Anda di halaman 1dari 23

PEMBAGIAN FIQH

Makalah ini disusun untuk memenuhi mata kuliah Fiqih.

Dosen Pengampu:
Muhammad Edy Waluyo, M.Pd

Disusun oleh:
Kelompok 3

Dian Qurniasih (2113005)


Tania Febiana (2113022)

PROGRAM STUDI TADRIS BAHASA INGGRIS


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SYAIKH ABDURRAHMAN SIDDIK BANGKA BELITUNG
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Puji syukur kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu dengan judul
“Pembagian Fiqh”. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas pada mata kuliah Fiqh.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Muhammad Edy Waluyo,


M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah Fiqh yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan penulis.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, baik dalam hal
penulisan maupun isi. Oleh karena itu, kami sangat terbuka pada kritik dan saran yang
membangun sehingga penulisan selanjutnya dapat lebih baik lagi. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat khususnya pada mata kuliah Fiqh. Sekian dan terimakasih.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................i

DAFTAR ISI ............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ............................................................................1


B. Rumusan Masalah .......................................................................2
C. Tujuan Penulisan .........................................................................2
BAB II PEMBAHASAN

A. Pembagian Fiqh ...........................................................................3


B. Mazhab Fiqh ................................................................................9
C. Ruang Lingkup Fiqih ..................................................................18
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................19
B. Saran ............................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dilihat dari segi kebahasaan, kata hukum bermakna “menetapkan sesuatu pada
yang lain”. Seperti menetapkan haram pada khamar, atau halal pada air susu.
Sedangkan istilah para ulama ushul, sebagaimana diungkapkan Abu Azhar adalah
“titah (khitab) syari’ yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa
tuntutan, pilihan atau wadh’i.

Ketentuan-ketentuan hukum bagi umat manusia ini, pada dasarnya disyari’atkan


Tuhan untuk mengatur tata kehidupan mereka di dunia ini, baik dalam masalah-
masalah keagamaan maupun kemasyarakatan. Dengan mengkuti ketentuan-
ketentuan hukum ini, mereka akan memperoleh ketentraman dan kenyamanan, serta
kebahagian dalam hidupnya. Fungsi hukum diatas telah dinyatakan secara tegas oleh
Allah SWT dalam surat Al-nisa ayat 105 yang berbunyi :

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa


kebenaran, supaya kamu dapat enetapkan hukum kepada manusia dengan apa yang
telah Allah wahyukan kepadamu”

Tata kehidupan itu perlu diatur dengan norma-norma hukum yang diambil dari
ajaran-ajaran islam, karena semua mereka selain hidup di dunia juga akan menjalani
kehidupan akhirat yang kebahagian atau kesengsaraannya ditentukan oleh akumulasi
pahala dari perbuatan-perbuatan baik didunia ini. Sementara ketentuan-ketentuan
hukum yang diambil dari ajaran agama termasuk bagian yang menyediakan pahala
tersebut. Demikian, menaati ketentuan-ketentuannya itu, disamping akan membawa
ketentraman, kenyamanan serta kebahagiaan dalam kehidupan di dunia ini, juga
akan membawa pada kebahagiaan dalam kehidupan akhirat kelak.

1
B. Rumusan Masalah
1. Pembagian hukum fiqih (hukum ta’klifi dan wa’di).
2. Mazhab dalam hukum fiqih.
3. Ruang lingkup fiqih.

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pembagian hukum fiqh.
2. Untuk mengetahui mazhab-mazhab dalam hukum fiqh.
3. Untuk mengetahui ruang lingkup fiqh.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hukum Taklifi
Yang dimaksud huk taklifi adalah hukum syar’i yang mengandung tuntutan (untuk
dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukallaf) atau yang mengandung piilihan antara
yang dikerjakan dan ditinggalkan.

Hukum taklifi sebagaimana telah diuraikan bahwa terbagi menjadi emapat yaitu, :

1. Wajib
Pada pokoknya yang disebut dengan wajib adalah segala perbuatan yang diberi
pahala jika mengerjakannya dan di beri siksa (‘iqab) apabila meninggalkannnya.
Misalnya, mengerjakan beberapa rukun islam yang kelima.
Dilihat dari beberapa segi, wajib terbagi empat:
a. Dilihat dari segi tertentu atau tidak tertentunya perbuatan yang dituntut, wajib dapat
dibagi dua:
 Wajib mu’ayyan, yaitu yang telah ditentukan macam perbuatannnya misalnya
membaca fatihah dalam shalat.
 Wajib mukhayyar, yaitu yang boleh dipilih salah satu dari beberapa macam
perbuatan yang telah ditentukan. Misalnya, kifarat sumpah yang member piihan
tiga laternatif, member makan 10 orang miskin atau member pakaian 10 orang
miskin atau memerdekakan budak.
b. Dilihat dari segi waktu yang tersedia untuk menunaikannya, adakalanya wajib itu
dtentukan waktunya, seperti shalat lima waktu dan puasa ramadhan dan adakalanya
tidak ditetukan waktunnya, seperti membayar kifarat sumpah bagi orang yang
melanggar sumpah.
Wajib yang ditentukan waktuny terbagi kepada dua :
 Wajib mudhayyaa, waktu yang ditentukan untuk melaksanakan kewajiban itu
sama banyaknya dengan waktu yang dibutuhkan untuk itu. Misalnya, bulan
Ramadhan untuk melaksanakan puasa Ramadhan. Puasa itu sendiri
menghabiskan seluruh hari bulan Ramadhan.

