Anda di halaman 1dari 19

Pengertian Obyek Hukum (Mahkum Bih)

Secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum fih adalah perbuatan mukallaf
yang berkaitan atau dibebani dengan hukum syar’i.[1] dalam derivasi yang lain dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan objek hokum atau mahkum bih ialah sesuatu yang dikehendaki oleh pembuat hukum
untuk dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia, atau dibiarkan oleh pembuat hukum untuk dilakukan
atau tidak.[2]

Menurut Usuliyyin,yang dimaksud dengan Mahkum fih adalah obyek hukum,yaitu perbuatan seorang
mukalllaf yang terkait dengan perintah syari’(Alloh dan Rosul-Nya), baik yang bersifat tuntutan
mengerjakan; tuntutan meninggalkan; tuntutan memilih suatu pekerjaan. Para ulama pun sepakat
bahwa seluruh perintah syari’ itu ada objeknya yaitu perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan
mukallaf tersebut ditetapkannya suatu hukum:[3]

Di dalam penjelasan yang lain pula disebutkan bahwa, Mahkum bih adalah objek hukum yaitu perbuatan
orang mukallaf yang terkait dengan titah syar’i yang bersifat mengerjakan, meninggalkan maupun
memilih antara keduanya. Seperti perintah sholat, larangan minum khomer, dan semacamnya. Seluruh
titah syar’i ada objeknya. Objek itu adalah perbuatan orang mukallaf yang kemudian di tetapkan suatu
hukum darinya.[4]

Dalam istilah ulama ushul Fiqh, yang disebut mahkum bih atau objek hokum, yaitu sesuatu yang berlaku
padanya hokum syara’. Objek hokum adalah “perbuatan” itu sendiri dan hokum itu berlaku pada
perbuatan dan bukan pada zatnya.[5] Hokum syara yang dimaksud, terdiri atas dua macam yaknihukum
taklifi dan hukum wad’i. hokum taklifi jelas menyangkut perbuatan mukallaf, sedangkan sebagian hokum
wad’I ada yang tidak berhubungan dengan perbuatan mukallaf.[6]

3. Macam-Macam Mahkum Bih

Para ulama usul membagi mahkum bin dari dua segi yaitu dari segi keberadanya secara material dan
syara serta dan segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri

Dari segi keberadanya dan syara mahkum bih terdiri dari

1) Perbuatan secara material ada. Tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara seperti
makan dan minum yang dilakukan mukallaf itu bukan termasuk syara

2) Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara seperti
perziaan ,pencurian dan pembunuhan perbauatan itu berkaitan hukum syara yaitu hudud qishash

3) Perbuatan yang secara material aa dan baru bernilai dalam syara apabila memenuhi rukun dan
syarat yang ditentukan seperti sholat dan zakat

4) Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara serta mengakibatkan adanya hukum syara
yang lain seperti nikah dan jual beli dan sewa menyewa .Perbuatan ini secara material adadan diakui
oleh syara Apabila menemukan rukun dan syarat perbuatan itu memnakibatkan munculnya hukum
syara yang lain seperti hubungn suami istri mangakibatkan kewajiban untuk member nafkah.[9]

1.MAHKUM BIH

A.Pengertian Mahkum fih

Menurut Usuliyyin,yang dimaksud dengan Mahkum fih adalah obyek hukum,yaitu perbuatan seorang
mukalllaf yang terkait dengan perintah syari’(Alloh dan Rosul-Nya), baik yang bersifat tuntutan
mengerjakan; tuntutan meninggalkan; tuntutan memilih suatu pekerjaan.

Para ulama pun sepakat bahwa seluruh perintah syari’ itu ada objeknya yaitu perbuatan mukallaf. Dan
terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkannya suatu hukum:

Contoh:

1.Firman Alloh dalam surat al baqoroh:43

‫( و اقيمو االصالة) البقرة‬

Artinya:”Dirikanlah Sholat”

Ayat ini menunjukkan perbuatan seorang mukallaf,yakni tuntutan mengerjakan sholat,atau kewajiban
mendirikan sholat.

2.Firman Alloh dalam surat al an’am:151


‫( والتقتلواالنفس االتي حر م اهللا اال باالحق) االنعا م‬

Artinya:”Jangan kamu membunuh jiwa yang telah di haramkan oleh Alloh melainkan dengan sesuatu
(sebab)yang benar”

Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan mukallaf,yaitu larangan
melakukan pembunuhan tanpa hak itu hukumnya haram.

3.Firman Alloh dalam surat Al-maidah:5-6

6-5 ‫اذاقمتم الى الصالة فا غسلوا وجو هكو و ايد يكم الى المرا فق الما ئد ه‬

Artinya:”Apabila kamu hendak melakukan sholat,maka basuhlah mukamu dan tangan mu sampai siku
siku”

Dari Ayat diatas dapat diketahui bahwa wudlu merupakan salah satu perbuatan orang mukallaf,yaitu
salah satu syarat sahnya sholat.

Dengan beberapa contoh diatas,dapat diketahui bahwa objek hukum itu adalah perbuatan mukallaf.

