Anda di halaman 1dari 13

ISTIHSAN, MASLAHAT MURSALAH, DAN SAD AL-ZARI’AH

Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas pada Mata Kuliah

Ushul fiqhi Program Studi Hukum Keluarga Islam (HKI) Kelompok satu (1)
Semester tiga (3) Fakultas Syariah IAIN BONE Tahun 2023

Oleh:
KELOMPOK 7

NURUL AIN
(742302022011)
NUR FAIZAH EL AMIN
(742302022002)
MUH REZQI RAMADHANI
(742302022015)

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE


2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya

sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Istihsan,


maslahat mursalah, dan sad al-zari’ah ” ini tepat pada waktunya. Sholawat dan salam

semoga senantiasa kita curahkan kepada junjungan Nabi Muhammad saw.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas

pada mata kuliah Ushul fiqhi Program Studi Hukum Keluarga Islam. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang menghargai ilmu dan

orang yang berilmu. bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Meski telah kami susun secara maksimal, akan tetapi kami sebagai manusia

sangat menyadari bahwa makalah ini sangat banyak kekurangannya dan jauh dari kata

sempurna. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami dapat mengambil pelajaran

sehingga hasil penulisan kami selanjutnya dapat lebih baik lagi.

Demikian yang dapat kami haturkan, kami berharap makalah yang telah kami

susun ini mampu memberikan manfaat kepada setiap pembacanya.Dan bernilai ibadah

di sisi Allah Swt.

Watampone, November 2023

Kelompok 7
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan 2

BAB II PEMBAHASAN
A.

B.
BAB III PENUTUP

A. Simpulan 11

B. Saran 12

DAFTAR PUSTAKA 13
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada satu sisi Al-Qur’an merupakan wahyu terakhir berlaku sepanjang masa, dan
pada sisi lain ayat Al-Qur’an tidak turun lagi dan tidak akan ada nabi dan rasul lagi
setelah Muhammad saw. Sehingga terjadi gap antara sumber hukum dengan problem
hukum yang terjadi dalam kehidupan. Salah satu metode yang dipakai oleh para ahli
hukum Islam dalam menjembatani antara keterbatasan teks hukum dengan perkembangan
masalah hukum yang selalu berubah adalah dengan ijtihad. Dalam kerangka ini,
istihsan pada dasarnya juga merupakan salah satu metode dalam berijtihad karena
istihsan merupakan salah satu cara untuk menemukan solusi atas permasalahan yang
tidak terselesaikan oleh kaidah-kaidah umum dalam fikih dengan berpaling pada kaidah-
kaidah parsial.Pengembangan dan pembaharuan hukum Islam juga bisa dijelaskan
dengan mengetahui tujuan utama ditetapkannya syari'at bagi manusia, yaitu untuk
mencapai kemaslahatan manusia baik untuk jangka pendek maupun jangka
panjang dan untuk menghilangkan kerusakan (jalb al-mashalih wa dar’u almafasid).
Prinsip ini digunakan oleh Majelis Tarjihdan Tajdid Muhammadiyah dalam ijtihadnya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Jelaskan apa itu Istihsan ?
2. Jelaskan apa itu Maslahah Mursalah?
3. Jelaskan apa itu Sad Al-Zari,ah?
C. TUJUAN
1. Kita dapat mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan Istihsan
2. Kita dapat mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan Maslahah Mursalah
3. Kita dapat mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan Sad Al-Zari’ah
BAB II

