Anda di halaman 1dari 5

HUKUM DAKWAH DALAM AL-QURAN DAN HADIS DAN HUBUNGAN

ETIKA DAN STRATEGI DAKWAH DENGAN ILMU LAINNYA

Ilyas Haryanto, Rajak

Institute Agama Islam Bunga Bangsa Cirebon

Ilyasharyanto78@gmail.com ,

Pembahasan
1. Hukum Dakwah dalam Al-quran

Hukum dakwah terdiri dari dua kata yaitu hukum dan dakwah. Menurut Ernst
Utrecht seorang pakar hukum yang berasal dari Indonesia mendifinisikan bahwa
hukum ialah himpunan yang menjadi petunjuk hidup berupa perintah atau larangan
yang bertujuan mengatur tata tertib di dalam masyarakat yang harus ditaati oleh
masyarakat. Sedangkan J.C.T Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto berpendapat
bahwa hukum merupakan peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang
menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh
badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan
tadi berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu.

Kemudian pengertian dakwah, secara bahasa dakwah berasal dari kata dasar
(Masdar) kata kerja da’a-yad’u yang berarti panggilan, ajakan atau seruan. Secara
istilah, dakwah ialah kegiatan yang bersifat mengajak dan memanggil orang untuk
taat kepada Allah SWT sesuai dengan garis akidah, syariah dan akhlak Islamiyah.

Dengan demikian pengertian hukum dakwah ialah aturan-aturan yang memuat


tentang kewajiban dan tata cara dakwah sesuai dengan hukum islam.

Ditinjau dari segi fiqh hukum sendiri terdapat beberapa pembagian yaitu:
hukum akli, hukum syar’i dan hukum ‘adi.

1. Hukum Akli

Hukum akli adalah hukum yang berkaitan dan dapat dipahami melalui pendekatan
pikiran. Berkaitan dengan hal ini ada tiga bentuk hukum akli, yaitu:
1. Wajib Akli, hal-hal yang mesti ataau wajib dipikirkan atau diputuskan melalui
pendekatan akal
2. Harus Akli, hal-hal yang lebih baik memutuskan atau menetapkan sesuatu
melalui pendeketan akal
3. Mustahil Akli, hal-hal yang tidak mungkin menggunakan akal dalam
memutuskan atau menetapkan sesuatu.
2. Hukum Syar’i

Hukum syar’i merupakan seperangkat peeraturan berdasarkan ketentuan Allah


tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat
untuk semua umat yang beragama islam. Hukum syar’i dibagi menjadi dua yaitu:
1. Hukum Taklifi, titah (perintah Allah) langsung mengenai perbuatan orang
mukallaf. Hukum ini juga terbagi menjadi lima macam, yaitu, wajib, haram,
mandub (sunnah), mubah, makruh.
Suatu perintah tergolong wajib atau fardhu apabila perintah itu diiringi dengan
janji pemberian pahala bagi yang menjalankan dan ancaman siksaan bagi yang
meninggalkan. Perintah wajib ini didasarkan pada dalil-dalil yang sudah qath'i
atau pasti, yang tidak diragukan lagi kesahihannya. Contohnya adalah orang
mukalaf (yang telah dibebani tugas agama) yang menolak menegakkan shalat,
tidak mengerjakan puasa Ramadhan, atau menolak membayar zakat.
Kebalikan dari wajib adalah haram. Yaitu, perintah untuk meninggalkan
sesuatu dengan disertai janji pahala bagi yang mematuhinya dan dosa bagi
yang melanggarnya. Menurut Imam Hanafi, hukum ini juga didasarkan pada
dalil-dalil qath'i (pasti) yang tidak mengandung keraguan sedikit pun. Contoh
perbuatan yang diharamkan sangat banyak, di antaranya memakan bangkai,
membunuh tanpa sebab, berzina, dan mencuri.
Adapun perbuatan yang mandub adalah perbuatan yang pelakunya akan
diberikan pahala, sedangkan yang meninggalkannya tidak mendapatkan siksa.
Dengan kata lain, yang mengerjakan amalan tersebut lebih baik daripada yang
tidak mengerjakannya. Contoh dari amalan yang mandub di antaranya adalah
shalat sunah dua rakaat sebelum dan sesudah shalat wajib.
Adapun perbuatan yang mandub adalah perbuatan yang pelakunya akan
diberikan pahala, sedangkan yang meninggalkannya tidak mendapatkan siksa.
Dengan kata lain, yang mengerjakan amalan tersebut lebih baik daripada yang
tidak mengerjakannya. Contoh dari amalan yang mandub di antaranya adalah
shalat sunah dua rakaat sebelum dan sesudah shalat wajib.

