Anda di halaman 1dari 12

Kasus Pembangunan Waduk Kedung

Ombo, suatu Analisis!


Oleh: Kardoman Tumangger

A. LATAR BELAKANG

Ada dua tujuan utama hukum yaitu menciptakan keadilan dan kepastian hukum. Untuk
mewujudkan tujuan tersebut, hukum menjalankan beberapa fungsi yaitu hukum sebagai
pemelihara ketertiban dan keamanan, hukum sebagai sarana pembangunan, hukum sebagai
sarana penegak keadilan, dan hukum sebagai sarana pendidikan dan pembaharuan
masyarakat. Antara keadilan dan kepastian hukum tidak dapat dipisahkan dan melekat
secara erat layaknya dua keping sisi logam. Tetapi apabila terjadi pertentangan antara
keadilan dan kepastian hukum maka salah satu tujuan tesebut akan diabaikan.
Hukum acara perdata atau hukum perdata formil adalah kesemuanya kaidah hukum yang
menentukan danmengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil. Untuk mencapai tujuan
hukum dari hukum perdata maka hukum acara perdata mutlak diperlukan. Hukum perdata
berbeda sifatnya dengan hukum acara perdata yaitu hukum perdata bersifat mengatur
sedangkan hukum acara perdata sifatnya memaksa. Sifat memaksa dari hukum acara perdata
ini tidak dalam konteks hukum publik, tetapi sifat memaksa ini dalam konteks memaksa
kepada para pihak apabila telah masuk pada suatu proses acara di pengadilan sebab apabila
tidak ditaati maka akan merugikan kepada pihak yang berperkara.
Sumber hukum acara perdata hukum positif di Indonesia masih menggunakan produk
hukum Belanda yaitu HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement)/ RIB (Reglemen Indonesia
Diperbaharui), Stb. 1941 No. 44 yang berlaku khusus untuk Jawa dan Madura dan R.Bg
(Rechtsreglement Buitengewesten), Stb. 1927 No. 227 berlaku diluar Jawa dan Madura. Selain
itu, beberapa ketentuan telah diatur dengan peraturan perundang-undang Indonesia pasca
kemerdekaan. Disamping sumber hukum positif dikenal pula sumber hukum tambahan yaitu
yurisprudensi MA, SEMA dan doktrin/ ajaran para sarjana terkemuka.
Bagi Indonesia yang menganut asas legalitas, undang-undang adalah sumber utama dalam
menyelesaikan suatu perkara. Karena yang diatur di undang-undang adalah abstrak dan
bersifat umum, maka hakim perlu melakukan penafsiran untuk menemukan dan
membentuk hukum. Oleh karena itu, hakim diberi kewenangan terbatas untuk menafsirkan
suatu peraturan perundang-undangan untuk menerapkannya dalam keadaan yang konkrit.
Penafsiran yang dilakukan oleh para hakim sebaiknya tidak melanggar asas-asas hukum dan
rasa keadilan di hati masyarakat. Tetapi, apabila asas-asas hukum bertentangan dengan rasa
keadilan dihati masyarakat, apakah hakim sudah tidak melaksanakan kewajibannya dalam
mencari dan menemukan keadilan.

Dalam hukum acara perdata, diatur suatu asas yang membatasi hakim dalam memutus suatu
perkara yang dituangkan dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR yaitu: Hakim itu wajib
mengadili segala bahagian tuntutan. dan Ia dilarang akan menjatuhkan keputusan atas
perkara yang tidak dituntut, atau akan meluluskan lebih dari apa yang dituntut. Pasal ini
menegaskan bahwa hakim tidak boleh memutus atas perkara yang tidak dituntut atau
meluluskan perkara yang tidak dituntut. Dalam kasus Kedung Ombo yang Tim Penulis akan
bahas, kita akan melihat bagaimana keadilan seorang hakim yang diakomodasi melaui ex
aequo et bono akan bertentangan dengan ketentuan Pasal 178 (3) HIR ini. Kasus ini sangat
menarik untuk dibahas karena ada berbagai ketimpangan dan cacat hukum dalam
penyelesaian kasus ini, mulai dari gugatan, eksepsi, pembuktian, penemuan hukum sampai
putusan yang telah sampai ke Mahkamah Agung. Dalam kasus ini, menggambarkan
segolongan masyarakat miskin di daerah Kedung Ombo yang tidak mendapatkan keadilan
dan tidak dianggap sebagai subjek hukum perdata. Ditambah lagi kasus ini telah dipolitisi
oleh beberapa kalangan yang ingin mendapatkan keuntungan dari kasus ini. Akibatnya, sejak
diputus mulai dari tingkat I di Pengadilan Negeri Semarang, tingkat II di Pengadilan Tinggi
Jawa Tengah, tingkat III di kasasi Mahkamah Agung sampai upaya hukum luar biasa
Peninjauan Kembali, kesemua putusannya mengundang kontroversial. Dari segi hukum
acara perdata sendiri, ada beberapa ketentuan yang disimpangi dan ada beberapa kaidah
hukum yang ditemukan hakim.

