USHUL FIQIH I
Disusun Oleh:
Kelompok: 13
Puji Syukur kami panjatkan atas kehadiran Tuhan yang Maha Esa, karena
atas berkat rahmat dan karunia-nya lah, makalah ini dapat terselesaikan dengam
baik, tepat pada waktunya. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas USHUL FIQIH I.
Pemakalah
ii
DAFTAR ISI
COVER ................................................................................................................
KATA PENGANTAR ..........................................................................................
DAFTAR ISI ........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................
A. Latar Belakang...........................................................................................
B. Rumusan Masalah .....................................................................................
BAB II PEMBAHASAN .....................................................................................
A. Istihsan ........................................................................................................
B. Maslaha Mursalah .....................................................................................
C. Syar,u Man Qablana ..................................................................................
D. Mazhab Sahabat ........................................................................................
BAB III PENUTUP .............................................................................................
A. Kesimpulan.................................................................................................
B. Saran ...........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................
LAMPIRAN
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Telah ditetapkan bahwa untuk menemukan dan menetapkan hukum fiqh
diluar apa yang dijelaskan dalam nash Al-Qur’an dan hadis, para ahli mengerahkan
segenap kemampuan nalarnya yang disebut ijtihas. Dalam berijtihad, para mujtahid
itu merumuskan cara atau metode yang mereka gunakan dalam berijtihad. Ada
beberapa macam metode ijtihad hasil rumusan mujtahid. Di antaranya ada metode
ijtihad yang merupakan ciri khas (hasil temuan) seorang mujtahid yang berbeda dari
(dan tidak digunakan oleh) mujtahid lainnya. Adanya perbedaan metode ijtihad ini
berimplikasi pada munculnya perbedaan antara hasil ijtihad seorang mujtahid
dengan yang lainnya. Perbedaan metode tersebut ditentukan oleh jenis petunjuk dan
bentuk pertimbangan yang dipakai oleh masing-masing mujahid dalam berijtihad.
Dalam buku ini pembahasan tentang metode ijtihad itu tidak di masukkan
dalam kelompok pembahasan tentang “dalil”. Dalam hal ini al-Ghazali menyebut
metode ijtihad itu dengan: ” Apa yang dikira dalil, namun tidak termasuk dalil. ”Al-
Amidi juga mengatakan demikian. Karena itu, disebut dengan metode ijtihad,
bukan dalil, sebab sebgaimanapun apa yang ditempuh ulama dalam hal ini
menghasilkan rumusan hukum yang diperoleh melalui pengarahan daya nalar,
dengan menggunakan cara tertentu. Walaupun dalam pembahasan ini juga terdapat
hal yang disebut sebagai “apa yang dikira dalil”, karena dalam berijtihad, ulama
berpedoman kepada hal tersebut. Dalam hal ini akan diuraikan tentang beberapa
metode ijtihad, yaitu: Mashlahah Mursalah, Istishan, Syar’u man Qablana,
Mazhab shahabi.
B. Rumusan Masalah
Beberapa rumusan masalah mengenai pembahasan dalam makalah ini sebagai
berikut:
1. Bagaimanan deskripsi Istihsan, apa saja pembagian Istihsan, bagaimanan
pendapat ulama yang berhujjah dengan Istihsan?
1
2. Apa pengertian Mashlaha Mursalah apa saja macam-macam Mashlahah
Mursalah dan bagaimana kehujjahan Mashlahah Mursalah?
3. Apa pengertian Syar’u Man Qablana, apa saja pembagian Syar’u Man
Qablana, bagaimana kehujjahan Syar’u Man Qablana?
4. Apa pengertian mazhab sahabat, dan bagaimanna pendapat para ulama
mengenai mazhab sahabat?
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Istihsan
1
االستحسان لغة عد الشيء حسنا
“memperhitungkan sesuatu lebih baik”, atau “adanya sesuatu itu lebih baik”, atau
“mengikuti sesuatu yang lebih baik”, atau “mencari yang lebih baik umtuk diikuti.
Contohnya adalah Allah melarang jual beli benda yang tidak ada dan
menggandakan akad terhadap sesuatu yang tidak ada, namun dia memberikan
kemurahan secara istihsan pada salam (pemesanan), sewa, menyewa, muzara’ah
dan lain sebagainya. Semua contoh itu adalah akad, sedangkan sesuatu yang
diakadkan tidak ada pada waktu akad berlangsung. Segi istihsannya adalah
kebutuhan manusia dan kebiasaan mereka.3
1
Abdullah Rofi’i, Mulyono Jamal, dkk. “Ushul Fiqh”, ( Jawa Timur : Darussalam Press 2011) hlm
65
2
Amir Syarifuddin, “Ushul Fiqh Jilid 2”, (Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), hlm 305
3
Eril, Fadli, dkk.”Metode Ahlu Ra’yi dan Ahlu Hadis dalam Menetapkan Hukum”, Journal:
Business and Notary (ELJBN), Vol 1 No.3 (2023), hlm 47
3
Dasar istihsan dalam Al-Qur’an adalah firman Allah SWT dalam surah Az-
Zumar (39) ayat 18 yang berbunyi:
1. Ditinjau dari segi dalil yang digunakan pada saat beralih dari qiyas, istihsan
ada tiga macam:
a. Beralih dari segi apa yang dituntut oleh qiyas-dhahir (qiyas-jali) kepada
yang dikehendaki oleh qiyas-khafi. Dalam hal ini mujtihad tidak
menggunakan qiyas dhahir dalam menetapkan hukumnya, tetapi
menggunakan qiyas khafi, karena menurut perhitungannya cara itulah
yang paling kuat (tepat).
