Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar yang diberikan kepada nabi


Muhammad SAW, karena Al-Qur’an adalah suatu mukjizat yang dapat
disaksikan oleh seluruh ummat manusia sepanjang masa, karena
Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT untuk keselamatan manusia kapan
dan dimana pun mereka berada. Allah Swt telah menetapkan sumber
hukum islam yang wajib diikuti setiap muslim. Kehendak Allah tersebut
terekam dalam Al-Qur’an yang menjadi sumber hukum pertama dalam
agama islam. Al Qur’an memiliki kedudukan sebagai sumber hukum islam
yang paling utama, sumber hukum kedua adalah perkataan nabi atau
hadits. Aturan Allah yang terdapat dalam al-Qur’an memiliki tiga fungsi
utama sebagai huda (petunjuk), bayyinat (penjelasan), dan furqon
(pembeda). Sebagai huda, artinya al-Qur’an merupakan aturan yang harus
diikuti tanpa tawar menawar sebagaimana papan petunjuk arah jalan yang
dipasang di jalan-jalan. Kalau seseorang tidak mengetahui arah jalan tetapi
sikapnya justru mengabaikan petunjuk yang ada, maka sudah pasti ia akan
tersesat. Pengibaratan tadi menunjukkan bahwa apabila al-Qur’an
ditinggalkan atau diabaikan, sudah pasti akan tersesat. Petunjuk yang ada
pada al-Qur’an benar-benar sebagai ciptaan Allah, bukan cerita yang
dibuat-buat. Semua ayatnya harus menjadi rujukan termasuk dalam
mengelola bumi. Melihat pentingnya pembelajaran tersebut, maka menarik
untuk dikaji khususnya isi dari al-Qur’an sebagai sumber hukum. Hukum
islam merupakan hukum ketuhanan, Allah SWT telah mensyariatkan
kepada seluruh hambaNya. Al Qur’an adalah dalil utama dan jalan untuk
mengetahui hukum-hukum tersebut.

1
Setiap umat islam tentu sudah menyadari dan mengetahui bahwasanya
Al Qur’an ialah kitab suci yang merupakan petunjuk atau pedoman hidup
dan dasar setiap langkah hidup. Al Qur’an tidak hanya mengatur hubungan
antara manusia dan Allah Swt saja, akan tetapi di dalamnya juga mengatur
hubungan antara manusia dan manusia bahkan dengan lingkungan
sekitarnya. Itulah yang menjadi sebab,Al Qur’an menjadi sumber hukum
pertama dan paling utama bagi umat manusia, umat islam pada khususnya.
Seseorang bisa dikatakan berpegang teguh pada Al Qur’an jika mampu
mengamalkan apa yang telah diajarkan dalam Al Qur’an.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan Masalah dari makalah ini adalah:
1. Apakah pengertian Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang
pertama?
2. Apakah definisi hukum Islam?
3. Apa sajakah pokok-pokok isi Al-Qur’an?
4. Apa sajakah prinsip-prinsip hukum islam?
5. Apa sajakah dasar kehujjahan Al-Qur’an?
6. Apa sajakah dasar-dasar Al-Qur’an dalam menetapkan hukum?
7. Bagaimanakah hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an?
1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam
yang pertama.
2. Untuk definisi hukum Islam.
3. Untuk mengetahui pokok-pokok isi Al-Qur’an
4. Untuk mengetahui prinsip-prinsip hukum islam.
5. Untuk mengetahui dasar kehujjahan Al-Qur’an.
6. Untuk mengetahui Dasar-dasar Al-Qur’an dalam menetapkan hukum..
7. Untuk mengetahui hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam


Kata Al-Qur’an berasal dari kata qara’a- yaqra’u-qur’an (qira’at) yang
berarti bacaan. Adapun pengertian Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw , baik isi maupun redaksinya dari
Allah Swt, melalui perantaraan Malaikat Jibril a.s. Al-Qur’an secara harfiah

2
berarti baacaan sempurna, merupakan nama pilihan Allah yang sungguh tepat,
karena tiada satu bacaan sejak manusia mengenasl tulis baca lima ribu tahun
lalu yang dapat menandingi Al-Qur’an (Quraishihab. 1999:3). Al-Qur’an
adalah kitab suci yang demikian mahsyur sehingga sulit untuk menemukan
satu definisi yang ada masih bersifat parsial. Al-Qur’an menurut bahasa
memiliki arti yang berbeda-beda menurut para pakar, antara lain : Al-Qur’an
berasal dari kata dasar (masdar) yang berarti “bacaan”sesuai dengan firman
Allah Swt dalam Surah Al-Qiyamah ayat 17-18
Artinya : “ Sungguh Kami yang akan mengumpulkan (di dadamu) dan
mambacakannya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah
bacaannya itu.”
Dan juga di tegaskan dalam al-Fussilat ayat 3 :
Artinya : “Kitab yang ayat-ayatnya dijelaskan, bacaan dalam bahasa Arab,
untuk kaum yang mengetahui.”

