Anda di halaman 1dari 7

FILSAFAT HUKUM ISLAM

SUMBER HUKUM ISLAM


A. AL-QUR’AN
Pengkajian terhadap sumber hukum Islam dalam perspektif filsafat hukum Islam
menjadi lebih mendalam manakala telah diketahui dan diyakini secara mendalam bahwa
hakikat hukum Islam dan sumber utamanya adalah Al-Hakim, yakni Allah yang Mahasuci
dan sempurna dengan segala yang diciptakan-Nya. Karya Allah terhebat adalah hukum Islam
yang dilukisjelaskan melalui wahyu- Nya.
Yang terpenting dari segala yang penting setelah meyakini bahwa sumber utama
hukum Islam adalah Al-Hakim atau Asy-Syari' yang menciptakan atau menurunkan hukum
syara', adalah meyakini bahwa yang diciptakan dan diturunkan-Nya merupakan wahyu yang
terbebas dari campur tangan makhluk-Nya. Wahyu yang dijaga dan dipelihara secara
langsung oleh Al-Hakim.
Kaitannya dengan wahyu yang di dalamnya termuat hukum- hukum syara', menurut
Ibnu Taimiyah, sebagaimana dijelaskan Juhaya S. Pradja secara panjang lebar, bahwa yang
dimaksud dengan al-syara' bukan sekadar sesuatu yang dapat membedakan antara manfaat
dengan madharat secara indrawi (al-hiss), tetapi dengan asy-syara', manusia akan mampu
membedakan perbuatan manusia yang akan membawa pelakunya pada kebaikan atau pada
keburukan dan kerusakan, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Oleh karena itu, asy-syara'
memberi petunjuk dengan manfaat iman, tauhid, adil, dan sebagainya, yang dapat dicapai
dengan melaksanakan segala perintah yang tertuang dalam asy-syara'; membenarkan Allah
dan Rasul-Nya serta yang dirisalahkannya, dan menaatinya.1
Modal dasar keyakinan atas Al-Quran adalah keimanan, sebagai fondasi ketakwaan,
sedangkan ketakwaan yang sempurna harus didasarkan pada keyakinan bahwa Al-Quran
sebagai petunjuknya. Untuk memperoleh keyakinan bahwa Al-Quran merupakan kitab yang
sempurna, perspektif filsafat hukum Islam perlu dimulai dari pandangan dan pemahaman
mendalam mengenai wujud mutlak Dzat yang menurunkan wahyu Al-Quran dan yang
membuat hukum- hukum-Nya, yakni Al-Hakim atau Asy-Syari', yakni Allah SWT. Dengan
demikian, keyakinan terhadap Al-Quran secara ontologis merupakan salah satu hakikat dari
ketauhidan, baik tauhid uluhiyah maupun rububiyah.
Dengan pemahaman ontologis di atas, dapat dipahami pula bahwa ketauhidan terlihat
dalam realitas ketaatan. Ketaatan kepada Allah sebagai Al-Hakim realitasnya adalah dimulai
dengan ketaatan kepada kalam-kalam-Nya yang berisikan perintah atau larangan,
sebagaimana semua itu terdapat di dalam wahyu Al-Quran. Pemahaman ini didasarkan
kepada firman Allah SWT dalam surat An-Nahl ayat 44:

4 :‫ النحل‬. ‫بالبيِت َو الُّر ُبِر َو اْنَز ْلَنا ِإَلْيَك الِّذْك َر ِلُتَبِّيَن ِللَّناِس َم ا َنِّز َل الَلْيِهْم َو َلَع َّلُهْم َيَتَفَّك ُروَن‬
Artinya:

"Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu


Al-Quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka dan supaya mereka memikirkan."(Q.S. An-Nahl: 44)
1
Beni Ahmad Soebani, Filsafat Hukum Islam (Bandung: Cv.Pustaka Setia, 2007), 77–79.
Dalam surat Al-A'raf ayat 3, Allah SWT. berfirman:
۲ :‫ِاَّتِبُعواما انزَل ِإَلْيُك ْم ِم ْن َّرِّبُك ْم َو اَل َتَّتِبُعوا ِم ْن ُدونهِ اْو ِلَياء َقِلياًل َم َاتذكرون (االعراف‬
Artinya:
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dan Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)"
(QS. Al-A'raf: 3)

