Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH AGAMA

“HUKUM DALAM ISLAM”

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 4 (EMPAT)

ANGGOTA KELOMPOK:
Wilnando Mariza (1811011005)
Hasbi (1811011011)
Ajuanda Puteri (1811012033)
Elmarisa (1811013043)

DOSEN PENGAMPU:
Drs. Rusyja Rustam, M.Ag

UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2021

1
BAB I
PENDAHULUAN

Jika kita berbicara tentang hukum, yang terlintas dalam pikiran kita adalah
peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia
dalam suatu masyarakat, yang dibuat dan ditegakkan oleh penguasa atau manusia
itu sendiri seperti hukum adat, hukum pidana dan sebagainya.
Hukum islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari
agama islam. Hukum Islam merupakan hukum-hukum Allah yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad SAW baik yang berupa perkataan, perbuatan atau
pengakuan yang terkandung di dalam al-Qur‟an maupun di dalam sunnah Nabi
Muhammad SAW untuk disampaikan kepada manusia. Di dalam agama Islam
seluruh aktivitas manusia diatur berdasarkan syari‟at Allah SWT yang terkandung
di dalam Kitab suci Al-Qur‟an dan sunnah Nabi Muhammad SAW.
Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur‟an, “barangsiapa tidak memutuskan
dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (Q.S.
al-Ma‟idah/5:44). Ayat tersebut mendorong manusia, terutama orang-orang yang
beriman agar menjadikan al-Qur‟an sebagai sumber hukum dalam memutuskan
suatu perkara, sehingga siapa pun yang tidak menjadikannya sebagai sumber
hukum untuk memutuskan perkara, maka manusia dianggap tidak beriman.
Hukum-hukum Allah Swt. yang tercantum di dalam Al-Qur‟an sesungguhnya
dimaksudkan untuk kemaslahatan dan kepentingan hidup manusia itu sendiri.
Allah Swt. sebagai Pencipta manusia dan alam semesta Maha Mengetahui
terhadap apa yang diperlukan agar manusia hidup damai, aman, dan sentosa.
Konsepsi hukum Islam, dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh
Allah. Hukum tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia
lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan,
hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia
lain dalam bermasyarakat, dan hubungan manusia dengan benda serta alam
sekitarnya.
Sumber hukum Islam merupakan suatu rujukan, landasan, atau dasar yang
utama dalam pengambilan hukum Islam. Hal tersebut menjadi pokok ajaran Islam
sehingga segala sesuatu haruslah bersumber atau berpatokan kepadanya. Hal
2
tersebut menjadi pangkal dan tempat kembalinya segala sesuatu. Ia juga menjadi
pusat tempat mengalirnya sesuatu. Oleh karena itu, sebagai sumber yang baik dan
sempurna, hendaklah ia memiliki sifat dinamis, benar, dan mutlak. Dinamis
maksudnya adalah al-Qur‟an dapat berlaku di mana saja, kapan saja, dan kepada
siapa saja. Benar artinya al-Qur‟an mengandung kebenaran yang dibuktikan
dengan fakta dan kejadian yang sebenarnya. Mutlak artinya al-Qur‟an tidak
diragukan lagi kebenarannya serta tidak akan terbantahkan. Adapun yang menjadi
sumber hukum Islam, yaitu al-Qur‟an, hadis, dan ijtihad.

3
BAB II
RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dari


topik berikut adalah:
1. Apa pengertian dari hukum islam?
2. Bagaimana ruang lingkup dan tujuan hukum islam?
3. Apa saja sumber hukum islam?
4. Apa fungsi hukum islam?