Umpamanya dalam hal kasus mewakafkan tanah yang di dalamnya
terdapat jalan dan sumber air minum. Apakah dengan semata mewakafkan
tanah sudah meliputi jalan dan sumber air minum itu atau tidak. Kalau si
mujtihad menggunakan pendekatan qiyas yang biasa, maka dengan hanya
mewakafkan tanah tidak otomatis termasuk jalan dan sumber air tersebut,
sebagaimana berlaku dalam transaksi jual beli. Segi kesamaan antara
waqaf dan jual beli dalam hal ini adalah sama-sama melepaskan pemilikan
atas tanah. Pendekatan seperti ini disebut qiyas-jali atau qiyas-dhahir.
Namun si mujtahid dalam kasus tersebut beralih dari qiyas jali dengan
penempuh pendekatan lain yaitu menyamakannya dengan transaksi sewa
menyewa sehingga menghasilkan kesimpulan hukum yang lain, yaitu
termasuknya jalan dan sumber air ke dalam tanah yang diwakafkan,
4
Abdul Aziz Abdul Rauf, Bandung: Cordoba, (2017) Juz: 23, hlm 458
4
meskipun tidak disebutkan dalam akad wakaf. Pendekatan seperti ini juga
menggunakan qiyas, namun dari segi kekuatan ‘illatnya dianggap agak
lemah, sehingga dinamakan qiyas khafi (qiyas yang samar). Meskipun
demikian, si mujtahid lebih cenderung menempuh cara ini karena
pengaruhnya dalam mewujudkan kemudahan lebih tinggi. Pendekatan
seperti ini disebut istihsan atau lengkapnya disebut istihsan qiyas.
b. Beralih apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hukum yang
bersifat khusus. Jadi, meskipun ada dalil umum yang dapat digunakan
dalam menetapkan hukum suatu masalah, namun dalam keadaan tertentu
dalil umum tidak digunakan, dan sebagai ganti-nya dalil khusus.
Umpamanya penerapan sanksi hukum terhadap pencuri. Menurut
ketentuan umum berdasarkan dalil umum dalam nash Al-Qur’an,
sanksinya adalah potong tangan, sebagaimana firman Allah dalam surat
Al-Maidah (5): 37
5
kebajikan dengan hartanya (tabarru’). Berdasarkan pendekatan istihsan,
ketentuan ini dikecualikan bila wakaf itu dilakukan terhadap dirinya
sendiri. Meskipun ia tidak memiliki wewenang berbuat kebajikan dengan
hartanya, namun dengan melakukan wakaf bagi dirinya sendiri, ia dapat
menyelamatkan hartanya sesuai dengan tujuan adanya perwalian yang
haikikatnya adalah melindungi harta yag orang dalam perwalian.
2. Ditinjau dari segi sandaran atau yang menjadi dasar dalam peralihan untuk
menempuh cara istihsan oleh mujtahid, yaitu:
a. Istihsan yang sandarannya adalah qiyas khafi. Dalam hal ini si mujtahid
meninggalkan qiyas yang pertama karena ia menemukan bentuk qiyas yang
lain, meskipun qiyas yang lain itu dari satu segi memiliki kelemahan,
namun dari segi pengaruhnya terhadap kemaslahatan lebih tinggi. Cara
seperti ini oleh si mujtahid dinilai sebagai cara terbaik dalam menentukan
hukum. Dengan demikian, menggunakan istihsan berarti berdalil dengan
qiyas khafi. Istihsan seperti ini disebut istihsan qiyas.
b. Istihsan yang sandarannya adalah nash. Dalam hal ini si mujtahid dalam
menetapkan hukum tidak jadi menggunakan qiyas atau cara biasa karna ada
nash yang mnenuntunnya. Umpamanya dalam masalah jual beli salam
(pesanan atau inden). Pada saat berlangsung transaksi jual beli, barang yang
diperjual belikan itu belom ada. Berdasarkan ketentuan umum dan menjadi
sandaran qiyas menurut biasanya transaksi seperti itu tidak boleh dan tidak
sah, karena tidak terpenuhnya salah satu persyaratan jual beli berupa
tersedianya barang yang diperjual belikan pada saat berlangsung transaksi.
Namun cara begini tidak dipakai karena telah ada nash yang mengaturnya,
yaitu hadits Nabi yang melarang melakukan jual beli terhadap sesuatu
barang yang tidak ada di tempat kecuali pada jual beli salam (pesanan).
c. Istihsan yang sandarannya adalah ‘uruf (adat). Dalam hal ini si mujtahid
tidak menggunakan cara-cara biasa yang bersifat umum tetapi
menggunakan cara lain dengan dasar pertimbangan atau sandaran kepada
kebiasaan yang telah umum berlaku dalam suatu keadaan. Istihsan dalam
bentuk ini disebut istihsan al-‘urf.
6
d. Istihsan yang sandarannya adalah dharurat. Dalam hal ini mujtahid tidak
menggunakan dalil yang secara umum harus diikuti karena adanya keadaan
darurat menghendaki pengecualian. Istihsan dalam bentuk ini disebut
istihsan al-dharurah.
