Anda di halaman 1dari 15

HUKUM ISLAM DAN KONTRIBUSI UMAT ISLAM INDONESIA

Riska Sari

A. PENDAHULUAN
Hukum Islam adalah rangkaian kata dari “hukum” dan “Islam”. “Hukum
Islam” sebagai suatu rangkaian kata telah menjadi bahasa Indonesia yang hidup
dan terpakai, namun bukan merupakan kata yang terpakai dalam bahasa Arab dan
tidak ditemukan dalam al-Qur’an; juga tidak ditemukan dalam literatur bahasa
Arab. Karena itu, secara definitif arti kata itu tidak ditemukan. Dalam bahasa Ingris
kata hukum Islam disebut Islamic law. Jika definisi hukum dihubungkan dengan
Islam, maka definisi hukum Islam secara sempit adalah seperangkat aturan
berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf
yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua orang yang beragama Islam.
Dengan demikian, hukum Islam dapat berwujud fiqh atau syari’ah.
Hukum Islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke
Indonesia, yang menurut beberapa kalangan telah terjadi sejak abad VII atau VIII
Promosi. Sebelum bagian hukum Islam, masyarakat Indonesia berpegang teguh
pada hukum baku yang memiliki kerangka berbeda dan sifatnya sangat beragam.
Hal ini dikarenakan pengaruh agama Hindu dan Budha diyakini sangat luar biasa
terhadap kehidupan masyarakat sekitar saat itu.
Mengingat dampak yang luar biasa besar bagi kehidupan Indonesia adalah
pengaruh Islam yang masih berkembang, selain itu sebagian besar penduduk
Indonesia memeluk agama Islam, maka sudah sewajarnya hukum Islam secara
konsisten menaungi hukum nasional di Indonesia.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Hukum Islam
Al-Quran dan literatur hukum Islam sama sekali tidak menyebutkan kata
hukum Islam sebagai salah satu istilah. Yang ada di dalam al-Quran adalah kata
syari’ah, fiqh, hukum Allah, dan yang seakar dengannya. Istilah hukum Islam
merupakan terjemahan dari islamic law dalam literatur Barat. Istilah ini
kemudian menjadi populer. Untuk lebih memberikan kejelasan tentang makna
hukum Islam maka perlu diketahui lebih dulu arti masing-masing kata.
2. Ciri-Ciri Hukum Islam
Terdapat beberapa ciri-ciri hukum islam yaitu :
a. Merupakan bagian dan bersumber dari agama Islam.
b. Mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan dari iman,
akidah, kesusilaan atau akhlak Islam.
c. Mempunyai dua istilah kunci yakni: syariat dan fiqih. Syariat terdiri dari
wahyu Allah SWT dan Sunah Nabi Muhammad SAW, sedang fiqih
adalah pemahaman dan hasil pemahaman manusia tentang syariat.
d. Terdiri dari dua bidang yakni: ibadah dan muamalah dalam arti yang
luas. Ibadah bersifat tertutup karena telah sempurna dan muamalah
dalam arti khusus dan luas bersifat terbuka untuk dikembangkan oleh
manusia yang memenuhi syariat dari masa ke masa.
e. Struktur berlapis, terdiri dari nass atau teks al-Qur’an, as-Sunah nabi
Muhammad SAW, hasil ijtihad manusia yang memenuhi syarat tentang
wahyu dan sunnah, pelaksanaanya dalam praktik baik berupa keputusan
hakim, maupun berupa amalan-amalan umat islam dalam masyarakat.
f. Mendahulukan kewajiban daripada hak, amal dari pahala.
g. Dapat dibagi menjadi dua yaitu: (a) hukum taklifi atau hukum taklif
yakni al-ahkam al-khamsah yang terdiri dari lima kaidah, lima jenis
hokum, lima kategori hokum, lima penggolongan hukum yakni jaiz,
sunah, makruh, wajib dan haram, dan (b) hukum wadh’I yang
mengandung sebab, syarat, halangan terjadi atau terwujudnya hubungan
hukum.