B. Beberapa Asas Hukum Islam

Menurut Tim Pengkajian Hukum Islam Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman
bahwa asas hukum islam terdi-ri dari (1) bersifat umum, (2)lapangan hukum pidana, (3) lapangan hukum
perdata. Mengenai asas-asas hukum yang lain seperti lapangan tata negara, internasional dan lain-lain
tidak disebutkan dalam laporan mereka.

Asas-asas umum

a. Asas keadilan

Dalam al quran, kata ini disebut 1000 kali. term keadilan pada umumnya berkonotasi dalam penetapan
hukum atau kebijakan pemwrintah. Konsep keadilan meliputi berbagai hubungan, misalanya; hubungan
individu dengan dirinya sendiri, hubungan antara individu dan yang berpekara serta hubungan-
hubungan dengan berbagai pihak yang terkait. Keadilan dalam hukum islam berarti keseimbangan
antara kewajiban dan harus dipenuhi oleh manusia dengan kemammpuan manusia untuk menuanaikan
kewajiban itu.

Etika keadilan; berlaku adil dlam menjatuhi hukuman, menjauhi suap dan hadiah, keburukan tyergesa-
gesa dalam menjatuhi hukuman, keputusan hukum bersandar pada apa yang nampak, kewajiban
menggunakan hukum agama.

b. Asas kepastian hukum

Dalam syariat Islam asas ini disebut ‫ قبل ورود النص الحكم ألفعال العقاالء‬artinya sebelum ada nas, tidak ada
hukum bagi perbuatan orang-orang yang berakal sehat. Bahwa pada dasarnya semua perbuatan dan
perkara diperbolehkan. Jadi selama belum ada nas yang melarang, maka tidak ada tuntutan ataupun
hukuman atas pelakunya. Dasar hukumnya asas ini ialah QS Al Isro' 15 ;

‫َو َم ا ُكَّن ا ُم َع ِّذ ِبيَن َح َّت ى َن ْب َع َث َر ُسوال‬

"…. Dan kami tidak akan menyiksa sebelum kami mengutus seorang rasul."

c. Asas kemanfatan

Asas kemanfaatan adalah asas yang mengiringi keadilan dan kepastian hukum tersebut diatas. Dalam
melaksanakan asas keadilan dan kepastiann hukum hendaknya memperhatikan manfaat bagi terpidana
atau masyarakat umum. Contoh hukuman mati, ketika dalam pertimbangan hukuman mati lebih
bermanfaat bagi masyarakat, misal efek jera, maka hukuman itu dijatuhkan. Jika hukuman itu
bermanfaat bagi terpidana, maka hukuman mati itu dapat diganti dgengan denda.

Macam Hukum-hukum islam ( hukum syara' ) - Hukum islam yang biasa juga disebut hukum syara' tebagi
menjadi lima macam yaitu :

Macam Hukum-hukum islam ( hukum syara' )

Wajib ,

yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan ditinggalkan mendapat dosa .
Wajib atau fardhu ini tebagi menjadi dua bagian yaitu

wajib ain , yaitu yang harus di kerjakan oleh orang yang bergama islam seperti sholat lima waktu , puasa
dan sebagainya .

wajib kifayah , yaitu suatu kewajiban yang telah di anggap cukup apabila telah dikerjakan oleh sebagian
dari orang , dan berdosalah seluruhnya jika tidak seorangpun dari mereka mengerjakannya . seperti
menyolatkan orang yang meninggal dan menguburkannya .

Sunnah ,

yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak
berdosa.

Sunnah sendiri dibagi menjadi dua macam yaitu :

Sunnah mu'akkad , yaitu sunnah yang sangat di anjurkan mengerjakannya seperti sholat tarawih , sholat
dua hari raya dan sebagainya .

Sunnah ghairu mu'akkad , yaitu sunnah biasa .

Haram ,

yaitu suatu perkara yang apabila ditinggalkan mendapat pahala dan apabila dikerjakan mendapat
dosa ,seperti minum-minuman keras , berbohong , durhaka kepada orang tua dan sebagainya .

Makruh ,

yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan tidak berdosa dan apabila ditinggalkan mendapat
pahala ,seperti makan pete , makan jengkol , makan bawang mentah dan sebagainya . jelasnya lebih
baik ditinggalkan daripada dilakukan .

Mubah ,

yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan tidak mendapat pahala dan tidak berdosa dan jika
ditinggalkan juga tidak berdosa dan tidak mendapat pahala . jelasnya boleh saja dikerjakn dan boleh
ditinggalkan .
Handar Subhandi

BERANDA

Friday, June 8, 2012

Perkembangan Hukum Islam Pada Masa Rasulullah SAW

BAB I

PENDAHULUAN

Islam merupakan agama yang universal dan rahmatal lil alamin, untuk siapa saja , dimana saja berada
dan kapan saja. Agama Islam merupakan satu-satunya agama yang mampu menyesuaikan diri dalam
kondisi apapun tanpa menghilangkan nilai-nilai dasar (substansial) dari ajaran Islam yang luhur. Hal
itulah yang menyebabkan kenapa Islam dapat berlaku selama-lamanya dan dimanapun (Al-Islamu
haqqun likulli zaman wa makan), tidak musnah termakan zaman yang senantiasa dinamis dan menuntut
perubahan.

