Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

STUDI PAI
PEMBAGIAN HUKUM ISLAM
(TAKLIFI DAN WADH’I)

Dosen pebimbing:
Mufidu

Oleh:
Rian Dwi Firmansyah
Mas Arif Dwi Rakhman

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


S1 KESEHATAN LINGKUNGAN
UNIVERSITAS ISLAM LAMONNGAN
DAFTAR ISI
Halaman Judul..................................................................................................................... i
Daftar Isi.............................................................................................................................. ii
I.Latar Belakang.................................................................................................................. iii
II.Tujuan Penulisan............................................................................................................. iii
BAB I Pendahuluan............................................................................................................ 1
A. Pengertian taklifi................................................................................................... 1
B. Penguraiaan hukum taklifi.................................................................................... 2
BAB II hukum wadh’i......................................................................................................... 4
C. Pengertian wadh’i.................................................................................................. 4
D. Syarat kalimat efektif............................................................................................. 5
BAB III Penutup.................................................................................................................. 6
E. Kesimpulan............................................................................................................ 6
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 7
I. Latar Belakang

Dilihat dari segi kebahasaan, kata hukum bermakna “menetapkan sesuatu pada yang
lain”. Seperti menetapkan haram pada khamar, atau halal pada air susu. Sedangkan istilah
para ulama ushul, sebagaimana diungkapkan Abu Azhar adalah “titah (khitab) syari’ yang
berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan atau wadh’i.

Ketentuan-ketentuan hukum bagi umat manusia ini, pada dasarnya disyari’atkan


Tuhan untuk mengatur tata kehidupan mereka di dunia ini, baik dalam masalah-masalah
keagamaan maupun kemasyarakatan. Dengan mengkuti ketentuan-ketentuan hukum ini,
mereka akan memperoleh ketentraman dan kenyamanan , serta kebahagian dalam hidupnya.
Fungsi hukum diatas telah dinyatakan secara tegas oleh Allah SWT dalam surat Al-nisa ayat
105 yang berbunyi :

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa


kebenaran, supaya kamu dapat enetapkan hukum kepada manusia dengan apa yang telah
Allah wahyukan kepadamu”

Tata kehidupan itu perlu diatur dengan norma-norma hukum yang diambil dari ajaran-
ajaran islam, karena semua mereka selain hidup di dunia juga akan menjalani kehidupan
akhirat yang kebahagian atau kesengsaraannya ditentukan oleh akumulasi pahala dari
perbuatan-perbuatan baik didunia ini. Sementara ketentuan-ketentuan hukum yang diambil
dari ajaran agama termasuk bagian yang menyediakan pahala tersebut. Demikian, menaati
ketentuan-ketentuannya itu, disamping akan membawa ketentraman, kenyamanan serta
kebahagiaan dalam kehidupan di dunia ini, juga akan membawa pada kebahagiaan dalam
kehidupan akhirat kelak.

II. Tujuan
Mengetahui pembagian hukum islam atau hukum syar’i, mengetahui pengertian dan
macam2 dari taklifi dan wadh’i.
BAB I
PEDAHULUAN
A.Pengertian taklifi
Hukum Taklifi Yang dimaksud hukum taklifi adalah hukum syar’i yang mengandung tuntutan
(untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukallaf) atau yang mengandung piilihan antara
yang dikerjakan dan ditinggalkan.