3. Menurut Syatibi, di kalangan mazhab Maliki dikenal pula istihsan yang
prakteknya dinamai dengan istihlah (akan diuraikan tersendiri), ada tiga
macam yaitu:
a. Meninggalkan dalil yang biasa digunakan untuk beramal dengan ‘urf
(kebiasaan). Umpamanya ucapan yang berlaku dalam sumpah. Bila
seseorang dalam sumpahnya menyebutkan tidak akan memakan daging,
tetapi ternyata kemudian ia memakan ikan, maka ia dinyatakan tidak
melanggar sumpah meskipun ikan itu dalam bahasa Al-Qur’an termasuk
dalam daging. Alasannya karena dalam ‘urf (kebiasaan) yang berlaku
dalam ucapan sehari-hari, ikan itu bukan (tidak termasuk) daging.
b. Meninggalkan dalil yang biasa digunakan, dan untuk selanjutnya beramal
dengan cara yang lain karena didorong oleh pertimbangan kemaslahatan
manusia. Umpamanya tanggung jawab mitra dari tukang yang membantu
memperbaiki suatu barang bila barang yang diperbaikinya itu rusak di
tangannya. Berdasarkan pendekatan qiyas, ia tidak perlu mengganti, karena
kerusakan barang itu terjadi waktu ia membantu bekerja. Namun
berdasarkan pendekatan istihsan cara seperti ini ditinggalkan dan ia harus
mengganti barang tersebut demi terwujudnya kemaslahatan yaitu
memelihara dan menjamin harta orang lain.
c. Meninggalkan dalil yang biasa dilakukan untuk menghindarkan kesulitan
dan memberikan kemudahan kepada umat. Umpamanya adanya sedikit
kelebihan dalam menakar sesuatu dalam ukuran yang banyak. Tindakan ini
dibenarkan meskipun menurut ketentuan yang berlaku, kalau menakar itu
harus tepat (pas) sesuai standar takaran yang berlaku.5
5
Ibid, hlm 131-134
7
Argumentasi masing-masing mazhab:
ِ ِ ِ
ُ َواتَّبَعُ ْوآ أَ ْح َس َن َمآ أُنْ ِزَل إِلَْي ُك ْم م ْن َّربِ ُك ْم م ْن قَ ْب ِل أَ ْن َيْتْي ُك ُم الْ َع َذ
اب بَ ْغتَة َوأَنْتُ ْم الَ تَ ْشعُ ُرو َن
Dan ikutilah sebaik-baik apa apa yang telah di turunkan kepadamu dari
tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak
menyadarinya.
8
فَ َم َارآهُ الْ ُم ْسلِ ُم ْو َن َح َسنا فَ ُه َو عِْن َدللاِ َح َسن
Sesuatu yang di pandang baik oleh kaum muslimin, maka ia di pandang baik
oleh allah.
ِ َّي لِلن
اس َما نُ ِزَل إِلَْي ِه ْم َولَ َعلَّ ُه ْم يَتَ َف َّك ُرْو َن ِ ِ ت والْزب ِر وأَنْزلْنآ إِلَي
َ ْ َ َ َ ُُ َ ِ َِبلْبَ يِن
َ َِك الذ ْكَر لتُب
Dan kami turunkan kepadamu Al-qur’an, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah di turunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan.
c. Rasulullah tidak pernah menetapkan hukum berdasarkan istihsan yang
dasarnya adalah nalar murni, melainkan menunggu turunnya wahyu. Sebab
tidak pernah berbicara berdasarkan hawa nafsu belaka.
d. Istihsan itu landasannya adalah sama. Jika menggunakan istihsan di benarkan,
tentu setiap orang boleh menetapkan hukum baru untuk kepentingan dirinya.
Dari argumen yang digunakan kedua kelompok ulama di atas, dapat
dikatakan, pada hakikatnya istihsan dengan segala bentuknya adalah mengalihkan
ketentuan hukum syara’dari yang berdasarkan suatu dalil syara’ kepada hukum lain
yang di dasarkan kepada dalil syara’ yang lebih kuat. Karena prinsip ini yang
menjadi substansi istihsan, maka pada hakikatnya, tidak ada seorang ulamapun
yang menolak keberadaan istihsan sebagai dalil syara’.6
6
Abd. Rahman Dahlan, “Ushul Fiqih” (Jakarta : Amzah, 2013), hlm 203-206
9
B. Maslahah Mursalah
Mashlahah ( )مصلحةberasal dari kata shalaha ( )صلحdengan penambahan
“alif” diawalnya yang secara arti kata berarti “baik” lawan dari kata “buruk” atau
“rusak”. Ia adalah mashdar dengan arti kata shalah ( )صالحyaitu “manfaat” atau
terlepas dari pada kerusakan.
Pengertian mashlahah dalam bahasa Arab berarti “perbuatan-perbuatan
yang mendorong kepada kebaikan manusia”. Dalam artinya yang umum adalah
setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dari arti menarik atau
menghasilkan seperti keuntungan atau kesenangan, atau dalam arti menolak atau
menghindarkan seperti menolak kemudharatan atau kerusakan. Dengan begitu
mashlahah mengandung dua sisi yaitu menarik atau mendatangkan kemaslahatan
dan menolak atau menghindarkan kemudharatan.