Menurut Sayyid Muhammad Al-Maliki dalam kitab Zubdad Al-Itqon Fii


‘Ulum Al-Qur’an, dikatakan bahwa Al-Qur’an berasal dari kata Al-Qor’u
yang berarti “mengumpulkan.” Arti ini merujuk pada realitas Al-Qur’an yang
memuat inti kitab-kitab samawi dan mengandung rumus ilmu pengetahuan.
Sedangkan menurut Al-Farra’ kata Al-Qur’an berasal dari kata dasar Qorinah
yang artinya “keterkaitan”. Al-Qur’an disebut Qorinah karena antara satu ayat
dengan ayat yang lain terdapat jalinan yang sangat erat.
Al-Qur’an adalah sumber hukum Ilahi yang paling autentik. Al-Qur’an
diturunkan sebagai sumber hukum bagi manusia. Al-Qur’an memberikan
kerangka dasar hukum dunia dan akhirat bagi manusia. Kerangka tersebut
adalah keangka hukum dasar yang kemudian diturunkan menjadi hukum-
hukum particular yang bersifat operasional.
Sebagaimana friman Allah (QS. Yunus[10]:37) :
“ Tidaklah mungkin Al-Qur’an ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al-
Qur’an itu) membenarkan kitab-kitab sebelumnya dan menjelaskan hukum-
hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya,
(diturunkan) dari tuhan semesta alam.”
Hukum-hukum partikular itulah yang kemudian menjadi hukum-hukum
terapan yang digunakan untuk mengatur umat Islam dan setiap individu wajib
menaatinya. Proses diturunkannya sumber hukum dasar menjadi hukum-

3
hukum particular atau dengan kata lain proses perjalanan yang dilalui umat
Islam dalam menjabarkan hukum-hukum dasar yang terkandung di dalam Al-
Qur’an menjadi hukum-hukum terapan disebut dengan proses pembentukan
hukum Islam. Rekaman sejarah mengenai proses pembentukan hukum Islam
tersebut diistilahkan dengan sejarah proses pembentukan hukum Islam atau
Tarikh tasyri’.
Karena hukum Islam bersumber dari perkataan Allah Swt , maka hukum
Islam mencerminkan kehendak-kehendak Allah Swt sebagai norma yang
mengatur tata hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan
manusia lainnya dalam kehidupan social, hubungan manusia dengan benda
dan alam lingkungannya.
Untuk memahami Al-Qur’an, seorang ahli hukum haruslah memiliki
pengetahuan bahasa Arab yang memadai, meliputi ilmu ma’ani, bayan, al-
qira’at, nahwu, dan sharf. Selain itu, harus juga menguasai pengetahuan
tentang latar belakang historis dan konteks turunnya ayat, harus mengetahui
tentang tradisi-tradisi bangsa Arab, termasuk perbuatan dan perkataan ketika
ayat itu turun, dan peneliti hukum harus memiliki pengetahuan tentang sunah,
sebab hubungan antara Al-Qur’an dan As-Sunnah itu sangat erat.

2.2 Definisi Hukum Islam


Al-Qur’an dan literatur hukum Islam sama sekali tidak
mneyebutkan kata hukum Islam sebagai salah satu istilah, yang ada di
dalam Al-Qur’an adalah kata Syari’ah, fiqh, hukum Allah, dll. Istilah
hukum Islam merupakan terjemahan dari Islamic law dalam literatur
barat. Kata hukum secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu
hakam-yahkumu yang kemudian bentuk mashdar-nya menjadi hukman.
Lafaz al-hukmu adalah bentuk tunggal dari bentuk jamak al-ahkam.
Berdasarkan akar kata hakama tersebut kemudian muncul kata al-
hikmah yang memiliki arti kebijaksanaan. Hal ini dimaksudkan bahwa
orang yang memahami hukum kemudian mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari maka dianggap sebagai orang yang bijaksana. Arti
lain yang muncul dari kata tersebut adalah “kendali atau kekangan kuda”,
yakni bahwa keberadaan hukum pada hakikatnya adalah untuk

