Anda di halaman 1dari 3

Dikutip oleh Muhammad Daud Ali dalam bukunya Asas-asas Hukum Islam menjelaskan bahwa yang

dimaksud dengan sumber adalah asal sesuatu. Sedang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
dijelaskan bahwa sumber (hukum) adalah segala sesuatu yang berupa tulisan, dokumen, naskah dan
lain sebagainya yang dipergunakan oleh suatu bangsa sebagai pedoman hidupnya pada masa tertentu.
Jadi sumber hukum Islam adalah asal (tempat pengambilan) hukum Islam. Para ulama sepakat bahwa
Al Qur`an menempati urutan yang pertama dan utama, setelah Al Qur`an adalah Al Hadis yang
kemudian disusul dengan ijma` dan qiyas. Saidus Syahar menyebutkan bahwa sumber-sumber syari`at
dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu sumber utama dan deduction atau kesimpulan. Sumber utama
adalah wahyu, yang dapat dibagi kepada wahyu langsung (Al Qur`an) dan wahyu tidak langsung
(sunnah). Sedangkan deduction atau kesimpulan yang ditarik dari wahyu juga terbagi kepada:
1. Qiyas (analogi), yakni penarikan kesimpulan seseorang mujtahid.
2. Ijma` (persamaan pendapat dari beberapa mujtahid)
3. Dan lain-lain.

Sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an adalah Hadits. Dimana jika terjadi suatu
perkara yang belum jelas didalam Al-Qur’an maka hadits bisa menjadi sebuah sandaran berikutnya
setelah Al-Qur’an. Oleh sebab itu, ada beberapa fungsi hadits sebagai sumber hukum Islam.
Fung si hadits sebagai sumber hukum Islam juga dijelaskan dalam Al-Qur’an. Jika Al-
Quran adalah sumber hukum islam pertama, maka hadits merupakan sumber kedua setelah Al
quran. Kedua terkait secara erat dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Hadits mempunyai
makna segala perkataan (sabda), perbuatan, dan ketetapan lainnya dari Nabi Muhammad SAW
yang dijadikan hukum syariat islam selain Al-Qur’an.
Pada dasarnya, Hadits memiliki fungsi utama sebagai menegaskan, memperjelas dan
menguatkan hukum-hukum dan hal lain yang ada di Al-Qur’an. Para ulama sepakat setiap umat Islam
diwajibkan untuk mengikuti perintah yang ada hadits-hadits shahih. Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:

‫للا َو سنَّةَ َرس ْو ِل ِه‬ َّ ‫َضلُّ ْوا َما تَ َم‬


َ ‫ ِكت‬: ‫س ْكت ْم ِب ِه َما‬
ِ ‫َاب‬ ِ ‫ت ََر ْكت فِيْك ْم أَ ْم َري ِْن لَ ْن ت‬

“Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada
keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-
Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At
Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).
Berikut ini beberapa fungsi hadits sebagai sumber hukum Islam :
1. Bayan At-Taqrir (Memperjelas Isi Al-Qur’an)
Fungsi hadits sebagai sumber hukum Islam yang pertama yakni adalah Bayan At-Taqrir
atau memperjelas isi Al-Qur’an.
2. Bayan At-Tafsir (Menafsirkan Isi Al-Qur’an)
Fungsi hadits sebagai sumber hukum Islam berikutnya yakni sebagai Bayan At-Tafsir atau
hadits berfungsi untuk menafsirkan isi Al-Qur’an.
3. Bayan At-Tasyri’ (Memberi Kepastian Hukum Islam yang Tidak Terdapat dalam Al-
Qur’an)
Fungsi hadits sebagai sumber hukum Islam berikutnya yakni adalah sebagai Bayan At-
Tasyri’, yang dimana hadits sebagai pemberi kepastian hukum atau ajaran-ajaran islam
yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an.
4. Bayan Nasakh (Mengganti Ketentuan Terdahulu)
Fungsi hadits sebagai sumber hukum Islam berikutnya yakni sebagai Bayan Nasakh atau
mengganti ketentuan terdahulu.
Sumber hukum Islam ketiga adalah akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk
berusaha, berikhtiar dengan seluruh kemampuan yang ada padanya memahami kaidah. Kaidah
hukum yang fundamental yang terdapat dalam Al-Qur’an, kaidah-kaidah hukum yang bersifat
umum yang terdapat dalam Sunah nabi dan merumuskannya menjadi garis-garis hukum yang dapat
diterapkan pada suatu kasus tertentu. Atau berusaha merumuskan garis-garis atau kaidah-kaidah
hukum yang "pengaturannya" tidak terdapat di dalam kedua sumber utama hukum Islam itu. Akal
adalah kunci untuk memahami agama, ajaran dan hukum Islam, sebelum dibicarakan soal akal dan
usaha manusia mempergunakan akalnya perlu disinggung tentang akal manusia dan hubungannya
dengan wahyu. Menurut ajaran Islam hubungannya erat.
Walaupun demikian, perlu di tegaskan bahwa wahyu dan akal tidak sama dan tidak pula
sederajat. Wahyu mempunyai kedudukan jauh lebih tinggi dari pada Akal manusia. Wahyu lah
yang menuntun membimbing dan mengukur akal manusia , bukan sebaliknya. Jika di hubungkan ,
maka bagi orang yang beriman dan yakin kepada tuhan yang maha Esa dengan segala atributnya ,
hukum Allah yang di sampaikan dengan wahyu, kedudukannya lebih tinggi dan utama dari hukum
ciptaan manusia, ini berarti hukum manusia tidak boleh bertentangan dengan hukum yang di
sampaikan oleh wahyu. Dalam kepustakaan akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk
berijtihad disebut dengan arra’yu ayau ijtihad.
Dasar Hukum untuk mempergunakan akal pikiran atau Ra’yu untuk berijtihad dalam
pengembangan hukum Islam adalah :

• Qs. Annisa(4) ayat 59 yang mewajibkan juga orang mengikuti ketentuan ulim amri ( orang
yang memiliki kekuasaan atau penguasa ).
• Hadist Mu’az bin jabal yang menjelaskan bahwa Mu’az sebagai penguasa ( ulil amri) di
Yaman dibenarkan oleh nabi mempergunakan ra’yunya untuk berijtihad,dan
• Contoh yang di berikan oleh ulil amri lain yakni khalifah II Umar bin khatab , beberapa
tahun setelah Nabi Muhammad wafat adalah seperti memecahkan segala permasalahan
hukum yang tumbuh di masyarakat pada awal perkembangan Islam.
Ijtihad merupakan dasar dan sarana pengembangan hukum Islam. Ia adalah kewajiban umat Islam
yang memenuhi syarat (karena pengetahuan dan pengalamannya) untuk menunaikanya. Kewajiban
itu tercermin dalam Sunah Nabi Muhammad yang mendorong mujtahid untuk berijtihad. Muj tahid
yang berijtihad, dan (hasil) ijtihadnya itu benar, kata Nabi, akan memperoleh dua pahala. Kalau
ijtihadnya salah, dia akan mendapat (juga) satu pahala. Orang yang berijtihad inipun disebut
mujtahid
Ada beberapa metode atau cara untuk melakukan ijtihad, baik ijtihad dilakukansendiri-
sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Di antara metode atau cara berijtihad adalah :
Ijmak, Qiyas, Istihsan, Maslahah Mursalah, Istishhab, Sadduzzari`ah, dan `Uruf.
Jumlah Ayat Hukum dalam al-Qur’an di kalangan para pakar hukum Islam (fuqaha),
terdapat perbedaan pendapat mengenai kepastian berapa jumlah ayat Hukum dalam al-Qur’an.
Jumlah ayat hukum dalam al-Qur’an berkisar antara 150 hingga 1.100 ayat, atau sekitar 2,5 hingga
17,2 % dari 6.000 lebih ayat dalam al-Qur’an.
Sebagian ulama menyatakan bahwa pada garis besarnya, ayat-ayat hukum dalam al-Qur'an
terbagi menjadi dua kelompok, yaitu: Pertama, ayat-ayat hukum yang menyangkut masalah ibadah
(ahkam ibadat) yaitu yang mengatur hubungan manusia secara vertikal dengan Allah SWT, seperti
kewajiban melaksanakan shalat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya, kedua ayat-ayat hukum
yang menyangkut masalah mu'amalah (ahkam mu'amalat) yaitu yang mengatur hubungan manusia
secara horizontal dengan sesamanya, baik secara individu, masyarakat maupun antar bangsa.
Kemudian, ayat-ayat al-Qur'an yang menyangkut masalah mu'amalah (ahkam mu'amalat), bila
dirinci lebih lanjut, maka meliputi tujuh aspek hukum, yaitu
1) Hukum kekeluargaan - ‫ الشخصية‬,(yaitu hukum yang mengatur hubungan antaranggota
keluarga. Jumlah ayatnya sekitar 70-an. Salah satu ayatnya Q.s An Nisa ayat 22 dan 23.