Surat Az-Zumar ayat 55:


‫َو اَّتِبُعوا اْح َس َن َم ا ُأنِزَل ِإَلْيُك ْم ِم ْن َّرِّبُك ْم ِم ْن َقْبُل ان يأتيُك ُم اْلَع َذ اُب َبْغ َتًة َو َأْنُتْم اَل َتْش ُعُرون‬
Artinya:
"Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu
sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya." (Q.S.
Az-Zumar: 55)

Dengan demikian, Al-Quran sangat meyakinkan manusia jika dilihat dalam perspektif
filsafat, dan argumen aksiologisnya tentang Al-Quran berkaitan dengan kajian filsafat hukum
Islam, adalah Al- Quran merupakan jalan kehidupan yang lurus menurut kehendak Al-Hakim
yang menurunkannya. Untuk itu, perhatikan firman-Nya yang menetapkan aksiologia dari Al-
Quran, yakni sebagai berikut:
‫إن هذا اْلُقْر آَن َيْهِد ي ِلَّلِتي هي ا َقَو م َو ُيبِّش رُ المؤمنين اَّلِذ يَن َيْع َم ُلوَن الَّصاِلَح اِت َأَّن َلُهْم َأْج ًرا َك ِبيًرا‬
Artinya:
"Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih furus
dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh
bahwa bagi mereka ada pahala yang besar."(QS. Al-Isra': 9).

Al-Qur'an berkedudukan sebagai sumber pertama dan utama dalam hukum Islam.
Kedudukan ini mengharuskan umat Islam memahami pesan-pesan yang dikandungnya untuk
dilaksanakan dalam kehidupan. Hal tersebut juga diperlukan sebagai upaya mengatur
perilaku manusia, baik yang berhubungan dengan manusia ataupun makhluk yang lainnya
secara horizontal. Demikian pula seluruh persoalan yang berkaitan dengan hukum, meski
dicari jawabannya terlebih dahulu dari petunjuk yang terkandung di dalam Al-Qur'an.
Kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat diyakini dapat diperoleh jika manusia
melandaskan pada perilaku hidup mereka pada petunjuk Al- Qur'an.
Al-Qur'an secara redaksional dan makna yang dikandungnya bersifat qath'i al-wurud,
maksudnya adalah lafaz Al-Qur'an dan pesan yang dikandungnya terjamin keautentikan dan
otoritas kebenarannya. Keauntetikan itu terjamin karena transformasi periwayatannya secara
keseluruhan mencapai tingkat mutawwatir. Selain itu, jaminan keaslian Al-Qur'an mendapat
intervensi langsung dari pemiliknya, Allah Swt.2

2
Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat hukum Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 61–62.
Dalam ajaran Islam, menurut S. Hossein Nasr, Alquran adalah inti sari semua
pengetahuan. Namun, pengetahuan yang terkandung di dalam Alquran hanyalah benih-benih
atau prinsip-prinsipnya saja.
Yang ada di dalam Alquran adalah 'prinsip segala pengetahuan' termasuk kosmologi
dan pengetahuan tentang alam. Untuk menemukan prinsip ini, orang harus menghayati arti
sebenarnya umm-al-kitab (kitab induk yang memuat pokok-pokok ketetapan Allah). Dengan
penghayatan demikian, kita akan menemukan dasar, bukan rincian ilmu pengetahuan dalam
Alquran.
Peranan Alquran di dalam filsafat Islam dan ilmu pengetahuan, karena itu, sangat
penting. Begitu pula dalam 'hukum' dan metafisika, meskipun seringkali diabaikan oleh para
peneliti masa kini bahwa Alquran adalah pedoman dan sekaligus kerangka segala kegiatan
intelektual Islam.
Selanjutnya, Sayyid Husein Nasr berkata: "Sebagai pedoman abadi, Alquran
mempunyai tiga petunjuk bagi manusia:
Pertama, adalah ajaran yang memberi pengetahuan tentang struktur (susunan)
kenyataan alam semesta dan posisi berbagai makhluk, termasuk manusia, serta benda di jagad
raya.
Kedua, Alquran berisi petunjuk yang menyerupai sejarah manusia, rakyat biasa, raja-
raja, orang-orang suci, para nabi sepanjang zaman dan segala cobaan yang menimpa mereka.
Ketiga, Alquran berisi sesuatu yang sulit untuk dijelaskan dalam bahasa biasa. Ayat-
ayat Alquran, karena berasal dari firman Tuhan, mengandung kekuatan yang berbeda dari apa
yang dapat kita pelajari secara rasional. Di samping berisi hukum Tuhan, Alquran juga
mengandung ajaran tentang dunia dan akhirat, dalam ekspresi dan formasi apa adanya.