3
 Wajib muwassa’, waktu yang tersedia lebih banyak dari waktu yang dibutuhkan
untuk menjalankan kewajiban tersebut. Misalnya, shalat zhuhur. Waktu yang
tersedia untuk melaksankan shalat tersebut jauh lebih lapang dibandingkan
dengan waktu yang terpakai untuk menunaikan shalat itu. Hal ini memberikan
kemungkinan kepada mukalaf untuk leluasa menunaikan shalatnya
disembarang waktu dalam batas waktu yang ditentukan diawal waktu dan
dipertengahan atau juga dipenghujungnnya.
c. Dilihat dari segi siapa saja yang harus memperbuatnya, wajib terbagi kepada dua
bagian:
 Wajib ‘aini, yaitu wajib yang dibebankan atas pundak setiap mukalaf.
Misalnya, mengerjakan shalat lima waktu, pusa ramdhan, dan lain sebagainya.
Wajib ini disebut juga fardhu ‘ain.
 Wajib kifayah, yaitu kewajiban yang harus dilakukan oleh salah seorang
anggota masyarakat, tanpa melihat siapa yang mengerjakanny. Apabila
kewajiban itu telah ditunaikan salah seorang diantara mereka, hilanglah
tuntutan terhadap yang lainnya. Namun, bila tidak seorangpun yang
melakukannya, berdosalah semua anggota masyarakat tersebut. Misalnnya
mendirikan tempat peribadatan, mendirikan rumah sakit, sekolah,
menyelenggarakan shalat jenasah dan lain sebagainya.
d. Dilihat dari segi kadar (kuantitas) nya, wajib itu terbagi kepada dua:
 Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang ditentukan kadar atau jumlahnya.
Misalnya, umlah zakat yang mesti dikeluarkan, jumlah rakaat shalat, dan lan-
lain.
 Wajib ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas
bilangannya. Misalnya, membelanjakan harta dijalan Allah, berjihad, tolong
menolong dan lain sebagainya.

2. Haram
Haram adalah segala perbuatan yang dilarang mengerjakannya. Orang yang
melakukkannya akan disiksa, berdosa (‘iqab) dan yang mennggalkannya diberi pahala.
Misalnya, mencuri, membunuh, tidak menafkahi orang yang menjadi tanggungan dan
lain sebagainya. Perbuatan ini disebut juga maksiat, qabih.

4
Secara garis besarnya haram dibagi kepada dua:
a. Haram karena perbuatan itu sendiri atau haram karena zatnya. Haram seperti ini
pada pokoknya adalah haram yang memang diharamkan sejak semula. Misalnnya,
membunuh, berzina, mencuri dan lain-lain.
b. Haram karena berkaitan dengan perbuatan lain atau haram karena factor lain yang
dating kemudian. Misalnnya, jual beli yang hukum asalnya mubah, nerubah
menjadi haram ketika azan jum’at sudah berkumandang. Begitu juga dengan pusa
ramadhan yang semulanya wajib berubah menjadi haram karena dengan berpuasa
itu akan menimbulkan sakit yang mengancam keslamatan jiwa.

3. Mandub
Mandub adalah segala perbuatan yang dilakukan akan mendpatkan pahala,
tetapi bila tidak dilakukan tidak akan dikenakan siksa, dosa (‘iqab). Biasannya, mandub
ini disebut juga sunat atau mustahab dan terbagi kepada:
a. Sunat’ain, yaitu segala perbuatan yang dianjurkan kepada setiap pribadi mukallaf
untuk dikerjakan, misalnya shalat sunnah rawatib.
b. Sunat kifayah, yaitu segala perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat cukup oleh
salah seorang saja dari suatu kelompok, misalnnya mengucapkan salam,
mendo’akan orang bersin, dan lain-lain.

Salin itu sunat juga di bagi kepada:

a. Sunat muakkad, yaitu perbuatan yang sunat yang senantiasa dikerjakan oleh rasul
atau lebih banyak dikerjakan rasul dari pada tidak dikerjakannya, misalnya shalat
sunat Hari Raya.
b. Sunat ghairu muakkad, yaitu segala macam perbuatan sunnat yang tidak selalu
dikerjakan rasul, misalnnya sdekah pada fakir miskin.

4. Makruh
Yang dimaksud dengan makruh adalah perbuatan yang bila ditinggalkan, orang
yang meninggalkannya mendapat pahala, tapi orang yang tidak meninggalakannya tidak

5
mendapat dosa (‘iqab). Misalnya merokok, memakan makanan yang menimbulkan bau
yang tidak sedap dan lain sebagainnya.
Pada umumnya, ulama membag makruh pada dua bagian yaitu:
a. Makruh tanzih, yaitu segala perbuatan yang meninggalkan lebih baik daripada
mengerjakan, seperti contoh-contoh tersebut diatas.
b. Makruh tahrim, yaitu segala perbuatan yang dilarang, tetapi dalil yang melarangnya
itu zhanny, bukan qath’i. Misalnya, bermain catur, memakan kala dan memakan
daging ular(menurut mazhab hanafiyah dan malikiyah)

5. Mubah
Yang dimaksud dengan mubah adalah segala perbuatan yang diberi pahala
karena perbuatannya, dan tidak berdosa karena meninggalakannya. Secara umum,
mubah ini dinamakan juga halal atau jaiz.

