Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

MAHKAMAH AGUNG

Diajukan Untuk Memenuhi Makalah


Mata Kuliah Peradilam Di Indonesia

Disusun Oleh :
KELOMPOK V

Nama :
1. MERI NELVIA
2. MIRA AMELIA
3. NELVA JUITA
4. JILNA HAIDA
5. NURSAKINAH

Semester : IV
Jurusan : Al Ahwal Al - Syahsyyah

Dosen Pembimbing
HENDRA YANI, SHI

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)


UMAR BIN KHATTAB (UBK)
UJUNG GADING PASAMAN BARAT
TAHUN AJARAN 2017 M
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah merupakan kalimat pertama yang penulis haturkan kepada
Sang Maha Segala Nya, Ilhi Rabb, karena berkat limpahan maunah, rahmat
dan maghfirah-Nya penulis dapat mnyelesaikan penulisan makalah ini.yang di
bombing oleh Bapak HENDRA YANI, SHI.

Sholawtullah semoga selalu tetap tercurah limpahkan kepada Nabi


Sangreformis dunia Pembawa kedamaian dengan Agama Islam dialah Nabi
Muhammad SAW.

Mungkin dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan, baik


itu secara penulisan, maupan isi dan lain sebagainya. Maka penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna perbaikan penyusunan
makalah selanjutnya.

Ujung Gading, 04 Maret 2017


Penulis,

DAFTAR ISI
i
KATA PENGANTAR .....................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................1
B. Rumusan Masalah ...........................................................................2
C. Tujuan ..............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengerian MA..................................................................................3
B. Kedudukan MA................................................................................3
C. Wewenang MA dan Fungsi MA.......................................................4
D. Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Agung ...........................7

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan .....................................................................................18
B. Saran ................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
ii
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketentuan yang menunjuk kearah badan Kehakiman yang tertinggi adalah
pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945.Eksistensi Mahkamah Agung
ditetapkan setelah diundangkannya Undang-Undang No. 7 tahun 1947
tentang susunan kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaaan Agung yang
mulai berlaku pada tanggal 3 Maret 1947.Undang-Undang No. 7 tahun 1947
kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 19 tahun 1948 yang dalam
pasal 50 ayat 1 menyebutkan Mahkamah Agung Indonesia ialah pengadilan
tertinggi. Undang-Undng No. 14 tahun 1970 tentang "Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman" tanggal 17 Desember 1970, antara lain dalam
pasal 10 ayat (2) disebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah Pengadilan
Negara tertinggi dalam arti Mahkamah Agung sebagai badan pengadilan
kasasi (terakhir) bagi putusan-putusan yang berasal dari Pengadilan-
pengadilan lain yaitu yang meliputi keempat lingkungan peradilan yang
masing-masing terdiri dari:
1. Peradilan Umum;
2. Pemdilan Agama;
3. Peradilan Militer;
4. Peadilan Tata Usaha Negara.
Pembentukan Mahkamah Agung (MA) pada pokoknya memang
diperlukan karena bangsa kita telah melakukan perubahan-perubahan yang
mendasar atas dasar undang-undang dasar 1945. Dalam rangka perubahan
pertama sampai dengan perubahan keempat UUD 1945. Bangsa itu telah
mengadopsi prinsip-prinsip baru dalam system ketenegaraan, yaitu antara lain
dengan adanya system prinsip Pemisahan kekuasaan dan cheeks and
balance sebagai pengganti system supremasi parlemen yang berlaku
sebelumnya.
Sebagai akibat perubahan tersebut, maka perlu diadakan mekanisme untuk
memutuskan sengketa kewenangan yang mungkin terjadi antara lembaga-
lembaga yang mempunyai kedudukan yang satu sama lain bersifat sederajat,
yang kewenanganya ditentukan dalam Undang-Undang Dasar. Maka dari itu
MA di bentuk agar (the supreme law of the land ) benar-benar dijalankan atau
2

ditegakan dalam penyelenggaran kehidupan kenegaraan sesuai dengan


prinsip-prinsip negara Hukum modern, dimana Hukumlah yang menjadi
factor bagi penentu bagi keseluruhan dinamika kehidupan sosial, ekonomi,
1
dan politik suatu bangsa.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Mahkamah Agung?
2. Bagaimana Kedudukan Mahkamah Agung?
3. Jelaskan Wewenang dan Fungsi Mahkamah Agung?
4. Jelaskan Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Agung?