Menurut para ahli, pada garis-garis besarnya Alquran memuat soal-soal yang
berkenaan dengan (1) akidah, (2) syariah baik (a) ibadah maupun (b) muamalah, (3) akhlak
dalam semua ruang-lingkupnya, (4) kisah-kisah umat manusia di masa lalu, (5) berita-berita
tentang zaman yang akan datang (kehidupan akhirat), dan (6) benih atau prinsip-prinsip
ilmu pengetahuan, dasar-dasar hukum atau hukum-hukum dasar yang berlaku bagi alam
semesta, termasuk manusia di dalamnya.3
Alquran adalah sumber nilai dan norma agama dan ajaran Islam. Ia menjadi pedoman
hidup setiap Muslim, yang harus dikaji, dipahami makna yang dikandungnya. Timbullah
gerakan untuk mempelajari Alquran secara baik dan benar. Akibatnya muncullah disiplin
ilmu tersendiri yang khusus mempelajari Alquran yang disebut 'Ulum Alqur’an. Ulumul
Qur’an adalah ilmu-ilmu yang ada hubungannya dengan Alquran seperti ilmu yang
berkenaan dengan ilmu sebab-sebab turunnya ayat-ayat, ilmu tentang cara membaca Alquran
dengan baik dan benar, ilmu tentang penafsiran Alquran, dan ilmu-ilmu lain dengan Alquran.
B. SUNNAH
Pada uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa Al-Qur'an sebagai sumber utama dan
yang paling utama dari hukum Islam yang bersifat global yang membutuhkan penjelasan
secara operasional. Nabi Muhammad Saw. sebagai penyampai ajaran Al-Qur'an, diberi

3
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: pengantar ilmu hukum dan tata hukum Islam di Indonesia, Ed. 3 (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1993), 79–84.
otoritas oleh tuhan untuk menjelaskan lebih lanjut apa yang telah diwahyukan kepadanya.
Dengan demikian, al-Sunnah baik dalam bentuk perkataan, perbuatan maupun dalam bentuk
taqrir berkedudukan sebagai sumber kedua setelah Al-Qur'an.
Kedudukan al-Sunnah sebagai disebutkan di atas berdasarkan argumentasi bahwa
secara normatif ditemukan ayat Al-Qur'an yang menyuruh untuk taat kepada Rasul. Ketaatan
kepada Rasul sering dikaitkan dengan ketaatan kepada Allah Swt. seperti yang ditemukan
pada surat Al-Nisa: 13.

‫ِتْلَك ُح ُدوُد ِهَّللا َو َم ن ُيِط ِع َهَّللا َو َر ُسوَلُه ُيْد ِخ ْلُه َج َّنِت‬

Artinya:
“(hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat
kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga”.