Mubah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:


a. Perbuatan yang ditetapkan secara tegas kebolehannya oleh syara’, dan manusia
diberi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukannya. Misalnya, meminang
wanita dengan sindiran-sindiran yang baik (QS. Al-Baqarah:225).
b. Perbuatan yang tidak ada dalil syara’ menyatakan kebolehan memilih, tetapi ada
perintah untuk melakukannya. Hanya saja, perntah itu hanya dimaksudkan
berdasarkan qainah-menunjukkan mubah atau kebolehan saja, bukan untuk wajib.
Misalnya, perntah berburu ketika telah selesai melaksanaka ibadah haji. (QS Al-
Maidah:2)
c. Perbuatan yang tidak ada keterangannya sama sekali dari syar’i tentang kebolehan
atau tidak kebolehannnya. Hal ini dikembalikan kepada hukum baraat al-ashliyah
(bebas menurut asalnya). Oleh sebab itu, segala perbuatan dalam bidang muamalat
menurut asalnya adalah dibolehkan selama tidak ada dalil yang melarangnya. Untuk
itu, ulama ushul fiqih membuat kaidah “menurut asalnya segala sesuatu itu adalah
mubah”.

B. Hukum Wadh’i

6
Yang dimaksud dengan hukum wadh’i adalah titah Allah menjadikan sesuatu sebagai sebab
bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga sebagai
penghalang (man’) bagi adanya sesuatu yang lain tersebut? Oleh karenanya, ulama
membagi hukum Wadh’i ini kepada: sebab, syarat, mani’. Namun, sebagian ulama
memasukkan sah dan batal.
1. Sebab
Yang dimaksud dengan sebab adalah segala sesuatu yang dijadikan oleh syar’i
sebagai alasan bagi ada dan tidak adanya hukum. Adanya sesuatu menyebabkan adanya
hukum dan tidak adanya sesuatu itu melazimkan tidaka adanya hukum.

Ulama membagi sebab ini menjadi dua bagian :


a. Sebab yang diluar kemampuan mukalaf. Misalnya keadaan terpaksa menjadi sebab
bolehnya memakan bangkai dan tergelincir atau tenggelamnya matahari sebagai
sebab wajibnya shalat.
b. Sebab yang berada dalam kesanggupan sebagai seorang mukallaf. Sebab ini dibagi
dua:
 Yang termasuk dalam hukum taklifi, seperti menyaksikan bulan menjadikan
sebab wajib melaksanakan puasa (QS. Al-Baqarah:185). Begitu juga keadaan
sedang dalam perjalanan menjadi sebab boleh tidaknya berpuasa di bulan
Ramadhan (QS. Al-Baqarah :185).
 Yang termasuk dalam hukum wadh’i seperti perkawinan menjadi sebabnya
warisan antara suami istri dan menjadi sebab haramnya mengawini mertua dan
lain sebagainnya.

2. Syarat
Yang dimaksud dengan syarat adalah segala sesuatu yang tergantung adanya
hukum dengan adanya sesuatu tersebut, dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan
tidak ada pula hukum. Namun, dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya
hukum. Misalnya, wajib zakat perdagangan apabila usaha perdagangan itu sudah
berjalan satu tahun bila-syarat berlakunya satu tahun itu-belum terpenuhi, zakat itu
belum wajib. Namun, dengan adanya syarat-berjalan, satu tahun-itu saja belumlah tentu

7
wajib zakat, karena masih tergantung kepada sampai atau tidaknya dagangan tersebut
senisab.
Ulama Ushuliyyin membagi syarat kepada beberapa bagian:
a. Syarat hakiki (syar’i) yaitu segala pekerjaan yang diperintahkan sebelum
mengerjakan yang lain dan pekerjaan itu tidak diterima (sah) bila pekerjaan yang
pertama belum dilakukan. Misalnya, wudhu menjadi syarat sahnya shalat dan
menjadi saksi syarat sahnya nikah. Syarat hakiki ini dibagi ke dalam dua bagian:
 Syarat untuk menyempurnakan sebab. Misalnya, adanya unsur kesengajaan
dan permusuhan adalah dua buah syarat bagi pembunuhan yang menjadi sebab
wajibnya hukuman qishas. Begitu juga genap satu tahun adalah syarat
penyempurnaan untuk memenuhi nisab yang menjadi sebab wajib zakat. Dan,
adanya dua orang saksi yang adil adalah syarat penyempurna akad perkawinan
yang menjadi sebab halalnya “berkumpul” antara seorang laki-laki dan
perempuan.
 Syarat untuk menyempurnakan musabbab. Misalnya, bersuci adalah syarat
penyempurnaan shalat yang wajib disebabkan telah masuknya waktu shalat.
Begitu juga matinya orang yang akan menerima waris adalah dua syarat
penyempurna untuk saling mempusakai yang disebabkan adanya ikatan
perkawinan atau adanya hubungan kekerabatan (keturunan).
b. Syarat ja’li
yaitu segala syarat yang dibuat oleh orang-orang yang mengadakan
transaksi dan dijadikan tempat bergantungnya serta terwujudnya transaksi tersebut.
Misalnya seorang pembeli membuat syarat bahwa ia mau membeli sesuatu barang-
dari seorang penjual-dengan syarat boleh dengan cara mencicil. Bila syarat itu
diterima oleh si penjual jual-beli tersebut dapat dilakukan.

