Pengertian fiqh atau ilmu fiqh sangat berkaitan dengan syariah, karena fiqh itu pada
hakikatnya adalah jabaran praktis dari syariah. Karenanya, sebelum membahasa tentang arti fiqh,
terlebih dahulu perlu dibahas arti dan hakikat syariah.
Penerapan syariat Islam secara praktis harus dimulai dengan pembaiatan seorang khalifah atas
dasar al-Quran dan Sunnah. Setiap Muslim yang berakal, balig, adil, merdeka, dan laki-laki dapat
dibaiat menjadi seorang khalifah bagi kaum Muslim. Setiap negeri Islam yang kekuasaannya berada
di tangan kaum Muslim saja dan tidak berada di bawah kekuasaan negara lain, yang keamanan
dalam dan luar negerinya berada di tangan Islam dan kaum Muslim, adalah layak dijadikan tempat
untuk melangsungkan baiat pengangkatan khalifah(bai‘at in‘iqâd) sekaligus menjadi pusat Daulah
Islamiyah.
Jika di negeri tersebut khalifah telah dibaiat dengan baiat in‘iqâdatas dasar keridhaan dan pilihan
ahlul halli wal ‘aqdi, yang selanjutnya dibaiat dengan baiat taat oleh kaum Muslim—yang di
dalamnya mereka berjanji untuk tidak melakukan pembangkangan terhadap khalifah—maka
syarat–syarat berdirinya Daulah Khilafah Islamiyah telah terpenuhi. Terpenuhi syarat-syarat
tersebut dapat dilihat dari: (1) kedaulatan ada di tangan syariat; (2) kekuasaan ada di tangan
umat; (3) diangkatnya seorang khalifah saja yang melegislasikan hukum-hukum syariat yang
bersumber dari al-Quran, Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas. Pada saat Daulah Khilafah Islamiyah
telah tegak, dengan segara hukum-hukum Islam diberlakukan secara menyeluruh dan praktis di
tengah-tengah umat. Hukum Islam tidak akan diterapkan secara berangsur-angsur atau secara
gradual.
Setelah proses pembaiatannya selesai, khalifah segera menyusun struktur negara. Struktur negara
dalam Islam berbeda dengan struktur pemerintahan yang ada di dalam sistem kenegaraan yang
bercorak kapitalistik maupun sosialistik. Aturan-aturan yang diterapkan dalam Daulah Khilafah
Islamiyah juga berbeda dengan aturan-aturan lainnya. Struktur negara yang telah ditetapkan Islam
adalah sebagai berikut:
1. Khalifah, yakni kepala negara sekaligus wakil rakyat dalam hal kekuasaan dan pelaksanaan
hukum syariat.
2. Mu‘âwin tafwîdh (pembantu khalifah yang berkuasa penuh). Ia harus seorang laki-laki, Muslim,
berakal, balig, merdeka, adil, dan termasuk orang yang mampu melaksanakan tugas-tugas yang
dilimpahkan kepadanya. Pengangkatannya oleh khalifah harus memenuhi dua perkara: (1)
kewenangan yang diberikan kepadanya harus bersifat umum (‘umûm al-nadhr);(2) harus ada aspek
perwakilan (niyâbah).[1] Oleh karena itu, mu‘âwin tafwîdh akan membantu khalifah pada semua
urusan negara. Ia juga akan melaksanakan semua perintah khalifah. Tugasnya adalah
menyampaikan seluruh laporan mengenai tugas-tugas kenegaraan kepada khalifah. Ia juga
bertugas melaksanakan tugas-tugas yang dilimpahkan khalifah. Sebab, wazir tafwîdh merupakan
pembantu khalifah dalam urusan kekuasaan.