B.Penguraian hukum taklifi


Hukum taklifi sebagaimana telah diuraikan bahwa terbagi menjadi emapat yaitu, :
1. Wajib
Pada pokoknya yang disebut dengan wajib adalah segala perbuatan yang diberi
pahala jika mengerjakannya dan di beri siksa (‘iqab) apabila meninggalkannnya.
Misalnya, mengerjakan beberapa rukun islam.
Dilihat dari beberapa segi, wajib terbagi empat:
a. Dilihat dari segi orang yang dibebani Kewajiban, maka Wajib dapat dibagi kepada
dua macam, yaitu wajib ainy dan wajib kifa‟iy.
1).Wajib ainy
Yaitu kewajiban yang dibedakan kepada setiap orang yang sudah balig berakal
(mukalaf) tanpa kecuali. Kewajiban seperti ini tidak bisa gugur kecuali dilakukan
sendiri. misalnya kewajiban melaksanakan shalat lima waktu sehari semalam,
melaksanakan puasa di bulan ramadhan dan melaksanakan haji bagi siapa yang
mampu.
2).Wajib kifa’iy (Wajib kifayah)
Yaitu kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukalaf, namun bilamana telah
dilaksanakan oleh sebagian umat islam maka kewajiban itu sudah dianggap terpenuhi
sehingga orang yang tidak Ikut melaksanakannya tidak diwajibkan mengerjakannya.
Misalnya, pelaksanaan shalat jenazah adalah kewajiban seluruh umat islam, tetapi
sudah dianggap mencukupi bilamana tidak seorangpun ada yang mengerjakannya
maka seluruh umat islam diancam dengan dosa.
b. Dilihat dari segi kandungan perintah, Hukum Wajib dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu wajib mu’ayyan dan wajib mukhayyar.
1).Wajib mu’ayyan Yaitu suatu kewajiban dimana yang menjadi objeknya adalah
tertentu tanpa ada pilihan lain. Misalnya, kewajiban melakukan Shalat lima waktu
sehari semalam, kewajiban melakukan puasa di Bulan Ramadhan, membayar zakat,
dan menegakkan keadilan.
2).Wajib mukhayyar
Yaitu suatu kewajiban dimana yang menjadi objeknya boleh dipilih antara beberapa
alternatif. Misalnya, kewajiban membayar kaffarat (denda melanggar) sumpah.
c. Dilihat dari segi pelaksanaanya, hukum Wajib terbagi menjadi dua macam, yaitu
wajib mutlaq dan wajib muaqqat.
1).Wajib mutlaq
Yaitu kewajiban yang pelaksanaannya tidak dibatasi dengan waktu tertentu. Misalnya
kewajiban membayar puasa ramadhan yang tertinggal,menurut Imam Syafi‟i
kewajiban membayar puasa harus dibayar sebelum datang bulan Ramadhan
berikutnya. Contoh lain, kewajiban membayar kaffarat sumpah, boleh dibayar kapan
saja, tanpa dibatasi dengan waktu tertentu.
2).Wajib muaqqat
Yaitu kewajiban yang pelaksanaannya dibatasi dengan waktu tertentu. Misalnya
Waktu shalat zuhur, disamping melaksanakan shalat zuhur, mungkin pula
melaksanakan beberapa shalat sunnat, dan juga pada saat puasa di bulan ramadhan.
Waktu puasa yang tersedia yaitu bulan ramadhan, tidak mungkin dilakukan padanya
selain puasa wajib bulan ramadhan

2. Haram
Secara terminologi Ushul Fiqh kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh
Allah dan Rasul-Nya, dimana orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan diancam
dengan dosa, dan orang yang meninggalkannya karena menaati Allah, diberi pahala.
Misalnya, larangan berzinah, mencuri, membunuh, tidak menafkahi orang yang menjadi
tanggungan dan lain sebagainya. Perbuatan ini disebut juga maksiat, qabih.

3. Mandub
a. Mandub adalah segala perbuatan yang dilakukan akan mendpatkan pahala, tetapi bila
tidak dilakukan tidak akan dikenakan siksa, dosa (‘iqab).

4. Makruh
Yang dimaksud dengan makruh adalah perbuatan yang bila ditinggalkan, orang
yang meninggalkannya mendapat pahala, tapi orang yang tidak meninggalakannya tidak
mendapat dosa (‘iqab). Misalnya merokok, memakan makanan yang menimbulkan bau
yang tidak sedap dan lain sebagainnya.

5. Mubah
Yang dimaksud dengan mubah adalah segala perbuatan yang diberi pahala karena
perbuatannya, dan tidak berdosa karena meninggalakannya. Secara umum, mubah ini
dinamakan juga halal atau jaiz.

BAB II
HUKUM WADH’I
C.Pengertian Hukum Wadh’i
Yang dimaksud dengan hukum wadh’i adalah titah Allah menjadikan sesuatu sebagai
sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga
sebagai penghalang (man’) bagi adanya sesuatu yang lain tersebut
D. Pembagian hukum wadh’i
ulama membagi hukum Wadh’i ini kepada: sebab, syarat, mani’. Namun, sebagian ulama
memasukkan sah dan batal, azimah dan rukhshah.
1. Sebab
Yang dimaksud dengan sebab adalah segala sesuatu yang dijadikan oleh
syar’i sebagai alas an bagi ada dan tidak adanya hukum. Adanya sesuatu
menyebabkan adanya hukum dan tidak adanya sesuatu itu melazimkan tidaka adanya
hukum.

2. Syarat
Yang dimaksud dengan syarat adalah segala sesuatu yang tergantung adanya
hukum dengan adanya sesuatu tersebut, dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan
tidak ada pula hukum. Namun, dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya
hukum. Misalnya, wajib zakat perdagangan apabila usaha perdagangan itu sudah
berjalan satu tahun bila-syarat berlakunya satu tahun itu-belum terpenuhi, zakat itu
belum wajib. Namun, dengan adanya syarat-berjalan, satu tahun-itu saja belumlah
tentu wajib zakat, karena masih tergantung kepada sampai atau tidaknya dagangan
tersebut senisab.

