4 : النحل. بالبيِت َو الُّر ُبِر َو اْنَز ْلَنا ِإَلْيَك الِّذْك َر ِلُتَبِّيَن ِللَّناِس َم ا َنِّز َل الَلْيِهْم َو َلَع َّلُهْم َيَتَفَّك ُروَن
Artinya:
Dengan demikian, Al-Quran sangat meyakinkan manusia jika dilihat dalam perspektif
filsafat, dan argumen aksiologisnya tentang Al-Quran berkaitan dengan kajian filsafat hukum
Islam, adalah Al- Quran merupakan jalan kehidupan yang lurus menurut kehendak Al-Hakim
yang menurunkannya. Untuk itu, perhatikan firman-Nya yang menetapkan aksiologia dari Al-
Quran, yakni sebagai berikut:
إن هذا اْلُقْر آَن َيْهِد ي ِلَّلِتي هي ا َقَو م َو ُيبِّش رُ المؤمنين اَّلِذ يَن َيْع َم ُلوَن الَّصاِلَح اِت َأَّن َلُهْم َأْج ًرا َك ِبيًرا
Artinya:
"Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih furus
dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh
bahwa bagi mereka ada pahala yang besar."(QS. Al-Isra': 9).
Al-Qur'an berkedudukan sebagai sumber pertama dan utama dalam hukum Islam.
Kedudukan ini mengharuskan umat Islam memahami pesan-pesan yang dikandungnya untuk
dilaksanakan dalam kehidupan. Hal tersebut juga diperlukan sebagai upaya mengatur
perilaku manusia, baik yang berhubungan dengan manusia ataupun makhluk yang lainnya
secara horizontal. Demikian pula seluruh persoalan yang berkaitan dengan hukum, meski
dicari jawabannya terlebih dahulu dari petunjuk yang terkandung di dalam Al-Qur'an.
Kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat diyakini dapat diperoleh jika manusia
melandaskan pada perilaku hidup mereka pada petunjuk Al- Qur'an.
Al-Qur'an secara redaksional dan makna yang dikandungnya bersifat qath'i al-wurud,
maksudnya adalah lafaz Al-Qur'an dan pesan yang dikandungnya terjamin keautentikan dan
otoritas kebenarannya. Keauntetikan itu terjamin karena transformasi periwayatannya secara
keseluruhan mencapai tingkat mutawwatir. Selain itu, jaminan keaslian Al-Qur'an mendapat
intervensi langsung dari pemiliknya, Allah Swt.2
2
Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat hukum Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 61–62.
Dalam ajaran Islam, menurut S. Hossein Nasr, Alquran adalah inti sari semua
pengetahuan. Namun, pengetahuan yang terkandung di dalam Alquran hanyalah benih-benih
atau prinsip-prinsipnya saja.
Yang ada di dalam Alquran adalah 'prinsip segala pengetahuan' termasuk kosmologi
dan pengetahuan tentang alam. Untuk menemukan prinsip ini, orang harus menghayati arti
sebenarnya umm-al-kitab (kitab induk yang memuat pokok-pokok ketetapan Allah). Dengan
penghayatan demikian, kita akan menemukan dasar, bukan rincian ilmu pengetahuan dalam
Alquran.
Peranan Alquran di dalam filsafat Islam dan ilmu pengetahuan, karena itu, sangat
penting. Begitu pula dalam 'hukum' dan metafisika, meskipun seringkali diabaikan oleh para
peneliti masa kini bahwa Alquran adalah pedoman dan sekaligus kerangka segala kegiatan
intelektual Islam.
Selanjutnya, Sayyid Husein Nasr berkata: "Sebagai pedoman abadi, Alquran
mempunyai tiga petunjuk bagi manusia:
Pertama, adalah ajaran yang memberi pengetahuan tentang struktur (susunan)
kenyataan alam semesta dan posisi berbagai makhluk, termasuk manusia, serta benda di jagad
raya.
