Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

DALIL YANG DI PERSELISIHKAN

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh dan Ushul Fiqh

Dosen Pengampu : Muzayyin M.E

Disusun Oleh : Kelmpok 05

1. Satria Putra Cahaya (222105020054)


2. Dhorif Khuluqin Adhim (223105020002)
3. A Wildan Usyaid Alifi (222105020071)
4. Siti Kamalia (222105020054)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KH. ACHMAD SIDDIQ


JEMBER

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Dalil yang diperselisihkan” dengan tepat waktu.
Terimakasih kepada Bapak dosen yang senantiasa telah membantu baik
secara moral maupun materi. Terimakasih juga kepada teman-teman seperjuangan
yang telah memberi dukungan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas makalah dengan tepat waktu.
Semoga makalah ini bisa menambah wawasan para pembaca dan bisa
bermanfaat bagi perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................. I

Daftar Isi......................................................................................................... II

BAB I Pendahuluan ......................................................................................... 1

1. Latar Belakang ..................................................................................... 2


2. Rumusan Masalah ................................................................................ 3
3. Tujuan .................................................................................................. 4

BAB II Pembahasan......................................................................................... 5

1. Pengertian Mashlahah Mursalah ........................................................... 5


2. Pengertian Istihsan dan macam macamnya ........................................... 6
3. Pengertian Istihsan dan macam macamnya
.....................................................................
4. Syariah sebelum kita

BAB III Penutup .............................................................................................. 9

1. Kesimpulan ........................................................................................ 10
2. Kritik dan Saran ................................................................................. 11
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
isitihsan adalah berpalingnya seorang mujtahid dari penggunaan qiyas
yang jaly (nyata) kepada qiyas yang khafy (samar) atau dari hukum kulli
(umum) kepada hukum istitsnai (pengecualian) karena ada dalil yang
menurut logika membenarkannya.131 Menurut ahli ushul fiqh yang lain,
istihsan adalah satu dalil yang keluar dari pemikiran seorang mujtahid
yang menetapkan kerajihan qiyas khafy dari pada qiyas jaly, atau
mendahulukan ketentuan hukum yang khusus (juz’y) dari ketentuan umum
(kully)”. 132 Dengan demikian istihsan ialah berpaling dari qiyas khafi
atau dari hukum kulli menuju yang dikecualikan karena ada dalil yang
lebih kuat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud al mashlalah dan al mursalah?
2. Apa yang dimaksud istihsan?
3. Apa yang dimaksud istishab?
4. Bagaimana syariah sebelum kita?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui al mashlahah dan al mursalah
2. Untuk mengetahui istihsan
3. Untuk mengetahui istishab
4. Untuk mengetahui syariah sebelum kita
BAB II
PEMBAHASAN

Mashlahah
A. Arti Mashlahah
Sebelum menjelaskan arti maslahah mursalah, terlebih dahulu perlu
dibahas lebih dahulu tentang mashlahah, karena mashlahah marsalah itu
merupakan salah satu bentuk dari mashlahah. 1
Mashlahah berasal dari kata shalaha dengan penambahan alif di awalnya
yang secara arti kata berarti “baik” lawan dari kata “buruk” atau “rusak”.
Pengertian mashlahah dalam bahasa arab berarti “perbuatan-perbuatan yang
mendorong kepada kebaikan manusia”. Dalam artinya yang umum adalah
setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik
atau menghasilkan seperti keuntungan atau kesenangan, atau dalam arti
menolak atau menghindarkan seperti menolak kemudaratan atau kerusakan.
Jadi setiap yang mengandung manfaat patut disebut mushlahah. Dengan
begitu mashlahah itu mengandung dua sisi yaitu menarik atau mendatangkan
kemaslahatan dan menolak atau menghindarkan kemudaratan.

