Anda di halaman 1dari 20

MAHKAMAH AGUNG

MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Tata Negara
Dosen Pengampu Sukis Jiwantomo SH.MH

Disusun Oleh :
NAILA ROCHA (2120010)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PATI


PRODI AHWAL AL SYAHSIYAH
JURUSAN SYARI’AH KELAS C
2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.

Alhamdulillah puji syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT karena berkat ridho dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Mahkamah Agung” tanpa
ada suatu halangan.

Sholawat dan salam tercurahkan kepada Nabi Agung Muhammad SAW, yang selalu
dinanti-nantikan safaatnya di hari akhir.

Dalam penyusunan makalah ini banyak bantuan yang penulis terima. Oleh karena itu,
penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Orang tua yang selalu memberi doa dan restu.

3. Dosen Pengampu mata kuliah Hukum Tata Negara.

4. Semua pihak yang terkait dalam penulisan makalah ini.

Semoga segala kebaikan yang telah diberikan, mendapatkan balasan dari Allah
Subhanallahu wa Ta’ala.

Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran masih penulis
harapkan untuk perbaikan selanjutnya.

Wassalamualaikum wr.wb.

Pati, 21 April 2022

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ketentuan yang menunjuk kearah badan Kehakiman yang tertinggi adalah pasal
24 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945.Eksistensi Mahkamah Agung ditetapkan
setelah diundangkannya Undang-Undang No. 7 tahun 1947 tentang susunan
kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaaan Agung yang mulai berlaku pada
tanggal 3 Maret 1947.Undang-Undang No. 7 tahun 1947 kemudian diganti dengan
Undang-Undang No. 19 tahun 1948 yang dalam pasal 50 ayat 1 menyebutkan
Mahkamah Agung Indonesia ialah pengadilan tertinggi. Undang-Undng No. 14
tahun 1970 tentang "Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman" tanggal 17
Desember 1970, antara lain dalam pasal 10 ayat (2) disebutkan bahwa Mahkamah
Agung adalah Pengadilan Negara tertinggi dalam arti Mahkamah Agung sebagai
badan pengadilan kasasi (terakhir) bagi putusan-putusan yang berasal dari
Pengadilan-pengadilan lain yaitu yang meliputi keempat lingkungan peradilan yang
masing-masing terdiri dari:
1. Peradilan Umum;
2. Pemdilan Agama;
3. Peradilan Militer;
4. Peadilan Tata Usaha Negara.

Pembentukan Mahkamah Agung (MA) pada pokoknya memang diperlukan


karena bangsa kita telah melakukan perubahan-perubahan yang mendasar atas dasar
undang-undang dasar 1945. Dalam rangka perubahan pertama sampai dengan
perubahan keempat UUD 1945. Bangsa itu telah mengadopsi prinsip-prinsip baru
dalam system ketenegaraan, yaitu antara lain dengan adanya system prinsip
“Pemisahan kekuasaan dan cheeks and balance” sebagai pengganti system
supremasi parlemen yang berlaku sebelumnya.

Sebagai akibat perubahan tersebut, maka perlu diadakan mekanisme untuk


memutuskan sengketa kewenangan yang mungkin terjadi antara lembaga-lembaga
yang mempunyai kedudukan yang satu sama lain bersifat sederajat, yang
kewenanganya ditentukan dalam Undang-Undang Dasar. Maka dari itu MA di
bentuk agar (the supreme law of the land ) benar-benar dijalankan atau ditegakan
dalam penyelenggaran kehidupan kenegaraan sesuai dengan prinsip-prinsip negara
Hukum modern, dimana Hukumlah yang menjadi factor bagi penentu bagi
keseluruhan dinamika kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu bangsa.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Mahkamah Agung?
2. Bagaimana Kedudukan Mahkamah Agung?
3. Jelaskan Wewenang dan Fungsi Mahkamah Agung?
4. Jelaskan Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Agung?
C. Tujuan
1. Mengetahui Pengertian Mahkamah Agung.
2. Mengetahui Kedudukan Mahkamah Agung.
3. Mengetahui Wewenang dan Fungsi Mahkamah Agung.
4. Mengetahui Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Agung.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Mahkamah Agung