3. Mani’
Yang dimaksud dengan mani’ adalah segala seuatu yang dengan adanya dapat
meniadakan hukum atau dapat membatalakan sebab hukum. Dari definisi d ats dapat
diketahui bahwa mani’ itu terbagi kepada dua macam:
a. Mani’ terhadap hukum. Misalnya perbedaan agama natara pewaris dengan yang
akan diwarisi adalah mani’ (penghalang) hukum pusaka mempusakai sekalipun

8
sebab untuk saling mempusakai sudah ada, yaitu perkawinan. Begitu juga najis
yang terdapat di tubuh atau di pakaian orang yang sedang shalat, yaitu suci dari
najis. Oleh sebab itu, tidak ada hukum sahnya-shalat. Hal ini disebut mani’ hukum.
b. Mani’ terhadap sebab hukum. Misalnya, seseorang yang memiliki harta senisab
wajib mengeluarkan zakatnya. Namun, karena ia mempunyai hutang yang
jumlahnya sampai mengurangi nisab zakat, ia tidak wajib membayar zakat.
Namun,keadaannya memiliki banyak hutang tersebut menjadikan penghalang sebab
adanya hukum wajib zakat. Dengan demikian mani’ dalam contoh ini adalah
mengahalangi sebab hukum zakat. Hal ini disebut man’ zakat.

Kemudian, Al-Amidi menambahakan pembicaraan mengenai sah dan batal, serta


azimah dan rukhshah kedalam pembagian hukum wadh’i ini.

4. Sah dan Batal


Secara harfiah, sah berarti “lepas tanggung jawab” atau “gugur kewajiban di
dunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat”. Shalat dikatakan sah karena
telah dilaksanakan sesuai dengan yang diperintah syara’. Sebaliknya, batal dapat
diartikan tidak melepaskan tanggung jawab, tidak mengugurkan kewajiban di dunia dan
di akhirat tidak memperoleh pahala.
Setiap perbuatan yang dibebankan kepada mukallaf sudah ditetapkan rukun
dan syaratnya dan perbuatan itu harus disesuaikan dengan perintah Allah atau sekurang-
kurangnya tidak dilarang. Setiap perbuatan yang telah memenuhi rukun dan syarat serta
dilaksanakan enurut ketentuan yang ditetapkan syara’dinamakan sah dan sebaliknya
perbuatan yang kurang rukun dan syarat serta betentangan dengan ketentuan syara’
dinamakan batal.
Kalau perbuatan yang dituntut syara’ dikatakan sah, orang yang
melaksanakanya dikatakan telah menunaikan tuntutan, lepaslah ia dari tanggung jawab,
tidak dituntut hukuman, baik didunia mapun diakhirat, bahkan ia mendapat pahala di
akhirat kelak. Sebaliknya perbuatan yang tidak memenuhi persyaratan dan rukun serta
bertentangan dengn ketentuan syara’ tidak dapat menghapuskan kewajiban, yang
melakukannya pun dituntut, baik di dunia maupun di akhirat.

9
C. Madzhab-madzhab Fiqh
Mazhab secara bahasa berarti jalan yang ditempuh atau dilewati. Bisa pula
berarti sesuatu yang dituju oleh seseorang, baik yang nampak maupun maknawi. 1
Menurut istilah umum, mazhab adalah suatu jalan (metodologi) yang dirancang oleh
seseorang atau kelompok, baik dalam bidang akidah, etika, hukum atau lainnya.
Tidaklah dikatakan sesuatu itu mazhab seseorang melainkan jika seseorang tersebut
memiliki metodologi tersendiri yang berbeda dengan yang lainnya. Makan, minum
dan tidur tidak bisa dikatakan mazhab yang mengkhususkan seseorang atau
kelompok.
Menurut para ulama, istilah mazhab hanya digunakan terhadap manhaj yang
dibuat setelah kajian, dan dirancang dengan jelas, sitematis dan terarah oleh
pemiliknya berdasarkan ushul dan qawa‟id.2 Dalam kitab Mu‟jam al-Wasith
dijelaskan, “Mazhab menurut ulama adalah sekumpulan pendapat dan teori ilmiah
dan filosofi, dimana sebahagiannya terikat dengan sebahagian yang lain secara
sistematis.3 Oleh karena itu, istilah mazhab bila digunakan terhadap manhaj yang
dirancang oleh para ulama Kalam dalam persoalan akidah disebut mazhab Kalam.
Orang yang menempuh metodologi ulama Kalam dalam mengambil dalil berarti ia
bermazhab mereka. Begitu pula istilah mazhab digunakan oleh para ulama fiqh
terhadap manhaj Fiqh yang ditempuh oleh seorang faqih mujtahid, dimana ia
memiliki metodologi tersendiri, dengannya menghasilkan sejumlah produk hukum
dalam bidang ilmu furu‟ (Fiqh).4 Mazhab Fiqh inilah yang menjadi fokus
pembicaraan penulis dalam kajian ini.
Adapun definisi mazhab secara istilah adalah hasil ijtihad (pendapat) dan
metodologi ulama dalam memahami hukum-hukum dalam Al-Quran dan as-Sunnah.
Mazhab didefinisikan pula dengan pendapat para ulama dan pemahaman mereka

1
Al-Asyqar, Umar Sulaiman, al-Madkhal ila Diraasah al- Mazaahib wa al-Madaaris al-Fiqhiyyah (Jordan:
Dar an-Nafais, cet. IV, 1427 H/2007 M), hal. 48
2
Ibid., hal. 49
3
Anis, Ibrahim, dan lainnya, al-Mu’jam al-Wasith (Kairo: Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi, cet. II), jilid. I, hal.
317.
4
Al-Asyqar, al-Madkhal ila Dirasah al- Mazahib wa al-Madaris al-Fiqhiyya, hal. 49.

