Anda di halaman 1dari 16

A.

    Pengertian Fiqh, Syariah, dan Hukum Islam

Pengertian fiqh atau ilmu fiqh sangat berkaitan dengan syariah, karena fiqh itu pada
hakikatnya adalah jabaran praktis dari syariah. Karenanya, sebelum membahasa tentang arti fiqh,
terlebih dahulu perlu dibahas arti dan hakikat syariah.

1.     Pengertian Syariah


Secara etimologis syariah berarti “jalan yang harus diikuti.” Kata syariah muncul dalam
beberapa ayat Al-Qur’an, seperti dalm surah Al-Maidah:48, asy-Syura: 13, yang mengandung
arti “ jalan yang jelas yang membawa kepada kemenangan.”(Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin,
Ushul Fiqih. Hal. 1). Dalam hal ini agama yang ditetapkan oleh Allah disebut syariah, dalam
artian lughawi karena umart isla selalu melaluinya dalam kehidupannya.
Menurut para ahli, syariah secara terminologi adalah “segala titah Allah yang berhubungan
dengan tingkah laku manusia diluar yang mengenai akhlak”. Dengan demikian syariah itu
adalah nama bagi hukum-hukum yang bersifat amaliah. Karena memang syariah itu adalah
hukum amaliah yang berbeda menurut perbedaan Rasul yang membawanya dan setiap yang
dating kemudian mengoreksi yang dating lebih dahulu. Sedangkan dasar agama yaitu
tauhid/aqidah tidak berbeda antara Rasul yang satu dengan yang lain. Sebagian ulama ada yang
mengartikan syariah itu dengan: “ Apa-apa yang bersangkutan dengan peradilan serta pengajuan
perkara kepada mahkamah dan tidak mencakup kepada hal yang halal dan haram.” Lebih dalam
lagi Syaltut mengartikan syariah dengan “hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan
Allah bagi hamba-hambaNya untuk diikuti dalam hubungannya dengan Allah dan hubungannya
dengan manusia. Dr.Farouk Abu Zeid menjelaskan bahwa syariah itu adalah apa-apa yang
ditetapkan Allah melalui lisan Nabi-Nya. Allah adalah pembuat huku yang menyangkut
kehidupan agama dan kehidupan dunia.

2.     Pengertian Fiqh

(‫هو ما بني عليه غيره – كاصل الجدار )فاالصل لغة‬


Fiqh secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengerahan
potensi akal.[3] Sedangkan secara terminologi fiqh merupakan bagian dari syari’ah Islamiyah,
yaitu pengetahuan tentang hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia
yang telah dewasa dan berakal sehat (mukallaf) dan diambil dari dalil yang terinci. Sedangkan
menurut Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin mengatakan fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum
syar’I yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dengan dalil-dalil yang tafsili.
Penggunaan kata “syariah” dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa fiqh itu menyangkut
ketentuan yang bersifat syar’I, yaitu sesuatu yang berasal dari kehendak Allah. Kata “amaliah”
yang terdapat dalam definisi diatas menjelaskan bahwa fiqh itu hanya menyangkut tindak tanduk
manusia yang bersifat lahiriah. Dengan demikian hal-hal yang bersifat bukan amaliah seperti
masalah keimanan atau “aqidah” tidak termasuk dalam lingkungan fiqh dalam uraian ini.
penggunaan kata “digali dan ditemukan” mengandung arti bahwa fiqh itu adalah hasil
penggalian, penemuan, penganalisisan, dan penentuan ketetapan tentang hukum. Fiqh itu adalah
hasil penemuan mujtahid dalam hal yang tdak dijelaskan oleh nash.
Dari penjelasan diata dapat kita tarik benang merah, bahwa fiqh dan syariah memiliki
hubungan yang erat. Semua tindakan manusia di dunia dalam mencapai kehidupan yang baik itu
harus tunduk kepada kehendak Allah dan Rasulullah. Kehendak Allah dan Rasul itu sebagian
terdapat secara tertulis dalam kitab-Nya yang disebut  syari’ah. Untuk mengetahui semua
kehendak-Nya tentang amaliah manusia itu, harus ada pemahaman yang mendalam tentang
syari’ah, sehingga amaliah syari’ah dapat diterapkan dalam kondisi dan situasi apapun dan
bagaimanapun. Hasilnya itu dituangkan dalam ketentuan yang terinci. Ketentuan yang terinci
tentang amaliah manusia mukalaf yang diramu dan diformulasikan sebagai hasil pemahaman
terhadap syari’ah itu disebut fiqh.

3.     Pengertian Hukum Islam


Hukum Islam merupakan rangkaian kata “hukum” dan “islam”. Secara terpisah hukum dapat
diartikan sebagai seperangkat perturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok
masyarakat, disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu, berlaku dan
mengikat seluruh anggotanya. Bila kata “hukum” di gabungkan dengan kata “islam”, maka
hukum islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunah rasul tentang
tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama 
islam.
Bila artian sederhana tentang hukum islam itu dihubungkan dengan pengertian fiqh, maka
dapat dikatakan bahwa yang dimaksud hukum islam itu adalah yang bernama fiqh dalam literatur
islam yang berbahasa arab.

Metode dalam menerapkan Syariat Islam

Penerapan syariat Islam secara praktis harus dimulai dengan pembaiatan seorang khalifah atas
dasar al-Quran dan Sunnah. Setiap Muslim yang berakal, balig, adil, merdeka, dan laki-laki dapat
dibaiat menjadi seorang khalifah bagi kaum Muslim. Setiap negeri Islam yang kekuasaannya berada
di tangan kaum Muslim saja dan tidak berada di bawah kekuasaan negara lain, yang keamanan
dalam dan luar negerinya berada di tangan Islam dan kaum Muslim, adalah layak dijadikan tempat
untuk melangsungkan baiat pengangkatan khalifah(bai‘at in‘iqâd) sekaligus menjadi pusat Daulah
Islamiyah.
Jika di negeri tersebut khalifah telah dibaiat dengan baiat in‘iqâdatas dasar keridhaan dan pilihan
ahlul halli wal ‘aqdi, yang selanjutnya dibaiat dengan baiat taat oleh kaum Muslim—yang di
dalamnya mereka berjanji untuk tidak melakukan pembangkangan terhadap khalifah—maka
syarat–syarat berdirinya Daulah Khilafah Islamiyah telah terpenuhi. Terpenuhi syarat-syarat
tersebut dapat dilihat dari: (1) kedaulatan ada di tangan syariat; (2) kekuasaan ada di tangan
umat; (3) diangkatnya seorang khalifah saja yang melegislasikan hukum-hukum syariat yang
bersumber dari al-Quran, Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas. Pada saat Daulah Khilafah Islamiyah
telah tegak, dengan segara hukum-hukum Islam diberlakukan secara menyeluruh dan praktis di
tengah-tengah umat. Hukum Islam tidak akan diterapkan secara berangsur-angsur atau secara
gradual.