4
mengendalikan atau mengekang seseorang dari hal-hal yang dilarang oleh
agama. Makna “mencegah atau menolak” juga menjadi salah satu arti dari
lafadz hukmu yang memiliki akar kata hakama tersebut. Mencegah
ketidakadilan, mencegah kedzaliman, mencegah penganiyaan, dan
menolak mafsadat lainya.
Muhammad Daud Ali menyebutkan bahwa kata hukum yang
berasal dari bahasa Arab tersebut bermakna norma, kaidah, ukuran, tolak
ukur, pedoman, yang digunakan untuk menilai dan melihat tingkah laku
manusia dan lingkungan sekitarnya. Berbicara tentang hukum Islam, ada
terminologi yang perlu dibahas untuk menjelaskan benang merah antara
keduanya, yaitu syariah dan fikih. (Fauzi,2018:2)
1. Syariat
Secara etimologi, “syariat” berasal dari bahasa Arab, yaitu
syari’ah. Kata ini berasal dari verba syara’a yang berarti “
menuju ke tempat air”. Adapun kata “syari’ah” sendiri
mempunyai arti tempat keluarnya air. Namun ada juga yang
memberikan dua pengertian. Pertama, syariat adalah jalan yang
lurus. Kedua, syariat adalah tenpat (sumber) mengalirnya air
yang dipakai untuk minum. Diantara perkataan orang Arab,
“Maka unta itu berjalan, ketika unta itu mendatangi tempat atau
sumber air”. Adapun kata yang serumpun dengan kata syariah
terdapat tiga kali dalam Al-Qur’an. Kata syari’ah dalam tiga
ayat tersebut mempunyai arti “metode (manhaj) atau jalan atau
cara” bukan bermakna kaidah-kaidah dan hukum-hukum
khusus yang berkaitan dengan ibadah dan muamalat. Dalam
diskursus ulama, sebenarnya kata syariat jarang digunakan.
Mereka lebih banyak menggunakan kata-kata “al-hukm al-
syari” atau “al-hukm al-syar’iyah”. Para ulama mempunyai
sudut pandang yang berbeda sesuai dengan keilmuan mereka
masing-masing.
Dalam pandangan ulama ushul, yang dinamakan syariat
adalah nas itu sendiri yang berasal dari otoritas pembuat hukum
(syar’i), yaitu Allah Swt dan Nabi Muhammad Saw. Pengertian
ini sesuai dengan hukum dalam pandangan para hakim. Bagi

5
hakim, hukum adalah putusan-putusan yang telah diterapkan
oleh para hakim itu sendiri. Ulama fikih memandang syariat
lebih kepada kesimpulan hukum yang dihasilkan dari
ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh syar’i. walaupun
kedua pandangan ini menggunakan sudut pandang yang
berbeda, namun mereka mengakui bahwa syariat datang dari
syar’i yang ditujukan kepada manusia untuk dilaksanakan.
Jadi para ulama yang terlepas dari ulama ushul dan ulama
fikih mendefinisikan syariat adalah ketentuan yang ditetapkan
Allah Swt yang dijelaskan oleh Rasul-Nya, tentang pengaturan
semua aspek kehidupan manusia, dalam mencapai kehidupan
yang lebih baik di dunia dan akhirat. Dalam hubungannya
dengan agama, syariat adalah metode atau cara melaksanakan
agama. Sehingga, syariat juga dapat disebut sebagai
implementasi agama. Syariat berisi segala ketentuan yang
berkaitan dengan pengaturan semua aspek kehidupan manusia
yang merupakan implementasi dari apa yang tercantum dalam
agama.

2. Fikih
Dalam bahasa Arab, perkataam fiqih yang ditulis fikih,
artinya ialah faham atau pengertian. Jika perkataan fikih itu
dihubungkan dengan ilmu, maka disebut Ilmu fikih. Fikih
adalah mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat
amaliah yang dikaji dari dalil-dalilnya yang terinci.
Rumusan diatas menjelaskan bahwa fikih adalah
pemahaman manusia yang memenuhi syarat untuk
menentukan dan menjelaskan norma-norma hukum yang
diambil dan dikeluarkan dari Al-Qur’an dan hadist untuk
diaktualkan dalam kehidupan sehari-hari. Fikih berisi
rincian syarit’at, ia dapat dikatakan suatu hasil kegiatan
ijtiihad dengan menggunakan akal atau al-ra’yu, maka ia
tidak berlaku abadi dan dapat berubah sesuai dengan
kondisi dan situasi. (Awalludin, 2010:26)