C. Tujuan
1. Mengetahui Pengertian Mahkamah Agung.
2. Mengetahui Kedudukan Mahkamah Agung.
3. Mengetahui Wewenang dan Fungsi Mahkamah Agung.
4. Mengetahui Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Agung.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mahkamah Agung
Mahkamah agung adalah lembaga tertinggi dalam system ketatanegaraan
Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama
dengan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah agung membawahi badan
peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara.
Saat ini lembaga Mahkamah Agung berdasarkan pada UU. No. 48 Tahun
2009 tentang kekuasaan kehakiman UU ini juga telah mencabut dan
membatalkan berlakunya UU No. 4 tahun 2004. Undang-undang ini di susun
karena UU No.4 Tahun 2004 secara substansi dinilai kurang mengakomodir
masalah kekuasaan kehakiman yang cakupannya cukup luas, selain itu juga
karena adanya judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas pasal 34 UU
No.4 Tahun 2004, karena setelah pasal dalam undang-undang yang di-review
tersebut diputus bertentangan dengan UUD, maka saat itu juga pasal dalam
undang-undang tersebut tidak berlaku, sehingga untuk mengisi kekosongan
aturan/hukum, maka perlu segera melakukan perubahan pada undang-undang
dimaksud.1

B. Kedudukan Mahkamah Agung (MA)


Mahkamah Agung merupakan pengadilan tinggi negara sebagaimana yang
tercantum dalam Ketetapam Majelis Permusyarawatan Rakyat Republik
Indonesia Nomor III/MPR/1978 dan merupakan Lembaga Peradilan tertinggi
dari semua lembaga peradilan yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas
dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya. Mahkamah Agung
membawai 4 badan peradilan yaitu Peradilan Umum, Peradilan Militer,
Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Sejak Amandemen Ke-3
UUD 1945 kedudukan Mahkamah Agung tidak lagi menjadi satu-satunya
puncak kekuasaan kehakiman, dengan berdirinya Mahkamah Konstitusi pada
tahun 2003 puncak kekuasaan kehakiman menjadi 2, Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi, namun tidak seperti Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi tidak membawahi suatu badan peradilan. MA adalah salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman sebagai Lembaga Tinggi Negara yang
merupakan Pengadilan Negara Tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan,
dimana dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan
3
1 http://fendygoo.blogspot.co.id/2015/05/makalah-mahkamah-
agung.html
4

pengaruh-pengaruh lain. Mahkamah Agung berkedudukan di ibukota Negara


Republik Indonesia. (UU. No.14 Tahun 1985 pasal 1,2,3)

C. Wewenang dan Fungsi Mahkamah Agung


Menurut Undang-undang Dasar 1945, wewenang Mahkamah Agung adalah:
a. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada
tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentukan
lain;
b. menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang; dan
c. kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.
Sedangkan Fungsi Mahkamah Agung menurut UUD 1945 ada 5, yaitu:
1. Fungsi Peradilan
a. Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan
pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam
penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali
menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah
negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar.
b. Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung
berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan
terakhir.
1. semua sengketa tentang kewenangan mengadili. permohonan
5
peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap (Pasal 28, 29,30,33 dan 34 Undang-undang
Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985)
2. semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan
muatannya oleh kapal perang
3. Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku (Pasal 33
dan Pasal 78 Undang-undang Mahkamah Agung No 14 Tahun
1985)
c. Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil, yaitu
wewenang menguji/menilai secara materiil peraturan perundangan
dibawah Undang-undang tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau
dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari tingkat
yang lebih tinggi (Pasal 31 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor
14 Tahun 1985).2
2. Fungsi Pengawasan
a. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya
peradilan di semua lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan
yang dilakukan Pengadilan-pengadilan diselenggarakan dengan
seksama dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan
Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara (Pasal 4 dan Pasal
10 Undang-undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Nomor 14 Tahun
1970).
1. Mahkamah Agung juga melakukan pengawasan :
a. Terhadap pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim
dan perbuatan Pejabat Pengadilan dalam menjalankan tugas
yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok Kekuasaan
Kehakiman, yakni dalam hal menerima, memeriksa,
mengadili, dan menyelesaikan
b. setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan meminta
6
keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis
peradilan serta memberi peringatan, teguran dan petunjuk yang
diperlukan tanpa mengurangi kebebasan Hakim (Pasal 32
Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
c. Terhadap Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang
menyangkut peradilan (Pasal 36 Undang-undang Mahkamah
Agung Nomor 14 Tahun 1985).