B. KASUS POSISI

Pada tahun 1985 Pemerintah merencanakan membangun waduk baru di Jawa Tengah untuk
pembangkit tenaga listrik berkekuatan 22,5 Megawatt dan dapat menampung air untuk
kebutuhan 70 hektar sawah disekitarnya. Waduk ini dinamakan Waduk Kedung Ombo.
Pembangunan Waduk Kedung Ombo ini dibiayai USD 156 juta dari Bank Dunia, USD 25,2 juta
dari Bank Exim Jepang, dan APBN, dimulai tahun 1985 sampai dengan tahun 1989. Waduk
mulai diairi pada 14 Januari 1989. Menenggelamkan 37 desa, 7 kecamatan di 3 kabupaten,
yaitu Sragen, Grobogan dan Boyolali. Sebanyak 5268 keluarga kehilangan tanahnya akibat
pembangunan waduk ini.

Ketika sebagian besar warga sudah meninggalkan desanya, masih tersisa 600 keluarga yang
masih bertahan karena ganti rugi yang mereka terima sangat kecil. Mendagri Soeparjo
Rustam menyatakan ganti rugi Rp 3.000,-/m, sementara warga dipaksa menerima Rp
250,-/m. Warga yang bertahan juga mengalami teror, intimidasi dan kekerasan fisik akibat
perlawanan mereka terhadap proyek tersebut. Pemerintah memaksa warga pindah dengan
tetap mengairi lokasi tersebut, akibatnya warga yang bertahan kemudian terpaksa tinggal
ditengah-tengah genangan air.

Romo Mangun bersama Romo Sandyawan dan K.H. Hamman Jafar, pengasuh pondok
pesantren Pebelan Magelang mendampingi para warga yang masih bertahan di lokasi, dan
membangun sekolah darurat untuk sekitar 3500 anak-anak, serta membangun sarana seperti
rakit untuk transportasi warga yang sebagian desanya sudah menjadi danau.
Waduk ini akhirnya diresmikan oleh Presiden Soeharto, tanggal 18 Mei 1991 dan warga tetap
berjuang menuntut haknya atas ganti rugi tanah yang layak. Perselisihan ini akhirnya sampai
ke pengadilan dan diputus oleh Pengadilan Negeri Semarang No.117/Pdt/G/1990 dan
dikuatkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah No.143/Pdt/1991, dilanjutkan pada tingkat
kasasi Mahkamah Agung No. 2263.K/Pdt/1991 dan putusan Kasasi lebih memberi keadilan
bagi rakyat, yang kemudian dibatalkan oleh putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung
dengan No. 650.PK/Pdt/1994
Tahun 2001, warga yang tergusur tersebut menuntut Gubernur Jawa Tengah untuk membuka
kembali kasus Kedung Ombo dan melakukan negosiasi ulang untuk ganti-rugi tanah. Akan
tetapi, Pemda Propinsi dan Kabupaten bersikeras bahwa masalah ganti rugi tanah sudah
selesai. Sampai sekarang, kasus ini masih terkatung-katung karena ganti rugi yang diberikan
tidak sesuai dengan rasa keadilan dihati rakyat Kedung Ombo.