Berbicara Islam pada masa kini tidak dapat dilepaskan dari sejarah kelahiran dan pertumbuhan Islam
pada masa silam. Kemunculan Agama Islam sekitar abad keenam masehi tidak dapat dilepaskan dari
kondisi sosial masyarakat Arab pada masa itu yang kita kenal dengan zaman jahiliyahnya. Kondisi sosial
bangsa Arab itulah yang menyebabkan kenapa hukum Islam lebih cenderung bersifat “keras” dan
“tegas” terutama dalam masalah jinayah (hukum pidana). Sehingga dapat kita katakan bahwa kondisi
sosial suatu masyarakat atau bangsa akan berpengaruh terhadap produk hukum yang diberlakukan
dalam masyarakat tersebut.

Untuk lebih lanjutnya makalah kami akan sedikit menguraikan kondisi masyarakat bangsa Arab pada
awal lahirnya agama Islam serta pengaruhnya terhadap hukum Islam pada masa Nabi dan para
sahabatnya. Semoga makalah ini dapat menjadi pembelajaran bagi kita semua dalam rangka menambah
khazanah keilmuan kita. Tiada gading yang tak retak, mohon kritik dan sarannya demi perbaikan yang
lebih baik.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kondisi Bangsa Sosial Arab


Bangsa Arab adalah penduduk asli jazirah Arab.Semenajung yang terletak di bagian barat daya Asia ini.
Sebagian besar permukaannya terdiri dari padang pasir. Secara iklim di jazirah Arab amat panas, bahkan
termasuk yang paling panas dan paling kering di muka bumi ini.

Dari segi pemukimannya, bangsa Arab dapat dibedakan atas ahl al-badawi dan ahl al-hadlar. Kaum
Badawi adslah penduduk padang pasir .Mereka tidak memiliki tempat tinggal tetap, tetapi hidup secara
nomaden, berpindah-pindah dari satu tempat ketempat yang lain untuk mencari sumber air dan padang
rumput. Mata penghidupan mereka adalah berternak kambing, biri-biri, kuda dan unta. Kehidupan
masyarakat Badawi yang nomaden tidak banyak memberikan peluang kepada mereka untuk
membangun kebudayaan. Karenanya, sejarah mereka tidak diketahui dengan tepat dan jelas. Ahl al-
hadlar ialah penduduk yang sudah bertempat tinggal tetap di kota-kota atau daerah pemukiman yang
subur. Mereka hidup dari berdagang, bercocok tanam, dan industry. Berbeda dengan masyarakat
Badawi , mereka memiliki peluang yang besr untuk membangun kebudayaan, sehingga sejarah mereka
bias diketahui lebih jalas disbanding dengan kaum Badawi.

Bangsa Arab termasuk rumpun bangsa semit, yaitu keturunan Sam ibn Nuh, serumpun dengan bangsa
Babilonia, Kaldea, Asyuria, Ibrani, Phunisia, Aram dan Habsyi. Bangsa Arablah rumpun semit yang
sekarang masih bertahan, sedangkan sebagian besar yang lain sudah leyap dan tidak dikenal lagi.

Dalam bidang ekonomi bangsa Arab memiliki beberapa tempat mereka berkumpul untuk melakukan
taransaksi jual beli dan membaca syair. Pasr-pasar itu terletak di dekat Mekah yang terpenting di
antaranya ialah Ukaz, Majinnah dan Dzul Majaz. Kabilah Quraisy terkenal sebagai pedagang yang
menguasai jalur niaga Yaman-Hijaz- Syria. Mereka juga mendominasi perdagangan lokal dengan
memanftkan kehadiran para peziarah ka’bah, terutama pada musim haji.

Dalam struktur masyarakat Arab terdapat kabilah sebagai intinya. Ia adalah organisasi keluarga besar
yang biasanya hubungan antara anggota-anggotanya terkait oleh pertalian darah. Akan tetapi ,
adakalanya hubungan seseorang dengan kabilahnya disebabkan oleh perkawinan, suaka politik atau
karena sumpah setia.

Sistem politik sudah ada sejak lama. Sebelum Islam, ka’bah selalu dikunjungi oleh bangsa Arab dari
seluruh penjuru jazirah untuk melaksanakan ibadah haji. Oleh karena itu di Mekah berdirilah
pemerintahan untuk melindungi jamaah haji dan menjamin keslamatan dan keamanan mereka.
Ditetapkan pula larangan berperangan di kota itu, disamping larangan berperang selama bulan-bulan
tertentu. Beberapa kabilah yang pernah menguasai Mekah antara lain Amaliqah, Jurhum, khuza’ah dan
yang terakhir adalah Quraisy.

Pada masa Rasulullah berlangsung hanya beberapa tahun saja yaitu tidak lebih dari 22 tahun beberapa
bulan. Akan tetapi periode ini membawa pengaruh-pengaruh yang besar dan hasil-hasil yang gemilang.
Periode ini terdiri dari dua fase yang berlainan , yaitu :

1. Fase Rasulullah Berada Di Mekkah


Yakni selama 12 tahun beberapa bulan, semenjak beliau diangkat sebagai Rasul sampai waktu hijrahnya.
Pada fase ini kaum muslimin baru beberapa orang saja jumlahnya sedikit dan masih lemah, belum
merupakan suatu umat dan belum mempunyai pemerintahan. Perhatian rasul pada fase ini diarahkan
kepada penyebaran dakwah ketauhidan (meng-Esakan Allah) dan berusaha memalingkan umat manusia
dari menyembah berhala dan patung, menjaga diri dari gangguan orang-orang yang sengaja
menghalangi dakwah beliau, orang-orang yang memperdayakan orang-orang yang beriman kepada
ajarannya. Juga Nabi mengajarkan larangan memakan daging hewan yang disembelih atas nama
berhala, melihat undian nasib dengan anak panah, zina dan lain sebagainya. Justru itu ayat-ayat yang
turun di mekkah khusus menyangkut bidang aqidah, akhlak, dan ibadah (suri tauladan) dari sejarah
ummat yang dahulu.