3. Mu‘âwin tanfîdz (pembantu pelaksana). Ia diangkat oleh khalifah dalam kapasitasnya sebagai
pembantu pelaksana bagi khalifah. Ia hanya membantu khalifah dalam perkara-perkara yang
bersifat operasional dan administratif, bukan dalam perkara-perkara kekuasaan. Ia bertugas
melaksanakan tugas-tugas administratif dari khalifah yang ditujukan pada sejumlah departemen
dalam dan luar negeri. Ia juga bertugas menyampaikan perkara-perkara yang berasal dari
departemen-departemen tersebut kepada khalifah. Mu‘âwin tanfîdz tak ubahnya sebagai
penghubung antara khalifah dengan struktur-struktur negara lainnya, baik dalam perkara yang
berasal dari khalifah atau yang hendak disampaikan kepada khalifah. Ia harus seorang muslim.
Sebab, ia termasuk orang kepercayaan dari khalifah.
4. Amirul Jihad. Amirul jihad membawahi empat departemen: (1) departemen dalam negeri; (2)
departemen luar negeri; (3)departemen keamanan dalam negeri; (4) departemen perindustrian.
Keempat departemen ini dikontrol dan dipimpin oleh amirul jihad. Sebab, keempat departemen
ini didirikan di atas asas jihad fi sabilillah. Perang dan keamanan dalam negeri mutlak
membutuhkan kekuatan pasukan yang terefleksi pada kekuatan tentara dan polisi. Dalam konteks
hubungan luar negeri, landasan hubungan antara Daulah Islamiyah dengan negara-negara lain
adalah menyebarkan dakwah Islam. Metode dasar untuk menyebarkan dakwah Islam adalah jihad.
Untuk masalah perindustrian, semua jenis industri harus didirikan atas dasar kepentingan politik
luar negeri. Pengawasan perindustrian untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan negara lain harus
berjalan sesuai dengan asas di atas (jihad).
Akidah Islam juga meliputi keimanan pada adanya surga, neraka, dan setan serta seluruh perkara
yang berkaitan dengan semua itu. Demikian juga dengan hal-hal gaib dan apa saja yang tidak bisa
dijangkau oleh indera yang berkaitan dengannya.10Akidah Islam merupakan pemikiran yang sangat
mendasar (fikr asâsi). Ia mampu memecahkan secara sahih problem mendasar manusia di seputar:
dari mana manusia berasal; untuk apa manusia ada; dan mau ke mana manusia setelah
mati.11Artinya, akidah Islam merupakan pemikiran yang menyeluruh (fikrah kulliyyah) yang menjadi
sumber dari seluruh pemikiran cabang. Ia adalah pemikiran mendasar yang membahas persoalan di
seputar: (1) alam semesta, manusia, dan kehidupan; (2) eksistensi Pencipta dan Hari Akhir; (3)
Hubungan alam, manusia, dan kehidupan dengan Pencipta dan Hari Akhir. Dalam konteks manusia,
hubungan yang dimaksud adalah hubungan dirinya sebagai hamba dengan Allah yang harus tunduk
pada syariat-Nya. Sebab, syariat Allah merupakan standar akuntalibitas bagi seluruh aktivitas
manusia di hadapan-Nya.12 Sementara itu, peraturan atau sistem kehidupan Islam merupakan
kumpulan ketentuan yang mengatur seluruh urusan manusia; baik yang berkaitan dengan ubudiah,
akhlak, makanan, pakaian, muamalat, maupun persanksian.13Tentu saja, untuk bisa disebut sistem
Islam, ia harus digali dari dalil-dalil tafshîli (rinci); baik yang bersumber dari al-Quran, Hadis Nabi,
Ijma Sahabat, maupun Qiyas. Al-Quran, misalnya, dengan tegas menyatakan: ﴿ َو َن َّز ْل َنا عَ لَ ْيكَ ْال ِك َتابَ ِت ْبيَا ًنا لِ ُك ِّل
﴾ َشيْ ٍءKami telah menurunkan al-Kitab (al-Quran) ini kepadamu (Muhammad) untuk menjelaskan
segala sesuatu.(QS an-Nahl [16]: 89). Hadis Nabi juga telah menjelaskan hal yang sama: » ت ُ َقا َل َترَ ْك