Setelah proses pembaiatannya selesai, khalifah segera menyusun struktur negara. Struktur negara
dalam Islam berbeda dengan struktur pemerintahan yang ada di dalam sistem kenegaraan yang
bercorak kapitalistik maupun sosialistik. Aturan-aturan yang diterapkan dalam Daulah Khilafah
Islamiyah juga berbeda dengan aturan-aturan lainnya. Struktur negara yang telah ditetapkan Islam
adalah sebagai berikut:

1. Khalifah, yakni kepala negara sekaligus wakil rakyat dalam hal kekuasaan dan pelaksanaan
hukum syariat.

2. Mu‘âwin tafwîdh (pembantu khalifah yang berkuasa penuh). Ia harus seorang laki-laki, Muslim,
berakal, balig, merdeka, adil, dan termasuk orang yang mampu melaksanakan tugas-tugas yang
dilimpahkan kepadanya. Pengangkatannya oleh khalifah harus memenuhi dua perkara: (1)
kewenangan yang diberikan kepadanya harus bersifat umum (‘umûm al-nadhr);(2) harus ada aspek
perwakilan (niyâbah).[1] Oleh karena itu, mu‘âwin tafwîdh akan membantu khalifah pada semua
urusan negara. Ia juga akan melaksanakan semua perintah khalifah. Tugasnya adalah
menyampaikan seluruh laporan mengenai tugas-tugas kenegaraan kepada khalifah. Ia juga
bertugas melaksanakan tugas-tugas yang dilimpahkan khalifah. Sebab, wazir tafwîdh merupakan
pembantu khalifah dalam urusan kekuasaan.
3. Mu‘âwin tanfîdz (pembantu pelaksana). Ia diangkat oleh khalifah dalam kapasitasnya sebagai
pembantu pelaksana bagi khalifah. Ia hanya membantu khalifah dalam perkara-perkara yang
bersifat operasional dan administratif, bukan dalam perkara-perkara kekuasaan. Ia bertugas
melaksanakan tugas-tugas administratif dari khalifah yang ditujukan pada sejumlah departemen
dalam dan luar negeri. Ia juga bertugas menyampaikan perkara-perkara yang berasal dari
departemen-departemen tersebut kepada khalifah. Mu‘âwin tanfîdz tak ubahnya sebagai
penghubung antara khalifah dengan struktur-struktur negara lainnya, baik dalam perkara yang
berasal dari khalifah atau yang hendak disampaikan kepada khalifah. Ia harus seorang muslim.
Sebab, ia termasuk orang kepercayaan dari khalifah.
4. Amirul Jihad. Amirul jihad membawahi empat departemen: (1) departemen dalam negeri; (2)
departemen luar negeri; (3)departemen keamanan dalam negeri; (4) departemen perindustrian.
Keempat departemen ini dikontrol dan dipimpin oleh amirul jihad. Sebab, keempat departemen
ini didirikan di atas asas jihad fi sabilillah. Perang dan keamanan dalam negeri mutlak
membutuhkan kekuatan pasukan yang terefleksi pada kekuatan tentara dan polisi. Dalam konteks
hubungan luar negeri, landasan hubungan antara Daulah Islamiyah dengan negara-negara lain
adalah menyebarkan dakwah Islam. Metode dasar untuk menyebarkan dakwah Islam adalah jihad.
Untuk masalah perindustrian, semua jenis industri harus didirikan atas dasar kepentingan politik
luar negeri. Pengawasan perindustrian untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan negara lain harus
berjalan sesuai dengan asas di atas (jihad).

Ruang Lingkup Syariat Islam


Ruang lingkup syariat Islam adalah seluruh ajaran Islam, baik yang berkaitan dengan akidah
maupun peraturan atau sistem kehidupan yang menjadi turunannya. Akidah Islam adalah keimanan
kepada Allah dan para malaikat-Nya; pada kitab-kitab-Nya; kepada para rasul-Nya; serta pada Hari
Akhir dan takdir, yang baik dan buruknya berasal dari Allah SWT semata.