2. Fase Rasulullah Berada Di Madinah

Yakni selama kira-kira10 tahun, berjalan dari waktu hijrah beliau sampai wafatnya. Selama beliau berada
di Madinah, operasional dakwahnya lebih lancar dibandingkan dengan di Mekkah yang ditandai dengan
banyaknya orang-orang yang beriman. Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Quran yang turun banyak
mengandung hukum ‘amaliyah, baik yang berkenaan dengan hidup individual maupun masyarakat yang
dapat dipastikan sangat memerlukan ketentuan hukum lembaga pengadilan. Islam telah terbina menjadi
umat, dan telah merupakan satu pemerintahan, media-media dakwah telah berjalan lancar. Keadaan
mendesak adanya tasyri’ dan undang-undang mengatur hubungan antar individu satu dengan yang
lainnya, selaku umat yang berkembang serta mengatur hubungan-hubungan mereka dengan yang lain,
baik di masa damai maupun perang. Untuk ini maka disyari’atkanlah di Madinah hukum-hukum
perkawinan, perceraian, pewarisan, perjanjian hutang piutang, kepidanaan dan lain-lain.

B. Wewenang Dalam Menetapkan Hukum

Melihat situasi seperti ini, maka pembinaan dan pembentukan hukum langsung ditangani oleh
Rasulullah SAW sendiri berdasarkan wahyu, maupun ijtihad (pendapat) beliau sendiri yang disebut
hadits. Tapi walaupun demikian, beliau masih memberi kesempatan ijtihad kepada para sahabatnya,
sekalipun wahyu masih ada dan masih hidup. Hal ini dikarenakan ada kejadian yang khusus untuk
mengadakan hubungan dengan beliau sukar karena jauh ataupun waktunya sangat mendesak. Peristiwa
pernah terjadi pada waktu Rasulullah SAW mengutus sahabatnya Mu’adz ibnu Jabal menjadi duta Islam
(hakim) di Yaman. Dia direstui oleh Rasulullah SAW untuk mengambil inisiatif sendiri dalam
menjatuhkan vonis suatu kasus hukum, andaikan pidananya tidak terdapat dalan Al-Quran dan Hadits.

Perlu diketahui, bahwa keputusan-keputusan dan fatwa-fatwa dari ijtihad para sahabat hanya
bersifatkan penerapan hukum dan bukan bersifat pembentukan hukum (tasyri’). Dengan pengertian
bahwa semua ijtihad para sahabat tersebut bukanlah menjadi undang-undang yang mengikat bagi kaum
muslimin, kecuali kalau sudah mendapatkan ikrar (legalisasi) dari Rasulullah SAW sendiri. Ini secara tidak
langsung berarti Rasululloh SAW juga menetapkan hukum syari’at, semasa beliau masih hidup.
Terjadinya ijtihad pada masa Rasul mempunyai segi-segi hikmat yang besar karena beliau merupakan
petunjuk bagi sahabat-sahabatnya dan fuqaha-fuqaha yang datang sesudahnya untuk mengambil
hukum-hukum dari aturan-aturan syari’at yang umum dan mengembalikan peristiwa-peristiwa kecil
kepadanya, karena adanya persamaan sebab. Apalagi kalau diingat bahwa nash-nash syaria’at tidak
mencakup semua hukum yang timbul. Oleh karena itu Rasul SAW berkata kepada sahabat-sahabatnya :
“Aku tinggalkan untukmu dua perkara, dimana kamu tida akan sesat selama kamu berpegang dengan
keduanya, yaiui kitab Tuhan dan Sunnah Nabi-Nya”

C. Dasar Penetapan Hukum, Sanksi dan Metodenya

Periode Rasululloh SAW ini sumber-sumber dalam penetapan atau pembinaan hukum ada dua yakni
wahyu dan ijtihad Rasulullah SAW sedangkan ijtihad para sahabat pada waktu itu tidak dapat dijadikan
dasar yang mutlak kecuali ada pengakuan dari Rasulullah SAW sendiri.

Adapun Al-Quran sebagai sumber (dasar) pokok dalam penetapan hukum, karena berdasarkan
pernyataan dalam Al-Quran itu diantaranya sebagai berikut:

“Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu
mengadili antara manusia dengan apa yang Telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu
menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), Karena (membela) orang-orang yang khianat.” (Q.S. An-
Nisa’ :105).