Makruh. Seperti halnya haram adalah lawannya wajib, makruh adalah


lawannya mandub . Menurut para ahli usul fikih, makruh merupakan larangan
yang apabila dikerjakan tidak menimbulkan dosa, tetapi bagi yang mampu
meninggalkannya akan mendapatkan pahala. Dengan kata lain, orang yang
meninggalkannya lebih baik daripada yang melakukannya. Misalnya, orang
yang diam lebih baik daripada orang yang banyak membicarakan hal-hal yang
tidak berguna.
2. Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i atau hukum kondisional merupakan hukum yang
menggabungkan dua hal. Yang dimaksud dengan menggabungkan dua hal di
sini adalah kondisi yang mejadi sebab, syarat, atau halangan bagi yang lain.
Contoh hubungan yang menjadi sebab adalah ketika seseorang telah
menyaksikan hilal pada 1 Ramadhan, diwajibkan baginya untuk berpuasa
Ramadhan. Berarti, melihat hilal menjadi sebab bagi wajibnya puasa.
Rasulullah SAW bersabda, ''Berpuasalah kalian karena melihat bulan (1
Ramadhan) dan berbukalah karena melihat bulan (1 Syawwal).''

Contoh hubungan yang menjadi syarat bagi yang lain adalah mengambil air
wudhu menjadi syarat bagi sahnya shalat; adanya saksi menjadi syarat bagi
sahnya pernikahan; niat menjadi syarat bagi sahnya puasa, dan lain-lain.

Sedangkan, contoh hubungan yang menjadi penghalang ( mani' ) ialah


pembunuhan atau murtad (keluar dari Islam) menjadi halangan bagi seseorang
untuk memperoleh harta warisan. Nabi SAW bersabda, ''Seorang pembunuh
tidak berhak atas pembagian harta warisan.'' Demikian pula dengan gila dan
tidak sadar diri yang menjadi penghalang bagi wajibnya shalat.

3. Hukum ‘Adi,

Hukum Adi. Yaitu hukum yang dibuat oleh pembuat hukum dalam hal ini
pemerintah untuk mengatur kemaslahatan orang banyak dalam sebuah negara atau
wilayah yang lebih besar. Hukum dalam bentuk ini misalnya Undang-undang
Dasar, UU, PP, Kepres, kepmen.
Berdasarkan ayat al-Qur'an, ulama sepakat bahwa hukum dakwah itu secara
umum adalah wajib, namu yang menjadi perdebatan adalah apakah kewajiban itu
dibebankan kepada individu mulim atau hanya kepada kelompok orang saja.
perbedaan pendapat mengenai hukum berdakwah disebabkan perbedaan cara
pemahaman mereka terhadap dalil-dalil nakli disamping kenyataan kondisi setiap
muslim yang berbeda pengetahuan dan kemampuan.
Toha Jahya Omar mengungkapkan bahwa hukum dakwah adalah wajib sesuai
dengan surat An-Nahl: 125 yang artinya ”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui orangorang yang mendapat
petunjuk.”
Kemudian tentang hukum dakwah juga terdapat dalam Q.S Almaidah ayat 78- 79
yang artinya: “Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud
dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu
melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar
yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat
itu.”
Dalam surat Almaidah ayat 78-79 di atas Allah SWT mengecam dengan keras
Bani Israil yang meninggalkan dakwah. Mereka tidak memperdulikan aktifitas
dakwah. Artinya mereka tidak melarang kemungkaran. Surat ini merupakan salah satu
contoh nyata pada umat terdahulu yang disiksa karena mengabaikan perintah
mencegah kemungkaran. Yang mana untuk mencegah kemungkaran itu adalah wajib.