6
2.3 Pokok-pokok isi AL-Qur’an

Menurut Awalludin (2010:37). Al-Quran sebagai sumber nilai


mengandung pokok-pokok ajaran sebagai berikut:
a. Prinsip-prinsip keimanan kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, rasul,
hari akhir, Qodho dan Qadar dan sebagainya.
b. Prinsip-prinsip syariah, tentang ibadah khas (shalat, puasa,
zakat,haji) dna ibadah umum (perekonomian,pernikahan, hukum,
dan sebagainya).
c. Janji dan ancaman, seperti tentang janji kepada orang yang baik
dan ancaman kepada orang yang berbuat jahat.
d. Sejarah, seperti tentang Nabi-nabi terdahulu, masyarakat dan
bangsa terdahulu.
e. Ilmu pengetahuan, seperti mengenai ilmu ketuhanan, agam, hal-hal
yang menyangkut manusia, masyarakat dan hal-hal yang
berhubungan dengan alam.

Segala aspek kehidupan manusia pada hakikatnya tidak luput dari


aturan atau norma hukum Islam terutama yang berkaitan dengan aqidah
dan ibadah serta muamalah. Dalam aspek aqidah dan madha Allah
mengaturnya secara rinci, sedang dalam ibadah mu’amalah kebanyakan
diatur secara garis besarnya, seperti ketatanegaraan, perekonomian dan
keuangan tidak diterangkan secara rinci, sedang dalam bidang muamalah
kebanyakan diatur secara garis besarnya, seperti ketatanegaraan,
perekonomian, dan keuangan dan tidak diterangkan secara rinci.

7
2.4 Prinsip-Prinsip Hukum Islam

Hukum Islam memiliki prinsip sebagai tiang pokok, kuat atau lemahnya
sebuah undang-undang, mudah atau sukarnya, ditolak atau diterimanya oleh
masyarakat, tergantung pada asas dan tiang pokoknya (Ash-
Shiddieqy,1958:209). Secara etimologi (tata bahasa), prinsip adalah dasar,
permulaan dan aturan pokok. Prinsip hukum Islam meliputi prinsip umum dan
prinsip khusus. Adapun secara terminology prinsip adalah kebenaran universal
yang inheren di dalam hukum Islam dan menjadi titik tolak pembinaanya yaitu
prinsip yang membentuk hukum dan setiap cabang-cabangnya. Prinsip umum
adalah keseluruhan hukum Islam yang bersifat universal.

Berikut uraian mengenai prinsip-prinsip hukum Islam menurut Juhaya S. Praja


(1995:69).

1. Prinsip Tauhid
Secara etimologis, Tauhid berarti mengesakan Allah. Tauhid adalah
prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua
manusia ada di bawah satu ketetapan yang sama, ketetapan Tauhid
yang dinyatakan dalam kalimat La illaha illa Allah (tiada tuhan selain
Allah). Prinsip ini ditarik dari firman Allah QS.Ali-Imran[3]: 64.
Berdasarkan pada prinsip Tauhid ini, maka pelaksanaan hukum Islam
adalah ibadah. Dalam arti penghambaan manusia dan penyerahan
dirinya kepada Allah sebagai bukti kesyukuran kepada-Nya. dengan
demikian, tidak boleh terjadi setiap ,mentuhankan sesama manusia
dan/ atau sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan hukum Islam adalah

8
ibadah dan penyerahan diri manusia kepada seluruh kehendak-Nya.
Prinsip Tauhid ini pun menghendaki dan memosisikan untuk
menetapkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah Swr
(Al-Qur’an dan Sunnah). Barang siapa yang tidak menghukumi engan
hukum Allah, maka orang tersebut dapat dikategorikan ke dalam
kelompok orang-orang kafir, zalim, dan fasik (QS. Al-Maidah : 44,45,
dan 47).

Dari prinsip umum Tauhid ini, maka lahirlah prinsip hukum yang
merupakan kelanjutan dari prinsip Tauhid ini, umpamanya yang berklaku
dalam fiqh ibadah sebagai berikut: prinsip pertama, berhubungan langsung
dengan Allah tanpa perantara. Artinya, bahwa tak seorang pun manusia
dapat menjadikan dirinya zat yang wajib disembah. Prinsip kedua, beban
hukum (taklif) ditujukan kepada memelihara akidah dan iman, penyucian
jiwa,(tajkiyat Al-nafs), dan pembentukan pribadi yang luhur. Artinya,
hamba Allah dibebani ibadah sebagai bentuk/aktualisasi dari rasa syukur
atas nikmat Allah.