Akidah Islam juga meliputi keimanan pada adanya surga, neraka, dan setan serta seluruh perkara
yang berkaitan dengan semua itu. Demikian juga dengan hal-hal gaib dan apa saja yang tidak bisa
dijangkau oleh indera yang berkaitan dengannya.10Akidah Islam merupakan pemikiran yang sangat
mendasar (fikr asâsi). Ia mampu memecahkan secara sahih problem mendasar manusia di seputar:
dari mana manusia berasal; untuk apa manusia ada; dan mau ke mana manusia setelah
mati.11Artinya, akidah Islam merupakan pemikiran yang menyeluruh (fikrah kulliyyah) yang menjadi
sumber dari seluruh pemikiran cabang. Ia adalah pemikiran mendasar yang membahas persoalan di
seputar: (1) alam semesta, manusia, dan kehidupan; (2) eksistensi Pencipta dan Hari Akhir; (3)
Hubungan alam, manusia, dan kehidupan dengan Pencipta dan Hari Akhir. Dalam konteks manusia,
hubungan yang dimaksud adalah hubungan dirinya sebagai hamba dengan Allah yang harus tunduk
pada syariat-Nya. Sebab, syariat Allah merupakan standar akuntalibitas bagi seluruh aktivitas
manusia di hadapan-Nya.12 Sementara itu, peraturan atau sistem kehidupan Islam merupakan
kumpulan ketentuan yang mengatur seluruh urusan manusia; baik yang berkaitan dengan ubudiah,
akhlak, makanan, pakaian, muamalat, maupun persanksian.13Tentu saja, untuk bisa disebut sistem
Islam, ia harus digali dari dalil-dalil tafshîli (rinci); baik yang bersumber dari al-Quran, Hadis Nabi,
Ijma Sahabat, maupun Qiyas. Al-Quran, misalnya, dengan tegas menyatakan: ﴿ ‫َو َن َّز ْل َنا عَ لَ ْيكَ ْال ِك َتابَ ِت ْبيَا ًنا لِ ُك ِّل‬
‫ ﴾ َشيْ ٍء‬Kami telah menurunkan al-Kitab (al-Quran) ini kepadamu (Muhammad) untuk menjelaskan
segala sesuatu.(QS an-Nahl [16]: 89). Hadis Nabi juga telah menjelaskan hal yang sama: » ‫ت‬ ُ ‫َقا َل َترَ ْك‬
ِ ‫ «فِي ُك ْم َأمْ رَ ي‬Aku telah meninggalkan dua perkara yang menyebabkan
ِ َ‫ْن َلنْ َتضِ لُّوا مَا َت َمس َّْك ُت ْم ِب ِهمَا ِك َتاب‬
‫هللا َو ُس َّن َة َن ِب ِّي ِه‬
kalian tidak akan sesat selamanya selama kalian berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitabullah
dan Sunnah Nabi-Nya. (HR at-Turmudzî, Abû Dâwud, Ahmad). Dari dua nash di atas, tampak jelas
bahwa syariat Islam yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw. telah mengatur segala urusan tanpa
kecuali; mulai darihubungan manusia dengan Penciptanya—dalam konteks akidah dan ibadah
semisal shalat, puasa, zakat, haji danjihad; hubungan manusia dengan dirinya sendiri seperti dalam
urusan pakaian, makanan dan akhlak; hinggahubungan manusia dengan sesamanya seperti dalam
urusan pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan politik luar negeri, dll. Secara konseptual,
semuanya telah diatur oleh Islam dengan sejelas-jelasnya. Sementara itu, dalam tataran praktis
atau aplikatif, Islam juga memilikitatacara tertentu yang digunakan untuk mengaplikasikan hukum-
hukumnya, memelihara akidahnya, dan mengembannya sebagai risalah dakwah. Dengan demikian,
yang pertama bersifat konseptual dan tidak mempunyai pengaruh secara fisik sehingga disebut
sebagai fikrah (konsep) saja, sedangkan yang kedua bersifat praktis dan aplikatif sehingga disebut
dengan tharîqah (metode). Sebab, yang terakhir ini tidak hanya bersifat konseptual, tetapi juga
bersifat praktis dan aplikatif karena merupakan aktivitas fisik yang mempunyai pengaruh secara
fisik, di samping bersifat tetap. Kedua fakta di atas bisa dijelaskan lebih jauh. Akidah Islam,
kewajiban shalat, zakat, haji, dan puasa, misalnya, adalah fikrah. Sementara itu, jihad, dakwah, dan
sanksi atas tindakan kriminal (‘uqûbât) adalah tharîqah karena merupakan aktivitas fisik yang
mempunyai pengaruh secara fisik dan bersifat tetap; tidak berubah karena situasi dan kondisi.14
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa syariat Islam mencakup fikrah dan tharîqah. 

a. Metode istinbath al-ahkam

Kata istinbath bila dihubungkan dengan hukum, seperti dijelaskan oleh Muhammad bin ‘Ali al-
Fayyumi ahli bahasa Arab dan Fiqh, berarti upaya menarik hukum dari al-Qur’an dan Sunnah
dengan jalan ijtihad.
Ayat-ayat al-Qur’an dalam menunjukkan pengertiannya menggunakan berbagai cara, ada yang
tegas dan ada yang tidak tegas, ada yang melalui arti bahasanya dan ada pula yang melalui
maksud hukumnya. Di samping itu, di satu kali terdapat pula perbenturan antara satu dalil dengan
lain yang memerlukan penyelesaian. Ushul fiqh menyajikan berbagai cara dari berbagai aspeknya
untuk menimba pesan-pesan yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Secara garis besar, metode istinbath dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu kebahasaan, segi
maqasid (tujuan) syari’ah, dan segi penyelesaian beberapa dalil yang bertentangan.
Objek utama yang akan dibahas dalam ushul fiqh adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Untuk memahami teks-teks dua sumber yang berbahasa Arab tersebut, para ulama telah menyusun
semacam “semantik” yang akan digunakan dalam praktik penalaran fiqih. Bahasa Arab
menyampaikan suatu pesan dengan berbagai cara dan dalam berbagai tingkat kejelasannya. Para
ahli telah membuat beberapa kategori lafal atau redaksi, diantaranya yang sangat penting dan akan
dikemukakan di sini adalah masalah amar, nahi dan takhyir.

Pengertian Istinbath

Secara bahasa, kata istinbath berasal dari kata istanbatha-yastanithu-istinbathan yang berarti


menciptakan, mengeluarkan, mengungkapkan atau menarik kesimpulan.
Dengan demikian, istinbath hukum adalah suatu cara yang dilakukan atau dikeluarkan oleh
pakar hukum (fikih) untuk mengungkapkan suatu dalil hukum guna menjawab persoalan-persoalan
yang terjadi.
Pengertian istinbath hukum sering juga diartikan secara kurang tepat, di mana ia diartikan
sebagai dalil hukum. Padahal keduanya memiliki arti yang berbeda. Secara bahasa, kata dalil berarti
petunjuk kepada sesuatu yang dapat dirasa maupun yang tidak dapat dirasa, baik petunjuk yang
baik maupun buruk. Menurut ahli ushul fikih dalil adalah sesuatu yang menunjukkan pada
pandangan yang benar terhadap hukum syari’ah yang bersifat praktis melalui jalan yang qath’i atau
zhanni.
Dalam ushul fikih ada beberapa lafal yang mempunyai arti yang sama yaitu dalil al-hakam,
ushul al-hakam, al-mashadir al-tasyri’iyyah li al-hakam. Lafal-lafal ini mempunyai arti yang sama,
yaitu sumber hukum.
Tujuan istinbath hukum adalah menetapkan hukum setiap perbuatan atau perkataan mukallaf
dengan meletakkan kaidah-kaidah hukum yang ditetapkan. Melalui kaidah-kaidah itu kita dapat
memahami hukum-hukum syara’ yang ditunjuk oleh nash, mengetahui sumber hukum yang kuat
apabila terjadi pertentangan antara dua buah sumber hukum dan mengetahui perbedaan pendapat
para ahli fikih dalam menentukan hukum suatu kasus tertentu. Jika seorang ahli fikih menetapkan
hukum syariah atas perbuatan seorang mukallaf, ia sebenarnya telah meng-istinbath-kan hukum
dengan sumber hukum yang terdapat di dalam kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh ahli ushul
fikih.[1]
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melakukan istinbath atau
ijtihad adalah sebagai berikut :
a.       Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan
masalah hukum.
b.      Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis Nabi yang berhubungan dengan masalah
hukum.
c.        Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh Ijma’, agar dalam menentukan
hokum sesuatu, tidak bertentangan dengan Ijma’.
d.       Meiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas, dan dapat mempergunakannya
untuk istinbath hukum.
e.       Mengetahui ilmu logika, agar dapt mengahasilkan kesimpulan yang benar tentang hukum, dan
sanggup mempertanggungjawabkannya.
f.       Menguasai bahasa Arab secara mendalam karena al-Qur’an dan Sunnah tersusun dalam bahasa
Arab, dll.[2]
Istimbath Lafdzi adalah mengistimbathkan suatu hukum ditinjau dari segi lafaznya. Para ulama’
ushul memakai kaidah bahasa berdasarkan makna tujuan ungkapan – ungkapan yang telah
ditetapkan oleh para ahli bahasa Arap, sesudah diadakan penelitian- penelitian yang bersumber dari
kesusesteraan Arab.
Ada tiga cara untuk mengetahui makna yang tepat dari suatu lafash atau ushulnya.
a.       Berdasarkan pengertian banyak yang telah mutawatir, telah terkenal dan telah menjadi kebiasaan
dalam percakapan dan pergaulan sehari –hari, yang mana iman Syafi’I menyebutnya dengan ilmu
al-‘amma. Yaitu sesuatu yang sudah menjadi maklum ( umum)
b.      Berdasarkan pengertian orang – ornag tertentu yang tidak diketahui oleh kelompok lain. Hal ini
dapat kita jumpai dalam istilah – istilah ilmiah, yang menurut imam Syafi’I disebut ilmu al-khasshah.
c.       Berdasarkan hasil pemikiran akal nalar terhadap suatu lafads. Namun demikian tidaklah semua
orang dapat menetapkan pengertian kata – kata itu berdasarkan hasil pemikiran akal setiap orang,
tetapi haruslah oleh ahlinya dalam bahasa itu, dan mengerti tentang perkembangan pemakaian
dikalangan masyarakat.[3]

