Anda di halaman 1dari 14

M A T E R I III

SUMBER NILAI/AJARAN DALAM ISLAM


Dalam materi ini dijelaskan tentang:
1. Pengertian dan Jenis Sumber Nilai dalam Islam
2. Al-Quran
3. Al-Hadist/As-Sunnah
4. Al-Ijtihad

1. PENGERTIAN DAN JENIS SUMBER NILAI DALAM ISLAM


Sumber nilai adalah acuan atau rujukan dari ajaran Islam. Ia merupakan tatanan
normative sebagai acuan, ukuran, patokan dalam suatu persoalan kehidupan umat Islam. Nilai
terbagi kepada dua bentuk, nilai absolut dan nilai relatif. Nilai absolut adalah nilai yang
kebenarannya mutlak/pasti, ia bersumber dari wahyu Allah melalui rasul Nya. Sementara nilai
relative adalah nilai dengan kebenaran nisbi/tidak pasti/berobah-obah, ia bersumber dari
norma-norma dari hasil pemikiran atau budaya manusia dari masa ke masa.
Sumber ajaran Islam adalah rujukan, acuan atau asal usul dari ajaran Islam yang dipakai sebagai
dasar dalam pengamalan ajaran Islam. Sumber ajaran Islam itu terdi dari 3 (tiga) sumber: (1. Al-
Quran, 2. As-Sunnah, dan 3. Al-Ijtihad)

2. AL-QURAN
Al-Quran adalah sumber nilai pertama dalam ajaran Islam. Ia menjadi rujukan dan acuan
yang paling penting dengan kebenaran mutlak dan pasti. Al-Quran secara etimologi berati
bacaan atau yang dibaca. Secara terminology adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw dengan Bahasa Arab dengan perantaran malaikat Jibril secara bertahap di
Makkah dan Madinah.
Al-Qur’an mempunyai beberapa nama, yaitu: al-Qur’an, al-Kitab, al-Furqan, az-Zikr, dan
lain-lain. Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang terjaga kemurniaannya sejak awal
diturunkan sampai sekarang dan sampai hari kiamat. Kemurnian itu tetap terjaga dan dipelihara
oleh penciptanya sendiri, yaitu Allah swt. Hal ini sesuai dengan firman-Nya dalam surat al-Hijr
ayat 9: yang terjemahannya: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.
Terbukti bahwa sampai saat ini al-Qur’an tetap terjaga kemurniannya. Sejak awal
diturunkannya, al-Qur’an ditulis dan dihafalkan oleh para sahabat atas petunjuk Nabi
Muhammad SAW. Kodifikasi al-Qur’an telah dirintis pada zaman khalifah Abu Bakar dan
disempurnakan pada zaman khalifah Usman bin Affan
Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum, sebagai berikut:

1. Hukum I’tiqadiah, yakni hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia dengan Allah
SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah/keimanan. Hukum ini tercermin dalam
Rukun Iman. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu
Kalam.
2. Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia dengan
Allah SWT, antara manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan lingkungan
sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syara’/syariat.
Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.
3. Hukum Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan dengan perilaku normal manusia dalam
kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau makhluk sosial. Hukum ini tercermin dalam
konsep Ihsan. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Akhlaq atau Tasawuf.
Sedangkan hokum amaliah yang terkait dengan hukum syara dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yakni:

3.1. Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah
SWT,misalnya salat, puasa, zakat, dan haji
3.2. Hukum muamalat, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan sesama manusia dan
alam sekitarnya. Termasuk ke dalam hukum muamalat adalah sebagai berikut:
a. Hukum munakahat (pernikahan).

b. Hukum faraid (waris).


c. Hukum jinayat (pidana).
d. Hukum hudud (hukuman).
e. Hukum jual-beli dan perjanjian.
f. Hukum tata Negara/kepemerintahan
g. Hukum makanan dan penyembelihan.
h. Hukum aqdiyah (pengadilan).
i. Hukum jihad (peperangan).
j. Hukum dauliyah (antarbangsa).
Kedudukan dan fungsi al-Qur’an adalah sebagai berikut:

1. Sebagai petunjuk dan pedoman hidup bagi umat manusia surat al-Baqarah ayat 185,
terjemah: Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-
penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).
2. Sebagai sumber dari segala sumber hukum. surat al-Ahzab ayat 36, terjemah: Dan tidaklah
patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan
(yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya
maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.
3. Isi ajaran-ajaran di dalam al-Qur’an, di samping sebagai pembenar, juga sebagai koreksi
terhadap ajaran agama-agama samawi yang terdahulu, sebagaimana diungkapkan dalam
surat an-Nahl ayat 64, terjemah: Dan kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran)
ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka
perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. Selain ayat
tersebut, perhatikan pula surat an-Nisa’ ayat 47 dan surat al-Ma’idah ayat 48.
4. Sebagai mu’jizat Nabi Muhammad SAW. surat al-Baqarah ayat 23, terjemah: Dan jika kamu
(tetap) dalam keraguan tentang al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami
(Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-
penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (Lihat pula surat Yunus: 38;
surat Hud ayat 13; dan surat al-Isra’ ayat 88).