ِ «فِي ُك ْم َأمْ رَ يAku telah meninggalkan dua perkara yang menyebabkan
ِ َْن َلنْ َتضِ لُّوا مَا َت َمس َّْك ُت ْم ِب ِهمَا ِك َتاب
هللا َو ُس َّن َة َن ِب ِّي ِه
kalian tidak akan sesat selamanya selama kalian berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitabullah
dan Sunnah Nabi-Nya. (HR at-Turmudzî, Abû Dâwud, Ahmad). Dari dua nash di atas, tampak jelas
bahwa syariat Islam yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw. telah mengatur segala urusan tanpa
kecuali; mulai darihubungan manusia dengan Penciptanya—dalam konteks akidah dan ibadah
semisal shalat, puasa, zakat, haji danjihad; hubungan manusia dengan dirinya sendiri seperti dalam
urusan pakaian, makanan dan akhlak; hinggahubungan manusia dengan sesamanya seperti dalam
urusan pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan politik luar negeri, dll. Secara konseptual,
semuanya telah diatur oleh Islam dengan sejelas-jelasnya. Sementara itu, dalam tataran praktis
atau aplikatif, Islam juga memilikitatacara tertentu yang digunakan untuk mengaplikasikan hukum-
hukumnya, memelihara akidahnya, dan mengembannya sebagai risalah dakwah. Dengan demikian,
yang pertama bersifat konseptual dan tidak mempunyai pengaruh secara fisik sehingga disebut
sebagai fikrah (konsep) saja, sedangkan yang kedua bersifat praktis dan aplikatif sehingga disebut
dengan tharîqah (metode). Sebab, yang terakhir ini tidak hanya bersifat konseptual, tetapi juga
bersifat praktis dan aplikatif karena merupakan aktivitas fisik yang mempunyai pengaruh secara
fisik, di samping bersifat tetap. Kedua fakta di atas bisa dijelaskan lebih jauh. Akidah Islam,
kewajiban shalat, zakat, haji, dan puasa, misalnya, adalah fikrah. Sementara itu, jihad, dakwah, dan
sanksi atas tindakan kriminal (‘uqûbât) adalah tharîqah karena merupakan aktivitas fisik yang
mempunyai pengaruh secara fisik dan bersifat tetap; tidak berubah karena situasi dan kondisi.14
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa syariat Islam mencakup fikrah dan tharîqah.
Kata istinbath bila dihubungkan dengan hukum, seperti dijelaskan oleh Muhammad bin ‘Ali al-
Fayyumi ahli bahasa Arab dan Fiqh, berarti upaya menarik hukum dari al-Qur’an dan Sunnah
dengan jalan ijtihad.
Ayat-ayat al-Qur’an dalam menunjukkan pengertiannya menggunakan berbagai cara, ada yang
tegas dan ada yang tidak tegas, ada yang melalui arti bahasanya dan ada pula yang melalui
maksud hukumnya. Di samping itu, di satu kali terdapat pula perbenturan antara satu dalil dengan
lain yang memerlukan penyelesaian. Ushul fiqh menyajikan berbagai cara dari berbagai aspeknya
untuk menimba pesan-pesan yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Secara garis besar, metode istinbath dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu kebahasaan, segi
maqasid (tujuan) syari’ah, dan segi penyelesaian beberapa dalil yang bertentangan.
Objek utama yang akan dibahas dalam ushul fiqh adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Untuk memahami teks-teks dua sumber yang berbahasa Arab tersebut, para ulama telah menyusun
semacam “semantik” yang akan digunakan dalam praktik penalaran fiqih. Bahasa Arab
menyampaikan suatu pesan dengan berbagai cara dan dalam berbagai tingkat kejelasannya. Para
ahli telah membuat beberapa kategori lafal atau redaksi, diantaranya yang sangat penting dan akan
dikemukakan di sini adalah masalah amar, nahi dan takhyir.