3. Ruang Lingkup Hukum Islam


Membahas syariat dalam perasaan hukum Islam, terdapat pembagian-
pembagian dalam bidang hukum sebagai suatu disiplin ilmu yang sah.
Sejujurnya, hukum Islam tidak salah lagi mengakui ruang hukum privat dan
hukum publik, seperti yang dirasakan dalam hukum Barat. Hal ini dengan
alasan bahwa dalam hukum privat Islam terdapat bagian-bagian dari hukum
publik; sebaliknya. Luasnya hukum Islam dalam perasaan syariat Islam
meliputi: cinta dan muamalah.
Ibadah mencangkup hubungan antara manusia dan Tuhannya. Sedangkan
muamalat dalam arti yang sangat luas diidentikkan dengan hubungan antara
manusia dengan sesamanya. Dalam keadaan yang unik ini, muamalah
mencakup beberapa bidang, antara lain: (a) munakahat, (b) wiratsah, (c)
mu'amalat dalam arti khusus, (d) jinayat atau uqubat, (e) al-ahkam as-
shulthaniyyah (khilafah), (f) siyar, dan (g) mukhasamat.
2
Apabila Hukum Islam disistematisasikan seperti dalam tata hukum
Indonesia, maka akan tergambarkan bidang ruang lingkup muamalat dalam arti
luas sebagai berikut:
a. Hukum Perdata
Hukum perdata Islam meliputi:
1) Munakahat, mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan dan perceraian serta segala akibat hukumnya;
2) Wiratsat, mengatur segala masalah dengan pewaris, ahli waris, harta
peninggalan, serta pembagian warisan. Hukum warisan Islam ini
disebut juga hukum faraidh;
3) Mu’amalah dalam arti yang khusus, mengatur masalah kebendaan dan
hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam masalah jual beli,
sewa-menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan, kontrak, dan
sebagainya.

b. Hukum Publik
Hukum Publik Islam mencakup:
1) Jinayah, yang memuat pilihan-pilihan terhadap kegiatan yang
dikompromikan dengan disiplin, baik dalam jarimah hudud (pelanggaran
berat) maupun dalam jarimah ta'zir (hukuman ringan).
2) Al-Ahkam as-Shulthaniyyah, memeriksa hal-hal yang berkaitan dengan
kepala negara/pemerintahan, keunggulan otoritatif yang bersifat fokal
dan alami, sejauh dakwaan, dan sebagainya;
3) Siyar, mengkoordinasikan masalah perang dan keserasian, hubungan
dengan individu-individu dari berbagai agama dan berbagai negara;
4) Mukhasamat, mengkoordinasikan usaha yang sah, hukum, dan hukum
acara.
Dalam hukum Islam, hal ini dikenal sebagai kemungkinan kapasitas
legitimasi, yang pada umumnya disinggung sebagai Ahliyyah. Kemampuan
ini berkaitan dengan apakah seorang individu dapat memainkan
kemampuannya sebagai subjek yang sah secara optimal. Ada dua
penggambaran Ahliyyah, yaitu Ahliyyah al-ada' dan Ahliyyah al-Wujub.
Yang pertama terkait dengan kemampuan tunggal untuk melakukan latihan
otentik. Sedangkan yang kedua terkait dengan kemampuan orang untuk
memperoleh keistimewaan yang luar biasa, meskipun mereka belum
memiliki pilihan untuk memenuhi tanggung jawabnya, misalnya ahlinya al-
wujub dalam mewariskan kesempatan kepada anak.

3
Subjek hukum dalam hukum Islam tidak setua subjek hukum
tertentu di Indonesia. Dalam hukum Indonesia yang jelas, yang dimaksud
dengan subjek hukum adalah sebagian besar individu yang menurut hukum
dapat menjadi mitra (dapat memiliki hak istimewa dan tanggung jawab
yang luar biasa). Dalam kaitannya dengan kata ilmu hukum, subjek hukum
juga disinggung sebagai “orang atau kaki tangan kesempatan dan tanggung
jawab”. Seperti dalam subjek hukum memiliki kemampuan untuk berjalan
sebagai tidak menetap selamanya dan disarankan oleh hukum. Sehingga
dalam ilmu kehalalan yang dikenal sebagai mata pelajaran halal adalah
manusia dan zat halal.