Dalam mengartikan mashlahah secara definitif terdapat perbedaan rumusan
di kalangan ulama yang dianalisa hakikatnya adalah sama.
1. Al-Ghazali menjelaskan bahwa menurut asalnya mashlahah itu berarti sesuatu
yang mendatangkan manfaat (keuntungan) dan menjauhkan mudharat
(kerusakan), namun hakikat dari mashlahah adalah:
10
3. Al-lez ibn Abdi al-Salam dalam kitabnya, Qawai’d al-Ahkam, memberikan
arti mashlahah dalam bentuk hakikatnya dengan “kesenangan dan
kenikmatan”. Arti ini di dasarkan bahwa pada prinsipnya ada empat bentuk
manfaat, yaitu: kelezatan dan sebab-sebabnya serta kesenangan dan sebab-
sebabnya.
4. Al-Syatibi mengartikan mashlahah itu dari dua pandangan, yaitu dari segi
terjadinya mashlahah dalam kenyataan dan dari segi tergantungnya tuntutan
syara’ kepada mashlahah.
a. Dari segi terjadinya mashlahah dalam kenyataan, berarti:
11
Dari kesimpulan tersebut terlihat adanya perbedaan antara mashlahah
dalam pengertian bahasa (umum) dengan mashlahah dalam pengertian hukum atau
syara’. Perbedaanya terlihat dari segi tujuan syara’ yang dijadikan rujukan.
Mashlahah dalam pengertian bahasa merujuk pada tujuan pemenuhan kebutuhan
manusia. Sedangkan pada mashlahah dalam artian syara’ yang menjadi titik
bahasan dalam ushul fiqh, yang selalu menjadi ukuran dan rujukannya adalah
tujuan syara’ yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda, yaitu
mendapatkan kesenangan dan menghindarkan ketidaksenangan.7
7
Amir Syarifuddin, “Ushul Fiqhi jilid 2”, (Jakarta : Kencana, 2011), hlm 345-347
12
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa mashlahah mursalah tidak sah
menjadi landasan hukum dalam bidang ibadah, karena bidang ibadah harus
diamalkan sebagaimana adanya diwariskan oleh Rasulullah, dan oleh karena itu
bidang ibadah tidak berkembang.
8
Satria Effendi, “Ushul Fiqh”, ( Jakarta : Kencana, 2017), hlm 136-137
13
di kalangan syah dan terakhir adalah ijma’ para khulafa’ ar-rasyidin. Dalam
pandangan Al-Thufi, maslahah mursalah adalah menjaga maksud-maksud syariat
dengan menghilangkan kerusakan pada manusia. Hal ini disebabkan Allah
mengutus pada rasul semata mata untuk kemashlahatan para hambanya untuk
mengamalkan sesuai yang ditetapkan
Menurut Al-Thufi, ke 19 dalil tersebut telah dikuatkan oleh nash dan ijma’
yang keduanya itu terkadang sesuai dengan nilai kemashlahatan atau tidak. Maka
jika keduanya tidak betentangan dengan nilai kemashlahatan maka sebenarnya
ketiga dalil tersebut, yakni nash, ijma’ dan penerapan mashlahah sudah sesuai
dengan hadis Nabi sebagaimana disebutkan sebelumnya. Namun jika ternyata nash
dan ijma’ bertentangan dengan nilai mashlahah, maka harus mendahulukan
mashlahah dengan jalan takhsish dan bayan, bukan dengan jalan menggantikan
kedudukannya, sebagaimana adanya sunnah dalam menjadi bayan terhadap Al-
Quran. Pandangan Al-Thufi ini menunjukkan bahwa kemashlahatan yang
terkandung dalam konsep mashlahah mursalah, secara subtansial bisa dijadikan
rujukan utama, namun tetap dalam batasan takhsish dan bayan pandangan Al-Thufi
ini cukup berbeda dengan pandangan pakar lain yang mengatakan bahwa
mashlahah mursalah dapat diterapkan hanya jika tidak bertentangan dengan nash
yang ada.
9
Moh.Usman,”Mashlahah Mursalah Sebagai Metode Istinbath Hukum Perspektif Al-Thufi Dan Al-
Qardhawi”, Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Islam, Vol 8 N0.1 (2020), hlm 92-94
14
Mashlahah Mursalah sebagai Metode Ijtihad
Di samping itu ulama dan penulis ushul fiqh pun berbeda pandangan dalam
menukilkan pendapat mazhab. Imam Malik beserta penganut mazhab Maliki
adalah kelompok yang secara jelas menggunakan mashlaha mursalah sebagai
metode ijtihad. Selain digunakan oleh penganut mazhab ini, mashlahah mursalah
juga dugunakan oleh kalangan ulama non-Maliki sebagaimana diutarakan oleh al-
Syatibi dalam kitab al-‘Itisham. Juga digunakan oleh kalangan ulama non-Maliki
seperti diutarakan oleh Ibnu Qudamah, al-Razi, al-Ghazali dalam kitabnya.
15
dalam bahasaan tentang persyaratan al-‘illah, dia sendiri menggunakan istilah al-
mursal sebagai pengganti istilah mashlahah mursalah.
