Anda di halaman 1dari 5

UJIAN AKHIR SEMESTER

NAMA :WILDAN LISTA GUMELAR


PRODI :MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM 1 (REGULER)
MATKUL:ILMU FIQIH
NIM :20232013

JAWABAN
NO 1.
A.SYARIAH
hukum atau peraturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Muslim. Selain berisi
hukum dan aturan, syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. Maka oleh
sebagian penganut Islam, Syariat Islam merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh
permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia dan akhirat.

B. FIQIH
Secara etimologis, fiqh identik dengan al-fahm yang berarti pengetahuan atau pemahaman. Sedangkan
secara terminologi, fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syara' yang bersifat praktis yang diperoleh
dari dalil-dalilnya yang terperenci.
C. HUKUM ISLAM
Hukum Islam adalah hukum yang berasal dari agama Islam. Yaitu hukum yang diturunkan oleh Allah
untuk kemaslahatan hamba-hambaNya di dunia dan akhirat. adalah hak peregulit Allah Ta'ala. mana
pun mereka berada.
Jadi perbedaan Semua umat Islam pasti sudah sangat familiar dengan yang namanya syariat fiqih dan
hukum islam . Secara sederhana, kita dapat memahami bahwa syariat merupakan hukum dasar yang
diberikan oleh Allah swt kepada manusia, sedangkan fiqih merupakan produk dari ijtihadnya para
ulama saleh yang bersumber dari syariat tersebut. Tanpa ketiganya manusia akan berjalan dalam
kegelapan, karena keduanya merupakan lampu yang menerangi sepanjang jalan kehidupan umat
manusia selama di alam dunia. Dengan berpedoman pada keduanya, niscaya manusia akan selamat di
dunia dan di akhirat.. Syariat itu mencakup hukum-hukum yang berkaitan dengan aqidah, akhlaq dan
perbuatan mukallaf. Sementara fiqih itu hanya mencakup hukum-hukum yang berkaitan dengan
perbuatan saja. Jadi fiqih itu merupakan ilmu yang mempelajari sebagian dari syariat
NO 2.
A.MAKNA TAKLIFI
Hukum taklifi adalah salah satu jenis hukum Islam menurut ulama ushul fikih, selain juga hukum
wadh'i. Istilah halal, haram, wajib, sunah, dan sebagainya merupakan bagian dari hukum taklifi dalam
Islam. Secara definitif, hukum taklifi adalah hukum penugasan. Dalam bahasa Arab, taklifi artinya
pembebanan. Ketaatan terhadap hukum tersebut merupakan wujud kesadaran beragama bagi umat
Islam. Pembebanan hukum taklifi ditujukan kepada orang Islam mukalaf. Seorang mukalaf artinya
orang yang sudah balig (cukup umur) dan berakal (tidak gila atau hilang kesadaran). Artinya, anak-
anak kecil atau pengidap gangguan jiwa akut hingga akalnya terganggu tidak dibebani hukum-hukum
taklifi. Macam-macam & Contoh Hukum Taklifi:
1. Wajib Pembebanan suatu perkara hingga hukumnya wajib didasarkan dalil-dalil yang sudah pasti
(qath'i) dan tidak diragukan kesahihannya. Karena itu, orang-orang yang mengingkari hal-hal wajib