Berdasarkan prinsip tauhid ini melahirkan asas hukum ibadah,


yaitu asas kemudahan/meniadakan kesulitan. Dari asas ini hukum tersebut
terumuskan kaidah-kaidah hukum sebagai berikut:

a. Al-Ashlu fii al-abadati tuqifu wal ittiba’, yaitu pada


pokoknya ibadah itu tidak wajib dilaksanakan dan
pelaksanaan ibadah itu hanya mengikuti apa saja yang
diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.
b. Al-Massaqah tajlibu at-taysiir, yaitu kesulitan dalam
melaksanakan ibadah akan mendatangkan kemudahan.

Tauhid merupakan pondasi yang di atasnya berdiri bangunan-bangunan


kehidupan manusia, termasuk kepribadiannya, dengan makin kuat dan
kukuhnya Tauhid , maka baik dan takwa kepribadian seseorang.

2. Prinsip Keadilan (al-adl’)

9
Kata keadilan dalam Al-Quran disamakan dengan al-qist. Al-mizan
berari keadilan. Pada umumnya keadilan adalah keadaan dimana setiap
orang memperoleh apa yang menjadi haknya dan setiap orang memperoleh
bagian yang sama. Terminology keadilan pada umumnya berkonotasi
dalam penetapan hukum atau kewajiban raja. Akan tetapi, keadilan dalam
hukum Islam meliputi berbagai aspek.

Penggunaan terminologi keadilan dalam Al-Qur’an diantaranya


sebagai berikut:

1.QS. Al-An’am [6]: 152. Perintah kepada manusia agar


berlaku adil dalam segala hal terutama kepada mereka yang
mempunyai kekuasaan atau yang berhubungan dengan
kekuasaan dan dalam hal bermuamalah/berdagang.

2.QS. Al-Maidah[5]: 8. Manusia yang memiliki


kecenderungan mengikuti hawa nafsu, adanya kecintaan
dan kebencian memungkinkan manusia tidak bertindak adil
dan mendahulukan kebatilan daripada kebenaran (dalam
beraksi).

3. QS. Al-Hujuraat [49]: 9. Keadilan sesama manusia.

4. QS.An-Nisa [4]:128.Kemestian berlaku adil kepada


sesama istri.

5.QS.Al-An’am[6]:52. Keadilan yang berarti keseimbangan


antara kewajiban yang harus dipenuhi manusia (mukalaff)
dengan kemampuan manusia untuk menunaikan kewaiban
tersebut.

Dari prinsip keadilan ini lahir kaidah yang menyatakan hukum


Islam dalam prakteknya dapat berbuat sesuai dengan ruang dan waktu,
yakni suatu kaidah yang mneyatakan elastisitas hukum Islam dan

10
kemudahan dalam melaksanakannya sebagai kelanjutan dari prinsip
keadilan, artinya perkara-perkara dalam hukum Islam apabila telah
menyempit maka menjadi luas; apabila perkara-perkara itu telah meluas
maka akan kembali menyempit.

2.5 Dasar Kehujjahan Al-Qur’an

1. Kebenaran Al-Qur’an
Abdul Wahab Khallaf mengatakan bahwa “kehujjahan Al-Qur’an itu
terletak pada kebenaran dan kepastian isinya yang sedikitpun tidak ada
keraguan atasnya”. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT yang Artinya:
“Kitab (Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka
yang bertaqwa” (Q. S. Al-Baqarah, 2 :2). Berdasarkan ayat di atas yang
menyatakan bahwa kebenaran Al-Qur’an itu tidak ada keraguan padanya,
maka seluruh hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an
merupakan aturan-aturan Allah yang wajib diikuti oleh seluruh ummat
manusia sepanjang masa hidupnya. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa
“seluruh Al-Qur’an sebagai wahyu, merupakan bukti kebenaran Nabi
SAW sebagai utusan Allah, tetapi fungsi utamanya adalah sebagai
petunjuk bagi seluruh ummat manusia (dikutip dari “makalah Al-Qur’an
sebagai sumber hukum” IAIN Walisongo Semarang )

2. Kemukjizatan Al-Qur’an
Mukjizat memiliki arti sesuatu yang luar biasa yang tiada kuasa
manusia membuatnya karena hal itu adalah di luar
kesanggupannyaMukjizat merupakan suatu kelebihan yang Allah SWT
berikan kepada para nabi dan rasul untuk menguatkan kenabian dan
kerasulan mereka, dan untuk menunjukan bahwa agama yang mereka
bawa bukanlah buatan mereka sendiri melainkan benar-benar datang dari
Allah SWT. Seluruh nabi dan rasul memiliki mukjizat, termasuk di antara
mereka adalah Rasulullah Muhammad SAW yang salah satu mukjizatnya
adalah Kitab Suci Al-Qur’an.