4
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pengertian Hukum Islam


Hukum Islam atau syariat islam adalah sistem kaidah-kaidah yang
didasarkan pada wahyu Allah Subhanahu Wa Ta‟ala dan Sunnah Rasulullah
mengenai tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dapat dibebani kewajiban)
yang diakui dan diyakini, yang mengikat bagi semua pemeluknya. Hal ini
mengacu pada apa yang telah dilakukan oleh Rasul untuk melaksanakannya
secara total. Syariat menurut istilah berarti hukum-hukum yang diperintahkan.
Allah Subhanahu wa Ta‟ala untuk hamba-Nya yang dibawa oleh seorang
Nabi, baik yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun yang
berhubungan dengan amaliyah. Syariat Islam menurut bahasa berarti jalan yang
dilalui umat manusia untuk menuju kepada Allah. Keberadaan aturan atau sistem
ketentuan Allah subhanahu wa ta‟ala untuk mengatur hubungan manusia manusia
dengan sesamanya. Aturan tersebut bersumber pada seluruh ajaran Islam,
khususnya Al-Quran dan Hadits.
Kata hukum secara etimologi berasal dari akar kata bahasa Arab, yaitu
hakama-yahkumu yang kemudian bentuk mashdar-nya menjadi hukman. Lafadz
dari bentuk jamak al-ahkâm. al-hukmu adalah bentuk tunggal. Berdasarkan akar
kata hakama tersebut kemudian muncul kata al-hikmah yang memiliki arti
kebijaksanaan. Hal ini dimaksudkan bahwa orang yang memahami hukum
kemudian mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari maka dianggap sebagai
orang yang bijaksana. Arti lain yang muncul dari akar kata tersebut adalah
“kendali atau kekangan kuda”, yakni bahwa keberadaan hukum pada hakikatnya
adalah untuk mengendalikan atau mengekang seseorang dari hal-hal yang dilarang
oleh agama.

3.2 Ruang Lingkup Hukum Islam


Membicarakan syariat dalam arti hukum Islam, maka terjadi pemisahan-
pemisahan bidang hukum sebagai disiplin ilmu hukum. Sesungguhnya hukum
Islam tidak membedakan secara tegas antara wilayah hukum privat dan hukum
publik, seperti yang dipahami dalam ilmu hukum Barat. Hal ini karena dalam

5
hukum privat Islam terdapat segi-segi hukum publik; demikian juga sebaliknya.
Ruang lingkup hukum Islam dalam arti fiqih Islam meliputi: ibadah dan
muamalah.
Ibadah mencakup hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Sedangkan
muamalat dalam pengertian yang sangat luas terkait dengan hubungan antara
manusia dengan sesamanya. Dalam konteks ini, muamalah mencakup beberapa
bidang, di antaranya: (a) munâkahat, (b) wirâtsah, (c) mu‟âmalat dalam arti
khusus, (d) jinâyat atau uqûbat, (e) al-ahkâm as-shulthâniyyah (khilafah), (f) siyâr,
dan (g) mukhâsamat.
Apabila Hukum Islam disistematisasikan seperti dalam tata hukum
Indonesia, maka akan tergambarkan bidang ruang lingkup muamalat dalam arti
luas sebagai berikut:
1. Hukum Perdata, Hukum perdata Islam meliputi:
a. Munâkahât, mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan dan perceraian serta segala akibat hukumnya;
b. Wirâtsat, mengatur segala masalah dengan pewaris, ahli waris,
harta peninggalan, serta pembagian warisan. Hukum warisan Islam
ini disebut juga hokum farâidh;
c. Mu‟âmalah dalam arti yang khusus, mengatur masalah kebendaan
dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam masalah jual
beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan, kontrak, dan
sebagainya.
2. Hukum Publik, Hukum publik Islam meliputi:
a. Jinâyah, yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-
perbuatan yang diancam dengan hukuman, baik dalam jarîmah
hudûd (pidana berat) maupun dalam jarîmah ta‟zîr (pidana ringan).
Yang dimaksud dengan jarîmah adalah tindak pidana. Jarîmah
hudûd adalah perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan
batas hukumnya dalam al-Quran dan as-Sunnah (hudûd jamaknya
hadd, artinya batas). Jarîmah ta‟zîr adalah perbuatan tindak pidana
yang bentuk dan ancaman hukumnya ditentukan oleh penguasa