Kedua, Alquran berisi petunjuk yang menyerupai sejarah manusia, rakyat biasa, raja-
raja, orang-orang suci, para nabi sepanjang zaman dan segala cobaan yang menimpa mereka.
Ketiga, Alquran berisi sesuatu yang sulit untuk dijelaskan dalam bahasa biasa. Ayat-
ayat Alquran, karena berasal dari firman Tuhan, mengandung kekuatan yang berbeda dari apa
yang dapat kita pelajari secara rasional. Di samping berisi hukum Tuhan, Alquran juga
mengandung ajaran tentang dunia dan akhirat, dalam ekspresi dan formasi apa adanya.
Menurut para ahli, pada garis-garis besarnya Alquran memuat soal-soal yang
berkenaan dengan (1) akidah, (2) syariah baik (a) ibadah maupun (b) muamalah, (3) akhlak
dalam semua ruang-lingkupnya, (4) kisah-kisah umat manusia di masa lalu, (5) berita-berita
tentang zaman yang akan datang (kehidupan akhirat), dan (6) benih atau prinsip-prinsip
ilmu pengetahuan, dasar-dasar hukum atau hukum-hukum dasar yang berlaku bagi alam
semesta, termasuk manusia di dalamnya.3
Alquran adalah sumber nilai dan norma agama dan ajaran Islam. Ia menjadi pedoman
hidup setiap Muslim, yang harus dikaji, dipahami makna yang dikandungnya. Timbullah
gerakan untuk mempelajari Alquran secara baik dan benar. Akibatnya muncullah disiplin
ilmu tersendiri yang khusus mempelajari Alquran yang disebut 'Ulum Alqur’an. Ulumul
Qur’an adalah ilmu-ilmu yang ada hubungannya dengan Alquran seperti ilmu yang
berkenaan dengan ilmu sebab-sebab turunnya ayat-ayat, ilmu tentang cara membaca Alquran
dengan baik dan benar, ilmu tentang penafsiran Alquran, dan ilmu-ilmu lain dengan Alquran.
B. SUNNAH
Pada uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa Al-Qur'an sebagai sumber utama dan
yang paling utama dari hukum Islam yang bersifat global yang membutuhkan penjelasan
secara operasional. Nabi Muhammad Saw. sebagai penyampai ajaran Al-Qur'an, diberi
3
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: pengantar ilmu hukum dan tata hukum Islam di Indonesia, Ed. 3 (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1993), 79–84.
otoritas oleh tuhan untuk menjelaskan lebih lanjut apa yang telah diwahyukan kepadanya.
Dengan demikian, al-Sunnah baik dalam bentuk perkataan, perbuatan maupun dalam bentuk
taqrir berkedudukan sebagai sumber kedua setelah Al-Qur'an.
Kedudukan al-Sunnah sebagai disebutkan di atas berdasarkan argumentasi bahwa
secara normatif ditemukan ayat Al-Qur'an yang menyuruh untuk taat kepada Rasul. Ketaatan
kepada Rasul sering dikaitkan dengan ketaatan kepada Allah Swt. seperti yang ditemukan
pada surat Al-Nisa: 13.
Artinya:
“(hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat
kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga”.
Al-Qur'an sering menetapkan beriman kepada rasul sama dengan kewajiban beriman
kepada Allah Swt. Disebutkan dalam surat Al-A'raf: 158:
َو اَّتِبُعوُه َلَع َّلُك ْم َتْهَتُد وَن،َف ءاِم ُنواِباِهَّلل َو َر ُسوِلِه الَّنِبي اُأْلِتَي اَّلِذ ي ُيْؤ ِم ُن ِباِهَّلل َو َك ِلَم ِتِه
Artinya:
“...Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, nabi yang ummi yang
beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab- kitab-Nya) dan ikutilah Dia,
supaya kamu mendapat petunjuk”. (QS Al-A'raf: 158).