3. Fungsi Mengatur
a. Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang
diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila
terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang

2 http://alvianocto.blogspot.co.id/2014/01/makalah-mahkamah-
agung.html
tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi
kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran
penyelenggaraan peradilan (Pasal 27 Undang-undang No.14 Tahun
1970, Pasal 79 Undang-undang No.14 Tahun 1985).
b. Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana
dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur
Undang-undang.
4. Fungsi Nasehat
a. Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-
pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara
lain (Pasal 37 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985).
Mahkamah Agung memberikan nasihat kepada Presiden selaku
Kepala Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi (Pasal
35 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985).
Selanjutnya Perubahan Pertama Undang-undang Dasar Negara RI
Tahun 1945 Pasal 14 Ayat (1), Mahkamah Agung diberikan
kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden selaku
Kepala Negara selain grasi juga rehabilitasi. Namun demikian, dalam
7
memberikan pertimbangan hukum mengenai rehabilitasi sampai saat
ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur
pelaksanaannya.
b. Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberi
petunjuk kepada pengadilan disemua lingkunga peradilan dalam
rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang-undang No.14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
(Pasal 38 Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung).3
5. Fungsi Administratif
a. Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimana
dimaksud Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang No.14 Tahun 1970 secara

3 Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan


Keempat, Jakarta: Pusat Studi Hukum
organisatoris, administrative dan finansial sampai saat ini masih
berada dibawah Departemen yang bersangkutan, walaupun menurut
Pasal 11 (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 sudah dialihkan
dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.
b. Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab,
susunan organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan (Undang-
undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang
No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman).
D. Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Agung
1. Pengangkatan Hakim Agung
Terdapat beberapa perbedaan antara pengangkatan Hakim Agung
sebelum reformasi, dan setelah reformas, dengan amandemen UUD
1945.Pada masa Orde Lama proses pengangkatan (rekrutmen) Hakim
Agung melibatkan ketiga lembaga tinggi negara yaitu eksekutif (Presiden)
dan Menteri Kehakiman, yudikatif (MA) dan legislatif (DPR). Aturan ini
8
khusus ditetapkan bagi pemilihan Hakim Agung, sedangkan dalam
pemilihan hakim biasa hanya melibatkan pihak yudikatif dan eksekutif.
Dalam Pasal 4-11 Ayat (2) KRIS ditetapkan bahwa Ketua, Wakil Ketua
dan hakim Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden atas anjuran DPR
dari sekurang-kurangnya 2 (dua) calon bagi tiap-tiap pengangkatan.
Pengangkatan (pemilihan) Hakim Agung pada masa Orde Lama meski
melibatkan lembaga negara lainnya yakni DPR, namun keputusan akhir
tetaplah berada di tangan eksekutif (Presiden).
Salah satu penyimpangan dan politisasi dalam pemilihan Hakim
Agung yang sekaligus memperlihatkan begitu berkuasanya eksekutif
(Kepala Negara) saat itu adalah dengan diangkat dan ditetapkannya Ketua
MA sebagai penasehat hukum Presiden dengan pangkat Menteri
berdasarkan Per. Pres. 4/1962, LN 38). Meskipun Ketua MA pada saat itu
berkilah bahwa ia tidak akan menjadi pejabat eksekutif dan menjadi alat
dari pemerintah, Namun secara birokrasi MA telah kehilangan
