Anda di halaman 1dari 21

HUKUM DAN AL HAKIM

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh

Dosen Pengampu : Sofyan M. HI

Disusun Oleh : Kelompok 1


Aisyah Amanda Putri (23041070206)
Selvi Imelda (23041070207)
Tiara Gusti Ayu (23041070210)

Kelas : PAI 2302F

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI RADEN RAFAH PALEMBANG
2024
KATA PENGATAR

Puji syukur atas kehadiran Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Hukum dan Al-Hakim ini dengan tepat waktu. Adapun tujuan dari penulisan
makalah ini untuk memenuhi tugas Bapak Sofyan M. HI. Pada mata kuliah ushul
fiqh. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
Hukum dan Al-Hakim bagi para pembaca dan juga penulis.
Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Sofyan M. HI. Selaku dosen
mata kuliah ushul fiqh yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah wawasan dan pengetahuan. Kami juga mengucapkan terimakasih
kepada semua pihak yang telah membagi pengetahuannya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari makalah yang kami buat masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karna itu, kritik dan saran yang membangun dibutuhkan untuk
kesempurnaan makalah ini.

Palembang,16 februari 2024

Penyusun

i
DAFTAR ISI

C0VER
KATA PENGATAR ............................................................................................... i

BAB I ...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

A.Latar Belakang ................................................................................................. 1

B.Rumusan Masalah ............................................................................................ 1

C. Tujuan Masalah .............................................................................................. 2

BAB II .................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN .................................................................................................... 3

A.Pengertian Hukum ........................................................................................... 3

B.Macam-macam Hukum ................................................................................... 3

C.Syarat-Syarat Hukum ....................................................................................... 5

D.Pengertian Al-Hakim ....................................................................................... 5

E.Syarat-Syarat Al-Hakim................................................................................... 7

F.Pandangan Ulama Terhadap Al Hakim ............................................................ 8

G.Sumber Hukum Selain Nas dan Al-Hakim.................................................... 11

BAB III ................................................................................................................. 16

PENUTUP ............................................................................................................ 16

A.Kesimpulan .................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Allah SWT telah menciptakan dalam diri manusia potensi kehidupan


yang berupa kebutuhan naluri yang terdiri dari naluri beragama, naluri yang
mempertahankan diri serta naluri melangsungkan kehidupan. Disamping itu
Allah SWT juga telah menciptakan potensi kehidupan lainnya yang berupa
kehidupan jasmani dan rohani.
Dengan adanya potensi kehidupanberupa kebutuhan jasmani dan
rohani inilah manusia menjalani kehidupannya sehari hari atau dengan kata
lain apapun yang dilakukan manusia selama hidup didunia adalah dalam
rangka memenuhi kebutuhan mereka.
Agar seluruh pemenuhan kebutuhan tersebut berjalan dengan baik dan
menghasilkan ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan, maka manusia
harus terlebih dahulu mengetahui baik atau buruk , serta apakah
mendatangkan manfaat atau memberikan mudharat baik didunia maupun
diakhirat. Untuk itu manusia harus terlebih dahulu mengetahui siapa yang
berhak mengeluarkan status Hukum dan pembuat Hukum yang dilihat dari
sisi baik atau buruk terhadap perbuatan manusia.Dan manusia juga harus
mengetahui siapa pihak yang berhak menjatuhkan Hukum ataupun ketetapan.
Dalam hal ini manusia harus mengetahui apa itu Hukum dan Al
Hakim, oleh karena itu disini kita akan membahasnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Hukum?
2. Apa saja Macam- macam Hukum?
3. Apa saja Syarat-syarat Hukum?
4. Apa Pengertian Al Hakim?
5. Apa saja Syarat-syarat Al Hakim?

1
6. Apa Pandangan Ulama terhadap Hukum dan Al Hakim ?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui Pengertian Hukum.