B. Macam-macam Mashlahah
Dari segi kekuatannya sebagai hujah dalam menetapkan hukum, ada 3 macam
 Mashlahah Dharuriyah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya sangat
dibutuhkan oleh kehidupan manusia,
 Mashlahah Hajiyah, yaitu kemasslahatan yang tingkat kebutuhan hidup
manusia kepadanya berada pada tingkat dharuri.
 Mashlahah tahsiniyah, yaitu mashlahah yang kebutuhan hidup manusia
kepadanya tidak sampai tingkat dharuri, juga tidak sampai tingkat haji.

Dari adanya keserasian dan kesejalanan anggapan baik oleh akal itu
dengan tujuan syara’dalam menetapkan hukum, ditinjau dari maksud
usaha mencari dan menetapkan hokum, mashlahah itu disebut munasib
atau keserasian mashlahah dengan tujuan hokum. Mashlahah dalam
artian munasib itu dari segi pembuat hokum (syar’i) memerhatikannya
atau tidak, mashlahah tebagi menjadi 2 macam yaitu:

1
Prof Dr H. Amir Syarifuddin, 2019, Ushul fiqh jilid 2, Jakarta Hal 343
 Mashlahah al-Mu’tabarah, yaitu mashlahah yang di perhitungkan oleh
syar’i
 Mashlahah Mursalah, atau juga bisa disebut ishtilah, yaitub apa yang di
pandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan
hokum, namun tidak ada petunjuk syara’yang mempehitungkannya dan
tidak ada pula petunjuk syara’ yang menolaknya. 2

C. Arti Mashlahah mursalah


Mashlahah mursalah terdiri dari dua kata yang hubungan keduanya dalam
bentuk khusus. Arti dari mashlahah mursalah sendiri adalah sebagai berikut
i) Ia adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat
mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi manusia.
ii) Apa yang baik menurut akal itu, juga selaras dan sejalan dengan tujuan
syara’ dalam menetapkan hukum.
iii) Apa yang baik menurut akal dan selaras pula dengan tujuan syara’
tersebut tidak ada petunjuk syara’ secara khususyang menolaknya,
juga tidak ada petunjuk syara’ yang menerimanya 3

D. Relevansi Mashlahah Mursalah di Masa Kini dan Mendatang


Banyak disinggung bahwa akhir akhir ini lebih lebih pada masa
mendatang permasalahan kehidupan manusia akan semakin cepat berkembang
dan semakin kompleks. Permasalahan ini harus di hadapi umat islam yang
menurut adanya jawabn penyelesaiannya dari segi hokum. Semua persoalan
tersebut, tidak akan dapat dihadapi kalau hanya mengandalkan pendekatan
dengan cara atau metode lama (konvensional) yang digunakan ulama’
terdahulu.
Kita akan menghadapi kesulitan menemukan dalil nash atau petunjuk
syara’ untuk mendudukan hokum dari kasus (permasalahan) yang muncul.
Untuk kasus tertentu kemungkinan kita akan kesulitan untk menggunakan
metode qiyas dalam menetapkan hukumnya, karena tidak dapat di temukan
padanannya dalam nash (al-qur’an dan sunah) atau ijma’ulama’, sebab jarak
waktunya sudah begitu jauh. Selain itu, mungkin ada beberapa persyaratan
qiyas yang sulit terpenuhi.
Dalam kondisi demikian, kita akan berhadapan dengan beberapa kasus
(masalah) yang secara rasional (aqliyah) dapat dinilai baik buruknya untuk

2
Prof Dr H.Amir Syarifuddin, 2019, Jakarta Hal 343
3
Saifuddin Mujtaba, 2020,Bandung, Hal 56
menetapkan hukumnya, tetapi tidak menemukan dukungan hukumnya dari
nash. Dalam upaya untuk mencari solusi agar seluruh tidak tanduk umat islam
dapat ditempatkan dalam tatanan hokum agama, mashlahah mursalah itu dapat
di jadikan salah satu alternative sebagai dasar dalam ber ijtihad. Untuk
mengeliminasi atau menghilangkan kekhawatiran akan tergelincir pada sikap
semuanya dan kehendak nafsu, maka dalam ber ijtihad dengan menggunakan
mashlahah mursalah itu sebaiknya dilakukan secara bersama-sama.