dalam Islam, keimanannya patut dipertanyakan. Perkara wajib atau fardu merupakan perintah yang
diiringi janji pemberian pahala bagi yang menjalankannya dan ancaman neraka bagi yang
meninggalkannya. Contoh-contoh perkara wajib dalam Islam adalah perintah salat lima waktu, puasa,
serta zakat dan haji bagi yang mampu.
2. Sunah Suatu perkara dianggap sunah apabila yang mengerjakannya memperoleh pahala dan
meninggalkannya tidak mendapat dosa. Artinya, seorang muslim yang mengerjakan amalan itu lebih
baik daripada tidak mengerjakannya. Ulama Mazhab Maliki, Imam Asy-Syatibi menyatakan bahwa
perkara sunah merupakan pelengkap dari ibadah wajib. Ia merupakan penyempurna dari kelalaian
dalam ibadah fardu di atas. "Barang siapa yang senantiasa melaksanakan ibadah sunah, pasti ia juga
menjalankan ibadah wajib," tulis Imam Asy-Syatibi dalam Kitab Al-Muwafaqat (2008). Contoh-
contoh perkara sunah adalah mengerjakan salat rawatib, salat duha, puasa Senin-Kamis, dan
sebagainya.
3. Haram Lawan dari hukum wajib adalah haram. Jika perintah wajib harus dikerjakan, larangan
haram harus ditinggalkan. Perkara haram adalah perintah untuk meninggalkan suatu hal dengan janji
pahala apabila menaatinya. Sementara itu, orang yang melanggarnya akan dikenai dosa. Contoh-
contoh perilaku haram adalah minum khamar, berzina, mencuri, dan lainnya.
4. Makruh Lawan dari hukum sunah adalah makruh. Jika perkara sunah dianjurkan untuk dikerjakan,
perkara makruh sebaiknya ditinggalkan. Tidak ada dosa bagi orang yang melakukan perbuatan
makruh, namun memperoleh pahala apabila meninggalkannya. Di antara contoh perbuatan makruh
adalah lebih baik diam daripada membicarakan hal-hal tak berguna.
5. Mubah Perkara mubah adalah hukum opsional. Orang-orang Islam boleh mengerjakan atau
meninggalkannya. Keduanya tidak menghasilkan pahala atau memperoleh dosa. Di antara contoh
perkara mubah adalah tertawa, berdagang, dan lain sebagainya .
-MAKNA WAD’I
Hukum wadh'i adalah salah satu jenis hukum syariat Islam menurut ulama ushul fikih, selain juga
hukum taklifi. Sederhananya, hukum wadh'i merupakan hukum kondisional yang menyertai hukum
taklifi. Hukum taklifi sendiri berkaitan perkara haram, halal, sunah, makruh, dan mubah. Kelima
hukum itu disertai dengan hukum kondisional. Misalnya, perkawinan menjadi sebab halalnya
hubungan suami istri. Perkawinan yang menjadi sebab mubahnya hubungan suami istri termasuk
bahasan dalam hukum wadh'i. Sebelum akad nikah, laki-laki dan perempuan yang bukan mahram
tidak boleh berkhalwat (berduaan), apalagi berhubungan badan. Selepas perkawinan, hal-hal terlarang
antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram menjadi halal dan boleh dilakukan. Selanjutnya,
hukum-hukum syariat ini, baik itu hukum wadh'i dan taklifi lazimnya ditujukan kepada mukalaf atau