4. Tujuan Hukum Islam

Landasan hukum Islam memiliki tujuan untuk mengakui keuntungan


manusia dengan memastikan kebutuhan dasar (dharuriyyah), kebutuhan
tambahan (hajiyyah) dan kebutuhan integral (tahsiniyyat). Dalam percakapan
sehari-hari, kebutuhan dharuriyyah disebut esensial, kebutuhan hajiyyah
disebut pelengkap, dan kebutuhan tahsiniyyah disebut tersier.
Berkonsentrasi pada hukum Islam harus mengetahui terlebih dahulu
tujuan dan alasan pembuat undang-undang dan kondisi atau kesempatan yang
membutuhkan pengungkapan bait Al-Qur'an dan Hadis Nabi. Penasihat hukum
Islam mencirikan target luas syariah atau hukum Islam sebagai berikut:
a. Dharuriyyah
Dalam keberadaan manusia, kebutuhan ini sangat penting, sampai-
sampai tidak bisa diabaikan. Jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, akan
terjadi kekacauan dan kebingungan di mana-mana. Lima kebutuhan pokok
hidup (dharuriyyah) ini dalam tulisan syariat Islam disinggung sebagai al-
maqashid alkhamsah atau disebut juga al-kulliyyat al-khoms (lima
perhatian utama), lebih spesifiknya: hifdz promosi clamor (menjaga agama)
, hifdz an-nafs (menjaga semangat), hifdz al-'aql (menjaga akal), hifdz an-
nasl (menjaga anak cucu), dan hifdz al-mal (menjaga kebebasan properti).
b. Tahsiniyyat
Tujuan pemberlakuan Islam berikut ini adalah untuk membuat
berbagai penyempurnaan, khususnya untuk membuat hal-hal yang dapat
meningkatkan aktivitas publik dan membuat orang siap untuk
meningkatkan. Kebutuhan ini disebut tersier atau tahsiniyyat. Ketiadaan
kemajuan ini tidak membawa kekacauan sebagai kekurangan kebutuhan

4
hidup. Meskipun demikian, peningkatan harus dilakukan sehingga
peraturan tersebut selalu berkesinambungan.

