Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH

USHUL FIQIH I

Dalil-Dalil Yang Masih Diperselisihkan Keabsahannya

Dosen Pengampu: Rina Juliana, M.Pd.I

Disusun Oleh:

Kelompok: 13

Riyanti Delvani (NIM. 201210093)

Nurul Najwa (NIM. 201210096)

Vino Azmy (NIM. 201210374)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI


2023/2024
KATA PEMGANTAR

Assalamua’laikum warahmatullahi wabarokatuh

Puji Syukur kami panjatkan atas kehadiran Tuhan yang Maha Esa, karena
atas berkat rahmat dan karunia-nya lah, makalah ini dapat terselesaikan dengam
baik, tepat pada waktunya. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas USHUL FIQIH I.

Dalam penyelesaian makalah ini, kami banyak mengalami kesulitan,


terutama disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan yang menunjang. Namun
berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak dan kami ucapkan terimakasih.

Kami sadar, sebagai seorang mahasiswa yang masih dalam proses


pembelajaran, penulisan Makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena
itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif. Guna
penulisan makalah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang. Harapan kami,
semoga makalah yang sederhana ini, dapat memberi kesadaran tersendiri bagi
generasi muda.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh.

Rabu, November 2023

Pemakalah

ii
DAFTAR ISI

COVER ................................................................................................................
KATA PENGANTAR ..........................................................................................
DAFTAR ISI ........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................
A. Latar Belakang...........................................................................................
B. Rumusan Masalah .....................................................................................
BAB II PEMBAHASAN .....................................................................................
A. Istihsan ........................................................................................................
B. Maslaha Mursalah .....................................................................................
C. Syar,u Man Qablana ..................................................................................
D. Mazhab Sahabat ........................................................................................
BAB III PENUTUP .............................................................................................
A. Kesimpulan.................................................................................................
B. Saran ...........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................
LAMPIRAN

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Telah ditetapkan bahwa untuk menemukan dan menetapkan hukum fiqh
diluar apa yang dijelaskan dalam nash Al-Qur’an dan hadis, para ahli mengerahkan
segenap kemampuan nalarnya yang disebut ijtihas. Dalam berijtihad, para mujtahid
itu merumuskan cara atau metode yang mereka gunakan dalam berijtihad. Ada
beberapa macam metode ijtihad hasil rumusan mujtahid. Di antaranya ada metode
ijtihad yang merupakan ciri khas (hasil temuan) seorang mujtahid yang berbeda dari
(dan tidak digunakan oleh) mujtahid lainnya. Adanya perbedaan metode ijtihad ini
berimplikasi pada munculnya perbedaan antara hasil ijtihad seorang mujtahid
dengan yang lainnya. Perbedaan metode tersebut ditentukan oleh jenis petunjuk dan
bentuk pertimbangan yang dipakai oleh masing-masing mujahid dalam berijtihad.
Dalam buku ini pembahasan tentang metode ijtihad itu tidak di masukkan
dalam kelompok pembahasan tentang “dalil”. Dalam hal ini al-Ghazali menyebut
metode ijtihad itu dengan: ” Apa yang dikira dalil, namun tidak termasuk dalil. ”Al-
Amidi juga mengatakan demikian. Karena itu, disebut dengan metode ijtihad,
bukan dalil, sebab sebgaimanapun apa yang ditempuh ulama dalam hal ini
menghasilkan rumusan hukum yang diperoleh melalui pengarahan daya nalar,
dengan menggunakan cara tertentu. Walaupun dalam pembahasan ini juga terdapat
hal yang disebut sebagai “apa yang dikira dalil”, karena dalam berijtihad, ulama
berpedoman kepada hal tersebut. Dalam hal ini akan diuraikan tentang beberapa
metode ijtihad, yaitu: Mashlahah Mursalah, Istishan, Syar’u man Qablana,
Mazhab shahabi.
B. Rumusan Masalah
Beberapa rumusan masalah mengenai pembahasan dalam makalah ini sebagai
berikut:
1. Bagaimanan deskripsi Istihsan, apa saja pembagian Istihsan, bagaimanan
pendapat ulama yang berhujjah dengan Istihsan?

1
2. Apa pengertian Mashlaha Mursalah apa saja macam-macam Mashlahah
Mursalah dan bagaimana kehujjahan Mashlahah Mursalah?
3. Apa pengertian Syar’u Man Qablana, apa saja pembagian Syar’u Man
Qablana, bagaimana kehujjahan Syar’u Man Qablana?
4. Apa pengertian mazhab sahabat, dan bagaimanna pendapat para ulama
mengenai mazhab sahabat?

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Istihsan
1
‫االستحسان لغة عد الشيء حسنا‬

Secara etimologis (Lughawi/bahasa) Istihsan (‫)استحسان‬ berarti

“memperhitungkan sesuatu lebih baik”, atau “adanya sesuatu itu lebih baik”, atau
“mengikuti sesuatu yang lebih baik”, atau “mencari yang lebih baik umtuk diikuti.

Adapun pengertian istihsan secara istilah, ada beberapa definisi “istihsan”


yang dirumuskan ulama ushul fiqh. Di antara definisi itu ada yang berbeda akibat
adanya perbedaan titik pandang. Ada juga definisi yang disepakati semua pihak,
namun diantaranya ada yang diperselisihkan dalam pengalamannya.2

Menurut mazhab maliki, al-Istihsan adalah menurut hukum dengan


menambil maslahah yang merupakan bagian dalil yang bersifat kully (menyeluruh)
dengan maksud mengutamakan al-Istidlal mursal dari pada qiyas, sebab
menggunakan istihsan itu, tidak berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan
persatuan semata, melainkan mendasarkan pertimbangannya pada maksud pembuat
syara’ secara keseluruhan.

Contohnya adalah Allah melarang jual beli benda yang tidak ada dan
menggandakan akad terhadap sesuatu yang tidak ada, namun dia memberikan
kemurahan secara istihsan pada salam (pemesanan), sewa, menyewa, muzara’ah
dan lain sebagainya. Semua contoh itu adalah akad, sedangkan sesuatu yang
diakadkan tidak ada pada waktu akad berlangsung. Segi istihsannya adalah
kebutuhan manusia dan kebiasaan mereka.3

1
Abdullah Rofi’i, Mulyono Jamal, dkk. “Ushul Fiqh”, ( Jawa Timur : Darussalam Press 2011) hlm
65
2
Amir Syarifuddin, “Ushul Fiqh Jilid 2”, (Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), hlm 305
3
Eril, Fadli, dkk.”Metode Ahlu Ra’yi dan Ahlu Hadis dalam Menetapkan Hukum”, Journal:
Business and Notary (ELJBN), Vol 1 No.3 (2023), hlm 47

3
Dasar istihsan dalam Al-Qur’an adalah firman Allah SWT dalam surah Az-
Zumar (39) ayat 18 yang berbunyi:

َ ‫ين يَ ْستَ ِمعُو َن الْ َق‬ ِ َّ


ْ ‫ول فَيَ تَّبِعُو َن أ‬
ُ‫َح َسنَه‬ َ ‫الذ‬

Artinya: Apabila mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling


baik di antaranya. (QS. Az-Zumar:18)4

Istihsan terbagi pada beberapa macam dengan memperhatikan asal


perpindahannya, segi arah perpindahannya dan sanad yang dijadikan landasan
perpindahan.