Mahkamah agung adalah lembaga tertinggi dalam system ketatanegaraan
Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan
Mahkamah Konstitusi. Mahkamah agung membawahi badan peradilan dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara.
Saat ini lembaga Mahkamah Agung berdasarkan pada UU. No. 48 Tahun
2009 tentang kekuasaan kehakiman UU ini juga telah mencabut dan membatalkan
berlakunya UU No. 4 tahun 2004. Undang-undang ini di susun karena UU No.4
Tahun 2004 secara substansi dinilai kurang mengakomodir masalah kekuasaan
kehakiman yang cakupannya cukup luas, selain itu juga karena adanya judicial
review ke Mahkamah Konstitusi atas pasal 34 UU No.4 Tahun 2004, karena setelah
pasal dalam undang-undang yang di-review tersebut diputus bertentangan dengan
UUD, maka saat itu juga pasal dalam undang-undang tersebut tidak berlaku,
sehingga untuk mengisi kekosongan aturan/hukum, maka perlu segera melakukan
perubahan pada undang-undang dimaksud.

B. Kedudukan Mahkamah Agung (MA)


Mahkamah Agung merupakan pengadilan tinggi negara sebagaimana yang
tercantum dalam Ketetapam Majelis Permusyarawatan Rakyat Republik Indonesia
Nomor III/MPR/1978 dan merupakan Lembaga Peradilan tertinggi dari semua
lembaga peradilan yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh
pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya. Mahkamah Agung membawai 4 badan
peradilan yaitu Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama, dan Peradilan
Tata Usaha Negara. Sejak Amandemen Ke-3 UUD 1945 kedudukan Mahkamah
Agung tidak lagi menjadi satu-satunya puncak kekuasaan kehakiman, dengan
berdirinya Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003 puncak kekuasaan kehakiman
menjadi 2, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, namun tidak seperti
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi tidak membawahi suatu badan peradilan.
MA adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagai Lembaga Tinggi Negara
yang merupakan Pengadilan Negara Tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan,
dimana dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan
pengaruh-pengaruh lain. Mahkamah Agung berkedudukan di ibukota Negara
Republik Indonesia. (UU. No.14 Tahun 1985 pasal 1,2,3).

C. Wewenang dan Fungsi Mahkamah Agung


Menurut Undang-undang Dasar 1945, wewenang Mahkamah Agung adalah:
a. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat
terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentukan lain;
b. menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang; dan
c. kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.

Sedangkan Fungsi Mahkamah Agung menurut UUD 1945 ada 5, yaitu:

a. Fungsi Peradilan
- Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan
pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan
hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar semua
hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara RI diterapkan secara
adil, tepat dan benar.
- Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung
berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir.
1. Semua sengketa tentang kewenangan mengadili. permohonan
peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap (Pasal 28, 29,30,33 dan 34 Undang-undang
Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985).
2. Semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan
muatannya oleh kapal perang.
3. Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku (Pasal 33 dan
Pasal 78 Undang-undang Mahkamah Agung No 14 Tahun 1985).

Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil, yaitu
wewenang menguji/menilai secara materiil peraturan perundangan dibawah
Undang-undang tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau dari isinya
(materinya) bertentangan dengan peraturan dari tingkat yang lebih tinggi
(Pasal 31 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).

