1. Latar Belakang
Para ulama membagi dalil hukum syara menjadi dua, 1) dalil yang
disepakati (muttafaq), dan 2) dalil yang tidak disepakati (mukhtalaf). Dalil
yang disepakati dibagi menjadi 4, Al-Quran, Hadits, Ijma, dan Qiyas. Mareka
juga menyepakati bahwa keempatnya harus digunakan secara berurutan dan
tidak melompat-lompat. Jika terjadi suatu peristiwa, maka dilihat lebih dulu
hukumnya dalam al-Quran, jika tidak ditemukan dilihat hukumnya di dalam
hadits, jika di dalam hadits belum juga ditemukan atau kurang jelas, maka
mencari hukumnya dalam ijma, jika belum ditemukan juga di dalam ijma,
maka berijtihad untuk mendapatkan hukumnya dengan menggunakan qiyas [2].
Allah SWT berfirman yang artinya :
Bukti dari kemukjizatan al-Quran tidak dilihat dari segi lafadznya saja,
tetapi juga makna dan isinya. Di dalamnya berisi rahasia-rahasia alam yang
hingga kini masih banyak yang belum terungkap. Ayat-ayat di dalamnya
merupakan kalam Allah yang indah yang tak dapat ditandingi oleh siapapun
(lihat QS (2):23, (28):49-50 ).
Aspek kemukjizatan al-Quran yang dapat dicapai oleh akal, antara lain:
Hukum yang dikandung oleh al-Quran itu ada tiga macam, yaitu[18] :
Pertama: hukum-hukum Itiqadiyah, yang berkaitan dengan hal-hal yang
harus dipercaya oleh setiap mukallaf, yaitu mempercayai Allah, malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan hari akhir.
1) Tidak memberatkan
Prinsip ini mengandung arti bahwa hukum al-Quran itu bersifat
memudahkan. Pelaksanaannya disesuaikan dengan tingkat
kemampuan manusia. Sehingga hukum itu tidak menjadi beban.
Prinsip ini didasari oleh banyak ayat al-Quran, diantaranya dalam
surat al-Baqarah ayat 185 yang artinya : Artinya: Allah
menghendaki kemudahan darimu dan tidak menghendaki
kesulitan
Contoh prinsip yang pertama ini antara lain hukum kebolehan
berbuka puasa bagi orang yang sedang dalam perjalanan, dan hukum
boleh melaksanakan shalat sesuai kemampuan.
2) Menyedikitkan beban
Prinsip ini mengandung arti bahwa dalam melakukan perintah Allah
swt. itu harus memperhatikan objek yang diperintahkan dengan tidak
melakukan penambahan dan pengurangan, seperti dalam firman
Allah dalam surat al-Maidah ayat 102: Artinya: janganlah kamu
bertanya tentang sesuatu yang jika dia diterangkan kepadamu akan
menyusahkan kamu.
Contoh dari prinsip kedua ini adalah kewajiban haji hanya satu kali
seumur hidup bagi yang mampu.
3) Berangsur-angsur
Salah satu keutamaan hukum Islam adalah cara penetapannya yang
tidak sekaligus, tetapi secara berangsur-angsur dan bertahap,
sehingga tidak memberatkan dan lebih memberikan kelonggaran.
Karena al-Quran sangat memperhatikan proses perubahan sosial
budaya yang berkembang di masyarakat. Contohnya dalam tahapan
pengharaman khamr[20].
4. Kesimpulan
1) Al-Quran secara terminologi adalah mashdar yang bermakna qiroah
(bacaan dan apa yang ditulis di dalamnya). Sedangkan makna al-Quran
secara etimologi berarti kalam Allah swt. yang diturunkan kepada nabi
Muhammad saw. dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada kita
dengan jalan yang mutawattir, jika membacanya dihukumi ibadah, dan
diawali dengan Surat Al-Fatihah dan diakhiri Surat an-Naas.
2) Bukti kehujjahan Al-Quran adalah, al-Quran diturunkan dari Allah swt.,
disampaikan kepada manusia dengan jalan yang pasti dan tidak
terdapat keraguan tentang kebenarannya tanpa ada campur tangan
manusia dalam penyusunannya. Hal ini mengandung arti bahwa al-
Quran merupakan mukjizat yang membuat manusia tidak mampu untuk
mendatangkan yang semisalnya.
3) al-Quran terdiri dari 30 juz, 114 surat, 6.326 ayat, dan 324.345 huruf.
Kandungan isi dalam al-Quran yang utama yaitu;
a) Tauhid, adalah tentang kepercayaan yang benar, yaitu
pentauhidan terhadap keesaan Allah swt.
b) Ibadat, berisi amalan-amalan yang memperkokoh keimanan
seseorang.
c) Janji dan ancaman, yaitu janji dengan pahala/balasan terhadap
amalan yang baik yang dilakukan oleh seorang mukallaf, dan
ancaman yang berupa peringatan bagi seseorang yang berbuat
maksiat, berupa balasan dengan siksa/adzab.
d) Riwayat, yaitu kisah-kisah umat terdahulu yang berisi hikmah.
e) Akhlaq, adalah perilaku yang harus dijadikan perhiasan oleh
seorang mukallaf.
f) Muamalah, hukum-hukum yang termasuk di dalamnya hukum
perdata, pidana, dan sebagainya.
Catatab Kaki:
[1] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Mesir: Maktabah al-Dawah al-Islamiyah,
tt., hlm. 20.
[3] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, Damaskus: Daar al-Fikr, 1986, Cet. ke-1,
Juz: 1, hlm. 417.
[4] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Mesir: Maktabah al-Dawah al-Islamiyah,
tt., hlm. 22.
[5] Abdul wahhab Khallaf, terj., Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama Semarang,
1994, hlm. 18.
[6] Drs. Muin Umar, Dkk., Ushul Fiqh I, Jakarta: Departemen Agama RI, 1986, hlm. 70
[7] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama Semarang, 1994,
hlm. 21