2) Hukum perdata (‫ المدنية األحكام‬,(yaitu hukum yang mengatur hubungan antarmanusia


menyangkut harta dan segala hak-hak mereka, seperti transaksi jual beli, sewa-menyewa,
gadai dan lain-lain. Jumlah ayatnya diperkirakan mencapai 70 ayat, salah satu ayatnya Q.S
Al hujarat ayat 9-10.

3) Hukum pidana (‫ الجنائية األحكام‬,(yaitu hukum yang mengatur dan melindungi eksistensi hidup
manusia, baik menyangkut nyawa, harta maupun kehormatan mereka. Jumlah ayatnya
sekitar 30 ayat, salah satu contoh ayatnya Q.s Albaqarah ayat 84-85

4) Hukum acara (‫ المرافعات أحكام‬,(yaitu hukum yang mengatur tata cara penyelesaian perkara
dalam pengadilan, seperti persaksian, sumpah dan lainlain. Jumlah ayatnya sekitar 30 ayat.
Salah satu ayatnya yaitu Q.S al maidah ayat 100
5) Hukum ketatanegaran(‫ )األحكام الدستورية‬- yaitu hukum yang mengatur hubungan antara
penguasa dengan rakyat dalam suatu negara, seperti hak-hak individu dan masyarakat
dalam suatu negara, kewajiban penguasa dan lain-lain. Jumlah ayatnya sekitar 10 ayat
menurut Abdul Wahab Khallaf dan 20 menurut Wahbah az-Zuhaili. Salah satu contoh
ayatnya yaitu Q.s an nisa ayat 83
6) Hukum antarnegara (‫ الدولية األحكام‬,(yaitu hukum yang mengatur tatahubungan suatu negara
dengan negara lainnya, baik antarsesama negara Islam, maupun dengan negara nonIslam,
dalam situasi damai ataupun dalam situasi perang. Jumlah ayatnya sekitar 25 ayat menurut
Abdul Wahab Khallaf, sedangkan Wahbah az-Zuhaili tidak menyebutkan angkanya, salah
satu ayatnya yaitu Q.s At taubah ayat 7
7) Hukum ekonomi dan keuangan ( ‫ األحكام والمالية االقتصادية‬,(yaitu hukum yang mengatur
tatahubungan dalam bidang ekonomi dan kekayaan, baik kekayaan milik individu maupun
milik negara, seperti kewajiban orang yang tergolong kaya, menyangkut hartanya terhadap
orang miskin, kewajiban penguasa dalam mengelola dan memanfaatkan kekayaan milik
negara untuk kesejahteraan rakyatnya, dan lain-lain.Salah satu ayatnya yaitu Q.S Al
jumuah ayat 9-10.

Anda mungkin juga menyukai