Namun ada pula ulama yang beranggapan bahwa mashlahah mursalah ini
berlaku dikalangan ulama Syafi’i. Al-Syatibi dari kalangan Maliki menukilkan
tentang digunakannya metode ini oleh ulama Syafi’i. Bahkan al-Ghazali sendiri
sebagai pengikut Syafi’i ada menukilkan satu versi pendapat yang mengatakan
bahwa Imam Syafi’i yang menggunakan mashlahah mursalah tersebut. Ibnu
Qudamah dari ulama Hanbali juga menukilkan digunakannya mashlahah mursalah
oleh sebagian ulama Syafi’iyah.
Al-Ghazali sebagai pengikut Imam Syafi’i secara tegas dalam dua kitabnya
(al-Madkul dan al-Mushtasfa) menyatakan bahwa ia menerima penggunaan
mashlahah mursalah dengan syarat bahwa mashlahah mursalah itu bersifat
dharuri (menyangkut kebutuhan pokok dalam kehidupan), Qath’i (pasti) dan kulli
(menyeluruh) secara kumulatif. Ibny Subki dan al-Razi membenarkan pendapat al-
Ghazali seperti itu.
16
1. Mashlahah mursalah itu adalah mashlahah yang hakiki dan bersifat umum,
dalam arti dapat diterima oleh akal sehat bahwa ia betul-betul mendatangkan
manfaat bagi manusia dan menghindarkan mudarat dari manusia secara utuh.
2. Yang dinilai akal sehat sebagai suatu mashlahah yang hakiki betul-betul telah
sejalan dengan maksud dan tujuan syara’ dalam menetapkan setiap hukum,
yaitu mewujudkan kemashlahatan bagi umat manusia.
3. Yang dinilai akal sehat sebagai suatu mashlahah yang hakiki dan telah sejalan
dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum itu tidak berbenturan dengan
dalil syara’ yang telah ada, baik dalam bentuk nash AL-Qur’an dan Sunnah,
maupun ijma’ ulama terdahulu .
4. Mashlahah mursalah itu diamalkan dalam kondisi yang memerlukan, yang
seandainya masalahnya tidak diselesaikan dengan cara ini, maka umat akan
berada dalam kesempitan hidup, dengan arti harus ditempuh untuk
menghindarkan umat dari kesulitan.
1. Adanya takrir (pengakuan) Nabi atas penjelasan Mu’adz ibn Jabal yang akan
menggunakan ijtihad bi al-ra’yi bila tidah menemukan ayat Al-Qur’an dan
sunah Nabi untuk menyelesaikan sebuah kasus hukum. Penggunaan ijtihad ini
mengacu pada penggunaan daya nalar atau suatu yang dianggap mashlahah.
Nabi sendiri waktu itu tidak membebaninya untuk mencari dukungan nash.
2. Adanya amaliah dan praktik yang begitu meluas di kalangan sahabat Nabi
tentang penggunaan mashlahah mursalah sebagai suatu keadaan yang sudah
diterima bersama oleh para sahabat tanpa saling menyalahkan. Umpamanya:
pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah yang dilakukan oleh sahabat-sahabat
Nabi; pembentukan dewan-dewan dan pencetakan mata uang dimasa Umar ibn
Khattab; penyatuan cara baca Al-Qur’an (qiraat) pada masa Usman, dan
lainnya. Bahkan banyak terlihat mashlahah yang digunakan para sahabat itu
berlainan (membentur) dalil nash yang ada, seperti memerangi orang yang
tidak mau berzakat pada waktu Abu Bakar; keputusan tidak memberikan hak
17
zakat untuk mualaf pada masa Umar; dan diberlakukannya azan dua kali pada
waktu Utsman ibn Affan.
3. Suatu mashlahah bila telah nyata kemashlahatannya dan telah sejalan dengan
maksud Pembuat Hukum (Syari’), maka menggunakan mashlahah tersebut
berarti telah memenuhi tujuan syar’i, meskipun tidak ada dalil khusus yang
mendukungnnya. Sebaliknya bila tidak digunakan untuk menetapkan suatu
kemashlahatan dalam kebijakansanaan hukum akan berarti melalaikan tujuan
yang dimaksud oleh Syari’ ( Pembuat Hukum). Melalaikan yujuan Syari’
adalah suatu perbuatan yang batal. Karena itu dalam menggunakan mashlahah
itu sendiri tidak keluar dari prinsip-prinsip syara’, bahkan telah sejalan dengan
prinsip-prinsip syara’.
4. Bila dalam keadaan tertentu untuk menetapkan hukum tidak boleh
menggunakan metode mashlahah mursalah, maka akan menempatkan umat
dalam kesulitan. Padahal Allah sendiri menghendaki kemudahan untuk hamba-
Nya dan menjauhkan kesulitan, seperti ditegaskan dalam surat al-Baqarah (2);
185 dan Nabi pun menghendaki umatnya menempuh cara yang lebih mudah
dalam kehidupannya.
1. Bila suatu mashlahah ada pentunjuk syar’i yang membenarkannya atau yang
disebut mu’tabarah, maka ia telah termasuk dalam umumnya qiyas.
Seandainya tidak ada petunjuk syara’ yang membenarkannya, maka ia tidak
mungkin disebut sebagai suatu mashlahah. Mengamalkan sesuatu yang diluar
petunjuk syara’ berarti mengakui akan kurang lengkapnya Al-Qur’an maupun
Sunnah Nabi. Hal ini juga berarti tidak mengakui kesempurnaan risalah Nabi.
