MAKALAH
Di susun oleh :
1
KATA PENGANRAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ Al – Umuru bi Maqasidiha” dengan
tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Qowaid Fiqhiyah. Selain itu,
makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang Qowaid Fiqhiyah bagi para pembaca
dan juga bagi penulis.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada Bapak Nasrul Hakim selaku dosen Mata
Kuliah Qowaid Fiqhiyah. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang
telah membantu diselesaikannya makalah ini.
Penyusun menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan
kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ..............................................................................................11
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qawaid bentuk jamak dari kata qaidah (kaidah). Para ulama mengartikan qaidah
secara etimologis dan terminologis, (lughatan wa istilahan). Dalam arti bahasa, qaidah
bermakna asas, dasar atau fondasi, baik dalam arti yang konkret maupun yang abstrak, seperti
kata-kata qawa’id al-bait, yang artinya fondasi rumah, qawa’id artinya dasar-dasar agama,
qawa’id al-ilm, artinya kaidah-kaidah ilmu.Qawaid Fiqhiyah merupakan satu materi ilmu
yang memiliki faedah dan peran yang sangat besar dalam menganalisa hukum dari beragam
perumpamaan sehingga mempermudah penetapan putusan hukum bagi seorang mujtahid.
Didalam kaidah fikih ini juga membahas kaidah-kaidah fikih yang asasi atau Al-Qawaid
Al-Khamsah (lima kaidah asasi). Diantaranya Al-Ummuru bi maqashidiha didalamnya
membahas apapun perkara yang terjadi itu tergantung pada niatnya dikalangan mazhab
Hanbali bahwa tempat niat ada didalam hati, karena niat adalah perwujudan dari maksud dari
tempat dari maksud adalah hati.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
4
BAB II
PEMBAHASAN
1 Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, 2017)hlm 34-35
5
Secara lebih merinci lagi, para fuqaha (ahli hukum islam) merinci masalah niat ini baik
dalam bidang ibadah mahdlah, seperti thaharah (bersuci), wudhu, tayamum, mandi junuh,
shalat qasar, jamak, wajib, sunnah, zakat, haji, saum ataupun didalam muamalah dalam arti
luas atau ibadah ghair mahdlah, seperti pernikahan, talak, wakaf, jual beli, hibah, wasiyat,
sewa-menyewa, perkawilan, utang-piutang, dan akad-akad lainnya.
Dalam fikih jinayah seperti kesengajaan, kondisi dipaksa atau terpaksa dan lain
sebagainya, sehingga Imam al-Suyuthi menyatakan:” apabila kau hitung maalah-masalah
fikih yang berhubungan dengan niat ini tidak kurang dari sepertiga atau seperempatnya.
Adapun kekecualian kaidah-kaidah ini antara lain :
1. Sesuatu perbuatan yang sudah jelas-jelas ibadah hukum adat sehingga tidak
bercampur dengan yang lain. Dalam hal ini tidak diperlukan niat, azan, zikir dan
membaca Al-Quran kecuali apabila bacanya dalam rangka nazar.
2. Tidak diperlukan niat di dalam meninggalkan perbuatan seperti meninggalkan
perbuatan zina dan perbuatan-perbuatan lain yang dilarang (haram) karena dengan
tidak melakukan perbuatan tersebut, maksudnya sudah tercapai. Memang betul
diperlukan niat apabila mengharapkan dapat pahala dengan meninggalkan yang
dilarang.
3. Keluar dari shalat tidak diperlukan niat, karena niat diperlukan dalam melakukan
suatu perbuatan bukan untuk meninggalkan suatu perbuatan. 2
1. Terdapat pada surah al-Bayyinah ayat 5 yang menjelaskan bahwa umat manusia dibumi
hanyalah menyembah pada Sang Robbi tidak ada sembahan makhluk lainnya kecuali
pada-Nya dengan menata kembali seberapa besar taatnya dan takwanya pada Sang Robbi.
2 Toha Andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Depok Sleman Yogyakarta: Teras, 2011) hlm 34
6
“ Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah SWT dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus” (QS al-Bayyinah: 5).3
Dalam surah al-Bayyinah diperjelas dengan hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh
Bukhari Muslim dari Umar bin Khattab didalam hadis ini menjelaskan bahwa” Setiap
perbuatan itu bergantung kepada niatnya dan bagi setiap orang sesuai dengan niatnya.
Barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan
Rasulnya dan barangsiapa hijrahnya karena mengharapkan kepentingan dunia atau karena
wanita yang dinikahinya, waktu kepada yang diniatkannya.”
Dasar Qaidah ini juga dilandasi pada Surat Ali Imran ayat 145, yang didalamnya
membahas pahala didunia dan diakhirat. Berbunyi :
“Barang siapa menghendaki pahala dunia niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu,
dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat
itu.”