Pengertian Istinbath
Peserta sidang Komisi A Bahtsul Masail ad-Diniyah al-Maudlu’iyyah memulai pembahasan materi di
arena Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) di Ponpes Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang,
Jawa Timur, Selasa (4/8). Komisi ini membahas metode istinbath hukum (bayani, qiyasi dan
maqashidi), khashais/karakteristik ahlus sunnah wal jama’ah (Aswaja) NU, pasar bebas, utang luar
negeri, hukum mati dalam perspektif HAM, dan asas praduga tak bersalah.
A. Metode Bayani
Yang dimaksud dengan metode bayani adalah metode pengambilan hukum dari nash (al-Qur’an
dan as-Sunnah).[2]Istilah lain dari metode ini adalah manhaj istinbath al-ahkam min nushusush.
Nash dimaksud dapat berupa nash juz’itafshili, nash kulli-ijmali, dan nash yang berupa kaidah
umum. Dalam rangka istinbath hukum dari nash dengan metodebayani, ditempuh langkah-langkah
sebagaimana berikut: pertama, mengkaji sabab an-nuzul/al-wurud, baik yang makro atau yang
mikro. Yang dimaksud asbab an-nuzul mikro adalah sebab khusus (asbab an-nuzul al-khash) yang
melatarbelakangi turunnya suatu ayat adatu hadits. Sedangkan yang dimaksud asbab an-
nuzul makro adalah sebab umum (asbab an-nuzul al-‘amm) yang menjadi konteks sosial-politik,
sosial-budaya dan sosial-ekonomi dari prosestanzil al-Qur’an dan wurud al-Hadits.
Kedua, mengkaji teks ayat/hadits dari perspektif kaidah bahasa (al-qawa’id al-ushuliyyah al-
lughawiyyah). Kajian teks dari perspektif dari kaidah bahasa ini meliputi tiga kajian secara simultan,
yaitu analisis kata (at-tahlil al-lafzhi), analisis makna (at-tahlil al-ma’na), dan analisis dalalah (at-tahlil
ad-dalali), yang secara rinci akan dijelaskan pada beberapa paragraf berikutnya.
Ketiga, mengaitkan nash yang sedang dikaji dengan nash lain yang berkaitan (rabth an-nushush
ba’dhuha bi ba’dhin). Nash yang sedang dikaji harus dihubungkan dengan nash yang lain,
karena nushush as-syari’ah (al-Qur’an dan al-Hadits) merupakan satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan satu dengan yang lainnya, ayat yang satu terkait dengan ayat yang lain, hadits yang satu
terkait dengan hadits yang lain, ayat terkait dengan hadits dan hadits terkait dengan ayat.
Suatu nash terhadap nash yang lain dapat berfungsi sebagai taukid (penguat), bayan al-
mujmal (menjelaskan nashyang bersifat garis besar), taqyid al-muthlaq (membatasi lafal muthlaq),
takhsish al-‘amm (membatasi keumuman lafal‘amm) atau taudhih al-musykil (menjelaskan lafal
muskil/ambigu).
Keempat, mengaitkan nash yang dikaji dengan maqashid as-syari’ah (rabth an-nushush bi al-
maqashid). Maqashid as-Syari’ah (tujuan umum syariat) yang sekaligus merupakan kulliyah as-
syari’ah (totalitas syari’ah) memiliki hubungan saling terkait dengan nushush as-syari’ah. Maqashid
as-Syari’ah lahir dan mengacu pada nushush as-syari’ah, sementaranushush as-syari’ah dalam
menafsirinya harus mempertimbangkan maqashid as-syari’ah. Ini termasuk dalam kategori
mengaitkan yang juz’i (partikular) dengan yang kulli (universal).[3] Kongkritnya, syariat Islam
dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia lahir-batin dan dunia-akhirat. Maka
perumusan hukum dari nash hendaknya sejalan dengan kemaslahatan manusia yang menjadi
tujuan syariat itu, dengan syarat apa yang diasumsikan sebagai maslahat tidak bertentangan
dengan nash itu sendiri.