2.      Macam – macam istinbath.lafdzi.


a.       Khash
Dalam kata khash para ulama ushul berbeda pendapat. Namun, pada hakikatnya defenisi tersebut
memiliki pengertian yang sama. Hukum lafash khash. “Suatu lafads dalam nash hukum syara yang
menunjukkan suatu lafads tertentu adalah qath’I bukan dhanny, selama tidak ada dalil – dalil lain
yang mengubah maknanya. Oleh karena itu, apabila lafads khash dikemukakan dalam bentuk
mutlak, tanpa batasan apapun maka lafads itu memberikan faedah ketetapan hukum secara mutlak,
selama tidak ada dalil yang membatasinya. Dan bila lafads itu dikemukakan dalam bentuk
pemerintah, maka ia akan diberikan faedah berupa hukum wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur
bih), selama tidak ada dalil yag memalingkan pada makna yang lain. Demikian juga apabila lafads
itu dikemukakan dalam bentuk larangan (nahi), ia memberikan faedah berupa hukum haram
terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah atau indikasi yang memalingkan dari hasil
itu,
b.      ‘Amm
Lafads ‘amm adalah  suatu lafadsyang menunjukkan suatu makna yang mencakup seluruh satuan
yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu (global). Tidak ada perbedaan dalam pengertian ‘amm
tersebut apakah dinyatakan denga lafads plural ( jamak) atau singular (tunggal). Para ulama ushul
memberikan defenisi ‘amm salah satunya adalah meurut ulama’ syafi’iyah, yang berpendapat bahwa
‘amm adalah suatu lafads yang dari satu segi menunjukkan dua makna atau lebih.
Hukum muhajjah dengan ‘Amm “ jumhur ulama ushul berpendapat bahwa dalalah menunjukkan
seluruh satuannya secara dzanniyah, karena apa yang terkandung didalam lafads ‘amm itu
kebanyakan yang dikehendaki adalah beberapa atau sebagian dari satu –satuannya saja. Karena
itu dikalangan ulama terkenal adanya kaidah :
“tidak ada satupun dari yang umum melainkan ia ditakhsiskan (dibatasi).”
Jadi tidak diperkenankan langsung berhujjah dengan dalil ‘amm dalam menetapkan hukum. Karena
itu para mujatahid diwajibkan meneliti lebih dahulu apakah ada pen-takhsis-nya atau tidak. [4]
c.       Amr (perintah)
Amr menurut ulama adalah suatu permintaan dari atasan kepada bawahan untuk mengerjakan
suatu pekerjaan.
Bentuk amr dan hakikatnya :
Menurut ulama amr hakikatnya menunjukkan wajib dan tidak bias berpaling pada arti lain. Kecuali
bila ada qarina. Pendapat ini dipegang oleh al-Hamidi, as-Syafi’I, para fuqaha, kaum mutakallimin,
seperti Al- Husein Al-Basari dan Al-Juba’i.
d.      Nahi (larangan)
Nahi adalah kebalikan dari amr yaitu lafads yang menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan
sesuatu dari atasan kepada bawahan.
Makna sighat Nahi :
-          Menurut jumhur ulama, pada dasarnya adalah menunjukkan pada tahrim, seperti firman Allah SWT
yang artinya “janganlah kamu mendekati zina”.(al-Isra’:32). Dari pernyataan tersebut dapat
disimpulkan bahwa, pada dasarnya larangan itu untuk mengharamkan (sesuatu perbuatan yang
dilarang).
-          Menyatakan bahwa dasarnya nahi itu mununjukkan karahah saja. Mereka memilki kaidah, pada
dasarnya nahi itu menunjukkan kepada karahah (perbuatan yang dibenci).
Alas an mereka larangan itu karena burukknya perbuatan yang dilarang dan tidak mesti harus
haram. Diantara yang haram dan makruh, yang paling diyakini adalah yang makruh bukan yang
haram, apabila ada dasarnya segala perbuatan itu adalah boleh dikerjakan.
e.       Muthlaq dan Muqayyad
Mutlaq adalah suatu lafads yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat
mempersempit keluasan artinya. Sedangkan muqayyad artinya suatu lafads yang menunjukkan
hakikat sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan yang mempersempit keluasan artinya.
Bentuk – bentuk mutlaq dan muqayyad :
-          Suatu lafads dipakai dengan mutlak pada suatu nash. Sedangkan pada nash lain digunakan
dengan muqayyad, keadaan ithlaq dan taqyid-nya bergabung pada sebab hukum.
-          Lafads muthlaq dan muqayyad berlaku sama hukum dan sebabnya.
-          Lafads muthlaq dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam hukumnya ataupun
sebab hukumnya.
-          Muthlaq dan muqayyad berbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab hukumnya sama.
-          Muthlaq dan muqayyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.
Hukum lafads muthlaq dan muqayyad, “ lafads muthlaq dan muqayyad, masing – masing
menunjukkan kepada makna yang qath’I dalalahnya. Karena itu lafads tersebut muthlaq maka harus
diamalkan sesuai dengan muthlaqnya. Dan apabila lafads itu muqayyad, maka harus diamalkan
sesuai dengan muqayyad-nya. Yang demikian itu berlaku selama belum ada dalil yang
memalingkan artinya dari muthlaq ke muqayyad dan dari muqayyad ke muthlaq.