10
dalam sebahagian persoalan dan ijtihad mereka.5 Ada pula yang mendefinisikan
mazhab adalah pendapat para mujtahid.6 Pengertian mazhab dalam istilah Fiqh atau
ilmu Ushul Fiqh setidaknya meliputi dua pengertian, yaitu; Pertama, manhaj yang
digunakan seorang mujtahid dalam menetapkan hukum suatu kejadian. Kedua,
pendapat seorang mujtahid tentang hukum suatu kejadian.
Mazhab merupakan madrasah Fiqh yang dikenal dengan sebutan nama-nama
pendirinya yaitu para ulama mujtahid yang agung yang dikenal dengan keilmuan,
ijtihad, keshalihan dan ketakwaan mereka.7 Di antara mazhab-mazhab yang pernah
berkembang dan dikenal oleh umat Islam yaitu mazhab Imam Abu Hanifah, Imam
Malik, Imam Syafi‟, Imam Ahmad bin Hambal, imam Abu Tsaur, Imam Al-Auza‟i,
Imam Al-Bukhari, Imam Ats-Tsauri, Imam Al-Laits bin Sa‟ad, Imam An-Nakh‟i,
Imam Daud Az-Zahiri, imam Ibnu Jarir AtThabari, imam Sufyan bin „Uyainah, dan
lainnya. Hanya saja, mazhab yang masih ada dan bertahan sampai saat ini adalah
mazhab empat Imam yaitu mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi‟,
Imam Ahmad bin Hanbal. Adapun mazhab-mazhab selain mazhab empat sudah
tiada dan hilang, baik karena meninggal para pengikutnya maupun tidak ada
pengikut atau penerusnya. Kita hanya menemukan pendapat mereka di buku-buku
tentang ihktilaful ulama.8
Bidang kajian mazhab Fiqh itu hanya dalam masalah hukum syar‟i yang
furuiyyah dan ijtihadiah, bukan persoalan i‟tiqad atau aqidah. Maka tidak ada
pembahasan atau kajian dalam mazhab para ulama tersebut tentang hukum-hukum
ushuliyyah atau ushuluddin atau aqidah. Berbeda pendapat dalam aqidah sama saja
memecah umat menjadi sekte-sekte yang dilarang dalam agama. Para ulama
mazhab-mazhab Fiqh tersebut semuanya mengikuti satu manhaj dalam i‟tiqad atau
aqidah. Aqidah mereka adalah aqidah Ahlussunnah wal Jama‟ah, sedangkan orang
yang berbeda dengan mereka itu sekte-sekte yang menyimpang seperti Khawarij,

5
Al-Ma’shumi, Muhammad Sulthan, Hadiyyatus Sulthan ilaa Muslimi Bilaadil Yaaban, hal. 55.
6
Az-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr al-Islami, cet. IX, 1427
H/2006 M), jilid I, hal. 92.
7
Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, hal. 411
8
Ibid, hal. 412

11
Syi‟ah, Muktazilah, Qadariah, Jabariah, Murji‟ah, dan lainnya. Dengan demikian,
tidak ada mazhab-mazhab di antara para ulama ahlussunnah dalam bidang i‟tiqad
atau aqidah.
Para sabahat Nabi Saw radhiyallahu anhum menempuh satu jalan dan satu
manhaj dalam persoalan i‟tiqad atau aqidah, meskipun mereka berbeda pendapat
dalam beberapa persoalan furu‟.9 Begitu pula generasi sesudah mereka dari para
ulama tabi‟in, tabiut tabi‟in dan para imam mazhab yang mengikuti mereka.
Mereka merupakan generasi terbaik umat. Nabi Saw bersabda: “Sebaik-baik
manusia adalah masaku (yaitu sahabat). Lalu masa berikutnya (yaitu tabi‟in). Lalu
masa berikutnya (yaitu tabiut tabi‟in).” (HR. Bukhari).
Di antara para pendiri mazhab dan mazhabnya yang sampai sekarang
berkembang adalah sebagai berikut:
a. Imam Ja‟far
Ja‟far al-Shadiq adalah seorang ulama besar dalam banyak
bidang ilmu, seperti ilmu filsafat, tasawuf, fikih, kimia dan ilmu kedokteran.
Beliau adalah imam yang keenam dari dua belas imam dalam mazhab Syi‟ah
Imamiyyah. Di kalangan kaum sufi beliau adalah guru syaikh yang besar,
sedang dikalangan ahli kimia beliau dianggap sebagai pelopor ilmu kimia, beliau
adalah guru dari Jabir bin Hayyan, ahli kimia dan kedokteran Islam.
Dasar-dasar yang menjadi sumber hukum / dalil hukum (mashādir al-
ahkām, al-adillat al-ahkām), mazhab Ja‟fary adalah;
1) Al-Qur‟an
2) Sunnah
3) Ijma‟
4) „Aqal (Ra‟yu)
Sunnah yang menjadi sumber hukum atau dalil hukum dalam mazhab
syi’ah ja’fary adalah sunnah yang diriwayatkan oleh imam-imam (perawi-
perawi) yang diakui oleh mereka (ahli bayt, keluarga Nabi), sedangkan ijma’
yang diakui oleh mereka adalah ijma’ di kalangan syi’ah. Pengikut mazhab syiah
9
Al-Asyqar, al-Madkhal ila Diraasah al-Madaris wa al-Mazaahib al-Fiqhiyyah, hal. 51