Ajaran Utama/Pokok dalam al-Quran:

1. Prinsip-prinsip Keyakinan; yang meliputi Akidah, yaitu ajaran tentang keimanan kepada
Allah swt., para Malaikat, kitab-kitab Allah, para Rasul Allah, hari akhir dan takdir Allah.
2. Prisip-prinsip Syariah; Hukum, ajaran tentang hukum terdiri atas aturan tentang hubungan
manusia dengan Tuhan yang disebut ibadah (cara ritual) dan aturan tentang hubungan
manusia dengan manusia lain dalam masyarakat yang disebut mu’amalah.
3. Akhlak, adalah tata aturan tentang bagaimana orang harus berbudi pekerti baik dan
menjauhi budi pekerti yang jelek, bagaimana berakhlak kepada Allah, sesama manusia,
maupun kepada alam hewani, nabati dan alam jamadi.
4. Janji dan ancaman Allah. Allah tidak akan memperselisihi janji dan ancamannya.
Barangsiapa beriman dan beramal shalih, Allah berjanji akan membalas dengan surga, dan
barang siapa yang kafir dan berbuat jelek, Allah mengancam dengan balasan neraka.
5. Cerita atau sejarah umat terdahulu, seperti sejarah kaum Bani Israil, kaum ‘Ad, kaum
Tsamud dan Raja Fir’aun. Hal itu disebutkan dalam al-Qur’an agar umat manusia mau
mengambil hikmah dari sejarah umat-umat terdahulu tersebut.
6. Cara atau ajaran tentang bagaimana manusia dapat memperoleh kehidupan yang sejahtera
dan bahagia.
7. Petunjuk atau cara yang mendorong manusia untuk dapat hidup maju dengan ilmu
pengetahuan. Banyak ayat yang mendorong manusia untuk dapat hidup yang lebih maju
dengan ilmu pengetahuan, dan Allah berjanji akan mengangkat derajat mereka yang
menguasai ilmu pengetahuan.

Keistimewaan Al-Qur’an

Al-Qur’an memiliki keistimewaan-keistimewaan yang membedakan dengan kitab-kitab


sebelumnya diantaranya ialah:
1. Al-Qur’an merupakan kitab yang syamil yang mencakup seluruh ajaran Tuhan yang ada
pada kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya (Taurat, Injil, dan Zabur) dan lain-lain.
Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 48 “Dan Kami telah turunkan
kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya,
Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang
lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang
telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan
jalan yang terang”. Pada ayat di atas disebutkan bahwa Allah swt memerintahkan kepada
nabi supaya dalam memutuskan segala persoalan yang timbul di antara seluruh umat
manusia ini dengan menggunakan hukum dari al-Qur’an, baik orang-orang yang beragama
Islam atau pun golongan ahlul kitab (kaum Nasrani dan Yahudi) dan jangan sampai
mengikuti hawa nafsu mereka sendiri saja.

Dijelaskan pula bahwa setiap umat oleh Allah swt. diberikan syariat dan jalan dalam
hukum-hukum amaliah yang sesuai dengan persiapan serta kemampuan mereka. Adapun
yang berhubungan dengan persoalan akidah, ibadah, adab, sopan santun serta halal dan
haram, juga yang ada hubungannya dengan sesuatu yang tidak akan berbeda karena
perubahan masa dan tempat, maka semuanya dijadikan seragam dan hanya satu macam,
sebagaimana yang tertera dalam agama-agama lain yang bersumber dari wahyu Allah swt.
Allah berfirman dalam surat as-Syura ayat 13

“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya”