6
sebagai pelajaran bagi pelakunya (ta‟zîr artinya ajaran atau
pelajaran);
b. Al-Ahkâm as-Shulthâniyyah, membicarakan permasalahan yang
berhubungan dengan kepala negara/ pemerintahan, hak pemerintah
pusat dan daerah, tentang pajak, dan sebagainya;
c. Siyâr, mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan
pemeluk agama lain dan Negara lain;
d. Mukhâsamat, mengatur soal peradilan, kehakiman, dan hukum
acara.

3.3 Sumber Hukum Islam


Definisi sumber menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah asal
sesuatu. Sumber hukum Islam adalah asal tempat pengambilan hukum Islam.
Dalam kepustakaan hukum Islam, sumber hokum Islam sering diartikan dengan
dalil hukum Islam atau pokok hokum Islam atau dasar hukum Islam atau dalil.
Dalam buku Pengantar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, Zarkasji memberikan pengertian
dalil secara lebih sempit sebagaimana dikemukakan oleh para ahli Ushûl al-Fiqh,
yaitu Sesuatu yang daripadanya diperoleh hukum syara‟ yang amali atas dasar
keyakinan belaka. Sedangkan yang didasarkan pada dugaan (zhann), mereka
namakan „amarah‟.
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, di antara dalil-dalil yang disepakati oleh
jumhur ulama sebagai sumber-sumber hukum
Islam adalah:
1. Al-Quran
2. As-Sunnah
3. Al-Ijmâ‟
4. Al-Qiyas.
Penggunaan keempat dalil sebagaimana di atas berdasarkan firman Allah
Subhanahu Wa Ta‟ala:

7
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian,
jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(Al-Qur‟an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(QS. An-Nisa‟ 4: Ayat 59)
1. Sumber Al-Qur‟an
Al-Qur‟an adalah sumber utama hukum Islam karena ia adalah mukjizat
dan sumber kebenaran, sifatnya universal, tidak sektarian, kekal dan di jamin
terpelihara, Allah menjamin kemurnian Al-Qur‟an. Allah Subhanahu Wa Ta‟ala
berfirman:

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur‟an, dan pasti Kami


(pula) yang memeliharanya.” (QS. Al-Hijr 15: Ayat 9)
Allah Subhanahu Wa Ta‟ala berfirman:

“Dan jika kamu meragukan (Al-Qur‟an) yang Kami turunkan kepada


hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya dan
ajaklah penolong-penolongmu selain Allah jika kamu orang-orang yang benar.”
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 23)

2. Sumber As-Sunnah shahihah atau hadits shahih


Menurut bahasa kata as-sunnah berarti jalan atau tuntunan, baik Yang
terpuji atau tercela, sesuai dengan sabda Nabi: Hadits Al „Irbadh bin Sariyah
radhiyallahu „anhu, seolah-olah inilah nasehat terakhir Nabi shallallahu „alaihi wa
sallam. Beliau shallallahu „alaihi wa sallam menasehati para sahabat radhiyallahu
„anhum,

“Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafa‟ur rosyidin


yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah
tersebut dengan gigi geraham kalian.” HR. Abu Daud no. 4607, At Tirmidzi no.
2676, Ibnu Majah no. 42. At Tirmidizi mengatakan hadits ini hasan shohih.
8
Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targhib wa At
Tarhib no. 37.

3. Sumber Ijma'
Ijmak atau Ijma‟ (bahasa Arab: ) adalah kesepakatan para ulama
dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur‟an dan
Hadis dalam suatu perkara yang terjadi.