orang yang sudah layak dibebankan hukum Islam. Orang mukalaf adalah sosok yang sudah balig
(cukup umur), berakal sehat (tidak mabuk atau hilang kesadaran), dan tidak tidur (dalam kondisi
sadar). Hal itu tergambar dalam sabda Rasulullah SAW: “Pena [pencatat amal] diangkat dari tiga
golongan, yaitu orang tidur sampai dia bangun, anak-anak sampai dia balig, dan dari orang yang gila
sampai dia sadar [berakal],” (H.R. Ibnu Majah)
1. Sebab Secara definitif, sebab dalam hukum wadh'i adalah tanda hingga lahirnya hukum Islam.
Tanpa tanda (sebab) itu, seorang mukalaf tidak dibebani hukum syariat. Sebagai misal, tanda balig
merupakan sebab bagi kewajiban hukum-hukum Islam. Anak kecil yang belum cukup umur (balig)
tidak wajib salat, puasa, atau menjalankan ibadah fardu lainnya. Contoh hukum wadh'i berkaitan
dengan sebab lainnya adalah ketika seseorang menyaksikan hilal 1 Ramadan, umat Islam diwajibkan
berpuasa. Berdasarkan hal itu, hilal adalah sebab bagi kewajiban puasa.
2. Syarat Suatu ibadah atau perkara syariat lazimnya mewajibkan adanya syarat harus dipenuhi. Tanpa
adanya syarat, perkara itu batal dan tak boleh dikerjakan. Sebagai misal, saksi adalah syarat sahnya
pernikahan dan niat menjadi syarat sahnya puasa. Tanpa saksi atau niat, maka kedua perkara tadi batal
dan dianggap tidak sah. Syarat adalah hukum wadh'i yang menjadi pengiring suatu ibadah atau sahnya
hukum syariat Islam tersebut.
3. Penghalang (Mani') Jenis hukum wadh'i lainnya adalah penghalang atau mani'. Kendati seseorang
dibebankan perkara syariat, namun karena adanya penghalang, perkara itu menjadi batal. Sebagai
misal, seorang anak berhak memperoleh warisan, namun apabila ia murtad, warisan itu tidak boleh ia
terima. Murtad adalah penghalang dari hak warisannya dalam ketentuan Islam.
4. Azimah dan Rukhsah Secara umum, suatu perkara syariat ditinjau dari pengerjaannya terbagi dalam
dua kondisi, yaitu azimah dan rukhsah. Suatu ibadah dalam kondisi azimah maksudnya berada dalam
hukum asli perkara tersebut. Hukum asal yang belum berubah. Misalnya, hukum salat lima waktu
adalah wajib bagi seluruh mukalaf. Saking wajibnya, orang sehat dan sakit pun tetap wajib salat. Jika
tak bisa salat berdiri, bisa salat duduk, berbaring, hingga salat dengan isyarat saja. Sebaliknya, kondisi
rukhsah adalah keringanan sebagai pengecualian dari kondisi azimah. Sebagai misal, seseorang haram
memakan bangkai atau daging babi. Namun, jika tidak ditemukan makanan lain sehingga seseorang
terancam mati kelaparan, ia memperoleh rukhsah boleh memakan bangkai atau daging babi.
5. Sah dan Batal Suatu perkara syariat dianggap sah apabila sesuai dengan perintah syariat dan
mendatangkan pahala di akhirat. Apabila ibadah wajib sudah sah dilakukan,
B.PENJELASAN