b. Fungsi Pengawasan
- Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya
peradilan di semua lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan yang
dilakukan Pengadilan-pengadilan diselenggarakan dengan seksama dan
wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang sederhana, cepat dan
biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan
memutuskan perkara (Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-undang Ketentuan Pokok
Kekuasaan Nomor 14 Tahun 1970).
- Mahkamah Agung juga melakukan pengawasan :
1. Terhadap pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan
perbuatan Pejabat Pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan
dengan pelaksanaan tugas pokok Kekuasaan Kehakiman, yakni dalam
hal menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan.
2. Setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan meminta keterangan
tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan serta
memberi peringatan, teguran dan petunjuk yang diperlukan tanpa
mengurangi kebebasan Hakim (Pasal 32 Undang-undang Mahkamah
Agung Nomor 14 Tahun 1985).
3. Terhadap Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut
peradilan (Pasal 36 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun
1985).
c. Fungsi Mengatur
- Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi
kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum
cukup diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung sebagai
pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang
diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan (Pasal 27 Undang-
undang No.14 Tahun 1970, Pasal 79 Undang-undang No.14 Tahun 1985).
- Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana
dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur Undang-
undang.
d. Fungsi Nasehat
- Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-
pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain
(Pasal 37 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985).
Mahkamah Agung memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala
Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-
undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985). Selanjutnya Perubahan
Pertama Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 14 Ayat (1),
Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan
kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi juga rehabilitasi. Namun
demikian, dalam memberikan pertimbangan hukum mengenai rehabilitasi
sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur
pelaksanaannya.
- Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberi
petunjuk kepada pengadilan disemua lingkunga peradilan dalam rangka
pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. (Pasal 38 Undang-
undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).
e. Fungsi Administratif
- Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimana dimaksud Pasal 10
Ayat (1) Undang-undang No.14 Tahun 1970 secara organisatoris,
administrative dan finansial sampai saat ini masih berada dibawah
Departemen yang bersangkutan, walaupun menurut Pasal 11 (1) Undang-
undang Nomor 35 Tahun 1999 sudah dialihkan dibawah kekuasaan
Mahkamah Agung.
- Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab,
susunan organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan (Undang-undang
No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang No.14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman).
D. Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Agung
1. Pengangkatan Hakim Agung
Terdapat beberapa perbedaan antara pengangkatan Hakim Agung sebelum