3 Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, 2017) hlm 37
4 Toha Andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhyyah, (Depok Sleman Yogyakarta: Teras, 2011) hlm 39
7
َ َسكِينَة
علَ ْي ِه ْم َوأَثَابَ ُه ْم شج ََر ِة فَعَ ِل َم َما فِي قُلُوبِ ِه ْم فَأ َ ْن َز َل ال ا
َّللا ع َِن ا ْل ُمؤْ مِ نِينَ إِ ْذ يُبَايِعُونَكَ تَحْ تَ ال ا
ُي ا َ لَقَ ْد َر ِض
فَتْ ًحا قَ ِريبًا
Artinya :
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia
kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu
menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan
kemenangan yang dekat (waktunya).”
Dalam Qaidah ini memiliki beberapa cabang yang didalamnya membahas lebih dalam
tentang niat, sekurang-kurangnya ada enam cabang Qaidah Al-Umuru bi maqashidiha,
cabang-cabangnya sebagai berikut :
1. Qaidah 1
Suatu amalan yang disyaratkan untuk ditentukan (dijelaskan), maka kesalahannya
membatalkan pekerjaannya.
Misalnya : seseorang hendak melakukan shalat dhuhur kemudian niat shalat ashar atau
sebaliknya, maka shalatnya tidak sah. Demikian pula seseorang hendak berpuasa untuk
membayar kafarat zihar dengan niat puasa kafarat sumpah, maka puasanya tidak sah.
2. Qaidah 2
Suatu amalan yang harus dijelaskan secara global dan tidak disyaratkan untuk dirinci,
kemudian dijelaskan secara rinci dan ternyata salah, maka membahayakan (tidak sah).
3. Qaidah 3
Amalan yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan baik secara garis besar maupun secara rinci ,
apabila ditentukan (dijelaskan) dan ternyata keliru, maka kekeliruannya tidak membahayakan
(tidak membatalkan).
4. Qaidah 4
Niat dalam sumpah mengkhususkan lafadz umum, tetapi tidak menjadikan umum pada lafadz
yang khusus.
8
Qaidah tersebut dari Imam al-Rafi’i, lalu disebutkan oleh Imam al-Nawawi dalam kitab al-
Raudhah. Contoh : orang yang bersumpah tidak akan bicara dengan seseorang tetapi yang
dimaksud seseorang adalah Umar, maka sumpahnya hanya berlaku pada Umar.
Orang yang bersumpah tidak akan minum air dari orang lain karena dahaga maka sumpahnya
hanya berlaku pada air, yakni dia tidak melanggar sumpah dengan makan makanan dari orang
lain tadi.
5. Qaidah 5
Maksud suatu lafadz mengikuti niat orang yang mengungkapkan, kecuali dalam satu tempat,
yaitu lafadz sumpah di hadapan qadhi, maka maksud lafadz mengikuti niat qadhi, bukan niat
orang yang bersumpah.
Contoh : orang junub membaca dzikir dari ayat Al-Quran, maka hukumnya haram, bila niat
dzikir maka membawa Al-Quran bersama barang lain, bila niat membawa Al-Quran maka
hukumnya haram, dan bila niat membawa barang atau niat membawa kedua-keduanya maka
hukumnya tidak haram.
6. Qaidah 6
Seseorang yang tidak dapat melaksanakan ibadah, karena suatu halangan padahal ia berniat
untuk melakukannya jika tiada halangan maka ia mendapatkan pahala.
1. Apabila seseorang membeli anggur dengan tujuan/niat memakan atau menjual maka
hukumnya boleh. Akan tetapi apabila ia membeli dengan tujuan/niat menjadikan
khamr, atau menjual pada orang yang akan menjadikannya sebagai khamr, maka
hukumnya haram.
2. Apabila seseorang menemukan di jalan sebuah dompet yang berisi sejumlah uang lalu
mengambilnya dengan tujuan/niat mengembalikan kepada pemiliknya, maka hal itu
tidak mengganti jika dompet itu hilang tanpa sengaja.
5 A. Ghazali Ihsan, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, ( Semarang: Basscom Multimedia Grafika, 2015)hlm 32-37
9
3. Apabila seseorang menabung di Bank Konvensional dengan tujuan/niat untuk mengamankan
uangnya karena belum ada bank syariah di daerahnya, maka ia dibolehkan karena dharurat.
Akan tetapi jika ia menyimpan uang di Bank konvensional itu dengan tujuan/niat memperoleh
bunga dari bank itu, maka hukumnya haram.
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Qaidah al-Umur bi Maqahidiha merupakan qaidah yang ringkas lafalnya namun memiliki
arti luas, memuat semua aktifitas yang dilakukan seseorang, baik berupa perkataan maupun
berupa perbuatan. Qaidah ini juga membahas tentang bahwa hukum yang menjadi
konsekuensi atas setiap pekara haruslah selalu sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari
perkara tersebut.
Qaidah tentang niat ini merupakan yang terpenting dan sangat mendalam maknanya
dibanding Qaidah-Qaidah lain dalam Fiqh islam. Pada dasarnya hukum Qaidah Al-Umuru bi
maqashidiha berlandaskan pada Al-Quran dan Al-Hadis yang ternyata mendapat legitimasi.
Qaidah ini memiliki enam macam cabang yang diantaranya cabang yang pertama membahas
tentang suatu amalan yang disyaratkan untuk ditentukan (dijelaskan), maka kesalahannya
membatalkan pekerjaannya.
11
DAFTAR PUSTAKA
12