Al-Qur'an sering menetapkan beriman kepada rasul sama dengan kewajiban beriman
kepada Allah Swt. Disebutkan dalam surat Al-A'raf: 158:

‫َو اَّتِبُعوُه َلَع َّلُك ْم َتْهَتُد وَن‬،‫َف ءاِم ُنواِباِهَّلل َو َر ُسوِلِه الَّنِبي اُأْلِتَي اَّلِذ ي ُيْؤ ِم ُن ِباِهَّلل َو َك ِلَم ِتِه‬

Artinya:
“...Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, nabi yang ummi yang
beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab- kitab-Nya) dan ikutilah Dia,
supaya kamu mendapat petunjuk”. (QS Al-A'raf: 158).

Seluruh penjelasan ayat ini menjelaskan kedudukan al- Sunnah memiliki otoritas
sebagai sumber hukum Islam tertinggi kedua setelah Al-Qur'an. Tingkat otoritas yang
dimiliki al- Sunnah sebagai sumber dan dalil hukum dapat dilihat dari dua segi hukum, yaitu
dari segi kebenaran materinya yang diukur dari validitas sanad dan dari segi petunjuknya
terhadap hukum dalalahnya. Pada segi yang pertama ini al-Sunnah dikelompokkan dalam
tingkatan mutawwatir, masyhur dan ahad. Sedangkan dari segi tunjukkan hukumnya dapat
dibedakan kepada tunjukkan pasti (qath'i) dan tidak pasti (zhanni). Al-Sunnah yang memiliki
tunjukan hukum pasti, mengandung penjelasan yang tegas dan terperinci sehingga tidak
memungkinkan adanya pemahaman lain. Sebaliknya al-Sunnah yang tunjukan hukumnya
tidak pasti memberikan penjelasan yang tidak pasti dan tidak terinci, membuka peluang bagi
terjadinya perbedaan pemahaman dan perumusan hukum. Al-Sunnah yang mempunyai
otoritas tinggi sebagai sumber dan dalil hukum Islam adalah sunnah yang gath'i dari segi
sanadnya dan qath'i dari segi dalalahnya akan tetapi sangat sedikit jumlahnya.
Fungsi al-Sunnah sebagai penjelas terhadap Al-Qur'an dapat dilihat dalam tiga bentuk.
Pertama, menetapkan atau mempertegas hukum-hukum yang disebut dalam Al-Qur'an. Al-
Sunnah dalam bentuk ini hanya mengulang ketentuan hukum yang ada dalam Al-Qur'an.
Kedua, menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur'an disebabkan sifatnya masih
umum dan mutlak. Ketiga, al-Sunnah menetapkan suatu hukum yang secara jelas tidak
ditetapkan dalam Al-Qur'an. Terkesan al-Sunnah menetapkan sendiri hukum yang tidak
ditetapkan dalam Al- Qur'an, tetapi hakikatnya hanya memperluas hukum yang telah
ditetapkan dalam Al-Qur'an secara terbatas.
Dikatakan bahwa As-Sunnah sebagai wahyu kedua setelah Al- Quran karena alasan-
alasan sebagai berikut:
1) Allah SWT. menetapkan Muhammad SAW. sebagai nabi dan rasul terakhir;
2) Allah SWT. menetapkan bahwa Rasulullah SAW. membawa risalah-risalah-Nya;
3) Allah SWT, menetapkan bahwa Rasulullah SAW. terbebas dari kesalahan ketika
berkaitan dengan kerasulannya. Rasulullah SAW. dima'shum, sehingga apa pun yang
disampaikannya bukan berasal dari hawa nafsunya, melainkan sebagai wahyu yang
dikaruniakan oleh Allah SWT.;
4) Al-Quran memberikan penjelasan bahwa hak untuk menjelaskan makna-makna Al-
Quran kepada umat manusia berada di tangan Rasulullah SAW.

