Anda di halaman 1dari 15

Materi 2

Al-Ahkam

TUGAS MAKALAH
Fiqh Ushul Fiqh

Dosen Pengampu : Siti Hajar , S.Th.I., M.Ag

Kelompok 2

Nama : Sandi Kusuma (200921023)


Helmi Dwi Ramdhani (200921008)
Nurlailah (200921070)
Ratu Kiky Nurwanda (200921025)
Siti Nurhaliza (200921024)
Megantara hafiz Wibisono (200921046)
Fikri Muhammad Haidar (2009210

Kelas: Ilmu Al - Qur'an dan Tafsir A

PROGRAM STUDI ILMU AL - QUR'AN DAN TAFSIR


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH CIREBON
2021

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................................................1

Muqaddimah.................................................................................................................................2

BAB 1

Latar Belakang..............................................................................................................................3

BAB 2

Al-Ahkam......................................................................................................................................12

BAB 3

PENUTUP.....................................................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................22

1
Muqaddimah

Segala puji bagi Allah‫ﷻ‬, Dzat Pencipta langit dan bumi, Yang mengatur seluruh
makhluk-Nya, Yang mengutus para rasul sebagai pembawa petunjuk dan menjelaskan syari’at
agama dengan keterangan yang jelas dan bukti-bukti yang nyata. Segala puji bagi Allah
‫ ﷻ‬atas segala karunia-Nya, dan saya memohon tambahan karunia dan kemudahan dari-
Nya.

Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah ‫ﷻ‬, tiada sekutu bagi-Nya,
Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa, Yang Maha Mulia lagi Maha Pengampun Dosa. Dan aku
bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan tercinta-Nya, Ia adalah sebaik-
baik makhluk yang dikaruniakan kepadanya Al-Qur’anul ‘Aziz sebagai mukjizat istimewa,
serta sunnah-sunnah beliau yang menjadi pembimbing bagi orang-orang yang mencari
petunjuk-Nya. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada para Nabi dan Rasul
‫ﷺ‬, keluarga mereka dan para salihin sesudahnya. Amma ba’du.

Kami Kelompok 4 Mata Kuliah Fiqh Ushul Fiqh, dari Kelas 20 IAT A, yang terdiri
dari akhi wa akhwat fillahi, yaitu Sandi Kusuma, Helmi Dwi Ramdani, Nurlailah, Ratu Kikky
Nurwanda, Siti Nurhaliza, Megantara Hafiz, dan Fikri Muhammad Haidar menyusun Makalah
ini berdasarkan pada Niat akan Thalibul Ilmi, Menuntut Ilmu di Jalan Allah. Dengan
bimbingan Dosen Pengampu Mata Kuliah Fiqh Ushul Fiqh, yang kita hormati Ibu Siti Hajar.

Kepada Teman-teman Mahasiswa Kelas 20 IAT A, yang Kami cintai sebagaimana


Saudara Muslim wal Muslimah. Berjuang bersama dalam Rangka Kuliah menuntut Ilmu di
Jami’ah tercinta, Universitas Muhammadiyah Cirebon. Khususnya dalam Mata Kuliah Fiqh
Ushul Fiqh ini, yang disampaikan sebagian Materi dari Kami, Kelompok 4. Tentunya jika ada
kekurangan, dan kesalahan maka itu dari kelalaian diri kami, mohon di benarkan dalam
perkara thalibul ilmi dengan lemah lembut dan jika ada kelebihan, kebenaran, kemuliaan,
keindahan maka itu datangnya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita Hanya bertawakal
kepada Allah ‫ﷻ‬

2
Cirebon, 5 Juli 2021

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Membahas tentang hukum tentu akan kita temukan banyak sekali hukum-hukum yang
didalamnya mengatur secara khusus hal-hal yang berkaitan dengan hukum tersebut.
Seperti adanya KUHP yang mengatur tentang hukum pidana. Dalam keseharian kita
sebagai seorang muslim tentunya terdapat hukum-hukum yang juga mengatur tata cara
kita dalam menjalakan suatu amaliyah.