11
Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar yang diberikan kepada
nabi Muhammad SAW, karena Al-Qur’an adalah suatu mukjizat yang
dapat disaksikan oleh seluruh ummat manusia sepanjang masa, karena
Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT untuk keselamatan manusia kapan
dan dimana pun mereka berada. Allah telah menjamin keselamatan Al-
Qur’an sepanjang masa, hal tersebut sesuai dengan firman-Nya
yangArtinya:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya
Kami tetap memeliharanya” (Q. S. Al-Hijr, 15:9).

Adapun beberapa bukti dari kemukjizatan Al-Qur’an, antara lain:


1. Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang berisi tentang kejadian-
kejadian yang akan terjadi di masa mendatang, dan apa-apa yang telah
tercantum di dalam ayat-ayat tersebut adalah benar adanya.
2. Di dalam Al-Qur’an terdapat fakta-fakta ilmiah yang ternyata dapat
dibuktikan dengan ilmu pengetahuan pada zaman yang semakin
berkembang ini.

2.6 Dasar-dasar Al-Qur’an dalam Menetapkan Hukum

Allah Swt menurunkan Al-Qur’an untuk dijadikan dasar hukum


yang disampaikan kepada umat manusia agar mereka mengamalkan segala

12
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Pedoman Al-Qur’an
dalam mengadakan perintah dan larangan-Nya adalah tidak memberatkan
dan diturunkan secara berangsur-angsur.

1. Al-Qur’an tidak memberatkan

Al-Qur’an diturunkan tidak untuk memberatkan ummat


manusia, sebagaimana firman-Nya yang artinya “Allah
menghedaki kelonggaran bagimu dan tidak menghendaki
kesempitan bagimu” (QS. Al-Baqarah, 2:185)

2. Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur

Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur selama 23


tahun, yaitu 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah.
Hikamh diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur,
antara lain:

a. Agar lebih mudah dimengeti dan dilaksanakan.

b. Turunnya Al-Qur’an berdasarkan suatu kejadian


tertentu akan lebih mengesankan dan berpengaruh di
hati.

c. Memudahkan dalam menghafal dan memahaminya.

Dasar-Dasar Al-Qur’an dalam Membuat Hukum Menurut Imam


Madzhab.
a. Pandangan Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa Al-Quran itu
mencakup maknanya saja. Diantara dalil yang menunjukan
pendapat Imam Abu Hanifah tersebut, bahwa dia membolehkan
shalat dengan bahasa menggunakan selain arab, misalnya: Dengan
bahasa Parsi walaupun tidak dalam keadaan madharat.

b. Pandangan Imam Malik


Menurut Imam Malik, hakikat al-Quran adalah kalam Allah
yang lafadz dan maknanya berasal dari Allah SWT . ia bukan

13
makhluk, Karena kalam Allah termasuk Sifat Allah. Imam Malik
juga sangat menentang orang orang yang menafsirkan Al-Qur’an
secara murni tanpa memakai atsar, sehingga beliau berkata, “
seandainya aku mempunyai wewenang untuk membunuh
seseorang yang menafsirkan Al-Qur’an ( dengan daya nalar murni)
maka akan kupenggal leher orang itu,”. Dengan demikian, dalam
hal ini Imam Malik mengikuti Ulama Salaf (Sahabat dan Tabi’in)
yang membatasi pembahasan Al-Qur’an sesempit mungkin karena
mereka khawatir melakukan kebohongan terhadap Allah SWT.