Dengan mengaitkan nushush dengan maqashid, maka rumusan-rumusan hukum yang ditarik
dari nushush tidak sepenuhnya tekstual, tapi juga kontekstual. Maka kita menjadi maklum,
mengapa Fuqaha’ membolehkan mengeluarkan qimah (harga) pada zakat biji-bijian, kambing, dan
onta,[4] padahal intruksi Nabi pada sahabat Mu’adz bin Jabal menjelang keberangkatannya ke
daerah Yaman jelas mengatakan:
]5[.ِير مِنْ اِإْلبِ ِل َوا ْل َب َق َر َة مِنَ ا ْل َب َق ِر ُ َأنَّ َر:t عَنْ ُم َعا ِذ ْب ِن َج َب ٍل
َّ ُخ ِذ ا ْل َح َّب مِنَ ا ْل َح ِّب َوال:َ َف َقال، َب َع َث ُه ِإلَى ا ْل َي َم ِنt ِسولَ هللا
َ شا َة مِنَ ا ْل َغ َن ِم َوا ْل َبع
“Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal ra, bahwa Rasulullah Saw mengutusnya ke Yaman, lalu beliau
bersabda: “Ambillah (zakat berupa) biji-bijian dari biji-bijian, seekor kambing dari kambing,
seekor onta ba’ir dari unta, dan seekor sapi dari sapi.”
Ini karena mereka (Fuqaha’) paham bahwa tujuan dari sabda Nabi tersebut adalah memberikan
kemudahan kepadamuzakki (orang yang mengeluarkan zakat) dan mustahiq (yang berhak
menerima zakat). Oleh sebab itu, bila suatu ketika zakat dengan mengeluarkan qimah lebih mudah
maka tidak ada alasan untuk tidak membolehkannya.
Dan tanpa memperhatikan maqashid di dalam menafsirkan nushush, kita tidak akan dapat
memahami adanya larangan buang air besar di atas air yang tidak mengalir, dari sabda Nabi Saw:
.الدَّاِئم
ِ ِالَ َي ُبولَنَّ َأ َح ُد ُك ْم فِي ا ْلمَاء
“Janganlah salah satu dari kalian kencing di air yang diam (tidak mengalir).”
Bahwa maksud dari hadits di atas tidak hanya melarang seseorang membuang air kencing di air
yang menggenang sebagaimana pendapat Ahl azh-Zhahir, tapi juga melarang mengotori (menajisi)
air dengan cara apapun.[6]
Kelima, menta’wil nash (ta’wil an-nushush) bila diperlukan. Pada prinsipnya, setiap lafal/nash yang
multi makna atauinterpretable harus dibawa pada makna dasarnya, yaitu makna yang jelas, hakiki,
dan rajih. Akan tetapi, kajian yang komprehensip terhadap nash bisa menggiring kita untuk
melakukan ta’wil, yakni memalingkan lafal/nash dari makna dasarnya yang jelas, hakiki,
dan rajih pada makna lain yang tersembunyi, majazi, atau marjuh.[7]
Ulama ushul membagi ta’wil pada dua bagian [8] Pertama, ta’wil qarib (dekat/dangkal), seperti
menta’wil ُح ِّر َمتْ َعلَ ْي ُك ْم ُأ َّم َها ُت ُك ْمdengan ح ُأ َّم َهاتِ ُك ْم
ُ ُح ِّر َم َعلَ ْي ُك ْم ِن َكا. Menta’wil ayat ini dengan menghadirkan
semacam kata ح ُ ِن َكا merupakan tuntutan (اء ْ ِض َ ) ِا ْقت, karena status hukum seharusnya disandangkan
pada perbuatan mukallaf sebagai mahkum fih (objek hukum), sedangkan ayat tersebut
menyandarkan hukum haram pada zat, yaitu ibu. Maka, tanpa ta’wil ayat tersebut tidak bisa
dipahami dengan benar. Termasuk bagian ta’wil ini adalah takhsish al-‘amm, taqyid al-muthlaq, dan
mengartikan lafalzhahir dengan makna marjuhnya.