C. IDENTIFIKASI MASALAH

Dalam kasus Kedung Ombo ini, ada banyak permasalahan yang dapat diidentifikasi dari segi
asas-asas hukum perdata maupun dari segi asas-asas hukum acara perdatanya. Dari segi
hukum perdata yang paling mengemuka untuk dibicarakan adalah mengenai ganti rugi,
terutama mengenai tidak adanya kesepakatan mengenai besarnya ganti rugi karena tidak
adanya musyawarah yang mendudukkan pihak-pihak yang bersengketa sederajat sebagai
subjek hukum perdata. Hal ini dapat kita ketahui karena pada saat itu, yaitu pada zaman Orde
Baru, dimana Presiden Soeharto masih berkuasa, kedudukan penguasa sangatlah besar dan
dapat bertindak sewenang-wenang. Akibatnya ada banyak rakyat diintimidasi, diteror atau
dipaksa untuk menerima atau menandatangani segala sesuatu yang oleh sebagian besar
rakyat Kedung Ombo tidak mengetahui mengenai permaslahan hukumnya. Akibatnya,
meskipun sudah diputus oleh pengadilan dengan seadil-adilnya menurut pengadilan di
tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Kasasi dan bahkan Peninjauan Kembali, tetapi
keadilan yang diembang oleh pengadilan tampaknya tidak dirasakan oleh masyarakat
setempat. Itulah sebabnya, kasus ini tetap menjadi benang kusut yang harus diselesaikan
dengan cara-cara yang damai dan lebih manusiawi. Selain itu, mengenai yang dimaksud
dengan ganti rugi immateriil dalam hukum perdata apakah hanya yang disebutkan secara
limitatif dalam Pasal 1370, 1371, 1372 Burgerlijk Wetboek (BW) atau apakah dapat ditafsirkan
secara ektensif oleh hakim-hakim perdata.
Dari segi asas-asas hukum acara perdata, dikaitkan dengan kewenangan hakim dalam
memutus suatu gugatan. Dalam suatu gugatan perdata, undang-undang menentukan isi dari
sebuah gugatan yaitu identitas para pihak, posita (fundamentum petendi) dan petitum (Pasal
8 ayat (3) RV). Identitas para pihak harus dimuat secara jelas untuk menghindari terjadinya
error in persona. Pada posita (fundamentum petendi) memuat gambaran yang jelas mengenai
duduk persoalannya, dengan kata lain dasar gugatan harus dikemukan dengan jelas. Dalam
petitum, harus lengkap dan jelas mengenai apa yang diinginkan/ diminta oleh penggugat
agar diputuskan/ ditetapkan dan diperintahkan oleh hakim. Hakim dengan kewenangan
yang dimiliki tidak diperkenankan memperbaiki, mengubah atau menambah dan
mengurangi isi suatu petitum sesuai dengan yang diperintahkan undang-undang. Oleh
karena itu, pihak penggugat harus betul-betul sudah memuat semua hal yang diinginkan agar
diputus hakim. Hal ini berkaitan erat dengan ketentuan dalam hukum acara perdata yaitu
Pasal 178 ayat (3) HIR yang menyebutkan: Ia dilarang akan menjatuhkan keputusan atas
perkara yang tidak dituntut, atau akan meluluskan lebih dari apa yang dituntut. Mengenai
ketentuan ini hakim akan sulit apabila diperhadapkan dengan petitum dengan bunyi minta
keputusan hakim yang seadil-adilnya atau dikenal dengan istilah ex aequo et bono.
Selain mengenai kewenangan hakim memutus gugatan, dalam kasus ini juga dipersoalkan
mengenai pembuktian terutama mengenai beban pembuktian. Sesuai dengan ketentuan
hukum acara perdata yaitu Pasal 163 HIR, bahwa Barangsiapa mengatakan mempunyai
barang suatu hak, atau mengatakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya atau untuk
membantahi hak orang lain, haruslah membuktikan hak itu atau adanya perbuatan itu. .
Pada prinsipnya memang berlaku asas barang siapa yang mendalilkan maka ialah yang
harus membuktikan dalil itu, tetapi pada praktiknya mengenai beban pembuktian tidaklah
demikian. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan mengenai beban pembuktian ini,
misalnya para pihak yang menderita lebih sedikitlah yang paling banyak dikenai
pembuktian, atau pihak yang aktif melakukan perbuatan yang dikenai beban pembuktian.
Dalam kasus ini, kebanyakan beban pembuktian dijatuhkan pada rakyat terutama mengenai
hak kepemilikan tanah, bangunan, dan tanaman yang sifatnya turun-temurun. Selain itu,
beban pembuktian mengenai perincian dan besarnya kerugian baik materiil maupun
immateriil.

Demikianlah beberapa permasalahan yang menarik perhatian Tim Penulis untuk membahas
kasus ini. Memang pada kenyataannya jarak antara teori dan praktik kadang-kadang sangat
jauh. Apalagi, kalau dalam praktik telah dipengaruhi oleh faktor-faktor non-hukum lainnya
maka kita sudah dapat membayangkan fungsi yang diemban hukum yaitu fungsi filosofis,
fungsi yuridis, dan fungsi sosiologis hanyalah harapan semata.

D. PEMBAHASAN

Tim Penulis akan membahas kasus ini dengan menguraikan beberapa point penting dari
putusan Kasasi dan putusan PK yang sudah memutus kasus Kedung Ombo ini. Sedangkan
putusan Pengadilan Negeri Semarang dan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah yang
membahas fakta hukumnya (judex factie) tidak akan terlalu dibahas mengingat bahwa yang
ingin kita ketahui dari kasus ini adalah mengenai penerapan hukumnya (judex jurisch) yang
adalah kewenangan Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi di Indonesia.