1. Ditinjau dari segi dalil yang digunakan pada saat beralih dari qiyas, istihsan
ada tiga macam:
a. Beralih dari segi apa yang dituntut oleh qiyas-dhahir (qiyas-jali) kepada
yang dikehendaki oleh qiyas-khafi. Dalam hal ini mujtihad tidak
menggunakan qiyas dhahir dalam menetapkan hukumnya, tetapi
menggunakan qiyas khafi, karena menurut perhitungannya cara itulah
yang paling kuat (tepat).
Umpamanya dalam hal kasus mewakafkan tanah yang di dalamnya
terdapat jalan dan sumber air minum. Apakah dengan semata mewakafkan
tanah sudah meliputi jalan dan sumber air minum itu atau tidak. Kalau si
mujtihad menggunakan pendekatan qiyas yang biasa, maka dengan hanya
mewakafkan tanah tidak otomatis termasuk jalan dan sumber air tersebut,
sebagaimana berlaku dalam transaksi jual beli. Segi kesamaan antara
waqaf dan jual beli dalam hal ini adalah sama-sama melepaskan pemilikan
atas tanah. Pendekatan seperti ini disebut qiyas-jali atau qiyas-dhahir.
Namun si mujtahid dalam kasus tersebut beralih dari qiyas jali dengan
penempuh pendekatan lain yaitu menyamakannya dengan transaksi sewa
menyewa sehingga menghasilkan kesimpulan hukum yang lain, yaitu
termasuknya jalan dan sumber air ke dalam tanah yang diwakafkan,

4
Abdul Aziz Abdul Rauf, Bandung: Cordoba, (2017) Juz: 23, hlm 458

4
meskipun tidak disebutkan dalam akad wakaf. Pendekatan seperti ini juga
menggunakan qiyas, namun dari segi kekuatan ‘illatnya dianggap agak
lemah, sehingga dinamakan qiyas khafi (qiyas yang samar). Meskipun
demikian, si mujtahid lebih cenderung menempuh cara ini karena
pengaruhnya dalam mewujudkan kemudahan lebih tinggi. Pendekatan
seperti ini disebut istihsan atau lengkapnya disebut istihsan qiyas.
b. Beralih apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hukum yang
bersifat khusus. Jadi, meskipun ada dalil umum yang dapat digunakan
dalam menetapkan hukum suatu masalah, namun dalam keadaan tertentu
dalil umum tidak digunakan, dan sebagai ganti-nya dalil khusus.
Umpamanya penerapan sanksi hukum terhadap pencuri. Menurut
ketentuan umum berdasarkan dalil umum dalam nash Al-Qur’an,
sanksinya adalah potong tangan, sebagaimana firman Allah dalam surat
Al-Maidah (5): 37

‫السا ِرقَةُ فَاقْطَعُ ْوا أَيْ ِديَ ُه َما‬


َّ ‫السا ِر ُق َو‬
َّ ‫َو‬
“Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan-tangan
keduanya”.
Berdasarkan ayat tersebut, bila seseorang melakukan pencurian dan
memenuhi syarat untuk dikenakan hukuman potong tangan, maka berlaku
baginya hukuman potong tangan. Namun bila pencurian itu dilakukan
pada masa penceklik atau kelaparan, maka hukum potong yang bersifat
umum tidak diberlakukan bagi si pencuri, karena dalam kasus ini berlaku
hukum khusus. Beralihnya dari hukum umum kepada hukum khusus
tersebut itu disebut istihsan.
c. Beralih dari tuntutan hukum kulli kepada tuntutan yang dikehendaki
hukum pengecualian.
Umpamanya wakaf yang dilakukan oleh orang yang berada dibawah
perwalian karena belum dewasa atau mahjur ‘alaih li al-safahi (orang yang
diampu karena belum dewasa). Berdasarkan ketentuan yang bersifat kulli
ia tidak boleh melakukan wakaf karena ia tidak berwenang melakukan

5
kebajikan dengan hartanya (tabarru’). Berdasarkan pendekatan istihsan,
ketentuan ini dikecualikan bila wakaf itu dilakukan terhadap dirinya
sendiri. Meskipun ia tidak memiliki wewenang berbuat kebajikan dengan
hartanya, namun dengan melakukan wakaf bagi dirinya sendiri, ia dapat
menyelamatkan hartanya sesuai dengan tujuan adanya perwalian yang
haikikatnya adalah melindungi harta yag orang dalam perwalian.
2. Ditinjau dari segi sandaran atau yang menjadi dasar dalam peralihan untuk
menempuh cara istihsan oleh mujtahid, yaitu:
a. Istihsan yang sandarannya adalah qiyas khafi. Dalam hal ini si mujtahid
meninggalkan qiyas yang pertama karena ia menemukan bentuk qiyas yang
lain, meskipun qiyas yang lain itu dari satu segi memiliki kelemahan,
namun dari segi pengaruhnya terhadap kemaslahatan lebih tinggi. Cara
seperti ini oleh si mujtahid dinilai sebagai cara terbaik dalam menentukan
hukum. Dengan demikian, menggunakan istihsan berarti berdalil dengan
qiyas khafi. Istihsan seperti ini disebut istihsan qiyas.
b. Istihsan yang sandarannya adalah nash. Dalam hal ini si mujtahid dalam
menetapkan hukum tidak jadi menggunakan qiyas atau cara biasa karna ada
nash yang mnenuntunnya. Umpamanya dalam masalah jual beli salam
(pesanan atau inden). Pada saat berlangsung transaksi jual beli, barang yang
diperjual belikan itu belom ada. Berdasarkan ketentuan umum dan menjadi
sandaran qiyas menurut biasanya transaksi seperti itu tidak boleh dan tidak
sah, karena tidak terpenuhnya salah satu persyaratan jual beli berupa
tersedianya barang yang diperjual belikan pada saat berlangsung transaksi.
Namun cara begini tidak dipakai karena telah ada nash yang mengaturnya,
yaitu hadits Nabi yang melarang melakukan jual beli terhadap sesuatu
barang yang tidak ada di tempat kecuali pada jual beli salam (pesanan).
c. Istihsan yang sandarannya adalah ‘uruf (adat). Dalam hal ini si mujtahid
tidak menggunakan cara-cara biasa yang bersifat umum tetapi
menggunakan cara lain dengan dasar pertimbangan atau sandaran kepada
kebiasaan yang telah umum berlaku dalam suatu keadaan. Istihsan dalam
bentuk ini disebut istihsan al-‘urf.

6
d. Istihsan yang sandarannya adalah dharurat. Dalam hal ini mujtahid tidak
menggunakan dalil yang secara umum harus diikuti karena adanya keadaan
darurat menghendaki pengecualian. Istihsan dalam bentuk ini disebut
istihsan al-dharurah.
3. Menurut Syatibi, di kalangan mazhab Maliki dikenal pula istihsan yang
prakteknya dinamai dengan istihlah (akan diuraikan tersendiri), ada tiga
macam yaitu:
a. Meninggalkan dalil yang biasa digunakan untuk beramal dengan ‘urf
(kebiasaan). Umpamanya ucapan yang berlaku dalam sumpah. Bila
seseorang dalam sumpahnya menyebutkan tidak akan memakan daging,
tetapi ternyata kemudian ia memakan ikan, maka ia dinyatakan tidak
melanggar sumpah meskipun ikan itu dalam bahasa Al-Qur’an termasuk
dalam daging. Alasannya karena dalam ‘urf (kebiasaan) yang berlaku
dalam ucapan sehari-hari, ikan itu bukan (tidak termasuk) daging.
b. Meninggalkan dalil yang biasa digunakan, dan untuk selanjutnya beramal
dengan cara yang lain karena didorong oleh pertimbangan kemaslahatan
manusia. Umpamanya tanggung jawab mitra dari tukang yang membantu
memperbaiki suatu barang bila barang yang diperbaikinya itu rusak di
tangannya. Berdasarkan pendekatan qiyas, ia tidak perlu mengganti, karena
kerusakan barang itu terjadi waktu ia membantu bekerja. Namun
berdasarkan pendekatan istihsan cara seperti ini ditinggalkan dan ia harus
mengganti barang tersebut demi terwujudnya kemaslahatan yaitu
memelihara dan menjamin harta orang lain.
c. Meninggalkan dalil yang biasa dilakukan untuk menghindarkan kesulitan
dan memberikan kemudahan kepada umat. Umpamanya adanya sedikit
kelebihan dalam menakar sesuatu dalam ukuran yang banyak. Tindakan ini
dibenarkan meskipun menurut ketentuan yang berlaku, kalau menakar itu
harus tepat (pas) sesuai standar takaran yang berlaku.5

5
Ibid, hlm 131-134

7
Argumentasi masing-masing mazhab:

Pendapat ulama terbagi dalam dua kelompok tentang kehujjahan istihsan.