5. Sumber Hukum Islam


a. Al-Qur’an
Secara etimologis, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang
berarti “membaca” atau “sesuatu yang dibaca berulang-ulang”. Kata al-
Qur'an merupakan struktur benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang
artinya membaca.
Al-Qur'an adalah Firman Allah, diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW. penutupan para Nabi dan Rasul, melalui perantaraan
Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian
disampaikan kepada kita secara mutawatir dan membaca serta
berkonsentrasi pada mereka merupakan ibadah.
Dengan definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai Muslim,
firman Allah yang diturunkan kepada Nabi selain Nabi Muhammad
SAW, tidak dinamakan Al-Qur’an seperti Kitab Taurat yang diturunkan
kepada umat Nabi Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan kepada
umat Nabi Isa AS. Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang membacanya tidak dianggap sebagai
ibadah, seperti Hadits Qudsi, tidak termasuk al-Qur’an.
Al-Qur’an merupakan sumber filsafat hukum Islam yang abadi
dan asli, dan merupakan sumber serta rujukan yang pertama bagi
syari’at Islam, karena di dalamnya terdapat kaidah-kaidah yang bersifat
global beserta rinciannya.
Al-Qur’an sebagai sumber pokok bagi semua hukum Islam telah
menjelaskan dasar-dasar hukum, seperti memerintahkan kepada
manusia agar memenuhi janji (perikatan) dan menegaskan halalnya jual
beli beserta haramnya riba.
Kita diperintahkan oleh al-Qur’an supaya memperhatikan
keadaan-keadaan masyarakat umat manusia sebelum kita, untuk
mengetahui hukum-hukum yang sudah menegakkan masyarakat itu, dan
hukum-hukum apa pula yang sudah merobohkannya. Hukum-hukum
yang baik kita pakai dan yang tidak baik kita buang.
Banyak bagian yang memperhatikan berbagai macam kebutuhan
keberadaan manusia, baik yang esensial (kebutuhan dasar) maupun
pelengkap. Misalnya, kebutuhan pangan, yang ditunjukkan dengan
mengacu pada pengaturan makanan Allah sebagai hasil alam, hewan
5
peliharaan, ikan laut, susu, pakaian dan kebutuhan penginapan. Ini
adalah kebutuhan manusia berupa sandang, pangan dan papan.
Al-Qur'an tidak hanya mengatur hubungan antara manusia
dengan sesamanya, tetapi juga mengarahkan hubungan antara
pembuatnya. Al-Qur'an juga berarti untuk membuat keselarasan antara
hubungan yang mendalam dan kehidupan material. Terlebih lagi,
menginstruksikan individu untuk menempatkan saham di Hari
Kebangkitan, Hari Penghakiman dan hadiah atau disiplin.
Jadi Al-Qur'an tidak hanya wawasan tentang pentingnya
membangun dan menjaga hubungan yang nyaman dengan Tuhan, tetapi
juga menggambarkan segala sesuatu yang diperlukan untuk memenuhi
aktivitas publik secara keseluruhan. Al-Qur'an muncul sebagai catatan
yang dari awal sampai akhir mencoba menggarisbawahi setiap tekanan
etis yang penting bagi aktivitas manusia yang inovatif. Titik fokus
pertimbangan Al-Qur'an adalah manusia dan perbaikannya. Oleh karena
itu, sangat penting bagi seorang individu untuk bekerja di dalam sistem
tekanan khusus yang telah Tuhan buat di dalam dirinya.
b. Al-Hadits/as-Sunnah
As-Sunnah atau sering disebut juga al-Hadits mempunyai arti
yang sama, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW. baik berupa ucapan, perbuatan maupun takrirnya.
Kalaupun ada perbedaan sangat tipis sekali, as-Sunnah yaitu segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. saja, sedang
Al-Hadits disandarkan bukan saja kepada Nabi Muhammad SAW. akan
tetapi kepada para sahabat Nabi. As-Sunnah merupakan sumber hukum
yang kedua setelah al-Qur’an, dasar pokok as-Sunnah sebagai sumber
hukum.
Secara terminologi, para ahli hadis mengartikan sunnah/hadits
sebagai “Segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad sebagai
qaul (wacana), fi'il (perbuatan), taqrir, watak, dan kebiasaan atau
perjuangannya, baik sebelum maupun sesudah diangkatnya menjadi
Rasul.
c. Ijtihad
Ijtihad secara bahasa berasal dari kata al-jahd dan al-juhd yang
mengandung pengertian kapasitas, potensi, dan batas. Dalam Lisan
al-'Arab dinyatakan bahwa al-juhd berarti mengerahkan segala
kemampuan dan dorongan dalam mencapai sesuatu. Wazn ifti'al
menunjukkan makna muballaghah (salah mengartikan) dari akar kata.
6
Untuk situasi ini ijtihad mengandung arti lebih mubalaghah
(menerapkan kapasitas) daripada arti kata jahada (berkompeten).
Mengingat pengaturan ini, ijtihad sebagaimana ditunjukkan oleh bahasa
berarti menginvestasikan semua jumlah energi dan memaksa semua
kapasitas untuk muncul pada satu hal dari hal yang berbeda, yang
masing-masing mengandung hasil kesulitan dan protes (masyaqqah).
Abdul Wahhab Khallaf sebagaimana dikutip oleh Zarkasyi dalam
bukunya Penantar Ilmu Fiqh, Ushul Fiqh, menjelaskan bahwa
pentingnya ijtihad dari perspektif yang luas meliputi:
1) Pencurahan segala kemampuan untuk memperoleh hukum syara'
yang diinginkan oleh teks dzanniy dalalah-nya.
2) Pencurahan segala kapasitas untuk mendapatkan hukum 'amaliy
syara' dengan mendirikan qa'idah syar'iyyah kulliyyah.
3) Pencurahan segala daya untuk mendapatkan hukum 'amaliy syara'
atas persoalan-persoalan yang tidak sah ditunjukkan oleh sebuah
nash, dengan memanfaatkan makna-makna yang diizinkan oleh
syara' untuk digunakan sehubungan dengan persoalan tersebut untuk
memutuskan hukum. Inilah yang disebut dengan ijtihad bir-ra'yi.
Seorang mujtahid yang perlu melakukan ijtihad harus
memenuhi beberapa syarat, di mana para peneliti berbeda-beda
karena mereka akan melihatnya dalam menentukan jumlah
kebutuhan. Secara garis besar adalah sebagai berikut:
1) Mengetahui bahasa Arab dengan baik dari perspektif yang berbeda,
untuk mendominasi tindakan kata (uslub) dan rasa bahasa (dzawq).
2) Mengetahui agungnya substansi Al-Qur'an, khususnya bait-bait
yang diidentikkan dengan isu 'amaliy.
3) Mengetahui secara mengagumkan sunnah Nabi yang diidentikkan
dengan hukum.
4) Mengetahui persoalan-persoalan halal yang telah menjadi
kesepakatan para peneliti terdahulu.
5) Mengetahui ushul fiqh.
6) Mengetahui prinsip-prinsip fiqih.
7) Mengetahui pentingnya syara'
8) Mengetahui keistimewaan wawasan syariat'
9) Mujtahid berakal, sah, dan berakhlak mulia.
10) Mujtahid berniat suci dan benar.

