Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH FIKIH

“HUKUM SYAR’I”

Guru pembimbing :

Drs. A. Muhid, M.Pd.I

Disusun Oleh :

Nama : Muhamad Farhan

Kelas : XII MIA 5


MADRASAH ALIYAH NEGERI 2 KOTA JAMBI
TAHUN AJARAN 2022/2023

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayahnya sehingga kami memperoleh kesehatan dan kekuatan untuk dapat
menyelesaikan makalah “HUKUM SYAR’I” ini..

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai “Hukum Syar’i”. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa
didalam makalah ini terdapat banyak kekurangan. Oleh sebab itu, Kami berharap adanya kritik,
saran dan usulan demi kesempurnaan makalah yang telah kami buat ini, mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah ini dapat mudah diapahmi bagi siapapun yang memebacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf,apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang dapat membantu dari pembaca demi
perbaikan makalah ini diwaktu yang akan datang.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................1

LATAR BELAKANG ...................................................................................................................1

RUMUSAN
MASALAH ...............................................................................................................1

TUJUAN ........................................................................................................................................1

BAB II
PEMBAHASAN ................................................................................................................2

A. HUKUM TAKLIFI..............................................................................................................2

a. Ijab (wajib) .........................................................................................................................2

b. Nadb (Sunnah) .................................................................................................................2

c. Tahrim (Haram) ...............................................................................................................2

d. Karahah (Makruh) ............................................................................................................2

e. Ibahah (Mubah) ................................................................................................................3

B. HUKUM WADH’I ..............................................................................................................5

a. Sebab ......................................................................................................................................5

b. Syarat ......................................................................................................................................6
c. Mani’ ...................................................................................................................................6

BAB III

PENUTUP ........................................................................................................................7

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................7


BAB I PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Semula syariat diartikan sebagai hukum-hukum atau segala aturan yang ditetapkan Allah buat
hamba-Nya untuk ditaati, baik berkaitan dengan hubungan mereka dengan Allah maupun
hubungan antara sesame mereka sendiri. Dengan pengertian semacam ini, syariat diartikan agama
sebagaimana disinggung dalam surat Al-Syura ayat 13.Namun kemudian, penggunaannya
dikhususkan kepada hukum-hukum amaliyah. Pengkhususan ini dilakukan karena agam (samawy)
pada prinsipnya adalah satu, berlaku secara universal dan ajaran akidahnya pun tidak berbeda dari
rasul yang satu dengan yang lainnya, yaitu tauhid, sedangkan syariat hanya berlaku untuk
masingmasing umat sebelumnya. Dengan demikian, syariat lebih khusus dari pengertian agama. Ia
adalah hukum amaliyah yang menurut perbedaan Rasul yang membawanya dan setiap yang dating
kemudian mengoreksi dan atau menasakhkan yang dating lebih dulu.
Ahli ushul fiqh dan ahli fiqh berbeda pendangan dalam mengartikan hukum syar’i tersebut. Pihak
yang pertama, mendefinisikan hukum syar’I sebagai khitab (titah) Allah yang berhubungan dengan
perbuatan mukalaf yang mengandung tuntutan, kebolehan, boleh pilih atau waha’ (yaitu
mengandung ketentuan tentang ada atau tidaknya sesuatu hukum). Sedangkan pihak kedua,
mendefinisikan sebagai efek yang dikendaki oleh titah Allah tentang perbuatan seperti wajib,
haram, dan mubah. Dan melalui pemahamannya terhadap definisi ini ada ulama yang mengatakan
bahwa hukum syar’i itu merupakan koleksi daya upaya para fuqaha untuk menerapkan syariat atas
kebutuhan masyarakat.
Dari definisi-definisi di atas dapat dikatakan bahwa nash dari pembuat syara’ (Allah dan Rasul-
Nya) itulah, menurut ahli ushul, yang dikataka hukum syar’i. Sedangkan menurut ahli fiqh bukan
nash itu yang dimaksud dengan hukum syar’i melainkan efek dari kandungan nash itu sendiri.

RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah yang dapat diambil dari makalah ini yaitu:

1. Pengertian hukum syara'

2. Hukum Taklifi dan pembagiannya

3. Hukum Wadh'i dan pembagiannya

4. Perbedaan antara Hukum Taklifi dan Hukum Wadh'i

TUJUAN

Adapun tujuan yang dapat diambil dari makalah ini yaitu:

1. Untuk mengetahui mengenai Hukum Syar;i

2. Untuk memahami tentang pembagian Hukum Syar’i

1
BAB II PEMBAHASAN
A. HUKUM TAKLIFI
Taklifi artinya memberatkan, membebankan. Hukum taklifi yang dimaksud di sini adalah,
tuntutan Allah pada manusia yang baligh dan berakal untuk berbuat atau untuk tidak berbuat
atau memilih salah satu diantara keduanya.Jadi, hukum taklifi adalah sesuatu yang menuntut
suatu pengerjaan dari mukallaf, atau menuntut untuk berbuat, atau memberikan pilihan
kepadanya antara melakukan dan meninggalkannya. Sedang bentuk perintah atau larangan itu
ada yang pasti dan ada juga yang tidak pasti jika perintah itu berbentuk pasti, maka disebut
wajib, jika tidak pasti disebut mandub (sunnah).

Hukum taklifi ini terbagi kepada lima bagian: ijab, nadb, tahrim, karahah, dan ibahah:

a. Ijab (wajib) adalah firman yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan

tuntutan pasti. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2): 43:

“Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang
rukuk.”

b. Nadb (Sunnah) adalah firman Allah yang menuntut melakukan suatu perbuatan

”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai
waktu yang ditentukan, hendaknya kamu menuliskannya.”

c. Tahrim (Haram) adalah firman yang menuntut untuk tidak melakukan sesuatu
perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Misalnya, firman Allah dalam surat AlMaidah
ayat 3:
‫حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير‬
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, dan daging babi.”

d. Karahah (Makruh) adalah firman Allah yang menuntut untuk tidak melakukan
sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran
untuk tidak berbuat. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 101:

“Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan


kepadamu niscaya menyusahkanmu..”

2
e. Ibahah (Mubah) adalah firman Allah yang memberi kebebasan kepada mukalaf
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan. Misalnya, Allah dalam
surat Al-Baqarah 235:

“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sendirian.”

Ulama' Hanafiyah membagi hukum taklifi kepada tujuh bagian yaitu dengan membagi firman
yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan pasti kepada dua bagian, yaitu
fardhu dan ijab. Begitu juga firman yang menuntut untuk tidak melakukan suatu perbuatan
dengan pasti kepada dua bagian: tahrim dan karahah tanzih.Menurut kelompok ini bila suatu
perintah didasarkan dalil yang qath'i seperti dalil Al-Qur'an dan Hadits Mutawatir maka perintah
itu disebut fardhu. Namun, bila suruhan itu berdasarkan dalil yang zhanni ia dinamakan ijab.
Begitu pula larangan. Bila larangan itu berdasarkan dalil zhanny, ia disebut karahah tanzih

Dengan pembagian seperti di atas, Ulama' Hanafiyah membagi hukum taklifi kepada fardhu,
ijab, tahrim, karahah, karahah tanzih, nadb dan ibadah.Walaupun golongan yang disebut
terakhir ini membagi hukum taklifi kepada tujuh bagian, tapi pada umumnya ulama sepakat
membagi hukum tersebut kepada lima bagian seperti telah disebut di atas. Kelima macam
hukum itu menimbulkan efek terhadap perbuatan mukalaf dan efek itulah yang dinamakan
alahkam al- khamsah oleh ahli fiqih, yaitu wajib, haram, mandub, makruh, dan mubah. (H.
Alaiddin Koto, 2004, hal. 42-44)

1) Wajib
Pada pokoknya yang disebut dengan wajib adalah segala perbuatan yang diberi pahala
jika mengerjakannya dan diberi siksa ('iqab) apabila meninggalkannya. Misalnya,
mengerjakan beberapa rukun Islam yang lima. Dilihat dari beberapa segi, wajib terbagi
empat:

1. Dilihat dari segi tertentu atau tidak tertentunya perbuatan yang dituntut.wajib
dibagi dua yaitu Wajib Mu’ayyan(ditentukan) danWajib Mukhayyar(dipilih).

2. Dilihat dari segi siapa saja yang mengharuskan memperbuatnya, wajib dibagi dua
yaitu Wajib Aini dan Wajib Kifayah.

3. Dilihat dari segi kadar (kuantitas)nya,wajib dibagi dua yaitu Wajib Muhaddad
dan Wajib Ghairu

3
2) Haram

Haram adalah segala perbuatan yang dilarang mengerjakannya. Orang yang


melakukannya akan disiksa, berdosa ('iqab) dan yang meninggalkannya diberi pahala.
Misalnya, mencuri, membunuh, tidak menafkahi orang yang menjadi tanggungan, dan
lain sebagainya. Perbuatan ini disebut juga maksiat, qabih.
Secara garis besarnya haram dibagi kepada dua:

1. Haram karena perbuatan itu sendiri, atau haram karena zatnya. Haram
seperti ini pada pokoknya adalah haram yang memang diharapkan sejak semula.
Misalnya, membunuh,berzina,mencuri,danlain-lain.
2. Haram karena berkaitan dengan perbuatan lain, atau haram karena faktor lain
yang datang kemudian. Misalnya, jual beli yang hukum asalnya mubah, berubah
menjadi haram ketika azan jum'at sudah berkumandang. Begitu juga dengan puasa
Ramadhan yang semula wajib berubah menjadi haram karena dengan berpuasa itu
akan menimbulkan sakit yang mengancam keselamatan jiwa.

3) Mandub

Mandub adalah segala perbuatan yang dilakukan akan mendapatkan pahala, tetapi bila
tidak dilakukan tidak akan dikenakan siksa, dosa ('iqab). Biasanya, mandub ini disebut
juga sunat atau mustahab dan terbagi kepada:

1.Sunat 'ain yaitu segala perbuatan yang dianjurkan kepada setiap pribadi untuk
dikerjakan
2. Sunat kifayah, yaitu segala perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat cukup oleh
salah seorang saja dari suatu kelompok, misalnya mengucapkan salam, mendo'akan
orang bersin, dan lain-lain.

4) Makruh

Yang dimaksud dengan makruh adalah perbuatan yang bila ditinggalkan, orang yang
meninggalkannya mendapat pahala, tapi orang yang mengerjakannya tidak
mendapat dosa ('iqab). Misalnya: merokok, memakan makanan yang menimbulkan
bau yang tidak sedap, dan lain sebagainya. Pada umumnya, ulama membagi makruh
kepada dua bagian:
1. Makruh tanzih, yaitu segala perbuatan yang meninggalkan lebih baik dari
pada mengerjakan, seperticontoh-contoh tersebut di atas.

4
2. Makruh tahrim, yaitu segala perbuatan yang dilarang, tetapi dalil yang
melarangnya itu zhanny, bukan qath'i. Misalnya bermain catur, memakan kala, dan
memakan daging ular (menurut mazhab Hanafiyah dan Malikiyah).

5) Mubah
Yang dimaksud dengan mubah adalah segala perbuatan yang tidak diberi pahala karena
perbuatannya, dan tidak berdosa karena meninggalkannya. Secara umum, mubah ini
dinamakan juga halal atau jaiz.

B. HUKUM WADH’I
Yang dimaksud dengan hukum wadhi'i adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu
sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau
juga sebagai penghalang (mani') bagi adanya sesuatu yang lain tersebut. Oleh karenanya, ulama
membagi hukum wadh'i ini kepada: sebab, syarat, mani. Namun, sebagian ulama memasukkan
sah dan batal, azimah dan rukhshah Penghasilan negara berkurang karena adanya gangguan
keamanan akibat pergolakan daerah yang menyebabkan ekspor menurun.

a) Sebab
Yang dimaksud dengan sebab adalah segala sesuatu yang dijadikan oleh syar'i
sebagai alasan bagi ada dan tidak adanya hukum. Adanya sesuatu menyebabkan
adanya hukum dan tidak adanya sesuatu itu melazimkan tidak adanya
hukum.Ulama membagi sebab ini kepada dua bagian:

Sebab yang diluar kemampuan mukalaf. Misalnya, keadaan terpaksa


menjadi sebab bolehnya memakan bangkai dan tergelincir atau
tenggelamnya matahari sebagai sebab wajibnya sholat. 2. Sebab yang
berada dalam kesanggupan mukalaf. Sebab ini: (a) Yang termasuk
dalam hukum taklifi, seperti menyaksikan bulan menjadikan sebab
wajib melaksanakan puasa (OS. Al-Baqarah (2) 185) Begitu juga
keadaan sedang dalam perjalanan menjadi sebab boleh tidaknya
tidaknya berpuasa di bulan Ramadhan.
(b) Yang termasuk dalam hukum wadh'i seperti perkawinan menjadi
sebabnya hak warisan antara suami istri dan menjadi sebab haramnya
mengawini mertua, dan lain sebagainya