Kemudian sebagai kelajutan dari ketetapan Al-Quran surat An-Nisa’:105 tersebut Allah akan mengancam
kepada manusia sebagai khilafah di bumi ini yang tidak mempergunakan Al-Quran sebagai pedoman
hukum dengan sanksi sebagai berikut:

1. Kafir adalah vonis pidana yang diberikannya itu merugikan orang lain dan dia sendiri benci kepada
keputusan hokum Al-Quran

“Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang
menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang
menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan
mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu
janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-
ayat-Ku dengan harga yang sedikit. barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan
Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”

2. Zalim adalah vonis pidana yang diberikannya itu menurut hawa nafsu, berakibatkan merugikan
orang lain dia sendiri masih mengakui Al-Quran, tapi pada prakteknya dia tidak menjatuhkan vonis
pidana terhadap Al-Quran.

“Dan kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan
jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka
(pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi)
penebus dosa baginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah,
Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”

3. Fasiq adalah vonis pidana yang dijatuhkannya kepada seseorang pidana tidak merugikan orang
yang bersangkutan dan keputusan itu tidak berdasarkan Al-Quran. Dia secara pribadi mengakui Al-
Quran.

“Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah
didalamnya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka
itu adalah orang-orang yang fasik.”

Adapun cara atau metode pembentukan hukum periode ini adalah berdasarkan suatu problem untuk
ditentukan hukumnya. Untuk itu Rasululloh terpaksa menunggu dalam beberapa waktu menjelang
wahyu dari Allah sebagai jawaban problem yang dimaksud. Tapi kalau ternyata wahyu yang diharapkan
itu tidak kunjung datang, maka Rasulullah berijtihad sendiri ataupun bermusyawarah dengan para
sahabat, dengan berorientasi kepada kemaslahatan umum (masyarakat).

BAB III

KESIMPULAN

Secara umum kondisi bangsa Arab pada masa Rasul dan sahabat adalah terdiri dari berbagai kabilah-
kabilah dan suku. Kabilah-kabilah tersebut ada yang menetap di perkotaan dan ada pula yang hidup di
pedesaan dengan mengembara. Masyarakat kota mayoritas mata pencahariannya dengan berdagang ke
luar kota dan menjualnya di daerahnya. Sedangkan masyarakat desa hidup dengan berladang dan
berternak hewan. Biasanya masyarakat kota lebih maju dan kuat dibandingkan pedesaan baik dari segi
kekuasaan (politik), kesejahteraan, maupun peradaban.

Pada masa Rasulullah hukum Islam belum mengalami perkembangan yang signifikan. Sumber hukum
yang menjadi titik acuan adalah al-Quran. Apabila terdapat persoalan yang tidak memiliki dasar hukum
dalam al-Quran (wayu), beliau berijtihad sendiri secara langsung dan ijtihad beliau dijadikan sebagi
landasan hukum bagi umat Islam pada masa itu.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Ahmad. Fajr Al Islam, (Singapura-Kota Baru-Penang: Sulaimanmar’I), 1965.

Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), 1971.

Bik, Hudhari. Tarjamah Tarikh Tasyrik: Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Semarang: Darul Ikhya),
1980.

Farrukh. Al-Arab Wa Al-Islam Fi Al-Haudl Alsyarqiy Al- Bahr Al-Abyad Al-Mutawassith, (Beirut: Dar al
kutub), 1966.

Hanafi, Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), 1977.

Haris, Gusnam dkk. Sejarah Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: UIN Press).

Muhammad, Noor-Matdawam. Dinamaika Hukum Islam (Tinjauan Sejarah Dan Perkembangannya,


cet.pertama. (Yogyakarta: Bina Karier), 1985.

Wahhab, Khalaf Abdul. Ikhtisar Sejarah Hukum Islam, cet. Pertama, (Yogyakarta: Dua Dimensi), 1985.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada),1993.

Posted by handar subhandi at Friday, June 08, 2012

Labels: lanjutkan

1 comment:

kingkongNovember 24, 2013 at 10:25 AM

Thank's gan infonya !!!

peluang agen tiket

Reply

Newer Post Older Post Home

Subscribe to: Post Comments (Atom)

Profil
My photo

handar subhandi

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia, Keluarga 202

View my complete profile

Google Plus rss twitter facebook

Arsip Blog

► 2015 (35)

► 2014 (54)

► 2013 (1)

▼ 2012 (14)

► October (2)

► July (3)

▼ June (9)

100 Hari Tanda-tanda Kematian Manusia

Delik dan Asas legalitas

Mahzab-mahzab dalam islam

HUKUM PERDATA

HUKUM TATA NEGARA

PENGERTIAN HUKUM PIDANA MENURUT PARA AHLI

PENGGOLONGAN HUKUMPENGGOLONGAN HUKUM Hukum sebaga...

Perkembangan Hukum Islam Pada Masa Rasulullah SAW

Pengantar Hukum Indonesia

Terjemahkan
Powered by Translate

Total Tayangan

213603

Subscribe To

Posts

Comments

Terpopuler

Pengertian Kartu Kredit, Jenis-jenis dan Ciri-ciri Kartu Kredit

A. Pengertian Kartu Kredit Kartu kredit merupakan alat pembayaran pengganti uang tunai yang dapat
digunakan oleh konsumen untuk dituk...

Pengertian dan Asas-Asas Hukum Perbankan

Hukum perbankan (banking law), yakni merupakan seperangkat kaidah hukum dalam bentuk peraturan
perundang-undangan, yurisprudensi, doktrin, ...