Contoh Metode Istinbath al-Ahkam dalam NU


Kebutuhan bagi tersedianya metode istinbath hukum sederhana dan yang siap pakai adalah
niscaya. Ini karena menurut NU dimungkinkan bermunculannya kasus-kasus fikih baru yang tak
ditemukan jawabannya melalui ‘ibarat al-kutub, baik dalam qaul maupun wajh. Untuk menangani
kasus-kasus fikih baru tersebut, NU sudah membuat prosedur demikian: “Dalam hal ketika suatu
masalah/kasus belum dipecahkan dalam kitab, maka masalah/kasus tersebut diselesaikan dengan
prosedur ilhaqul-masail bi nazha’iriha secara jama’i. Ilhaq dilakukan dengan mempertimbangkan
mulhaq, mulhaq bih oleh mulhiq yang ahli. Dalam proses ilhaqul masail bi nazha’iriha ini, qawa’id
fiqhiyyah bisa digunakan sebagai kerangka metodologinya.
Namun, jika kasus fikih tersebut tak bisa ditanggulangi dengan prosedur ilhaq,
maka NU memutuskan: “Dalam hal ketika tak mungkin dilakukan ilhaq karena tidak adanya mulhaq
bih sama sekali di dalam kitab, maka dilakukan istinbath jama’i.”
Pertanyaanya, bagaimana istinbath jama’i dengan mempraktekkan qawa’id ushulillyah itu
diselenggarakan di lingkungan Nahdlatul Ulama? Dengan tetap mengacu pada kitab-kitab ushul
fikih, maka dalam penyelenggaraanistinbath jama’i tersebut, NU membuat metode istinbath al-
ahkam sederhana, yaitu metode bayani, metode qiyasi, dan metode istishlahi atau maqashidi.[1]

Peserta sidang Komisi A Bahtsul Masail ad-Diniyah al-Maudlu’iyyah memulai pembahasan materi di
arena Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) di Ponpes Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang,
Jawa Timur, Selasa (4/8). Komisi ini membahas metode istinbath hukum (bayani, qiyasi dan
maqashidi), khashais/karakteristik ahlus sunnah wal jama’ah (Aswaja) NU, pasar bebas, utang luar
negeri, hukum mati dalam perspektif HAM, dan asas praduga tak bersalah.
 

A. Metode Bayani
Yang dimaksud dengan metode bayani adalah metode pengambilan hukum dari nash (al-Qur’an
dan as-Sunnah).[2]Istilah lain dari metode ini adalah manhaj istinbath al-ahkam min nushusush.
Nash dimaksud dapat berupa nash juz’itafshili, nash kulli-ijmali, dan nash yang berupa kaidah
umum. Dalam rangka istinbath hukum dari nash dengan metodebayani, ditempuh langkah-langkah
sebagaimana berikut: pertama, mengkaji sabab an-nuzul/al-wurud, baik yang makro atau yang
mikro. Yang dimaksud asbab an-nuzul mikro adalah sebab khusus (asbab an-nuzul al-khash) yang
melatarbelakangi turunnya suatu ayat adatu hadits. Sedangkan yang dimaksud asbab an-
nuzul makro adalah sebab umum (asbab an-nuzul al-‘amm) yang menjadi konteks sosial-politik,
sosial-budaya dan sosial-ekonomi dari prosestanzil al-Qur’an dan wurud al-Hadits.
Kedua, mengkaji teks ayat/hadits dari perspektif kaidah bahasa (al-qawa’id al-ushuliyyah al-
lughawiyyah). Kajian teks dari perspektif dari kaidah bahasa ini meliputi tiga kajian secara simultan,
yaitu analisis kata (at-tahlil al-lafzhi), analisis makna (at-tahlil al-ma’na), dan analisis dalalah (at-tahlil
ad-dalali), yang secara rinci akan dijelaskan pada beberapa paragraf berikutnya.
Ketiga, mengaitkan nash yang sedang dikaji dengan nash lain yang berkaitan (rabth an-nushush
ba’dhuha bi ba’dhin). Nash yang sedang dikaji harus dihubungkan dengan nash yang lain,
karena nushush as-syari’ah (al-Qur’an dan al-Hadits) merupakan satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan satu dengan yang lainnya, ayat yang satu terkait dengan ayat yang lain, hadits yang satu
terkait dengan hadits yang lain, ayat terkait dengan hadits dan hadits terkait dengan ayat.
Suatu nash terhadap nash yang lain dapat berfungsi sebagai taukid (penguat), bayan al-
mujmal (menjelaskan nashyang bersifat garis besar), taqyid al-muthlaq (membatasi lafal muthlaq),
takhsish al-‘amm (membatasi keumuman lafal‘amm) atau taudhih al-musykil (menjelaskan lafal
muskil/ambigu).
Keempat, mengaitkan nash yang dikaji dengan maqashid as-syari’ah (rabth an-nushush bi al-
maqashid). Maqashid as-Syari’ah (tujuan umum syariat) yang sekaligus merupakan kulliyah as-
syari’ah (totalitas syari’ah) memiliki hubungan saling terkait dengan nushush as-syari’ah. Maqashid
as-Syari’ah lahir  dan mengacu pada nushush as-syari’ah, sementaranushush as-syari’ah dalam
menafsirinya harus mempertimbangkan maqashid as-syari’ah. Ini termasuk dalam kategori
mengaitkan yang juz’i (partikular) dengan yang kulli (universal).[3]  Kongkritnya, syariat Islam
dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia lahir-batin dan dunia-akhirat. Maka
perumusan hukum dari nash hendaknya sejalan dengan kemaslahatan manusia yang menjadi
tujuan syariat itu, dengan syarat apa yang diasumsikan sebagai maslahat tidak bertentangan
dengan nash itu sendiri.
Dengan mengaitkan nushush dengan maqashid, maka rumusan-rumusan hukum yang ditarik
dari nushush tidak sepenuhnya tekstual, tapi juga kontekstual. Maka kita menjadi maklum,
mengapa Fuqaha’ membolehkan mengeluarkan qimah (harga) pada zakat biji-bijian, kambing, dan
onta,[4] padahal intruksi Nabi pada sahabat Mu’adz bin Jabal menjelang keberangkatannya ke
daerah Yaman jelas mengatakan:
]5[.‫ِير مِنْ اِإْلبِ ِل َوا ْل َب َق َر َة مِنَ ا ْل َب َق ِر‬ ُ ‫ َأنَّ َر‬:t ‫عَنْ ُم َعا ِذ ْب ِن َج َب ٍل‬
َّ ‫ ُخ ِذ ا ْل َح َّب مِنَ ا ْل َح ِّب َوال‬:َ‫ َف َقال‬،‫ َب َع َث ُه ِإلَى ا ْل َي َم ِن‬t ِ‫سولَ هللا‬
َ ‫شا َة مِنَ ا ْل َغ َن ِم َوا ْل َبع‬

“Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal ra, bahwa Rasulullah Saw mengutusnya ke Yaman, lalu beliau
bersabda: “Ambillah (zakat berupa) biji-bijian dari biji-bijian, seekor kambing dari kambing,
seekor onta ba’ir dari unta, dan seekor sapi dari sapi.”
 

Ini karena mereka (Fuqaha’) paham bahwa tujuan dari sabda Nabi tersebut adalah memberikan
kemudahan kepadamuzakki (orang yang mengeluarkan zakat) dan mustahiq (yang berhak
menerima zakat). Oleh sebab itu, bila suatu ketika zakat dengan mengeluarkan qimah lebih mudah
maka tidak ada alasan untuk tidak membolehkannya.
Dan tanpa memperhatikan maqashid di dalam menafsirkan nushush, kita tidak akan dapat
memahami adanya larangan buang air besar di atas air yang tidak mengalir, dari sabda Nabi Saw:
 .‫الدَّاِئم‬
ِ ِ‫الَ َي ُبولَنَّ َأ َح ُد ُك ْم فِي ا ْلمَاء‬
“Janganlah salah satu dari kalian kencing di air yang diam (tidak mengalir).”
Bahwa maksud dari hadits di atas tidak hanya melarang seseorang membuang air kencing di air
yang menggenang sebagaimana pendapat Ahl azh-Zhahir, tapi juga melarang mengotori (menajisi)
air dengan cara apapun.[6]
Kelima, menta’wil nash (ta’wil an-nushush) bila diperlukan. Pada prinsipnya, setiap lafal/nash yang
multi makna atauinterpretable harus dibawa pada makna dasarnya, yaitu makna yang jelas, hakiki,
dan rajih. Akan tetapi, kajian yang komprehensip terhadap nash bisa menggiring kita untuk
melakukan ta’wil, yakni memalingkan lafal/nash dari makna dasarnya yang jelas, hakiki,
dan rajih pada makna lain yang tersembunyi, majazi, atau marjuh.[7]
Ulama ushul membagi ta’wil pada dua bagian [8] Pertama, ta’wil qarib (dekat/dangkal), seperti
menta’wil ‫ ُح ِّر َمتْ َعلَ ْي ُك ْم ُأ َّم َها ُت ُك ْم‬dengan ‫ح ُأ َّم َهاتِ ُك ْم‬
ُ ‫ ُح ِّر َم َعلَ ْي ُك ْم ِن َكا‬. Menta’wil ayat ini dengan menghadirkan
semacam kata ‫ح‬ ُ ‫ ِن َكا‬ merupakan tuntutan (‫اء‬ ْ ‫ِض‬ َ ‫) ِا ْقت‬, karena status hukum seharusnya disandangkan
pada perbuatan mukallaf sebagai mahkum fih (objek hukum), sedangkan ayat tersebut
menyandarkan hukum haram pada zat, yaitu ibu. Maka, tanpa ta’wil ayat tersebut tidak bisa
dipahami dengan benar. Termasuk bagian ta’wil ini adalah takhsish al-‘amm, taqyid al-muthlaq, dan
mengartikan lafalzhahir dengan makna marjuhnya.
Kedua, ta’wil ba’id (jauh/dalam). Ta’wil macam ini tidak sembarangan orang dapat melakukannya.
Inilah yang dimaksud dengan pernyataan Ibn Abbas ra:
َّ ‫ق ِْس ٌم َي ْع ِرفُ ُه ا ْل ُعلَ َما ُء‬
.‫الراسِ ُخونَ فِي ا ْل ِع ْل ِم‬
“Ada bagian tafsir yang hanya diketahui oleh para ulama yang mendalam ilmunya.”
Ta’wil tidak bisa dipisahkan dari tafsir, karena ta’wil terhadap suatu nash harus dilakukan setelah
mengetahui tafsirannash itu. Jadi, ta’wil dilakukan setelah tafsir (‫)التأويل بعد التفسير‬.
Selanjutnya, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa kajian teks ayat/hadits dari perspektif
kaidah bahasa (al-qawa’id al-ushuliyyah al-lughawiyah) harus bertumpu pada analisis lafal, makna,
dan dalalah, maka demikian penjelasannya

Pengadilan Islam

Pada 1400 terakhir sejarah negara Islam, dikenal dengan administrasi peradilannya, dan
kemampuannya melindungi hak-hak rakyat dan hal inilah yang sangat berbeda dengan seluruh
aspek kehidupan bangsa lainnya baik secara pribadi maupun politik.

Ada 2 orang yang bertanggung jawab dalam mengimplementasikan Islam dalam berbagai hal yakni:
Khalifah dan Qadhi (hakim). Khalifah menjalankan hukum-hukum Islam dan menerapkannya
kepada seluruh rakyat, sedangkan hakim mengambil putusan-putusan secara Islami untuk kondisi-
kondisi yang berbeda berdasarkan sumber-sumber (seperti Al-Qur`an, As Sunnah dan segala
sesuatu yang berasal dari keduannya) dan menggunakannya. Karena itu peradilan merupakan salah
satu pilar yang fundamental dalam negara Islam dan diatas hal inilah sistem pemerintahan
disandarkan sebagai bagian Implementasi Islam dalam kehidupan politik. Dalam negara Islam telah
ada sebuah peradilan yang senantiasa menjalankan keadilan dan menghukum siapa saja yang patut
dihukum ditengah-tengah masyarakat untuk memastikan bahwa Islam telah ditaati secara terus-
menerus. Sistem peradilan ini tidak ada yang bertentangan dengan Islam malah ia berasal dari
aqidah Islam dan membentuk satu kesatuan yang padu dalam pandangan hidup Islam, ditambah
dengan Sistem Islam yang lain seperti Sistem Ekonomi (Iqtisad), dan ritual (ibadah) yang saling
menyempurnakan satu sama lain.