PEMBAHASAN

A. Istihsan
Istihsan termasuk salah satu metode ijtihat yang diperselisihkan oleh para ulama,
meskipun dalam kenyataannya, semua ulama menggunakannya secara praktis. Pada
dasarnya, para ulama menggunakan istihsan dalam arti lughawi(bahasa), yaitu “berbuat
sesuatu yang lebih baik”. Tetapi dalam pengertian istilahnya (yang biasa berlaku), para
ulama berbeda pendapat disebabkan oleh perbedaan dalam memahami dan
mendefinisikan “istihsan” itu. Ulama yang menggunakan istihsan dalam berijtihat
mendefinisikan istihsan dengan pengertian yang berlainan dengan definisi dari orang
yang menolak cara istihsan. Sebaliknya ulama yang menolak penggunaan istihsan
mendefinisikan istihsan dengan pengertian tidak seperti yang didefinisikan pihak yang
menggunakannya.Seandainya mereka sepakat dalam mengartikan istihsan itu, maka
mereka tidak akan berbeda pendapat dalam menggunakannya sebagai suatu metode
ijtihat.
1. Pengertian Istihsan
Secara etimologis (lughawi/bahasa)istihsan berarti “memperhitungkan
sesuatu lebih baik,” atau “ adanya sesuatu itu lebih baik”, atau mengikuti sesuatu
yang lebih baik”, atau “mencari yang lebih baik untuk diikuti, karena memang
disuruh untuk itu”.
Dari arti diatas tergambar adanya seseorang yang menghadapi dua hal
yang keduanya baik. Namun ada hal yang mendorongnya untuk meninggalkan
satu di antaranya dan menetapkan untuk mengambil yang satunya lagi,
karenaitulah yang dianggapnya lebih baik untuk diamalkan.
Adapun pengertian istihsan secara istilahi, ada beberapa definisi istihsan
yang dirumuskan oleh ulama ushul. Diantara definisi itu ada yang berbeda akibat
adanya perbedaan titik pandang. Berikut merupakan beberapa definisi yang
dikemukakan oleh para ulama ushul, yaitu:
a. Menurut Al-Bazdawi:“Beralih dari konsekuensi suatu qiyas kepada model
qiyas lain yang lebih kuat dari qiyas yang pertama”
b. Menurut Imam Malik:“Menerapkan yang terkuat diantara dua dalil, atau
menggunakan prinsip kemaslahatan yang bersifat parsial dalam posisi
yang bertentangan dengan dalil yang bersifat umum.”
c. Sedangkan Wahbah Az-Zuhaili:“Lebih mengunggulkan qiyas khafi dari
pada qiyas jali berdasarkan alasan tertentu.”
2. Pembagian dan Bentuk-Bentuk Istihsan
Dari definisi diatas, secara sederhana dapat dikatakan, pada hakikatnya
istihsan diklasifikasikan atas dua macam, yaitu: istihsan qiyasi dan istihsan
istitsna’i. Di bawah ini digambarkan lebih jauh gambaran keduanya sebagai
berikut.
a. Istihsan Qiyasi Istihsan qiyasi ialah, suatu bentuk pengalihan hukum dari
ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas jali kepada ketentuan hukum
yang didasarkan kepada qiyas khafi, karena adanya alasan kuat untuk
mengalihkan ketentuan hukum tersebut. Alasan kuat yang dimaksudkan disini
adalah kemaslahatan. Contoh untuk istihsan qiyasi yang dilandasi oleh qiyas
khafi yaitu air sisa minuman burung buas adalah suci dan halal diminum,
seperti sisa minuman burung gagak atau burung elang.Padahal berdasarkan
qiyas jali, sisa minuman binatang buas adalah najis dan haram diminum,
karena sisa minuman tersebut telah bercampur dengan air liurnya, yaitu
dengan mengqiyaskan kepada dagingnya.
Perbedaan hukum antara air sisa minuman burung buas dengan air sisa
minuman binatang buas ini ditetapkan berdasarkan istihsan qiyasi, yaitu
mengalihkan ketentuan hukum dari hukum yang berdasarkan qiyas jail (najis
dan haram), kepada hukum yang berdasarkan qiyas khafi (suci dan halal),
karena adanya alasan yang kuat untuk itu, yaitu kemaslahatan.
b. Istihsan Istitsna'i
Istihsan istisna'i ialah, qiyas dalam bentuk pengecualian dan ketentuan
hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip umum. kepada ketentuan hukum
tertentu yang bersifat khusus. Istihsan ini dibagi kepada beberapa macam
sebagai berikut;
1) Istiksan bi An-Nashsh (istihsan berdasarkan ayat atau hadits)
2) Istiksan bi Al-lima (istihsan yang berdasarkan pada ima")
3) Istiksan bi Al-'Urf (istihsan berdasarkan adat kebiasaan)
4) Istihsan bi Ad-Dharurah (istihsan berdasarkan keadaan darurat)
5) Istihsan bi Al-Mashlahah (istihsan berdasarkan mashlahah)
B. Maslahah Mursalah