Istihsan
Istihsan termasuk salah satu metode ijtihad yang diperselisihkan oleh para
ulama, meskipun dalam kenyataanya , semua ulama menggunakanya secara
praktis. Pada dasarnya para ulama menggunakan istihsan dalam arti lughawi
(bahasa), yaitu “berbuat sesuatu yang lebih baik.” Tetapi dalam pengertian
istilahnya (yang biasa berlaku).4

1. Arti Istihsan
Secara etimologis istihsan berarti “memperhitungkan sesuatu lebih baik,”
Atau “adanya sesuatu itu lebih baik,” Atau “mengikuti sesuatu yang lebih
baik,” Atau “mencari yang lebih baik untuk diikuti, Karena memang disuruh
untuk itu.”
Adapun pengertian istihsan secara istilah, ada beberapa definisi “istihsan”
yang dirumuakan ulama ushul. Di antara definisi itu ada yang berbeda akibat
adanya perbedaan titik pandang. Ada juga definisi yang disepakati semua
pihak, namun diantaranya ada yang diperselisihkan dalam pengamalanya. 5

2. Jenis jenis istihsan


Setelah menganalisis beberapa definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan
tentang hakikat dari istihsan, yaitu seorang mujtahid dalam melakukan ijtihad
untuk menemukan dan menetapkan suatu hukum tidak jadi menggunakan
suatu dalil, baik dalil itu dalam bentuk qiyas, dalam bentuk hukum kulli, atau
dalam bentuk kaidah umum.
Istihsan itu banyak macamnya dan dapat dilihat dari beberapa segi: dari
segi dalil yang ditinggalkan dan Dalil yang dijadikan gantinya maupun dari
segi sandaran atau dasar yang diikutinya saat beralih dari qiyas.

4
Prof Dr H Amir Syarifuddin 2019, Jakarta, Hal 346
5
Prof Dr H Amir Syarifuddin 2019, Jakarta, Hal 347
1. Ditinjau dari segi dalil yang digunakan pada saat beralih dari qiyas,
istihsan ada 3 jenis:
a. Beralih dari apa yang dituntut oleh qiyas-dhahir kepada yang
dikehendaki oleh qiyas-Khafi. Dalam hal ini si mujtahid tidak
menggunakan qiyas dhahir dalam menetapkan hukum nya, tetapi
menggunakan qiyas Khafi, karena menurut perhitungannya cara
itulah yang paling kuat (tepat).
b. Beralih apa yang dituntut oleh Nash yang umum kepada hukum
yang bersifat khusus. Jadi, meskipun ada dalil umum yang dapat
digunakan dalam menetapkan hukum suatu masalah, namun dalam
keadaan tertentu dalil umum itu tidak digunakan, dan sebagai
gantinya digunakan dalil khusus.
c. Beralih dari tuntutan hukum kulli kepada tuntutan yang
dikehendaki hukum pengecualian.
2. Ditinjau dari segi sandaran atau yang menjadi dasar dalam peralihan untuk
menempuh cara istihsan oleh mujtahid, istihsan terbagi kepada empat jenis
yaitu:
a. Istihsan yang sandarannya adalah qiyas Khafi. Dalam hal ini si
mujtahid meninggalkan qiyas yang pertama karena ia menemukan
bentuk qiyas yang lain, meskipun qiyas yang lain itu dari satu segi
memiliki kelemahan, namun dari segi pengaruhnya terhadap
kemaslahatan lebih tinggi.
b. Istihsan yang sandarannya adalah Nash. Dalam hal ini, si mujtahid
dalam menetapkan hukum tidak jadi menggunakan qiyas atau cara
biasa karena ada nash yang menuntunnya.
c. Istihsan yang sandarannya adalah ‘uruf (adat). Dalam hal ini, si
mujtahid tidak menggunakan cara-cara biasa yang bersifat umum
tetapi menggunakan cara lain dengan Dasar pertimbangan atau
sandaran kepada kebiasaan yang telah umum berlaku dalam suatu
keadaan.
d. Istilah yang sandarannya adalah darurat. Dalam hal ini si mujtahid
tidak menggunakan dalil yang secara umum harus diikuti karena
adanya keadaan darurat yang menghendaki pengecualian.
3. Menurut Syatibi, dikalangan mazhab Maliki dikenal pula istihsan yang
dalam praktiknya dinamai dengan istislah (akan diuraikan tersendiri).
Mereka membagi istihsan itu kepada tiga macam.
a. Meninggalkan dalil yang biasa digunakan untuk beramal dengan
‘urf ( kebiasaan ).
b. Meninggalkan dalil yang biasa digunakan, dan untuk selanjutnya
beramal dengan cara lain karena didorong oleh pertimbangan
kemaslahatan manusia.
c. Meninggalkan dalil yang bisa dilakukan untuk menghindarkan
kesulitan dan memberikan kemudahan kepada umat.6