5
a. Syarat
Yang dimaksud dengan syarat adalah segala sesuatu yang tergantung adanya
hukum dengan adanya sesuatu tersebut, dan tidak adanya sesuatu itu
mengakibatkan tidak ada pula hukum. Namun, dengan adanya sesuatu itu tidak
mesti pula adanya hukum. Misalnya, wajib zakat barang perdagangan apabila
usaha perdagangan itu sudah berjalan satu tahun bila syarat berlakunya satu tahun
itu belum terpenuhi, zakat itu belum wajib. Namun, dengan adanya syarat
berjalan, satu tahun itu saja belumlah tentu wajib zakat, karena masih tergantung
kepada sampai atau tidaknya dagangan tersebut senisab.

b. Mani’
Yang dimaksud dengan mani' adalah segala sesuatu yang dengan adanya dapat
meniadakan hukum atau dapat membatalkan sebab hukum. Dari definisi di atas
dapat diketahui bahwa mani' itu terbagi kepada dua macam

1Mani terhadap hukum. Misalnya perbedaan agama antara pewaris


dengan yang akan diwarisi adalah mani (penghalang) hukum pusaka
mempusakai sekalipun sebab untuk saling mempusakai sudah ada,
yaitu perkawinan. Begitu juga najis yang terdapat di tubuh atau di
pakaian orang yang sedang sholat. Dalam contoh ini tidak terdapat
salah satu syarat sah sholat, yaitu suci dari najis. Oleh sebab itu, tidak
ada hukum sahnya sholat. Hal ini disebut mani' hukum.

2 Mani terhadap sebab hukum. Misalnya, seseorang yang memiliki


harta senisab wajib mengeluarkan zakatnya. Namun, karena ia
mempunyai hutang yang jumlahnya sampai mengurangi nisab zakat ia
tidak wajib membayar zakat, karena harta miliknya tidak cukup senisab
lagi. Memiliki harta senisab itu adalah menjadi sebab wajibnya zakat.
Namun, keadaannya mempunyai banyak hutang tersebut menjadikan
penghalang sebab adanya hukum wajib zakat. Dengan demikian, mani'
dalam contoh ini adalah menghalangi sebab hukum zakat. Hal ini
disebut mani' sebab

A. PERBEDAAN ANTARA HUKUM TAKLIFI & HUKUM WADH’I

1. Dilihat dari sudut pengertiannya, hukum taklifi adalah hukum Allah yang berisi
tuntutan-tuntutan untuk berbuat atau tidak berbuat suatu perbuatan, atau
membolehkan memilih antara berbuat dan tidak berbuat. Sedangkan hukum

6
wadh'i tidak mengandung tuntutan atau memberi pilihan, hanya menerangkan
sebab atau halangan (mani') suatu hukum, sah dan batal.

2. Dilihat dari sudut kemampuan mukalaf untuk memikulnya, hukum taklifi selalu
dalam kesanggupan mukalaf, baik dalam mengerjakan atau
meninggalkanSedangkan hukum wadh'i kadang-kadang dapat dikerjakan
(disanggupi) oleh

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum syara’ secara etimologi dalam bahasa Arab, al-hukm berarti mencegah, memutuskan,
menetapkan dan menyelesaikan.
Sedangkan asy-syara’ yaitu jalan menuju aliran air, jalan yang mesti dilalui, atau aliran air
sungai.
Secara terminologi, menurut Ulama ushul fiqh yang dimaksud dengan hukum adalah Titah
Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik dalam bentuk iqtidla’ (tuntutan),
atau takhyir (pilihan), dan atau wadl’i (ketentuan yang ditetapkan). Hukum syara’ terbagi
dua, yaitu:
a. Hukum Taklifi
b. Hukum Wadh’i
Hukum Taklifi adalah ketetapan Allah tentang perintah, larangan atau takhyir (pilihan).
Hukum Taklifi terbagi lima, yaitu: wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah.
Hukum wadh’I ialah titah Allah yang berhubungan dengan sesuatu yang macam, di
antaranya : sebab, syarat, mani' rukhshah dan ‘azimah, dan sah dan bathal.

DAFTAR PUSTAKA

Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, Jakarta: RajaGrafindo Persada 2004

7
http://pai.ftk.uin-alauddin.ac.id/artikel/detail_artikel/229
https://www.merdeka.com/quran/al-baqarah/ayat-all buku
fikih kelas 12 semester ganjil, Madrasah Aliyah

Anda mungkin juga menyukai