Kedua, ta’wil ba’id (jauh/dalam). Ta’wil macam ini tidak sembarangan orang dapat melakukannya.
Inilah yang dimaksud dengan pernyataan Ibn Abbas ra:
َّ ق ِْس ٌم َي ْع ِرفُ ُه ا ْل ُعلَ َما ُء
.الراسِ ُخونَ فِي ا ْل ِع ْل ِم
“Ada bagian tafsir yang hanya diketahui oleh para ulama yang mendalam ilmunya.”
Ta’wil tidak bisa dipisahkan dari tafsir, karena ta’wil terhadap suatu nash harus dilakukan setelah
mengetahui tafsirannash itu. Jadi, ta’wil dilakukan setelah tafsir ()التأويل بعد التفسير.
Selanjutnya, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa kajian teks ayat/hadits dari perspektif
kaidah bahasa (al-qawa’id al-ushuliyyah al-lughawiyah) harus bertumpu pada analisis lafal, makna,
dan dalalah, maka demikian penjelasannya
Pengadilan Islam
Pada 1400 terakhir sejarah negara Islam, dikenal dengan administrasi peradilannya, dan
kemampuannya melindungi hak-hak rakyat dan hal inilah yang sangat berbeda dengan seluruh
aspek kehidupan bangsa lainnya baik secara pribadi maupun politik.
Ada 2 orang yang bertanggung jawab dalam mengimplementasikan Islam dalam berbagai hal yakni:
Khalifah dan Qadhi (hakim). Khalifah menjalankan hukum-hukum Islam dan menerapkannya
kepada seluruh rakyat, sedangkan hakim mengambil putusan-putusan secara Islami untuk kondisi-
kondisi yang berbeda berdasarkan sumber-sumber (seperti Al-Qur`an, As Sunnah dan segala
sesuatu yang berasal dari keduannya) dan menggunakannya. Karena itu peradilan merupakan salah
satu pilar yang fundamental dalam negara Islam dan diatas hal inilah sistem pemerintahan
disandarkan sebagai bagian Implementasi Islam dalam kehidupan politik. Dalam negara Islam telah
ada sebuah peradilan yang senantiasa menjalankan keadilan dan menghukum siapa saja yang patut
dihukum ditengah-tengah masyarakat untuk memastikan bahwa Islam telah ditaati secara terus-
menerus. Sistem peradilan ini tidak ada yang bertentangan dengan Islam malah ia berasal dari
aqidah Islam dan membentuk satu kesatuan yang padu dalam pandangan hidup Islam, ditambah
dengan Sistem Islam yang lain seperti Sistem Ekonomi (Iqtisad), dan ritual (ibadah) yang saling
menyempurnakan satu sama lain.
Tujuan Peradilan
1.Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibn Majah meriwayatkan: Buraidah berkata bahwa Rasulullah
SAW bersabda: “Hakim itu ada 3, 2 diantaranya akan masuk api neraka dan satu akan masuk surga.
Seseorang yang mengetahui kebenaran dan menghakiminya dengan kebenaran itu ?dialah yang akan
masuk surga, seseorang yang mengetahui kebenaran namun tidak memutuskan berdasarkan
kebenaran itu, dia akan masuk neraka. Yang lain tidak mengetahui kebenaran dan memutuskan
sesuatu dengan kebodohannya, dan dia akan masuk neraka”.
2.Ahmad dan Abu Daud mengisahkan: Ali ra. Berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Ali,
jika 2 orang datang kepadamu untuk meminta keadilan bagi keduanya, janganlah kamu
memutuskan sesuatu dari orang yang pertama hingga kamu mendengarkan perkataan dari orang
kedua agar kamu tahu bagaimana cara memutuskannya (menghakiminya).”