2. Untuk mengetahui Macam- macam Hukum.
3. Untuk mengetahui Syarat-syarat Hukum.
4. Untuk mengetahui Pengertian Al Hakim.
5. Untuk mengetahui Syarat-syarat Al Hakim.
6. Untuk mengetahui Pandangan Ulama terhadap Hukum dan Al Hakim.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum

Hukum secara etimologi, bermakna Al-Man'u yakni mencegah.


Hukum juga memiliki pengertian qodho yang memiliki arti putusan. Dapat
pula Hukum diartikan dengan "Menetapkan sesuatu atas sesuatu atau
meniadakan sesuatu dari padanya."
Menurut istilah ahli fikih, yang disebut Hukum adalah bekasan dari
titah Allah atau sabda Rasulullah. Apabila disebut syara', maka yang
dikehendaki adalah Hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia,
yaitu yang dibicarakan dalam ilmu fikih, bukan Hukum yang berkaitan
dengan akidah dan akhlaq.

B. Macam-macam Hukum

Mayoritas ulama' membagi Hukum kepada dua jenis, yaitu Hukum


taklifi dan Hukum wad'i.
1. Hukum Takhlifi
Hukum taklifi adalah tuntunan Allah yang berkaitan dengan
perintah untuk berbuat atau perintah untuk meninggalkan suatu
perbuatan. atau Hukum taklifi adalah sesuatu yang menuntut suatu
pekerjaan dari mukallaf atau menuntut untuk berbuat atau memberikan
pilihan kepadanya antara melakukan dan meninggalkannya. Hukum
taklifi dapat diartikan pula sebagai titah Allah yang berhubungan
dengan mukallaf dalam bentuk tuntutan dan pemberian pilihan untuk
berbuat atau tidak berbuat. Hukum taklifi yaitu Hukum yang berkaitan
dengan perbuatan orang mukallaf baik bersifat tuntutan (wajib, haram,
sunnah, makruh, dan khilaful aula) atau bersifat pilihan (mubah).
2. Hukum Wad'i

3
Hukum Wad'i adalah ketentuan Allah yang mengandung
pengertian bahwa terjadinya sesuatu itu sebab, syarat, atau
penghalang sesuatu.
Sebagai Contoh karena Sebab sesuatu, menjalankan sholat
menjadi sebab kewajiban wudhu-Syarat sesuatu, kesanggupan
mengadakan perjalanan haji menjadi syarat wajibnya menunaikan
haji.
Kesimpulannya, Hukum Islam adalah hukum yang ditetapkan
oleh Allah melalui wahyu-Nya yaitu Al-Quran dan diperjelas oleh
Nabi Muhammad melalui sunah-Nya yang kini terhimpun dengan
baik dalam hadist. Tujuan Hukum Islam secara umum adalah untuk
mencegah kerusakan pada manusia dan mendatangkan maslahah bagi
mereka, mengarahkan kepada kebenaran untuk mencapai kebahagiaan
hidup dunia dan akhirat, dengan perantara segala yang bermanfaat
serta menolak yang medarat atau tidak berguna bagi kehidupan
manusia.
Abu Ishaq al-Shatibi Mengemukakan, tujuan Hukum Islam
adalah sebagai berikut:
a. Memelihara aspek agama (hifzul din) Artinya menjaga agama
dengan pemahaman dan perilaku yang toleran (tasamuh), karena
hidup di negara majemuk.
b. Memelihara aspek jiwa manusia dan humanisme (hifzul al nafis)
Artinya menjaga jiwa manusia tentang hak-hak asasi dan
penyebarannya dalam Hukum pidana, tata negara, politik, serta hak
warga masyarakat untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan,
hidup layak, keamanan, dan kedamaian
c. Memelihara aspek akal (hifzal aql) Artinya menjaga akal sebagai
anugerah Allah yang harus dijaga dan dikembangkan serta
dilindungi, karena dengan akal manusia dapat meraih kemajuan.
d. Memelihara aspek harta (hifzal irz) Artinya menjaga harta dan
memacu untuk maju supaya memiliki mental kuat dengan mau

4
bekerjakeras, supaya tidak miskin karena kemiskinan merupakan
kesengsaraan dalam hidup.
e. Memelihara aspek keluarga (hifzal nasl) Artinya menjaga
keturunan yang baik, agar tidak menjadi keluarga lemah dalam
segala hal, baik ekonomi, iman, pendidikan, dan fisik.