3. Kekuatan Istihsan dalam Ijtihad


Dari beberapa definisi dan jenis jenis istihsan diatas terlihat bahwa ada
bentuk istihsan yang diterima semua pihak dan untuk selanjutnya mempunyai
kekuatan dalam ijtihad yaitu iatihsan yang diartikan dengan “mengamalkan
yang terkuat diantara dua dalil” sebagaimana dikemukakan al-syathibi atau
dalam arti ”beralih dari qiyas kepada qiyas yang lebih kuat,”menurut ibn
subki.
Adapun istihsan dalam arti beralih dari qiyas Jali kepada qiyas Khafi atau
beralih dari dalil kepada adat kebiasaan, merupakan masalah yang
kontroversial, yang dengan sendirinya menjadi kurang kekuatannya sebagai
dalil secara umum. Imam Syafi'i termasuk utama ulama yang paling keras
menolak istihsan dalam bentuk ini.
Penolakan Syafi'i terhadap istihsan ini terdapat dalam kitab nya, al-
Risalah, sewaktu ditanya,” Apakah anda memperbolehkan seseorang berkata
lakukanlah ‘istihsan tanpa menggunakan qiyas’? Ia menjawab,”Tidak boleh.”
Bahkan ia mengatakan,” haram hukumnya seseorang berpendapat berdasarkan
istihsan bila istihsan itu menyalahi qiyas.”
Menurut Syafi’i istihsan dalam bentuk itu hanyalah berbuat “talazzuz”
atau seenaknya. Seandainya boleh meninggalkan qiyas tentu orang yang tidak
mempunyai ilmu pun akan dengan mudahnya menggunakan istihsan sewaktu
ia tidak menemukan keterangan hukum. 7

Istishhab
A. Istishhab
Istishhab termasuk dalam dalil hukum islam yang tidak disepakati
penggunanya di kalangan ulama ushul. Metode Istihab digunakan oleh ulama
yang menggunakannya setelah mereka tidak dapat menyelesaikan masalah

6
Prof Dr H Amir Syarifuddin, 2019, Ushul fiqh jilid 2, hal 351
7
Dr. Moh Bahrudin, 2019, ilmu Ushul fiqh
hukum melalui empat dalil hukum yamg disepakati, yaitu: Al-Qur’an, Sunah,
Ijma’, dan Qiyas. Perbedaan pendapat dalam penggunanya, bukan bukan
disebabkan oleh perbedaan dalam mengartikan Istishhab tersebut, tetapi
memang berbeda dalam menempatkannya sebagai suatu dalil yg berdiri
sendiri