12
ja‟fary terdapat di Iran dan Negara-negara sekitarnya, Turki, Siria, dan Afrika
Barat. Mazhab ini diikuti juga oleh umat Islam di beberapa Negara, sekalipun
jumlahnya tidak banyak.
b. Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah pendiri mazhab Hanafi. Nama lengkap beliau adalah
Abu Hanifah An Nu‟man bin Tsabit bin Zufiat al-Tamimi, beliau masih
mempunyai pertalian hubungan dengan Ali bin Abi Thalib.
Imam Abu Hanifah lahir di kufah 80 H/ 699 M pada masa pemerintahan
al-Walid bin Abdul Malik. Keluarga Abu Hanifah sebenarnya adalah keluarga
pedagang, dan dia sendiri pernah terlibat dalam usaha perdagangan. Namun,
sejak kecil dia seorang yang sangat rajin mempelajari ilmu-ilmu al-Qur‟an, sl-
hadis dan fikih. Beliau pernah berguru kepada Anas bin Malik, Abdullah bin
Auf, Abu Tufail, Humad bin Abu Sulaiman. Setelah gurunya wafat beliau mulai
mengajar berbagai ilmu di Kufah.
Beliau pernah tinggal di Makkah beberapa tahun, dan di sana beliau
bertemu dengan salah seorang murid Abdullah bin Anas. Semasa hidupnya
beliau dikenal sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya, ahli zuhud, sangat
tawadhu‟, dan sangat teguh memegang ajaran agama. Imam Abu Hanifah wafat
pada tahun 150 H/767 M pada usia 70 tahun. Pada tahun 450 H/ 1066 M di kota
ia wafat, didirikan sebuah sekolah yang diberi nama Jami‟ Abu Hanifah. Dasar-
dasar yang menjadi sumber hukum Islam/ dalil hukum (mashādir al-ahkām,
adillat al-ahkām) mazhab hanafi adalah:
1) Al-Qur‟an
2) Sunnah
3) Fatwa-fatwa sahabat
4) Qiyas
5) Istihsan
6) Adat (‘urf)
Mazhab Hanafi banyak dianut oleh umat Islam di Pakistan, India, Afghanistan,
Turki, Asia Tengah, Mesir, Brazil, dan Amerika Latin.

13
c. Imam Malik bin Anas
Imam Malik bin Anas pendiri mazhab Maliki, dilahirkan di Madinah
pada tahun 93 H. beliau berasal dari kabilah Yamniah. Sejak kecil beliau telah
rajin menghadiri majelis-majelis ilmu pengetahuan, sehingga sejak kecil itu pula
beliau telah hafal alQur‟an.
Pada mulanya beliau belajar dari Ribiah, seorang ulama yag sangat
terkenal pada waktu itu. Selain itu, beliau juga mempelajari ilmu fikih dari para
sahabat. Beliau dikenal sangat berhati-hati dalam memberi fatwa, yang di
dahului dengan meneliti hadis-hadis Rasulullah saw., dan bermusyawarah
dengan ulama lain. Diriwayatkan bahwa beliau mempunyai tujuh puluh orang
yang biasa diajak bermusyawarah untuk mengeluarkan suatu fatwa. Imam Malik
dikenal mempunyai daya ingat yang sangat kuat. Pernah beliau mendengar tiga
puluh satu hadis dari Ibnu Syihab tanpa menuliskannya. Ketika kepadanya
diminta mengulangi seluruh hadis tersebut, tak satupun dilupakannya.
Imam Malik adalah seorang ulama yang sangat terkemuka, terutama
dalam ilmu hadis dan fikih. Beliau mencapai tingkat yang sangat tinggi dalam
kedua cabang ilmu itu. Imam Malik telah menulis kitab al-Muwathta’, yang
merupakan kitab hadis dan fikih. Imam Malik meninggal dunia pada usia 86
tahun.
Dasar-dasar yang menjadi sumber hukum Islam/ dalil hukum (mashādir
al-ahkām, adillat al-ahkām) mazhab Maliky adalah;
1) Al-Qur‟an
2) Sunnah
3) Ijma’ Ulama Madinah
4) Fatwa Sahabat
5) Qiyas
6) Maslahah Mursalah
Mazhab Maliky, tersebar luas dan dianut dibanyak bagian penjuru dunia,
seperti di Maroko, al-Jazair, Mesir, Tunisia, Sudan, Kuwait, Qatar, dan Bahrain.
d. Imam Syafi‟i