Padahal Al-Qur’an dan Sunnah itu telah sempurna dan meliputi semua hal.
2. Beramal dengan mashlahah yang tidak mendapat pengakuan tersendiri dari
nash akan membawa kepada pengamalan hukum yang berlandasan pada
sekehendak hati dan menuruti hawa nafsu. Cara seperti ini tidaklah lazim
dalam prinsip-prinsip islami. Keberatan al-Ghazali untuk menggunakan
18
Istihsan dan Mashlahah mursalah sebenarnya karena tidak ingin melaksanakan
hukum secara seenaknya (talazzuz) dan beliau menetapkan syarat yang berat
untuk penetapan hukum.
3. Menggunakan mashlahah dalam ijtihad tanpa berpegangan pada nash akan
mengakibatkan munculnya sikap bebas dalam menetapkan hukum yang dapat
mengakibatkan seseorang teraniaya atas nama hukum. Hal yang demikian
menyalahi prinsip penetapan hukum dalam Islam, yaitu ‘tidak boleh merusak,
juga tidak ada yang dirusak’.
4. Seandainya dibolehkan berijtihad dengan mashlahah yang tidak mendapat
dukungan dari nash, maka akan memberi kemungkinan untuk berubahnya
hukum syara’ karena alasan berubahnya waktu dan berlainanya tempat
berlakunya hukum syara’, juga karena berlainan antara seseorang dengan
orang lain. Dalam keadaan demikian, tidak akan ada kepastian hukum. Hal ini
tidak sejalan dengan prinsip hukum syara’ yang universal dan lestari serta
meliputi semua umat Islam.10
C. Syar’u Man Qablana
Syar’u man qablana ialah syariat umat Islam. Para ahli Ushul Fiqh
mengkaji syariat sebelum islam dalam kaitannya dengan penerapan syariat tersebut
bagi umat islam. Dalam penelitian mereka, didapati bagian-bagian dari syariat
sebelum islam yang telah dibatalkan oleh syariat islam, sementara ada pula yang
masih tetap boleh diberlakukan karena adanya dalil yang menyertai, seperti
pensyariatan puasa masih tetap diberlakukan dalam islam.
10
Amir Syarifuddin, Op.Cit, hlm 357
19
Syafi’i dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal bahwa syariat sebelum
Islam tidak berlaku bagi umat Islam.11
Syar’u man qablana adalah syariat yang dibawa para Rasul dahulu, sebelum
diutusnya Nabi Muhammad yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka diutus
kepadanya, seperti syari’at Nabi Ibrahim, syariat Nabi Musa, syariat Nabi Daud,
Syariat Nabi Isa, dan sebagainya,
Para ahli Ushul Fiqh membahas persoalan syariat sebelum Islam dalam
kaitannya dengan syariat Islam, apakah hukum-hukum yang ada bagi umat sebelum
Islam menjadi hukum bagi umat Islam. Para ulama Ushul Fiqh sepakat menyatakan
bahwa seluruh syariat yang diturunkan Allah sebelum Islam melalui para Rasulnya
dibatalkan secara umum oleh syariat Islam. Mereka juga sepakat mengatakan
bahwa pembatalan syariat-syariat sebelum islam itu tidak secara menyeluruh dan
rinci, masih banyak hukum-hukum syariat sebelum Islam yang masih berlaku
dalam syariat Islam, seperti beriman kepada Allah, Hukuman bagi orang yang
melakukan zina, hukuman qishash, hukuman bagi tindak pidana pencurian.
20
Dengan demikian, syar’u man qablana adalah hukum-hukum Allah yang
dibawah oleh para Nabi atau Rasul sebelum Nabi Muhammad. Dan berlaku untuk
umat mereka pada zaman itu.
صْي نَا بِِه إِبْ َر ِاهْي َم َوُم ْو َسى َوعِ َسى أَ ْن ِ
َ صى بِِه نُوحا َوالَّذي أ َْو َحْي نَا إِلَْي
َّ ك َو ِ َشرع لَ ُكم ِمن
َّ الديْ ِن َما َو َ ْ ََ
الديْ َن َوالَ تَتَ َفَّرقُ ْوا فِْي ِه
ِ أَقِيموا
ُْ
Dia (Allah) telah menerangkan kepadamu sebagian (urusan) agama, apa yang ia
wajibkan kepada nuh yang kami wajibkan kepadamu dan apa yang kami wajibkan
kepada Ibrahim, Musa dan Isa. (yaitu) hendaklah (urusan) agama itu dan
janganlah kamu cerai berai padanya (QS.Asy-Syura (42): 13)
Di antara asas yang sama itu ialah yang berhubungan dengan konsepsi
kehutahanan, tentang hari kiamat, tentang qada dan qadar, tentang janji dan
ancaman Allah dan sebagainya. Mengenai perinciannya atau detailnya ada yang
sama dan ada yang berbeda, hal ini disesuaikan dengan keadaan, masa dan tempat.
Sesuai dengan ayat dalam Al-Quran Surah Asy-syura ayat 13 diatas, kemudian
dihubungkan antara syariat Nabi Muhammad dengan syariat umat-umat sebelum
kita, ada tiga macam bentuknya, yaitu:
1. Syariat yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita tetapi Qur’an
dan Hadis tidak menyinggungnya, baik membatalkannya atau menyatakan
berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad. Untuk bentuk pertama ini, ada ulama
yang menjadikannya sebagai dasar hujjah, selama tidak bertentangan dengan
syariat Nabi Muhammad.