C. Syarat-Syarat Hukum

Syarat-syarat Hukum yang bisa diterima oleh Hukum Islam yaitu:


1. Tidak ada dalil yang khusus untuk kasus tersebut baik dalam Al-
Qur'an dan Sunnah.
2. Pemakaiannya tidak mengakibatkan dikesampingkannya nash syari'ah
termasuk juga tidak mengakibatkan kemafsadatan, kesempitan, dan
kesulitan
3. Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya yang biasa
dilakukan oleh beberapa orang saja.

D. Pengertian Al-Hakim

Pengertia Al-Hakim (pembuat hukum) menurut Bahasa (etimologi)


dalam ushul fiqh terhadap dua pengertian,yang pertama yaitu,pembuatan
hukum,yang menetapkan,memunculkan sumber hukum .yang kedua, yang
menyingkapkan hukum.
Pembuat hukum (syar’I ) dalam pengertian islam adalah Allah SWT.
Dia menciptakan manusia di atas bumi ini dan dia pula yang menetapkan
aturan aturan bagi kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan
kepentingan hidup didunia maupun untuk kepentingan hidup
diakhirat;baik aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah,
maupun hubungan manusia dengan sesamanya dan alam sekitarnya.
Kalau dilihat dari pembuat hukum islam, tujuan hukum islam itu
adalah: pertama, untuk memenuhi keperluan hidup manusia yang bersifat
primer,sekunder dan tertier, yang dalam kepustakaan hukumislam masing-
masing disebut dengan istilah daruriyat,hajiyat dan tahsiniyat. Kebutuhan

5
primer (daruriyat) adalah kebutuhan utamayang harus dilindungi dan
dipelihara sebaik-baiknya oleh hukum islam agar kemaslahatan hidup
manusia benar-benar terwujud. Kebutuhan sekunder (hajiyat) adalah
kebutuhan yang diperlukan untuk mencapai kebutuhan primer, seperti
misalnya kemerdekaan,persamaan dansebagainya, yang bersifat
menunjang eksitensi kebutuhan primer. Kebutuhan tertier (tahsiniyat)
adalah kebutuhan hidup manusia selain dari yang bersifat primer dan
sekundr itu yang perlu diadakan dan dipelihara untuk kebaikan hidup
manusia dalam masyarakat misalnya sandang, pangan, perumahan dan
lain-lain. Kedua, tujuan hukum islam adalah untuk ditaati dan
dilaksanakan oleh manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Ketiga,
supaya dapat di taati dan dilaksanakan dengan baik dan benar, manusia
wajib meningalkan kemampuannya untuk memahami hukum dengan
mempelajari ushul fiqh yakni dasar pembentukan dan pemahaman hukum
islam sebagai metodologinya.
Sebagai besar ulama berpendapat bahwa yang menjadi sumber
hukum syar’I bagi seluruh perbuatan mukalaf ialah Allah SWT, baik yang
berupa pernyataan hukum bagi perbuatan mukalaf yang langsung dari nash
yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada rasul-nya, maupun yang
merupakan petunjuk kepada mujtahid bagi hukum dari perbuatan mukalaf
dengan perantara dalil atau perintah yang disyar’iatkan untuk
mengumpulkan hukum-hukumnya.
Berdasarkan dari pengertian-pengertian tersebut diatas, maka timbul
pertanyaan, siapakah Al-Hakim sebelum dan setelah nabi Muhammad
SAW diangkat menjadi rasul.
1. Al-Hakim sebelum Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul
Terdapat dua kelompok yang berbeda pendapat yang
mempermasalahkan adanya taklif sebelum datangnya rasul. Pertama,
kelompok ahlusunnah waljama’ah yang menyatakan tidak ada taklif
sebelum datangnya rasul, karena jika hanya semata-mata dengan akal,
manusia tidak mungkin daoat mengenal hukum Allah. Kedua ,
kelompok mu’tazilah berpendapat adanya taklif sebelum datangnya