c. Pendapat Imam Syafi’i


Imam Syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an merupakan
sumber islam yang paling pokok, dan beranggapan bahwa Al-
Quran tidak bisa dilepaskan dari As-Sunnah karena kaitan antara
keduanya sangat erat sekali. Sehingga seakan akan beliau
menganggap keduanya berada pada satu martabat, namun bukan
berarti Imam Syafi’i menyamakan derajat Al-Qur’an dan Sunnah,
namun kedudukan As-Sunnah itu adalah sumber hukum setelah Al-
Qur’an yang keduanya berasal dari Allah SWT.
Dengan demikian tak heran bila Imam syafi’I dalam berbagai
pendapatnya sangat mementingkan penggunaan Bahasa Arab,
misalkan dalam Shalat, Nikah dan ibadah ibadah lainnya. Beliau
mengharuskan peguasaan bahasa arab bagi mereka yang mau
memahami dan mengistinbat hukum dari Al-Qur’an , pendapat
Imam Syafi’i ini berbeda dengan pendapat Abu Hanifah yang
menyatakan bahwa bolehnya shalat dengan menggunakan bahasa
selain arab. Misalnya dengan bahasa persi walaupun tidak dalam,
keadaan Madharat.

d. Pandangan Imam Ibnu Hambal


Imam Ibnu Hambal berpendapat bahwa Al-Qur’an itu
sebagai sumber pokok hukum islam, kemudian disusun oleh As-
Sunnah. Namun seperti halnya Imam As-Syafi’I, Imam Ahmad
yang memandang bahwa sunnah mempunyai kedudukan yang kuat
disamping Al-Qur’an sehingga tidak jarang beliau menyebutkan

14
bahwa sumber hukum itu adalah nash tanpa menyebutkan Al-
Qur’an dahulu atau As-Sunnah dahulu tapi yang dimaksud nash
tersebut adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam penafsian
terhadap Al-Quran Imam Ahmad betul betul mementingkan
penafsiran yang datangnnya dari As-Sunnah (Rosulullah SAW)

2.7 Hukum yang Terkandung di dalam Al-Qur’an

Secara garis besar hukum-hukum dalam Al-Qur’an dapat


dibedakan menjadi 3 macam:

1. Hukum-hukum yang bertalian dengan I’tiqad, yaitu hukum-hukum


yang mangatur hubungan manusia dengan Allah mengenai apa-apa
saja yang harus diyakini dan yang harus dihindari sehubungan dengan
keyakinannya, seperti keharusan mengesakan Allah dan larangan
mempersekutukan-Nya.
2. Hukum-hukum yang bertalian dengan akhlak, yaitu hukum-hukum
yang mengatur hubungan pergaulan manusia mengenai sifat-sifat baik
yang harus dimiliki dan sifat-sifat buruk yang harus dijauhi dalam
kehidupan bermasyarakat.
3. Hukum-hukum yang bertalian dengan Amaliyah, yaitu hukum-hukum
yang menyangkut tindak-tanduk manusia dan tingkah laku lahirnya
dalam hubungan dengan Allah , dalam hubungan dengan sesame
manusia, dan dalam bentuk apa-apa yang harus dilakukan atau harus
dijauhi.
4. Hukum ibadah dalam arti khusus, yaitu hukum yang mengatur tingkah
laku dan perbuatan lahiriah manusia dalam hubungannya dengan
Allah, seperti sholat, puasa, zakat,dan haji.
5. Hukum mu’amalah dalam arti umum, yaitu hukum yang mengatur
tingkah laku lahiriah manusia dalam hubungannya dengan manusia
atau alam sekitarnya. Seperti jual beli, kawin, dan pembunuhan.
6. Hukum mu’amalat dalam arti khusus, yaitu hukum yang mengatur
tentang hubungan antara sesama manusia yang menyangkut kebutuhan

15
akan harta bagi keperluan hidupnya. Seperti jual beli, sewa menyewa,
pinjam meminjam.
7. Hukum munakahat, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara
sesama manusa yang menyangkut kebutuhan akan penyaluran nafsu
syahwat secara sah dan yang berkaitan dengan itu. Seperti kawin,
cerai, rujuk dan pengasuhan atas anak yang dilahirkan. Seperti dalam
firman Allah QS. Al-Baqarah:236
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan
sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka)
dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut
mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin
dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada
mereka)perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu ber’azam
(bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘ibaddnya. Dan
ketahuilah bahwasannya Allah mengetahui apa yang dalam hatimu;
maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyantun.”
8. Hukum Mawaris atau wasiat, yaitu hukum yang mengatur hubungan
antar sesama manusia yang menyangkut perpindahan harta yang
tersebab oleh adanya kematian. Seperti dalam firman Allah QS.An-
Nisa: 11.
9. Hukum Jinayah atau pidana, yaitu hukum yang mengatur hubungan
antara manusia dengan manusia lain yang menyangkut dengan usaha
pencegahan terjadinya kejahatan atas harta, maupun kejahatan
penyaluran nafsu syahwat atau menyangkut kejahatan dan sanksi bagi
pelanggarnya. Seperti, pencurian, pembunuhan, dan perzinahan.
Seperti dalam firman Allah QS. Al-Baqarah: 178
10. Hukum Murafa’at atau qadha atau acara, yaitu hukum yang mengatur
hubungan antara sesama manusia yang berkaitan denan usaha
penyelesaian akibat tindak kejahatan di pengadilan. Seperti, kesaksian,
gugatan, dan pembuktian di pengadilan. Seperti dalam firman Allah
QS. An-Nisa: 135.
“Wahai orang-orang yang beriman , jadilah kamu orang yang benar-
benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap

16
dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun
miskin, maka Allah lebih tau kemaslahatannya. Maka janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan
jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi,
maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang
kamu kerjakan.”
11. Hukum Dusturiyah atau tata Negara, yaitu hukum yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia lain yang berkaitan dengan
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Seperti, ulil amri, khalifah,
baitul mal. Seperti dalam firman Allah QS. Al-A’raf:142
“Dan telah kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah
berlaku waktu tiga puluh malam, dan kami sempurnakan jumlah
malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu
yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. Dan berkata
Musa kepada saudaranya yaitu Harun: “Gantikanlah aku dalam
(memimpin)kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti
jalan orang-orang yang membuat kerusakan.”
12. Hukum Dualiyah atau antar Negara atau Internasional, yaitu hukum
yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dalam suatu
Negara dengan manusia lain di negara lain, dalam keadaan damai dan
keadaan perang. Seperti, tawanan, ekstradisi, perjanjian dll. Seperti
dalam firman Allah QS. Muhammad:4
“apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang)
maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah
mengalahkan mereka maka tawanlah mereka atau menerima tebusan
sampai perang berakhir. Demikianlah apabila Allah menghendaki
niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji
sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. dan orang-orang yang
syahid di jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.

17
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

1. Al-Qur’an secara harfiah berarti baacaan sempurna, merupakan nama pilihan


Allah yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaan sejak manusia mengenasl tulis
baca lima ribu tahun lalu yang dapat menandingi Al-Qur’an.

2. Kata hukum secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu hakam-yahkumu
yang kemudian bentuk mashdar-nya menjadi hukman. Lafaz al-hukmu adalah
bentuk tunggal dari bentuk jamak al-ahkam.

3. Pokok-pokok isi Al-Qur’an yaitu: Tauhid, Syariah, Janji dan ancaman, sejarah,
dan ilmu pengetahuan.

4. Prinsip-Prinsip Al-Qur;an dibagi menjadi dua yaitu: prinsip Tauhid dan prinsip
keadilan.

18
5. Dasar kehujjahan Al-Qur’an ada dua yaitu: Kebenaran Al-Qur’an dan
kemukjizatan Al-Qur’an.

6. Dasar-dasar Al-Qura’an dalam menetapkan hukum dilakukan dengan cara tidak


memberatkan dan berangsur-angsur.

7. Hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an secara garis besar


menjelaskan tentang hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah,
hubungan manusia dengan manusia lain, serta hubungan manusia dengan alam
sekitar dan lingkungannya.

3.2 Saran

Tujuan akhir dari pembuatan makalah ini adalah supaya pembaca dapat
menambah wawasan pengetahuan khususnya tentang Al-Qur’an sebagai sumber
hukum Islam yang pertama. Pada dasarnya hukum-hukum yang diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari itu berasal dari Al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup
umat manusia. Untuk itu perlu untuk diketahui hukum-hukum yang ada di dalam
Al-Qur’an agar nantinya tidak menyimpang dari apa yang sudah ditetapkan.
Setelah membaca dan mempelajari makalah ini diharapkan mampu
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

19
DAFTAR PUSTAKA

Faridi, Miftah. 1989. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam yang Pertama.
Jakarta: Penerbit Pustaka.

Rohidin. 2016. Pengantar Hukum Islam. Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books.

Izomiddin. 2018. Pemikiran dan Filsafat Hukum Islam. Jakarta:

PRENADAMEDIA GROUP.

Awaluddin. 2010. Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum untuk

Pengembangan Kepribadian. Pekanbaru:Witra Irzani.

20

Anda mungkin juga menyukai