21
2. Syariat yang diperuntukkan bagi umat-umat sebelum kita, kemudian
dinyatakan tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad. Para ulama tidak
menjadikan bentuk kedua ini sebagai dasar hujjah
3. Syariat yang diperuntukkan bagi umat-umat sebelum kita, kemudia Qur’an dan
Hadis menerangkannya kepada kita.
Para ulama berbeda pendapat tentang bentuk ketiga ini. Sebagian ulama
Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian ulama Syafi’iyah dan sebagian
ulama Hanabilah berpendapat bahwa syariat itu berlaku pula bagi umat nabi
muhammad.
الر ُس ْو ُل َعلَْي ُك ْم َش ِهْيدا ِ ك َج َعلْنَا ُك ْم أ َُّمة َو َسطا لِتَ ُك ْونُ ْوا ُش َه َداءَ َعلَى الن
َّ َّاس َويَ ُك ْو َن ِ
َ َوَك َذل
ِ ِ ِ ِ َّ وما جعلْنا الْ ِقب لَة الََّت ُكنت علَي ها إِالَّ لِن علَم من ي تَّبع
ْ َب َع َل َعقبَ ْيه َوإِ ْن َكان
ت ُ الر ُس ْوَل ِم َّْن يَْن َقل َُ َ ْ َ َ َْ َ ْ َ َ ْ َْ َ ْ َ َ َ َ َ
َّاس لََرءُوف َرِحيم َّ يع إِمياَنَ ُك ْم إِ َّن ِ ِ َّ اّلل وما َكا َن ِ
ِ اّللَ ِب لن َ اّللُ ليُض َ َ َُّ لَ َكبِريَة إِالَّ َعلَى الَّذيْ َن َه َدى
Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu umat yang pertengahan
(adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan
Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) mu. Dan kami tidak
menjadikan kiblat yang engkau menghadap kepadanya (Baitul Maqdis),
melainkan agar kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang
berbalik atas kedua tumitnya (membelot). Dan sungguh (perpindahan kiblat)
22
itu merasa berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh
Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah
maha pengasih lagi maha penyayang kepada manusia. (QS. Al-Baqarah (2):
143).
1. Ajaran agama yang telah dihapuskan oleh syari’at kita (dimansukh). Contoh:
Pada syariat Nabi Musa as. Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali
dipotong apa yang terkena najis itu
2. Ajaran yang ditetapkan oleh syari’at kita. Contoh: Perintah menjalankan puasa.
a. Yang diberitakan kepada kita baik melalui Al-qur’an atau as-Sunah, tetapi
tidak tegas diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada umat
sebelum kita.
Pendapat ulama dalam masalah kehujjahan syar’u man qablana, ada dua
pendapat dalam hal in:
1. Bahwa syar’u man qablana adalah syariat kita, ulama sepakat mereka itu para
(ulama-ulama malikiyah).
23
merdeka dengan laki-laki merdeka pula. Dengan dalil ini imam Malikiyah
memandang bahwa ke Masyru’iatan syar’u manqablana dalam kisah ini,
padahal ayat ini ditunjukkan kepada Bani Israil (syariat musa) di dalam taurat.
Dalam kisah Suaib dengan Nabi Musa (QS.Al-Qashash:27) suaib
berkata:”sesungguhnya aku bermaksud untuk menikahkan kamu dengan salah
seorang dari kedua anak perempuanku ini, (dengan syarat) bahwa kamu
bekerja kepadaku (selama) delapan tahun, maka jika kamu sempurnakan
sepuluh (tahun) maka itu atas kemauanmu.
D. Mazhab Sahabat
Sahabat dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai kawan, teman, dan
handai. Dalam kamus Al-Munjadid, (bahasa arab) diartikan sebagai sahabat-
sahabat Nabi yang muslim yang melihat Nabi serta persahabat merka panjang. Dari
pengertian secara etimologis tersebut sahabat nampaknya sudah diartikan sebagai
istilah teknis sebagai sahabat Nabi Muhammad Saw. sahabat digunakan secara
umum (sepadan dengan tim sahabat dalam bahsa Indonesia) digunakan istilah
(bahasa arab) yan bentuk jamaknya adalah (bahsa arab).
12
Amrullah Hayatudin, “Ushul Fiqh; Jalan Tengah Memahani Hukum Islam”, (Jakarta : Amzah,
2019), hlm 96-99
24
menurut jumhur ahli hadis adalah orang islam yang pernah bergaus atau melihat
Nabi, dan meninggal dalam keadaan islam. Menurut Aljjaj Al-Khatib dalam
karyanya ushul al-Hadis sahabat adalah setiap orang muslim yang hidup bergaul
bersama rasulullah dalam waktu yang cukup lama serta menimba ilmu dari
Rasulullah. Yang dikatakan sahabat adalah orang yang menemui masa Nabi,
walaupun dia tidak melihat Nabi dan memeluk islam semasa Nabi masih idup.