6
rasul, karena akal manusia dapat menilai baik dan buruknya suatu
perbuiatan manusia atas penilain itu, maka akal mendorong manusia
untuk melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk. Hal ini
berarti bahwa akal manusia dapat menyuruh manusia untuk berbuat
atau tidak berbuat. Inilah dimaksud taklif itu. Sehingga dikalangan
ukuma ushul fiqh dalam persoalan yang cuku rumit itu dikenal dengan
istilah At-tahsin wa al-taqbih, yakni pernyataan bahwa sesuatu itu baik
atau buruk. (Amir Syaripuddin,2008:414).
2. Al-Hakim setekah diangkatnya Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul
dan menyebarnya Da’wah islam Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa
al-hakim adlah syri’at yang turun dari Allah SWT, yang dibawah oleh
rasulullah SAW, sebagaimana firmannya dalam Q.S Al-Am’am: 57.
“ katakanlah: “ sesungguhnhya aku berada diatas hujjah yang nyata
(Al Quran) dari tuhanku, sedangkan kamu mendustakannya,tidak ada
padaku (azab)yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya.
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang
sebenarnya dan dia pemberi keputusan yang palin baik.
Apapun yang telah dihalalkan oleh Allah SWT maka hukumnya
adalah halal, yang didalamnya terdapat kemaslahatan bagi manusia.
Begitu juga dengan apa yang diharamkan-nya maka hukumnya pun
menjadi haram. Karena didalamnya terdapat kemadharatan atau
kerusakan bagi manusia

E. Syarat-Syarat Al-Hakim

Goldstein, menerangkan setidaknya ada 3 konsep kedudukan Hakim


dalam penegakan hukum ( law enforcement) dengan syarat-syarat:
1. Dalam kerangka total enforcement concept, dimana hakim diharapkan
menegakkan hukum secara menyeluruh baik norma maupun nilai yang
terkandung didalamnya, hal ini sulit dilakukan karena dalam
menjalankan hukum itu sendiri terdapat kerangka due process of law
sehingga terdapat pembatasan lain seperti penerapan Hukum Acara.

7
2. Full enfocement concept yaitu terhadap sisi-sisi yang masih grey area
hakim memberikan diskresinya atas berbagai keterbatasan subtansi
hukum, stuktur hukum maupun budaya hukum.
3. Actual enforcement concept.
Oleh karna itulah kekuasaan kehakiman itu tidak hanya
mengandung pengertian otoritas hukum tetapi juga kewajiban hukum
yang merupakan kekuasaan yang melekat pada hakim dan pengadilan
untuk melaksanakan fungsi pemerintahan berupa mengadili dan
memutus (adjudication).
Dari ulama ushul fiqh mendefinisikan hukum sebagai titah Allah
SWT yang berkaitan dengan perbuatan orang mukalaf, baik berupa
tuntutan, pemilihan maupun wadhi. Dalam hal ini tidak ada perbedaan,
yang mengatakan bahwa hskim sdslsh Allah SWT. Yang dibedakan
oleh para ulama dalam hal ini mayoritas ulama ahkusunnah
waljama’ah dan mahzab al- Asy Ariah mengatakan bahwa satu-
satunya yang dapat mengenalkan hukum Allah kepada manusia adalah
rasul atau utusan Allah melalui wahyu yang diturunkan Allah SWT
kepadanya.