Salah satu metode yang dikembangkan ulama usul fiqih dalam mengistinbatkan hukum
dan nash adalah mashlahah al-mursalah, yaitu sesuatu kemaslahatan yang tidak ada nash juzi
(rinci) yang mendukungya, dan tidak ada pula yang menolaknya dan tidak ada pula yang
mendukungya, tetapi kemaslahatan ini didukung oleh sejumlah nash melalui cara istiqra' (induksi
dari sejumah nash).Sebelum membahas lebih jauh tentang konsep mashlahah al-mursalah
sebagai salah satu metode dalam mengistinbatkan hukum, terlebih dahulu dibahas hakikat
mashlahah itu sendiri.
1. Arti Mashlahah
Al-Maslahah itu merupakan bentuk tunggal (mufrad) dari kata al- Mashalih.
Pengarang Kamus Lixan Al-'Arab menjelaskan dua arti, yaitu al- Maslahah yang berarti
al-Shalah dan al-Mashlahah yang berarti bentuk tunggal dari al-Mashalih. Semuanya
mengandung arti adanya manfaat baik seperti menghasilkan manfaat atau faedah ataupun
pencegahan dan penjagaan, seperti menjauhi kemudharatan dan penyakit. Semua itu bisa
dikatakan mashlahah. Pengertian mashlahah dalam bahasa Arab berarti "perbuatan-
perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia". Dalam artinya yang umum adalah
setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. Jadi setiap yang mengandung
manfaat patut disebut mashlahah. Dengan begitu, mashlahah itu mengandung dua sisi,
yaitu mendatangkan kemaslahatan dan menghindarkan kemudharatan.
Dalam mengartikan mashiahah secara definitif terdapat perbedaan rumusan dikalangan
ulama yang kalau dianalisis ternyata hakikatnya adalah sama.
a. Al-Ghazali menjelaskan bahwa menurut asalnya mashlahah itu berarti sesuatu
yang mendatangkan manfaat dan menjauhkan mudharat namun hakikat dari
mashlahah adalah memelihara tujuan syara (dalam menetapkan hukum). Tujuan
syara' dalam menetapkan hukum ada lima, yaitu: memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta.
b. Al-Khawarizmi memberikan definisi yang hampir sama dengan definisi Al-
Ghazali diatas, yaitu memelihara tujuan syara' (dalam menetapkan hukum)
dengan cam menghindarkan kerusakan dari manusia.
c. Menurut Al-Thufi mashlahah adalah ungkapan dari sebab yang membawa kepada
tujuan syara' dalam bentuk ibadat atau adat. Definisi ini bersesuaian dengan
definisi al-Ghazali yang memandang mashlahah dalam artian syara' sebagai
sesuatu yang dapat membawa kepada tujuan syara.
Dari beberapa definisi di atas dengan rumusan yang berbeda tersebut dapat disimpulkan
bahwa mashlahah itu adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena
mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan bagi manusia, sejalan dengan
tujuan syara' dalam menetapkan hukum.
2. Macam-macam Mashlahah
Dilihat dari keberadaan mashlahah menurut syara', jumhur ulama membagi al-
mashlahah ini kepada tiga macam, yaitu sebagai berikut.
a. Al-Mashlahah yang terdapat kesaksian syara' dalam mengakui keberadaannya (ma
syahid asy-syar' lii tihariha)
Al-mashlahah dalam bentuk ini menjelma menjadi landasan dalam al- qiyas
(analogi). Mashlahah ini biasa disebut dengan istilah Al-mashlakah al-mu'tabarah.
Semua ulama sepakat menyatakan al-mashlahah ini merupakan hujjah (landasan
hukum). Sebagai contoh, meng-qiyas-kan keharaman perahan kurma yang
memabukkan yang tidak terdapat nash- nya, kepada keharaman perahan anggur yang
menabukkan yang ada nash- nya didalam al-qur'an maupun sunnah.
b. Al-mashiahah yang terdapat kesaksian syara' yang membatalkannya/ menolaknya (ma
syahid asy-syar li buthlaniha)
Al-mashlahah ini adalah buthil, dalam arti tidak dapat dijadikan sebagai hujjah
karena ia bertentangan dengan nash. Bentuk mashlahah ini disebut dengan al-
mashiahah al-mughal. Sebagai contoh, dahulu pernah seorang ulama mengeluarkan
fatwa, bahwa terhadap seorang raja kaya yang melakukan hubungan suami istri pada
siang bulan ramadhan dikenakan kifarat puasa dua bulan berturut-turut, tanpa boleh
memilih antara memerdekakan hamba, atau memberi makan enam puluh orang
miskin karena ia memiliki kekayaan. Dasar pemikirannya ialah, kifarat disyari'atkan
untuk menimbulkan efek jera bagi orang yang melakukan pelanggaran dalam ibadah.