Seluruh penjelasan ayat ini menjelaskan kedudukan al- Sunnah memiliki otoritas
sebagai sumber hukum Islam tertinggi kedua setelah Al-Qur'an. Tingkat otoritas yang
dimiliki al- Sunnah sebagai sumber dan dalil hukum dapat dilihat dari dua segi hukum, yaitu
dari segi kebenaran materinya yang diukur dari validitas sanad dan dari segi petunjuknya
terhadap hukum dalalahnya. Pada segi yang pertama ini al-Sunnah dikelompokkan dalam
tingkatan mutawwatir, masyhur dan ahad. Sedangkan dari segi tunjukkan hukumnya dapat
dibedakan kepada tunjukkan pasti (qath'i) dan tidak pasti (zhanni). Al-Sunnah yang memiliki
tunjukan hukum pasti, mengandung penjelasan yang tegas dan terperinci sehingga tidak
memungkinkan adanya pemahaman lain. Sebaliknya al-Sunnah yang tunjukan hukumnya
tidak pasti memberikan penjelasan yang tidak pasti dan tidak terinci, membuka peluang bagi
terjadinya perbedaan pemahaman dan perumusan hukum. Al-Sunnah yang mempunyai
otoritas tinggi sebagai sumber dan dalil hukum Islam adalah sunnah yang gath'i dari segi
sanadnya dan qath'i dari segi dalalahnya akan tetapi sangat sedikit jumlahnya.
Fungsi al-Sunnah sebagai penjelas terhadap Al-Qur'an dapat dilihat dalam tiga bentuk.
Pertama, menetapkan atau mempertegas hukum-hukum yang disebut dalam Al-Qur'an. Al-
Sunnah dalam bentuk ini hanya mengulang ketentuan hukum yang ada dalam Al-Qur'an.
Kedua, menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur'an disebabkan sifatnya masih
umum dan mutlak. Ketiga, al-Sunnah menetapkan suatu hukum yang secara jelas tidak
ditetapkan dalam Al-Qur'an. Terkesan al-Sunnah menetapkan sendiri hukum yang tidak
ditetapkan dalam Al- Qur'an, tetapi hakikatnya hanya memperluas hukum yang telah
ditetapkan dalam Al-Qur'an secara terbatas.
Dikatakan bahwa As-Sunnah sebagai wahyu kedua setelah Al- Quran karena alasan-
alasan sebagai berikut:
1) Allah SWT. menetapkan Muhammad SAW. sebagai nabi dan rasul terakhir;
2) Allah SWT. menetapkan bahwa Rasulullah SAW. membawa risalah-risalah-Nya;
3) Allah SWT, menetapkan bahwa Rasulullah SAW. terbebas dari kesalahan ketika
berkaitan dengan kerasulannya. Rasulullah SAW. dima'shum, sehingga apa pun yang
disampaikannya bukan berasal dari hawa nafsunya, melainkan sebagai wahyu yang
dikaruniakan oleh Allah SWT.;
4) Al-Quran memberikan penjelasan bahwa hak untuk menjelaskan makna-makna Al-
Quran kepada umat manusia berada di tangan Rasulullah SAW.
4
Nasution, Filsafat hukum Islam, 68.
5
Ahmad Soebani, Filsafat Hukum Islam, 133–35.
4. Allah menyampaikan wahyu-Nya kepada rasul agar disampaikan dengan jelas kepada
orang yang berakal;
5. Al-Quran dan As-Sunnah adalah sumber hukum yang hanya layak diamalkan oleh orang
yang berakal;
6. Orang yang yang tidak berakal tidak terkena taklif-Nya;
7. Hukum Islam bukan untuk anak kecil, orang gila, orang yang sedang tidur, dan orang-
orang yang sedang mabuk atau tidak sadar.6
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Soebani, Beni. Filsafat Hukum Islam. Bandung: Cv.Pustaka Setia, 2007.
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam: pengantar ilmu hukum dan tata hukum Islam di
Indonesia. Ed. 3. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993.
Nasution, Muhammad Syukri Albani. Filsafat hukum Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
6
Ahmad Soebani, 152.