reformasi, dan setelah reformas, dengan amandemen UUD 1945.Pada masa
Orde Lama proses pengangkatan (rekrutmen) Hakim Agung melibatkan ketiga
lembaga tinggi negara yaitu eksekutif (Presiden) dan Menteri Kehakiman,
yudikatif (MA) dan legislatif (DPR). Aturan ini khusus ditetapkan bagi
pemilihan Hakim Agung, sedangkan dalam pemilihan hakim biasa hanya
melibatkan pihak yudikatif dan eksekutif. Dalam Pasal 4-11 Ayat (2) KRIS
ditetapkan bahwa Ketua, Wakil Ketua dan hakim Mahkamah Agung diangkat
oleh Presiden atas anjuran DPR dari sekurang-kurangnya 2 (dua) calon bagi tiap-
tiap pengangkatan. Pengangkatan (pemilihan) Hakim Agung pada masa Orde
Lama meski melibatkan lembaga negara lainnya yakni DPR, namun keputusan
akhir tetaplah berada di tangan eksekutif (Presiden).
Salah satu penyimpangan dan politisasi dalam pemilihan Hakim Agung yang
sekaligus memperlihatkan begitu berkuasanya eksekutif (Kepala Negara) saat itu
adalah dengan diangkat dan ditetapkannya Ketua MA sebagai penasehat hukum
Presiden dengan pangkat Menteri berdasarkan Per. Pres. 4/1962, LN 38).
Meskipun Ketua MA pada saat itu berkilah bahwa ia tidak akan menjadi pejabat
eksekutif dan menjadi alat dari pemerintah, Namun secara birokrasi MA telah
kehilangan kebebasannya dan kemandiriannya dan sangat dimungkinkan
pengaruh dari eksekutif.
Pada masa Orde baru, proses rekrutmen hakim agung diawali dengan
diadakanya forum yang melibatkan Mahkamah Agung dan pemerintah yang
biasanya dikenal dengan sebutan Forum Mahkamah Angung dan Departemen
(MahDep). MahDep merupakan forum yang digunakan sebagai ajang konsultasi
antara Mahkamah Agung dab Depatrtemen dalam membicarakan daftar kandidat
hakim agung yang akan diajukan ke Mahkamah Agung da Pemerintah ke Dewan
Perwakilan Rakyat. Biasanya Mahkamah Angung berinisiatif memberikan
nama-nama calon hakim agung ke Departemen terlebih dahulu.
Ketua Mahkamah Agung biasanya melakukan konsultasi dengan pimpinan
Mahkamah Agung sebelum mengajukan proposal nama ke Departemen. Namun
dalam praktiknya Ketua Mahkamah Agung seringkali memegang kontrol yang
dominan dalam menentukan nama-nama calon yang dimasukkan dalam
proposal.
Selanjutnya, nama-nama calon dipresentasikan dalam MahDep. Pada saat
presentasi, biasanya Departemen mengusulkan beberapa perubahan, misalya
dengan memasukkan nama-nama dari militer maupun kejaksaan. Setelah usulan
nama-nama kandidat hakim agung dibahas, kemudian nama-nama tersebut
diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat yang kemudian diangkat sebagai
hakim agung oleh presiden.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peran MahDep dalam
rekruitmen hakim agung jauh lebih signifikan apabila dibandingkan dengan
peran Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini terkait denga lemahnya posisi Dewan
Perwakilan Rakyat. Dibandingkan dengan kekuasaan pemerintah (eksekutif).
Setelah tahun 1998, terjadi reformasi, kata “reformasi” tiba-tiba menjadi
hangat dibicarakan. “Reformasi ekonomi”, “reformasi struktural”, dan
“reformasi politik” menjadi bahan diskursus berbagai kalangan, baik kalangan
pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), kampus, hingga rakyat jelata.
Pada intinya, semua pihak mendambakan reformasi yang segera agar dapat
keluar dari himpitan krisis ekonomi pada saat itu dan diantaranya reformasi
dalam bidang hukum. Menurut Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia,
bentuk-bentuk reformasi hukum dikelompokkan menjadi 7 (tujuh), yaitu:
1. Kajian dan forum ilmiah;
2. Perancangan peraturan;
3. Implementasi peraturan;
4. Pelatihan hokum
5. Advokasi dan kesadaran masyarakat;
6. Lembaga hukum; dan
7. Penyusunan rencana.

