Anda di halaman 1dari 7

Alquran Sebagai Sumber Hukum Islam

1. Latar Belakang

Menurut Abdul Wahab Khallaf, kata adillah syariyyah (sumber hukum


Islam), bersinonim dengan istilah adillah al-ahkam, ushul al-ahkam, al-
mashadir al-tasyriiyyah lil-al-ahkam.[1]

Para ulama membagi dalil hukum syara menjadi dua, 1) dalil yang
disepakati (muttafaq), dan 2) dalil yang tidak disepakati (mukhtalaf). Dalil
yang disepakati dibagi menjadi 4, Al-Quran, Hadits, Ijma, dan Qiyas. Mareka
juga menyepakati bahwa keempatnya harus digunakan secara berurutan dan
tidak melompat-lompat. Jika terjadi suatu peristiwa, maka dilihat lebih dulu
hukumnya dalam al-Quran, jika tidak ditemukan dilihat hukumnya di dalam
hadits, jika di dalam hadits belum juga ditemukan atau kurang jelas, maka
mencari hukumnya dalam ijma, jika belum ditemukan juga di dalam ijma,
maka berijtihad untuk mendapatkan hukumnya dengan menggunakan qiyas [2].
Allah SWT berfirman yang artinya :

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya),


dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-
Nisa/4:59)

Selanjutnya dalil yang tidak disepakati (mukhtalaf), menurut Wahbah


Zuhaeli dibagi menjadi tujuh, yaitu istihsan, maslahah mursalah (istislah),
istishab, urf, mazhab sahabi, syaru man qoblana, dan saddu al-zariah [3].
Tetapi, menurut Abdul Wahab Khallaf hanya ada enam, dengan
menghilangkan saddu al-zariah, maka menurutnya keseluruhan adillah
syariyyah berjumlah 10 macam[4].

Sebagai dalil muttafaq, al-Quran menempati urutan yang utama karena


merupakan kalam Allah yang diturunkan oleh-Nya melalui perantaraan
malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah Muhammad bin Abdullah dengan lafazh
yang berbahasa Arab dan makna-maknanya yang benar, untuk menjadi hujjah
bagi Rasul atas pengakuannya sebagai Rasulullah, menjadi undang-undang
bagi manusia yang mengikuti petunjuknya, dan menjadi qurbah di mana
mereka beribadah dengan membacanya[5].

2. Bukti Kehujjahan al-Quran


Abdul Wahhab Khallaf mengemukakan tentang kehujjahan al-Quran
sebagai berikut: Bukti bahwa al-Quran menjadi hujjah atas manusia yang
hukum-hukumnya merupakan aturan-aturan yang wajib bagi manusia untuk
mengikutinya, ialah karena al-Quran datang dari Allah swt. dan dibawa
kepada manusia dengan jalan yang pasti yang tidak diragukan kebenarannya.
Sedang bukti bahwa al-Quran itu datang dari Allah swt adalah bahwa al-
Quran membuat orang-orang tidak mampu membuat atau mendatangkan
sesuatu seperti al-Quran (kemukjizatan al-Quran).[10]

Bukti dari kemukjizatan al-Quran tidak dilihat dari segi lafadznya saja,
tetapi juga makna dan isinya. Di dalamnya berisi rahasia-rahasia alam yang
hingga kini masih banyak yang belum terungkap. Ayat-ayat di dalamnya
merupakan kalam Allah yang indah yang tak dapat ditandingi oleh siapapun
(lihat QS (2):23, (28):49-50 ).

Ijaz, maksudnya menetapkan ketidakmampuan orang lain, tidak akan


terealisir kecuali apabila tiga hal terpenuhi:

1) Adanya tantangan, maksudnya permintaan untuk beradu, saling


menjatuhkan, dan berlawanan.
2) Adanya motivasi yang mendorong kepada penantang untuk
mengajukan tantangan dan perlawanan.
3) Tidak ada penghalang yang menghalanginya dari perlawanan ini[11].

Al-Quran telah lengkap dalam melakukan tantangan, dan terdapat pula


motivasi bagi orang yang menantangnya untuk melawan, dan tidak suatu
penghalang bagi mereka. Kendati demikian, mereka tidak sanggup
melawannya dan juga mendatangkan yang semisal al-Quran[12].

Aspek kemukjizatan al-Quran yang dapat dicapai oleh akal, antara lain:

1) Keharmonisan struktur redaksinya, maknanya, hukum-hukumnya,


dan teori-teorinya (Q.S, an-Nisa: 82).
2) Persesuaian ayat al-Quran dengan teori ilmiah yang dikemukakan
ilmu pengetahuan (Q.S, Fushshilat: 52-53).
3) Pemberitahuan al-Quran terhadap berbagai peristiwa yang hanya
diketahui oleh Allah Yang Maha Mengetahui terhadap hal-hal yang
gaib (Q.S, Hud : 49).
4) Kefasihan lafadz al-Quran, kepetahan redaksinya, dan kuatnya
pengaruhnya[13].