Kemungkinan besar kifarat puasa akan membuat raja tersebut kualahan dalam
melaksanakannya, sehingga ia tidak akan mengulangi pelanggaran tersebut. Bentuk
fatwa ini tidak dibenarkan karena bertentangan dengan ketentuan syara', dan berarti
mengubah ketentuan hukum syara' semata-mata berdasarkan nalar murni. Sekiranya
ketentuan syara' membenarkan pola penetapan hukum seperti ini, tentulah Rasulullah
menetapkan hukum dengan pola yang sama.
c. Al-Mashlahah yang tidak terdapat kesaksian syara', baik yang mengakuinya maupun
yang menolaknya dalam bentuk nash tertentu (ma lam yasyhad asy-syar' la
libuthlaniha wa la lii'tibariha nashsh muayyan).
Al-mashlahah bentuk ini dibagi lagi kepada dua macam, yaitu sebagai berikut.
1. Al-Mashiahah al-gharibah
Yaitu mashlahah yang sama sekali tidak terdapat kesaksian syara
terhadapnya, baik yang mengakui maupun yang menolaknya dalam bentuk,
macam, ataupun jenis tindakan syara' (nau aw jins tasharufat asy-syari").
Dalam kenyataannya, maslahah bentuk ini hanya ada dalam teori, tetapi tidak
ditemukan contohnya dalam kenyataan kehidupan sehari-hari.
2. Al-Mashiahah al-mula 'imah
Yaitu mashlahah yang meskipun tidak terdapat nash tertentu yang
mengakuinya, tetapi ia sesuai dengan tujuan syara' dalam lingkup yang umum
Mashlahah inilah yang biasa disebut dengan istilah al-mashlahah al-mursalah
C. Sad Al-Zari'ah
Setiap perbuatan yang secara sadar dilakukan oleh seseorang pasti mempunyai tujuan
tertentu yang jelas, tanpa mempersoalkan apakah perbuatan yang dituju itu baik atau buruk,
mendatangkan manfaat atau mudharat. Sebelum sampai pada pelaksanaan perbuatan yang dituju
itu ada serentetan perbuatan yang mendahuluinya yang harus dilalui. Bila seseorang akan
melakukan pembunuhan umpamanya, ia sebelumnya harus melakukan beberapa kegiatan seperti
memiliki senjata untuk membunuh dan mencari kesempatan untuk melakukan pembunuhan itu.
Membunuh merupakan kegiatan pokok yang dituju, sedangkan perbuatan lain yang
mendahuluinya disebut perantara, jalan, atau pendahuluan.
Membunuh tanpa hak adalah perbuatan haram yang harus dijauhi Untuk menjauhi
perbuatan membunuh itu harus menghindarkan perbuatan lain yang dapat mendorong kepada
pembunuhan, umpamanya memiliki senjata. Namun, ketentuan mengenai larangan memiliki
senjata tdk ada dlm syari'at. Dalam hal ini, apakah hukum memiliki senjata itu sama dengan
membunuh yang sudah jelas haramnya Untuk itu, persoalan yang diperbincangkan para ulama
adalah perbuatan pendahuluan yang belum mempunyai dasar hukumnya dan ini disebut oleh ahli
ushul dengan al-dzari'ah.
1. Pengertian Sad Al-dzari'ah
Secara lughawi (bahasa), al-dzari'ah itu berarti jalan yang membawa kepada
sesuatu, secara hissi maupun ma'nawi, baik atau buruk. Arti lughawi ini mengandung
konotasi yang netral tanpa memberikan penilaian kepada hasil perbuatan. Pengertian
netral inilah yang diangkat oleh Ibnu Qayyim ke dalam rumusan definisi tentang dzari'ah,
yaitu apa-apa yang menjadi perantara dan jalan kepada sesuatu. Untuk menempatkannya
dalam bahasan sesuai dengan yang dituju, kata dzari'ah itu di dahului dengan sad yang
artinya menutup, maksudnya adalah menutup jalan terjadinya kerusakan. Sedangkan adz-
dzari'ah merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana (wasilah)
dan sebab terjadinya sesuatu. Bentuk jamak dari al-dzari'ah ( adalah al-dzara'i ). Karena
itulah, dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tangih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya
al-Qarafi, istilah yang digunakan adalah sadd al-dzara.
Jadi, sad al-dzari'ah ialah mencegah suatu perbuatan agar tidak sampai
menimbulkan al-mafsadah (kerusakan), jika ia akan menimbulkan masadah Pencegahan
terhadap mafsadah dilakukan karena ia bersifat terlarang. Sebagai contoh, pada dasarnya,
menjual anggur adalah mubah, karena anggur adalah buah-buahan yang halal dimakan.
Akan tetapi, menjual anggur kepada orang yang akan mengolahnya menjadi minuman
keras menjadi terlarang. Perbuatan
2. Kedudukan Sad al-Dzari'ah
Meskipun hampir semua ulama dan penulis ushul fiqh menyinggung tentang sad
al-dzari'ah, namun amat sedikit yang membalasnya dalam pembahasan khusus secara
tersendiri. Ada yang menempatkan bahasannya dalam deretan dalil-dalil syara' yang tidak
disepakati oleh ulama.Ditempatkannya al-dzari'ah sebagai salah satu dalil dalam
menetapkan hukum meskipun diperselisihkan penggunaannya, mengandung arti bahwa
meskipun syara' tidak menetapkan secara jelas mengenai hukum suatu perbuatan, namun
karena perbuatan itu ditetapkan sebagai washilah bagi suatu perbuatan yang dilarang
secara jelas, maka hal ini menjadi petunjuk atau dalil bahwa hukum washilah itu adalah
sebagaimana hukum yang ditetapkan syara' terhadap perbuatan pokok Masalah ini
menjadi perhatian ulama karem banyak ayat-ayat Al-Qur'an yang mengisyaratkan kearah
itu, umpamanya:
a. Surat Al-An'am 6: 108.
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan. Sebenarnya mencaci dan menghina penyembah
selain Allah itu boleh- boleh saja, bahkan jika perlu boleh memeranginya.
Namun karena perbuatan mencaci dan menghina itu akan menyebabkan
penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah, maka perbuatan mencaci dan
menghina itu menjadi dilarang
b. Surat An-Nuur 24: 31.
Dan janganlah perempuan itu menghentakkan kakinya agar diketahui
orang perhiasan yang tersembunyi didalamnya. Sebenarnya menghentakkan
kaki itu boleh-boleh saja bagi perempuan. namun karena menyebabkan
perhiasannya yang tersembunyi dapat diketahui orang sehingga akan
menimbulkan perhatian bagi yang mendengar, maka hentakan kaki itu
dilarang
Dari dua contoh ayat diatas terlihat adanya larangan bagi perbuatan yang dapat
menyebabkan sesuatu yang terlarang, meskipun pada dasarnya perbuatan itu boleh hukumnya.
Dalam hal ini, dasar pemikiran hukumnya bagi ulama adalah bahwa setiap perbuatan
mengandung dua sisi: (1) sisi yang mendorong untuk berbuat, dan (2) sasaran atau tujuan yang
menjadi natijah (kesimpulan/akibat) dari perbuatan itu. Dengan memandang pada natijah-nya,
perbuatan itu ada dua bentuk:
a. Natijah-nya baik. Maka segala sesuatu yang mengarah kepadanya adalah baik dan
oleh karenanya dituntut untuk mengerjakannya.
b. Natijah-nya buruk. Maka segala sesuatu yang mendorong kepadanya adalah juga
buruk. dan karenanya dilarang.
BABIII
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
1. Istihsan termasuk salah satu metode ijtihat yang diperselisihkan oleh para
ulama, meskipun dalam kenyataannya, semua ulama menggunakannya secara
praktis Pada dasarnya, para ulama menggunakan istihsan dalam arti lughawi
(bahasa), yaitu "berbuat sesuatu yang lebih baik". Tetapi dalam pengertian
istilahnya (yang biasa berlaku), para ulama berbeda pendapat disebabkan oleh
perbedaan dalam memahami dan mendefinisikan "istihsan" itu.
2. Salah satu metode yang dikembangkan ulama usul fiqih dalam
mengistinbatkan hukum dan nash adalah mashlahah al-mursalah, yaitu sesuatu
kemaslahatan yang tidak ada nash juzi (rinci) yang mendukungya, dan tidak
ada pula yang menolaknya dan tidak ada pula ima yang mendukungya, tetapi
kemaslahatan ini didukung oleh sejumlah nash melalui cara istiqra' (induksi
dari sejumah nash).
3. Perbuatan pendahuluan yang belum mempunyai dasar hukumnya disebut
dengan al-dzari'ah. Untuk menempatkannya dalam bahasan sesuai dengan
yang dituju, kata dzari'ah itu di dahului dengan sad (-) yang artinya menutup,
maksudnya adalah menutup jalan terjadinya kerusakan.
B. Saran
Dari makalah yang kami susun, kami sangat menyarangkan agar kiranya
dalam membacanya agar bisa fokus. Karena tidak menutup kemungkinan, dalam
makalah yang sudah kami buat ini terdapat kekurangan-kekurangan. Maka dari
itu, Kami meminta kritik beserta saran yang bersifat membangun. Agar pada
penulisan berikutnya bisa lebih baik lagi. Terimakasih atas perhatiannya.
DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Abd. Rahman. Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2016.


Syafe'i, Rahmat. Ilmu Ushul Fiqih Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Syarifuddin, Amir. Ushul Figh 2. Jakarta: Charisma Putra Utama, 2014.
Zuhri, Saifudin. Ushul Fiqih - Akal Sebagai Sumber Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2011.

Anda mungkin juga menyukai