F. Pandangan Ulama Terhadap Al Hakim

Terjadi banyak perbedaan pendapat mengenai Al-Hakim yang


menjadi pokok permasalahan atau yang menjadi persoalan adalah siapa
yang menjadi hakim trhadap perbuatan mukallah sebelum rasul diutus.
Adapun beberapa pandangan itu diantaranya datang dari golongan
mu’tazilah berpendapat bahwa sebelum rasul diutus, akal manusia itulah
yang menjadi hakim, karena akal manusia dapat mengetahui baik atau
buruknya sesuatu perbuatan karena hakikatnya atau karena sifatnya.
Sedangkan pendapat dari golongan Al-Asy’riyah berpendapat bahwa
sebelum datangnya syara’ maka tidak diberi sesuatu hukumperuatan-
perbuatan mukallaf. Titik persoalan antara golonga mu’tazilah dan Al-
Asy’riyah adalah tentang apakah perbuatan itu menjadi tempat adanya
pahala dan siksa. Tergantung pada perbuatan, walaupun syara’ belum

8
menerangkannya. Sedangkan golongan jumhur ulama berpendapat bahwa
tidak disiksa atau tidak diberi pahala manusia sebelum datangnya syara’
kendati akal bias mengetahui baik buruknya suatu perbuatan.
Mengenai masalah akal yang mampu mengetahui hal yang baik dan
juga buruknya suatu perbuatan, ada perbedaan pandangan lagi dari
ulama,yaitu:
1. Kelompok Asy’ariyah (Ahlulsunnah)
Berpendapat bahwa suatu perbuatan dari segala perbuatan itu
sendiri tidak dapat dinilai baik atau buruk, oleh karena akal manusia
tidak dapat mengetahui baik dan buruk suatu perbuatan. baik dan
buruknya suatu perbuatan terletak pada disuruh atau dilarangnya
perbuatan-perbuatan itu oleh Allah melalui wahyunya. Setiap
perbuatan yang disuruh Allah melakukan menunjukkan bahwa
perbuatan itu adalah baik, dan setiap yang dilarang oeh Allah untuk
melakukannya menunjukkan bahwa perbuatan itu adalah buruk.
Dengan demikian baik buruknya suatu perbuatan hanya ditentukan
Allah dengan wahyunya, dan akal manusia tidak dapat mengenalnya.
Bila akal manusia tidak dapat mengenal baik atau buruknya
suatu perbuatan, maka dengan sendirinya akal manusia juga tidak
dapat mendorong manusia untuk berbuat atau tidak berbuat. Wahyu
Allah-lah yang dapat menetapkan baik atau buruknya suatu perbuatan
dan hanya wahyu pula yang dapat menyuruh atau melarang manusia,
dan hanya ditetapkan oleh Allah melalui rasulnya.
2. Kelompok Mu’tazilah
Berpendapat bahwa suatu perbuatan dari materi perbuatan itu
sendiri mengandung nilai baik atau buruk . akal manusia dapat
mengetahui nilai baik atau buruk. Suatu perbuiatan akan dinilai baik
oleh akal bila perbuatan itu disenangi oleh manusia, baik langsung
dirasakannya pada waktu itu atau dikemudian hari.
Bila akal dapat mengetahui baik atau buruknya suatu perbuatan, maka
sebagai kelanjutannya akal memahami pula suatu perbuatan yang baik
harus laksanakan, dan suatu oerbuatan yang buruk harus ditinggalkan.