4. Sumber Qiyas
Secara etimologi, qiyas berarti mengira-ngirakan atau menyamakan.
Meng-qiyas-kan, berarti mengira-ngirakan atau menyamakan sesuatu terhadap
sesuatu yang lain. Sedangkan secara terminologis, menurut ulama ushul fiqh,
qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu
yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.Dalam redaksi
yang lain, qiyas adalah menyamakan suatu hukum dari peristiwa yang tidak
memiliki nash hukum dengan peristiwa yang sudah memiliki nash hukum, sebab
adanya persamaan dalam illat hukumnya.
Qiyas berarti mempertemukan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya
dengan hal lain yang ada nash hukumnya karena ada persamaan illat hukum.
Dengan demikian, qiyas merupakan penerapan hukum analogis terhadap hukum
sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang
sama pula.

3.4 Tujuan Hukum Islam


Pembentukan hukum Islam memiliki tujuan untuk merealisasikan
kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan pokoknya (dharûriyyah),
kebutuhan sekunder (hâjiyyah) serta kebutuhan pelengkap (tahsîniyyat). Secara
umum, kebutuhan dharûriyyah disebut primer, kebutuhan hâjiyyah disebut
sekunder, dan kebutuhan tahsîniyyah disebut tersier. Mempelajari hukum Islam
harus mengetahui terlebih dahulu maksud dan tujuan pembuat hukum dan
keadaan atau kejadian yang memerlukan turunnya wahyu suatu ayat al-Quran dan
Hadits Nabi saw. Para ahli hukum Islam mengklasifikasikan tujuan-tujuan yang
luas dari syariat atau hukum Islam sebagai berikut:
1. Dharûriyyah
9
Dalam kehidupan manusia, kebutuhan ini merupakan hal penting sehingga
tidak dapat diabaikan. Apabila kebutuhan-kebutuhan ini tidak terjamin, akan
terjadi kekacauan dan ketidaktertiban di manamana. Kelima kebutuhan hidup
yang primer ini (dharûriyyah) dalam kepustakaan hukum Islam disebut dengan
istilah al-maqâshid alkhamsah atau disebut juga al-kulliyyat al-khoms (lima hal
inti/ pokok), yaitu: hifdz ad-din (memelihara agama), hifdz an-nafs (memelihara
jiwa), hifdz al-„aql (memelihara akal), hifdz an-nasl (memelihara keturunan), dan
hifdz al-mâl (memelihara hak milik/ harta). (Rohidin, 2016).
A. Hifdz ad-Dîn (Memelihara Agama)
Keberadaan Agama merupakan fitrah bagi setiap manusia, hukum positif
bahkan memberikan perlindungan sebagai bentuk hak asasi manusia yang harus
mendapat perlindungan dari ancaman atau gangguan dari pihak manapun. Dalam
keberagamaan, syariat Islam selalu mengembangkan sikap tasamuh (toleransi)
terhadap pemeluk agama lain, sepanjang tidak mengganggu satu sama lain,
sebagaimana firman Allah:

Dalam rangka memelihara dan mempertahankan kehidupan beragama


serta membentengi jiwa dengan nilai-nilai keagamaan itulah, maka berbagai
macam ibadah disyariatkan. Ibadah-ibadah itu dimaksudkan untuk membersihkan
jiwa dan menumbuhkan semangat keberagamaan. (Rohidin, 2016).
B. Hifdz an-Nafs (memelihara jiwa)
Ialah memelihara hak untuk hidup secara terhormat dan memelihara jiwa
agar terhindar dari tindakan pengganiayaan, berupa pembunuhan, pemotongan
anggota badan maupun tindakkan melukai. Termasuk juga memelihara kemuliaan
atau harga diri manusia dengan jalan mencegah perbuatan qadzaf (menuduh zina),
10
mencaci maki serta perbuatan-perbuatan serupa. Atau, berupa pembatasan gerak
langkah manusia tanpa memberi kebebasan untuk berbuat baik, karenanya Islam
melindungi kebebasan berkarya (berprofesi), kebebasan berfikir dan berpendapat,
kebebasan bertempat tinggal serta kebebasan-kebebasan lain yang bertujuan
menegakan pilar pilar kehidupan manusia yang terhormat serta bebas bergerak
ditengah dinamika sosial yang utama sepanjang tidak merugikan orang lain.
(Zahrah, 2003).
C. Hifdz al-Mâl (memelihara hak milik/harta)
Ialah terjaminnya akal fikiran dari kerusakan yang menyebabkan orang
yang bersangkutan tak berguna di tengah masyarakat, menjadi sumber kejahatan,
atau bahkan menjadi sampah masyarakat. Berbagai macam transaksi dan
perjanjian (mu‟âmalah) dalam perdagangan (tijârah), barter (mubâdalah), bagi
hasil (mudhârabah), dan sebagainya dianjurkan dalam Islam guna melindungi
harta seorang muslim agar dapat melangsungkan kehidupan secara sejahtera.
Islam sangat melarang keras tindakan pencurian, korupsi, memakan harta secara
bathil, penipuan, dan perampokan karena tindakan ini akan menimbulkan pihak
lain yang tertindas. Surat al-Baqarah ayat 188 berbunyi:

Syariat telah menetapkan pemenuhan, kemajuan, dan perlindungan tiap


kebutuhan serta menegaskan ketentuanketentuan yang berkaitan dengannya
sebagai ketentuan yang esensial. Sehingga untuk memelihara agama kita dilarang
murtad; untuk memelihara akal kita dilarang mengonsumsi minuman yang
memabukkan; untuk menjaga jiwa kita dilarang membunuh; untuk memelihara
keluarga dan keturunan kita dilarang berzina; untuk memelihara harta kita
dilarang mencuri dan merampok. (Rohidin, 2016).

11
D. Hifdz an-Nasl (memelihara keturunan)
Islam dalam mewujudkan perlindungan terhadap keturunan manusia
disyariatkan perkawinan agar mempunyai keturunan yang saleh dan jelas nasab
(silsilah orangtuanya). Dalam menjaga keturunan ini, Islam melarang perbuatan
zina dan menuduh orang lain berbuat zina tanpa bukti baik lakilaki maupun
perempuan. Perbuatan zina dianggap sebagai perbuatan keji karena dapat merusak
keturunan seseorang. Bahkan terdapat sanksi yang sangat berat berupa dera
kepada pelaku zina agar tidak mencoba untuk mendekati zina karena sudah jelas
terdapat larangannya dalam al-Quran.

(Rohidin, 2016).
E. Hifdz Al-„Aql (memelihara akal)
Ialah terjaminnya akal fikiran dari kerusakan yang menyebabkan orang
yang bersangkutan tak berguna di tengah masyarakat, menjadi sumber kejahatan,
atau bahkan menjadi sampah masyarakat. Upaya pencegahan yang bersifat
prefentif yang dilakukan syariat Islam sesungguhnya ditujukan untuk
meningkatkan kemampuan akal pikiran dan menjaganya dari berbagai hal yang
membahayakannya. Diharamkannya meminum arak dan segala sesuatu yang
memabukkan/menghilangkan daya ingatan adalah dimaksudkan untuk menjamin
keselamatan akal. (Zahrah, 2003).

2. Kebutuhan hajjiyat (Sekunder)


Ialah segala sesuatu yang oleh hukum syara‟ tidak dimaksudkan untuk
memelihara lima hal pokok tadi, akan tetapi dimaksudkan untuk menghilangkan
kesulitan, kesusahan, kesempitan dan ihtiyath (berhati-hati) terhadap lima hal
pokok tersebut. Dalam lapangan ibadah Islam, mensyariatkan beberapa hukum
rukhshah (keringganan) bilamana kenyataan mendapatkan kesulitan dalam
menjalankan perintah-perintah taklif. Misalnya, Islam memperbolehkan tidak