PUTUSAN KASASI MA RI NO. 2263.K/PDT/1991


MENGADILI
Mengabulkan permohonan kasasi dari para pemohon kasasi : 1. CITROREJO WACIMAN, 2.
MARTOREJO YATNO, 3. KARYOREJO PAIDI, 4. PARMAN SOPAWIRO, 5. WITOREJO, 6.
ATMO SOYO, 7. TOWIRONO SAPAR, 8. Ny. SUKIYEM WITOREJO, 9. Ny. RESO SEMITO
KADIS, 10. KARTO NGADIMAN, 11. Ny.DJALAL alias DAMILAH, 12. POJOYO PACI (POJOYO),
13. PARTOWIKROMO WAKIYO, 14. ATMOREJO JAMAT, 15. Ny. SALIYAH DARMO SEMITO,
16. SUWARNO, 17. PAIMAN, 18. KUSAERI, 19. LADIYEM, 20. RONO PAWIROYADI, 21. G I M I
N, 22. S U B I, 23. DARMO PARMHI, 24. TUKIMIN, 25. DARSONO, 26. SARWAN, 27.
MULYONO, 28. SAKIMIN, 29.LADIYO, 30. B E J O, 31. SARMIN, 32. GITO GIMAN, 33.
RUKIMIN, 34. Ny.WAKINEM, TERSEBUT.
Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Semarang No.143/Pdt/1991/PT.Smg. tanggal 19 April
1991 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Semarang No.117/Pdt/G/1990/PN.Smg.
tanggal 20 Desember 1990.
MENGADILI SENDIRI :
Mengabulkan gugatan para Penggugat seperti yang diuraikan diatas untuk sebagian.
Menyatakan Tergugat I. PEMERINTAH R.I. qq MENTERI DALAM NEGERI RI.qq
GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TENGAH dan tergugat II. PEMERINTAH
R.I. qq MENTERI PEKERJAAN UMUM r.i. QQ DIREKTUR JENDERAL PANCAIRAN qq
PIMPINAN PROYEK PENGEMBANGAN WILAYAH SUNGAI JRATUN SELUNA qq PIMPINAN
WADUK KEDUNG OMBO, telah melakukan perbuatan melanggar hukum.
Menyatakan batal demi hukum :
1. Penetapan Consignatie No.430/cons/1988/PN.Boyolali tanggal 3 Desember 1988 atas nama
Suyatno
2. Penetapan Consignatie No.444/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama
Karyorejo Paidi
3. Penetapan Consignatie No.599/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama
Karyorejo Pardi.
4. Penetapan Consignatie No.1655/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama
Resosemitosuli/B. Resosemito Darsih.
5. Penetapan Consignatie No.1588/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama
Darmironorejo/B.Resosemito.
6. Penetapan Consignatie No.598/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama
Sopawiro Parman
7. Penetapan Consignatie No.270/Cons/1989/PN.Bi. tanggal 3 Maret 1989 atas nama Parman
Sopawiro CS 578.
8. Penetapan Consignatie No.1308/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama
Witirejo Moko.
9. Penetapan Consignatie No.272/Cons/1989/PN.Bi. tanggal 3 Maret 1989 atas nama Rono
Dimejo/Admorejo Soyo CS 595.
10. Penetapan Consignatie No. 406/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama
Wongso Taruno Supangat.
11. Penetapan Consignatie No.1782/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama
Wongsotaruno.
12. Penetapan Consignatie No.1007/Cons 1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama
Pawirodiharjo.
13. Penetapan Consignatie No.1648/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama
Towirono Supar.
14. Penetapan Consignatie No.1016/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama
Resepawiro.
15. Penetapan Consignatie No. 437/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama
Towirono Supar.
16. Penetapan Consignatie No.1765/cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama
Kamsoronosemito/Sukiyemwitirejo.
17. Penetapan Consignatie No.1764/Cons/1988/PN.Bi tanggal 3 Desember 1988 atas nama B.
Resosemito Kades.
18. Penetapan Consignatie No.1798/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama B.
Partodrono Jaliman.
19. Penetapan Consignatie No.603/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama
Partodrono Kaliman/Kartosemito Ngadiman.
20. Penetapan Consignatie No.1784/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama
Sowikromo.
21. Penetapan Consignatie No.196/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama B.
Partodronokaliman/Kartosemitongadiman.
22. Penetapan Consignatie No.560/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama
Todikromonadi/Ronokarsonadi.
23. Penetapan Consignatie No.1020/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama
Todikromomadi/Mitrorejoparji.
24. Penetapan Consignatie No. 564/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama B.
Jalal.
25. Penetapan Consignatie No. 602/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama
B.Jalal.
26. Penetapan Consignatie No.1485/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama B.
Jalal.
27. Penetapan Consignatie No.247/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama
Kamso Ronosemito.
28. Penetapan Consignatie No.1014/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama
Sowikromosadi.
29. Penetapan Consignatie No.750/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama
Sowikromosadi.
30. Penetapan Consignatie No.587/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama
Pajoyopagi.
31. Penetapan Consignatie No.1619/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama
Pajoyo alias Pagi.
32. Penetapan Consignatie No.245/Cons/1988PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama
Partodikromo.
33. Penetapan Consignatie No.890/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama
Partowikromo alias Wakiyo (KAS).
34. Penetapan Consignatie No.241/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama B.
Suliyah.
35. Penetapan Consignatie No.294/Cons/1988/Pn.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama
Pawirorejokardi/B. Resosemitosuli.
36. Penetapan Consignatie No.1659/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama
Pawirorejokardi/B. Resosemitosuli.
37. Penetapan Consignatie No.435/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama
Karsiyem.
38. Penetapan Consignatie No.439/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Suei
Surodrono/Amat.
39. Penetapan Consignatie No.117/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama Tirto
Pawiro/Paimin.
40. Penetapan Consignatie No.1811/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama
Paimin.
41. Penetapan Consignatie No.1783/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama
Supoyo.
42. Penetapan Consignatie No.436/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama
Sarmin.
43. Penetapan Consignatie No.600/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama
Ciptoparji.
44. Penetapan Consignatie No.445/Cons/1988/PN.Bi. tanggal 3 Desember 1988 atas nama
Citrorejo Wagiman.
dengan segala akibat hukumnya.
Menyatakan para Penggugat seperti yang diuraikan diatas (lihat halaman 129 amar) adalah
pemilik sah atas tanah dan/atau bangunan dan/atau tanaman masing-masing sesuai dengan
yang diuraikan diatas.
Menghukum Tergugat 1 dan Tergugat 2 untuk membayar ganti rugi secara tanggung
renteng :
a. yang timbul karena tanah dan/atau bangunan dan/atau tanaman-tanaman seperti yang
diuraikan diatas yang telah ditenggelamkan (kerugian materiel) yaitu untuk tanah dan/atau
bangunan Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah)/m2.
Sedangkan untuk tanaman-tanaman sebesar Rp.30.000,- (tiga puluh ribu rupiah)/m2 dengan
catatan masing-masing Penggugat setelah mengecek kembali sesuai data luas tanah dan atau
bangunan serta tanaman-tanaman pada waktu mengajukan permohonan eksekusi.