B. Arti Istishhab
Secara lughawi (etimologi) istishhab itu berasal dari kata is-tash-ha-ba
(‫)استصحاب‬, yang berarti: meminta kebersamaan (thalab al-mushahabah), atau
berlanjutnya kebersamaan, atau bias diartikan sebagai “selalu menyertai

Penggunaan secara arti lughawi ini adalah sesuai dengan kaidah iastishhab
yang berlaku di kalangan ulama ushul yang menggunakan istishhab sebagai
dalil, karena mereka mengambil sesuatu yang telah diyakini dan diamalkan di
masa lalu dan secara konsisten menyertainya (memeliharanya) untuk
diamalkan sampai ke masa selanjutnya.

Adapun Arti istishhab secara terminology (istilah), terdapat beberapa rumusan


yang berbeda dari ulama yang memberikan definisi istishhab, namun
perbedaannya tidak sampai pada hal yang prinsip. Diantaranya ialah :
1. Imam Isnawi
Istishhab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang
telah ditetapkan karena suatu dalil sampai ada dalil lain yang mengubah
hukum hukum tersebut
2. Ibn al-Qayyim al-Jauziyah
Istishhab ialah mengukuhkan menetapkan apa yang pernah ditetapkan
dan meniadakan apa yang sebelumnya tiada
3. Abdul-Karim Zaidan
Istishhab ialah menganggap tetapnya status suatu seperti keadaannya
semula selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya
Istishhab juga dapat berarti melabnjutkan berlakunya hukum yang telah
tetap di masa lalu, diteruskan sampai yang akan dating selama tidak
terdapat yang mengubahnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa istishhab
adalah menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada sebelum ada
dalil atau bukti yang mengubah hukum tersebut8

8
Abd Rahman Dahlan, Ushul fiqh 2019, Jakarta Hal 40-43
C. Contoh istishhab
Telah terjadi perkawinan antara laki laki A dan perempuan B, kemudian
mereka berpisah dan berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15
tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki laki C
karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan
hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama perbisah. Berpegang
pada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A
dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishhab.

Syariah
A. Pengertian Syariah
Secara etimologis (lughawi) Syariah berarti “jalan di tempat pengairan”
atau “jalan yang harus diikuti”, atau “tempat lalu air di sungai”. Arti terakhir
ini digunakan orang arab sampai sekarang.
Kata Syariah muncul dalam ayat Al-Qur’an, seperti pada surat al-Maidah
(5): 48; asy-Syura (42): 13; dan al-Jatsiyah (45): 18, yang mengandung arti
“jalan yang jelas yang membawa kepada kemenangan”. Dalam hal ini, agama
yang ditetapkan Allah untuk manusia disebut Syariah, dalam artian lughawi,
karena umat Islam selalu melaluinya dalam kehidupannya di dunia. Kesamaan
Syariah Islam dengan jalan air adalah dari segi bahwa siapa yang mengikuti
Syariah ia akan mengalir dan bersih jiwanya. Allah menjadikan air sebagai
penyebab kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan sebagaimana dia
menjadikan Syariah sebagai penyebab kehidupan jiwa insani.
Menurut para ahli, definisi Syariah adalah: “segala titah Allah yang
berhubungan dengan tingkah laku manusia di luar yang mengenai akhlak”.
Dengan demikian, ”Syariah” itu adalah nama bagi hukum-hukum yang
bersifat amaliah.
Walaupun pada mulanya Syariah itu diartikan “agama” sebagaimana yang
disinggung Allah dalam surat asy-Syura (42): 13, namun kemudian
dikhususkan penggunaannya untuk hukum amaliah. Pengkhususan ini
dimaksudkan karena agama pada dasarnya adalah satu dan berlaku secara
universal, sedangkan Syariah berlaku untuk masing-masing umat yang
berbeda dengan umat sebelumnya. Dengan demikian, kata “Syariah” lebih
khusus dari agama. Syariah adalah hukum amaliah yang berbeda menurut
perbedaan Rasul yang membawanya dan setiap yang datang kemudian
mengoreksi yang datang lebih dahulu. Sedangkan dasar agama, yaitu
‘akidah/tauhid, tidak berbeda antara Rasul yang satu dengan lainnya.
B. Syar’u man qablana
Syar’u man qablana adalah syariat yang dibawa para Rasul terdahulu,
sebelum diutus nabi Muhammad saw. yang menjadi petunjuk bagi kaumnya,
seperti syariat nabi Ibrahim AS, syariat nabi Musa AS , syariat nabi Daud AS,
syariat nabi Isa AS dan lain sebaginya. Pada syariat yang diperuntukkan oleh
Allah swt. bagi umat-umat terdahulu, mempunyai asas yang sama dengan
syariat yang diperuntukkan bagi umat Muhammad saw.
Terdapat 3 (tiga) macam bentuk syar’u man qablanaya itu :
a) Syariat yang diperuntukan bagi umat yang sebelum kita, tetapi Alquran
dan hadis tidak menyinggungnya, baik membatalkannya atau
mentaatkan berlaku bagi umat Nabi Muhammad saw.
b) Syariat yang diperuntukan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian
dinyatakan tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad saw..
c) Syariat yang diperuntukan bagi umat yang sebelum kita, kemudian
Alquran dan hadis menerangkan kepada kita. Mengenai bentuk ketiga,
yaitu syariat yang diperuntukkan bagi umat-umat sebelum kita,
kemudian diterangkan kepada kita alquran dan hadits, para ulama
berbeda pendapat. Sebagian ulama Hanafiah, sebagian ulama
Mailikiyah, sebagian ulama Syafiyiah dan sebagian ulama Hanbal
berpendapat bahwa syariat itu berlalu pula bagi umat Muhammad saw. 9