12
berpuasa dalam perjalankan dalam jarak tertentu dengan syarat diganti pada hari
lain begitu pula untuk orang yang sedang sakit. Kebolehan meng-qasar shalat
adalah juga dalam rangka memenuhi kebutuhan hajiyat ini.
Didalam lapangan muamalat, ialah diperbolehkannya banyak bentuk
transaksi yang dibutuhkan manusia, seperti akad muzara‟ah, salam, murabahab,
dan mudharabah. Dilapangan ‟uqubah (sanksi hukum), islam mensyariatkan
hukuman diyat (denda) bagi pembunuhan tidak disengaja. Perlu ditegaskan bahwa
termasuk dalam katagori hajjiyat adalah memelihara kebebasan individu dan
kebebasan beragama. sebab manusia membutuhkan kedua kebebasan ini. Akan
tetapi terkadang manusia menghadapi kesulitan. Termasuk hajjiyah dalam
keturunan, ialah diharamkan berpelukan. Sedang hajjiyat dalam hal harta, seperti
diharamkan ghasab dan merampas, keduanya tidak menyebabkan lenyapnya harta,
karena masih mungkin untuk diambil kembali, sebab keduanya dilakukan secara
terang-terangan. Sedangkan hajjiyat yang berkaitan dengan akal seperti
diharamkannya meminum khamar walau hanya sedikit. (Zahrah, 2003).

3. Kebutuhan Tahsiniyat (Tersier) atau Kamaliyat (Pelengkap)


Ialah tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam
eksistensi salah satu dari kelima pokok diatas serta tidak pula menimbulkan
kesulitan. Yang dimaksud dengan maslahat jenis ini ialah sifatnya untuk
memelihara kebagusan dan kebaikan budi pekerti serta keindahan saja. Sekiranya
kemaslahatan tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan tidaklah menimbulkan
kesulitan dan kegoncangan serta rusaknya tatanan kehidupan manusia. Dengan
kata lain kemaslahatan ini hanya mengacu pada keindahan saja. Sungguhpun
demikian kemaslahatan seperti ini dibutuhkan oleh manusia. Dalam lapangan
ibadah disyariatkan hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan tahsiniyat
seperti islam menganjurkan berhias ketika hendak kemesjid, dan menganjurkan
banyak ibadah sunnah. Dalam lapangan muamalat Islam melarang boros, kikir,
menaikan harga, monopoli dan lain-lain. Dalam lapangan ‟uqubah islam
memgharamkan membunuh anak-anak dan wanita dalam peperangan, serta
melarang melakukan muslah (menyiksa mayit dalam peperangan)
Di antara contoh tahsiniyat yang berkaitan dengan memelihara harta
adalah diharamkan menipu atau memalsukan barang. Perbuatan ini tidak
13
menyentuh secara langsung harta itu sendiri (eksistensinya), tetapi menyangkut
kesempurnaannya. Sebab hal ini berlawanan kepentingan dengan keingginan
membelanjakan harta secara terang dan jelas, serta keinginan memperoleh
gambaran yang tepat tentang untung rugi. Jelaslah kiranya hal ini tidak membuat
cacat terhadap harta pokok (ashul mal), akan tetapi berbenturan dengan
kepentingan orang lain yang membelanjakan hartanya.
Contoh tahsiniyat yang berkenaan denagan memelihara keturunan adalah
diharamkan seorang wanita keluar rumah dengan menggenakan perhiasan
Larangan wanita memakai perhiasan di luar rumah ini termasuk kategori tahsinat,
karena memelihara kesempurnaan ashl nasl (pokok keturunan). Selain itu larangan
tersebut sebagai wujud dari kehormatan, kemuliaan, dan dapat menggangkat
harkat wanita yang pada dewasa ini diletakkan pada tempat yang rendah.
Tahsiniyat dalam kaitan dengan memelihara agama diantaranya adalah larangan
terhadap dakwah yang menyimpang, yang tidak menyentuh pokok keimanan
(ashlul itiqad), dimana semakin genjarnya gerakan dakwah semacam ini malah
menimbulkan keraguan terhadap ajaran islam. Sedangkan tahsiniyat yang
berkaitan dengan memelihara akal, contohnya seperti melarang kafir dzimmy
meminum dan menjual khamar ditengah masyarakat muslim, walaupun minuman
keras tersbut dijual khusus untuk kalangan kafir dzimmi sendiri. (Zahrah, 2003).