Tujuan Peradilan

Dasar dibentuknya Peradilan memiliki 3 prinsip yaitu:


1.Bahwa penerapan hukum-hukum Islam dalam setiap kondisi adalah wajib.
2.Bahwa dilarang mengikuti syari’ah lain selain Islam.
3.Syari’ah selain Islam adalah kufur dan batil (taghut).
Dengan kerangka seperti ini, sistem Peradilan Negara Islam dijalankan dan Berdasarkan
pemahaman ini maka definisi Peradilan dibangun berdasarkan syari’ah sehingga definisi dan tujuan
Peradilan adalah memberikan putusan-putusan yang sah untuk menetapkan berbagai pendapat
yang muncul terhadap hukum Allah dalam berbagai situasi, dengan kewenangan untuk memaksa
mereka.

Bukti keabsahan Peradilan


Landasan Sistem Peradilan dan hukum-hukumnya berasal dari Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Mengenai Al-Qur`an, Allah SWT Berfirman dalam beberapa surat , diantaranya dalam QS. 4:105
dan QS. 5:48. Ayat-ayat ini dengan jelas menyatakan bahwa adalah sah untuk menghukumi antar
manusia dan bahkan wajib melaksanakan hal tersebut, yaitu dengan hanya merujuk kepada sistem
Allah SWT. Mengenai As-Sunnah, Rosululloh SAW sendiri memimpin Sistem Peradilan ini dan
beliaulah yang menghukumi umat. Muslim menceritakan hal yang disampaikan Aisyah (ra), istri
Rosululloh SAW bahwa beliau berkata, Sa’ad Ibn Abi Waqqash dan Abd Zama’a berselisih satu sama
lain mengenai seorang anak laki-laki. Sa’ad berkata: “Rosululloh SAW, adalah anak dari saudaraku
Utbah Ibn Abi Waqqash yang secara implisit dia menganggap sebagai anaknya. Lihatlah kemiripan
wajahnya.”. Abd Ibn Zama’a berkata: “Rosululloh, dia adalah saudaraku karena dia lahir diatas
tempat tidur ayahku dari hamba sahayanya. Rosululloh lalu melihat persamaan itu dan beliau
mendapati kemiripan yang jelas dengan Utbah. Tapi beliau bersabda, “Dia adalah milikmu wahai
Abd Ibn Zama’a, karena seorang anak akan dihubungkan dengan seseorang yang pada tempat
tidurnya ia dilahirkan, dan hukum rajam itu adalah untuk pezina.” Hal ini membuktikan bahwa
Rosululloh SAW menghukumi umat dan bahwa keputusannya memiliki otoritas untuk dilaksanakan.

Bukti-bukti lain tentang Peradilan dalam As Sunnah, adalah :

1.Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibn Majah meriwayatkan: Buraidah berkata bahwa Rasulullah
SAW bersabda: “Hakim itu ada 3, 2 diantaranya akan masuk api neraka dan satu akan masuk surga.
Seseorang yang mengetahui kebenaran dan menghakiminya dengan kebenaran itu ?dialah yang akan
masuk surga, seseorang yang mengetahui kebenaran namun tidak memutuskan berdasarkan
kebenaran itu, dia akan masuk neraka. Yang lain tidak mengetahui kebenaran dan memutuskan
sesuatu dengan kebodohannya, dan dia akan masuk neraka”.

2.Ahmad dan Abu Daud mengisahkan: Ali ra. Berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Ali,
jika 2 orang datang kepadamu untuk meminta keadilan bagi keduanya, janganlah kamu
memutuskan sesuatu dari orang yang pertama hingga kamu mendengarkan perkataan dari orang
kedua agar kamu tahu bagaimana cara memutuskannya (menghakiminya).”
3.Bukhori, Muslim dan Ahmad meriwayatkan Ummu Salamah berkata: “Dua laki-laki telah
berselisih tentang warisan dan mengdatangi Rasulullah SAW, tanpa membawa bukti. Beliau saw
bersabda: kalian berdua membawa perselisihan kalian kepadaku, sedang aku adalah seseorang yang
seperti kalian dan salah seorang diantara kalian mungkin berbicara lebih fasih, sehingga aku
mungkin menghakimi berdasarkan keinginannya. Dan jika aku menghukumnya dengan sesuatu
yang bukan menjadi miliknya dan aku mengambilnya sebagai hak saudaranya maka ia tidak boleh
mengambilnya karena apapun yang aku berikan padanya akan menjadi serpihan api neraka dalam
perutnya dan dia akan datang dengan menundukkan lehernya dihari pembalasan. Kedua orang itu
menangis dan salah satu dari mereka berkata, aku berikan bagianku pada saudaraku. Rasulullah
SAW bersabda: “Pergilah kalian bersama-sama dan bagilah warisan itu diantara kalian dan dapatkan
hak kalian berdua serta masing-masing dari kalian saling mengatakan, “Semoga Alloh
mengampunimu dan mengikhlaskan apa yang dia ambil agar kalian berdua mengdapat pahala”.

4.Baihaqi, Darqutni dan Thabrani berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang diuji Alloh
dengan membiarkannya menjadi seorang hakim, maka janganlah dia membiarkan satu pihak yang
berselisih itu duduk didekatnya tanpa membawa pihak lainnya untuk duduk didekatnya. Dan dia
harus takut pada Alloh atas persidangannya, pandangannya terhadap keduannya dan keputusannya
pada keduanya. Dia harus berhati-hati agar tidak merendahkan yang satu seolah-olah yang lain lebih
tinggi, dia harus berhati-hati untuk tidak menghardik yang satu dan tidak kepada yang lain dan
diapun harus berhati-hati terhadap keduanya.”

5.Muslim, Abu Daud dan An Nasa’i berkata: Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah SAW mengadili
manusia dengan sumpah dan para saksi.”

6.Imam Mawardi dalam etika Peradilan Vol.1.p.123, “Rasulullah SAW menunjuk hakim dalam
Negara Islam, diantaranya adalah Imam Ali, Mu’adz bi Jabal dan Abu Musa Al Ash’ari”.

7.Muslim mengabarkan Abu Hurairah berkata: “Rasulullah SAW sedang melewati pasar dan beliau
melihat seseorang sedang menjual makanan. Dia meletakkan tangannya diatas sepiring kurma dan
ditemukan kurma-kurmanya basah dibagian bawahnya. Beliau bertanya, apa ini” Dia menjawab,
hujan dari surga Ya Rasululloh. Rasulullah SAW bersabda, “Kamu harus meletakkannya diatas,
barangsiapa mencuri timbangan bukan dari golongan kami”.