3.Bukhori, Muslim dan Ahmad meriwayatkan Ummu Salamah berkata: “Dua laki-laki telah
berselisih tentang warisan dan mengdatangi Rasulullah SAW, tanpa membawa bukti. Beliau saw
bersabda: kalian berdua membawa perselisihan kalian kepadaku, sedang aku adalah seseorang yang
seperti kalian dan salah seorang diantara kalian mungkin berbicara lebih fasih, sehingga aku
mungkin menghakimi berdasarkan keinginannya. Dan jika aku menghukumnya dengan sesuatu
yang bukan menjadi miliknya dan aku mengambilnya sebagai hak saudaranya maka ia tidak boleh
mengambilnya karena apapun yang aku berikan padanya akan menjadi serpihan api neraka dalam
perutnya dan dia akan datang dengan menundukkan lehernya dihari pembalasan. Kedua orang itu
menangis dan salah satu dari mereka berkata, aku berikan bagianku pada saudaraku. Rasulullah
SAW bersabda: “Pergilah kalian bersama-sama dan bagilah warisan itu diantara kalian dan dapatkan
hak kalian berdua serta masing-masing dari kalian saling mengatakan, “Semoga Alloh
mengampunimu dan mengikhlaskan apa yang dia ambil agar kalian berdua mengdapat pahala”.
4.Baihaqi, Darqutni dan Thabrani berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang diuji Alloh
dengan membiarkannya menjadi seorang hakim, maka janganlah dia membiarkan satu pihak yang
berselisih itu duduk didekatnya tanpa membawa pihak lainnya untuk duduk didekatnya. Dan dia
harus takut pada Alloh atas persidangannya, pandangannya terhadap keduannya dan keputusannya
pada keduanya. Dia harus berhati-hati agar tidak merendahkan yang satu seolah-olah yang lain lebih
tinggi, dia harus berhati-hati untuk tidak menghardik yang satu dan tidak kepada yang lain dan
diapun harus berhati-hati terhadap keduanya.”
5.Muslim, Abu Daud dan An Nasa’i berkata: Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah SAW mengadili
manusia dengan sumpah dan para saksi.”
6.Imam Mawardi dalam etika Peradilan Vol.1.p.123, “Rasulullah SAW menunjuk hakim dalam
Negara Islam, diantaranya adalah Imam Ali, Mu’adz bi Jabal dan Abu Musa Al Ash’ari”.
7.Muslim mengabarkan Abu Hurairah berkata: “Rasulullah SAW sedang melewati pasar dan beliau
melihat seseorang sedang menjual makanan. Dia meletakkan tangannya diatas sepiring kurma dan
ditemukan kurma-kurmanya basah dibagian bawahnya. Beliau bertanya, apa ini” Dia menjawab,
hujan dari surga Ya Rasululloh. Rasulullah SAW bersabda, “Kamu harus meletakkannya diatas,
barangsiapa mencuri timbangan bukan dari golongan kami”.
Semua hadist diatas secara jelas menyatakan kebenaran Pengadilan dan menjelaskan dari berbagai
sudut pandang, dasar-dasar Sistem Peradilan dalam Negara Islam antara lain:
1.Hadist-hadist tersebut menyatakan bahwa seseorang termotivasi menjadi hakim dikarenakan
pahala terhadap hakim tersebut.
2.Hadist-hadist diatas membuat takut terhadap orang-oarng yang ingin menjadi hakim apabila
mereka tidak mampu.
3.Hadist-hadist diatas menunjukkan kepada kita sumber perselisihan dan sumber Peradilannya
misalnya Rasulullah SAW mengatakan kepada Ali untuk tidak mengadili siapapun hingga ia
mendengarkan pernyataan dari kedua belah pihak. Hal itu menunjukkan bahwa kita harus memiliki
sebuah pengadilan dimana kedua pihak duduk bersama dan bahwa seorang hakim harus
mendengarkan keduanya. Beliau menyatakan bahwa takutlah kepada Alloh pada saat engkau
melihat mereka, berbicara pada mereka dan pada saat engkau menghukum mereka.
6.Mereka (hadist-hadist itu) menyatakan macam-macam hakim, misalnya Qadhi Muhtasid yang
menegakkan keadilan dan kebenaran yang terjadi dipasar.
