Anda di halaman 1dari 8

Mata kuliah : Pendidikan Agama

Tema : HUKUM HAK ASASI MANUSIA DALAM ISLAM

Dosen Pengampu : Ridianto, M.Pd

A. Pengertian Hak Asasi Manusia


Hak asasi manusia adalah hak manusia yang paling mendasar dan melekat
padanya dimanapun ia berada. Tanpa adanya hak ini berarti berkuranglah harkatnya
sebagai manusia yang wajar. Hak asasi manusia adalah suatu tuntutan yang secara
moral dapat dipertanggungjawabkan, suatu hal yang sewajarnya mendapat
perlindungan hukum. Dalam mukadimah Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia
(Universal Declaration of Human Rights) dijelaskan mengenai hak asasi manusia
sebagai :“Pengakuan atas keseluruhan martabat alami manusia dan hak-hak yang
sama dan tidak dapat dipindahkan kepada orang lain dari semua anggota keluarga
kemanusiaan adalah dasar kemerdekaan dan keadilan di dunia.” Hak asasi dalam
Islam berbeda dengan hak asasi menurut pengertian yang umum dikenal. Dalam Islam
seluruh hak asasi merupakan kewajiban bagi negara maupun individu yang tidak
boleh diabaikan. Oleh karena itu, negara bukan saja menahan diri dari menyentuh
hak-hak asasi tersebut, melainkan juga mempunyai kewajiban untuk melindungi dan
menjamin hak-hak.
B. Ruang Lingkup Hukum Islam
Menurut Ahmad Azhar Basyir, hukum Islam mengatur perikehidupan manusia
secara menyeluruh, mencakup segala macam aspeknya. Hubungan manusia dengan
Allah diatur dalam bidang ibadat dan hubungan manusia dengan sesamanya diatur
dalam bidang muamalat dalam arti luas, baik yang bersifat perorangan maupun
bersifat umum, misalnya perkawinan, pewarisan, hukum perjanjian, ketatanegaraan,
kepidanaan, peradilan, dan seterusnya. Dalam pandangan Azhar Basyir, jika
dihubungkan dengan Ilmu Hukum dikenal adanya klasifikasi hukum privat dan
hukum publik, dalam hukum Islam pun dikenal adanya pembagian tersebut dengan
ditambahkan satu kelompok lagi, yaitu hukum ibadat. Dengan demikian dalam hukum
Islam dikenal klasifikasi tersendiri, yaitu hukum privat Islam, hukum publik Islam
dan hukum ibadat. Klasifikasi yang disebutkan terakhir menunjukkan bahwa hukum
Islam itu mencakup dua dimensi, dunia dan hari kemudian Berkaitan dengan
pembagian hukum Islam tersebut, Mushthafa Ahmad Az-Zarqa‟ mengemukakan
beberapa aspek hukum Islam ke dalam tujuh bidang, yaitu:
1. Hukum-hukum yang berhubungan dengan peribadatan kepada Allah,
seperti shalat, puasa, haji, bersuci dari hadas dan sebagainya. Kelompok
hukum ini disebut Hukum Ibadat.
2. Hukum-hukum yang berhubungan dengan tata kehidupan keluarga,
seperti: perkawinan, perceraian, hubungan keturunan, nafkah keluarga,
kewajiban anak terhadap orang tua dan sebagainya. Kelompok hukum ini
disebut Hukum Keluarga (al-Ahwal Asy-Syakhshiyyah).
3. Hukum-hukum yang berhubungan dengan pergaulan hidup dalam
masyarakat mengenai kebendaan dan hak-hak serta penyelesaian
persengketaan-persengketaan, seperti perjanjian jual beli, sewa-menyewa,
utang-piutang, gadai, hibah, dan sebagainya. Kelompok hukum ini disebut
Hukum Muamalat.
4. Hukum yang berhubungan dengan tata kehidupan bernegara, seperti
hubungan penguasa dengan rakyat, pengangkatan kepala negara, hak dan
kewajiban penguasa dan rakyat timbal balik dan sebagainya. Kelompok
hukum ini disebut Al-Ahkam as-Sulthaniyah atau as-Siyasah as-Syar‟iah,
yang yang mencakup hal-hal yang dibahas dalam Hukum Tata Negara
Pemerintahan sebagaimana dikenal dewasa ini.
5. Hukum-hukum yang berhubungan dengan kepidanaan, seperti macam-
macam perbuatan pidana dan ancaman pidana. Kelompok hukum ini
disebut al-„Uqubat, dan sering disebut juga al-JinAyat (Hukum Pidana).
6. Hukum-hukum yang mengatur hubungan antara negara Islam dengan
negara-negara lain, yang terdiri dari aturan-aturan hubungan pada waktu
damai dan pada waktu perang. Kelompok hukum ini disebut as-Sair
(Hukum Antar Negara).
7. Hukum-hukum yang berhubungan dengan budi pekerti, kepatutan, nilai
baik dan buruk seperti: mengeratkan hubungan persaudaraan, makan
minum dengan tangan kanan, mendamaikan orang yang berselisih dan
sebagainya. Kelompok hukum ini disebut al-Adab (Hukum Sopan Santun).
Kelompok terakhir dalam praktik tidak menjadi materi pelajaran hukum
Islam, tetapi merupakan materi akhlak.
C. Sumber Hukum Islam
1. Al-Qur'an
Al Quran adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW.
Tulisannya berbahasa Arab dengan perantaraan Malaikat Jibril. Al Quran juga
merupakan hujjah atau argumentasi kuat bagi Nabi Muhammad SAW dalam
menyampaikan risalah kerasulan dan pedoman hidup bagi manusia serta hukum-
hukum yang wajib dilaksanakan. Hal ini untuk mewujudkan kebahagian hidup di
dunia dan akhirat serta untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Al Quran
sebagai kalam Allah SWT dapat dibuktikan dengan ketidaksanggupan atau
kelemahan yang dimiliki oleh manusia untuk membuatnya sebagai tandingan,
walaupun manusia itu adalah orang pintar. Dalam surat Al Isra ayat 88, Allah
berfirman:

              

    

Artinya : Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk


membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat
membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi
pembantu bagi sebagian yang lain".

2. Hadits
Seluruh umat Islam telah sepakat dan berpendapat serta mengakui bahwa
sabda, perbuatan dan persetujuam Rasulullah Muhammad SAW tersebut adalah
sumber hukum Islam yang kedua sesudah Al Quran. Banyak ayat-ayat di dalam
Al Quran yang memerintahkan untuk mentaati Rasulullah SAW seperti firman
Allah SWT dalam Q.S Ali Imran ayat 32:

            
Artinya : Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling,
Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".

Al Hadits sebagai sumber hukum yang kedua berfungsi sebagai penguat,


sebagai pemberi keterangan, sebagai pentakhshis keumuman, dan membuat hukum
baru yang ketentuannya tidak ada di dalam Al Quran. Hukum-hukum yang ditetapkan
oleh Rasulullah Muhammad SAW ada kalanya atas petunjuk (ilham) dari Allah SWT,
dan adakalanya berasal dari ijtihad.

3. Ijma

Imam Syafi'i memandang ijma sebagai sumber hukum setelah Al Quran dan
sunah Rasul. Dalam moraref atau portal akademik Kementerian Agama bertajuk
Pandangan Imam Syafi'i tentang Ijma sebagai Sumber Penetapan Hukum Islam
dan Relevansinya dengan perkembangan Hukum Islam Dewasa Ini karya Sitty
Fauzia Tunai, Ijma' adalah salah satu metode dalam menetapkan hukum atas
segala permasalahan yang tidak didapatkan di dalam Al-Quran dan Sunnah.
Sumber hukum Islam ini melihat berbagai masalah yang timbul di era globalisasi
dan teknologi modern. Jumhur ulama ushul fiqh yang lain seperti Abu Zahra dan
Wahab Khallaf, merumuskan ijma dengan kesepakatan atau konsensus para
mujtahid dari umat Muhammad pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah
SAW terhadap suatu hukum syara' mengenai suatu kasus atau peristiwa.
Ijma dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu ijma sharih dan ijma sukuti. Ijma
sharih atau lafzhi adalah kesepakatan para mujtahid baik melalui pendapat
maupun perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. Ijma sharih ini juga sangat
langka terjadi, bahkan jangankan yang dilakukan dalam suatu majelis, pertemuan
tidak dalam forum pun sulit dilakukan. Bentuk ijma yang kedua dalah ijma sukuti
yaitu kesepakatan ulama melalui cara seorang mujtahid atau lebih mengemukakan
pendapatanya tentang hukum satu masalah dalam masa tertentu kemudian
pendapat itu tersebar luas serta diketahui orang banyak. Tidak ada seorangpun di
antara mujtahid lain yang menggungkapkan perbedaan pendapat atau menyanggah
pendapat itu setelah meneliti pendapat itu.
4. Qiyas

Sumber hukum Islam selanjutnya yakni qiyas (analogi). Qiyas adalah bentuk
sistematis dan yang telah berkembang fari ra'yu yang memainkan peran yang amat
penting. Sebelumnya dalam kerangka teori hukum Islam Al- Syafi'i, qiyas
menduduki tempat terakhir karena ia memandang qiyas lebih lemah dari pada
ijma.