1. kelompok yang berpendapat bahwa istihsan merupakan dalil syara’. Mereka


ini adalah mazhab Hanafi, Maliki, dan mazhab Imam Ahmad bin Hanbal.
2. yang menolak penggunaan istihsan sebagai dalil syara’ adalah asy-Syafi’i,
Zahiriyyah, Mu’tazilah, dan Syi’ah.
Mereka berpendapat bahwa menggunakan istihsan sebenarnya dikendalikan
oleh hawa nafsu untuk bersenang-senang, dengan cara menggunakan nalar murni
untuk menentang hukum yang ditetapkan dalil syara’. diantara mereka adalah
imam asy-Syafi’i. Bahkan diinformasikan bahwa dalam menolak kehujjahannya
sebagai dalil syara’, Imam asy-Syafi’i berkata: “Barang siapa yang menggunakan
istihsan berarti ia telah menetapkan hukum syara’ sendiri.
Para ulama yang menggunakan istihsan sebagai dalil syara’mengemukakan
banyak argumen, di antaranya sebagai berikut.
a. Menggunakan istihsan berarti mencari yang mudah dan meninggalkan yang
sulit, sesuai dengan firman allah pada surah al-Baqarah (2):185:

‫يُِريْ ُداهللاُ بِ ُك ُم الْيُ ْسَر َوالَ يُِريْ ُد بِ ُك ُم الْعُ ْسَر‬

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran


bagimu.

b. Firman Allah pada surah az-Zumar (39):55:

ِ ِ ِ
ُ ‫َواتَّبَعُ ْوآ أَ ْح َس َن َمآ أُنْ ِزَل إِلَْي ُك ْم م ْن َّربِ ُك ْم م ْن قَ ْب ِل أَ ْن َيْتْي ُك ُم الْ َع َذ‬
‫اب بَ ْغتَة َوأَنْتُ ْم الَ تَ ْشعُ ُرو َن‬

Dan ikutilah sebaik-baik apa apa yang telah di turunkan kepadamu dari
tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak
menyadarinya.

c. Ucapan Abdullah bin Mas’ud (7)

8
‫فَ َم َارآهُ الْ ُم ْسلِ ُم ْو َن َح َسنا فَ ُه َو عِْن َدللاِ َح َسن‬

Sesuatu yang di pandang baik oleh kaum muslimin, maka ia di pandang baik
oleh allah.

Sementara itu, kelompok ulama yang menolak kehujjahan istihsan


mengemukakan dalil, antara lain, sebagai berikut.

a. Firman Allah pada surah al-Ma’idah (5):49:

‫اح ُك ْم بَْي نَ ُه ْم ِبَآأَنْ َزَل للاُ َوَالتَتَّبِ ْع أَ ْه َوآءَ ُه ْم‬ ِ


ْ ‫َوأَن‬

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut yang di


turunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.

b. Firman Allah pada surah an-Nahl (16):44:

ِ َّ‫ي لِلن‬
‫اس َما نُ ِزَل إِلَْي ِه ْم َولَ َعلَّ ُه ْم يَتَ َف َّك ُرْو َن‬ ِ ِ ‫ت والْزب ِر وأَنْزلْنآ إِلَي‬
َ ْ َ َ َ ُُ َ ِ َ‫ِبلْبَ يِن‬
َ َِ‫ك الذ ْكَر لتُب‬
Dan kami turunkan kepadamu Al-qur’an, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah di turunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan.
c. Rasulullah tidak pernah menetapkan hukum berdasarkan istihsan yang
dasarnya adalah nalar murni, melainkan menunggu turunnya wahyu. Sebab
tidak pernah berbicara berdasarkan hawa nafsu belaka.
d. Istihsan itu landasannya adalah sama. Jika menggunakan istihsan di benarkan,
tentu setiap orang boleh menetapkan hukum baru untuk kepentingan dirinya.
Dari argumen yang digunakan kedua kelompok ulama di atas, dapat
dikatakan, pada hakikatnya istihsan dengan segala bentuknya adalah mengalihkan
ketentuan hukum syara’dari yang berdasarkan suatu dalil syara’ kepada hukum lain
yang di dasarkan kepada dalil syara’ yang lebih kuat. Karena prinsip ini yang
menjadi substansi istihsan, maka pada hakikatnya, tidak ada seorang ulamapun
yang menolak keberadaan istihsan sebagai dalil syara’.6

6
Abd. Rahman Dahlan, “Ushul Fiqih” (Jakarta : Amzah, 2013), hlm 203-206

9
B. Maslahah Mursalah
Mashlahah (‫ )مصلحة‬berasal dari kata shalaha (‫ )صلح‬dengan penambahan
“alif” diawalnya yang secara arti kata berarti “baik” lawan dari kata “buruk” atau
“rusak”. Ia adalah mashdar dengan arti kata shalah (‫ )صالح‬yaitu “manfaat” atau
terlepas dari pada kerusakan.
Pengertian mashlahah dalam bahasa Arab berarti “perbuatan-perbuatan
yang mendorong kepada kebaikan manusia”. Dalam artinya yang umum adalah
setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dari arti menarik atau
menghasilkan seperti keuntungan atau kesenangan, atau dalam arti menolak atau
menghindarkan seperti menolak kemudharatan atau kerusakan. Dengan begitu
mashlahah mengandung dua sisi yaitu menarik atau mendatangkan kemaslahatan
dan menolak atau menghindarkan kemudharatan.
Dalam mengartikan mashlahah secara definitif terdapat perbedaan rumusan
di kalangan ulama yang dianalisa hakikatnya adalah sama.
1. Al-Ghazali menjelaskan bahwa menurut asalnya mashlahah itu berarti sesuatu
yang mendatangkan manfaat (keuntungan) dan menjauhkan mudharat
(kerusakan), namun hakikat dari mashlahah adalah:

‫ص ْوِد الش َّْرِع‬


ُ ‫الْ ُمحاَ فَظَةُ َعلَى َم ْق‬
Memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum)
Sedangkan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum ada 5, yaitu memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
2. Al-Khawarizmi memberikan definisi yang hampir sama dengan definisi al-
Ghazali diatas yaitu

‫ص ْوِد الش َّْرِع بِ َدفْ ِع الْ َم َفا ِس ِد َع ِن ا ْْلَلْ ِق‬


ُ ‫الْ ُم َحافَظَةُ َعلَى َم ْق‬
Memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum) dengan cara
menghindarkan kerusakan dari manusia.
Definisi ini memiliki kesamaan dengan definisi al-Ghazali dari segi arti dan
tujuannya, karena menolak kerusakan itu mengandung arti menarik
kemanfaatan, dan menolak kemaslahatan berarti menarik kerusakan.

10
3. Al-lez ibn Abdi al-Salam dalam kitabnya, Qawai’d al-Ahkam, memberikan
arti mashlahah dalam bentuk hakikatnya dengan “kesenangan dan
kenikmatan”. Arti ini di dasarkan bahwa pada prinsipnya ada empat bentuk
manfaat, yaitu: kelezatan dan sebab-sebabnya serta kesenangan dan sebab-
sebabnya.
4. Al-Syatibi mengartikan mashlahah itu dari dua pandangan, yaitu dari segi
terjadinya mashlahah dalam kenyataan dan dari segi tergantungnya tuntutan
syara’ kepada mashlahah.
a. Dari segi terjadinya mashlahah dalam kenyataan, berarti:

ُ‫َّه َواتِيَّةُ َوالْ َع ْقلِيَّة‬ ِِ ِِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ


ْ ‫صافُهُ الش‬
َ ‫َمايَ ْرج ُع ا ََل قيَام َحيَاة اْالنْ َسان َوَتََام َعْي َشته َونَْيله َماتَ ْقتَضْيه اَْو‬
ِ ‫علَى‬
‫االطْالَق‬ َ

Sesuatu yang kembali kepada tegaknya kehidupan manusia, sempurna


hidupnya, tercapai apa yang dikehendaki oleh sifat syahwati dan aklinya
secara mutlak

b. Dari segi tergantungnya tuntutan syara’ kepada mashlahah, yaitu


kemashlahatan yang merupakan tujuan dari penetapan hukum syara’ untuk
menghasilkannya allah menuntut manusia untuk berbuat.
5. Al-Thufi menurut yang dinukil oleh Yusuf Hamid al-Alim dalam bukunya al-
Maqashid al-‘Ammah li al-syari’ati al-islamiyah mendefinisikan mashlahah
sebagai berikut:

‫ص ْوِد الْشَّا ِرِع عِبَ َادة اَْو َع َادة‬ ِ ِ ِ ‫عِباةع ِن الْسب‬


ُ ‫ب الْ ُم َؤدى ا ََل َم ْق‬َ َّ َ َ
Ungkapan dari sebab yang membawa kepada tujuan syara’ dalam bentuk
ibadah atau adat.
Dari beberapa definisi tentang mashlahah dengan rumusan yang berbeda
dapat disimpulkan bahwa mashlahah itu adalah sesuatu yang dipandang baik oleh
akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan
(kerusakan) bagi manusia, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.