2. Hukum Dakwah dalam Hadits


Selain al-Qur’an, di dalam hadits juga terdapat perintah atau suruhan untuk
melakukan dakwah. Hukum dakwah ini nampaknya juga akan berbeda pada setiap orang
tergantung situasi dan kondisi yang dialami orang tersebut dalam pandangan hukum. Abu
Sa’id Al-Khudry ra. Berkata, Aku Mendengar Rasulullah SAW, bersabda: “Barangsiapa
diantara kamu melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mencegah dengan tangan
(kekerasan atau kekuasaan), jika ia tidak sanggup dengan demikian (sebab tidak
memiliki kekuatan dan kekuasaan), maka dengan lidahnya, dan jika tidak mampu
(dengan lidahnya) yang demikian itu adalah selemah-lemah iman”. (HR. Muslim).
Berdasarkan hadits tersebut ada dua macam hukum dakwah yaitu hukum secara
umum dan hukum secara khusus. Hukum secara umum adalah bahwa pelaksanaan
kegiatan dakwah ditetapkan sebagai kewajiban yang hukumnya fardu kifayah. Hal ini
disebabkan karena tidak mungkin semua orang memiliki potensi sebagai muballigh dan
dapat melaksanakan dakwah dengan baik. Sedangkan hukum secara khusus adalah
ketetapan hukum yang dijatuhkan kepada seseorang yang keluar dari hukum fardu
kifayah, disebabkan oleh tingkatan kemampuan dan ketidakmampuan seseorang.
Ada tiga cara dakwah pada hadits tersebut. Pertama mencegah dengan tangan atau
dengan kekuasaan atau jabatan yang dimiliki seseorang, yang dengan jabatan atau
wewenang yang dimilikinya dia akan didengarkan orang atau orang akan menyeganinya.
Kedua dengan cara lisan yaitu berbicara dengan kebenaran yang dilontarkan
kepada mereka yang melakukan kemungkaran dan orang ini harus mempunyai mental
yang cukup kuat dan dalam melakukan tindakan pencegahan kemungkaran.
Ketiga dengan hati, ini merupakan jalan terakhir untuk menasehati orang lain
yaitu merupakan selemah-lemah keadaan seseorang, setidak-tidaknya ia masih tetap
berkewajiban menolak kemungkaran dengan hatinya kalau ia masih dianggap Allah
sebagai orang yang memiliki iman, walaupun iman yang paling lemah, yakni mentalnya
tidak sanggup untuk mencegah kemungkaran.
Penolakan kemungkaran dengan hati merupakan batas minimal dan benteng
tempat penghabisan dari upaya pencegahan kemungkaran.

3. Hubungan Etika dan Strategi Dakwah dengan ilmu komunikasi


Dakwah termasuk dalam kegiatan komunikasi, walaupun tidak semua kegiatan
komunikasi adalah dakwah. Oleh karena itu hubungan antara komunikasi dan dakwah
sangatlah erat. Komunikasi menjadi satu indikator penting agar proses dakwah
berjalan dengan baik.
Dalam proses komunikasi dikenal adanya komunikator, komunikan, pesan,
saluran yang digunakan, dan efek. Elemen-elemen ini akan saling berkaitan erat satu
sama lainnya. Begitu juga dalam konsep komunikasi dakwah. Komunikasi adalah proses
penyampaian suatu pesan kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah
sikap, pendapat,atau perilaku, baik langsung secara lisan, maupun tidak langsung melalui
media (Effendy 1992, 5).
Ketika etika dikaitkan dengan komunikasi, maka etika itu menjadi dasar pijakan
dalam berkomunikasi antar individu atau kelompok. Etika memberikan landasan moral
dalam membangun tata susila terhadap semua sikap dan perilaku individu atau kelompok
dalam komunikasi. Dengan demikian, tanpa etika komunikasi itu dinilai tidak etis.
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa etika
komunikasi adalah tata cara berkomunikasi yang sesuai dengan standar nilai moral atau
akhlak dalam menilai benar atau salah perilaku individu atau kelompok. Etika komunikasi
dibangun berdasarkan petunjuk Alquran, Islam mengajarkan bahwa berkomunikasi itu
harus dilakukan secara beradab, penuh penghormatan, penghargaan terhadap orang yang
diajak bicara, dan sebagainya.
Etika komunikasi dalam Islam didasarkan pada prinsip-prinsip ajaran Islam yang
bersumber dari nilai-nilai Ilahiyah. Semua prinsip itu dijadikan sebagai fondasi dasar
dalam berpikir, bersikap, berbicara, bertindak dan sebagainya dalam kehidupan umat
Islam tanpa kecuali. Karena, pada prinsipnya dengan siapapun umat Islam
berkomunikasi, mereka harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip yang mendasari etika
komunikasi dalam kehidupan di masyarakat, terutama dalam keluarga.

Anda mungkin juga menyukai