kebebasannya dan kemandiriannya dan sangat dimungkinkan pengaruh
dari eksekutif.
Pada masa Orde baru, proses rekrutmen hakim agung diawali
dengan diadakanya forum yang melibatkan Mahkamah Agung dan
pemerintah yang biasanya dikenal dengan sebutan Forum Mahkamah
Angung dan Departemen (MahDep). MahDep merupakan forum yang
digunakan sebagai ajang konsultasi antara Mahkamah Agung dab
Depatrtemen dalam membicarakan daftar kandidat hakim agung yang
akan diajukan ke Mahkamah Agung da Pemerintah ke Dewan Perwakilan
Rakyat. Biasanya Mahkamah Angung berinisiatif memberikan nama-
nama calon hakim agung ke Departemen terlebih dahulu.
Ketua Mahkamah Agung biasanya melakukan konsultasi dengan
pimpinan Mahkamah Agung sebelum mengajukan proposal nama ke
Departemen. Namun dalam praktiknya Ketua Mahkamah Agung
seringkali memegang kontrol yang dominan dalam menentukan nama-
9
nama calon yang dimasukkan dalam proposal.
Selanjutnya, nama-nama calon dipresentasikan dalam MahDep.
Pada saat presentasi, biasanya Departemen mengusulkan beberapa
perubahan, misalya dengan memasukkan nama-nama dari militer maupun
kejaksaan. Setelah usulan nama-nama kandidat hakim agung dibahas,
kemudian nama-nama tersebut diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat
yang kemudian diangkat sebagai hakim agung oleh presiden.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peran MahDep dalam
rekruitmen hakim agung jauh lebih signifikan apabila dibandingkan
dengan peran Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini terkait denga lemahnya
posisi Dewan Perwakilan Rakyat. Dibandingkan dengan kekuasaan
pemerintah (eksekutif).
Setelah tahun 1998, terjadi reformasi, kata reformasi tiba-tiba
menjadi hangat dibicarakan. Reformasi ekonomi, reformasi
struktural, dan reformasi politik menjadi bahan diskursus berbagai
kalangan, baik kalangan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat
(LSM), kampus, hingga rakyat jelata. Pada intinya, semua pihak
mendambakan reformasi yang segera agar dapat keluar dari himpitan
krisis ekonomi pada saat itu[3] dan diantaranya reformasi dalam bidang
hukum. Menurut Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, bentuk-
bentuk reformasi hukum dikelompokkan menjadi 7 (tujuh), yaitu:
1. kajian dan forum ilmiah;
2. perancangan peraturan;
3. implementasi peraturan;
4. pelatihan hokum
5. advokasi dan kesadaran masyarakat;
6. lembaga hukum; dan
7. penyusunan rencana.
Reformasi hukum tersebut salah satunya dituangkan dalam
bentuk amandemen UUD Republik Indonesia 1945. Setelah Amandemen,
mekanisme rekruitmen Hakim Agung berbeda dari hakim biasa. Calon
10
hakim agung diseleksi oleh Komisi Yudisial dan diajukan untuk
mendapatkan persetujuan DPR sebagaimana mestinya. Menurut ketentuan
Pasal 24A ayat (3) UUD 1945,yang berbunyi :
Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan
Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya
ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden
Keberadaan Komisi Yudisial menjadi penting dalam upaya
pembaruan penradilan, termasuk di dalamnya menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Keberadaan
Komisi Yudisial ini di masa yang akan datang diharapkan dapat menjadi
salah satu mitra kerja Mahkamah Agung untuk terus melakukan upaya-
upaya dalam rangka pembaruan badan peradilan.4
Komisi Yudisial bertindak sebagai pengusul, sedangkan DPR
sebagai pemberi persetujuan atau penolakan, dan selanjutnya ditetapkan
dengan Keputusan Presiden. Dari ketentuan tersebut jelas bahwa Dewan
Perwakilan Rakyat tidak ditentukan harus mengadakan fit and proper
test dan pemilihan hakim agung sebanyak sepertiga dari jumlah yang
dicalonkan oleh Komisi Yudusial. Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 hanya
menyatakan bahwa calon Hakim Agung diajukan oleh Komisi Yudisial
kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan selanjutnya ditetapkan menjadi
Hakim Agung dengan Keputusan Presiden. Hak untuk menyetujui atau