b. kerugian yang timbul yang bersifat immateriel yaitu sesuai dengan petitum secara ex aquo
et bono sebesar Rp.2.000.000.000,- (dua milyar rupiah).
Menyatakan para ahli waris agar diberi kesempatan untuk menentukan apakah pihak yang
bersangkutan akan melanjutkan acara permohonan kasasi yaitu nama Todikromonadi.
Menyatakan para Penggugat (19 orang) yaitu :
1. Ny. Resosemito Sali (semula Penggugat 4).
2. Ny. Wongso Taruno Supangat alias Kusmini (semula Penggugat 8).
3. Kamsorono Semito (semula Penggugat 15).
4. Partorejo Wahyo Paimin (semula Penggugat 16).
5. Ny. Sutinem binti Sowikromo (semula Penggugat 17).
6. Ny. Pawirorejo Karti (semula Penggugat 22).
7. Ny. Tjutji Surodrono (semula Penggugat 23).
8. Ny. Karsiyem (Karsiyem Suwarno) (semula Penggugat 24).
9. Ngatmin (semula Penggugat 31).
10. Sakimo (semula Penggugat 35).
11. Parnorejo (semula Penggugat 37).
12. Supiyo (semula Penggugat 38).
13. Parno (semula Penggugat 40).
14. Suyadi (semula Penggugat 41).
15. Saryono (semula Penggugat 43).
16. Suwoyo (semula Penggugat 45).
17. Rahyono (semula Penggugat 46).
18. Parno (semula Penggugat 49).
19. Cipto Parji (semula Penggugat 51).
Dinyatakan tidak dapat diterima.
Menolak gugatan selebihnya.
Menghukum termohon kasasi/tergugat asal untuk membayar semua biaya perkara baik
dalam tingkat pertama dan banding maupun dalam tingkat kasasi dan biaya perkara dalam
tingkat kasasi ditetapkan sebanyak Rp.20.000,- (dua puluh ribu rupiah).
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Rabu
tanggal 28 Juli 1991 dengan Prof. Z. Asikin Kusumah Atmadja, SH. Ketua Muda yang ditunjuk
oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Sidang H.AM.Manrapi, SH. Dan R.L. Tobing SH.
Sebagai Hakim-Hakim Anggota dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari
itu juga oleh Ketua Sidang tersebut dengan dihadiri oleh H. AM. Manrapi, SH. Dan R.L.
Tobing SH. Hakim-Hakim Anggota dan Sulaiman AF, SH. Panitera Pengganti dengan tidak
dihadiri oleh kedua belah pihak.
PUTUSAN PK MA RI NO. 650.PK/PDT/1994
Majelis Mahkamah Agung yang ditugasi memeriksa Peninjauan Kembali (P.K) atas perkara
kasasi Waduk Kedung Ombo ini, dalam putusan menilai bahwa putusan kasasi no.
2263.K/Pdt/1991 tidak dapat dipertahankan lagi dan harus dibatalkan dan selanjutnya Majelis
Peninjauan Kembali akan mengadili sendiri perkara ini.
Pendirian Majelis Peninjauan Kembali Mahkamah Agung ini didasari oleh alasan yuridis
yang intisarinya dapat disimpulkan sebagai berikut :
Badan Peradilan, mulai dari peradilan tingkat pertama, tingkat banding dan kasasi, dalam
putusannya tidak diperkenankan mengabulkan gugatan melebihi daripada apa yang dituntut
oleh Penggugat. Bilamana hal ini dilanggar, maka putusan tersebut adalah bertentangan
dengan Ketentuan ex pasal 178 (3) H.I.R dan juga pasal 67 ayat C dari Undang-undang no. 14
Tahun 1985.
Dalam gugatan Penggugat a.quo, petitumnya/tuntutannya disusun sbb:
a. Tuntutan primair atau
b. Tuntutan Subsidair, ex aequo et bono.
Hakim dalam menghadapi petitum yang demikian itu, maka sesuai dengan tertib Hukum
Acara Perdata, bila Hakim ingin memberikan putusan yang seadil-adilnya dalam tuntutan
subsidairnya, maka Hakim tidak boleh mengabulkan tuntutan subsidair tersebut melebihi
daripada isi tuntutan primairnya (ex pasal 178(3) H.I.R jo pasal 67 (C) Undang-undang no.14
tahun 1985).
Merupakan jurisprudensi tetap Mahkamah Agung :
Dalam suatu gugatan perdata yang petitumnya terdiri dari Tuntutan Primair dan Subsidair
(ex aequo et bono), maka untuk ketertiban hukum acara, seharusnya Hakim hanya memilih
salah satu, yaitu : Apakah tuntutan primair ataukah tuntutan subsidair yang akan
dikabulkan, bukannya Hakim menggunakan kebebasan yang diberikan oleh tuntutan
subsidair untuk mengabulkan tuntutan primair, dengan mengisi kekurangan yang ada pada
tuntutan primair. (Periksa Mahkamah Agung No.882.K/Sip/1974 tanggal 21 Maret 1976).
Mengenai tuntutan ganti rugi, maka Mahkamah Agung telah menentukan dalam
jurisprudensinya, (MA-RI No.495.K/Sip/1975) sbb :
Tuntutan Ganti rugi, baru dapat dikabulkan, apabila Penuntut dapat membuktikan di
persidangan tentang perincian adanya kerugian dan berapa besarnya kerugian tersebut.
Dalam kasus Waduk Kedung Ombo ini, Majelis Kasasi dalam putusannya, mengabulkan
Ganti Rugi Immateriil. Pemberian ganti rugi immateriil ini, adalah bertentangan dengan
hukum, karena :
- Tidak dituntut oleh Penggugat dalam surat gugatannya.
- Tidak ada bukti perincian adanya kerugian dan berapa besarnya kerugian yang diderita.
- Disamping itu juga tidak berdasar pada pasal 1370 - pasal 1371 dan - pasal 1372. B.W. yang
menentukan bahwa ganti rugi immateriil itu, hanya dapat diberikan dalam hal-hal tertentu
saja sepert : kematian, luka berat dan penghinaan.
Kurang cukup dipertimbangkan (Onvoldoende gemotiveerd).
Dalam putusan Majelis Kasasi salah satu amarnya :
Menyatakan Batal Demi Hukum Surat Penetapan Consignatie ..... dst. Amar putusan ini,
ternyata tidak dituntut oleh pihak Penggugat. Disamping itu, pertimbangan hukum Majelis
Kasasi tentang masalah consignatie dinilai tidak tepat, dengan alasan sebagai berikut :
- Consignatie dalam kasus ini dilakukan dalam rangka pembebasan tanah untuk kepentingan
umum atas tanah warga desa, sehingga dapat diterapkan ketentuan consignatie dalam B.W
dan R.V :
- Menurut Hukum Adat, Hak Milik Tanah mempunyai fungsi sosial. Bilamana Negara
membutuhkan tanah untuk kepentingan umum, maka tanah hak milik tersebut harus
diserahkan.
- Sesuai dengan PERMENDAGRI no.15 tahun 1975, warga desa yang tidak mau menerima
uang ganti rugi yang telah ditetapkan Panitia, maka agar supaya proyek pembangunan tidak
tertunda dan tidak terbengkalai, serta hangusnya anggaran negara yang telah disediakan
untuk proyek tersebut, sesuai dengan fatwa Mahkamah Agung RI
No.578/1320/BB/II/UMTU/Pdt, maka uang ganti rugi tersebut dapat ditawarkan dan
diconsignatiekan di Pengadilan Negeri. Hal ini sesuai dengan TAP MPR III/1993, dimana
digariskan bahwa Hukum harus menunjang Pembangunan Nasional.
- Terhadap pemilik tanah yang tidak bersedia menerima uang ganti rugi yang telah
diconsinagtiekan tersebut, maka menurut hukum, seharusnya pemohon consignatie
melakukan langkah lanjutan berupa mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap
termohon consignatie, dengan tuntutan agar consignatie tersebut dinyatakan sah dan
berharga. Putusan ini tunduk pada banding dan kasasi. Dalam kasus ini ternyata majelis
kasasi memberikan putusan : menyatakan penetapan consignatie batal demi hukum. Putusan
yang demikian ini tidak dapat dibenarkan.
Pada saat gugatan kasus Kedung Ombo ini diperiksa ditingkat kasasi, telah terjadi
perubahan peraturan yaitu PERMENDAGRI No. 15 Tahun 1975, diganti dengan KEPPRES No.
55 Tahun 1993. Berdasar atas azas Lex posteriori derogat legi priori, maka akan diterapkan
ketentuan dalam KEPPRES No.55 Tahun 1993. Peraturan yang baru ini lebih menguntungkan,
karena bilamana tidak tercapai kata sepakat dalam musyawarah untuk pembebasan tanah,
harus diikuti acara ex pasal 21 KEPPRES 55 tahun 1993, dimana uang ganti rugi ditetapkan
berdasarkan harga umum setempat, yang tentu harganya lebih tinggi daripada harga yang
ditetapkan oleh Panitia Pembebasan Tanah menurut PERMENDAGRI no. 15 tahun 1975.
Bilamana harga ganti rugi masih juga belum disetujui, maka dapat diajukan banding ke
Pengadilan Tinggi menurut Undang-undang No. 20 tahun 1961.
Berdasar atas pertimbangan di atas, Majelis Peninjauan Kembali berpendapat bahwa
dengan berlakunya KEPPRES no. 55 Tahun 1993, maka hendaknya ditempuh prosedur seperti
tersebut diatas, sehingga gugatan ini dinyatakan tidak dapat diterima.
Akhirnya Mahkamah Agung dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali, memberikan
putusan sbb :

Mengadili
- Mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali.
- Membatalkan putusan Mahkamah Agung RI tanggal 28 Juli 1993 No. 2263.K/Pdt/1991.
Mengadili Sendiri :
Menyatakan gugatan Para Penggugat tidak dapat diterima.

ANALISIS TIM PENULIS

Dari putusan PK MA tersebut dapat ditarik abstrak hukum yang dapat dijadikan kaidah
hukum, yaitu:
a. Dalam gugatan perdata, maka Hakim tidak diperkenankan memberikan putusan yang
melebihi daripada apa yang dituntut oleh Penggugat. Ex pasal 178(3) H.I.R. jo pasal 67(C) U.U.
no. 14 Tahun 1985.
b. Petitum gugatan perdata yang terdiri dari tuntutan primair dan Subsidair (ex aequo et
bono) maka Hakim hanya boleh memilih salah satu, yaitu mengabulkan primair atau
subsidairnya. Hakim tidak dapat menggunakan kebebasan yang diberikan oleh tuntutan
subsidair untuk mengabulkan tuntutan primair dalam mengisi kekurangan yang ada pada
tuntutan primair-nya.
c. Tuntutan ganti rugi dalam gugat perdata, barulah dapat dikabulkan, bila si Penuntut dapat
membuktikan dalam persidangan, Penuntut dapat membuktikan dalam persidangan,
tentang perincian adanya kerugian dan berapa besarnya kerugian tersebut.
d. Ganti Rugi Immateriil, sesuai dengan dengan pasal 1370 - pasal 1371 dan pasal 1372 B.W.
hanya dapat diberikan dalam hal-hal tertentu saja, yaitu : kematian, luka berat dan
penghinaan.
e. Dalam hal pembebasan tanah berdasar pada PERMENDAGRI no. 15 tahun 1975, bila ganti
rugi ditolak oleh yang bersangkutan, maka uang tersebut dapat diconsignatiekan ke
Pengadilan Negeri dengan alasan :
1. untuk mencegah tertundanya/terbengkalainya proyek pembangunan yang sudah
ditetapkan.
2. untuk menghindari hangusnya uang proyek.
f. Hukum berfungsi menunjang pembangunan nasional.
g. Pada saat perkara sedang diperiksa, terjadi perubahan peraturan perundang-undangan,
maka hakim seharusnya memakai peraturan yang paling menguntungkan, sesuai dengan
berlakunya asas: Lex posteriori derogat legi priori.
h. Mahkamah Agung dalam memeriksa perkara dalam tingkat Peninjauan Kembali adalah
bukan merupakan Peradilan Tingkat Keempat.

Dari uraian diatas, adapun yang ingin Tim Penulis kritisi adalah mengenai beban pembuktian
yang dalam hal ini dibebankan kepada penggugat (rakyat Kedungpiring) berupa pembuktian
mengenai perincian adanya kerugian dan besarnya kerugian. Dalam gugatan yang
dilayangkan rakyat Kedungpiring yang dikuasakan kepada Puspoadji, S.H., adalah direktr
dari LBH Semarang, telah memuat secara terperinci mengenai perincian adanya kerugian
dan besarnya kerugian. Bahkan ditingkat kasasi, majelis kasasi sudah memuat dalam
putusannya mengenai bentuk kerugian yang dialami masyarakat Kedungpiring. Adalah
sangat mudah untuk memperlihatkan apa kerugian yang dialami dan berapa besar kerugian
itu, misalnya bangunan, tanah dan tanaman yang ditenggelamkan pedahal musyawarah
untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi belum dicapai.