14
Imam Syafi‟i, yang dikenal sebagai pendiri mazhab syafi‟I adalah
Muhammad bin Idris Asy Syafi‟I Al-Quraisyi. Beliau dilahirkan di Ghazzah,
pada tahun 150 H, bertepatan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah. Meski
dalam keadaan yatim dan dalam suatu keluarga yang miskin, tidak menjadikan
ia merasa rendah diri dan malas. Sebaliknya, dia giat mempelajari hadis dari
ulama-ulama hadis yang banyak terdapat di Makkah. Pada usianya yang masih
kecil, ia telah hafal al-Qur‟an. Dan pada usianya yang ke-20, dia meninggalkan
Makkah untuk mempelajari ilmu fikih dari Imam Malik, kemudian ia pergi ke
Iraq untuk mempelajari fikih dari murid Abu Hanifah yang masih ada. Dalam
perantauannya tersebut, dia juga sempat mengunjungi Persia, dan beberapa
temapat lain.
Setelah wafatnya Imam Malik (179 H), dia kemudian pergi ke Yaman,
menetap dan mengajarkan ilmu disana, bersama Harun Al-Rasyid, yang telah
mendengar tentang kehebatan beliau, kemudian meminta beliau untuk datang ke
Baghdad, dan ia memenuhi undangan itu. Sejak saat itu beliau dikenal secara
luas, dan banyak orang yang belajar kepadanya. Pada waktu itulah mazhabnya
mulai dikenal.
Pada tahun 198 H, beliau pergi ke Negara Mesir, dan mengajar di Masjid
Amru bin Ash. Ia menulis kitab al-Um, Amali Kubra, Kitab Risalah, Ushul al-
Fiqh, dan memperkenalkan Qaul Jadid sebagai mazhab (pendapat) baru darinya.
Imam Syafii dikenal sebagai orang pertama yang mempelopori penulisan dalam
bidang ilmu Ushul al-Fiqh.
Imam Syafi‟i wafat di Mesir. Kitab-kitab beliau hingga kini masih
dibaca orang. Makam beliau sampai saat ini masih ramai diziariarahi orang.
Murid-murid beliau yang terkenal, di antaranya adalah; Muhammad bin
Abdullah bin Al-Ahkam, Abu Ibrahim bin Ismail bin Yahya Al-Muzani, Abu
Ya‟qub Yusuf bin Yahya AlBuwaiti. Dasar-dasar yang menjadi sumber hukum
Islam/ dalil hukum (mashādir al-ahkām, adillat al-ahkām) mazhab Syafi‟i
adalah:
1) Al-Qur’an

15
2) Sunnah
3) Ijma’
4) Qiyas
5) Istidlal
Mazhab Syafi‟i banyak diikuti oleh umat Islam di Afrika Utara,, Mesir,
Saudi Arabia, Arab Selatan (Yaman), Lobanon, Palestina, Iraq, Pakistan,
Semenanjung Malaya, Srilangka, Indonesia dan beberapa Negara Asia
Tenggara.
e. Imam Ahmad Hanbali
Imam Ahmad pendiri mazhab Hanbali, nama lengkapnya adalah Abu
Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal alSyaibani. Beliau
dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabiul Awal tahun 164 H/ 780 M.
Ahmad bin Hanbal dibesarkan dalam keadaan yatim oleh ibunya, karena
ayahnya meninggal ketika beliau masih bayi. Sejak kecil dia telah menunjukkan
sifat dan pribadi yang mulia, sehingga menarik simpati banyak orang. Sejak
kecil dia telah menunjukkan minat yang besar kepada ilmu pengetahuan,
kebetulan pada saat itu Baghdad merupakan kota pusat ilmu pengetahuan. Dia
memulai dengan belajar menghafal al-Qur‟an, kemudian belajar bahasa Arab,
hadis, sejarah Nabi dan sejarah sahabat serta para tabi‟in. untuk memperdalam
ilmu, dia beberapa kali pergi ke Basrah, di sanalah beliau bertemu dengan Imam
Syafi‟i. Ia juga pergi menuntut ilmu ke Yaman dan Mesir. Di antara guru beliau
yang lain adalah Yusuf Al-Hasan bin Ziad, Husyaim, Umar, Ibn Humam, dan
Ibn Abbas.
Imam Ahmad bin Hanbal wafat di Baghdad dalam usia 77 tahun pada
tahun 241 H/ 855 M. sepeninggalnya, mazhab hanbali berkembang luas dan
menjadi salah satu mazhab yang memiliki banyak penganut. Dasar-dasar yang
menjadi sumber hukum Islam/ dalil hukum (mashādir al-ahkām, adillat al-
ahkām) mazhab Hanbali adalah:
1) Al-Qur‟an
2) Sunnah (hadis Shahih)