Hukum Internasional Tentang Kedaulatan Teritorial

A. PENGERTIAN KEDAULATAN TERITORIAL 1. Hubungan Kedaulatan dengan Wilayah


Kedaulatan teritorial atau kedaulatan w...

Jenis Tindak Pidana Korupsi

Menurut buku KPK (KPK, 2006:19), tindak pidana korupsi dikelompokkan menjadi 7 macam. Adapun
penjelasannya adalah sebagai berikut : a. Pe...

Pengertian dan jenis-jenis Kealpaan atau Culpa

1. Pengertian Kealpaan (culpa) Di dalam Undang-Undang untuk menyatakan “kealpaan” dipakai


bermacam-macam istilah yaitu: schuld, onachtzaa...
Sejarah Perkembangan Hukum Dagang di Dunia

Pengertian hukum dagang Hukum dagang ialah hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut
melakukan perdagangan untuk memperoleh keu...

Ahli Waris dan Macam-Macamnya

Adapun kriteria sebagai ahli waris tercantum didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 171 huruf c ,
yang berbunyi: “Ahli waris ialah ora...

PENGELOMPOKKAN TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UU NO. 31 TAHUN 1999 jo UU NO. 20 TAHUN
2001

Menurut perspektif hukum, defenisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah pasal
dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 T...

KEWAJIBAN UMAT ISLAM MEMPELAJARI HUKUM KEWARISAN

A. PENGERTIAN FIQIH MAWARIS Fiqih Mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang siapa-siapa ahli
waris yang berhak menerima warisan, siap...

Asas-asas Hukum Kewarisan Islam

Yang menyangkut asas-asas hukum kewarisan Islam dapat digali dari ayat-ayat hukum kewarisan serta
sunah nabi Muhammad SAW. Asas-asas dapat ...

Pengikut

There was an error in this gadget

Labels

lanjutkan

Simple template. Powered by Blogger.

Perkembangan Hukum Islam Pada Masa Rasulullah SAW

BAB I

PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang universal dan rahmatal lil alamin, untuk siapa saja , dimana saja berada
dan kapan saja. Agama Islam merupakan satu-satunya agama yang mampu menyesuaikan diri dalam
kondisi apapun tanpa menghilangkan nilai-nilai dasar (substansial) dari ajaran Islam yang luhur. Hal
itulah yang menyebabkan kenapa Islam dapat berlaku selama-lamanya dan dimanapun (Al-Islamu
haqqun likulli zaman wa makan), tidak musnah termakan zaman yang senantiasa dinamis dan menuntut
perubahan.

Berbicara Islam pada masa kini tidak dapat dilepaskan dari sejarah kelahiran dan pertumbuhan Islam
pada masa silam. Kemunculan Agama Islam sekitar abad keenam masehi tidak dapat dilepaskan dari
kondisi sosial masyarakat Arab pada masa itu yang kita kenal dengan zaman jahiliyahnya. Kondisi sosial
bangsa Arab itulah yang menyebabkan kenapa hukum Islam lebih cenderung bersifat “keras” dan
“tegas” terutama dalam masalah jinayah (hukum pidana). Sehingga dapat kita katakan bahwa kondisi
sosial suatu masyarakat atau bangsa akan berpengaruh terhadap produk hukum yang diberlakukan
dalam masyarakat tersebut.

Untuk lebih lanjutnya makalah kami akan sedikit menguraikan kondisi masyarakat bangsa Arab pada
awal lahirnya agama Islam serta pengaruhnya terhadap hukum Islam pada masa Nabi dan para
sahabatnya. Semoga makalah ini dapat menjadi pembelajaran bagi kita semua dalam rangka menambah
khazanah keilmuan kita. Tiada gading yang tak retak, mohon kritik dan sarannya demi perbaikan yang
lebih baik.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kondisi Bangsa Sosial Arab

Bangsa Arab adalah penduduk asli jazirah Arab.Semenajung yang terletak di bagian barat daya Asia ini.
Sebagian besar permukaannya terdiri dari padang pasir. Secara iklim di jazirah Arab amat panas, bahkan
termasuk yang paling panas dan paling kering di muka bumi ini.

Dari segi pemukimannya, bangsa Arab dapat dibedakan atas ahl al-badawi dan ahl al-hadlar. Kaum
Badawi adslah penduduk padang pasir .Mereka tidak memiliki tempat tinggal tetap, tetapi hidup secara
nomaden, berpindah-pindah dari satu tempat ketempat yang lain untuk mencari sumber air dan padang
rumput. Mata penghidupan mereka adalah berternak kambing, biri-biri, kuda dan unta. Kehidupan
masyarakat Badawi yang nomaden tidak banyak memberikan peluang kepada mereka untuk
membangun kebudayaan. Karenanya, sejarah mereka tidak diketahui dengan tepat dan jelas. Ahl al-
hadlar ialah penduduk yang sudah bertempat tinggal tetap di kota-kota atau daerah pemukiman yang
subur. Mereka hidup dari berdagang, bercocok tanam, dan industry. Berbeda dengan masyarakat
Badawi , mereka memiliki peluang yang besr untuk membangun kebudayaan, sehingga sejarah mereka
bias diketahui lebih jalas disbanding dengan kaum Badawi.
Bangsa Arab termasuk rumpun bangsa semit, yaitu keturunan Sam ibn Nuh, serumpun dengan bangsa
Babilonia, Kaldea, Asyuria, Ibrani, Phunisia, Aram dan Habsyi. Bangsa Arablah rumpun semit yang
sekarang masih bertahan, sedangkan sebagian besar yang lain sudah leyap dan tidak dikenal lagi.

