1. Hukum Perdata
Hukum perdata Islam meliputi:
a. Munâkahât, mengatur segala sesuatu
yang berhubungan dengan perkawinan dan
perceraian serta segala akibat hukumnya;
b. Wirâtsat, mengatur segala masalah dengan
pewaris, ahli waris, harta peninggalan, serta
pembagian warisan. Hukum warisan Islam ini disebut
juga hukum farâidh;
c. Mu’âmalah dalam arti yang khusus, mengatur
masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, tata
hubungan manusia dalam masalah jual beli,
sewa-menyewa,pinjam-meminjam, perserikatan,
kontrak, dan sebagainya.
2. Hukum Publik
Hukum publik Islam meliputi:
a. Jinâyah, yang memuat aturan-aturan
mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam
dengan hukuman, baik dalam jarîmah hudûd
(pidana berat) maupun dalam jarîmah ta’zîr
(pidana ringan). Yang dimaksud dengan jarîmah
adalah tindak pidana. Jarîmah hudûd adalah
perbuatan pidana yang telah ditentukan
bentuk dan batas hukumnya dalam al-Quran dan
as- Sunnah (hudûd jamaknya hadd, artinya
batas). Jarîmah ta’zîr adalah perbuatan tindak
pidana yang bentuk dan ancaman hukumnya
ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi
pelakunya (ta’zîr artinya ajaran atau pelajaran);
b. Al-Ahkâm as-Shulthâniyyah, membicarakan
permasa lahan yang berhubungan dengan kepala
negara/pemerintahan, hak pemerintah pusat
dan daerah, tentang pajak, dan sebagainya;
c. Siyâr, mengatur urusan perang dan damai,
tata hubungan dengan pemeluk agama lain
dan negara lain;
d. Mukhâsamat, mengatur soal peradilan,
kehakiman, dan hukum acara.
Apabila bagian-bagian hukum Islam bidang muamalat
dalam arti luas tersebut dibandingkan dengan susunan
hukum barat, seperti Dasar adanya taklîf kepada mukallaf
ialah karena adanya akal dan kemampuan memahami.
Saifuddin Al-Amidi menegaskan bahwa syarat seseorang
dapat dikatakan mukallaf adalah jika ia berakal dan telah
mampu memahami. Karena suatu firman jika dihadapkan
kepada orang yang tidak berakal dan tidak dapat memahami
maka akan sia-sia belaka. Seperti halnya kepada anak kecil
yang belum balig, orang gila, dan sebagainya.
Pernyataan Rasulullah saw:
Artinya: “Ditiadakan hukum dari tiga orang, ialah dari anak-
anak sehingga sampai usia baligh, dari orang tidur sehingga
ia bangun, dan dari orang gila sehingga sehat kembali”
1. Dharûriyyah
Dalam kehidupan manusia, kebutuhan ini merupakan hal
penting sehingga tidak dapat diabaikan. Apabila kebutuhan-
kebutuhan ini tidak terjamin, akan terjadi kekacauan dan
ketidaktertiban di mana- mana. Kelima kebutuhan hidup yang
primer ini (dharûriyyah) dalam kepustakaan hukum Islam
disebut dengan istilah al-maqâshid al- khamsah atau disebut
juga al-kulliyyat al-khoms (lima hal inti/ pokok), yaitu: hifdz
ad-din (memelihara agama), hifdz an-nafs (memelihara jiwa),
hifdz al-‘aql (memelihara akal), hifdz an-nasl (memelihara
keturunan), dan hifdz al-mâl (memelihara hak milik/ harta).
3. Tahsîniyyat
Tujuan selanjutnya dari perundang-undangan Islam adalah
membuat berbagai perbaikan, yaitu menjadikan hal-hal
yang dapat menghiasi kehidupan sosial dan menjadikan
manusia mampu berbuat dan mengatur urusan hidup lebih
baik. Keperluan ini disebut tersier atau tahsîniyyat.
Ketiadaan perbaikan ini tidak membawa kekacauan
sebagaimana ketiadaan kebutuhan- kebutuhan hidup. Namun,
perbaikan perlu dilakukan agar peraturan selalu
berkesinambungan. Perbaikan dalam hal ini mencakup arti
kebajikan (virtues), cara-cara yang baik (good manner) dan
setiap hal yang melengkapi peningkatan cara hidup.
Perilaku yang menunjukkan tahsîniyyat adalah bersikap
ramah terhadap semua makhluk Allah di muka bumi. Oleh
karena itu, tidak mengherankan apabila ada orang masuk
surga hanya karena memberi minum anjing yang kehausan,
wanita yang masuk neraka akibat tidak memberi makan
seekor kucing, terdapat larangan buang air kecil dibawah
pohon, dan larangan membakar pepohonan sekalipun sedang
dalam keadaan perang.