Dalam agama Islam sendiri terdapat beberapa ilmu yang di dalamnya juga mempunyai
aturan-aturan khusus terkait bidang tersebut. Dalam ilmu tajwid misalnya, hukum-
hukumnya adalah mengenai tata cara membaca al-quran. Tak terkecuali dengan ilmu
ushul fiqih.

Bedasarkan hal tersebut pemakalah bermaksud untuk memaparkan maksud atau arti
hukum (al-hakam) dalam konteks ilmu ushul fiqih. Dengan harapan dapat memberikan
pemahaman kepada para pembaca khusunya kepada pemakalah sendiri untuk
memahami arti khusus al-hakam dalam ushul fiqih.

Dalam pembahasan ini akan dipaparkan tentang pengertian al-hakam, macam-


macamnya dan unsur-unsur yang terkandung di dalamya. Semoga dengan penyajian
makalah ini dapat menambah keilmuan kita dengan harapan agar dapat lebih
mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga mendapatkan ilmu yang
manfaat.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Al - Ahkam Dalam Ushul Fiqih

Al-ahkam (‫ )األحكم‬maknanya dilihat dari segi bahasa merupakan bentuk jamak dari kata
hukmun (‫ )حك ٌم‬yang artinya keputusan / ketetapan. Sedangkan menurut istilah dalam
ushul fiqih yaitu

ٍ ‫ما ْاقتضاهُ ِخطابُ االشرع ال ُمتعلِّق بِأ َ ْفعال ال ُم َكلَّفِين من طل‬


‫ب أوتخيير أووضع‬

"Apa-apa yang ditetapkan oleh seruan syari'at yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf (orang yang dibebani syari'at) dari tuntutan atau pilihan atau peletakan" 1

Dalam hal ini yang dimaksud dengan ‫( ِخطاب االشرع‬seruan syariat) adalah Al Quran dan
As Sunnah.

Dari pengertian diatas terdapat tiga poin yang menjadi bentuk dari Al-Ahkam

1. ٍ َ‫طَل‬.
Tuntunan ‫ب‬

Tuntunan dalam hal ini dapat berupa tuntunan melakukan sesuatu (perintah) atau pun
tuntunan untuk meninggalkan sesuatu (larangan) baik itu berupa keharusan (wajib)
ataupun hanya keutamaan

2. Pilihan ‫ تخيِيْر‬.

4
Sesuatu hal yang dalam melakukan ataupun meninggalkannya tidak ada suatu ketentuan
syara’ yang mengatur maka akan menjadi suatu kebebasan untuk memilih melakukan
ataupun tidak atau sering disebut mubah

3. Peletakan ‫وضع‬

Wadh’i adalah suatu hal yang diletakkan oleh pembuat syari'at dari tanda-tanda, atau
sifat-sifat untuk ditunaikan atau dibatalkan. Seperti suatu ibadah dapat dikatakan “sah”
atau “batal”

Menambahkan sedikit dari pemaparan di atas, al-ahkam dalam bahasan ilmu


ushul fiqih adalah hukum-hukum yang hanya terkait dengan amalan manusia yang
bersifat dhohir. Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum adalah bekasan dari titah
Allah Subhanahu wa Ta’ala atau sabda Baginda Rasulullah ‫ﷺ‬. Apabila
disebut syara’ maka yang dikehendaki adalah hukum yang berkaitan dengan perbuatan
manusia, yaitu yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang berkaitan dengan
akidah dan akhlak. Jadi, tidak termasuk bahasan al-ahkam dalam ushul fiqih hukum-
hukum yang bersifat bathiniyah seperti hukum aqidah dan akhlaq.

B. Pembagian Al-Ahkam

Dalam ushul fiqih hukum hukum-hukum syariat di bagi menjadi dua macam.

1. Al-Ahkam at-Taklifiyyah (hukum taklifiyah)

2. Al-Ahkam al-Wadh'iyyah (hukum wadh’iyah)

I. Al-Ahkam at-Taklifiyyah

Al-Ahkam at-Taklifiyyah dibagi menjadi lima yaitu Wajib, Mandub (Sunnah), Harom,
Makruh, dan Mubah.