Dalam bidang ekonomi bangsa Arab memiliki beberapa tempat mereka berkumpul untuk melakukan
taransaksi jual beli dan membaca syair. Pasr-pasar itu terletak di dekat Mekah yang terpenting di
antaranya ialah Ukaz, Majinnah dan Dzul Majaz. Kabilah Quraisy terkenal sebagai pedagang yang
menguasai jalur niaga Yaman-Hijaz- Syria. Mereka juga mendominasi perdagangan lokal dengan
memanftkan kehadiran para peziarah ka’bah, terutama pada musim haji.

Dalam struktur masyarakat Arab terdapat kabilah sebagai intinya. Ia adalah organisasi keluarga besar
yang biasanya hubungan antara anggota-anggotanya terkait oleh pertalian darah. Akan tetapi ,
adakalanya hubungan seseorang dengan kabilahnya disebabkan oleh perkawinan, suaka politik atau
karena sumpah setia.

Sistem politik sudah ada sejak lama. Sebelum Islam, ka’bah selalu dikunjungi oleh bangsa Arab dari
seluruh penjuru jazirah untuk melaksanakan ibadah haji. Oleh karena itu di Mekah berdirilah
pemerintahan untuk melindungi jamaah haji dan menjamin keslamatan dan keamanan mereka.
Ditetapkan pula larangan berperangan di kota itu, disamping larangan berperang selama bulan-bulan
tertentu. Beberapa kabilah yang pernah menguasai Mekah antara lain Amaliqah, Jurhum, khuza’ah dan
yang terakhir adalah Quraisy.

Pada masa Rasulullah berlangsung hanya beberapa tahun saja yaitu tidak lebih dari 22 tahun beberapa
bulan. Akan tetapi periode ini membawa pengaruh-pengaruh yang besar dan hasil-hasil yang gemilang.
Periode ini terdiri dari dua fase yang berlainan , yaitu :

1. Fase Rasulullah Berada Di Mekkah

Yakni selama 12 tahun beberapa bulan, semenjak beliau diangkat sebagai Rasul sampai waktu hijrahnya.
Pada fase ini kaum muslimin baru beberapa orang saja jumlahnya sedikit dan masih lemah, belum
merupakan suatu umat dan belum mempunyai pemerintahan. Perhatian rasul pada fase ini diarahkan
kepada penyebaran dakwah ketauhidan (meng-Esakan Allah) dan berusaha memalingkan umat manusia
dari menyembah berhala dan patung, menjaga diri dari gangguan orang-orang yang sengaja
menghalangi dakwah beliau, orang-orang yang memperdayakan orang-orang yang beriman kepada
ajarannya. Juga Nabi mengajarkan larangan memakan daging hewan yang disembelih atas nama
berhala, melihat undian nasib dengan anak panah, zina dan lain sebagainya. Justru itu ayat-ayat yang
turun di mekkah khusus menyangkut bidang aqidah, akhlak, dan ibadah (suri tauladan) dari sejarah
ummat yang dahulu.

2. Fase Rasulullah Berada Di Madinah

Yakni selama kira-kira10 tahun, berjalan dari waktu hijrah beliau sampai wafatnya. Selama beliau berada
di Madinah, operasional dakwahnya lebih lancar dibandingkan dengan di Mekkah yang ditandai dengan
banyaknya orang-orang yang beriman. Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Quran yang turun banyak
mengandung hukum ‘amaliyah, baik yang berkenaan dengan hidup individual maupun masyarakat yang
dapat dipastikan sangat memerlukan ketentuan hukum lembaga pengadilan. Islam telah terbina menjadi
umat, dan telah merupakan satu pemerintahan, media-media dakwah telah berjalan lancar. Keadaan
mendesak adanya tasyri’ dan undang-undang mengatur hubungan antar individu satu dengan yang
lainnya, selaku umat yang berkembang serta mengatur hubungan-hubungan mereka dengan yang lain,
baik di masa damai maupun perang. Untuk ini maka disyari’atkanlah di Madinah hukum-hukum
perkawinan, perceraian, pewarisan, perjanjian hutang piutang, kepidanaan dan lain-lain.

B. Wewenang Dalam Menetapkan Hukum

Melihat situasi seperti ini, maka pembinaan dan pembentukan hukum langsung ditangani oleh
Rasulullah SAW sendiri berdasarkan wahyu, maupun ijtihad (pendapat) beliau sendiri yang disebut
hadits. Tapi walaupun demikian, beliau masih memberi kesempatan ijtihad kepada para sahabatnya,
sekalipun wahyu masih ada dan masih hidup. Hal ini dikarenakan ada kejadian yang khusus untuk
mengadakan hubungan dengan beliau sukar karena jauh ataupun waktunya sangat mendesak. Peristiwa
pernah terjadi pada waktu Rasulullah SAW mengutus sahabatnya Mu’adz ibnu Jabal menjadi duta Islam
(hakim) di Yaman. Dia direstui oleh Rasulullah SAW untuk mengambil inisiatif sendiri dalam
menjatuhkan vonis suatu kasus hukum, andaikan pidananya tidak terdapat dalan Al-Quran dan Hadits.