2. Ajaran-ajaran yang termuat dalam al-Qur’an adalah kalam Allah yang terakhir untuk
memberikan petunjuk dan bimbingan yang benar kepada umat manusia, inilah yang
dikehendaki oleh Allah supaya tetap sepanjang masa, kekal untuk selama-lamanya. Maka
dari itu jagalah kitab Al-Qur’an agar tidak dikotori oleh tangan-tangan yang hendak
mengotori kesuciannya, hendak mengubah kemurniannya, hendak mengganti isi yang
sebenarnya atau pun hendak menyusupkan sesuatu dari luar atau mengurangi
kelengkapannya.Allah berfirman dalam surat fusshilat ayat 41-42“Sesungguhnya Al Quran
itu adalah kitab yang mulia. Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari
depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi
Maha Terpuji”.Dan juga firman-Nya dalam surat al-Hijr:9“Sesungguhnya Kami-lah yang
menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”Adapun
tujuan menjaga dan melindungi al-Qur’an dari kebatilan, kepalsuan dan pengubahan tidak
lain hanya agar supaya hujah Allah akan tetap tegak di hadapan seluruh manusia, sehingga
Allah swt dapat mewarisi bumi ini dan siapa yang ada di atas permukaannya.
3. Kitab Suci al-Qur’an yang dikehendaki oleh Allah akan kekekalannya, tidak mungkin pada
suatu hari nanti akan terjadi bahwa suatu ilmu pengetahuan akan mencapai titik hakikat
yang bertentangan dengan hakikat yang tercantum di dalam ayat al-Qur’an Sebabnya tidak
lain karena al-Qur’an adalah firman Allah swt, sedang keadaan yang terjadi di dalam alam
semesta ini semuanya merupakan ciptaan Allah swt pula. Dapat dipastikan bahwa firman
dan amal perbuatan Allah tidak mungkin bertentangan antara yang satu dengan yang lain.
Bahkan yang dapat terjadi ialah bahwa yang satu akan membenarkan yang lain.
4. Dari sudut inilah, maka kita menyaksikan sendiri betapa banyaknya kebenaran yang
ditemukan oleh ilmu pengetahuan modern ternyata sesuai dan cocok dengan apa yang
terkandung dalam al-Qur’an. Jadi apa yang ditemukan adalah memperkokoh dan merealisir
kebenaran dari apa yang sudah difirmankan oleh Allah swt. sendiri. Firman Allah dalam
surat Fushilat:53“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan)
Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa
Al Quran itu adalah benar. Tiadakkah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi
atas segala sesuatu?
5. Allah swt. berkehendak supaya kalimat-Nya disiarkan dan disampaikan kepada semua akal
pikiran dan pendengaran, sehingga menjadi suatu kenyataan dan perbuatan. Kehendak
semacam ini tidak mungkin berhasil, kecuali jika kalimat-kalimat itu sendiri benar-benar
mudah diingat, dihafal serta dipahami. Oleh karena itu al-Qur’an sengaja diturunkan oleh
Allah swt dengan suatu gaya bahasa yang istimewa, mudah, tidak sukar bagi siapapun
untuk memahaminya dan tidak sukar pula mengamalkannya, asal disertai dengan
keikhlasan hati dan kemauan yang kuat

3. AL-HADITS/AS-SUNNAH NABI
Setelah Al-Quran, hadis menjadi sumber ajaran Islam yang ke dua. Hadits adalah segala
perkataan, perbuatan, ketetapan dan sifat-sifat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
saw. Kaum muslimin sepakat bahwa Hadits Nabi atau Sunnah Nabi menjadi sumber hukum
kedua setelah al-Qur’an.
Kedudukan Hadist sebagai sumber ajaran Islam selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat
Alquran dan Hadist juga didasarkan kepada pendapat kesepakatan para sahabat, yakni seluruh
sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib mengikuti hadis, baik pada masa Rasulullah
masih hidup maupun setelah beliau wafat.

Menurut bahasa Hadist artinya jalan hidup yang dibiasakan terkadang jalan tersebut ada
yang baik dan ada pula yang buruk. Pengertian Hadist seperti ini sejalan dengan makna hadis
Nabi yang artinya : ”Barang siapa yang membuat sunnah (kebiasaan) yang terpuji, maka pahala
bagi yang membuat sunnah itu dan pahala bagi orang yang mengerjakannya; dan barang siapa
yang membuat sunnah yang buruk, maka dosa bagi yang membuat sunnah yang buruk itu dan
dosa bagi orang yang mengerjakannya.

Sementara itu Jumhurul Ulama atau kebanyakan para ulama ahli hadis mengartikan Al-
Hadis, Al-Sunnah, Al-Khabar dan Al-Atsar sama saja, yaitu segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad Saw, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan.
Sementara itu ulama Ushul mengartikan bahwa Al-Sunnah adalah sesuatu yang berasal dari
Nabi Muhammad dalam bentuk ucapan, perbuatan dan persetujuan beliau yang berkaitan
dengan hukum.

Sebagai sumber ajaran Islam kedua, setelah Alquran, Hadist memiliki fungsi yang pada
intinya sejalan dengan Al-Quran. Keberadaan Al-Sunnah tidak dapat dilepaskan dari adanya
sebagian ayat Alquran. Ayat-ayat Al-Quran yang memerlukan tambahan penjelasan dengan
hadist/sunnah adalah:

1. Ayat yang bersifat global (garis besar) yang memerlukan perincian;


2. Ayat yang bersifat umum (menyeluruh) yang menghendaki pengecualian;
3. Ayat yang bersifat mutlak (tanpa batas) yang menghendaki pembatasan; dan ada pula
4. Isyarat Alquran yang mengandung makna lebih dari satu (musytarak) yang menghendaki
penetapan makna yang akan dipakai dari dua makna tersebut; bahkan terdapat sesuatu
yang secara khusus tidak dijumpai keterangannya di dalam Alquran yang selanjutnya
diserahkan kepada hadis nabi.
Dasar penggunaan hadis sebagai penggunaan sebagai sumber nilai adalah berikut:

1. Firman Allah swt. dalam al-Qur’an surat al-Hasyr ayat 7. Terjemah: Apa yang diberikan
Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.
Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.
2. Hadits Nabi riwayat Ibnu Majah, Abu Dawud dan lain-lain. Al ‘Irbah bin Sariyah berkata:
“Pada suatu ketika, Rasulullah saw. berdiri di hadapan kami, lalu menasehati dengan
nasehat yang menyentuh, yang membuat hati kami bergetar dan air mata meleleh.
Rasulullah saw. ditanya, wahai Rasulullah, engkau telah menasehati kami dengan nasehat
orang yang berpamitan, maka berpesanlah engkau kepada kami dengan satu pesan. Beliau
berkata: “Tetaplah kalian bertakwa kepada Allah, patuh dan tunduk pada pemimpin
walaupun ia seorang budak yang hitam legam. Kalian akan melihat perselisihan yang amat
dahsyat setelah peninggalanku. Maka tetaplah kalian berpegang teguh kepada sunnahku
dan sunnah khulafaurrasyidin yang diberi petunjuk, gigitlah dengan gigi geraham kalian.
Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru (bid’ah) karena setiap bid’ah itu sesat”.

Para sahabat sepakat bahwa Sunnah Rasul dijadikan sumber hukum kedua setelah al-
Qur’an. Kesepakatan itu berlaku sejak Rasul masih hidup sampai setelah wafat. Mereka
selalu menaati hadits Rasul; menaati perintah-perintahnya dan menjauhi larangan-
larangannya.
Al-Qur’an adalah kitab suci yang berisi aturan hidup secara umum yang masih memerlukan
penjelasan. Contoh, shalat diperintahkan dalam al-Qur’an, tetapi tidak ada penjelasan
tentang tata cara melakukan shalat. Untuk menjelaskan tata cara shalat ini, Nabi
memberikan contoh pelaksanaannya.
Pembagian hadits dari segi kualitasnya

1. Mutawatir

Menurut bahasa, kata al-mutawatir adalah isim fa’il berasal dari mashdar ”al-tawatur´
semakna dengan ” at-tatabu’u” yang berarti berturut-turut atau beriring-iringan seperti kata
“tawatara al-matharu” yang berarti hujan turun berturut-turut. Menurut istilah, hadis
mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh banyak perawi yang jujur pada semua
thabaqat (generasi) yang menurut akal dan adat kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat
untuk berdusta. Contohnya: Perkataan Nabi yang diriwayatkan oleh orang banyak kepada orang
banyak.
‫ﻣﻦ ﻛﺬﺏ ﻋﻠﻲ ﻣﺘﻌﻤﺪﺍ ﻓﻠﻴﺘﺒﻮﺃﻣﻘﻌﺪﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺭ‬

Artinya : Barang siapa berdusta atas (nama)-ku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil
tempat duduknya dari neraka

2. Masyhur

Hadist masyhur dipahami sebagai suatu hadist yang telah dikenal dikalangan para ahli
ilmu tertentu atau dikalangan masyarakat umum tanpa memperhatikan ketentuan syarat di
atas, yakni banyaknya perawi yang meriwayatkannya, sehingga kemungkinannya hanya
mempunyai satu jalur sanad saja atau bahkan tidak berasal (bersanad) sekalipun.
Contohnya: seperti hadist yang diriwayatkan Anas ra:

‫ﻗﻨﺖ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺮﻛﻮﻉ ﺷﻬﺮﺍ ﻳﺪﻋﻮ ﻋﻠﻲ ﺭﻋﻞ ﻭﺫﻛﻮﺍﻥ‬

Artinya: Bahwa Nabi saw pernah membaca doa qunut setelah ruku’ selama satu bulan untuk
mendoakan keluarga Ri’il dan Dzakwan (HR. Bukhari Muslim).

3. Ahad

Menurut bahasa kata “ahad” bentuk plural (jama’) dari kata “ahad” yang berarti: satu
(hadistwahid) berarti hadis yang diriwayatkan satu perawi. Menurut istilah, hadist ahad adalah:
‫ﻫﻮ ﻣﺎﻟﻢ ﻳﺠﻤﻊ ﺷﺮﻭﻁ ﺍﻟﻤﺘﻮﺍﺗﺮ‬

Artinya: Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk menjadi hadis mutawwatir.
Yang dimaksud hadist ahad adalah hadist yang diriwayatkan oleh beberapa perawi yang
jumlahnya tidak mencapai batasan hadist mutawwatir. Mayoritas hadist yang diriwayatkan dari
Rasulullah SAW dan terdapat dalam kitab-kitab referensi adalah jenis hadist ahad. Contohnya:
‫ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳﻘﺒﺾ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺍﻧﺘﺰﺍﻋﺎ ﻳﻨﺘﺰﻋﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩ‬
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan menggenggam ilmu pengetahuan dengan mencabutnya
dari para hamba.

