Anda di halaman 1dari 15

ISTIHSAN SEBAGAI PEMBARUAN HUKUM ISLAM

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh


Dosen pengampu : Musbihin Sahal

Disusun oleh :
1. Ahmad Zakaria 53030210079
2. Adelia Intan F 53020210084

PROGRAM STUDI ILMU AL’QURAN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB, DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SALATIGA
2022
1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah swt yang maha pengasih lagi maha penyayang ,yang telah
memberikan limpahan karunia nikmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
bertema’ Istihsan “dengan lancar. Penyusunan makalah ini dalam rangka memenuhi tugas mata
kuliah ushul fiqh.
Dalam proses penyusunan makalah tak lepas dari bantuan dan arahan dari berbagi pihak
untuk itu kami ucapkan terima kasih atas segala partisipasinya dalam menyelesaikan makalah
ini.
Meski demikian kami menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam
penulisan makalah ini,baik dari segi bahasa ,tulisan maupun isi. Sehingga kami sangat menerima
kritikan dan saran positif dari pembaca.
Demikian yang dapat kami sampaikan,semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
untuk masyarakat dan untuk kami sendiri khususnya.

Salatiga, 7 Oktober 2022

penyususn

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................2

DAFTAR ISI..........................................................................................................................3

BAB I...................................................................................................................................4

PENDAHULUAN..................................................................................................................4

A. Latar Belakang...............................................................................................................4

B. Rumusan Masalah..........................................................................................................4
C. Tujuan Penulisan............................................................................................................4

BAB II..................................................................................................................................5

PEMBAHASAN....................................................................................................................5

A. Definisi istihsan..........................................................................................................5

B. Macam – Macam istihsan...........................................................................................6

C. Kehujjahan istihsan....................................................................................................7

D. Keraguan orang yang tidak berhujjah dengan istihsan...............................................7

BAB III.................................................................................................................................9

PENUTUP............................................................................................................................9

A. Kesimpulan.................................................................................................................9

B. Saran..........................................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................10

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al qur’an merupakan sumber ajaran manusia yang di dalamnya memuat berbagai
pedoman hidup umat manusia. Akan tetapi, pada umumnya keterangan dalam al qur’an
sifatnya masih global sehingga butuh keterangan yang lebih rinci. Hadits dapat menjadi
penjelas dari keterangan al qur’an yang masih global akan tetapi permasalahan baru yang terus
bermunculan membutuhkan ijtihad para ulama.
Ilmu ushul fiqih merupakan salah satu ilmu yang harus dimiliki dan dikuasai oleh orang
yang akan melakukan mekanisme ijtihad dan istimbat hukum. Dalam menyelesaikan persoalan
hukum syariat yang tidak terdapat solusinya di dalam al qur’an dan hadits para ulama dalam
mencari solusi tersebut dengan cara berijtihad menggunakan metode istimbat hukum,
misalnya ijma’, qiyas, istihsan, istishab, maslahat mursalah (istishlah). Mereka memiliki cara
yang berbeda dalam menyelesaikan masalah akan tetapi, tetap dengan tujuan yang sama yaitu
mencari jawaban atas permasalahan-permasalahan yang ada. Seperti ulama Madzhab Hanafi
dan Maliki mereka menggunakan istihsan ketika tidak terdapat solusi di dalam al qur’an dan
hadits, Akan tetapi Ulama Madzhab Syafi’i tidak menggunkan istihsan dalam memecahkan
suatu masalah1.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian istihsan?
2. Apa saja macam-macam yang dikategorikan istihsan?
3. Bagaimana kehujjahan dalam beristihsan?
4. Bagaimana sikap dalam beristihsan?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian istihsan

2. Mengetahui apa saja macam-macam yang dikategorikan istihsan


3. Mengetahui kehujjahan dalam beristihsan
4. Mengetahui bagaimana sikap dalam beristihsan

BAB II
PEMBAHASAN

1
Kasjim Salenda, “Kehujjahan Istihsan Dan Implikasinya Dalam Istinbat Hukum,” Al-Daulah 1, no. 2 (2013): 8–19.
A. DEFINISI ISTIHSAN

Istihsan adalah bentuk masdar (verbal) dari istahsana-yastahsinu-istihsaanan


yang secara etimologi berarti menganggap atau meyakini kebaikan sesuatu. Imam al-
Sarakhsi menjelaskan makna istihsan adalah :“ mencari yang terbaik untuk mengikuti
sesuatu yang diperintahkan ” Secara terminologi, Abdul Wahab Khalaf memberikan
definisi bahwa “Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali
(yang jelas) kepada ketentuan qiyas khafi (yang samar), atau ketentuan hukum kulli
(umum) kepada ketentuan hukum yang sifatnya istisna’ (pengecualian), karena ada
kesalahan memahami dalil yang memungkinkan memenangkan perpindahan itu. Dari
paparan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa istihsan ditinjau dari segi dalil yang
ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Memperkuat Qiyas Khafi atas qiyas jali dengan dalil. Seperti pendapat ulama
Hanafiyah yang mengatakan bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-
Qur’an berdasarkan istihsan, tetapi haram menurut qiyas.

a. Berdasarkan Qiyas : wanita yang sedang haid itu di qiyaskan kepada orang junub
dengan illat sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca Al- Qur’an,
maka orang yang Haid haram membaca Al-Qur’an.

b. Berdasarkan Istihsan : haid berbeda dengan junub karena haid waktunya lama.
Oleh karena itu, wanita yang sedang haid dibolehkan membaca Al-Qur’an, sebab
bila tidak, maka haid yang panjang itu akan menghhalangi wanita untuk
mendapatkan pahala ibadah apapun, sedang laki-laki dapat beribadah setiap saat.

2. Mengecualikan sebagai hukum kulli dengan dalil. seperti transaksi salam (pesanan).

a. berdasarkan istihsan diperbolehkan karena transaksi tersebut dibutuhkan oleh


manusia dan sudah menjadi Urf (kebiasaan.

b. Menurut dalil kulli, syariat melarang jual beli yang barangnya tidak ada pada
waktu akad karena tidak dapat dilihat oleh kedua pihak yang melakukan transaksi.
Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqih, istihsan adalah berpalingnya (pindahnya)
seorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang jali (nyata) kepada tuntutan qiyas yang khafi (samar),
atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum ististnai (pengecualian), karena terdapat dalil yang
mementingkan perpindahan.

Istilah istihsan dikalangan ulama Hanafiyah sebagaimana yang dikutip oleh al-sarkhasi.2 Beramal
dengan ijtihad dan pendapat umum dalam menentukan sesuatu yang syara’ menyerahkannya
kepada kita dalil yang menyalahi qiyas yang zahir yang didahului prasangka sebelum diadakan
pendahuluan terhadap dalil itu namun setelah diadakan penelitian yang mendalam terhadap dalil
itu dalam hukum yang berlaku dan dasar-dasar yang sama dengan itu ternyata bahwa dalil yang
menyalahi qiyas itu lebih kuat dan oleh karenanya wajib diamalkan.

Istihsan menurut ulama malikiyah diantaranya sebagaimana yang dikemukakan oleh as-syatibi.3

Yakni menggunakan kemaslahatan yang bersifat juz’i sebagai pengganti dalil yang bersifat kulli.
Dari definisi di atas mengandung arti bahwa seorang mujtahid semestinya
menetapkan hukum dengan berpedoman kepada dalil yang ada yang bersifat umum.
Namun karena dalam keadaan tertentu mujtahid melihat karena adanya kemaslahatan yang
bersifat khusus, maka dalam menetapkan hukum tidak berpedoman kepada dalil umum yang
ada, tetapi menggunakan kemaslahatan atau kepentingan yang bersifat khusus.

B. MACAM-MACAM ISTIHSAN

1. Istihsan yang disandarkan kepada teks Al-Quran atau hadis yang lebih kuat. Seperti jual
beli salam.

2. Istihsan yang disandarkan kepada ijma‟. Contoh, bolehnya mengambil upah dari orang
yang masuk WC. Menurut kaidah umum,

tidak boleh seseorang

2
. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II (Cet. I; Jakarta: Logos, 1999), Hlm.307
3
. Abi Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Juz I,Hlm.30.
mengambil upah tersebut, karena tidak bisa diketahui dan dipastikan berapa lama si
pengguna berada di dalam WC, juga tidak bisa diketahui seberapa banyak dia menggunakan
air di dalam WC. tetapi berdasarkan istihsan, diperbolehkan si petugas mengambil upah dari
pengguna WC tersebut, karena sudah membantu menghilangkan kesulitan orang, juga sudah
menjadi kebiasaan dan tidak ada penolakan dari seorang pun sehingga menjadi ijma‟.

4. Istihsan yang disandarkan kepada adat kebiasaan („urf). Seperti pendapat sebagian ulama
yang membolehkan wakaf dengan barang-barang yang bergerak, seperti mewakafkan buku,
mobil dan barang-barang lainnya. Menurut kaidah umum, wakaf itu harus pada barang-
barang yang tidak bergerak, seperti tanah, atau bangunan. Kemudian ulama membolehkan
wakaf dengan barang-barang yang bergerak tadi karena sudah menjadi adat („urf) di
lingkungan tersebut.

5. Istihsan yang disandarkan kepada urusan yang sangat darurat. Seperti, membersihkan
sumur yang terkena najis, hanya dengan mengambil sebagian air dari sumur itu. Menurut
qiyas, air sumur tersebut tidak bisa dibersihkan lagi, karena alat untuk membersihkan air itu
sudah kena najis, dan tidak mungkin dibersihkan. Tetapi menurut istihsan, air itu bersih lagi
hanya dengan mengeluarkan sebagian airnya saja. Karena mengeluarkan sebagian air itu
tidak mempengaruhi kesucian sisanya.

Inilah yang

dinamakan dengan darurat, yang bertujuan untuk memudahkan urusan manusia. Selain itu
juga dalam ayat Al- Quran sudah disebutkan bahwa Istihsan dan agama itu bukan untuk
menyusahkan manusia. Allah SWT. Berfirman (QS. 22: 78). “Dia sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”

6. Istihsan yang disandarkan kepada qiyas khafi. Seperti bolehnya minum air sisa minum
burung buas seperti elang dan gagak.

Adapun istihsan dari segi pemindahan hukumnya, terbagi kepada dua macam yaitu
sebagai berikut,

1. Istihsan dengan cara pemindahan hukum kulli kepada hukum juzi. Contohnya, dalam
hukum syara‟ seseorang tidak boleh melakukan transaksi jual beli dengan barang yang
belum ada ketika dilangsungkannya akad jual beli. aturan ini berlaku untuk seluruh jenis
transaksi jual beli. karena jual beli tanpa adanya barang ketika akad berlangsung maka akad
tersebut menjadi rusak. inilah yang disebut dengan hukum kulli. Kemudian, Kemudian,
syari‟at memberikan keringanan dan pengecualian kepada pembelian barang dengan uang
tunai tapi barangnya dikirim kemudian dengan waktu dan jenis barang yang telah ditentukan
(jual-beli salam). Jual beli ini dilakukan karena telah menjadi kebiasaan di masyarakat, juga
jual beli ini untuk mempermudah bagi para penjual yang tidak memiliki modal. pengecualian
atau keringanan ini dinamakan dengan pemindahan hukum kulli kepada hukum juzi.
Mengenai jual beli salam ini rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang meminjamkan
sesuatu, hendaknya ia meminjamkan dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas dan
dalam tempo yang jelas.” (HR. Bukhari).
2. Istihsan dengan cara pemindahan dari qiyas jalli kepada qiyas khafi, karena ada dalil yang
mengharuskan pemindahan itu. Contohnya, menurut madzhab hanafi, sisa minum burung
buas seperti burung elang dan gagak adalah suci dan halal diminum. Penghalalan ini
ditetapkan berdasarkan istihsan. Menurut qiyas jalli, meminum sisa minuman binatang buas
seperti anjing dan burung buas adalah haram, karena binatang tersebut langsung minum
dengan lisannya yang diqiyaskan kepada dagingnya. Menurut istihsan, berbeda antara mulut
binatang buas dengan burung buas tadi. Kalau binatang buas langsung minum dengan
mulutnya, sedangkan burung buas minum melalui paruhnya yang bukan merupakan najis.
Karena itu mulut burung buas tadi tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan.
Dari perbedaan antara binatang buas dan burung buas tadi, maka ditetapkanlah perpindahan
qiyas jalli kepada qiyas khafi.
3. Istihsan yang disandarkan pada keadaan untuk menghilangkan kesulitan ................yakni
istihsan yang disandarkan pada menghindari kesulitan yang dihadapi. Bentuk istihsan
seperti ini sebenarnya hampir sama dengan istihsan yang diamalkan atas pertimbangan
maslahat. Pada umumnya kategori ke tiga ini banyak dijumpai pada persoalan
4. muamalah dan ibadah. Mengamati pembagian istihsan yang dikemukakan oleh mazhab
Hanafi dan
5. Maliki tersebut, ditemukan adanya perbedaan dan persamaannya. Perbedaannya adalah
dari segi pengelompokannya, sedang persamaannya, keduanya mengakui adanya istihsan
denagn „urf dan istihsan karena darurat dan hajat (Hanafi) yang bisa diidentikkan dengan
maslahat (Maliki). Untuk lebih jelasnya gambaran pembagian istihsan menurut kedua
mazhab
6. dapat dilihat pada tabel berikut:
7. Mazhab Hanafi
8. 1. Istihsan dengan nas 2. Istihsan dengan ijma‟ 3. Istihsan dengan darurat dengan hajat
9. 4. Istihsan dengan „urf 5. Istihsan qiyas khafiy
10. Mazhab Maliki 1. Istihsan dengan maslahat 2. Istihsan dengan „urf 3. Istihsan dengan
raf‟u al-haraj
11. Catatan:
12. Istihsan dalam arti penyimpangan hukum itu terjadi disebabkan oleh beberapa
13. faktor: 1. Meninggalkan ketentuan kiyas karena tidak dapat diberlakukan pada masalah
tertentu
14. 2. Meninggalkan kaidah yang umum karena persoalan khusus. 3. Meninggalkan
ketentuan kulliy karena memelihara „urf yang berlaku. 4. Meninggalka kiyas karena
pertimabangan maslahat, dalam artian memelihara keberlangsungan manfaat dan
menolak kemudaratan serta menghilangkan kesulitan.
15. C.

6
C. Kehujjahan Istihsan

Apabila ditelusuri sejarah munculnya istihsan sebagai dalil hukum, maka ia

berawal dari persoalan penerapan kiyas sebagai dalil hukum. Kenyataannya, dal
beberapa hal kiyas tidak dapat difungsikan karena ketidak relevannya dengan masalah yang
dimaksud. Untuk menyelesaikan problematika seperti itu, kiyas harus dikesampingkan dan
mencari cara lain yang lebih mendekati tujuan syara‟. Penyelesaian dengan metode tersebut
yang kemudian disebut dengan istihsan. Fuqaha yang banyak menerapkan metode istimbat
istilah hukum istihsan dalam berbagai persoalan fiqh adalah Imam Abu Hanifah. Akan tetapi,
setelah disistematisasikan menjadi bagian dari dalil hukum (menurut istilah pakar ushul),
maka penggunaannya tidak terbatas pada pengikut mazhab Hanafi melainkan juga
dipraktekkan oleh mazhab Maliki dan Hanbali. Menurut Menurut mazhab Maliki, konsep
dasar istihsan diberlakukan ketika terdapat dua dalil aygn saling kontroversi. Cara
penyelesaiannya adalah memilih dalil yagn terkuat atau mengecualikan pemberlakuan dalil
kulliy. Al-Syatibiy, menjelaskan pengecualian penerapan dalil kulliy. Al-Syatibiy,
menjelaskan pengecualian penerapan dalil kulliy dalam suatu persoalan ditempuh bila
bertentangan dengan dalil ju‟iy. Dengan kata lain, ketika terjadi hal seperti itu maka
kemaslahatan juz‟iy harus diutamakan. Selain itu, pengikut mazhab maliki menerapkan
istihsan dalam rangka

mengutamakan maslahat daripada kiyas. Dalam artian, apabila terjadi kontroversi


antara maslahat dengan kiyas lalu mengutamakan kiyas, maka tujuan syara‟ tidak akan dapat
terwujud. Selanjutnya, menurut pengikut mazhab hanbali, pemberlakuan istihsan pada

dasarnya bertolak dari pertimbangan: pertama, penyimpangan suatu ketentuan hukum


yang seharusnya diterapkan karena adnya khusus dari al-qur‟an dan sunnah,. Kedua, terdapat
suatu pertimbangan yang dipandang baik oleh mujtahid. Ketiga, adanya suatu dalil yang tidk
dapat diaplikasikan menurut pertimbangan mujtahid. Dengan demikian, dapat dilihat masing-
masing mazhab memiliki konsep
dasar tentang istihsan sebagai metode istimbat hukum atau dalil dalam menetapakn
hukum. Untuk mendukung kehujjahan istihsan, ulama hanafiyah, malikiyah, dan Hanabilah
Hanabilah mengemukakan alasan sebagi berikut: 1. Terdapat beberapa ayat yang
menganjurkan manusia untuk selalu mencari cara terbaik untuk meneyelesaikan suatu
problema yang diahdapi dalam kehidupan, antara lain: Surat al-Zumar (39):18: Mereka yang
yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah
orang-orang yang telah diberi oleh Allah petunjuk.......

Surat al-Zumar (39) : 55: Dan ikutilah apa yang paling baik yang telah diturunkan
kepadamu oleh Tuhanmu.....

Ayat pertama menjelaskan tentang penghargaan terhadap mereka yang mengikuti


pendapat yang paling baik. Sedangkan ayat kedua menyruh untuk mengikuti yang paling baik
dan apa yagn diturunkan Allah.

2. Selain ayat al-quran, mereka juga mengutip hadis Nabi untuk menguatkan
argumennya, misalnya sabda nabi yang bahwa sesuatu yagn dianggap baik di kalangan umat
islam, maka pada prinsipnya Allah swt juga menganggap hal itu sebagai suatu yang baik.
Hadis nabi tersebut berbunyi: Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, amak hal itu
juga baik di sisi Allah.

3. Istihsan sebagai metode atau dalil dalam menetapkan hukum syara‟ tidaklah
didsarkan pada akal semata, tetapi memeilih alternatif dalil terkuat. Metode ini merupakan
hasil induksi dari berbagai ayat dan hadis yang diaplikasikan dalam merespon persoalan-
persoalan umat demi menghindari kesulitan dan merealisasikan kemaslahatan. Dalam
menerapkan metode tersebut, seorang mujtahid hanyalah mengesampingkan kaidah umum
atau kiyas karena ilatnya tidak terdapat dalam persoalan yang sedang dihadapi seperti pada
conoh-contoh yang telah dikemukakan sebelumnya. Dapat dikatakan bahwa sebagian ulama
(fuqaha) telah menerima istihsan
sebagai dalil hukum syara‟, namun tidak sedikit di anatara mereka yang menolaknya,
misalnya ulama Syafi‟iyah, Zahriyah, Syi‟ah dan Mu‟tazilah. Mereka berargumen seperti
yang diungkapkan oleh al-Syafi‟i sebagai berikut: 1. Istihsan bukanlah metode yang dilandasi
Al-quran dan hadis melainkan suatu upaya penetapan hukum dengan akal dan ahwa nafsu.
Apabila boleh berdalil selain nas dan kias, itu berarti memberikan peluangkepada seseorang
yagn tidak memiliki pengetahuan tentang nash dan kiyas untuk menetapkan hukum
berdasaarkan istihsan denagn alasan mereka juga berakal. Implikasinya sangat fatal, karena
akan bermunculan hasil istimbat hukum aygn mengada-ngada dan tidak sesuai dengan nash.
Bahkan imam syafi‟i lebih menegaskan bahwa orang yang menerapkan istihsan dalam
menemukan hukum berarti ia telah membuat- buat hukum syara‟ yang baru. Nabi muhammad
saw tidak pernah menetapkan hukum berdasarkan istihsan, apatah algi umatnya suda
sepantasyamenghindari penggunaan istihsan tersebut. Hal nii dapat ilihat katika rasulullah
saw tidak menjawab pertanyaan ysang ditjukan keapdanyaperihal li‟an dan zihan. Pertanyaan
itu tidak dijawab berdasarkan istihsan akan tetapi menunggu turunnya wahyu.

3. Istihsan tidak memiliki kriteria dan tolak ukur yang jelas dan dapat
dipertanggungjawabkan. d dengan demikian secara syar‟i tidak dapat dijadikan dalil dalam
menetapkan hukum. Mencermati argumen penolakan imam syafi‟i terhadap kehujjahan
istihsan di
atas, dapat diakatan bahwa tidak semua bentuk istihsan masuk di dalamnya. Dengan
kata lain, terdapat istihsan yang sebenarnya diterima oleh syafi‟i. Bentuk yang ditolak adalah
istihsan aygn didsarkan pada urf dan maslahat al-mursalah, sedangkan istihsan yang didsarkan
pada nash, ijma‟, dan dadurat pada dasarnya tidak, sebab istihsan seperti ini tidak terlepas dari
nash, ijma‟, kiyas
Selanjutnya, jika diperhatikan peneybab perselisihan ulama dan menerima

atau menolak istihsan sebagai salh satu dalil hukum, amka akan tampak bahwa sebenarnya letak
perbedaan tersebut hanyalah pada persoalan peristilahan. Ulama yang menolak istihsan dalam
kenyataannya tidak berbeda pendapat denagn ulama aygn menerimanya, misalnya dalam persoalan
mudharabah (bagi hasil), meninggalakn puasa bagi musafir dalam bulan ramadhan dan lain-lain. Selama
istihsan diterapkan berdasarkan dalil yang didukung oleh nash maka tidak ada alasan untuk menolaknya.
Oleh sebab itu, dapat diakatakan bahwa pada dasarnay letak perbedaan mereka hanayalah pada
peristilahan bukan pada esensinya. Bila saja konsep istihsan dipahami supaya upaya menemukan hukum
berdasarkan dalil yang didukung oleh syara‟, maka dapat diprediksi bahwa tidak akan terjadi perbedaan
ulama dalam kehujjahannya. Selain itu, penggunaan nash, qiyas jaliy atau dalil umum dalamn
menyelesaikan suatu kasus pada keadaan tertentu kurang menghasilakn kemaslahatan terutama dalm
era kontemporer dewasa ini, misalnya hukum zakat profesi, bunga deposito bank, transplantasi organ
tubuh da lain-lain…………………..

Dari kehujjahan istihsan dan penjelasan terhadap kedua macamnya. Jelaslah pada
hakekatnya istihsan bukan sumber hukum yang berdiri sendiri, karena hukum-hukum yang
tersebut pada bagian pertama berasal dari qiyas khafi (tersembunyi), yang mengalahkan
terhadap qiyas yang jali (jelas), karena adanya beberapa faktor yang memenangkan hati
mujtahid yaitu dari segi istihsan. Sedangkan bagian kedua dari istihsan, hukum-hukumnya
antara lain berupa dalil maslahat, yang menuntut pengecualian juz’iyyah dari hukum kulli
(umum), dan ini juga disebut dengan segi istihsan.
Hujjah istihsan kebanyakan digunakan oleh kalangan ulama hanafiyyah. Alasan
mereka ialah mencari dalil dengan istihsan hakikatnya merupakan istidlal (mencari dalil)
dengan dasar qiyas yang tersembunyi, yang lebih diungguli dari qiyas yang nyata. Atau
sebagai upaya mengunggulkan sesuatu qiyas dengan qiyas lain yang berlawanan, dengan
berdasar pada suatu dalil yang bisa diunggulkan, atau merupakan istidlal dengan jalan
mashlahah mursalah berdasarkan pengecualian juz’iyyah dari hukum kulli ( umum). Semua
ini merupakan istidlal yang sahih.4
D. Keraguan orang yang tidah berhujjah dengan istihsan
Sekelompok mujtahid mengingkari terhadap istihsan sebagai hujjah dan mereka
menganggapnya sebagai istimbath terhadap hukum syara’ berdasarkan hawa nafsu dan
seenaknya sendiri. Tokoh utama kelompok ini adalah imam Asy-Syafi’i. menurut sebuah
riwayat, ia berkata:
‫َم ْن اِ ْستَحْ َسنَ فَقَ ْد َش َر َع‬
“Barang siapa yang beristihsan, maka ia telah membuat syariat.”

4
.ibid…Hlm.136
Maksudnya orang tersebut membuat hukum syara’ sendiri.
Dalam kitab Risalah Ushuliyyah, Asy-Syafi’i menjelaskan:
‫صالَ ِة اِلَي ِجهَ ٍة اِ ْستَحْ َسنَ اَنَّهَا ْال َك ْعبَةُ ِم ْن َغي ِْر اَ ْن يَقُوْ َم لَهُ َدلِ ْي ٌل ِّمنَ ااْل َ ِدلَّ ِة‬
َّ ‫َمثَ ُل َم ْن اِ ْستَحْ َسنَ ُح ْك ًما ِّم ْث ُل َم ْن اِتَّ َجهَ فِ ْي ال‬
‫ن ااْل ِ تِّ َجا ِه اِلَي ْال َك ْعبَ ِة‬yِ ‫ع لِتَ ْعيِ ْي‬ ِ ‫الَّتِ ْي اَقَا َمهَا ال َّش‬
ُ ‫ار‬
“Sesungguhnya perumpamaan orang yang beristihsan terhadap hukum adalh seperti orang
yang 7
menghadap suatu arah didalam shalatnya dimana ia beranggapan baik bahwa arah tersebut
adalah ka’bah, namun tidak adil baginya dari berbagai dalil yang telah dikemukakan oleh syar’i untuk
menetukan arah ka’bah.”5

Dengan demikian, ulama yang menggunakan istihsan sebagai hujjah mengharapkan pada
ulama yang tidak menjadikannya hujjah dengan pengertian yang lain. Jika merasa sepakat dalam
memaknai pengertiannya, niscaya mereka tidak akan bertentangan mengenai menjadikan istihsan
sebagi hujjah, karena pada dasarnya istihsan adalah perpindahan dari dalil yang zhahir atau dari
hukum kulli (umum) karena ada dalil yang menuntut perpindahan itu. Jadiistihsan bukan semata-
mata pembentukan syariat berdasarkan hawa nafsu.
Oleh kerana inilah, Imam Asy-Syathibi dalam kitab Al Muwafaqot berkata: “Barang siapa
yang mempergunakkan dalil istihsan, ia tidah boleh mengembalikan persoalan hanya pada
perasaan dan keinginannya, namun harus dikembalikan pada hal-hal yang telah diketahui dari
tujuan syar’i dalam menetapkan hukum pada masalah yang baru, seperti beberapa hal yang
dituntut oleh qiyas tentang adanya perintah, walaupun perintah itu dari satu sisi dapat
menghilangkan mashalahah dan dari sisi lain mendatangkan mafsadah.6

5
.ibid…Hlm.137
6
.ibid…Hlm.138
8
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Istihsan menurut bahasa adalah menganggap baik terhadap sesuatu, sedangkan
menurut istilah ulama ushul fiqh, istihsan adalah berpalingnya seorang mujtahid dari tuntutan
qiyaas jalli (nyata) kepada tuntutan qiyas yang khafi (samar), atau dari hukum kulli (umum)
kepada hukum ististnai (pengecualian) karena terdapat dalil yang mementingkan perpindahan.
Menurut syara’, istihsan dibagi menjadi dua bagian:
1). Mengutamakan qiyas khafi (samar) atas qiyas jail (nyata) karena adanya suatu dalil.
2). Mengecualikan kasuistis (juz’iyyah) dari hukum kulli (umum) karena adanya suatu
dalil.
Dari kehujjahan istihsan jelaslah bahwa hakekatnya istihsan bukan sumber hukum
yang berdiri sendiri, karena hukum-hukum yang tersebut dalam bagian pertama berasal dari
khafi (samar) yang mengalahkan terhadap qiyas yang jali (jelas).
Sekelompok mujtahid mengingkari terhadap istihsan sebagai hujjah dan mereka
menganggapnya sebagai istimbath terhadap hukum syara’ berdasarkan hawa nafsu dan
seenaknya sendiri.
2. SARAN
Dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami
minta saran dari dosen maupun dari teman-teman. Agar kami bisa lebih teliti dan hati-hati
dalam penulisan makalah ini.

9
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Khalah,”ilmu ushul fiqih”,(semarag: Dina Utama1994)
Syarifuddin, Amir.Ushul Fiqh, Jilid II, Cet. I; Jakarta: Logos, 1999.
Al-Syatibi, Abi Ishaq. al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari'ah, Juz I, Cairo

Anda mungkin juga menyukai