7.Hadist-hadist diatas juga menyatakan kebenaran cara penunjukkkan para hakim seperti
pernyataan Imam Mawardi, Imam Ali dan Mu’adz bin Jabal.
Tidak ada sistem dewan juri dalam Islam. Nasib seorang tidak diserahkan kepada tindakan dan
prasangka ke-12 orang yang bisa saja keliru karena bukan saksi dalam kasus tersebut dan bahkan
mungkin pelaku kriminal itu sendiri!.Hukumanhukuman dalam Islam hanya bisa dilakukan apabila
perbuatantersebut terbukti 100% secara pasti dan kondisi yang relevan dapatditemukan (misal ada 4
saksi untuk membuktikan perzinahan) jika masih adakeraguan tentang peristiwa-peristiwa tersebut
maka seluruh kasus akan
dibuang.
2. Qodli Muhtasib: bertanggung jawab menyelesaikan perselisihan yang timbul diantara ummat dan
beberapa orang, yang menggangu masyarakat luas, misalnya berteriak dijalanan, mencuri di pasar,
dsb.
3. Qodli Madzaalim: yang mengurusi permasalahan antara masyarakat dengan pejabat negara. Dia
dapat memecat para penguasa atau pegawai pemerintah termasuk khalifah.
Khalifah kedua yaitu Umar Ibnu Al Khattab (Amir kaum muslimin antara tahun 634-644 M) adalah
orang pertama yang membuat penjara dan rumah tahanan di Mekkah. Dibawah sistem peradilan
(Islam), setiap orang, muslim atau non muslim, laki-laki atau perempuan, terdakwa dan orang yang
dituduh memiliki hak menunjuk seorang wakil (proxy). Tidak ada perbedaan antara pengadilan
perdata dengan kriminal seperti yang kita lihat sekarang di negeri-negeri Islam seperti di Pakistan
dimana sebagian hokum Islam dan sebagian hokum kufur keduanya diterapkan. Negara Islam hanya
akan menggunakan sumber-sumber hukum Islam yakni, Al-Qur`an dan As-Sunnah (dan segala
sesuatu yang berasal dari keduanya) sebagai rujukannya. Hukuman-hukuman Islami akan
dilaksanakan tanpa penundaan dan keraguan.
Tidak seorangpun akan di hukum kecuali oleh peraturan pengadilan. Selain itu, sarana (alat-alat)
penyiksaan tidak diperbolehkan.Dibawah sistem Islam, seseorang yang dirugikan dalam suatu
kejahatan mempunyai hak untuk memaafkan terdakwa atau menuntut ganti rugi (misal qishas)
untuk suatu tindak kejahatan. Khusus untuk hukum hudud, merupakan hak Allah.Hukum potong
tangan dalam Islam hanya akan diterapkan
apabila memenuhi 7 persyaratan, yaitu:
1.Ada saksi (yang tidak kontradiksi atau salah dalam kesaksiannya)
2.Nilai barang yang dicuri harus mencapai 0,25 dinar atau senilai 4,25 gr emas.
3.Bukan berupa makanan (jika pencuri itu lapar)
4.Barang yang dicuri tidak berasal dari keluarga pencuri tersebut.
5.Barangnya halal secara alami (misal: bukan alkohol)
6.Dipastikan dicuri dari tempat yang aman (terkunci)
7.Tidak diragukan dari segi barangnya (artinya pencuri tersebut tidak berhak mengambil misalnya
uang dari harta milik umum).
Daftar Pustaka :
http://aswajamuda.com/metode-istinbath-al-ahkam-dalam-nu/
http://www.muslimedianews.com/2014/06/menggali-hukum-islam-istinbath-al-ahkam.html
https://www.academia.edu/17175577/Syariah_Pengertian_dan_Ruang_Lingkupnya
http://www.tongkronganislami.net/2015/11/artikel-islam-perbedaan-dan-ruang-lingkup-fikih-syariah-
hukum-islam.html
http://www.suduthukum.com/2015/06/hubungan-antara-hukum-islam-syariah-dan.html