C. AKAL SEBAGAI ALAT PRODUK HUKUM


Apa pun alasannya, meskipun Al-Quran itu mukjizat yang sempurna dan As-Sunnah
sebagai keteladanan Muhammad sebagal nabi dan rasul yang terjaga dari kesalahan
(ma'shum), keduanya merupakan wahyu yang matlu dan ghair matlu, dalam realitasnya tidak
pernah lepas dari peran akal manusia, baik dalam menerjemahkan maknanya maupun
berbagai penafsiran dan metodologinya. Bahkan, kaum mu'tazilah meyakini bahwa akal dapat
menentukan baik dan buruk, memilih dan memutuskannya meskipun tanpa wahyu. Dan
sebelum para nabi diutus serta wahyu diturunkan, akallah yang membedakan kualitas
manusia.
Sebagaimana Juhaya S. Pradja mengatakan bahwa ilmu-ilmu Islam dibangun atas
dasar kebenaran- kebenaran otoritatif atau al-naqliyah wa al-mutawatirah, yakni para
pemegang otoritas di bidangnya melalui data-data yang ditransmisi secara
berkesinambungan, data-data empirik atau al-tajribah al-hissiyah yang meliputi al-
hadasiyyah wa al-mujarrabah.
Ibnu Sina membedakan antara pengalaman empirik yang disebut dengan al-
hadasiyyah dan al-mujarrabah al-hadasiyyah adalah data- data empirik yang terjadi di luar
kemampuan manusia untuk menciptakannya, seperti terjadinya gerhana, gempa bumi, dan
sebagainya, Pengalaman empirik yang disebut al-mujarrabah lalah pengalaman yang dapat
diciptakan manusia atau dibuat eksperimen. Akal berfungsi melakukan penalaran terhadap
berbagai kejadian, dari pengalaman dan pengetahuan indrawinya. Penalaran yang valid
adalah wahyu yang ditransmisi oleh akal sehingga sesuai dengan wahyu. Kesahihan transmisi
data otoritatif melahirkan ilmu tafsir dan ilmu hadis yang kemudian menjadi landasan ilmu-
ilmu lainnya dan landasan filsafat Islam. Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah mengatakan
muwafaqah al-shahih al-manqul lishahih al-ma'qul, persesuaian antara akal dengan wahyu.
Sumber hukum Islam ketiga adalah akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk
berusaha, berikhtiar dengan seluruh kemampuan yang ada padanya memahami kaidah kaidah
hukum yang fundamental yang terdapat dalam Alquran, kaidah-kaidah hukum yang bersifat
umum yang terdapat dalam Sunnah nabi dan merumuskannya menjadi garis-garis hukum
yang dapat diterapkan pada suatu kasus tertentu. Atau berusaha merumuskan garis-garis atau
kaidah-kaidah hukum yang "pengaturannya" tidak terdapat di dalam kedua sumber utama
hukum Islam itu.
Akal menurut Al-Qur'an, lebih khususnya menurut pengertian pra-Islam yaitu bahwa
memerhatikan alam sekitarnya dengan otak, yang di mana otak adalah organ tubuh akal.
Artinya akal itu sendiri terdapat di dalam otak seseorang yang digunakan untuk berpikir dan
berdasarkan pemikiran itu maka lahirlah suatu ide atau gagasan mengenai suatu masalah yang
dipikirkan Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Allah menciptakan manusia berbeda
berdasarkan akalnya dengan makhluk hidup lainnya seperti hewan dan tumbuhan.4
Di dalam bahasa Arab, perkataan al-'aql yang kemudian menjadi akal dalam bahasa
Indonesia, mempunyai beberapa makna. Selain berarti pikiran dan intelek, kata itu juga
bermakna sesuatu yang mengikatkan manusia dengan Tuhan, sebab arti lain perkataan 'aql
dalam bahasa Arab adalah ikatan. Di dalam Alquran kita dapat menjumpai perkataan akal
dalam kaitan dengan kata lain misalnya kata-kata ya'qilun artinya mereka yang berakal,
taqilan artinya kamu (yang) berakal dan ayat-ayat yang menyuruh orang mempergunakan
akalnya. Mereka yang ingkar yakni orang-orang yang tidak bisa berpikir disebut oleh Alqura
