, 2015.
hlm. 43-45
BAB III

KESIMPULAN

. Sumber-sumber Islam merupakan hal yang penting bagi kita, karena sumber Islam
merupakan petunjuk kita untuk menjalani hidup. Adapun yang di namakan dengan sumber hukum
Islam yaitu segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan
yang bersifat mengikat yang apabila di langgar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata.

Al-Qur’an adalah kalamullah yang berisikan firman-firman Allah, diwahyukan kepada Nabi
Muhamad SAW sebagai salah satu mukjizatnya melalui perantara malaikat Jibril. Al-Qur’an yang
merupakan kitab suci umat Islam yang berisikan tentang aqidah, ibadah, hukum, peringatan, kisah-
kisah dan isyarat pengembangan iptek yang dijadikan sebagai acuan dan pedoman hidup bagi umat
Nabi Muhamad SAW. Al-Qur’an merupakan sumber utama yang dijadikan oleh para mujtahid
dalam menentukan hukum ajaran Islam. Karena, segala permasalahan hukum agama merujuk
kepada Al-Qur’an tersebut atau kepada jiwa kandungannya. Apabila penegasan hukum yang
terdapat dalam Al-Qur’an masih bersifat global, maka hadist dijadikan sumber hukum kedua, yang
mana berfungsi menjelaskan apa yang dikehendaki Al-Qur’an.

Hadis atau al-hadis menurut bahasa al-jadid yang artinya sesuatu yang baru -lawan dari al-
Qadim- artinya yang berarti menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat.
Menurut ahli hadis pengertian hadis ialah segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan hal ihwalnya.
Sunnah menurut etimologi berarti cara yang bisa ditempuh baik ataupun buruk, Khabar menurut
bahasa serupa dengan makna hadis, yakni segala berita yang disampaikan oleh seseorang kepada
orang lain.
Kedudukan dan fungsi Hadis yaitu sebagai sumber hukum Islam yang kedua, sebagai
penguat dan pengukuh hukum, sebagai penjelas atau perincian terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang
masih bersifat umum, menetapkan hukum-hukum tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Hubungan Al-
Qur’an dan Sunnah. Ditinjau dari hukum yang ada maka hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur-an,
sebagai penguat hukum yang sudah ada di dalam Al-Qur-an,penafsir atau pemerinci hal-hal yang
disebut secara mujmal dalam Al-Qur-an.
DAFTAR PUSTAKA

Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh. Jakarta : AMZAH. 2016

Ali Zainuddin, Hukum Islam, Jakarta : Sinar Grafika, Sudarsono, 2005

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung :PT. Mizan Pustaka, 2005

Muhammad Daut Ali, Prof. H. S.H.. Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 2011

Abdul Wahhab Khallaf, Prof.Dr. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
2000

Selviyanti Kaawoan, Memahami ushul fiqhi, Sultan Amai Press IAIN Sultan Amai, Gorontalo, 2015

Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits 2, Jakarta:Bulan Bintang,1976

Muhammad Agus Sholahuddin, Ulumul Hadis, Bandung:CV Pustaka Setia,2009

Amir Syarufuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, PT LOGOS Wacana Ilmu: jakarta, 1997

Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002

Zufran Rahman, Kajian Sunnah Nabi SAW Sebagai Sumber Ajaran Islam, Jakarta:Pedoman Ilmu
Jaya,1995

Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis., Pustaka Firdaus, Jakarta. Cet-V,2008

M. M. Azami, Menguji Keaslian Hadis-hadis Hukum; sanggahan atas : The origins of


Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht, Pustaka Firdaus, Jakarta, cet-I, 2004.

Anda mungkin juga menyukai