-Mengapa disebut hukum taklifi

Dinamakan hukum taklifi karena perintah ini berkaitan langsung dengan perbuatan seorang mukallaf
(baligh dan akal sehat). Syarat tersebut disebabkan karena hukum taklifi mewajibkan mukallaf untuk
melakukan dan meninggalkan suatu perbuatan dengan pasti.

-Mengapa disebut hukum wad’i


Sedangkan hukum wadh'i adalah hukum yang menjadikan sesuatu itu sebagai sebab adanya yang lain
atau syarat bagi sesuatu yang lain atau sebagai penghalang bagi sesuatu yang lain. Hukum wadh'i ada
tujuh yaitu sebab, syarat, penghalang, 'azimah, rukhsah, sah dan batal.

No 3
Waktu-waktu shalat sangat perlu sekali diperhatikan karena mengingat jika belum masuk waktunya
atau kelewat waktunya, shalat seseorang tidaklah sah. matahari bergeser dari pertengahan langit ke
arah barat maka tibalah kewajiban shalat dhuhur Termasuk kedalam hukum Fardhu 'Ain, yakni yang
diwajibkan kepada individu. Termasuk dalam shalat ini adalah shalat lima waktu dan shalat Jumat
untuk pria

No.4
Al-Qur’an dan Sunnah diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman dalam menata
kehidupan manusia baik di dunia maupun akhirat. Setelah wahyu tidak turun lagi dengan wafatnya
Nabi, tak selamanya al-Qur’an dan sunnah mampu menjawab secara langsung semua persoalan-
persoalan yang muncul, sementara kejelasan suatu hukum dirasa perlu saat itu juga. Untuk
menyelesaikannya maka ulama-ulama melakukan ijtihad sebagai usaha dalam menemukan jawaban
atas suatu permasalahan, di antaranya adalah istihsan. Sampai pada saat ini, istihsan masing sering
digunakan para fuqaha sebagai solusi dalam menyelesaikan beberapa persoalan kekinian, namun di
balik itu terdapat beberapa kalangan ulama yang menentang kehujjahan istihsan sebagai dalil dalam
menetapkan hukum Islam karena dianggap berhujjah berdasarkan hawa nafsu belaka. Penolakan ini
dipelopori oleh Imam as-Syafi’i yang bercorak tariqah mutakallimin sebagai latar belakang
pemirannya atau disebut juga ahl-al-hadis. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah yang condong kepada
golongan tariqah fuqaha atau ahl ar-ra’y, dalam ijtihadnya sering menggunakan istihsan dalam
menetapkan suatu hukum permasalahan tertentu. Jenis penelitian ini adalah Library Research, yaitu
jenis penelitian yang dilakukan dan difokuskan pada penelaahan, pengkajian, dan pembahasan
literatur-literatur, baik klasik maupun moder khususnya karya-karya ulama Hanafiah serta karya-
karya Imam as-Syafi’i sebagai objek dari penelitian ini. Pendekatan yang digunakan adalah uṣul al-
fiqh dengan metode ta’lili sebagai sudut pandang penalaran dalam menganalisa permasalahan yang
dikaji. serta pendekatan sosio-historis untuk mengkaji latar belakang pemikiran Imam Abu Hanifan
dan Imam as-Syafi’i dalam menetapkan hukum. Penelitian ini bersifat deskriptif, komparatif, analitik,
yaitu menjelaskan, memaparkan, dan menganilisis serta membandingkan pemikirannya secara
sistematis terkait suatu permasalahan dari kedua tokoh yang memiliki latar belakang dan pemikiran
yang berbeda. Berdasarkan kepada hasil penelitian, Imam Abu Hanifah mengakui istihsan sebagi
salah satu dalil hukum Islam, ia banyak menetapkun hukum dengan istihan. Ulama Hanafiah
mengartikan hakikat dari istihsan adalah dua macam qiyas. Yang pertama qiyas jali tetapi kecil
pengaruhnya dalam mencapai tujuan syariat, sedangkan yang kedua adalah qiyas khafi tetapi
mempunyai pengaruh lebih kuat dan dianggap lebih sesuai dengan tujuan syariat berdaarkan
kemaslahatan. Sedangkan Imam as-Syafi’i secara tegas menolak istihsan, karena istihsan dianggap
sebagai sebuah metode istinbat hukum berdasarkan hawa nafsu dan hanya mencari enaknya saja.
Sedangkan Nabi tidak pernah berpendapat dengan hawa nafsunya, tidak menetapkan suatu masalah
dengan “apa yang dianggapnya baik” akan tetapi berdasarkan wahyu.
Mengapa imam syafi’i menolak penggunaan istisan sebagai sumber hukum karena istihsan dianggap
sebagai sebuah metode istinbat hukum berdasarkan hawa nafsu dan hanya mencari enaknya saja

NO.5

al-Qawaid al-fiqhiyyah ini, selain berfungsi sebagai tempat bagi para mujtahid
mengembalikan seluruh seluk beluk masalah fikih juga sebagai kaedah (dalil) untuk
menetapkan masalah-masalah baru yang tidak ditunjuk oleh nash yang jelas (sharih)
yang sangat memerlukan untuk ditentukan hukumnya. Manfaat keberadaan qawa'id
fiqhiyyah adalah untuk menyediakan panduan yang lebih praktis yang diturunkan
dari teks dan jiwa nash asalnya yaitu al-Qur'an dan al-Hadis yang digeneralisasi
dengan sangat teliti oleh para ulama terdahulu dengan memperhatikan berbagai
kasus fiqh yang pernah terjadi,

Anda mungkin juga menyukai