Reformasi hukum tersebut salah satunya dituangkan dalam bentuk


amandemen UUD Republik Indonesia 1945. Setelah Amandemen,
mekanisme rekruitmen Hakim Agung berbeda dari hakim biasa. Calon
hakim agung diseleksi oleh Komisi Yudisial dan diajukan untuk
mendapatkan persetujuan DPR sebagaimana mestinya. Menurut ketentuan
Pasal 24A ayat (3) UUD 1945,yang berbunyi :

“Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan


Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya
ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden”

Keberadaan Komisi Yudisial menjadi penting dalam upaya pembaruan


penradilan, termasuk di dalamnya menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Keberadaan Komisi Yudisial ini
di masa yang akan datang diharapkan dapat menjadi salah satu mitra kerja
Mahkamah Agung untuk terus melakukan upaya-upaya dalam rangka
pembaruan badan peradilan.

Komisi Yudisial bertindak sebagai pengusul, sedangkan DPR sebagai


pemberi persetujuan atau penolakan, dan selanjutnya ditetapkan dengan
Keputusan Presiden. Dari ketentuan tersebut jelas bahwa Dewan Perwakilan
Rakyat tidak ditentukan harus mengadakan ‘fit and proper test’ dan
pemilihan hakim agung sebanyak sepertiga dari jumlah yang dicalonkan oleh
Komisi Yudusial. Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 hanya menyatakan bahwa
calon Hakim Agung diajukan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan
Perwakilan Rakyat dan selanjutnya ditetapkan menjadi Hakim Agung
dengan Keputusan Presiden. Hak untuk menyetujui atau menolak inilah yang
disebut sebagai hak konfirmasi (the right to confirm) yang dimiliki Dewan
Perwakilan Rakyat dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap
pengangkatan dan pemberhentian pejabat publik yang dipandang tidak boleh
dibiarkan ditentukan sendiri secara sepihak oleh Presiden. Karena itu, fungsi
pengawasan oleh DPR itu dilakukan tidak saja menyangkut pelaksanaan
kebijakan klegislatif berupa tindakan implementasi UU, penjabaran
pengaturan UU dalam peraturan pelaksanaan yang lebih operasional, dan
dalam bentuk pengawasan terhadap pengangkatan dan pemberhentian
pejabat publik tertentu yang tidak boleh dibiarkan ditentukan sendiri secara
sewenang-wenang oleh Presiden.
Dengan demikian, calon yang diajukan oleh Komisi Yudisial cukup
sebanyak yang diperlukan, yang apabila tidak mendapat persetujuan, barulah
diajukan lagi alternatif calon penggantinya. Artinya, mekanisme yang
ditempuh untuk pengusulan ini sama dengan yang berlaku terhadap calon
Kepala POLRI dan calon Panglima TNI yang diajukan oleh Presiden untuk
mendapatkan persetujuan atau penolakan dari DPR. Setelah DPR
menyatakan persetujuannya, barulah calon Hakim Agung itu diajukan oleh
Komisi Yudisial untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden dan dilantik
di Istana dengan disaksikan oleh Presiden. Dengan demikian, pengangkatan
Hakim Agung melibatkan semua fungsi kekuasaan yang terpisah, yaitu
Komisi Yudisial sebagai lembaga administratif, DPR sebagai cabang
kekuasaan legislative, dan Presiden sebagai cabang kekuasaan eksekutif.

Profesi secara umum dapat diartikan sebagai pekerjaan yang berwujud


karya pelayanan yang dijalankan dengan penguasaan dan penerapan
pengetahuan di bidangkeilmuan tertentu, yang pengembangannya dihayati
sebagai suatu panggilan hidup, dan pelaksanaannya terikat pada nilai-nilai
etika tertentu yang dilandasi semangat pengabdian terhadap sesama manusia,
demi kepentingan umum, serta berakar pada penghormatan dan upaya untuk
menjunjung tinggi martabat manusia.

Definisi profesi secara singkat adalah sebuah sebutan untuk jabatan


pekerjaan, di mana orang yang menyandangnya dianggap mempunyai
keahlian khusus yang diperoleh melalui training dan pengalaman kerja.
Terminologi profesi paralel dengan profesionalitas yang dicirikan dengan
tiga karakter penting. Pertama, keterkaitan profesi tersebut dengan disiplin
ilmu yang dipelajarinya dan karenanya bersifat khusus. Kedua, mempunyai
kemampuan merealisasikan teori-teori ilmunya dalam ranah praktis dengan
baik. Ketiga, mempunyai banyak pengalaman kerja.

Adanya keterlibatan DPR dalam proses pengangkatan Hakim Agung


tersebut juga berkaitan dengan kepentingan untuk menjamin adanya
akuntabilitas (public accountability) dalam pengangkatan, dan juga dalam
pemberhentian Hakim Agung. Bagaimanapun juga, pengakuan akan penting
dan sentralnya prinsip independensi peradilan (the independence of
judiciary) sebagai Negara Hukum modern harus lah diimbangi dengan
penerapan prinsip akuntabilitas publik1. Karena itu, fungsi partisipasi publik
dipandang penting, dan hal itu terkait dengan fungsi di DPR, bukan di KY
sebagai lembaga teknis yang bersifat administratif.

Cara perekrutan hakim Mahkamah Agung dapat disebut multi-voters


model karena melibatkan banyak pihak. UUD 1945 menegaskan peran
Komisi Yudisial sebagai panitia tetap seleksi MA yang hasil akhirnya
ditentukan oleh pilihan Komisi III DPR. Presiden hanya menerbitkan
keputusan pengangkatan hakim agung. KY mengimbangi Presiden dan DPR
meski anggota KY diangkat oleh presiden dengan persetujuan DPR.