Pembagian hadits menurut perawinya

1. Shahih

Kata Shahih ( ‫ )ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ‬dalam pengertian bahasa, diartikan sebagai orang sehat antonim
dari kata as-saqîm ( ‫ = ) ﺍﻟﺴﻘﻴﻢ‬orang yang sakit. Jadi yang dimaksud hadis shahih adalah hadis
yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat.

ِ‫ﻫُﻮَ ﻣَﺎ ﺍﺗَّﺼَﻞَ ﺳَﻨَﺪُﻩُ ﺑِﻨَﻘْﻞِ ﺍﻟْﻌَﺪْﻝِ ﺍﻟﻀَّﺎﺑِﻂِ ﺿَﺒْﻄﺎً ﻛَﺎﻣِﻼً ﻋَﻦْ ﻣِﺜْﻠِﻪِ ﻭَ ﺧَﻼَ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺸُّﺬُﻭْﺫِ ﻭَ ﺍﻟْﻌِﻠَّﺔ‬

“Hadis yang muttasil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang ‘adil dan dhabith (kuat
daya ingatan) sempurna dari sesamanya, selamat dari kejanggalan (syadz), dan cacat (‘illat)”.
Imam As-Suyuthi mendifinisikan hadis shahih dengan “hadis yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh ar-râwiy (periwayat) yang ‘adil dan dhabith, tidak syadz dan tidak ber‘illat ”.

Syarat-Syarat Hadis Shahih: 1. Sanadnya bersambung 2. Perawi bersifat adil 3. Sanadnya


bersambung

2. Hasan

Secara bahasa, hasan berarti al-jamâl , yaitu: “indah”. Hasan juga dapat juga berarti
sesuatu sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Sedangkan para ulama berbeda
pendapat dalam mendefinisikan hadis hasan karena melihat bahwa ia meupakan pertengahan
antara hadis shahih dan hadis dha’if, dan juga karena sebagian ulama mendefinisikan sebagai
salah satu bagiannya. Sebagian dari definisinya yaitu: Al–Khaththabi: “hadis yang diketahui
tempat keluarnya, dan telah masyhur ar-ruwât/ ‫( ﺍﻟﺮﻭﺍﺓ‬para periwayat) dalam sanadnya, dan
kepadanya tempat berputar kebanyakan hadis, dan yang diterima kebanyakan ulama, dan yang
dipakai oleh umumnya fuqahâ ’”.

3. Maudhu’

Dari segi bahasa, maudhu’ berarti bentuk ism maf’ul dari kata kerja wadha’a yang
berarti mengada-ada atau membuat-buat. Bila dikaitkan dengan Hadis maka berarti mengada-
adakan Hadis atau memalsukan Hadis. Menurut ilmu Hadis, Hadis maudhu’ berarti Hadis yang
disandarkan kepada Rasulullah saw. yang Rasulullah saw. sendiri tidak pernah mengerjakan,
berbuat dan memutuskannya. Dalam sumber lain dikatakan bahwa Hadis maudhu’ berarti
kebohongan yang dibuat dan diciptakan serta disandarkan kepada Rasulullah saw.
4. Dha’if

Kata “Dha`if” menurut bahasa berasal dari kata”dhu`fun” yang berarti lemah lawan dari
kata “qawiy” yang berarti kuat, sedangkan hadits dha`if berarti hadits yang tidak memenuhi
kriteria hadits hasan. hadits dha`if disebut juga hadits mardud(ditolak). Contoh Hadits Dha`if
adalah hadits yang artinya: “bahwasanya Nabi SAW wudhu dan beliau mengusap kedua kaos
kakinya”

Hadits tersebut dikatakan Dha`if karena diriwayatkan dari Abu Qais Al-Audi, seorang
rawi yang masih dipersoalkan. Secara terminologis, para ulama berbeda pendapat dalam
merumuskanya. Namun demikian, secara substansial kesemuanya memiliki persamaan arti.
Imam Al-Nawawi, misalnya mendefinisikan Hadits Dha`if dengan hadits yang di dalamnya tidak
terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan. Sedangkan menurut
Muhammad ‘Ajjaj Al-Khathib, Hadits Dha`if didefinisikan sebagai segala hadits yang di dalamnya
tidak terkumpul sifat-sifat maqbul. Nur Al-Din itr merumuskan Hadits Dha`if dengan hadits yang
hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul ”hadits yang shahih atau hadits
yang hasan”.

Berdasarkan definisi rumusan di atas, dapat dipahami bahwa hadits yang kehilangan
salah satu syarat dari syarat-syarat Hadits Shahih atau Hadits Hasan, maka hadis tersebut dapat
dikategorikan sebagai Hadits Dhaif. Artinya jika salah satu syarat saja hilang, disebut Hadits
Dha`if. Lalu bagaimana jika yang hilang itu dua atau tiga syarat? Seperti perawinya tidak adil,
tidak dhabit, atau dapat kejanggalan dalam matannya. Maka hadits yang demikian, tentu dapat
dinyatakan sebagai Hadits Dha`if yang sangat lemah sekali.