9
Alasannya ialah bahwa akal manusia dapat memahami berdasarkan
keyakinan akan keadilan Allah, bahwa Allah tidak mungkin
membiarkan sesuatu yang buruk dilakukan oleh manusia dan tidak
mungkin mencegah manusia melakukan sesuatu perbuatan yang baik.
Dengan demikian, keharusan berbuat atau tidak berbuat sudah ada
meskipun wahyu belum diturunkan oleh Allah. Diantara fungsi wahyu
yabg dating kemudian adalah untuk mengokohkan apa yang telah
diketahui dan ditetapkan oleh akal. Dan dari pendapat ini ialah adanya
taklif sebelum datangnya rasul. Seorang manusia telah dianggap
berdosa karena melakukan perbuatan buruk atau berpahala jika
melakukan perbuatan baik sebelum wahyu diturunkan Allah dan
rasulnya.
3. Kelompok maturidiyah
Berpendapat bahwa suatu perbuatan dengan semata melihat pada
materi perbuatan itu mempunyai nilai baik dan buruk. Karena itu akal
dapat menetapkan perbuatan baik atau buruk. Dapat di fahami bahwa
Allah tidak akan membiarkan manusia melakukan perbuatan buruk dan
tidak akan mencegah manusia melakukan perbuatan baik. Dalam hal
ini kelompok muturidiyah sependapat dengan kelompok mu’tazilah.
Mengenai yang berhubungan atau taklif atau beban hukum,
kelompok ini berpendapat bahwa akal semata tidak akan dapat
menetapkan seseorang harus melakukan perbuatan baik atau harus
meninggalkan perbuatan buruk . persoalan taklif, dosa dan pahalanya
ditetapkan oleh wahyu Allah atau cara menghubungkan kepada wahyu
yang telah ada menurut cara-cara tertentu.
Dikalangan ulama fiqih kelompok ahli sunah,hanafiah,
mengikuti aliran maturidiyah dalam penilaian baik dan buruk, juga
dalam hal taklif. Berdasarkan pendapat ini maslahat dan mafsadat
dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan huku. Namun
penetapan hukum itu baru berlaku efektif bila mendapat pengakuan
dari wahyu, baik secara langsung atau tidak. Maslahat inilah yang
dikalangan ulama ushul ahlusunnah yang disebut maslahat

10
mu’tabarah. Kelompok ulaha syi’ah imamiyah sependapat dengan
mu’tazilah dalam menetapkan akal sebagai sesuatu yang dapat menilai
baik buruknya suatu perbuatan atau menetapkan taklif dalam hak
wahyu tidak ada.

G. Sumber Hukum Selain Nas dan Al-Hakim

Dalam islam sumber hukum yang pokok dan utama adalah al-Quran
dan juga hadis. Namun seperti tang telah diuraikan tadi ada wahyu yang
sudah jelas dan ada wahyu yang belum jelas. Dan penafsiran juga
pemikiran akal dari wahyu yang belum jelas tersebut melahirakn sumber
hukum yang lain dalam islam diantaranya:
1. Ijma’
Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para
mujtahod dari kaum muslim dalam suatu masa setelah wafat Rasul
SAW atas hukum syara’. Ijma’ harus memenuhi persyaratan itu:
a. Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid saja.
b. Adanya kesepakatan sesame para mujtahid atas hukum syara’
dalam suatu masalah.
c. Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah
seorang mereka dengan pendapat yang jelas denagn dalam
bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan.
d. Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para
mujtahid. Jika sebagian besar meraka sepakat maka tidak
membatalkan kesepakatan yang sebagian besar mereka sepakat
maka tidak membatalkan yang banyak secara ijma’ sekalipun
jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah yang sepakat lebioh
banyak maka tidak menjadikan kesepakatan yang banyak itu
hujjah syar’I yang pasti dan mengikat.
Adapun kehujjaan ijma’ untuk dijadiakn sumber hukum ada
beberapa perbedaan pendapat dari kalangan ulama’.