Sebagai lembaga teknis administrasi, KY harus dijamin independen dari


campur tangan politik dari pemerintah ataupun dari lembaga politik
kekuasaan legislative. Bahkan sebaiknya, KY juga diamankan dari
keterlibatannya dengan pengaruh-pengaruh politik lembaga swadaya
masyarakat. Dengan demikian, Komisi Yudisial benar-benar dapat bertindak
sebagai lembaga antara yang kritis dan objektif, semata-mata untuk
mencapai kehormatan, kepercayaan dan martabat hakim dan lembaga
peradilan. Karena dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa
“Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim”.

2. Pemberhentian Hakim Agung


Hakim Agung juga dapat diberhentikan di tengah jabatannya. Komisi
Yudisial berwenang untuk mengevaluasi dan menilai setiap hakim agung. Dalam
hal terjadi pelanggaran kode etika, maka terhadap hakim agung yang
bersangkutan dikenakan sanksi etika sebagaimana mestinya. Dalam hal hakim
agung melakukan pelanggaran yang berat, baik pelanggaran etika maupun
pelanggaran hukum, yang menyebabkannya terancam sanksi pemberhentian,
maka usul pemberhentian itu diajukan oleh Komisi Yudisial untuk
mendapatkann persetujuan atau penolakan dari DPR sebagaimana mestinya.
Apabila DPR menyetujui usul pemberhentian itu barulah usul itu diajukan
kepada Presiden untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Apabila DPR
menyatakan menolak usul pemberhentian tersebut, maka sanksi pemberhentian
yang diusulkan oleh Komisi Yudisial tidak dapat dilaksanakan, dan Komisi
Yudisial wajib mengadakan penyesuaian terhadap keputusannya menyangkut
Hakim Agung yang bersangkutan dengan sebaik-baiknya.
Maksud dibentuknya Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman
di Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga
parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja dan
kemungkinan pemberhentian hakim. Semua ini dimaksudkan untuk menjaga dan
menegakkan kehormatan serta keluhuran martabat dan perilaku hakim.
Jika usul pemberhentian Hakim Agung itu mendapat persetujuan DPR, maka
Komisi Yudisial segera mengajukan usul itu kepada Presiden untuk ditetapkan
secara administratif dengan Keputusan Presiden. Untuk mengsi kekosongan itu,
Komisi Yudisial segera mengajukan usul calon pengganti kepada DPR untuk
mendapatkan persetujuan sebelum diajukan kepada Presiden untuk ditetapkan
sebagai Hakim Agung sebagaimana mestinya. Untuk menghadapi kemungkinan
kekosongan jabatan semacam ini, sebaiknya, Komisi Yudisial telah memiliki
daftar bakal calon Hakim Agung yang dicadangkan dari proses seleksi yang
sudah dilakukan sebelumnya. Dengan demikian, kekosongan dalam jabatan
Hakim Agung dapat dicegah dengan sebaik-baiknya di masa mendatang.
Hakim dilarang untuk merangkap jabatan. Yang dimaksud dengan
“merangkap jabatan” antara lain:
a. Wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang
diperiksa olehnya;
b. Pengusaha; dan
c. Advokat.

Dalam hal Hakim yang merangkap sebagai pengusaha antara lain Hakim yang
merangkap sebagai direktur perusahaan, menjadi pemegang saham perseroan
atau mengadakan usaha perdagangan lain.

Di dalam pasal 23 ayat (1) UUKY ditegaskan mengenai usul penjatuhan sanksi
yang dapat diberikan Komisi Yudisial kepada hakim sesuai dengan tingkat
pelanggarannya, yaitu:
a. Teguran tertulis;
b. Pemberhentian sementara; atau
c. Pemberhentian.

Manakala hakim akan diperiksa Komisi Yudisial, maka pasal 22 ayat (4)
menegaskan: “Badan peradilan dan hakim wajib memberikan keterangan atau
data yang diminta Komisi Yudisial dalam rangka pengawasan terhadap perilaku
hakim dalam jangka waktu paling lambat 14 hari terhitung sejak tanggal
permintaan Komisi Yudisial diterima.