menolak inilah yang disebut sebagai hak konfirmasi (the right to confirm)
4 Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
yang dimiliki Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka pelaksanaan
fungsi pengawasan terhadap pengangkatan dan pemberhentian pejabat
publik yang dipandang tidak boleh dibiarkan ditentukan sendiri secara
sepihak oleh Presiden. Karena itu, fungsi pengawasan oleh DPR itu
dilakukan tidak saja menyangkut pelaksanaan kebijakan klegislatif
berupa tindakan implementasi UU, penjabaran pengaturan UU dalam
peraturan pelaksanaan yang lebih operasional, dan dalam bentuk
11
pengawasan terhadap pengangkatan dan pemberhentian pejabat publik
tertentu yang tidak boleh dibiarkan ditentukan sendiri secara sewenang-
wenang oleh Presiden.
Dengan demikian, calon yang diajukan oleh Komisi Yudisial cukup
sebanyak yang diperlukan, yang apabila tidak mendapat persetujuan,
barulah diajukan lagi alternatif calon penggantinya. Artinya, mekanisme
yang ditempuh untuk pengusulan ini sama dengan yang berlaku terhadap
11
calon Kepala POLRI dan calon Panglima TNI yang diajukan oleh
Presiden untuk mendapatkan persetujuan atau penolakan dari DPR.
Setelah DPR menyatakan persetujuannya, barulah calon Hakim Agung itu
diajukan oleh Komisi Yudisial untuk ditetapkan dengan Keputusan
Presiden dan dilantik di Istana dengan disaksikan oleh Presiden. Dengan
demikian, pengangkatan Hakim Agung melibatkan semua fungsi
kekuasaan yang terpisah, yaitu Komisi Yudisial sebagai lembaga
administratif, DPR sebagai cabang kekuasaan legislative, dan Presiden
sebagai cabang kekuasaan eksekutif.
Profesi secara umum dapat diartikan sebagai pekerjaan yang
berwujud karya pelayanan yang dijalankan dengan penguasaan dan
penerapan pengetahuan di bidangkeilmuan tertentu, yang
pengembangannya dihayati sebagai suatu panggilan hidup, dan
pelaksanaannya terikat pada nilai-nilai etika tertentu yang dilandasi
semangat pengabdian terhadap sesama manusia, demi kepentingan umum,
serta berakar pada penghormatan dan upaya untuk menjunjung tinggi
martabat manusia.
Definisi profesi secara singkat adalah sebuah sebutan untuk jabatan
pekerjaan, di mana orang yang menyandangnya dianggap mempunyai
keahlian khusus yang diperoleh melalui training dan pengalaman kerja.
Terminologi profesi paralel dengan profesionalitas yang dicirikan dengan
tiga karakter penting. Pertama, keterkaitan profesi tersebut dengan
12
disiplin ilmu yang dipelajarinya dan karenanya bersifat khusus. Kedua,
mempunyai kemampuan merealisasikan teori-teori ilmunya dalam ranah
praktis dengan baik. Ketiga, mempunyai banyak pengalaman kerja.
Adanya keterlibatan DPR dalam proses pengangkatan Hakim
Agung tersebut juga berkaitan dengan kepentingan untuk menjamin
adanya akuntabilitas (public accountability) dalam pengangkatan, dan
juga dalam pemberhentian Hakim Agung. Bagaimanapun juga, pengakuan
akan penting dan sentralnya prinsip independensi peradilan (the
independence of judiciary) sebagai Negara Hukum modern harus lah
diimbangi dengan penerapan prinsip akuntabilitas publik1. Karena itu,
fungsi partisipasi publik dipandang penting, dan hal itu terkait dengan
fungsi di DPR, bukan di KY sebagai lembaga teknis yang bersifat
administratif.5
Cara perekrutan hakim Mahkamah Agung dapat disebut multi-
voters model karena melibatkan banyak pihak. UUD 1945 menegaskan
peran Komisi Yudisial sebagai panitia tetap seleksi MA yang hasil
akhirnya ditentukan oleh pilihan Komisi III DPR. Presiden hanya
menerbitkan keputusan pengangkatan hakim agung. KY mengimbangi
Presiden dan DPR meski anggota KY diangkat oleh presiden dengan
persetujuan DPR.
Sebagai lembaga teknis administrasi, KY harus dijamin independen
dari campur tangan politik dari pemerintah ataupun dari lembaga politik
kekuasaan legislative. Bahkan sebaiknya, KY juga diamankan dari
keterlibatannya dengan pengaruh-pengaruh politik lembaga swadaya
masyarakat. Dengan demikian, Komisi Yudisial benar-benar dapat