Macam-macam dha’if

Hadist Dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu: Hadits Dhaif karena gugurnya
rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi atau matan.

a. Hadits dhaif karena gugurnya rawi

Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau beberapa rawi, yang
seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan sanad, maupun pada pertengahan
atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi hadits dhaif yang disebabkan karena gugurnya rawi,
antara lain yaitu:

1) Hadits Mursal

Hadits mursal menurut bahasa, berarti hadits yang terlepas. Para ulama memberikan
batasan bahwa hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya di akhir sanad. Yang dimaksud
dengan rawi di akhir sanad ialah rawi pada tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama
yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. (penentuan awal dan akhir sanad adalah
dengan melihat dari rawi yang terdekat dengan imam yang membukukan hadits, seperti
Bukhari, sampai kepada rawi yang terdekat dengan Rasulullah). Jadi, hadits mursal adalah
hadits yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi yang seharusnya
menerima langsung dari Rasulullah. Contoh hadits mursal:

Artinya: Rasulullah bersabda, “ Antara kita dan kaum munafik munafik (ada batas), yaitu
menghadiri jama’ah isya dan subuh; mereka tidak sanggup menghadirinya”.

2) Hadits Munqathi’

Hadits munqathi’ menurut etimologi ialah hadits yang terputus. Para ulama memberi
batasan bahwa hadits munqathi’ adalah hadits yang gugur satu atau dua orang rawi tanpa
beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila rawi di akhir sanad adalah sahabat Nabi, maka rawi
menjelang akhir sanad adalah tabi’in. Jadi, pada hadits munqathi’ bukanlah rawi di tingkat
sahabat yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi’in. Bila dua rawi yang gugur, maka kedua
rawi tersebut tidak beriringan, dan salah satu dari dua rawi yang gugur itu adalah tabi’in.
Contoh hadits munqathi’:

Artinya: Rasulullah SAW. bila masuk ke dalam mesjid, membaca “dengan nama Allah, dan
sejahtera atas Rasulullah; Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah bagiku segala pintu
rahmatMu”.

3) Hadits Mu’dhal

Menurut bahasa, hadits mu’dhal adalah hadits yang sulit dipahami. Batasan yang diberikan para
ulama bahwa hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang rawinya, atau lebih, secara
beriringan dalam sanadnya. Contohnya adalah hadits Imam Malik mengenai hak hamba, dalam
kitabnya “Al-Muwatha” yang berbunyi: Imam Malik berkata: Telah sampai kepadaku, dari Abu
Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Artinya: Budak itu harus diberi makanan dan
pakaian dengan baik.

4) Hadits mu’allaq

Menurut bahasa, hadits mu’allaq berarti hadits yang tergantung. Batasan para ulama
tentang hadits ini ialah hadits yang gugur satu rawi atau lebih di awal sanad atau bias juga bila
semua rawinya digugurkan (tidak disebutkan). Contoh: Bukhari berkata: Kata Malik, dari Zuhri,
dan Abu Salamah dari Abu Huraira, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Artinya: Janganlah kamu
melebihkan sebagian nabi dengan sebagian yang lain .

b. Hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi


Banyak macam cacat yang dapat menimpa rawi ataupun matan. Seperti pendusta, fasiq,
tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-masing dapat menghilangkan sifat adil pada
rawi. Sering keliru, banyak waham, hafalan yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan
hafalannya, dan menyalahi rawi-rawi yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan sifat dhabith
pada perawi. Adapun cacat pada matan, misalkan terdapat sisipan di tengah-tengah lafadz
hadits atau diputarbalikkan sehingga memberi pengertian yang berbeda dari maksud lafadz
yang sebenarnya.

1) Hadits matruk atau hadits mathruh

Hadits ini menurut bahasa berarti hadits yang ditinggalkan / dibuang. Para ulama
memberikan batasan bahwa hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang
yang pernah dituduh berdusta ( baik berkenaan dengan hadits ataupun mengenai urusan lain),
atau pernah melakukan maksiat, lalai, atau banyak wahamnya. Contoh hadits matruk : “
Rasulullah Saw bersabda, sekiranya tidak ada wanita, tentu Allah dita’ati dengan sungguh-
sungguh ”.

2) Hadits Munkar

Hadist munkar, secara bahasa berarti hadits yang diingkari atau tidak dikenal. Batasan
yang diberikan para ‘ulama bahwa hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang
lemah dan menyalahi perawi yang kuat, contoh : Artinya: “Barangsiapa yang mendirikan shalat,
membayarkan zakat, mengerjakan haji, dan menghormati tamu, niscaya masuk surga. ( H.R
Riwayat Abu Hatim )”

3) Hadits Syadz

Secara bahasa, hadits ini berarti hadits ayng ganjil. Batasan yang diberikan para ulama,
hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dipercaya, tapi hadits itu berlainan
dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang juga dipercaya. Haditsnya
mengandung keganjilan dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang kuat. Keganjilan itu bisa
pada sanad, pada matan, ataupun keduanya. Contoh : Rasulullah bersabda: “Hari arafah dan
hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum.”