Yang dimaksud dengan hakim dalam ketentuan ini termasuk hakim pelapor,
hakim terlapor, atau hakim lain yang terkait. Sedangkan yang dimaksud dengan
keterangan itu dapat diberikan secara lisan dan/atau tertulis” (penjelasan pasal
22 ayat 4).

Dalam hal badan peradilan atau hakim tidak memenuhi kewajiban tersebut,
Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan penetapan
berupa paksaan kepada badan peradilan atau hakim untuk memberikan
keterangan atau data yang diminta (Pasal 22 ayat 5).

Apabila badan peradilan atau hakim telah diberikan peringatan atau paksaan
tetapi tetap tidak melaksanakan kewajibannya, maka pimpinan badan peradilan
atau hakim yang bersangkutan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan
perundangundangan dibidang kepegawaian (pasal 22 ayat 6). Semua keterangan
dan data ini bersifat rahasia (pasal 22 ayat 7). Sedangkan mengenai ketentuan
tata cara pelaksanaan tugas sebagai mana dimaksud pada pasal 22 ayat (1) di atur
oleh Komisi Yudisial.

Usul pemberhentian sanksi teguran tertulis ini disertai alasan kesalahannya,


bersifat mengikat, disampaikan Komisi Yudisial kepada pimpinan Mahkamah
Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi (pasal 23 ayat 2). Sedangkan usul
penjatuhan sanksi pemberhentian sementara dan pemberhentian ini diserahkan
Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi
(pasal 23 ayat 3). Untuk hakim yang dijatuhkan sanksi pemberhentian sementara
dan pemberhentian diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di
hadapan Majelis Kehormatan Hakim (pasal 23 ayat 4). Dalam hal pembelaan
ditolak, usul pemberhentian hakim diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau
Mahkamah Konstitusi kepada presiden paling lambat 14 hari sejak pembelaan
ditolak oleh Majelis Kehormatan (pasal 23 ayat 5).

Keputusan Presiden mengenai pemberhentian hakim, ditetapkan dalam


jangka waktu paling lama 14 hari sejak presiden menerima usul Mahkamah
Agung (pasal 23 ayat ) Secara universal, kewenangan pengawasan Komisi
Yudisial tidak menjangkau Hakim Agung pada Mahkamah Agung, karena
Komisi Yudisial adalah merupakan mitra dari Mahkamah Agung dalam
melakukan pengawasan terhadap para hakim pada badan peradilan di semua
lingkungan peradilan yang ada dibawah Mahkamah Agung.

Adapun usul penjatuhan sanksi terhadap Hakim menurut Pasal 21 jo Pasal


23 ayat (3) dan ayat (4) dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diserahkan kepada
Mahkamah Agung dan kepada Hakim yang akan dijatuhi sanksi pemberhentian
diberi kesempatan untuk membela diri dihadapan Majelis Kehormatan Hakim.
Di samping itu khusus mengenai usul pemberhentian terhadap Hakim Agung
dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung dan kepada Hakim Agung yang
bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri lebih dahulu dihadapan
Majelis Kehormatan Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 12
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

Secara universal, kewenangan pengawasan Komisi Yudisial tidak


menjangkau Hakim Agung pada Mahkamah Agung, karena Komisi Yudisial
adalah merupakan mitra dari Mahkamah Agung dalam melakukan pengawasan
terhadap para hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang
ada dibawah Mahkamah Agung; Pasal 32 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004
tentang Mahkamah Agung yang berbunyi sebagai berikut :

1. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi


terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam
menjalankan kekuasaan kehakiman;
2. Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan pada Hakim di
semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya;
Adapun usul penjatuhan sanksi terhadap Hakim menurut Pasal 21 jo Pasal
23 ayat (3) dan ayat (4) dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diserahkan kepada
Mahkamah Agung dan kepada Hakim yang akan dijatuhi sanksi pemberhentian
diberi kesempatan untuk membela diri dihadapan Majelis Kehormatan Hakim.
Di samping itu khusus mengenai usul pemberhentian terhadap Hakim Agung
dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung dan kepada Hakim Agung yang
bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri lebih dahulu dihadapan
Majelis Kehormatan Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 12
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