3. Macam-macam Hukum al-Quran

Hukum yang dikandung oleh al-Quran itu ada tiga macam, yaitu[18] :
Pertama: hukum-hukum Itiqadiyah, yang berkaitan dengan hal-hal yang
harus dipercaya oleh setiap mukallaf, yaitu mempercayai Allah, malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan hari akhir.

Kedua: hukum moralitas, yang berhubungan dengan sesuatu yang harus


dijadikan perhiasan oleh setiap mukallaf, berupa hal-hal keutamaan dan
menghindarkan diri dari hal yang hina.

Ketiga: hukum amaliyyah yang bersangkut paut dengan sesuatu yang


timbul dari mukallaf, baik berupa perbuatan, perkataan, perjanjian hukum,
dan pembelanjaan. Macam yang ketiga ini adalah fiqh al-Quran. Dan inilah
yang dimaksud dengan sampai kepadanya dengan ilmu ushul fiqh.

Hukum-hukum amaliyyah di dalam al-Quran terdiri dari dua macam,


yaitu;

Hukum-hukum ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadzar,


sumpah, dan ibadah-ibadah lainnya yang dimaksudkan untuk
mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (habluminallah).
Hukum muamalat, seperti akad, pembelanjaan, hukuman, pidana,
dan lainnya yang bukan ibadah dan dimaksudkan untuk mengatur
hubungan antar sesama mukallaf, baik sebagai individu, bangsa,
atau kelompok (habluminannas).

Menurut istilah modern, hukum muamalat telah dibagi menurut sesuatu


yang berkaitan dengannya dan maksud yang dikehendakinya menjadi
beberapa macam:

1) Hukum keluarga, yaitu hukum yang berhubungan dengan keluarga,


mulai dari pembentukannya, dan ia dimaksudkan untuk mengatur
hubungan antara suami istri dan kerabat satu sama lain.
2) Hukum perdata, yaitu hukum yang bertalian dengan perhubungan
hukum antara individu-individu dan pertukaran mereka, baik berupa
jual-beli, penggadaian, jaminan, persekutuan, utang piutang, dan
memenuhi janji dengan disiplin. Hukum ini dimaksudkan untuk
mengatur hubungan harta kekayaan individu dan memelihara hak
masing-masing yang berhak.
3) Hukum pidana, yaitu hukum yang berkenaan dengan tindak criminal
yang timbul dari seorang mukallaf dan hukuman yang dijatuhkan atas
pelakunya. Hukum ini dimaksudkan untuk memelihara kehidupan
manusia, harta mereka, kehormatan mereka, dan hak-hak mereka, serta
menentukan hubungan antara pelakunya, korban tindak kriminal, dan
umat.
4) Hukum acara, yaitu hukum yang berkaitan dengan pengadilan,
kesaksian, dan sumpah. Hukum ini dimaksudkan untuk mengatur usaha-
usaha untuk mewujudkan keadilan di antara manusia.
5) Hukum perundang-undangan, yaitu hukum yang berhubungan dengan
pengaturan pemerintahan dan pokok-pokoknya. Hukum ini dimaksudkan
untuk menentukan hubungan penguasa dan rakyat, dan menetapkan
hak-hak individu dan masyarakat.
6) Hukum tata Negara, yaitu hukum yang bersangkutan dengan hubungan
antara Negara Islam dengan negara lainnya, hubungan dengan orang-
orang non-Islam yang berada di Negara Islam. Hukum ini dimaksudkan
untuk menentukan hubungan Negara Islam dengan Negara non-Islam,
baik dalam keadaan damai maupun dalam suasana peperangan, serta
menentukan hubungan antara umat Islam dengan non-Islam di berbagai
Negara Islam.
7) Hukum ekonomi dan keuangan, yaitu hukum yang berhubungan dengan
orang miskin, baik yang meminta-minta maupun yang tidak, berkenaan
dengan harta orang kaya, dan pengaturan berbagai sumber dan
perbankan. Hukum ini dimaksudkan untuk mengatur hubungan
kekayaan antara orang-orang dan orang-orang kafir, dan antar Negara
dan rakyat.

Menurut Muhammad Khuderi Bek dalam bukunya Tarikh Tasyri al-


Islami, ada tiga prinsip yang melandasi hukum dalam al-Quran[19]