4.IJTIHAD
Bila tatanan kehidupan umat Islam tidak ditemukan secara shaheh di dalam Al-Quran
dan Hadist maka solusi rujukan yang boleh dipakai adalah Ijtihad. Ijtihad menjadi sumber ajaran
Islam yang ke tiga setelah Al-Quran dan Hadist. Kebenaran dan penerapan hasil ijtihad tidaklah
bersifat mutlak, artinya boleh memilih mengikuti atau meninggalkan.

Segala sesuatu mengenai hidup dan kehidupan sudah diatur oleh al-Qur’an dan Hadits
Nabi, tetapi tidak semuanya bersifat rinci. Ada yang diatur secara global (garis besar atau
prinsip-prinsipnya) dan ada yang diatur secara detail. Untuk penjabaran dan pengembangan
hal-hal yang belum diatur secara detail, al-Qur’an dan Hadits memberikan kesempatan kepada
para ulama mujtahidin untuk melakukan ijtihad

Ijtihad berasal dari kata ijtihada yang berarti mencurahkan tenaga dan pikiran atau bekerja
semaksimal mungkin. Sedangkan ijtihad sendiri berarti mencurahkan segala kemampuan
berfikir untuk mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syara, yaitu Alquran dan hadist. Hasil
dari ijtihad merupakan sumber hukum ketiga setelah Alquran dan hadist. Ijtihad dapat
dilakukan apabila ada suatu masalah yang hukumnya tidak terdapat di dalam Alquran maupun
hadist, maka dapat dilakukan ijtihad dengan menggunakan akal pikiran dengan tetap mengacu
pada Alquran dan hadist.

Dalam surat an-Nisa’(4): 59 Allah s.w.t. berfirman, terjemah: Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Dalam menggunakan ijtihad, para mujtahidin menggunakan metode ijma’, qiyas, istihsan
dan mashalih mursalah. Keputusan ijtihad tidak bersifat absolut, karena merupakan produk akal
pikiran, tidak berlaku bagi semua orang dan semua masa, dan tentu saja tidak boleh
bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadits (Zaky Mubarok, dkk: 62-74).
Dilihat dari sejarahnya, pasca Rasulullah SAW wafat, aktifitas Ijtihad merupakan tren
keilmuan yang berkembang pesat. Keberadaannya berfungsi sebagai pelayanan umat,
merekomendasikan solusi problematika aktual yang berkembang dengan corak kehidupan tiap-
tiap generasinya, tanpa terlepas dari mainstream syari’at. Sehingga lahirlah kekayaan dibidang
ilmu fiqih yang tiada taranya dalam sejarah. Iklim keilmuan semacam ini berlangsung hingga
pertengahan kurun waktu tahun ke empat hijriyah.
1. Pengerahan kemampuan dalam mendapatkan pengetahuan bertaraf asumtif (zhann)
atas hukum-hukum syara’, dengan upaya maksimal dimana kemampuan diri tidak dapat
lagi memberikan sesuatu yang lebih dari itu. Definisi ini diungkapkan oleh AlAmudi dan
ibn Al-Hajib. Dengan pengertian ini ijtihad hanya belum mencakup pengetahuan
bertaraf zhanni, kebenaran qath’i (pasti) belum tercakup didalamnya.
2. Pengerahan kemampuan dari seorang mujtahid dalam mencapai keyakinan atas hukum-
hukum syara’. Definisi yang diungkapkan Al-Ghazali ini berkebalikan dari definisi
pertama, yakni hanya mengkaitkan ijtihad dengan objek hukum berdimensi kebenaran
pasti, padahal sebagian besar produk ijtihad adalah pengetahuan bertaraf zhanni.
3. Pengerahan kemampuan dalam menentukan hukum-hukum syara’. Definisi yang
dilontarkan Al-Baidlawi ini mencakup dimensi kebenaran rasio (’aqliyah) dan dokstrinsial
(naqliyyah), kebenaran pasti (qath’i) dan kebenaran asumtif (zhanni).
4. Al-Zarkasyi mendefinisikan bahwa ijtihad adalah pengerahan segala kemampuan dalam
menemukan hukum-hukum syariat berdimensi praktik (amaliyah) dengan jalan
menggalinya dari sumber-sumbernya(istinbath). Definisi mengecualikan aktifitas
penggalian hukum-hukum syari’at berdimensi keyakinan.
Sedangkan pengertian ijtihad yang sering dikemukakan para ulama’ ushul al fiqh adalah
definisi Imam al-Ghazali yang dikutib oleh Ahmad Zahra, ijtihad adalah “Pengerahan
kemampuan seseorang mujtahid dalam rangka memperoleh pengetahuan tentang
hukum syara”.