Perlu diketahui, bahwa keputusan-keputusan dan fatwa-fatwa dari ijtihad para sahabat hanya
bersifatkan penerapan hukum dan bukan bersifat pembentukan hukum (tasyri’). Dengan pengertian
bahwa semua ijtihad para sahabat tersebut bukanlah menjadi undang-undang yang mengikat bagi kaum
muslimin, kecuali kalau sudah mendapatkan ikrar (legalisasi) dari Rasulullah SAW sendiri. Ini secara tidak
langsung berarti Rasululloh SAW juga menetapkan hukum syari’at, semasa beliau masih hidup.

Terjadinya ijtihad pada masa Rasul mempunyai segi-segi hikmat yang besar karena beliau merupakan
petunjuk bagi sahabat-sahabatnya dan fuqaha-fuqaha yang datang sesudahnya untuk mengambil
hukum-hukum dari aturan-aturan syari’at yang umum dan mengembalikan peristiwa-peristiwa kecil
kepadanya, karena adanya persamaan sebab. Apalagi kalau diingat bahwa nash-nash syaria’at tidak
mencakup semua hukum yang timbul. Oleh karena itu Rasul SAW berkata kepada sahabat-sahabatnya :
“Aku tinggalkan untukmu dua perkara, dimana kamu tida akan sesat selama kamu berpegang dengan
keduanya, yaiui kitab Tuhan dan Sunnah Nabi-Nya”

C. Dasar Penetapan Hukum, Sanksi dan Metodenya

Periode Rasululloh SAW ini sumber-sumber dalam penetapan atau pembinaan hukum ada dua yakni
wahyu dan ijtihad Rasulullah SAW sedangkan ijtihad para sahabat pada waktu itu tidak dapat dijadikan
dasar yang mutlak kecuali ada pengakuan dari Rasulullah SAW sendiri.

Adapun Al-Quran sebagai sumber (dasar) pokok dalam penetapan hukum, karena berdasarkan
pernyataan dalam Al-Quran itu diantaranya sebagai berikut:
“Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu
mengadili antara manusia dengan apa yang Telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu
menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), Karena (membela) orang-orang yang khianat.” (Q.S. An-
Nisa’ :105).

Kemudian sebagai kelajutan dari ketetapan Al-Quran surat An-Nisa’:105 tersebut Allah akan mengancam
kepada manusia sebagai khilafah di bumi ini yang tidak mempergunakan Al-Quran sebagai pedoman
hukum dengan sanksi sebagai berikut:

1. Kafir adalah vonis pidana yang diberikannya itu merugikan orang lain dan dia sendiri benci kepada
keputusan hokum Al-Quran

“Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang
menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang
menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan
mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu
janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-
ayat-Ku dengan harga yang sedikit. barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan
Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”

2. Zalim adalah vonis pidana yang diberikannya itu menurut hawa nafsu, berakibatkan merugikan
orang lain dia sendiri masih mengakui Al-Quran, tapi pada prakteknya dia tidak menjatuhkan vonis
pidana terhadap Al-Quran.

“Dan kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan
jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka
(pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi)
penebus dosa baginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah,
Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”

3. Fasiq adalah vonis pidana yang dijatuhkannya kepada seseorang pidana tidak merugikan orang
yang bersangkutan dan keputusan itu tidak berdasarkan Al-Quran. Dia secara pribadi mengakui Al-
Quran.

“Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah
didalamnya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka
itu adalah orang-orang yang fasik.”

Adapun cara atau metode pembentukan hukum periode ini adalah berdasarkan suatu problem untuk
ditentukan hukumnya. Untuk itu Rasululloh terpaksa menunggu dalam beberapa waktu menjelang
wahyu dari Allah sebagai jawaban problem yang dimaksud. Tapi kalau ternyata wahyu yang diharapkan
itu tidak kunjung datang, maka Rasulullah berijtihad sendiri ataupun bermusyawarah dengan para
sahabat, dengan berorientasi kepada kemaslahatan umum (masyarakat).
BAB III

KESIMPULAN

Secara umum kondisi bangsa Arab pada masa Rasul dan sahabat adalah terdiri dari berbagai kabilah-
kabilah dan suku. Kabilah-kabilah tersebut ada yang menetap di perkotaan dan ada pula yang hidup di
pedesaan dengan mengembara. Masyarakat kota mayoritas mata pencahariannya dengan berdagang ke
luar kota dan menjualnya di daerahnya. Sedangkan masyarakat desa hidup dengan berladang dan
berternak hewan. Biasanya masyarakat kota lebih maju dan kuat dibandingkan pedesaan baik dari segi
kekuasaan (politik), kesejahteraan, maupun peradaban.

Pada masa Rasulullah hukum Islam belum mengalami perkembangan yang signifikan. Sumber hukum
yang menjadi titik acuan adalah al-Quran. Apabila terdapat persoalan yang tidak memiliki dasar hukum
dalam al-Quran (wayu), beliau berijtihad sendiri secara langsung dan ijtihad beliau dijadikan sebagi
landasan hukum bagi umat Islam pada masa itu

Anda mungkin juga menyukai