11
Al bardawi berpendapat bahwa orang-orang hawa tidak menjadikan
ijma’ itu sebagai hujjah, bahkan dalam syara’nya dia mengatakan bahwa
ijma’ itu bukan hujjah secara Mutlaq.
Menurut Al amidi para ulama’ telah sepakat mengenai ijama,’
sebagai hujjah yang wajub diamalkan. Pendapat tersebut bertentangan
syiah, khawarij, dan nizam dari golongan mu’tazilah.
2. Qiyas
Menurut Bahasa ialah penguykuran sesuatu dengan yang lainnya
atau penyamaan sesuatu dengan yang jenisnya. Qiyas secara umum
dapat didefinisikan sebagai suatu proses penyingkapan kesamaan
hukum suatu kasus yang tidak disebutkan dalam suatu nash, dengan
suatu hukum dera bagi mereka yang menuduh zina kepada wanita-
wanita yang sudah berkelurga.
Adapun ruqun Qiyas ada 4 :
a. Ashl ( suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan
tempat mengqiyas-kan.
b. Far’u ( peristiwa yang tidak ada nashnya).
c. Hukum Ashl ( hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nash)
d. Illat ( suatu sifat yang terdapat pada ashl)
Adapun kehujjaan qiyas sebagai sumber hukum, terdapat
pandangfan yang berbeda-beda pula. Ada yang membolehkannya dan
ada yang melarangnya, seperti golongan syafi’I, hambali, dan
golongan zahir berpendapat boleh menggunakan qiyas sebagai hujjah.
3. Ihtisan
Menurut Bahasa ihtisan artinya menganggap sesuatu itu baik,
memperhitungkan sesuatu lebih baik. Menurut istilah ulama ushul fiqh
adalah berpaling seorang mujtahid dari tuntunan qiyas yang jail (nyata)
kepada tuntunan qiyas yang khofi (samar) atau dari hukum kulli
(umum) kepada hukum istitsnaiy ( pengecualian) ada dalil yang
meyebabkan dia mencela akalnya dan memenangkan perpalingan ini.
Atau meninggalkan hukum yang jelas ditetapkan pada suatu peristiwa

12
atau kejadian yang ditetapkan berdasarkan dalil syara’ menunju
(menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian juga. Contoh
dari istihsan adalah mahzab Hanafi yang menganggap rusaknya
seorang lelaki yang berhadapan dengan perempuan.
Adapun kehujjaan iistihsan dalam sumber hukum berbeda-beda
pula, ada yang memperbolehkannya juga ada yang tidak
memperbolehkannya, diantaranya; ada yang menganggapnya sebagai
sumber hukum. Diantara ulama yanga beranggapan sebagai sumber
hukum adalah imam Hanafi dan imam malik sekalipun ia tidak terlalu
membedakan antara istihsan dengan maslahah mursalah. Sehingga
beliau menyatakan bahwa istihsan telah menambah sampai 9/10 ilmu
fiqih.
Menganggap bukan sebagai sumber hukum. Diantara ulama yang
menolaknya sebagai sumber hukum adalah imam syafi’I dalam
bukunya Ar Risalah beliau menyatakan bahwa haram bagi seorang
untuk mengatakan sesuatu atas dasar istihsan. Karena istihsan hanyalah
talazzuz. Beliau juga berkata “ Barang siapa yang beristihsan sungguh
ia telah membuat syari’at.
4. Maslahat mursalah
Maslahat mursalah yaitu suatu kemaslahatn yang tidak
disinggung oleh syara’ dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang
menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika
dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau
kemaslahatan.
5. Urf
Adalah sebuah hal yang menjadi kebiasaan manusia dan yang
mereka selalu melaksanakanya baik berup pekerjaan atau perkataan
yang ditetapkan pada arti tertentu.
Adapun kehujjahan ur’f sebagai sumber hukum berbeda-beda
pendapat pula. Madzhab maliki dan Hanafi sepakat bahwa penetapan
hukum dengan uruf benar dengan adanya dalil syar’I diperbolehkan.