Mahkamah Agung juga diharapkan meningkatkan pengawasan terutama


dengan cara lebih membuka diri dalam merespons kritik, harapan, dan saran dari
berbagai pihak. Prinsip kebebasan hakim oleh hakim sendiri harus dimaknai
sebagai adanya kewajiban untuk mewujudkan peradilan yang bebas (fair trial)
yang merupakan prasyarat bagi tegaknya rule of law. Oleh karena itu, dalam
prinsip kebebasan hakim tersebut terkandung kewajiban bagi hakim untuk
membebaskan dirinya dari bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau rasa
takut akan adanya tindakan balasan karena kepentingan politik atau ekonomi
tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau
golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan
jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya, serta tidak menyalah
gunakan prinsip kebebasan hakim sebagai perisai untuk berlindung dari
pengawasan;
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Wewenang Mahkamah Agung sangat banyak,tidak hanya mengadili pada
tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan
di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali
undang-undang menentukan lain,menguji peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang; dan kewenangan lainnya yang diberikan
undang-undang.seperti yang tercantum pada pasal 20 UU no 48 tahun 2009 ayat 2
tentang Kekuasaan Kehakiman, tetapi juga meliputi Mahkamah Agung dapat dapat
memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga
negara dan lembaga pemerintahan dan terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat
mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal
atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang, Pimpinan Mahkamah
Agung bersama pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat bisa menjadi saksi
pengambilan sumpah Presiden dan Wakil Presiden apabila Majelis
Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat terdapat suatu hal yang
bersifat memaksa atau keadaan lain yang membuat Majelis Permusyawaratan
Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak bisa menyelenggarakan sidang,
Mahkamah Agung bisa memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal
Pemberian Grasi dan RehabilitasiMahkamah Agung berhak untuk mengajukan 3
orang Hakim Konstitusi dan Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan
peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman.
B. Saran
Mengenai Perekrutan Hakim Agung, perlu diatur bahwa seluruh hakim baik hakim
agung maupun hakim konstitusi, pengusulannya harus diusulkan oleh KY. Dengan
demikian seluruh hakim akan diawasi oleh pengawas eksternal yaitu KY. MA
maupun MK tidak perlu membentuk majelis kehormatan yang bertugas mengawasi
perilaku hakim, yang anggotanya diambil dari lingkungan hakim itu sendiri.
Dengan kata lain, ke depan tugas mengawasi hakim cukup diserahkan ke KY baik
hakim , Hakim Agung Maupun Hakim Kostitusi. Hasil pengawasan KY
direkomendasikan kepada ketua MA maupun MK untuk ditindaklanjuti. Dewan
kehormatan di MA maupun MK bersifat ad hoc saja, dan mereka ada dan bertindak
setelah rekomendasi KY.
DAFTAR PUSTAKA

 Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan


Keempat, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2002
 E. Soemaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-norma bagi Penegak Hukum,
Yogyakarta: Penerbit Kanisius,1995, hlm. 32.
 Satya Arinanto, “Reformasi Hukum, Demokrasi, dan Hak-hak Asasi Manusia”,
Hukum dan Pembangunan, Nomor 1-3, Tahun XXVIII, Januari-Juni 1998, hlm.
124-125.
 Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Peta Reformasi Hukum
di Indonesia 1999-2001: Transisi di Bawah Bayang-bayang Negara,
Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2002, hlm. 35.
 UU no 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
 UU no 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
 https://muhfathurrohman.wordpress.com/2012/09/09/mahkamah-agung
 http://raha-x.blogspot.com/2011/04/tugas-dan-wewenang-mahkamah-agung.html

Anda mungkin juga menyukai