1. Wajib. Makna wajib dilihat dari segi bahasa adalah "yang jatuh dan harus" dan
makna wajib menurut istilah dalam ushul fiqih adalah,
‫اإل لزام‬ ُ ‫ما أمربِ ِه الشار‬
ِ ‫ع على وج ِه‬

"Apa-apa yang diperintahkan oleh pembuat syari'at dengan bentuk keharusan" 3.

5
Hukum wajib dibagi menjadi beberapa macam dilihat dari berbagai aspek yaitu:

1) Dilihat dari segi waktu pelaksanaannya, wajib ada 2 macam, yaitu

a) Wajib muwaqqat, yaitu kewajiban yang ditentukan batas waktu untuk


melaksanakannya, seperti shalat fardhu yang lima waktu, kapan mulai dan berakhirnya
waktu sudah ditentukan.

b) Wajib muwassa’, yaitu waktu untuk melaksanakan kewajiban memmpunyai waktu


yang luas. Seperti waktu untuk melaksanakan shalat dzuhur kurang lebih 3 jam, tetapi
waktu yang diperlukan untuk melakukan sholat tersebut cukup 5-10 menit saja.

c) Wajib mudhoyaq, yaitu waktu yang disediakan untuk melaksanakan untuk


melaksanakan kewajiban sangat terbatas. Seperti puasa Ramadhan lamanya 1 bulan.

d) Wajib mutlak, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas waktu untuk
melaksanakannya. Seperti kewajiban membayar kifarat bagi orang yang melanggar
sumpah.

2) Dilihat dari segi orang yang dituntut mengerjakan, wajib dibagi sebagai berikut.

a) Wajib ‘Ain, artinya kewajiban yang harus dikerjakan tiap-tiap mukallaf. Seperti :
shalat, puasa, zakat, dan lain-lain.

b) Wajib kifayah, artinya kewajiban yang boleh dilakukan oleh sebagian mukallaf
(boleh diwakili oleh kelompok tertentu).

Contoh : mengurus jenazah, menjawab salam, dan lain-lain.

3) Dilihat dari segi kadar (ukuran kuantitasnya) wajib dibagi menjadi berikut ini.

a) Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang sudah ditentukan kadarnya.

Contoh : jumlah rakaat dalam shalat, jumlah besarnya zakat.

b) Wajib ghoiru muhaddad, yaitu kewajiban yang belum ditentukan kadarnya.

Contoh : infaq, tolong menolong, dan shodaqoh.

6
4) Dilihat dari segi tertentu atau tidaknya yang diwajibkan, wajib dibagi menjadi
berikut ini.

a) Wajib mu’ayyan, yaitu kewajiban yang telah ditentukan jenis perbuatannya.

Contoh : shalat, puasa, zakat fitrah.

b) Wajib mukhoyyar, yaitu wajib tetapi boleh memilih di antara beberapa pilihan.

Contoh : Kifarat bagi orang yang berkumpul suami istri di siang hari Ramadhan boleh
memilih memerdekakan budak, bila tidak mampu maka berpuasa 2 bulan berturut-turut,
bila tidak mampu berpuasa maka memberi makan 60 fakir miskin

2. Mandub. Makna mandub dilihat dari segi bahasa adalah "yang diseru" dan makna
mandub menurut istilah dalam ushul fiqih adalah,

‫ماأمربِ ِه الشرع ال على وجه اإللزام‬

"Apa-apa yang diperintahkan oleh pembuat syari'at tidak dalam bentuk keharusan”4

Mandub secara mayoritas kita kenal dengan istilah sunnah, selain sunnah terdapat
beberapa istilah lain dalam ushul fiqih yaitu nafilah, tathawwu’, mustahab, dan ihsan.

Mandub (sunnah) di bagi menjadi dua yaitu,

1. Sunah muakkad, artinya perintah melakukan perbuatan yang sangat dianjurkan


(sangat penting)

2. Sunah ghoiru muakkad, artinya sunah yang tidak begitu penting (kurang dianjurkan).

3. Haram. Makna haram dilihat dari segi bahasa adalah "yang dilarang" dan makna
haram menurut istilah dalam ushul fiqih adalah,

‫ما نهى عنهُ الشا رع على وجه اإللزام بِالتَّرك‬

"sesuatu yang dilarang oleh pembuat syari'at dalam bentuk keharusan untuk
ditinggalkan".

4. Makruh. Makna makruh dilihat dari segi bahasa adalah "yang dimurkai" dan
makna makruh menurut istilah dalam ushul fiqih adalah,

7
‫ما نهى عنهُ الشارع ال على وجه اإللزام بِالتَّرك‬

"sesuatu yang dilarang oleh pembuat syari'at tidak dalam bentuk keharusan untuk
ditinggalkan".

5. Mubah. Makna mubah dilihat dari segi bahasa adalah "yang diumumkan dan
dizinkan denganya" dan makna mubah menurut istilah dalam ushul fiqih adalah,

‫ وال نه ٌي لِذات ِه‬,ٌ‫ما ال يتعلَّق به أمر‬

"sesuatu yang tidak berhubungan dengan perintah dan larangan secara asalnya"5.

II. Al-Ahkam al-Wadh’iyyah

1) Sebab. Yaitu sesuatu yang jelas adanya mengakibatkan adanya hukum, sebaliknya
tidak adanya mengakibatkan tidak adanya hukum. Contohnya, perbuatan zina
mengakibatkan adanya hukum dera.

2) Syarat. yaitu sesuatu yang harus ada sebelum ada hukum, karena adanya hukum
bergantung kepadanya

3) Azimah, yaitu hukum syara’ yang pokok dan berlaku untuk umum bagi seluruh
mukallaf, dalam semua keadaan dan waktu. Misalnya, puasa wajib pada bulan
Ramadhan, sholat fardhu lima waktu sehari semalam dan lain sebagainya.

4) Rukhsoh, yaitu peraturan tambahan yang ditetapkan Allah SWT sebagai


keringanan karena ada hal-hal yang memberatkan mukallaf sebagai pengecualian dari
hukum-hukum yang pokok.

Pembagian Rukhsah Rukhsah terbagi menjadi 4 macam.

a) Dibolehkannya melakukan sesuatu yang seharusnya diharamkan. Hal ini


dilakukan karena dalam keadaan darurat. Contoh : “memakan bangkai, darah, daging
babi, dan binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah, dalam Keadaan
terpaksa memakannya sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui
batas.

8
b) Diperbolehkan meninggalkan hal-hal yang diwajibkan, apabila ada udzur yang
bersifat dibolehkan secara syar’i.

c) Menganggap sah sebagian aqad-aqad yang tidak memenuhi syarat tetapi sudah
biasa berlaku di masyarakat. Contohnya jual beli salam (jual beli yang barangnya tidak
ada pada waktu terjadi aqad jual beli / sistem pesanan).

d) Tidak berlakunya (pembatalan) hukum-hukum yang berlaku bagi umat terdahulu


sebelum Nabi Muhammad SAW. Contoh : memotong bagian kain yang terkena najis,
mengeluarkan zakat ¼ dari jumlah harta, tidak boleh melakukan sholat selain di masjid.

5) Mani’ (Penghalang) Yaitu sesuatu yang karenanya menyebabkan tidak adanya


hukum. Meskipun sebab telah ada, dan syarat telah terpenuhi, akan tetapi apabila
terdapat mani’ maka hukum yang semestinya bisa diberlakukan menjadi tidak bisa
diberlakukan.

Contohnya, apabila seseorang mempunyai keluarga / kerabat sebagai ahli waris. Akan
tetapi, apabila keduanya berlainan agama, maka keduanya tidak berhak saling mewarisi.
Hal ini karena berlainan agama menjadi mani’ atau penghalang bagi seseorang untuk
mendapatkan harta peninggalan.

6) Sah

‫ما ترتّبت اثا ُر فعْل ِه عليه عبادةً عقدًا‬

"apa-apa yang pengaruh perbuatannya berakibat padanya, baik itu ibadah ataupun
akad."

7) Fasid

‫ماال ترتّبت اثا ُر فعْل ِه عليه عبادةً عقدًا‬

"apa-apa yang pengaruh perbuatannya tidak berakibat kepadanya, baik itu ibadah atau
akad."

C. Unsur-Unsur Hukum Islam

1. Mahkum Bihi / Mahkum Fihi (‫)ِ َمحْ ُكوم بِ ِه \ َمحْ ُكوم فِيْه‬

9
a. Pengertian Mahkum Bihi / Mahkum fihi

َ َّ‫ف الَّ ِذى تَ َعل‬


ِ‫ق بِ ِه حُ ْك ُم هللا‬ ِ َّ‫ هُ َو الفِ ْع ُل الُم َكل‬: ‫ال َمحْ ُكو ُم فِ ْي ِه‬

“Mahkum fiihi adalah perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan hukum
Allah (hukum syara’).”5 Para ahli Ushul Fiqih menyebutnya dengan Ahkamul Khomsah
(hukum yang lima) yaitu:

1. Yang berhubungan dengan ijab dinamai wajib.

2. Yang berhubungan dengan nadb dinamai mandub/ sunat

3. Yang berhubungan dengan tahrim dinamai haram

4. Yang berhubungan dengan karahah dinamai makruh

5. Yang berhubungan dengan ibahah dinamai mubah.

b. Syarat-syarat Mahkum bihi

Syarat-syarat mahkum bihi / fihi adalah sebagai berikut.

a) Hendaknya perbuatan itu diketahui dengan jelas oleh orang mukallaf sehingga ia
dapat melaksanakannya sesuai dengan tuntutan syara’.

b) Hendaknya perbuatan itu dapat diketahui oleh orang mukallaf bahwa benar-benar
berasal dari Allah SWT sehingga dalam mengerjakannya ada kehendak dan rasa taat
kepada Allah SWT.

c) Taklif / perbuatan itu merupakan sesuatu yang mungkin terjadi atau dapat dilakukan
oleh mukallaf sesuai kadar kemampuannya. Karena tidak ada taklif terhadap sesuatu
yang mustahil atau tidak mungkin terlaksana. Misalnya, tidak mungkin manusia
diperintahkan untuk terbang seperti burung.

d) Taklif / perbuatan itu dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan lainnya, supaya


dapat ditunjukkan atau ditentukan niatnya secara tepat.

2. Mahkum ‘Alaih

10
a. Pengertian Mafkum ‘Alaih (‫) َمحْ ُكوْ م َعلَ ْي ِه‬

Mahkum alaihi adalah orang mukallaf yang mendapatkan khitab/ perintah Allah SWT
dan perbuatan itu berhubungan dengan hukum syara’. Contohnya, Allah SWT
memerintahkan shalat, puasa, larangan zakat berbakti kepada orangtua, menjauhi zina,
larangan minum-minuman keras. Perintah-perintah tersebut ditujukan kepada orang
mukallaf, dan bukan ditujukan kepada anak-anak atau orang yang terganggu pikirannya
atau gila. Perintah dan larangan Allah SWT selalu disesuaikan dengan kemampuan
manusia. Semua hukum baik yang menyangkut hak-hak Allah SWT maupun hak-hak
manusia tidak dibebankan kecuali kepada orang-orang yang memiliki kemampuan
untuk melaksanakannya.

b. Syarat-syarat mahkum ‘alaih (mukallaf).

Syarat-syarat mahkum ‘alaih (mukallaf) adalah :

1) Mukallaf adalah orang yang mampu memahami dalil taklif baik itu berupa nash
Al-Qur’an atau As-Sunnah baik secara langsung maupun melalui perantara. Orang yang
tidak mengerti hukum taklif maka ia tidak dapat melaksanakan dengan benar apa yang
diperintahkan kepadanya. Dan alat untuk memahami dalil itu hanyalah dengan akal.
Maka orang yang tidak berakal (gila) tidaklah dikatakan mukallaf.

2) Mukallaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya.
Yang dimaksud dengan ahli di sini ialah layak, mampu, atau wajar dan pantas untuk
menerima perintah tersebut.

3) Mukalaf adalah orang yang melaksanakan taklif/tuntutan khitab Allah SWT dengan
sempurna sesuai dengan kemampuannya. Yaitu orang tersebut selain sudah baligh juga
dalam keadaan sehat akalnya.

Keadaan manusia dihubungkan dengan kelayakan untuk menerima atau menjalankan


hak dan kewajiban dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :

A. Tidak sempurna, ia dapat menerima hak tapi tidak layak menerima kewajiban.
Contohnya adalah janin yang masih dalam perut ibu. Janin tersebut berhak menerima

11
harta pusaka dan bisa menerima wasiat, tapi ia tidak bisa menunaikan kewajiban. Ada
kalanya mukallaf tidak sanggup mengerjakan hukum-hukum yang sudah dibebankan
kepadanya. Keadaan yang menghalanginya menunaikan hak dan kewajiban yang sudah
ditetapkannya ini disebut ‘awarid al-ahliyah (penghalang keahlian). Para ulama ushul
fiqih menggolongkan ‘awarid al-ahliyah (penghalang keahlian). ini menjadi dua
kelompok.

Penghalang samawi, yaitu penghalang yang tidak bisa dihindari oleh mahkum alaih. Ia
hadir dengan sendirinya tanpa dikehendaki. Misalnya, gila, kurang akal (idiot), lupa,
tertidur, dan pingsan. Orang-orang yang terkena penghalang samawi seperti ini
dihukumi sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk melakukan
hak dan kewajiban.

Penghalang kasby, yaitu penghalang yang terjadi lantaran perbuatan manusia itu sendiri
seperti mabuk, bodoh, banyak hutang, boros, dan sebagainya. Penghalang kasby dapat
dihindari dengan usaha manusia itu sendiri.

B. Belum sempurna, ia dapat melaksanakan perintah Allah SWT tetapi belum


mempunyai kewajiban, yaitu bagi anak-anak mumayyiz (anak yang sudah dapat
membedakan baik dan buruk perbuatan) tetapi belum baligh.

C. Sempurna apabila sudah menerima hak dan layak baginya melakukan kewajiban,
yaitu bagi orang yang sudah dewasa dan berakal sehat (mukallaf).

3. Hakim.

Al-Hakim ialah pihak yang menjatuhkan hukum atau ketetapan. Tidak ada perselisihan
di antara para ulama bahwa hakikat hukum syar'i itu ialah khithab Allah yang
berhubungan dengan amal perbuatan mukallaf yang berisi tuntutan, pilihan atau
menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau mani' bagi sesuatu. Demikian juga tidak
ada perselisihan di antara mereka bahwa satu-satunya Hakim adalah Allah6

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum adalah bekasan dari titah Allah atau
sabda Baginda Rasulullah ‫ﷺ‬. Apabila disebut syara’ maka yang
dikehendaki adalah hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia, yaitu yang
dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang berkaitan dengan akidah dan akhlak.
Jadi, tidak termasuk bahasan al-hakam dalam ushul fiqih hukum-hukum yang bersifat
bathiniyah seperti hukum aqidah dan akhlaq.

Dalam ushul fiqih hukum hukum-hukum syariat di bagi menjadi dua macam.

Al-Ahkam at-Taklifiyyah (hukum taklifiyah)

Al-Ahkam al-Wadh'iyyah (hukum wadh’iyah)

13
Unsur-Unsur Hukum Islam yaitu Mahkum Bihi / Mahkum Fihi, Mahkum ‘Alaih dan
Hakim

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh (Beirut : Dar al-Fikr, 1958) Cet. 1.
Abu Zahrah, Muhammad, Tarikh al-Mazahib al-Fiqhiyah ( Kairo, 1427)
Ushul Fiqih, Jakarta : Penerbit Pustaka Firdaus, Cet.ke-1, 2009.
Hasan ,bin Jami', Syaikh Abdul Hakim, Tafsir Al-Ahkam, Jakarta:2007
Ad-Dawâlibi, Muhammad Ma'rûf, Al-Madkhal ila Ilm Ushûl al-Fiqh, (Beirut: Dâr al
Kutub al-' Arabî, 1959). Ad-Dimasyqi,
Abdissalam, Izzuddin bin, Qawa'id al-Ahkam Fi masalih al-Anam, (Kairo: 1441)
Fiqh as-Sîrah an -Nabawiyyah, (Damaskus: Dâr al-Fikr,. 2003).
al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam ( Beirut : Dar al-Fikr, 1341 H) Juz.III. Asy-Syafii,
Muhammad bin Idris, al-Risalah (Beirut : Dar al -Fikr, 1431)

14

Anda mungkin juga menyukai