3. Mani’
Yang dimaksud dengan mani’ adalah segala seuatu yang dengan adanya dapat
meniadakan hukum atau dapat membatalakan sebab hukum. Dari definisi d ats dapat
diketahui bahwa mani’ itu terbagi kepada dua macam:
a. Mani’ terhadap hukum. Misalnya perbedaan agama natara pewaris dengan yang
akan diwarisi adalah mani’ (penghalang) hukum pusaka mempusakai sekalipun
sebab untuk saling mempusakai sudah ada, yaitu perkawinan. Begitu juga najis
yang terdapat di tubuh atau di pakaian orang yang sedang shalat, yaitu suci dari
najis. Oleh sebab itu, tidak ada hukum sahnya-shalat. Hal ini disebut mani’
hukum.
b. Mani’ terhadap sebab hukum. Misalnya, seseorang yang memiliki harta senisab
wajib mengeluarkan zakatnya. Namun, karena ia mempunyai hutang yang
jumlahnya sampai mengurangi nisab zakat, ia tidak wajib membayar zakat.
Namun,keadaannya memiliki banyak hutang tersebut menjadikan penghalang
sebab adanya hukum wajib zakat. Dengan demikian mani’ dalam contoh ini
adalah mengahalangi sebab hukum zakat. Hal ini disebut man’ zakat.
Kemudian, Al-Amidi menambahakan pembicaraan mengenai sah dan batal,
serta azimah dan rukhshah kedalam pembagian hukum wadh’i ini.

4. Sah dan Batal


Secara harfiah, sah berarti “lepas tanggung jawab” atau “gugur kewajiban di
dunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat”. Shalat dikatakan sah karena
telah dilaksanakan sesuai dengan yang diperintah syara’. Sebaliknya, batal dapat
diartikan tidak melepaskan tanggung jawab, tidak mengugurkan kewajiban di dunia
dan di akhirat tidak memperoleh pahala.

5. Azimah dan Rukhshah


a. Pengertian Azimah
Yang dimaksud dengan azimah adalah peraturan-peraturan Allah yang
asli dan terdiri atas hukum-hukum yang berlaku umum. Artinya, hukum itu
berlaku bagi setiap mukalaf dalam semua keadaan dan waktu biasa (bukan karena
darurat atau pertimbangan lain) dan sebelumperaturan tersebut belum ada
peraturan lain yang mendahuluinya. Misalnya bangkai menurut hukum asalnya
adalah haram dimakan untuk semua orang. Ketentuan ini disebut juga dengan
hukum pokok.

b. Pengertian Rukhshah
Yang dimaksud dengan rukhshah adalah peraturan-peraturan yang tidak
dilaksanakan karena adanya hal-hal yang memberatkan dalam menjalankan
azimah. Dengan kata lain, rukhshah adalah pengecualian hukum-hukum pokok
(azimah) sebagaimana disebut sebelumnya.

c. Hukum Azimah dan Rukhshah


Selama tidak ada hal-hal yang menyebabkan adanya rukhshah seorang
mukalaf diharuskan mengambil azimah, karena memang begitulah ketentuan-
ketentuan pokok dari Allah dalam mensyariatkan peraturannya. Namun, bila ada
hal yang memberatkan sehingga menimbulkan kefatalan, dibolehkan mengambil
rukhshah. Misalnya, seseorang yang dalam keadaan terpaksa dibolehkan
memakan bangkai, yang hukum asalanya adalah haram. Artinya, dalam keadaan
normal seseorang diwajibkan untuk tidak memakan bangkai sehingga memakan
bangkai itu haram hukunya bagi orang tersebut. Namun, dalam keadaan terpaksa
orang itu dberi kebolehan memakan bangkai tersebut. Maka dengan sendirinya
hukum rukhshah tersebut adalah mubah. Ketentuan semacam ini dapat dilihat
dalam firman Allah surat Al-Baqarah ayat 173 yang membolehkan kita memakan
apa yang diharamkan ketika terpaksa. Begitu juga ayat 201 surat Al-Nisa’ yang
membolehkan kita mngqashar shalat ketika sedang dalam perjalanan. Ketika ayat
ini menyatakan bahwa rukhshah itu hukumnya boleh bukan wajib.

BAB III
PENUTUP

E.Kesimpulan
Dilihat dari sudut pengertiannya, Hukum taklifi adalah hukum Allah yang berisi tuntutan-
tuntutan untuk berbuat atau tidak berbuat suatu perbuatan, atau membolehkan memilih antara
berbuat dan tidak berbuat. Sedangkan hukum wadh’i tidak mengandung tuntutan atau member
pilihan, hanya menerangkan sebab atau halangan (mani’) suatu hukum, sah dan batal.
DAFTAR PUSTAKA

Koto,Alaiddin Prof. Dr. H., M.A. 2004. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqih (Sebuah Pengantar).
Jakarta: PT Raha Grafindo Persada.
Naim, Ngainun. 2009. Sejarah Pemikiran Hukum Islam (Sebuah Pengantar). Yogyakarta:
Penerbit TERAS.
Djatnika,Rachmat Prof. Dr. H.,dkk. 1986. Perkembangan Ilmu Fiqh Di Dunia Islam.
Jakarta: DEPAG.
Rosyada, Dede Drs.,M.A.1993.Hukum Islam Dan Pranata Sosial (Darasah Islamiyah
III).Jakarta : Rajawali Pers.
Muhammad Al-Khudhari Biek, Syaikh.2007.Ushul al-Fiqh.Jakarta: Pustaka Amani.

Anda mungkin juga menyukai