Definisi diatas setidaknya mengandung tiga unsur ijtihad, yaitu:

1. Pengerahan segenap kemampuan, yang berarti ijtihad merupakan usaha jasmani,


rohani, tenaga, pikiran, waktu maupun biaya dan bukan ala kadarnya.
2. Seorang mujtahid, yang mengandung arti bahwa ijtihad hanya mungkin dan boleh
dilakukan oleh seorang yang telah memenuhi persyaratan tertentu, sehingga mencapai
tingkatan mujtahid, dan bukan oleh sembarang orang.
3. Guna memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang mengandung arti
bahwa capaian ijtihad adalah ketentuan hukum yang menyangkut tingkah laku manusia
dalam kaitannya dengan pengamalan ajaran agama.
Dikalangan ahli fiqih, ijtihad merupakan terminology yang berjenjang. Ada yang
digolongkan ijtihad mutlaq. Ada juga yang disebut ijtihad muqoyyad atau muntasib. Yang
pertama adalah ijtihad seorang ulama dalam bidang fiqih, bukan saja menggali
hukumhukum baru, melainkan juga memakai metode baru, hasil pemikiran orisinil.
Inilah tingkatan ijtihad para peletak madzhab, yang pada pertumbuhan fiqih, sekitar abad
2-3 hijriyah, jumlahnya mencapai belasan. Tapi karena seleksi sejarah akhirnya yang
bertahan alam arti diikuti mayoritas umat Islam hanyalah empat; Abu Hanifah (peletak
madzhab Hambali), Malik bin Anas (peletak madzhab Maliki), Muhammad bin Idris as-
Syafi’I (peletak madzhab Syafi’i), dan Ahmad bin Hanbal(peletak madzhab Hanbal).

Sedang ijtihad muqayyad atau muntasib adalah jtihad yang terbatas pada upaya
penggalian hukum (istinbath al ahkam), dengan piranti atau metode yang dipinjam dari
hasil pemikiran orang lain. Misalnya, dalam lingkup madzhab Syafi’i kita mengenal
namanama, seperti an-Nawawi, artinya Rofi’I atau imam haramain. Mereka adalah orang-
orang yang telah melakukan fungsi itu dengan otoritas yang diakui (mu’tamad), tetapi
metode (manhaj) yang digunakan adalah manhaj Imam Syafi’i. Dalam hal ini, ijtihad bukan
saja mencari kebenaran atau hukum-hukum yang berhubungan dengan hokum fiqih yang
ada, melainkan juga membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan isu sentral dalam
sejarah pemikiran politik dan termasuk juga pemikiran politik islam. Pencarian konsep
tentang Negara merupakan salah satu isu sentral dalam sejarah pemikiran politik,
termasuk pemikiran politik Islam. Pemikiran politik Islam sesungguhnya merefleksikan
upaya pencarian landasan intelektual bagi fungsi dan peranan Negara atau pemerintahan
sebagai factor instrumental untuk memenuhi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.
Pemikiran politik Islam dalam hal ini merupakan ijtihad dalam rangka menemukan nilai-
nilai Islam dalam konteks system dan proses politik yang sedang berkembang.
Metode Ijtihad

Metode Ijtihad dalam Islam terdiri dari 6 bentuk:

1. Qiyas yaitu berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan menyamakannya. Dengan
kata lain Qiyas dapat diartikan pula sebagai suatu upaya untuk membandingkan suatu
perkara dengan perkara lain yang mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang sama.
Contohnya adalah pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan ‘ah’, ‘cis’, atau
‘hus’ kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau menghina,
apalagi sampai memukul karena sama-sama menyakiti hati orang tua.

2. Istihsan, yaitu suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada Qiyas lainnya yang
lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk mencegah
kemudharatan atau dapat diartikan pula menetapkan hukum suatu perkara yang menurut
logika dapat dibenarkan. Contohnya, menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual
beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak
memberikan rukhsah (kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan
system pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.
3. Mushalat Murshalah, yaitu menurut bahasa berarti kesejahteraan umum. Adapun
menurut istilah adalah perkara-perkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan manusia.
Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk
membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi
kemaslahatan umat.
4. Sududz Dzariah, yaitu menurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan menurut istilah
adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi
kepentingan umat. Contohnya adalah adanya larangan meminum minuman keras
walaupun hanya seteguk, padahal minum seteguk tidak memabukan. Larangan seperti ini
untuk menjaga agar jangan sampai orang tersebut minum banyak hingga mabuk bahkan
menjadi kebiasaan.
5. Istishab, yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah ditetapkan
dimasa lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum tersebut.
Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Di saat
seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga
ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
6. Urf, yaitu berupa perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa
perkataan maupun perbuatan. Contohnya adalah dalam hal jual beli. Si pembeli
menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya tanpa
mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.

Anda mungkin juga menyukai