3.5 Fungsi Hukum Islam


1. Fungsi ibadah
Fungsi utama hukum Islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT.
Hukum Islam adalah ajaran Allah yang harus dipatuhi umat manusia, dan
kepatuhannya merupakan ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi
keimanan seseorang (Syarifudin, 2011).
2. Fungsi Amar Ma‟ruf Nahi Munkar
Hukum Islam sebagai hukum yang ditunjukkan untuk mengatur hidup dan
kehidupan umat manusia, jelas dalam praktik akan selalu bersentuhan dengan
masyarakat. Sebagai contoh, proses pengharaman riba dan khamar, jelas
menunjukkan adanya keterkaitan penetapan hukum (Allah) dengan subyek dan
obyek hukum (perbuatan mukallaf). Penetap hukum tidak pernah mengubah atau

14
memberikan toleransi dalam hal proses pengharamannya. Riba atau khamar tidak
diharamkan sekaligus, tetapi secara bertahap (Syarifudin, 2011).
3. Fungsi Zawajir
Fungsi ini terlihat dalam pengharaman membunuh dan berzina, yang
disertai dengan ancaman hukum atau sanksi hukum.Qishash, Diyat, ditetapkan
untuk tindak pidana terhadap jiwa/ badan, hudud untuk tindak pidana tertentu
(pencurian, perzinaan, qadhaf, hirabah, dan riddah), dan ta‟zir untuk tindak pidana
selain kedua macam tindak pidana tersebut. Adanya sanksi hukum mencerminkan
fungsi hukum Islam sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat
dari segala bentuk ancaman serta perbuatan yang membahayakan. Fungsi hukum
Islam ini dapat dinamakan dengan Zawajir (Syarifudin, 2011).
4. Fungsi Tanzhim wa Islah al-Ummah
Fungsi hukum Islam selanjutnya adalah sebagai sarana untuk mengatur
sebaik mungkin dan memperlancar proses interaksi sosial, sehingga terwujudlah
masyarakat yang harmonis, aman, dan sejahtera. Dalam hal-hal tertentu, hukum
Islam menetapkan aturan yang cukup rinci dan mendetail sebagaimana terlihat
dalam hukum yang berkenaan dengan masalah yang lain, yakni masalah
muamalah, yang pada umumnya hukum Islam dalam masalah ini hanya
menetapkan aturan pokok dan nilai-nilai dasarnya (Syarifudin, 2011).

15
BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pembahasan yang telah dipaparkan dapat disimpulkan


hukum dalam islam dimuat dalam 4 dasar, yaitu:
1. Al-Quran
2. As-Sunnah
3. Al-Ijmâ‟
4. Al-Qiyas.
Selain itu, hukum dalam islam juga berfungsi untuk ibadah, Amar Ma‟ruf Nahi
Munkar, zawajir, dan Tanzhim wa Islah al-Ummah, serta dibagi dalam kebutuhan
primer, sekunder, tersier begitupun pelengkap.

16
DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah. 2003. Ushul Fiqh. Jakarta : Pustaka Firdaus.


Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh Jilid-2. Jakarta: Panamedia Group.
Rohidin. 2016. Pengantar Hukum Islam, Lampung : Lintang Rasi Aksara Book.
Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara.
Eva Iryani. 2017. “Hukum Islam, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia”. Jurnal
Ilmiah Universitas Batanghari Jambi. Vol. 17, No. 2.

17

Anda mungkin juga menyukai