5 E. Soemaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-norma bagi Penegak


Hukum, Yogyakarta: Penerbit Kanisius,1995, hlm. 32.
bertindak sebagai lembaga antara yang kritis dan objektif, semata-mata
untuk mencapai kehormatan, kepercayaan dan martabat hakim dan
lembaga peradilan. Karena dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945
dinyatakan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
13
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim.
2. Pemberhentian Hakim Agung
Hakim Agung juga dapat diberhentikan di tengah jabatannya.
Komisi Yudisial berwenang untuk mengevaluasi dan menilai setiap hakim
agung. Dalam hal terjadi pelanggaran kode etika, maka terhadap hakim
agung yang bersangkutan dikenakan sanksi etika sebagaimana mestinya.
Dalam hal hakim agung melakukan pelanggaran yang berat, baik
pelanggaran etika maupun pelanggaran hukum, yang menyebabkannya
terancam sanksi pemberhentian, maka usul pemberhentian itu diajukan
oleh Komisi Yudisial untuk mendapatkann persetujuan atau penolakan
dari DPR sebagaimana mestinya. Apabila DPR menyetujui usul
pemberhentian itu barulah usul itu diajukan kepada Presiden untuk
ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Apabila DPR menyatakan
menolak usul pemberhentian tersebut, maka sanksi pemberhentian yang
diusulkan oleh Komisi Yudisial tidak dapat dilaksanakan, dan Komisi
Yudisial wajib mengadakan penyesuaian terhadap keputusannya
menyangkut Hakim Agung yang bersangkutan dengan sebaik-baiknya.
Maksud dibentuknya Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan
kehakiman di Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur
resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan,
penilaian kinerja dan kemungkinan pemberhentian hakim. Semua ini
dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan serta
keluhuran martabat dan perilaku hakim.
Jika usul pemberhentian Hakim Agung itu mendapat persetujuan
DPR, maka Komisi Yudisial segera mengajukan usul itu kepada Presiden
untuk ditetapkan secara administratif dengan Keputusan Presiden. Untuk
mengsi kekosongan itu, Komisi Yudisial segera mengajukan usul calon
pengganti kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan sebelum diajukan
kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai Hakim Agung sebagaimana
14
mestinya. Untuk menghadapi kemungkinan kekosongan jabatan semacam
ini, sebaiknya, Komisi Yudisial telah memiliki daftar bakal calon Hakim
Agung yang dicadangkan dari proses seleksi yang sudah dilakukan
sebelumnya. Dengan demikian, kekosongan dalam jabatan Hakim Agung
dapat dicegah dengan sebaik-baiknya di masa mendatang.
Hakim dilarang untuk merangkap jabatan. Yang dimaksud dengan
merangkap jabatan antara lain:
a. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara
yang diperiksa olehnya;
b. pengusaha; dan
c. advokat.
Dalam hal Hakim yang merangkap sebagai pengusaha
antara lain Hakim yang merangkap sebagai direktur perusahaan, menjadi
pemegang saham perseroan atau mengadakan usaha perdagangan lain.
Di dalam pasal 23 ayat (1) UUKY ditegaskan mengenai usul
penjatuhan sanksi yang dapat diberikan Komisi Yudisial kepada hakim
sesuai dengan tingkat pelanggarannya, yaitu:
a. Teguran tertulis;
b. Pemberhentian sementara; atau
c. Pemberhentian.