16
3) Fatwa para Sahabat
4) Hadis yang lemah (Dha‟if/ hasan)
5) Qiyas Mazhab
Hanbali banyak pengikutnya di beberapa Negara seperti di Saudi Arabia,
Libanon, Siria, dan beberapa Negara di Afrika.
Lima mazhab di atas, yang pertama (mazhab Ja‟fary), adalah mazhab
dalam golongan syiah, sedang empat mazhab terakhir adalah mazhab golongan
Ahlu Sunnah (Sunny). Yang dimaksud mazhab sunni di nisbahkan kepada
golongan Ahlu sunnah yaitu golongan yang berpendapat bahwa Abu Bakar
Shiddiq, berhak menjadi khalifah sesudah nabi, dan setelah Umar bin Khattab,
kemudian Utsman bin Affan. Sedangkan golongan Syi‟ah berpendapat bahwa
Ali bin Abi Thalib, lebih berhak menjadi khalifah (pengganti Nabi), karena
beliau termasuk kerabat Nabi (ahli bait). Mereka berpihak kepada Ali bin Abi
Thalib, dan disebut Syi‟ah Ali. Selain itu golongan syiah menolak hadis yang
tidak diriwayatkan oleh kerabat nabi (ahli bait).
Di samping mazhab-mazhab di atas, masih ada lagi mazhab lain, namun
kurang banyak pengikutnya, seperi mazhab Dzahiri yang didirikan oleh Imam
Daud bin Ali. Mazhab Dzahiri dalam menetapkan hukum, lebih cenderung
mendasarkan kepada arti yang tersurat (makna dzahir) dari nas. Mazhab ini
pernah berkembang di Spanyol sekitar abad ke-5 H yang kemudian
dikembangkan oleh Ibn Hazm (wafat 456 H/ 1085 M).
Sedangkan mazhab-mazhab yang sudah tidak ada atau sangat sedikit
pengikutnya saat ini adalah:
1) Abdullah Ibn Syubrumah (wafat 161 H)
2) Muhammad Ibnu Abdur Rahman Abi Laila (wafat 148 H)
3) Sufyan Ats-Tsaury (wafat 161 H)
4) Al-Laits Ibnu Sa‟ad (wafat 175 H)
5) Syuraih An Nacha‟iy (wafat 175 H)
6) Sufyan Ibnu Uyainah (wafat 198 H)
7) Ishaq Ibnu Rahawaih (wafat 238 H)

17
8) Al-Auza‟iy al-Dimsyiqy (wafat 157 H)
9) Ibn Jarir al-Thabary (wafat 310 H).10

D. Ruang Lingkup Pembahasan Fiqh


Ruang lingkup ilmu Fiqh, meliputi berbagai bidang di dalam hukum-hukum syara’,
antara lain :
 Ruang lingkup Ibadat, ialah cara-cara menjalankan tata caraperibadatan kepada
Allah SWT.
 Ruang lingkup Mu’amalat, ialah tata tertib hukum dan peraturan hubungan antar
manusia sesamanya.
 Ruang lingkup Munakahat, ialah hukum-hukum kekeluargaan dalamhukum
nikah dan akibat-akibat hukumnya.
 Ruang lingkup Jinayat, ialah tindak pelanggaran atau penyimpangandari aturan
hukum Islam sebagai tindak pidana kejahatan yang dapatmenimbulkan bahaya
bagi pribadi, keluarga, masyarakat, dan Negara.11

10
Suparman Usman, Hukum Islam; Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hlm. 95-101.
11
Ade Dedi rohayana, “ilmu Ushul fiqih” (pekalongan: STAIN Press, 2006) hal.10

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari urain sebelumnya dapat dilihat perbedaan antara hukum taklifi dan hukum
wadh’i dari dua hal:
a. Dilihat dari sudut pengertiannya, Hukum taklifi adalah hukum Allah yang berisi
tuntutan-tuntutan untuk berbuat atau tidak berbuat suatu perbuatan, atau
membolehkan memilih antara berbuat dan tidak berbuat. Sedangkan hukum
wadh’i tidak mengandung tuntutan atau member pilihan, hanya menerangkan
sebab atau halangan (mani’) suatu hukum, sah dan batal.
b. Dilihat dari segi kemampuan mukalaf untuk memikulnya, hukum taklifi selalu
dalam kesanggupan mukalaf, baik dalam mengerjakan atau meninggalkanya.
Sedangkan hukum wadh’i kadang-kadang dapat dikerjakan (disanggupi) oleh
mukalaf dan kadang-kadang tidak.

B. Saran
Demikian makalah ini saya susun, Penulis menyadari dalam makalah ini masih
banyak sekali terdapat kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, saya meminta untuk para pembaca memberikan kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah yang saya buat selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat dijadikan sumber referensi dan bermanfaat bagi para
pembaca.
Aamiin. Wassalamu’alaikum wr.wb

19
DAFTAR PUSTAKA

Al-Asyqar, Umar Sulaiman, al-Madkhal ila Diraasah al- Mazaahib wa al-Madaaris al-
Fiqhiyyah (Jordan: Dar an-Nafais, cet. IV, 1427 H/2007 M)

Al-Asyqar, al-Madkhal ila Dirasah al- Mazahib wa al-Madaris al-Fiqhiyya.

Al-Ma’shumi, Muhammad Sulthan, Hadiyyatus Sulthan ilaa Muslimi Bilaadil


Yaaban.

Anis, Ibrahim, dan lainnya, al-Mu’jam al-Wasith (Kairo: Dar Ihya’ At-Turats Al-
‘Arabi, cet. II), jilid. I.

Az-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr al-


Islami, cet. IX, 1427 H/2006 M), jilid I.

Djatnika, Rachmat Prof. Dr. H.,dkk. 1986. Perkembangan Ilmu Fiqh Di Dunia Islam.
Jakarta: DEPAG.

Dedi rohayana, Ade, “ilmu Ushul fiqih” (pekalongan: STAIN Press, 2006)

Naim, Ngainun. 2009. Sejarah Pemikiran Hukum Islam (Sebuah Pengantar).


Yogyakarta: Penerbit TERAS.

Muhammad Al-Khudhari Biek, Syaikh.2007.Ushul al-Fiqh.Jakarta: Pustaka Amani.

Rosyada, Dede Drs.,M.A.1993.Hukum Islam Dan Pranata Sosial (Darasah Islamiyah


III).Jakarta : Rajawali Pers.

Usman, Suparman, Hukum Islam; Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002)

Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh

20

Anda mungkin juga menyukai