la ya'qilun, artinya mereka yang tidak dapat mempergunaka akalnya dengan baik. Menurut
Alquran, runtuhnya iman tidak sama dengan timbulnya kehendak yang buruk, tetapi karena
tidak adanya atau tidak dipergunakannya akal secara baik dan benar.
Menurut Harun Nasution, akal adalah karunia terbesar yang diberikan Allah kepada
manusia, dan akallah yang membuat manusia berbeda dengan hewan. Muhammad Abduh
mengatakan bahwa akal pula yang membuat manusia menjadi tinggi derajatnya dan makhluk
yang mulia. Apabila akal manusia dicabut, kemungkinan manusia berubah menjadi malaikat
atau hewan. Di dalam Risalah al-Tauhidnya, Muhammad Abduh mengatakan bahwa akal
manusia dibagi dua, yaitu akal kaum awam dan akal kaum khawas. Kedua akal tersebut
berbeda karena akal orang awam hanya memiliki kemampuan memahami masalah-masalah
yang sederhana, sedangkan akal orang khawas mampu memahami masalah yang rumit.
Perbedaan daya akal ini, menurut Abduh, bukan hanya disebabkan oleh perbedaan
pendidikan, tetapi juga, dan terutama, oleh perbedaan pembawaan alami, suatu hal yang
terletak di luar kehendak dan kekuasaan manusia.5
Dalam Islam, agama dan akal seolah bersaudara atau senantiasa menjalin
persaudaraan. Dalam hubungan di antara keduanya, akal menjadi tulang punggung ajaran
agama, terutama karena adanya ah to kebutuhan akal untuk menjelaskan wahyu. Antara
wahyu dan akal nat, tidak pernah ada pertentangan, karena tidak mungkin Tuhan kda
menurunkan wahyu kepada manusia yang tidak berakal, meskipun tidak mustahil di dalam
wahyu terdapat ayat-ayat yang tidak mudah kead dipahami oleh akal. Di dalam wahyu
terdapat ayat-ayat yang membicarakan kisah masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan
datang. Semua ayat seperti itu dapat dipahami maksudnya oleh akal, dan jika terdapat wahyu
yang menjelaskan kemustahilan bagi wah akal untuk dipahami, akal tidak wajib menerima
yang mustahil, sebagaimana akal tidak harus percaya bahwa manusia dapat berada di satu
tempat dalam waktu yang bersamaan. Akan tetapi, keberadaan tersebut menjadi masuk akal,
jika yang dimaksudkan daa adalah Allah SWT. yang menciptakan semua keberadaan, maka
hal itu tidak mustahil bagi-Nya dan bagi akal. Jika terdapat wahyu yang secara lahiriah
bertentangan, akal menjelaskannya di luar makna lahiriahnya, sehingga wahyu yang
dimaksud dapat dengan mudah pta diamalkan oleh manusia.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa akal merupakan sumber dalil yang pertama, karena
alasan- alasan sebagai berikut:
1. Allah menciptakan manusia sekaligus dengan akalnya;
2. Allah menciptakan agama untuk manusia yang berakal;
3. Allah mengutus rasul dari orang yang berakal;

4
Nasution, Filsafat hukum Islam, 68.
5
Ahmad Soebani, Filsafat Hukum Islam, 133–35.
4. Allah menyampaikan wahyu-Nya kepada rasul agar disampaikan dengan jelas kepada
orang yang berakal;
5. Al-Quran dan As-Sunnah adalah sumber hukum yang hanya layak diamalkan oleh orang
yang berakal;
6. Orang yang yang tidak berakal tidak terkena taklif-Nya;
7. Hukum Islam bukan untuk anak kecil, orang gila, orang yang sedang tidur, dan orang-
orang yang sedang mabuk atau tidak sadar.6

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Soebani, Beni. Filsafat Hukum Islam. Bandung: Cv.Pustaka Setia, 2007.
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam: pengantar ilmu hukum dan tata hukum Islam di
Indonesia. Ed. 3. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993.
Nasution, Muhammad Syukri Albani. Filsafat hukum Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

6
Ahmad Soebani, 152.

Anda mungkin juga menyukai