Manakala hakim akan diperiksa Komisi Yudisial, maka


pasal 22 ayat (4) menegaskan: Badan peradilan dan hakim wajib
memberikan keterangan atau data yang diminta Komisi Yudisial dalam
rangka pengawasan terhadap perilaku hakim dalam jangka waktu paling
lambat 14 hari terhitung sejak tanggal permintaan Komisi Yudisial
diterima.
Yang dimaksud dengan hakim dalam ketentuan ini termasuk hakim
pelapor, hakim terlapor, atau hakim lain yang terkait. Sedangkan yang
dimaksud dengan keterangan itu dapat diberikan secara lisan dan/atau
tertulis (penjelasan pasal 22 ayat 4).
15

Dalam hal badan peradilan atau hakim tidak memenuhi kewajiban


tersebut, Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi wajib
memberikan penetapan berupa paksaan kepada badan peradilan atau
hakim untuk memberikan keterangan atau data yang diminta (Pasal 22
ayat 5).
Apabila badan peradilan atau hakim telah diberikan peringatan atau
paksaan tetapi tetap tidak melaksanakan kewajibannya, maka pimpinan
badan peradilan atau hakim yang bersangkutan dikenakan sanksi sesuai
dengan peraturan perundangundangan dibidang kepegawaian (pasal 22
ayat 6). Semua keterangan dan data ini bersifat rahasia (pasal 22 ayat 7).
Sedangkan mengenai ketentuan tata cara pelaksanaan tugas sebagai mana
dimaksud pada pasal 22 ayat (1) di atur oleh Komisi Yudisial.
Usul pemberhentian sanksi teguran tertulis ini disertai alasan
kesalahannya, bersifat mengikat, disampaikan Komisi Yudisial kepada
pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi (pasal 23
ayat 2). Sedangkan usul penjatuhan sanksi pemberhentian sementara dan
pemberhentian ini diserahkan Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung
dan/atau Mahkamah Konstitusi (pasal 23 ayat 3). Untuk hakim yang
dijatuhkan sanksi pemberhentian sementara dan pemberhentian
diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis
Kehormatan Hakim (pasal 23 ayat 4). Dalam hal pembelaan ditolak, usul
pemberhentian hakim diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau
Mahkamah Konstitusi kepada presiden paling lambat 14 hari sejak
pembelaan ditolak oleh Majelis Kehormatan (pasal 23 ayat 5).
Keputusan Presiden mengenai pemberhentian hakim, ditetapkan
dalam jangka waktu paling lama 14 hari sejak presiden menerima usul
Mahkamah Agung (pasal 23 ayat ) Secara universal, kewenangan
pengawasan Komisi Yudisial tidak menjangkau Hakim Agung pada
Mahkamah Agung, karena Komisi Yudisial adalah merupakan mitra dari
Mahkamah Agung dalam melakukan pengawasan terhadap para
hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang ada
dibawah Mahkamah Agung;
16

Adapun usul penjatuhan sanksi terhadap Hakim menurut Pasal 21


jo Pasal 23 ayat (3) dan ayat (4) dilakukan oleh Komisi Yudisial yang
diserahkan kepada Mahkamah Agung dan kepada Hakim yang akan
dijatuhi sanksi pemberhentian diberi kesempatan untuk membela diri
dihadapan Majelis Kehormatan Hakim. Di samping itu khusus mengenai
usul pemberhentian terhadap Hakim Agung dilakukan oleh Ketua
Mahkamah Agung dan kepada Hakim Agung yang bersangkutan diberi
kesempatan untuk membela diri lebih dahulu dihadapan Majelis
Kehormatan Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 12
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
Secara universal, kewenangan pengawasan Komisi Yudisial tidak
menjangkau Hakim Agung pada Mahkamah Agung, karena Komisi
Yudisial adalah merupakan mitra dari Mahkamah Agung dalam
melakukan pengawasan terhadap para hakim pada badan peradilan di
semua lingkungan peradilan yang ada dibawah Mahkamah Agung; Pasal
32 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang
berbunyi sebagai berikut :
1. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi
terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan
dalam menjalankan kekuasaan kehakiman;
2. Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan pada
Hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya;
Adapun usul penjatuhan sanksi terhadap Hakim menurut
Pasal 21 jo Pasal 23 ayat (3) dan ayat (4) dilakukan oleh Komisi Yudisial
yang diserahkan kepada Mahkamah Agung dan kepada Hakim yang akan
dijatuhi sanksi pemberhentian diberi kesempatan untuk membela diri
dihadapan Majelis Kehormatan Hakim. Di samping itu khusus mengenai
usul pemberhentian terhadap Hakim Agung dilakukan oleh Ketua
Mahkamah Agung dan kepada Hakim Agung yang bersangkutan diberi
kesempatan untuk membela diri lebih dahulu dihadapan Majelis
Kehormatan Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 12
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
17