11
Dari kesimpulan tersebut terlihat adanya perbedaan antara mashlahah
dalam pengertian bahasa (umum) dengan mashlahah dalam pengertian hukum atau
syara’. Perbedaanya terlihat dari segi tujuan syara’ yang dijadikan rujukan.
Mashlahah dalam pengertian bahasa merujuk pada tujuan pemenuhan kebutuhan
manusia. Sedangkan pada mashlahah dalam artian syara’ yang menjadi titik
bahasan dalam ushul fiqh, yang selalu menjadi ukuran dan rujukannya adalah
tujuan syara’ yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda, yaitu
mendapatkan kesenangan dan menghindarkan ketidaksenangan.7

Selanjutnya, dalam rangka memperjelas pengertian mashlahah murshalah


itu, Abdul Karim Zaidan menjelaskan macam-macam mashlahah:

1. Al-mashlahah Al-mu’tabarah, yaitu mashlahah yang secara tegas diakui syariat


dan telah ditetapkan ketentuan-ketentuan hukum untuk merealisasikannya.
Misalnya diperintahkan berjihad untuk memelihara agama dari musuhnya,
ancaman hukuman zina untuk memelihara kehormatan dan keturunan, serta
ancaman hukum mencuri untuk menjaga harta.
2. Al-mashlahah Al-mulgah, yaitu, sesuatu yang dianggap mashlahah, oleh akal
pikiran, tetapi dianggap palsu karena kenyataannya bertentangan dengan
ketentuan syariat. Misalnya, ada anggapan bahwa menyamakan pembagian
warisan antara anak laki-laki dan anak wanita adalah mashlahah. Akan tetapi,
kesimpulan seperti itu bertentangan dengan ketentuan syariat, adanya
pertentangan itu menujukkan bahwa apa yang dianggap mashlahat itu bukan
mashlahat di sisi Allah.
3. Al-mashlahah Al-mursalah, yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah
seperti dalam definisi yang disebutkan diatas. Mashlahat ini terdapat dalam
masalah-masalah muamalah yang tidak ada ketegasan hukumnya dan tidak
pula ada bandingannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah untuk dapat dilakukan
analogi.

7
Amir Syarifuddin, “Ushul Fiqhi jilid 2”, (Jakarta : Kencana, 2011), hlm 345-347

12
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa mashlahah mursalah tidak sah
menjadi landasan hukum dalam bidang ibadah, karena bidang ibadah harus
diamalkan sebagaimana adanya diwariskan oleh Rasulullah, dan oleh karena itu
bidang ibadah tidak berkembang.

Mereka berbeda pendapat dalam bidang muamalah. Kalangan Zahiriyah,


sebagian dari kalangan syafi’iyah dan Hanafiyah tidak mengakui mashlahah
mursalah sebagai landasan pembentukan hukum, dengan alasan seperti yang
dikemukakan Abdul Karim Zaidan, antara lain:

1. Allah dan Rasulnya telah merumuskan ketentuan-ketentuan hukum yang


menjamin segala bentuk kemaslahatan umat manusia. Menetapkan hukum
berlandaskan mashlahah mursalah berarti menganggap syariat islam tidak
lengkap, karena menganggap masih ada mashlahah yang belum tertampung
oleh hukum-hukumnya. Hal itu bertentangan dengan ayat 36 surah al-Qiamah
(75):

‫ب ا ِْْلنْ َسا ُن أَ ْن يُْْتَ َك ُسدى‬


ُ ‫ََي َس‬
َْ ‫أ‬
Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa
pertanggung jawaban).
2. Membenarkan mashlahah mursalah sebagai landasan hukum berarti membuka
pintu bagi berbagai pihak seperti hakim dipengadilan atau pihak penguasa
untuk menetapkan hukum menurut seleranya dengan alasan untuk meraih
kemaslahatan.8

Adapun mashlahah sebagai Istinbath Hukum perspektif Al-Thufi dan Al-Qardhawi


adalah:

Dalam pandangan Al-Thufi, dalil-dalil syariat terbagi menjadi 19 bab,


yakni: kitab, sunnah, ijma’ ummat, ijma’ ahli madinah, qiyas, qaul as sahabi,
mashlahah mursalah, istishab, bara’ah al-asliyah, a-adah, istiqra’, saddud
dari’ah, istidlal, istihsan, al akhd bi a-akhaf, ishmah, ijma’ ahl kufah, ijma’ utrah

8
Satria Effendi, “Ushul Fiqh”, ( Jakarta : Kencana, 2017), hlm 136-137

13
di kalangan syah dan terakhir adalah ijma’ para khulafa’ ar-rasyidin. Dalam
pandangan Al-Thufi, maslahah mursalah adalah menjaga maksud-maksud syariat
dengan menghilangkan kerusakan pada manusia. Hal ini disebabkan Allah
mengutus pada rasul semata mata untuk kemashlahatan para hambanya untuk
mengamalkan sesuai yang ditetapkan

Menurut Al-Thufi, ke 19 dalil tersebut telah dikuatkan oleh nash dan ijma’
yang keduanya itu terkadang sesuai dengan nilai kemashlahatan atau tidak. Maka
jika keduanya tidak betentangan dengan nilai kemashlahatan maka sebenarnya
ketiga dalil tersebut, yakni nash, ijma’ dan penerapan mashlahah sudah sesuai
dengan hadis Nabi sebagaimana disebutkan sebelumnya. Namun jika ternyata nash
dan ijma’ bertentangan dengan nilai mashlahah, maka harus mendahulukan
mashlahah dengan jalan takhsish dan bayan, bukan dengan jalan menggantikan
kedudukannya, sebagaimana adanya sunnah dalam menjadi bayan terhadap Al-
Quran. Pandangan Al-Thufi ini menunjukkan bahwa kemashlahatan yang
terkandung dalam konsep mashlahah mursalah, secara subtansial bisa dijadikan
rujukan utama, namun tetap dalam batasan takhsish dan bayan pandangan Al-Thufi
ini cukup berbeda dengan pandangan pakar lain yang mengatakan bahwa
mashlahah mursalah dapat diterapkan hanya jika tidak bertentangan dengan nash
yang ada.

Al-Qardhawi berpendapat bahwa mashlahah dapat digunakan sebagai


metode asalkan tidak bertentangan dengan nash yang ada. Mengabaikan nash
merupakan salah satu penyimpangan ijtihad kontemporer masa kini. Menurut Al-
Qardhawi mengedepankan mashlahah atas nash sama saja manusia menghapus
hukum-hukum syariat dengan hawa nafsunya sendiri dan pemikiran nya terbatas
ini berarti pemikiran manusia berada di atas Allah dan manusia mengetahui dari
pada Allah. Al-Qardhawi mengatakan ketidaksepakatannya mengenai pendapat
Al-Thufi bahwa kemashlahatan harus di kedepankan. Dia mengatakan bahwa
hanya Al-Thufi berpendapat demikian. Mayoritas ulama mengingkarinya. 9

9
Moh.Usman,”Mashlahah Mursalah Sebagai Metode Istinbath Hukum Perspektif Al-Thufi Dan Al-
Qardhawi”, Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Islam, Vol 8 N0.1 (2020), hlm 92-94

14
Mashlahah Mursalah sebagai Metode Ijtihad

Adanya perbedaan pendapat dikalangkan ulama mengenai penggunaan


mashlahah mursalah sebagai metode ijtihad adalah kerena tidak adanya dalil
khusus yang menyatakan diterimanya mashlahah itu oleh Syari’ baik secara
langsung maupun tidak langsung, karena sebagaimana disebutkan bahwa
diamalkannya mashlahah itu oleh jumhur ulama adalah karena adanya dukungan
syar’i, meskipun secara tidak langsung. Digunakannya mashlahah itu bukan
karena semata ia adalah mashlahah, tetapi karena adanya dalil syara’ yang
mendukungnya.

Di samping itu ulama dan penulis ushul fiqh pun berbeda pandangan dalam
menukilkan pendapat mazhab. Imam Malik beserta penganut mazhab Maliki
adalah kelompok yang secara jelas menggunakan mashlaha mursalah sebagai
metode ijtihad. Selain digunakan oleh penganut mazhab ini, mashlahah mursalah
juga dugunakan oleh kalangan ulama non-Maliki sebagaimana diutarakan oleh al-
Syatibi dalam kitab al-‘Itisham. Juga digunakan oleh kalangan ulama non-Maliki
seperti diutarakan oleh Ibnu Qudamah, al-Razi, al-Ghazali dalam kitabnya.

Tentang pandangan ulama Hanafi terhadap mashlahah mursalah ini


terdapat penukulan yang berbeda. Menurut al-Amidi, banyak ulama yang
beranggapan bahwa ulama Hanafi tidak mengamalkannya. Namun menurut Ibnu
Qudamah, sebagian ulama Hanafi menggunakan mashlahah mursalah. Tampaknya
ulama yang beranggapan bahwa sebagian ulama Hanafiah mengamalkan
mashlahah mursalah ini lebih tepat, kerena kedekatan metode ini dengan istihsan
yang populer dikalangan ulma Hanafiah.

Ulama Syafi’iyah tampaknya tidak menggunakan mashlahah mursalah ini


dalam berijtihad. Pendapat ini didukung oleh Al-Amidi dan Ibn al-Hajib dalam
kitabnya al-Bidakhsyi, Imam Syafi’i sendiri tidak menyinggung metode ini dalam
kitab standarnya, al-Risalah. Ibnu Subki sebagai penikut Syafi’i tidak membahas
mashlahah mursalah dalam pembahasan tersendiri, tetapi hanya menyinggungnya

15
dalam bahasaan tentang persyaratan al-‘illah, dia sendiri menggunakan istilah al-
mursal sebagai pengganti istilah mashlahah mursalah.

Namun ada pula ulama yang beranggapan bahwa mashlahah mursalah ini
berlaku dikalangan ulama Syafi’i. Al-Syatibi dari kalangan Maliki menukilkan
tentang digunakannya metode ini oleh ulama Syafi’i. Bahkan al-Ghazali sendiri
sebagai pengikut Syafi’i ada menukilkan satu versi pendapat yang mengatakan
bahwa Imam Syafi’i yang menggunakan mashlahah mursalah tersebut. Ibnu
Qudamah dari ulama Hanbali juga menukilkan digunakannya mashlahah mursalah
oleh sebagian ulama Syafi’iyah.

Ulama yang menukilkan digunakannya mashlahah mursalah dikalangan


ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa penggunaan itu tidaklah
secara mutlak, tetapi dengan suatu catatan bahwa meskipun mashlahah ini tidak
didukung oleh syara’ secara langsung atau tidak, namun setidaknya mashlahah itu
dekat dengan prinsip pokok hukum syara’ yang sudah ditetapkan.

Al-Ghazali sebagai pengikut Imam Syafi’i secara tegas dalam dua kitabnya
(al-Madkul dan al-Mushtasfa) menyatakan bahwa ia menerima penggunaan
mashlahah mursalah dengan syarat bahwa mashlahah mursalah itu bersifat
dharuri (menyangkut kebutuhan pokok dalam kehidupan), Qath’i (pasti) dan kulli
(menyeluruh) secara kumulatif. Ibny Subki dan al-Razi membenarkan pendapat al-
Ghazali seperti itu.

Pendapat sahih yang mewakili pandangan ulama Hanbali menyatakan


bahwa mashlahah mursalah itu tidak memiliki kekuatan hujah dan tidak boleh
melakukan ijtihad dengan menggunakan metode ini.

Kalangan ulama yang menolak penggunaan qiyas seperti al-Zhahari, ulama


Syi’ah dan sebagian ulama kalam Mu’tazilah, begitu pula Qadhi al-Baidhawi
menolak penggunaan mashlahah mursalah dalam berijtihad.

Adapun syarat-syarat khusus untuk dapat berijtihad dengan menggunakan


mashlahah mursalah, di antaranya:

16
1. Mashlahah mursalah itu adalah mashlahah yang hakiki dan bersifat umum,
dalam arti dapat diterima oleh akal sehat bahwa ia betul-betul mendatangkan
manfaat bagi manusia dan menghindarkan mudarat dari manusia secara utuh.
2. Yang dinilai akal sehat sebagai suatu mashlahah yang hakiki betul-betul telah
sejalan dengan maksud dan tujuan syara’ dalam menetapkan setiap hukum,
yaitu mewujudkan kemashlahatan bagi umat manusia.
3. Yang dinilai akal sehat sebagai suatu mashlahah yang hakiki dan telah sejalan
dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum itu tidak berbenturan dengan
dalil syara’ yang telah ada, baik dalam bentuk nash AL-Qur’an dan Sunnah,
maupun ijma’ ulama terdahulu .
4. Mashlahah mursalah itu diamalkan dalam kondisi yang memerlukan, yang
seandainya masalahnya tidak diselesaikan dengan cara ini, maka umat akan
berada dalam kesempitan hidup, dengan arti harus ditempuh untuk
menghindarkan umat dari kesulitan.

Argumentasi kalangan ulama yang menggunakan mashlahah mursalah,


diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Adanya takrir (pengakuan) Nabi atas penjelasan Mu’adz ibn Jabal yang akan
menggunakan ijtihad bi al-ra’yi bila tidah menemukan ayat Al-Qur’an dan
sunah Nabi untuk menyelesaikan sebuah kasus hukum. Penggunaan ijtihad ini
mengacu pada penggunaan daya nalar atau suatu yang dianggap mashlahah.
Nabi sendiri waktu itu tidak membebaninya untuk mencari dukungan nash.
2. Adanya amaliah dan praktik yang begitu meluas di kalangan sahabat Nabi
tentang penggunaan mashlahah mursalah sebagai suatu keadaan yang sudah
diterima bersama oleh para sahabat tanpa saling menyalahkan. Umpamanya:
pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah yang dilakukan oleh sahabat-sahabat
Nabi; pembentukan dewan-dewan dan pencetakan mata uang dimasa Umar ibn
Khattab; penyatuan cara baca Al-Qur’an (qiraat) pada masa Usman, dan
lainnya. Bahkan banyak terlihat mashlahah yang digunakan para sahabat itu
berlainan (membentur) dalil nash yang ada, seperti memerangi orang yang
tidak mau berzakat pada waktu Abu Bakar; keputusan tidak memberikan hak

17
zakat untuk mualaf pada masa Umar; dan diberlakukannya azan dua kali pada
waktu Utsman ibn Affan.
3. Suatu mashlahah bila telah nyata kemashlahatannya dan telah sejalan dengan
maksud Pembuat Hukum (Syari’), maka menggunakan mashlahah tersebut
berarti telah memenuhi tujuan syar’i, meskipun tidak ada dalil khusus yang
mendukungnnya. Sebaliknya bila tidak digunakan untuk menetapkan suatu
kemashlahatan dalam kebijakansanaan hukum akan berarti melalaikan tujuan
yang dimaksud oleh Syari’ ( Pembuat Hukum). Melalaikan yujuan Syari’
adalah suatu perbuatan yang batal. Karena itu dalam menggunakan mashlahah
itu sendiri tidak keluar dari prinsip-prinsip syara’, bahkan telah sejalan dengan
prinsip-prinsip syara’.
4. Bila dalam keadaan tertentu untuk menetapkan hukum tidak boleh
menggunakan metode mashlahah mursalah, maka akan menempatkan umat
dalam kesulitan. Padahal Allah sendiri menghendaki kemudahan untuk hamba-
Nya dan menjauhkan kesulitan, seperti ditegaskan dalam surat al-Baqarah (2);
185 dan Nabi pun menghendaki umatnya menempuh cara yang lebih mudah
dalam kehidupannya.

Kelompok ulama yang menolak mashlahah mursalah sebagai metode ijtihad


mengemukakan argumentasi yang diantaranya adalah:

1. Bila suatu mashlahah ada pentunjuk syar’i yang membenarkannya atau yang
disebut mu’tabarah, maka ia telah termasuk dalam umumnya qiyas.
Seandainya tidak ada petunjuk syara’ yang membenarkannya, maka ia tidak
mungkin disebut sebagai suatu mashlahah. Mengamalkan sesuatu yang diluar
petunjuk syara’ berarti mengakui akan kurang lengkapnya Al-Qur’an maupun
Sunnah Nabi. Hal ini juga berarti tidak mengakui kesempurnaan risalah Nabi.
Padahal Al-Qur’an dan Sunnah itu telah sempurna dan meliputi semua hal.
2. Beramal dengan mashlahah yang tidak mendapat pengakuan tersendiri dari
nash akan membawa kepada pengamalan hukum yang berlandasan pada
sekehendak hati dan menuruti hawa nafsu. Cara seperti ini tidaklah lazim
dalam prinsip-prinsip islami. Keberatan al-Ghazali untuk menggunakan

18
Istihsan dan Mashlahah mursalah sebenarnya karena tidak ingin melaksanakan
hukum secara seenaknya (talazzuz) dan beliau menetapkan syarat yang berat
untuk penetapan hukum.
3. Menggunakan mashlahah dalam ijtihad tanpa berpegangan pada nash akan
mengakibatkan munculnya sikap bebas dalam menetapkan hukum yang dapat
mengakibatkan seseorang teraniaya atas nama hukum. Hal yang demikian
menyalahi prinsip penetapan hukum dalam Islam, yaitu ‘tidak boleh merusak,
juga tidak ada yang dirusak’.
4. Seandainya dibolehkan berijtihad dengan mashlahah yang tidak mendapat
dukungan dari nash, maka akan memberi kemungkinan untuk berubahnya
hukum syara’ karena alasan berubahnya waktu dan berlainanya tempat
berlakunya hukum syara’, juga karena berlainan antara seseorang dengan
orang lain. Dalam keadaan demikian, tidak akan ada kepastian hukum. Hal ini
tidak sejalan dengan prinsip hukum syara’ yang universal dan lestari serta
meliputi semua umat Islam.10
C. Syar’u Man Qablana

Syar’u man qablana ialah syariat umat Islam. Para ahli Ushul Fiqh
mengkaji syariat sebelum islam dalam kaitannya dengan penerapan syariat tersebut
bagi umat islam. Dalam penelitian mereka, didapati bagian-bagian dari syariat
sebelum islam yang telah dibatalkan oleh syariat islam, sementara ada pula yang
masih tetap boleh diberlakukan karena adanya dalil yang menyertai, seperti
pensyariatan puasa masih tetap diberlakukan dalam islam.

Hal yang menjadi persoalan dikalangan para ulama ialah menyangkut


syari’at sebelum islam yang tidak disertai dengan dalil pembatalan atau dalil
pemberlakuan, apakah syariat tersebut masih berlaku atau dihapus. Menurut jumhur
ulama Hanafiyyah, Malikiyyah, sebagian ulama Syafi’iyyah dan salah satu
pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa syariat umat sebelum Islam masih
berlaku bagi umat islam. Akan tetapi, pendapat yang paling kuat dalam mazhab

10
Amir Syarifuddin, Op.Cit, hlm 357

19
Syafi’i dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal bahwa syariat sebelum
Islam tidak berlaku bagi umat Islam.11

Yang dimaksud dengan syar’u man qablana, ialah:

‫َم ْن َشَر َعهُ اّللُ الِ َم ْن قَ ْب لَنَا ِم َن األ َُم ِم‬

Hukum syariat orang-orang (umat) yang sebelum kita.

Syar’u man qablana adalah syariat yang dibawa para Rasul dahulu, sebelum
diutusnya Nabi Muhammad yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka diutus
kepadanya, seperti syari’at Nabi Ibrahim, syariat Nabi Musa, syariat Nabi Daud,
Syariat Nabi Isa, dan sebagainya,

Pada prinsipnya, syariat yang di peruntukkan Allah bagi umat terdahulu


mempunyai asas yang sama dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad.
Diantara asas yang sama itu yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang
akhirat, tentang janji, dan ancaman Allah. Akan tetapi rinciannya ada yang sama
dan ada juga yang berbeda sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman
masing-masing.

Para ahli Ushul Fiqh membahas persoalan syariat sebelum Islam dalam
kaitannya dengan syariat Islam, apakah hukum-hukum yang ada bagi umat sebelum
Islam menjadi hukum bagi umat Islam. Para ulama Ushul Fiqh sepakat menyatakan
bahwa seluruh syariat yang diturunkan Allah sebelum Islam melalui para Rasulnya
dibatalkan secara umum oleh syariat Islam. Mereka juga sepakat mengatakan
bahwa pembatalan syariat-syariat sebelum islam itu tidak secara menyeluruh dan
rinci, masih banyak hukum-hukum syariat sebelum Islam yang masih berlaku
dalam syariat Islam, seperti beriman kepada Allah, Hukuman bagi orang yang
melakukan zina, hukuman qishash, hukuman bagi tindak pidana pencurian.

Nurkhalis Muchtar.”Metode Fatwa MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama) Aceh”, Journal of


11

Multidisciplinary Islamic Studies, Vol 5, No.1 (2023), hlm 95

20
Dengan demikian, syar’u man qablana adalah hukum-hukum Allah yang
dibawah oleh para Nabi atau Rasul sebelum Nabi Muhammad. Dan berlaku untuk
umat mereka pada zaman itu.

Dasar Hukum Syar’u Man Qablana

Pada asas syariat yang diperuntukan Allah bagi umat-umat dahulu


mempunyai asas yang sama dengan syariat yang diperuntukan bagi umat Nabi
Muhammad, sebagaimana dinyatakan pada firman Allah:

‫صْي نَا بِِه إِبْ َر ِاهْي َم َوُم ْو َسى َوعِ َسى أَ ْن‬ ِ
َ ‫صى بِِه نُوحا َوالَّذي أ َْو َحْي نَا إِلَْي‬
َّ ‫ك َو‬ ِ ‫َشرع لَ ُكم ِمن‬
َّ ‫الديْ ِن َما َو‬ َ ْ ََ
‫الديْ َن َوالَ تَتَ َفَّرقُ ْوا فِْي ِه‬
ِ ‫أَقِيموا‬
ُْ

Dia (Allah) telah menerangkan kepadamu sebagian (urusan) agama, apa yang ia
wajibkan kepada nuh yang kami wajibkan kepadamu dan apa yang kami wajibkan
kepada Ibrahim, Musa dan Isa. (yaitu) hendaklah (urusan) agama itu dan
janganlah kamu cerai berai padanya (QS.Asy-Syura (42): 13)

Di antara asas yang sama itu ialah yang berhubungan dengan konsepsi
kehutahanan, tentang hari kiamat, tentang qada dan qadar, tentang janji dan
ancaman Allah dan sebagainya. Mengenai perinciannya atau detailnya ada yang
sama dan ada yang berbeda, hal ini disesuaikan dengan keadaan, masa dan tempat.

Sesuai dengan ayat dalam Al-Quran Surah Asy-syura ayat 13 diatas, kemudian
dihubungkan antara syariat Nabi Muhammad dengan syariat umat-umat sebelum
kita, ada tiga macam bentuknya, yaitu:

1. Syariat yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita tetapi Qur’an
dan Hadis tidak menyinggungnya, baik membatalkannya atau menyatakan
berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad. Untuk bentuk pertama ini, ada ulama
yang menjadikannya sebagai dasar hujjah, selama tidak bertentangan dengan
syariat Nabi Muhammad.

21
2. Syariat yang diperuntukkan bagi umat-umat sebelum kita, kemudian
dinyatakan tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad. Para ulama tidak
menjadikan bentuk kedua ini sebagai dasar hujjah

3. Syariat yang diperuntukkan bagi umat-umat sebelum kita, kemudia Qur’an dan
Hadis menerangkannya kepada kita.

Para ulama berbeda pendapat tentang bentuk ketiga ini. Sebagian ulama
Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian ulama Syafi’iyah dan sebagian
ulama Hanabilah berpendapat bahwa syariat itu berlaku pula bagi umat nabi
muhammad.

Berdasarkan inilah ulama-ulama Hanfiyah menetapkan hukuman


Qishash kepada seorang muslim yang membunuh kafir dzimi. Mereka
menetapkan hukum itu berdasarkan Surah Al-Maidah ayat 45. Sebagian ulama
lain menetapkan bahwa dalam hal hukum secam ini tidaklah menjadi hukum
bagi kita, karena perincian syariat yang telah lalu tidaklah merupakan hukum
yang bersifat umum yang mashlahah untuk setiap waktu dan tempat, hanya
syariat islamiyah yang berlaku bagi setiap waktu dan tempat di bawa oleh Nabi
Muhammad, hal ini dikuatkan oleh firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat
143:

‫الر ُس ْو ُل َعلَْي ُك ْم َش ِهْيدا‬ ِ ‫ك َج َعلْنَا ُك ْم أ َُّمة َو َسطا لِتَ ُك ْونُ ْوا ُش َه َداءَ َعلَى الن‬
َّ ‫َّاس َويَ ُك ْو َن‬ ِ
َ ‫َوَك َذل‬
ِ ِ ِ ِ َّ ‫وما جعلْنا الْ ِقب لَة الََّت ُكنت علَي ها إِالَّ لِن علَم من ي تَّبع‬
ْ َ‫ب َع َل َعقبَ ْيه َوإِ ْن َكان‬
‫ت‬ ُ ‫الر ُس ْوَل ِم َّْن يَْن َقل‬ َُ َ ْ َ َ َْ َ ْ َ َ ْ َْ َ ْ َ َ َ َ َ
‫َّاس لََرءُوف َرِحيم‬ َّ ‫يع إِمياَنَ ُك ْم إِ َّن‬ ِ ِ َّ ‫اّلل وما َكا َن‬ ِ
ِ ‫اّللَ ِب لن‬ َ ‫اّللُ ليُض‬ َ َ َُّ ‫لَ َكبِريَة إِالَّ َعلَى الَّذيْ َن َه َدى‬

Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu umat yang pertengahan
(adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan
Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) mu. Dan kami tidak
menjadikan kiblat yang engkau menghadap kepadanya (Baitul Maqdis),
melainkan agar kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang
berbalik atas kedua tumitnya (membelot). Dan sungguh (perpindahan kiblat)

22
itu merasa berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh
Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah
maha pengasih lagi maha penyayang kepada manusia. (QS. Al-Baqarah (2):
143).

Pembagian syar’u man qablana dan contohnya:

1. Ajaran agama yang telah dihapuskan oleh syari’at kita (dimansukh). Contoh:
Pada syariat Nabi Musa as. Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali
dipotong apa yang terkena najis itu

2. Ajaran yang ditetapkan oleh syari’at kita. Contoh: Perintah menjalankan puasa.

3. Ajaran yang tidak ditetapkan oleh syariat kita.

a. Yang diberitakan kepada kita baik melalui Al-qur’an atau as-Sunah, tetapi
tidak tegas diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada umat
sebelum kita.

b. Yang tidak disebut-sebut (diceritakan) oleh syariat kita.

Kehujjahan Syar’u Man Qablana

Pendapat ulama dalam masalah kehujjahan syar’u man qablana, ada dua
pendapat dalam hal in:

1. Bahwa syar’u man qablana adalah syariat kita, ulama sepakat mereka itu para
(ulama-ulama malikiyah).

2. Sesungguhnya syar’u man qablana bukan syariat kita.mazhab malikiyah


menyetujui keabsahan syar’u man qablana. Malikiyah setuju atas pandangan
bahwa syar’u man qablana adalah dalil untuk kita atau umat islam (bisa
dijadikan hujjah), ada beberapa nash yang menunjukkan hal ini (malikiyah).

Menurut Malikiyah syar’u man qablana ini ada keterangan yang


menunjukkan kehujjahannya pertama: Kisah-kisah yang terjadi antara; Lali-laki
dan wanita (dikisahkan dalam Surah Al-Maidah ayat 45 tentang qisas) Dalam
ayat ini Allah menerangkan bahwa jiwa dibayar dengan jiwa, jiwa perempuan

23
merdeka dengan laki-laki merdeka pula. Dengan dalil ini imam Malikiyah
memandang bahwa ke Masyru’iatan syar’u manqablana dalam kisah ini,
padahal ayat ini ditunjukkan kepada Bani Israil (syariat musa) di dalam taurat.
Dalam kisah Suaib dengan Nabi Musa (QS.Al-Qashash:27) suaib
berkata:”sesungguhnya aku bermaksud untuk menikahkan kamu dengan salah
seorang dari kedua anak perempuanku ini, (dengan syarat) bahwa kamu
bekerja kepadaku (selama) delapan tahun, maka jika kamu sempurnakan
sepuluh (tahun) maka itu atas kemauanmu.

Ayat ini menerangkan keinginan Suaib menikahkan salah satu anaknya


dengan Musa serta persyaratan menggembalakan binatang ternak selama
8tahun. Imam Malik memandang ayat atau kisah ini sebagai dalil
kehujjahan/syar’u manqablana tentang pernikahan bersyarat. (pernikahan yang
diisyaratkan oleh pihak si bapak perempuan) ayat ini diturunkan untuk syariat
Nabi Suaib as.

Dengan demikian peletak awal syar’u man qablana dan kehujjahannya


adalah Imam Malik menurut kesepakatan ulama dengan merujuk “Ushul fiqh
imam malik, Al-adilatuhu an-naqliyah, juz1 bab 6 syar’u manqablana.12

D. Mazhab Sahabat

Sahabat dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai kawan, teman, dan
handai. Dalam kamus Al-Munjadid, (bahasa arab) diartikan sebagai sahabat-
sahabat Nabi yang muslim yang melihat Nabi serta persahabat merka panjang. Dari
pengertian secara etimologis tersebut sahabat nampaknya sudah diartikan sebagai
istilah teknis sebagai sahabat Nabi Muhammad Saw. sahabat digunakan secara
umum (sepadan dengan tim sahabat dalam bahsa Indonesia) digunakan istilah
(bahasa arab) yan bentuk jamaknya adalah (bahsa arab).

Adapun sahabat menurut istilah, terdapat beberapa pengertian yang


dikemukakan baik oleh para ahli hadis maupun ahli fiqh/ushul fiqh. Sahabat

12
Amrullah Hayatudin, “Ushul Fiqh; Jalan Tengah Memahani Hukum Islam”, (Jakarta : Amzah,
2019), hlm 96-99

24
menurut jumhur ahli hadis adalah orang islam yang pernah bergaus atau melihat
Nabi, dan meninggal dalam keadaan islam. Menurut Aljjaj Al-Khatib dalam
karyanya ushul al-Hadis sahabat adalah setiap orang muslim yang hidup bergaul
bersama rasulullah dalam waktu yang cukup lama serta menimba ilmu dari
Rasulullah. Yang dikatakan sahabat adalah orang yang menemui masa Nabi,
walaupun dia tidak melihat Nabi dan memeluk islam semasa Nabi masih idup.

Sahabat adalah setiap orang yang duduk semajlis dengan Nabi SAW
meskipun hanya sekali waktu saja, medengar sabda Nabi meskipun hanya satu kata,
atau menyaksikan sebuah perkara dari Nabi SAW serta tidak menjadi munafik
sampai dia wafat.13

Yang dimaksud dengan Mazhab Sahabi ialah “pendapat sahabat Rasulullah


SAW tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah”.

Adapun yang dimaksud sahabat Rasulullah, seperti dikemukakan oleh


Muhammad ‘Ajjaj al-Khatif ahli hadits berkebangsaan Syiriah dalam karyanya
Ushul al-Hadist adalah setiap orang muslim yang hidup bergaul bersama
Rasulullah dalam waktu yang cukup lama serta menimba Ilmu dari Rasulullah.
Misalnya Ummar bin Khattab,’Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Sabit, ‘Abdullah bin
Ummar bin Khattab, ‘Aisyah, dan ‘Ali bin Abi Thalib. Mereka ini diantara para
sahabat yang banyak berfatwa tentang hukum Islam.

Permasalahan yang dibahas dalam Ushul fiqh dalam kaitan ini adalah
apakah fatwa-fatwa mereka itu harus diikuti para mujtahid setelah Al-Qur’an,
Sunnah, dan Ijma dalam menetapkan hukum atau tidak.

Dalam hal ini, Abdul Karim Zaidan membagi pendapat sahabat kedalam
empat kategori sebagai berikut:

Mursyid,”Para Mujtahid Pada Era Sahabat Dalam Kaitan Mazhab Shahabi”, Jurnal Ilmu-Ilmu
13

Keislaman dan Kemasyarakatan, VOL.1 No.1 (2019) hlm 4-6

25
1. Fatwa sahabat yang bukan merupakan hasil ijthad. Misalnya, fatwa Ibnu
Mas’ud bahwa batas minimal waktu haid tiga hari, batas minimal mas kawin
sebanyak sepuluh dirham. Fartwa seperti ini bukan merupakan hasil ijtihad
sahabat dan besar kemungkinan hal itu mereka terima dari Rasulullah. Oleh
karena itu, fatwa semacam ini disepakati menjadi landasan hukum bagi
generasi sesudahnya.

2. Fatwa sahabat yang disepakati secara tugas dikalangan mereka dikenal dengan
ijma’ sahabat. Fatwa seperti ini menjadi pegangan bagi generasi sesudahnya.

3. Fatwa sahabat secara perorangan yang tidak mengikuti sahbat yang lain. Para
mujtahid dikalangan sahabat memang sering berbeda pendapat dalam satu
masalah namun dalam hal ini fatwa seorang sahabat tidak mengikat (diikuti)
sahabat yang lain.

4. Fatwa sahabat secara perorangan yang didasarkan oleh ra’yu dan ijtihad.

Ulama berbeda pendapat tentang fatwa sahabat secara perorangan


tersebut yang merupakan hasil ijtihad, dalam hal ini terdapat beberapa pendapat,
dan menurut wahbah az-Zuhaili, beberapa pendapat itu dapat disimpulkan
kepada dua pendapat yaitu:

Pertama, menurut kalangan Hanafiyah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan


pendapat terkuat dari Ahmad bin Hanbal, bahwa fatwa sahabat dapat dijadikan
pegangan oleh genersi susudahnya.

Kedua, menurut salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal,
Mu’tazilah, dan kalangan Syi’ah, bahwa fatwa sahabat tidak mengikat generasi
sesudahnya.

Muhammad Abu Zahrah, ahli Ushul fiqh berkebangsaan mesir,


menganggap pendapat yang pertama, yaitu bahwa fatwa sahabat dapat dijadikan
pegangan, lebih kuat untuk dipegang. Alasannya, bahwa para sahabat adalah
generasi yang paling dekat dengan Rasulullah dan banyak mengetahui tentang
latar belakang turunnya ayat, serta orang yang palimg tahu, setelah Rasulullah,

26
oleh karena itu, fatwa-fatwa mereka lebih dapat dipercaya sehingga harus
dijadikan tujukan.

Cotoh fatwa sahabat adalah:

a. Menurut Aisyah, batas maksimal kehamilan seorang perempuan selama dua


tahun dengan mengatakan: ”anak tidak berada dalam perut ibunya lebih dari
dua tahun”.

b. Menurut Anas bin Malik, batas minimal waktu haid seorang wanita adalah
tiga hari.

c. Menurut Ummar bin Khatab, lelaki yang menikahi seorang wanita yang
sedang dalam iddah harus dipisahkan dan diharamkan baginya menikahinya
untuk selamanya.14

Kehujjahan Mazhab Shahabi

Maksud kehujjahan disini adalah kekuatan yang memikat untuk dijalankan


oleh umat Islam, sehingga akan berdosa jika meninggalkannya sebagai mana
berdosanya meninggalkan perintah Nabi. Para ulama berbeda pendapat dalam hal
ini yaitu:

1. Pendapat sahabat yang berada diluar lingkup ijtihad (masalah ta’abbudi atau
hal lain yang secara quath’i berasal sari nabi), meskipun secara terang tidak
disebutkan berasal dari Nabi dapat menjadi hujjah. Bila terdapat dua pendapat
atau lebih yang berbeda dalam bentuk ini, maka diselesaikan dengan cara atau
metode yang ladzim (berlaku).

2. Pendapat sahabat dalam lingkup ijtihad dan bukan dalam bentuk tawfiq,
tentang kehujjahannya tergantung untuk siapa pendapat sahabat itu
diberlakukan. Para ulama sepakat bahwa pendapat sahabat dalam bentuk ini
tidak menjadi hujjah untuk sesama sahabat lainnya, baik ia seorang imam,
hakim atau mufti. Kesepakatan ulama ini dikutip oleh kebanyakan ali Ushul,

14
Satria Effendi, Op.Cit, hlm 154

27
diantaranya oleh al-Amidi. Juga dikutip oleh dua pakar Ushul fiqh, yaitu Ibn
Subki dan al-Asnawi, yang mengajukan argumentasi sebagai berikut:

a. Bila sahabat yang lain itu adalah mujahid, maka pendapat seorang sahabat
tidak dapat diberlakukan bagi sahabat lainnya itu, karena seorang mujahid
itu tidak boleh ber-taqlid kepada yang sesama sahabat lainnya. Kalau
sahabat lain itu bukan mujtahid, tentu ia menjadi muqallid (ber-taqlid),
namun hal ini lemah sifatnya karena hal ini juga berlaku untuk kalangan
orang yang bukan mujahid.

b. Ada ijma’ dikalangan sahabat yang membolehkan seorang sahabat


berbeda pendapat dengan sahabat lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa
pendapat seorang sahabat tidak mempunyai kekuatan yang mengikat
terhadap sahabat lainnya. Tidak ada celaan dari seorang sahabat terhadap
sahabat lain bila ia tidak sependapat. Hal ini menunjukkan bahwa pendapat
seorang sahabat tidak mempunyai kekuatan yang mengikat bagi sahabat
lainnya.

Di kalangan ulama yang menolak kehujjahan Mazhab Shahabi berbeda


pendapat dalam hal apakah orang (generasi) sesudah sahabat boleh ber-taqlid pada
sahabat, yaitu:

1. Muhaqqiq, sebagaimana dikatakan Imam al-Haramain dalam kitabnya al-


burhan, mengatakan tidak boleh. Alasanya adalah bahwa tidak kuatnya
kepercayaan pada kebenaran pendapat sahabat tersebut, sebab pendapatnya
tidak pernah dibukukan. Lain halnya dengan pendapat Imam Mujtahid,
umpamanya, yang pendapatnya telah dibukukan oleh para muridnya. Hal ini
bukan karena kualitas ijtihad Imam yang lebih tinggi dari ijtihadnya sahabat.
Pendapat seperti ini sejalan dengan pendapat al-Syafi’i dalam qaul jadid
(pandangan baru)-nya.

28
2. Membolehkan secara mutlak dengan alasan rasional bahwa bila orang boleh
ber-taqlid kepada seorang mujtahid sesudah masa sahabat, tentu akan lebih
boleh lagi ber-taqlid kepada mujtahid sahabat.

3. Qaul qadim (pendapat lama) al-Syafi’i mengatakan boleh ber-taqlid kepada


sahabat asalkan pendapatnya itu sudah tersebar luas, meskipun tidak
dibukukan. 15

15
Amir Syarifuddin, Op.Cit, hlm 406

29
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Metode ijtihad istihsan digunakan dalam ushul fiqih untuk menetapkan


hukum fiqh dengan menjelaskan sesuatu yang lebih baik. Istihsan didasarkan pada
Al-Qur'an dan memiliki berbagai pendekatan dalam penggunaan dalil. Selain itu,
terdapat perbedaan pendapat mengenai penggunaan maslahah mursalah sebagai
landasan hukum dalam bidang muamalah. Ayat Al-Baqarah: 143 juga menegaskan
bahwa umat Islam adalah umat yang adil, dan terdapat pembagian syar'u man
qablana yang menjadi pegangan dalam hukum Islam.

Mazhab shahabi disebut qaul al-Shahabi maksudnya adalah pendapat-


pendapat sahabat dalam masalah-masalah ijtihad. Dengan kata lain qaul al-Shahabi
adalah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang dinukil oleh para ulama,
baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, yang tidak dijelaskan dalam ayat
maupun hadits. Qaul al-Shahabi yang diperselisihkan keabsahannya sebagai hujjah
diantara para ulama.

B. Saran

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi saya, khususnya bagi pembaca
dalam menyusun makalah ini, saya menyadari masih banyak kekurangan, maka dari
itu saya mohon kritik dan saran yang dapat membangun saya kedepannya agar lebih
baik lagi.

30
DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Cordoba, 2017),


hlm 458

Abdullah Rofi’i, Mulyono Jamal, dkk. “Ushul Fiqh”, Jawa Timur: Darussalam
Press, 2011

Abd Rahman Dahlan, “Ushul Fiqh”, Jakarta: Amzah, 2011

Amir Syarifuddin, “Ushul Fiqh, Jilid 2 cet. Ke-6.” Jakarta: Kencana, 2011

Eril, Fadli, dkk. “Metode Ahlu Ra’yi dan Ahlu Hadis dalam Menetapkan Hukum”,
Journal Business and Notary (ELJBN), Vol 1 No.3, 49

Moh. Usman, “Maslahah Mursalah Sebagai Metode Istinbath Hukum Perspektif


Al-Thufi dan Al-Qardhawi”, Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Islam,
Vol.8 No.1, 92

Mursyid, “Para Mujtahid Pada Era Sahabat Dalam Kaitan Mazhab Shahabi”,
Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman dan Kemasyarakatan, Vol.1 No.1, 4

Nurkhalis Muchtar, “metode Fatwa MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama)


Aceh”, Journal of Multidisciplinary Islamic Studies, Vol 5 No.1, 95

Satria Effendi, “Ushul Fiqh”, cet. Ke-7.” Jakarta: Kencana, 2017

31
LAMPIRAN

32
33
34
35
36
37
38
39

Anda mungkin juga menyukai