D. Al Quran sebagai mukjizat dan hidayah yang sempurna

Mukjizat Alquran adalah suatu hal atau peristiwa luar biasa pada Alquran
yang terjadi melalui nabi Muhammad SAW, sebagai bukti kenabiannya yang
ditantangkan kepada orang yang ragu, untuk melakukan atau mendatangkan hal yang
serupa, namun mereka tidak mampu melayani tantangan tersebut. Adapun ilmu yang
mempelajari kemukjizatan Alquran dinamai “Ilmu I‟jazil Quran”. Para ulama berbeda
pendapat tentang aspek-aspek yang dikaji dalam “I‟jazil Quran”, namun jika
disimpulkan meliputi aspek kebahasaan, aspek berita-berita ghaib, aspek hukum
(syari‟at), dan aspek ilmu pengetahuan. Ulama yang memulai kajian ini adalah al-
Jahiz (w. 225 H) dalam bukunya Nazhm al-Quran dan Abu Abdillah Muhammad bin
Yazid al-Wasithi (w. 306 H) dalam bukunya I‟jaz al-Quran, lalu tokoh-tokoh dari
kalangan Muktazilah antara lain Abu Ishaq Ibrahim bin Sayyar Al-Nazhzham dengan
mengajukan konsep “Shirfah” yang mengatakan bahwa kemukjizatan Alquran itu
pada faktor di luar Al-Qur‟an, yaitu keikutsertaan Allah dalam melindungi
keotentikan dan purifikasi Al-Qur‟an. Menurut konsep ini sejatinya orang Arab
mampu menandingi Alquran, tetapi Allah SWT memalingkan kemampuan itu
(sharfah), sehingga mereka tidak bisa menandinginya.

Konsep tersebut mendapat tantangan dari ulama lainnya, antara lain al-
Khattabi. Ia berpendapat bahwa mukjizat Alquran terletak pada Alqurannya itu
sendiri baik dari gaya bahasanya maupun isi kandungannya. Perdebatan ini sangat
menarik untuk dikaji sehingga melahirkan berbagai ilmu pengetahuan. Aspek
kemukjizatan Alquran lainnya yang sekarang banyak dibicarakan adalah
kemukjizatan dalam aspek ilmu pengetahuan. Alquran adalah kitab yang mengandung
kebenaran dalam berbagai bidang ilmu khususnya sains, yang pada saat
diturunkannya, ilmu-ilmu tersebut belum ditemukan, sehingga pada waktu itu masih
berada diluar kemampuan manusia untuk mengungkapnya. Pada masa sekarang
dengan banyak hasil penelitian yang seuai dengan isyarat-isyarat Alquran
menunjukkan tentang kemukjizatan Alquran. Isyarat-isyarat tersebut bersifat global

Kajian tentang kemukjizatan Alquran dalam bidang ilmu pengetahuan bukan


dalam kerangka menjustifikasi hasil penelitian ilmiah dengan ayat-ayat Alquran, juga
tidak untuk memaksakan penafsiran Alquran hingga seolah-olah berkesesuaian
dengan temuan ilmiah. Kajiannya berangkat dari kesadaran bahwa Alquran bersifat
mutlak, sedang penafsirannya, baik dalam perspektif tafsir maupun perspektif ilmu
pengetahuan, bersifat relatif. Akhir-akhir ini banyak diberitakan penemuan-penemuan
ilmiah yang ada relevansinya dengan mukjizat Alquran, antara lain dilakukan
kelompok peneliti Jepang yang meneliti bahan zat methalonids. Zat protein yang
dikeluarkan oleh otak manusia dan hewan dengan porsi yang sedikit mengandung
bahan belerang, oleh sebab itu bahan tersebut memungkinkan larut dengan sangat
mudah bersama zinc, besi dan posfor.Zat methalonids sangat penting bagi tubuh
manusia dan dapat mengurangi kolesterol. Selain itu, zat ini juga berguna untuk
menguatkan jantung dan memperkuat sistem pernapasan.