6. Fungsi dan Tujuan Hukum Islam dalam Masyarakat


7
Suatu bangsa, di mana pun dan di titik mana pun ia berada, mutlak
memerlukan standar-standar yang sah yang mengatur, membatasi, dan
menjamin kebebasan-kebebasan dasar penduduknya dan untuk menjamin
kemajuan keseimbangan dalam hubungan antara individu-individu daerah
setempat yang diselenggarakan atas kehendaknya sendiri. dan keyakinan setiap
penduduk itu sendiri. Bahkan kemajuan dan keterpurukan suatu bangsa dapat
dilihat dari sejauh mana hukum-hukum yang berkuasa di negara itu dijunjung
tinggi dan ditaati oleh penduduknya. Di antara hukum yang tercipta di planet
ini adalah hukum yang bergantung pada standar yang ketat. Semua hal
dipertimbangkan, standar yang ketat secara konsisten mempengaruhi hukum di
suatu negara. Sehingga Ibn Taimiyyah berpendapat bahwa agama sangat erat
kaitannya dengan negara; tanpa kekuasaan negara yang memaksa, agama
dalam bahaya dan tanpa disiplin hukum yang terbuka, negara niscaya akan
berubah menjadi perkumpulan yang angkuh.
Sejujurnya, hukum Islam dalam perasaan fiqh lebih umum digunakan
dalam praktik logis. Bahkan secara keseluruhan di kalangan umat Islam,
hukum Islam telah dikaitkan dengan fiqh yang secara umum dapat disesuaikan
dengan keadaan dan keadaan umat Islam yang sebenarnya, dilihat dari
kapasitas ijtihad mereka.
Secara umum, kapasitas hukum untuk mengontrol masyarakat dan juga
dapat menjadi cara untuk membuat perubahan di arena publik. Oleh karena itu,
hukum tidak dapat dipisahkan dari kehidupan dan kemajuan masyarakat.
Sementara itu, kapasitas dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari implikasi dan
atributnya seperti yang dibicarakan di atas.
Hukum Islam menjaga sisi-sisi kebenaran, kesetaraan, keseimbangan,
kemanusiaan, kewajiban, kebebasan dasar, dan lain-lain yang sangat penting di
masa maju ini, terutama oleh negara-negara yang ingin menjadi negara yang
berpegang teguh pada kerangka mutakhir. . Meskipun demikian, sifat-sifat ini
dapat diringkas dalam tiga kelas, yaitu kebenaran, keadilan, dan kewajiban.
Untuk kehalusan tambahan, akan digambarkan di bawah ini.
a. Kebenaran
Setiap orang, dengan sedikit memperhatikan kebangsaan, ras, agama,
dan sebagainya, pasti akan menghargai dan menyukai kenyataan. Selain itu,
hukum Islam dalam arti fiqh, meskipun berasal dari ijtihad manusia, namun
konsekuensi dari ijtihad tergantung pada qathi pendapat, bahkan para ulama
telah menetapkan langkah-langkah dan kebutuhan khusus bagi orang-orang
yang melakukan ijtihad, jadi tidak hanya siapa pun bisa berijtihad dalam
masalah hukum Islam. Bagi para peneliti kontemporer, termasuk Subhi
8
Mahmasani, Islam memberikan kesempatan untuk berijtihad dan membuat
karya-karya ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkannya.
Dengan Demikian, nilai-nilai realitas yang terkandung dalam Islam
tidak dibangun secara eksklusif pada perspektif besar menurut orang-orang
yang relatif dan mengejutkan penuh dengan desain, namun realitas yang
terkandung dalam Islam adalah kebenaran sejati yang direncanakan untuk
membantu manusia sebagai aturan, bukan untuk tujuan tertentu.
kepentingan atau pertemuan.
Kebenaran dalam hukum Islam, tidak hanya berpusat pada awal dan
aturan hukum Islam itu sendiri, namun selama ini dan pemanfaatan hukum
Islam harus dijaga dengan menjaga standar kebenaran. Tidaklah
mengherankan jika Islam melarang sumpah palsu, fitnah, suap, dan lain-lain
yang akan menodai syariat Islam itu sendiri. Sehingga jika hukum Islam
benar-benar disahkan, ia akan benar-benar ingin menjamin kesejahteraan
dan kemaslahatan keberadaan manusia di mana pun dan kapan pun.
Demikian pula, agar syariat Islam tetap tegak dengan petunjuk
kebenaran, syariat Islam tidak menitikberatkan pada salabiy (halangan
menyelesaikan kerusakan), tetapi menitikberatkan pada ijaby (anjuran
untuk memelihara kebaikan), seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Memang dalam syariat Islam pun ada pedoman taujih wa tasyri' (mengarah
dan membina), sehingga manusia diharapkan untuk konsisten dalam realita
dan tidak menyalahgunakan standar yang telah ditetapkan dalam hukum
Islam.
Dari situ, hukum Islam sangat mendesak untuk diterapkan di negara-
negara yang menggunakan kerangka apapun, termasuk kerangka negara
yang mutakhir, karena secara konsisten sesuai dengan naluri manusia itu
sendiri.
b. Keadilan
Salah satu tujuan dari persyaratan hukum adalah untuk menjamin
keyakinan yang sah di mata publik. Namun, hukum tidak dapat ditegakkan
jika tidak bergantung pada keadilan. Dengan cara ini, kesetaraan adalah
salah satu perhatian utama yang diperlukan dalam keberadaan manusia di
dunia. Dengan asumsi kesetaraan telah ditetapkan, harmoni dan
kesejahteraan yang merupakan idaman setiap orang pasti akan tercapai.
Bahkan Al-Qur'an, antara lain, dalam Surah an-Nahl: 90 pengetahuan
menjadi pemerataan secara langsung diidentikkan dengan upaya untuk lebih
mengembangkan bantuan pemerintah dan bekerja pada cara hidup warga,
terutama individu yang bertahan dan lemah dalam situasi mereka, seperti
9
yatim-piatu, kaum miskin, janda, wanita hamil atau yang baru saja
mengalami perceraian. Selain itu anggota keluarga (dzawi al-qurba) yang
membutuhkan bantuan sebagai lambang pemerataan. Oleh karena itu,
kesetaraan sangat berpengaruh atas kesejahteraan manusia, baik di dunia ini
maupun di akhirat.
Al-Qur'an sifatnya sebagai perintah agama, disamping acuan moral
atau motivasi moral yang sederhana. Pelaksanaannya adalah pemenuhan
komitmen agama, dan selanjutnya akan menjadi pertimbangan dalam
amalan seorang muslim di yaum al-hisab nantinya. Tentu saja, pemerataan
dapat dimanfaatkan sebagai ciri atau syarat dalam melakukan latihan-
latihan yang diidentikkan dengan syariat, misalnya menjadi hakim.
Selain itu, menurut Nurcholish Madjid, menurut perspektif
kosmologis Al-Qur'an, kesetaraan adalah hukum hakiki seluruh alam
semesta. Keadilan adalah permintaan yang tak ternilai, pelanggaran yang
dapat digambarkan secara alegoris sebagai mengganggu atau mengguncang
alam semesta.
Dengan mempertahankan aturan kesetaraan, ini menyiratkan bahwa
kebebasan bersama dapat dipertahankan dan setiap orang akan merasa
bahwa kebebasan dasar mereka tidak dirampas oleh orang lain. Seperti
anggapan tidak bersalah terhadap pelanggar hukum sebelum
dipertanggungjawabkan di pengadilan. Dalam Islam dikenal secara kaidah:
(Pada dasarnya orang dibebaskan dari tanggungan atau tuduhan). Kaidah ini
benar-benar mempertahankan kebenaran dan kebebasan bersama.
c. Tanggung Jawab
Tak satu pun dari mukallaf dapat menghindari tanggung jawab. Ini
diperlukan selama hidup di dunia ini dan akan selesai di alam akhirat.
Dengan cara ini, akan membuat setiap orang untuk berhati-hati dan
melakukan apa saja untuk tidak menyalahgunakan pengaturan yang berbeda
yang telah diatur dalam hukum Islam. Secara keseluruhan, hukum Islam
berusaha menjaga individu agar tidak mengganggu norma, dan Islam tidak
peduli untuk menolak individu.
Ahli hukum tidak mencoba untuk mengabaikan pengaturan yang telah
ditetapkan, karena ia ingat bahwa tidak peduli seberapa kecil tindakan yang
diambil harus diwakili, jika mereka tidak terjebak di planet ini, di alam
semesta. tidak ada yang bisa menjauhinya.
Bertanggung jawab atas segala kegiatan yang telah dilakukan dan
dipertimbangkan dengan matang sebelum bertindak, termasuk di antara

10
pandangan orang-orang zaman sekarang, yang suka bersikap bijaksana dan
berusaha menjauhi bahaya sekecil apapun.

7. Kontribusi Umat Islam dalam Perumusan Hukum Islam di Indonesia


Hukum Islam memiliki prospek dan potensi yang sangat besar dalam
pembangunan hukum nasional. Ada beberapa pertimbangan yang menjadikan
hukum Islam layak menjadi rujukan dalam pembentukan hukum nasional yaitu:
a. Undang-undang yang sudah ada dan berlaku saat ini seperti, UU
Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU
Pengelolaan Zakat, dan UU Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam
serta beberapa undang undang lainnya yang langsung maupun tidak
langsung memuat hukum Islam seperti UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang
perbankan yang mengakui keberadaan Bank Syari'ah dengan prinsip
syari'ahnya., atau UU NO. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang
semakin memperluas kewenangannya, dan UU Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah.
b. Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih kurang 90 persen
beragama Islam akan memberikan pertimbangan yang signifikan dalam
mengakomodasi kepentingannya.
c. Kesadaran umat Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari. Banyak
aktifitas keagamaan masyarakat yang terjadi selama ini merupakan
cerminan kesadaran mereka menjalankan Syari'at atau hukum Islam, seperti
pembagian zakat dan waris.
d. Politik pemerintah atau political will dari pemerintah dalam hal ini sangat
menentukan. Tanpa adanya kemauan politik dari pemerintah maka cukup
berat bagi Hukum Islam untuk menjadi bagian dari tata hukum di
Indonesia.

Bila dilihat dari realitas politik dan perundang-undangan di Indonesia


nampaknya eksistensi hukum Islam semakin patut diperhitungkan seperti
terlihat dalam beberapa peraturan perundangan yang kehadirannya semakin
memperkokoh Hukum Islam:
a. Undang-Undang Perkawinan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan dan
diundangkan di Jakarta Pada tanggal 2 Januari 1974 (Lembaran Negara
Tahun 1974 No. Tambahan Lembaran Negara Nomer 3019).
b. Undang-Undang Peradilan Agama

11
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 1989
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 No. 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3400). Kemudian pada tanggal
20 Maret 2006 disahkan UU Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas
UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agarna. Yang melegakan' dari UU
ini adalah semakin luasnya kewenangan Pengadilan Agama khususnya
kewenangan dalam menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syari'ah.
Sehubungan dengan tambahan kewenangan yang cukup banyak
kepada pengadilan agama sebagaimana pada UU No. 3 tahun 2006 yaitu
mengenai ekonomi syari'ah, sementara hukum Islam mengenai ekonomi
syari'ah masih tersebar di dalam kitab-kitab fiqh dan fatwa Dewan Syari'ah
Nasional, kehadiran Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah (KHES) yang
didasarkan pada PERMA Nomor 2 Tahun 2008, tanggal 10 September 2008
tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah, menjadi pedoman dan
pegangan kuat bagi para Hakim Pengadilan Agama khususnya, agar tidak
terjadi disparitas putusan Hakim, dengan tidak mengabaikan penggalian
hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sebagaimana
maksud Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
c. Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji
Undang-Undang No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah
Haji disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 1999
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 53, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3832), yang digantikan oleh UU
Nomor 13 Tahun 2008. UU pengganti ini memiliki 69 pasal dari
sebelumnya 30 pasal. UU ini mentikberatkan pada adanya pengawasari
dengan dibentuknya Komisi Pengawasan Haji Indonesia (KPHI). Demikian
juga dalam UU ini diiatur secara terperinci tentang Biaya Penyelenggaraan
Ibadah Haji (BPIH). Aturan baru tersebut diharapkan dapat menjadikan
pelaksanaan ibadah haji lebih tertib dan lebih baik.
d. Undang-Undang Pengelolaan Zakat
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggaI 23 September 1999
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 164, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3885).
e. Undang-undang Tentang Perbankan Syari'ah

12
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang
diundangkan pada tanggal 10 November 1998, menandai sejarah baru di
bidang perbankan yang mulai memberlakukan sistem ganda duel system
banking di Indonesia, yaitu sistem perbankan konvensional dengan piranti
bunga, dan sistem perbankan dengan peranti akad-akad
Selain itu, secara sosiologis, kedudukan hukum Islam (hukum fiqh)
itu sendiri di Indonesia, melibatkan kesadaran keagamaan mayoritas
penduduk yang sedikit banyak berkaitan pula dengan masalah kesadaran
hukum. Apalagi, jika norma hukum itu disebandingkan dengan aspek
hukum dari norma agama itu, akan semakin jelas keeratan hubungan antara
keduanya. Keduanya sama-sama menuntut ketaatan dan kepatuhan dari
warga masyarakatnya.
Kontribusi baru dari hukum Islam terhadap hukum nasional adalah
berupa kehadiran Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah melalui PERMA
Nomor 02 Tahun 2008. Pasal 1 Perma tersebut menyatakan bahwa Kitab ini
menjadi pedoman prinsip syari'ah bagi para Hakim dengan tidak
mengurangi tanggung jawab Hakim untuk menggali dan menemukan
hukum untuk menjamin putusan yang adil dan benar.
Selain karena alasan sosiologis dan alasan praktis-pragmatis di atas,
keeratan hubungan antara ulama dan umara serta agama dan hukum,
termasuk dalam dan untuk Hukum Pidana yang hendak diperbaharui itu,
dapat pula dilihat secara filosofis-politis dan yuridis. Secara filosofis-politis,
keeratan hubungan keduanya dapat dilihat dari perspektif Pancasila yang
menurut doktrin ilmu hukum di Indonesia merupakan sumber dari segala
sumber hukum. Di dalam Pancasila itu sendiri, agama mempunyai posisi
yang sentral. Di dalamnya, terkandung prinsip yang menempatkan agama
dan ke-Tuhanan Yang Maha Esa dalam posisi yang pertama dan utama.
Demikian juga dengan tinjauan juridis, kedudukan agama dalam konteks
hukum dan keeratan hubungan antara keduanya dijamin menurut
Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan:
a. Atas berkat Rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorong oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka
rakyat Indonesia,menyatakan dengan ini kemerdekaannya."
b. Negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa."
c. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu."
13
PENUTUP
1. Kesimpulan
Materi hukum Islam yang bersumber dari Alquran dan hadis adalah
bersifat umum dan universal. Hukum yang demikian dapat diserap untuk
memperkaya dan menyempurnakan hukum nasional. Akan tetapi untuk
mempermudah penyerapan tersebut diperlukan rumusan-rumusan yang jelas
dan rasional, sehingga dapat diterapkan secara real. Dengan demikian, upaya
untuk mengembangkan hukum Islam terhadap hukum nasional diperlukan
pemikiran kembali ajaran hukum Alquran dan hadis.
Kesejahteraan, kebahagiaan, keamanan, ketertiban, keadilan, dan lain-
lain akan diraih oleh mereka yang mau menerapkan dan mematuhi hukum
Islam, baik di dunia maupun di akhirat. Namun demikian, manusia tetap
dituntut untuk berfikir dan berjihad agar hukum Islam senantiasa menzaman
dan sesuai dengan perkembangan manusia itu sendiri.
Perkembangan hukum Islam di Indonesia memiliki peluang yang sangat
cerah dalam pembangunan hukum nasional, karena secara sosioantropologis
dan emosional, hukum Islam sangat dekat dengan masyarakat Indonesia yang
mayoritas penduduknya beragama Islam. Selain itu secara historis hukum Islam
telah dikenal jauh sebelum penjajah masuk ke Indonesia. Peluang bagi masa
depan hukum Islam di Indonesia juga terbuka karena telah banyak aturan dalam
hukum Islam yang disahkan menjadi hukum nasional, dan hal ini
memperlihatkan bagaimana politicall will pemerintah yang memberikan respon
dan peluang yang baik bagi hukum Islam. Dengan melihat realitas kedekatan,
kompleksitas materi hukum Islam pada masa datang, peluang hukum Islam
dalam pembangunan hukum nasional akan lebih luas lagi.
2. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang ditarik dari hasil analisis data, maka
penulis mencoba memberikan saran atau rekomendasi sebagai berikut:
a. Upaya kontribusi Hukum Islam di Indonesia sangat bermanfaat, karena
dapat melaksanakan ajaran Islam dengan baik sekalipun dalam banyak hal
untuk penerapan selanjutnya mendapat tantangan baik eksternal maupun
internal. Seperti halnya pembatasan ijtihad oleh mujtahid mutlak seperti
institusi empat mazhab yang sangat populer itu.
b. Untuk itu, yang perlu dilakukan dalam penerapan hukum Islam ialah
dengan memberikan nasehat-nasehat yang mempunyai argumen yang kuat
untuk diterimanya hukum tersebut demi terealisasinya ajaran Islam di bumi
persada Indonesia ini.

14
Biografi Penulis

Riska Sari, Lahir 30 Oktober 2000 di Tembilahan,


Indragiri Hilir, Riau. (2007) Menempuh Pendidikan
pada Sekolah Dasar Negeri 035 Tembilahan, (2012)
Melanjutkan Pendidikan di Madrasah Tsanawiyah
Negeri 2 (MtsN) Tembilahan, lalu (2015)
melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah
Kejuruah (SMK) Negeri 1 Tembilahan dengan
mengambil jurusan Administrasi Perkantoran.
Kemudian, (2018) Melanjutkan Pendidikan jenjang
S1 di Universitas Islam Indragiri dengan mengambil
jurusan Sistem Informasi.

Telp/WA : 085374164716
Instagram : riskasariii_
Email : riska.sari777@gmail.com

15

Anda mungkin juga menyukai