13
Sedangkan para ulama sepakat bahwa uruf merupakan dalil
sekiranya tidak ditemukan dalam nash al quran dan assunnah.
6. Madzhab sahabi
Madzhab sahabi sendiri adalah fatwa yang dikeluarkan sebahat
secara perorangan.
Beberapa pendapat tentang mahdzab sahabi:
a. Tidak bias dipakai sebagai hujjah sama sekali, ini pendapat dai
jumhur dan qoul jaded imam syafi’I.
b. Di dahulukan sebagai hujjah dari pada qiyas, ini pendapat dari
imam malik, kebanyakan ulama Hanafi dan qoul qodim imam
syafi’i.
c. Menjadi hujjah apabila menyimpan qiyas dan di dahulukan dari
qiyas yang tidak menyimpan qoulus sahabi.
7. Dzaro’I
Secara Bahasa adalah alat penghubung atau jalan penghubung
pada sesuatu. Menurut ulama ushul dan syariat adalah sesuatu yang
menjadi alat atau jalan pada perkara yang diharamkan atau dihalalkan
untuk diambil hukum darinya. Maka, jalanmenuju perkara yang
diharamkan adalah haram. Yang diperbolehkan adalah muba dan
sesuatu yang tanpanya perkara wajib tidak terlaksana mereka.
Hukumnya wajib. Contoh dzaro,I : melarang berjudi yang tidak
mengunakan taruhan, karena dikhawatirkan akan masuk pada
perjudian yang sebenarnya.
Adapun kehujjahan dzaro’I :
a. Imam malik dan imam ahmad menjadikan dzaro’I sebagai salah
satu sumber hukum fiqh, ibnu qayim berkata. “ saddud dzaro’I
adalah ¼ agama”.
b. Imam syafi’I dan imam Hanafi terkadang memakai dan terkadang
tidak
c. Ibnu hazm sama sekali tidak memakai dzaro’i.
8. Syar’un man qoblana

14
Syar’un man qablana adalah syari’at yang dibawah oleh para
rosul terdahulu, sebelum diutus nabi Muhammad SAW. Jika al quran
atau sunnah yang shohih mengisahkan suatu hukum yang tekah
disyariatkan pada umat yang terdahulu melalui para rasul, kemudian
nash tersebut diwajibkan kepada kita sebagai mana diwajibkan kepada
meraka, maka tidak diragukan lagi bahwa syari’at tersebut ditunjikkan
juga keoada kita seperti syari’at mereka dzaro’i.
Namun sebaliknya jika dilaksanakan suatu syari’at yang telah
ditetapkan kepadaa orang-orang terdahulu. Namun hukum terdsebut
telah dihapus untuk kita. Para ulama sepakat bahwa hukum tersebut
tidak di syari’atkan kepada kita. Seperti syari’at nabi musa bahwa
seorang yang berbuat dosa tidak akan diampuni dosanya kecuali
dengan membunuh dirinya dan jika ada najis yang menempel pada
tunuh tidak akan suci kecuali dengan memotong anggota badan
tersebut.

15
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa moralitas aparat


penegak hukum sangat penting dalam penegakan hukum untuk mencapai
keadilan. Hal ini menunjukkan keterkaitan antara pemahaman hukum dan
implementasinya dalam masyarakat, serta pentingnya integritas dalam
menegakkan hukum.
Dari sumber yang ada, terdapat pula penutupan pada sebuah makalah
yang menyimpulkan bahwa konsep Al Hakim merujuk kepada Allah SWT
sebagai pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang dititahkan
kepada seluruh mukallaf. Al Hakim juga dapat diartikan sebagai pihak
penentu dan pembuat hukum syariat secara hakiki. Selain itu, terdapat pula
konsep Mahkum Fiih dan Mahkum 'Alaih yang merupakan bagian penting
dalam pemahaman hukum Islam. Dari berbagai sumber, dapat disimpulkan
bahwa Al Hakim adalah sumber tunggal hukum dalam Islam, dan
pemahaman akan konsep ini penting dalam kajian hukum Islam.

16
DAFTAR PUSTAKA

Fikih Tadarruj. 2019. Tahapan-tahapan dalam Membumikan Syariat


Islam. (n.d.). (n.p.): Pustaka Al-Kautsar.
Hayy Abdul Al. 2019. pengantar ushul fiqh. Indonesia: pustaka al kautsar 2.
Iwan Hermawan.2019. Pengarang Ushul Fiqh Kajian Hukum
Islam. (n.p.): Hidayatul Quran.
Mukhtar Zaini Dahlan. 2017.Pendidikan Agama Islam. (n.d.). (n.p.): Lppm IKIP
PGRI Jember.
Dahlan, Abdul Rahman.2011. Ushul fiqh. Jakarta: Bumi Aksara

17
19

Anda mungkin juga menyukai