Adapun pendapat golongan lain, menurut mereka dengan adanya syariat


Nabi Muhammad saw., maka syariat sebelumnya dinyatakan mansukh atau
tidak berlaku lagi hukumannya. Mengenai bentuk kedua, para ulama tidak
menjadikannya sebagai dasar hujjah, sedang untuk pertama ulama yang
menjadikannya sebagai hujjah, selama tidak bertentangan dengan syariat Nabi
Muhammad saw.

9
Dr. Moh Bahrudin 2019, Ushul fiqh hal 70
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Mashlahah berasal dari kata shalaha dengan penambahan alif di awalnya
yang secara arti kata berarti “baik” lawan dari kata “buruk” atau “rusak”.
Pengertian mashlahah dalam bahasa arab berarti “perbuatan-perbuatan
yang mendorong kepada kebaikan manusia”.
Istihsan termasuk salah satu metode ijtihad yang diperselisihkan oleh para
ulama, meskipun dalam kenyataanya , semua ulama menggunakanya
secara praktis. Pada dasarnya para ulama menggunakan istihsan dalam arti
lughawi (bahasa), yaitu “berbuat sesuatu yang lebih baik.” Tetapi dalam
pengertian istilahnya (yang biasa berlaku).

B. Kritik dan Saran


Dengan adanya makalah ini, semoga bisa menambah wawasan
pengetahuan kepada penulis serta para pembaca dalam memahami
setidaknya sedikit yaitu tentang al mashlalah al mursalah, istihsan,
istishab, syariah sebelum kita. Dan kami menyadari bahwa makalah ini
jauh dari kata kesempurnaan karena keterbatasan ilmu yang kami miliki.
Kami sangat mengharapkan bimbingan, saran serta kritik dari semua pihak
yang membaca makalah ini yang bersifat membangun dan konstrutif demi
perbaikan makalah ini agar lebih baik di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin (2019) Ushul Fiqh, Jakarta

Saifuddin Mujtaba (2020) Ilmu fiqih, Bandung

Dr. Moh Bahrudin (2019) Ushul fiqh

Abd Rahman Dahlan, Ushul fiqh, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai