STUDI PAI
PEMBAGIAN HUKUM ISLAM
(TAKLIFI DAN WADH’I)
Dosen pebimbing:
Mufidu
Oleh:
Rian Dwi Firmansyah
Mas Arif Dwi Rakhman
Dilihat dari segi kebahasaan, kata hukum bermakna “menetapkan sesuatu pada yang
lain”. Seperti menetapkan haram pada khamar, atau halal pada air susu. Sedangkan istilah
para ulama ushul, sebagaimana diungkapkan Abu Azhar adalah “titah (khitab) syari’ yang
berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan atau wadh’i.
Tata kehidupan itu perlu diatur dengan norma-norma hukum yang diambil dari ajaran-
ajaran islam, karena semua mereka selain hidup di dunia juga akan menjalani kehidupan
akhirat yang kebahagian atau kesengsaraannya ditentukan oleh akumulasi pahala dari
perbuatan-perbuatan baik didunia ini. Sementara ketentuan-ketentuan hukum yang diambil
dari ajaran agama termasuk bagian yang menyediakan pahala tersebut. Demikian, menaati
ketentuan-ketentuannya itu, disamping akan membawa ketentraman, kenyamanan serta
kebahagiaan dalam kehidupan di dunia ini, juga akan membawa pada kebahagiaan dalam
kehidupan akhirat kelak.
II. Tujuan
Mengetahui pembagian hukum islam atau hukum syar’i, mengetahui pengertian dan
macam2 dari taklifi dan wadh’i.
BAB I
PEDAHULUAN
A.Pengertian taklifi
Hukum Taklifi Yang dimaksud hukum taklifi adalah hukum syar’i yang mengandung tuntutan
(untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukallaf) atau yang mengandung piilihan antara
yang dikerjakan dan ditinggalkan.
2. Haram
Secara terminologi Ushul Fiqh kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh
Allah dan Rasul-Nya, dimana orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan diancam
dengan dosa, dan orang yang meninggalkannya karena menaati Allah, diberi pahala.
Misalnya, larangan berzinah, mencuri, membunuh, tidak menafkahi orang yang menjadi
tanggungan dan lain sebagainya. Perbuatan ini disebut juga maksiat, qabih.
3. Mandub
a. Mandub adalah segala perbuatan yang dilakukan akan mendpatkan pahala, tetapi bila
tidak dilakukan tidak akan dikenakan siksa, dosa (‘iqab).
4. Makruh
Yang dimaksud dengan makruh adalah perbuatan yang bila ditinggalkan, orang
yang meninggalkannya mendapat pahala, tapi orang yang tidak meninggalakannya tidak
mendapat dosa (‘iqab). Misalnya merokok, memakan makanan yang menimbulkan bau
yang tidak sedap dan lain sebagainnya.
5. Mubah
Yang dimaksud dengan mubah adalah segala perbuatan yang diberi pahala karena
perbuatannya, dan tidak berdosa karena meninggalakannya. Secara umum, mubah ini
dinamakan juga halal atau jaiz.
BAB II
HUKUM WADH’I
C.Pengertian Hukum Wadh’i
Yang dimaksud dengan hukum wadh’i adalah titah Allah menjadikan sesuatu sebagai
sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga
sebagai penghalang (man’) bagi adanya sesuatu yang lain tersebut
D. Pembagian hukum wadh’i
ulama membagi hukum Wadh’i ini kepada: sebab, syarat, mani’. Namun, sebagian ulama
memasukkan sah dan batal, azimah dan rukhshah.
1. Sebab
Yang dimaksud dengan sebab adalah segala sesuatu yang dijadikan oleh
syar’i sebagai alas an bagi ada dan tidak adanya hukum. Adanya sesuatu
menyebabkan adanya hukum dan tidak adanya sesuatu itu melazimkan tidaka adanya
hukum.
2. Syarat
Yang dimaksud dengan syarat adalah segala sesuatu yang tergantung adanya
hukum dengan adanya sesuatu tersebut, dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan
tidak ada pula hukum. Namun, dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya
hukum. Misalnya, wajib zakat perdagangan apabila usaha perdagangan itu sudah
berjalan satu tahun bila-syarat berlakunya satu tahun itu-belum terpenuhi, zakat itu
belum wajib. Namun, dengan adanya syarat-berjalan, satu tahun-itu saja belumlah
tentu wajib zakat, karena masih tergantung kepada sampai atau tidaknya dagangan
tersebut senisab.
3. Mani’
Yang dimaksud dengan mani’ adalah segala seuatu yang dengan adanya dapat
meniadakan hukum atau dapat membatalakan sebab hukum. Dari definisi d ats dapat
diketahui bahwa mani’ itu terbagi kepada dua macam:
a. Mani’ terhadap hukum. Misalnya perbedaan agama natara pewaris dengan yang
akan diwarisi adalah mani’ (penghalang) hukum pusaka mempusakai sekalipun
sebab untuk saling mempusakai sudah ada, yaitu perkawinan. Begitu juga najis
yang terdapat di tubuh atau di pakaian orang yang sedang shalat, yaitu suci dari
najis. Oleh sebab itu, tidak ada hukum sahnya-shalat. Hal ini disebut mani’
hukum.
b. Mani’ terhadap sebab hukum. Misalnya, seseorang yang memiliki harta senisab
wajib mengeluarkan zakatnya. Namun, karena ia mempunyai hutang yang
jumlahnya sampai mengurangi nisab zakat, ia tidak wajib membayar zakat.
Namun,keadaannya memiliki banyak hutang tersebut menjadikan penghalang
sebab adanya hukum wajib zakat. Dengan demikian mani’ dalam contoh ini
adalah mengahalangi sebab hukum zakat. Hal ini disebut man’ zakat.
Kemudian, Al-Amidi menambahakan pembicaraan mengenai sah dan batal,
serta azimah dan rukhshah kedalam pembagian hukum wadh’i ini.
b. Pengertian Rukhshah
Yang dimaksud dengan rukhshah adalah peraturan-peraturan yang tidak
dilaksanakan karena adanya hal-hal yang memberatkan dalam menjalankan
azimah. Dengan kata lain, rukhshah adalah pengecualian hukum-hukum pokok
(azimah) sebagaimana disebut sebelumnya.
BAB III
PENUTUP
E.Kesimpulan
Dilihat dari sudut pengertiannya, Hukum taklifi adalah hukum Allah yang berisi tuntutan-
tuntutan untuk berbuat atau tidak berbuat suatu perbuatan, atau membolehkan memilih antara
berbuat dan tidak berbuat. Sedangkan hukum wadh’i tidak mengandung tuntutan atau member
pilihan, hanya menerangkan sebab atau halangan (mani’) suatu hukum, sah dan batal.
DAFTAR PUSTAKA
Koto,Alaiddin Prof. Dr. H., M.A. 2004. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqih (Sebuah Pengantar).
Jakarta: PT Raha Grafindo Persada.
Naim, Ngainun. 2009. Sejarah Pemikiran Hukum Islam (Sebuah Pengantar). Yogyakarta:
Penerbit TERAS.
Djatnika,Rachmat Prof. Dr. H.,dkk. 1986. Perkembangan Ilmu Fiqh Di Dunia Islam.
Jakarta: DEPAG.
Rosyada, Dede Drs.,M.A.1993.Hukum Islam Dan Pranata Sosial (Darasah Islamiyah
III).Jakarta : Rajawali Pers.
Muhammad Al-Khudhari Biek, Syaikh.2007.Ushul al-Fiqh.Jakarta: Pustaka Amani.