Sahabat adalah setiap orang yang duduk semajlis dengan Nabi SAW
meskipun hanya sekali waktu saja, medengar sabda Nabi meskipun hanya satu kata,
atau menyaksikan sebuah perkara dari Nabi SAW serta tidak menjadi munafik
sampai dia wafat.13
Permasalahan yang dibahas dalam Ushul fiqh dalam kaitan ini adalah
apakah fatwa-fatwa mereka itu harus diikuti para mujtahid setelah Al-Qur’an,
Sunnah, dan Ijma dalam menetapkan hukum atau tidak.
Dalam hal ini, Abdul Karim Zaidan membagi pendapat sahabat kedalam
empat kategori sebagai berikut:
Mursyid,”Para Mujtahid Pada Era Sahabat Dalam Kaitan Mazhab Shahabi”, Jurnal Ilmu-Ilmu
13
25
1. Fatwa sahabat yang bukan merupakan hasil ijthad. Misalnya, fatwa Ibnu
Mas’ud bahwa batas minimal waktu haid tiga hari, batas minimal mas kawin
sebanyak sepuluh dirham. Fartwa seperti ini bukan merupakan hasil ijtihad
sahabat dan besar kemungkinan hal itu mereka terima dari Rasulullah. Oleh
karena itu, fatwa semacam ini disepakati menjadi landasan hukum bagi
generasi sesudahnya.
2. Fatwa sahabat yang disepakati secara tugas dikalangan mereka dikenal dengan
ijma’ sahabat. Fatwa seperti ini menjadi pegangan bagi generasi sesudahnya.
3. Fatwa sahabat secara perorangan yang tidak mengikuti sahbat yang lain. Para
mujtahid dikalangan sahabat memang sering berbeda pendapat dalam satu
masalah namun dalam hal ini fatwa seorang sahabat tidak mengikat (diikuti)
sahabat yang lain.
4. Fatwa sahabat secara perorangan yang didasarkan oleh ra’yu dan ijtihad.
Kedua, menurut salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal,
Mu’tazilah, dan kalangan Syi’ah, bahwa fatwa sahabat tidak mengikat generasi
sesudahnya.
26
oleh karena itu, fatwa-fatwa mereka lebih dapat dipercaya sehingga harus
dijadikan tujukan.
b. Menurut Anas bin Malik, batas minimal waktu haid seorang wanita adalah
tiga hari.
c. Menurut Ummar bin Khatab, lelaki yang menikahi seorang wanita yang
sedang dalam iddah harus dipisahkan dan diharamkan baginya menikahinya
untuk selamanya.14
1. Pendapat sahabat yang berada diluar lingkup ijtihad (masalah ta’abbudi atau
hal lain yang secara quath’i berasal sari nabi), meskipun secara terang tidak
disebutkan berasal dari Nabi dapat menjadi hujjah. Bila terdapat dua pendapat
atau lebih yang berbeda dalam bentuk ini, maka diselesaikan dengan cara atau
metode yang ladzim (berlaku).
2. Pendapat sahabat dalam lingkup ijtihad dan bukan dalam bentuk tawfiq,
tentang kehujjahannya tergantung untuk siapa pendapat sahabat itu
diberlakukan. Para ulama sepakat bahwa pendapat sahabat dalam bentuk ini
tidak menjadi hujjah untuk sesama sahabat lainnya, baik ia seorang imam,
hakim atau mufti. Kesepakatan ulama ini dikutip oleh kebanyakan ali Ushul,
14
Satria Effendi, Op.Cit, hlm 154
27
diantaranya oleh al-Amidi. Juga dikutip oleh dua pakar Ushul fiqh, yaitu Ibn
Subki dan al-Asnawi, yang mengajukan argumentasi sebagai berikut:
a. Bila sahabat yang lain itu adalah mujahid, maka pendapat seorang sahabat
tidak dapat diberlakukan bagi sahabat lainnya itu, karena seorang mujahid
itu tidak boleh ber-taqlid kepada yang sesama sahabat lainnya. Kalau
sahabat lain itu bukan mujtahid, tentu ia menjadi muqallid (ber-taqlid),
namun hal ini lemah sifatnya karena hal ini juga berlaku untuk kalangan
orang yang bukan mujahid.
28
2. Membolehkan secara mutlak dengan alasan rasional bahwa bila orang boleh
ber-taqlid kepada seorang mujtahid sesudah masa sahabat, tentu akan lebih
boleh lagi ber-taqlid kepada mujtahid sahabat.
15
Amir Syarifuddin, Op.Cit, hlm 406
29
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi saya, khususnya bagi pembaca
dalam menyusun makalah ini, saya menyadari masih banyak kekurangan, maka dari
itu saya mohon kritik dan saran yang dapat membangun saya kedepannya agar lebih
baik lagi.
30
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Rofi’i, Mulyono Jamal, dkk. “Ushul Fiqh”, Jawa Timur: Darussalam
Press, 2011
Amir Syarifuddin, “Ushul Fiqh, Jilid 2 cet. Ke-6.” Jakarta: Kencana, 2011
Eril, Fadli, dkk. “Metode Ahlu Ra’yi dan Ahlu Hadis dalam Menetapkan Hukum”,
Journal Business and Notary (ELJBN), Vol 1 No.3, 49
Mursyid, “Para Mujtahid Pada Era Sahabat Dalam Kaitan Mazhab Shahabi”,
Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman dan Kemasyarakatan, Vol.1 No.1, 4
31
LAMPIRAN
32
33
34
35
36
37
38
39