Mahkamah Agung juga diharapkan meningkatkan


pengawasan terutama dengan cara lebih membuka diri dalam merespons
kritik, harapan, dan saran dari berbagai pihak. Prinsip kebebasan hakim
oleh hakim sendiri harus dimaknai sebagai adanya kewajiban untuk
mewujudkan peradilan yang bebas (fair trial) yang merupakan prasyarat
bagi tegaknya rule of law. Oleh karena itu, dalam prinsip kebebasan
hakim tersebut terkandung kewajiban bagi hakim untuk membebaskan
dirinya dari bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau rasa takut akan
adanya tindakan balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu
dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau
golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan
jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya, serta tidak menyalah
gunakan prinsip kebebasan hakim sebagai perisai untuk berlindung dari
pengawasan;

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Wewenang Mahkamah Agung sangat banyak,tidak hanya mengadili pada
tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh
pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung, kecuali undang-undang menentukan lain,menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan
kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.seperti yang tercantum
pada pasal 20 UU no 48 tahun 2009 ayat 2 tentang Kekuasaan Kehakiman,
tetapi juga meliputi Mahkamah Agung dapat dapat memberi keterangan,
pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan
lembaga pemerintahan dan terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat
mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat
hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang, Pimpinan
Mahkamah Agung bersama pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat bisa
menjadi saksi pengambilan sumpah Presiden dan Wakil Presiden apabila
Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat terdapat
suatu hal yang bersifat memaksa atau keadaan lain yang membuat Majelis
Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak bisa
menyelenggarakan sidang, Mahkamah Agung bisa memberikan pertimbangan
kepada Presiden dalam hal Pemberian Grasi dan RehabilitasiMahkamah
Agung berhak untuk mengajukan 3 orang Hakim Konstitusi dan Pengawasan
tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan
yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan
kekuasaan kehakiman.

19

B. Saran
18
Mengenai Perekrutan Hakim Agung, perlu diatur bahwa seluruh hakim
baik hakim agung maupun hakim konstitusi, pengusulannya harus diusulkan
oleh KY. Dengan demikian seluruh hakim akan diawasi oleh pengawas
eksternal yaitu KY. MA maupun MK tidak perlu membentuk majelis
kehormatan yang bertugas mengawasi perilaku hakim, yang anggotanya
diambil dari lingkungan hakim itu sendiri. Dengan kata lain, ke depan tugas
mengawasi hakim cukup diserahkan ke KY baik hakim , Hakim Agung
Maupun Hakim Kostitusi. Hasil pengawasan KY direkomendasikan kepada
ketua MA maupun MK untuk ditindaklanjuti. Dewan kehormatan di MA
maupun MK bersifat ad hoc saja, dan mereka ada dan bertindak setelah
rekomendasi KY.

DAFTAR PUSTAKA
Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan
Keempat, Jakarta: Pusat Studi Hukum

Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002

E. Soemaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-norma bagi Penegak


Hukum, Yogyakarta: Penerbit Kanisius,1995, hlm. 32.

Satya Arinanto, Reformasi Hukum, Demokrasi, dan Hak-hak Asasi


Manusia, Hukum dan Pembangunan,Nomor 1-3, Tahun XXVIII, Januari-Juni
1998, hlm. 124-125.

Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Peta Reformasi Hukum


di Indonesia 1999-2001: Transisi di Bawah Bayang-bayang Negara,
Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2002, hlm. 35.

UU no 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

UU no 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung

https://muhfathurrohman.wordpress.com/2012/09/09/mahkamah-agung

http://raha-x.blogspot.com/2011/04/tugas-dan-wewenang-mahkamah-agung.html

Anda mungkin juga menyukai