E. As Sunnah

Definisi dan Fungsi Sunnah Sunnah secara literal adalah jalan, baik jalan
kebaikan ataupun jalan keburukan, sementara sunnah menurut pemaknaan
terminologis para muhadditsin, sunnah adalah sabda, perbuatan, ketetapan, sifat
(watak budi atau jasmani) baik sebelum menjadi Rasulullah SAW. maupun
sesudahnya. Berdasar definisi ini, sunnah merupakan sinonim dari hadis (al-A‟zhami,
1992: 1). Para ushuliyyin mendefinisikan sunnah dengan sabda, perbuatan, ketetapan,
sifat yang dapat dijadikan sebagai sumber syariat. Di sini, dapat dilihat adanya
perbedaan mengenai definisi sunnah menurut ushuliyyin dan sunnah menurut
muhadditsin. Jika ushuliyyin hanya berkepentingan terhadap sunnah sebagai sumber
hukum, maka tidak demikian halnya dengan muhadditsin yang menggolongkan segala
sesuatu yang bersumber dari Rasulullah SAW. sebagai sunnah, baik yang memiliki
konsekuensi hukum ataupun tidak. Sehingga pemaknaan sunnah menurut muhadditsin
lebih luas jangkauannya daripada pemaknaan sunnah menurut ushuliyyin. Hal ini
dapat dimengerti mengingat fokus perhatian para ushuliyyin adalah sunnah dalam
kapasitasnya sebagai sumber hukum Islam. Mereka memandang Rasulullah SAW.
sebagai sosok yang menjelaskan hukum syariat dan meletakkan kaedah-kaedah
kepada para mujtahid sepeninggal beliau (Tarmizi M. Jakfar,2011: 124). Adapun
sunnah menurut para fuqaha adalah suatu sifat hukum atas suatu perbuatan yang
apabila dikerjakan memperoleh pahala, sementara jika ditinggalkan maka tidaklah
berdosa. Pemaknaan ini dilatarbelakangi bahwa para fuqaha memposisikan sunnah
sebagai salah satu hukum syara‟ yang lima yang mungkin berlaku terhadap suatu
perbuatan. Banyak literatur yang menjelaskan tentang fungsi sunnah Diskursus
Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam,

Pertama, sunnah berfungsi sebagai bayan ta‟kid, artinya bahwa sunnah


memiliki fungsi memperkokoh uraian hukum yang telah ditetapkan dalam al-Qur‟an,
seperti perintah menunaikan shalat, zakat, puasa, dan haji.

Kedua, sunnah berfungsi sebagai bayan tafshil/bayan tafsir, di sini sunnah


berfungsi menjelaskan dan memerinci petunjuk yang global dalam al-Qur‟an, seperti
tata cara menunaikan shalat dan menjalankan ibadah haji.

Ketiga, sunnah berfungsi sebagai bayan tasyri‟, mengandung maksud bahwa


sunnah dapat menentukan suatu hukum secara mandiri yang belum dijelaskan
kepastian hukumnya oleh al- Qur‟an, seperti hukum menghimpun pernikahan antara
bibi dan keponakan perempuan yang dijelaskan melalui hadis Rasulullah SAW.
Fungsi ke tiga dari sunnah ini memang masih diperdebatkan oleh para ulama. Namun,
pendapat yang kuat (rajah) meneguhkan fungsi ini dengan argumen: banyaknya ayat
al-Qur‟an yang menyuruh umat Islam untuk mentaati Rasulullah SAW. Ketaatan
kepada Rasulullah SAW. Sering dirangkaikan dengan ketaatan kepada Allah (QS. an-
Nisa‟: 59 & 79, al-A‟raf: 158). Kewajiban beriman kepada Rasulullah SAW. Berarti
mempercayai kedudukannya sebagai Rasulullah SAW., mematuhi dan mengikuti apa
yang disabdakan dan diperbuat beliau, termasuk menaati keputusan hukum yang
ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Apalagi al-Qur‟an telah menegaskan bahwa apapun
yang bersumber dari Rasulullah SAW. Adalah didasarkan wahyu, bukan berasal dari
hawa nafsu (QS. An-Najm: 3-4).

Landasan lain menjadikan sunnah sebagai sumber hukum Islam adalah


perintah Allah swt. dalam al-Qur‟an untuk menaati Rasulullah SAW. (QS. Ali „Imran:
32) dan menjadikan kehidupannya sebagai model yang baik dan mengikutinya (QS.
Al-Ahzab: 21 & al-Hasyr: 7). Juga, adanya kesepakatan (ijma‟) para sahabat bahwa
menjadi kewajiban umat Islam untuk mematuhi apa yang dibawa oleh Rasulullah
SAW., baik ketika beliau masih hidup atau sesudah wafat. Selain itu, secara rasional
al-Qur‟an memerintahkan mengerjakan kewajiban seperti shalat, puasa, zakat, dan
haji. Akan tetapi al-Qur‟an tidak menjelaskan tata cara pelaksanaannya, sehingga
umat Islam harus merujuk

Anda mungkin juga menyukai