Selain itu, Tim Penulis juga merasa pemahaman kerugian immateriil oleh majelis PK
sangatlah terlalu sempit dan limitatif karena didasarkan pada Burgerlijk Wetboek (Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Perdata) pada Pasal 1370, 1371, dan 1372 yaitu berupa
kematian, luka berat dan penghinaan. Dalam pandangan Tim Penulis, bahwa kerugian
tersebut hanyalah sebagian kecil dari bentuk-bentuk kerugian immateriil. Dengan demikian,
penafsiran yang dipakai majelis PK untuk mengadili dan memutus perkara itu hanyalah
penafsiran gramatikal saja. Menurut hemat Tim Penulis, kerugian immateriil dapat juga
berbentuk tidak dapat beraktifitasnya seseorang bukan karena keinginannya maupun karena
kelalaiannya misalnya pedagang tidak bisa berdagang, petani tidak bisa bekerja, anak-anak
tidak bisa sekolah, stress atau depresi, rasa takut karena diteror dan diintimidasi, hilangya
kesenangan yang seharusnya diraih, atau hal-hal lainnya akibat penenggelaman daerah
Kedungpiring tersebut. Demikianlah seharusnya kita harus menafsirkan ketentuan dalam
undang-undang tidak cukup dengan penafsiran gramatikal saja, kita juga dapat melakukan
penafsiran ekstensif secara terbatas.

Pada asasnya upaya hukum luar biasa tidak menangguhkan ekseskusi menurut Pasal 207
ayat (3) HIR j.o. Pasal 66 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Upaya
hukum luar biasa ini yaitu perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekutorial dan terhadap
sita jaminan dan peninjauan kembali. Lembaga Peninjauan Kembali dalam hukum acara
perdata sebelumnya tidak dikenal dalam HIR/RV, tetapi kemudian dalam UU No. 14 Tahun
1985 Tentang Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 66 - Pasal 74. Dalam Pasal 67 disebutkan
alasan-alasan mengajukan peninjauan kembali, yaitu:

a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang
diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh
hakim pidana dinyatakan palsu;
b. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan
yang pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan;
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
d. Apanila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan
sebab-sebabnya;
e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama oleh Pengadilan
yang sama atau sama tingkatnyatelah diberikan putusan yang bertentangan satu sama lain;
f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang
nyata.

Berdasarkan bunyi Pasal 67 bagian c dan f, maka majelis hakim Peninjauan Kembali
menerima permohonan PK dari Pemerintah RI c.q. Mendagri c.q. Gubernur Jateng dan
Pemerintah RI c.q. Menteri PU c.q. Dirjen Pengairan c.q. Pimpro Waduk Kedung Ombo.
Adalah memang kekeliruan majelis kasasi untuk mengabulkan hal-hal yang tidak dituntut
oleh penggugat, tetapi sangat disayangkan ganti rugi yang tidak sesuai dan tanpa
musyawarah sepertinya kurang diperhatikan oleh hakim-hakim majelis PK tersebut. Itulah
sebabnya mengapa hingga kini kasus itu seperti benang kusut yang belum dirapikan atau
bahkan seperti duri di dalam daging bagi masyarakat yang merasa hak-haknya sama sekali
tidak dilindungi bahkan dijajah oleh pemimpinnya sendiri.
Peninjauan kembali hanya dapat diajukan sekali saja. Oleh karena itu, pupus sudah harapan
masyarakat Kedung Ombo untuk memperoleh hak-haknya sebagai pemilik sah dari tanah,
tanaman dan bangunan yang ditenggelamkan akibat pengairan waduk tersebut. Apalagi,
ganti rugi yang dititipkan ke PN Semarang yang dianggap sebagai bukti pengalihan hak milik
tersbut tidak diambil oleh mereka. Sebenarnya masih ada satu upaya yang dapat ditempuh
yaitu dengan mengajukan Gubernur Jateng ke PTUN sehingga yang diproses adalah perkara
administrasinya. Hanya saja, mereka kelihatannya terlalu lelah dengan keadaan yang harus
dihadapi.

KESIMPULAN
Ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik, yaitu:
1. Apabila terjadi pertentangan antara keadilan dan kepastian hukum, maka berdasarkan
putusan PK MA RI tersebut dapat ditarik kesimpulan, maka kepastian hukum adalah
prioritas meskipun dirasakan sangat tidak adil.
2. Dalam memutus suatu perkara perdata, hakim harus memperhatikan asas-asas hukum
perdata maupun asas-asas hukum acara perdata sehingga tidak mengeluarkan putusan yang
tidak menjamin keadilan dan kepastian hukum.
3. Dalam menjatuhkan suatu putusan, hakim harus benar-benar menjaga indepensi dan
kemandiriannya sehingga tidak menyebabkan keputusan yang diduga telah dipolitisi oleh
sekelompok orang yang kurang manusiawi.

DAFTAR PUSTAKA

Sutantio, Retnowulan dan Oeripkartawinata. 2005. Hukum Acara Perdata dalam teori dan
Praktek. Bandung: Penerbit Mandar Maju.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata di Indonesia.
Tresna, R. 2000. Komentar HIR. Jakarta: Pradnya Paramita.
Subekti, R. 2006. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (Burgerlijk Wetboek). Jakarta:
Pradnya Paramita.
http://www.id.wikipedia.com
Posted by Kardoman Tumangger at 6:31 PM

Anda mungkin juga menyukai