1) Tidak memberatkan
Prinsip ini mengandung arti bahwa hukum al-Quran itu bersifat
memudahkan. Pelaksanaannya disesuaikan dengan tingkat
kemampuan manusia. Sehingga hukum itu tidak menjadi beban.
Prinsip ini didasari oleh banyak ayat al-Quran, diantaranya dalam
surat al-Baqarah ayat 185 yang artinya : Artinya: Allah
menghendaki kemudahan darimu dan tidak menghendaki
kesulitan
Contoh prinsip yang pertama ini antara lain hukum kebolehan
berbuka puasa bagi orang yang sedang dalam perjalanan, dan hukum
boleh melaksanakan shalat sesuai kemampuan.
2) Menyedikitkan beban
Prinsip ini mengandung arti bahwa dalam melakukan perintah Allah
swt. itu harus memperhatikan objek yang diperintahkan dengan tidak
melakukan penambahan dan pengurangan, seperti dalam firman
Allah dalam surat al-Maidah ayat 102: Artinya: janganlah kamu
bertanya tentang sesuatu yang jika dia diterangkan kepadamu akan
menyusahkan kamu.
Contoh dari prinsip kedua ini adalah kewajiban haji hanya satu kali
seumur hidup bagi yang mampu.
3) Berangsur-angsur
Salah satu keutamaan hukum Islam adalah cara penetapannya yang
tidak sekaligus, tetapi secara berangsur-angsur dan bertahap,
sehingga tidak memberatkan dan lebih memberikan kelonggaran.
Karena al-Quran sangat memperhatikan proses perubahan sosial
budaya yang berkembang di masyarakat. Contohnya dalam tahapan
pengharaman khamr[20].

4. Kesimpulan
1) Al-Quran secara terminologi adalah mashdar yang bermakna qiroah
(bacaan dan apa yang ditulis di dalamnya). Sedangkan makna al-Quran
secara etimologi berarti kalam Allah swt. yang diturunkan kepada nabi
Muhammad saw. dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada kita
dengan jalan yang mutawattir, jika membacanya dihukumi ibadah, dan
diawali dengan Surat Al-Fatihah dan diakhiri Surat an-Naas.
2) Bukti kehujjahan Al-Quran adalah, al-Quran diturunkan dari Allah swt.,
disampaikan kepada manusia dengan jalan yang pasti dan tidak
terdapat keraguan tentang kebenarannya tanpa ada campur tangan
manusia dalam penyusunannya. Hal ini mengandung arti bahwa al-
Quran merupakan mukjizat yang membuat manusia tidak mampu untuk
mendatangkan yang semisalnya.
3) al-Quran terdiri dari 30 juz, 114 surat, 6.326 ayat, dan 324.345 huruf.
Kandungan isi dalam al-Quran yang utama yaitu;
a) Tauhid, adalah tentang kepercayaan yang benar, yaitu
pentauhidan terhadap keesaan Allah swt.
b) Ibadat, berisi amalan-amalan yang memperkokoh keimanan
seseorang.
c) Janji dan ancaman, yaitu janji dengan pahala/balasan terhadap
amalan yang baik yang dilakukan oleh seorang mukallaf, dan
ancaman yang berupa peringatan bagi seseorang yang berbuat
maksiat, berupa balasan dengan siksa/adzab.
d) Riwayat, yaitu kisah-kisah umat terdahulu yang berisi hikmah.
e) Akhlaq, adalah perilaku yang harus dijadikan perhiasan oleh
seorang mukallaf.
f) Muamalah, hukum-hukum yang termasuk di dalamnya hukum
perdata, pidana, dan sebagainya.

Berdasarkan turunnya, kandungan isi al-Quran dibagi menjadi dua,


yaitu;
a) Makiyyah, yaitu ayat-ayat atau surat-surat dalam al-Quran yang
turun selama periode sebelum hijrahnya Nabi ke Madinnah. Berisi
tentang ketauhidan kepada pengesaan Allah swt.
b) Madaniyyah, yaitu ayat-ayat atau surat-surat dalam al-Quran
yang turun selama periode setelah hijrahnya Nabi ke Madinnah.
Berisi tentang hukum-hukum yang berlaku sampai saat ini.
4) Hukum-hukum dalam al-Quran di antaranya;
a) Hukum-hukm Itiqadiyyah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan
dengan keimanan seseorang.
b) Akhlaq dan moral, yaitu sesuatu yang harus dijadikan perhiasan
mukallaf dan menghindari hal-hal yang hina.
c) Hukum-hukum amaliyyah, yaitu hukum-hukum yang bersangkutan
dengan sesuatu yang timbul dari mukallaf (fiqh al-Quran)

Catatab Kaki:

[1] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Mesir: Maktabah al-Dawah al-Islamiyah,
tt., hlm. 20.

[2] Ibid, hlm. 21.

[3] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, Damaskus: Daar al-Fikr, 1986, Cet. ke-1,
Juz: 1, hlm. 417.

[4] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Mesir: Maktabah al-Dawah al-Islamiyah,
tt., hlm. 22.

[5] Abdul wahhab Khallaf, terj., Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama Semarang,
1994, hlm. 18.

[6] Drs. Muin Umar, Dkk., Ushul Fiqh I, Jakarta: Departemen Agama RI, 1986, hlm. 70

[7] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama Semarang, 1994,
hlm. 21

[8] Ibid, hlm.21


[9] Ibid, hlm. 26-33
[10] Ibid, hlm. 34-36
[11] Lihat Q.S. al-Baqarah: 219, Q.S. an-Nisaa: 43, Q.S.

Anda mungkin juga menyukai