Semua hadist diatas secara jelas menyatakan kebenaran Pengadilan dan menjelaskan dari berbagai
sudut pandang, dasar-dasar Sistem Peradilan dalam Negara Islam antara lain:
1.Hadist-hadist tersebut menyatakan bahwa seseorang termotivasi menjadi hakim dikarenakan
pahala terhadap hakim tersebut.

2.Hadist-hadist diatas membuat takut terhadap orang-oarng yang ingin menjadi hakim apabila
mereka tidak mampu.

3.Hadist-hadist diatas menunjukkan kepada kita sumber perselisihan dan sumber Peradilannya
misalnya Rasulullah SAW mengatakan kepada Ali untuk tidak mengadili siapapun hingga ia
mendengarkan pernyataan dari kedua belah pihak. Hal itu menunjukkan bahwa kita harus memiliki
sebuah pengadilan dimana kedua pihak duduk bersama dan bahwa seorang hakim harus
mendengarkan keduanya. Beliau menyatakan bahwa takutlah kepada Alloh pada saat engkau
melihat mereka, berbicara pada mereka dan pada saat engkau menghukum mereka.

4.Hadist-hadist tersebut menunjukkan adanya dasar penunjukkan seorang wakil. Dikarenakan


pernyataan, “Hati-hatilah terhadap mereka yang memiliki lidah yang fasih, sehingga ia boleh jadi
menunjuk seseorang untuk berbicara atas namamu”.

5.Hadist-hadist tersebut juga membuktikan bahwa Rasulullah SAW mengambil sumpah-sumpah


dan saksi-saksi, bahwa hal tersebut dapat digunakan pembuktian berbagai kasus.

6.Mereka (hadist-hadist itu) menyatakan macam-macam hakim, misalnya Qadhi Muhtasid yang
menegakkan keadilan dan kebenaran yang terjadi dipasar.

7.Hadist-hadist diatas juga menyatakan kebenaran cara penunjukkkan para hakim seperti
pernyataan Imam Mawardi, Imam Ali dan Mu’adz bin Jabal.

Fakta Tentang Sistem Peradilan


Dalam peradilan Hukum Islam, hanya ada satu hakim yangbertanggung jawab terhadap berbagai
kasus pengadilan. Dia memiliki otoritas untuk menjatuhkan keputusan berdasarkan Al-Qur`an dan
As-Sunnah. Keputusan-keputusan lain mungkin hanya bersifat menyarankan atau membantu jika
diperlukan (yang dilakukan oleh hakim ketua).

Tidak ada sistem dewan juri dalam Islam. Nasib seorang tidak diserahkan kepada tindakan dan
prasangka ke-12 orang yang bisa saja keliru karena bukan saksi dalam kasus tersebut dan bahkan
mungkin pelaku kriminal itu sendiri!.Hukumanhukuman dalam Islam hanya bisa dilakukan apabila
perbuatantersebut terbukti 100% secara pasti dan kondisi yang relevan dapatditemukan (misal ada 4
saksi untuk membuktikan perzinahan) jika masih adakeraguan tentang peristiwa-peristiwa tersebut
maka seluruh kasus akan
dibuang.

Ada 3 macam hakim dalam Islam, yaitu:

1. Qodli ‘Aam: bertanggung jawab untuk menyelesaikan perselisihan ditengah-tengah masyarakat,


misalnya masalah sehari-hari yang terjadi didarat, tabrakan mobil, kecelakaan-kecelakaan, dsb.

2. Qodli Muhtasib: bertanggung jawab menyelesaikan perselisihan yang timbul diantara ummat dan
beberapa orang, yang menggangu masyarakat luas, misalnya berteriak dijalanan, mencuri di pasar,
dsb.

3. Qodli Madzaalim: yang mengurusi permasalahan antara masyarakat dengan pejabat negara. Dia
dapat memecat para penguasa atau pegawai pemerintah termasuk khalifah.

Khalifah kedua yaitu Umar Ibnu Al Khattab (Amir kaum muslimin antara tahun 634-644 M) adalah
orang pertama yang membuat penjara dan rumah tahanan di Mekkah. Dibawah sistem peradilan
(Islam), setiap orang, muslim atau non muslim, laki-laki atau perempuan, terdakwa dan orang yang
dituduh memiliki hak menunjuk seorang wakil (proxy). Tidak ada perbedaan antara pengadilan
perdata dengan kriminal seperti yang kita lihat sekarang di negeri-negeri Islam seperti di Pakistan
dimana sebagian hokum Islam dan sebagian hokum kufur keduanya diterapkan. Negara Islam hanya
akan menggunakan sumber-sumber hukum Islam yakni, Al-Qur`an dan As-Sunnah (dan segala
sesuatu yang berasal dari keduanya) sebagai rujukannya. Hukuman-hukuman Islami akan
dilaksanakan tanpa penundaan dan keraguan.

Tidak seorangpun akan di hukum kecuali oleh peraturan pengadilan. Selain itu, sarana (alat-alat)
penyiksaan tidak diperbolehkan.Dibawah sistem Islam, seseorang yang dirugikan dalam suatu
kejahatan mempunyai hak untuk memaafkan terdakwa atau menuntut ganti rugi (misal qishas)
untuk suatu tindak kejahatan. Khusus untuk hukum hudud, merupakan hak Allah.Hukum potong
tangan dalam Islam hanya akan diterapkan
apabila memenuhi 7 persyaratan, yaitu:
1.Ada saksi (yang tidak kontradiksi atau salah dalam kesaksiannya)
2.Nilai barang yang dicuri harus mencapai 0,25 dinar atau senilai 4,25 gr emas.
3.Bukan berupa makanan (jika pencuri itu lapar)
4.Barang yang dicuri tidak berasal dari keluarga pencuri tersebut.
5.Barangnya halal secara alami (misal: bukan alkohol)
6.Dipastikan dicuri dari tempat yang aman (terkunci)
7.Tidak diragukan dari segi barangnya (artinya pencuri tersebut tidak berhak mengambil misalnya
uang dari harta milik umum).

Daftar Pustaka :

http://aswajamuda.com/metode-istinbath-al-ahkam-dalam-nu/

http://www.muslimedianews.com/2014/06/menggali-hukum-islam-istinbath-al-ahkam.html

https://www.academia.edu/17175577/Syariah_Pengertian_dan_Ruang_Lingkupnya

http://www.tongkronganislami.net/2015/11/artikel-islam-perbedaan-dan-ruang-lingkup-fikih-syariah-
hukum-islam.html

http://www.suduthukum.com/2015/06/hubungan-antara-hukum-islam-syariah-dan.html

Anda mungkin juga menyukai