Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

Mata Kuliah Yurisprudensi


Putusan Yurisprudensi Mahkamah Agung
Nomor 49/PDT/2015/PT KDI

Disusun Oleh :
Nazma Amalia Shafira
NPM A219125

Semester 5
STIH LITIGASI 2021/2022

Bpk. Dr. Drs. H. Jayadi, M.H.


KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada kita semua yang berupa ilmu dan amal. Dan
berkat Rahmat dan Hidayah-Nya pula, penulis dapat menyelesaikan makalah “Putusan
Yurisprudensi Mahkamah Agung No.179/K/SIP/1961” yang insya Allah tepat pada
waktunya.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak terdapat banyak
kekurangan. Akhirnya, kritik, saran, dan masukan yang membangun sangat penulis butuhkan
untuk dijadikan pedoman dalam penulisan ke arah yang lebih baik lagi. Semoga makalah ini
dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, 24 Oktober 2021

Penulis

i

DAFTAR ISI
Kata pengantar.........................…………………….................…………..………....……..…..i
Daftar isi…….................................……………..................……………………………....…..ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang......................................................................................................................1
1.2 Rumusan masalah................................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Agung No.179/K/SIP/1961....................…....3
2.2 Efektivitas Putusan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 179/K/SIP/1961………….......4

BAB IV PENUTUP
Kesimpulan…………….......................................……………………………........................6
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Sejak zaman kolonial Belanda, Hukum Adat (Customary Law) di Sebagian besar suku
bangsa di indonesia menganut paham Patriarki dengab mengutamakan laki-laki dan anak
laki-laki sebgai pemimpin keluarga yang mempunyai peran publik dan akan meneruskan
keturunan serta kepemimpinan keluarga serta kepimpinan keluarga sehingga hanya laki-laki
dan anak laki-laki yang dapat warisan , sementara perempuan dan anak perempuan dipandang
hanya dapat berperan di ranah domestik (rumah tangga) karenanya tidak memperoleh warisan
dengan porsi setengah atau bagian lebih kecil lagi.

Pengertian hukum waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang
yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak. Ditinjau dari hukum adat,
pengertian hukum waris adalah aturan-aturan yang mengenai cara bagaimana dari abad
penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi
ke generasi.

Menurut Mr. A. Pitlo, hukum waris adalah suatu serangkaian ketentuan-ketentuan


dimana berhubungan dengan meninggalnya seseorang, akibat-akibatnya di dalam bidang
kebendaan, diatur yaitu : akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seseorang yang
meninggal, kepada ahli waris, baik di dalam hubungannyaa antara mereka sendiri, maupun
dengan pihak ketiga.

Pada umumnya masyarakat selalu menghendaki adanya suatu peraturan yang


menyangkut tentang warisan dan harta peninggalan dari orang telah meninggal dunia. Pada
kenyataanya dalam masalah dunia ini, yang hakikatnya akan berpindah kepada orang lain
yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia, tetapi pada batas-batas kekayaan saja
dari orang yang meninggal dunia.

Seiring perkembangan zaman, dalam pembagian harta warisan ada rasa ketidakadilan
dan ketidakpuasan dirasakan oleh anak perempuan dalam system kekerabatan Patrilineal,
maka melalui Pendidikan dan pengetahuan kaum Wanita melakukan penolakan (resistensi)
terhadap system kekerabatan Patrilineal, mereka tidak begitu saja tunduk kepada keturunan
hukum adat, khususnya di dalam pembagian harta warisan. Dan kaum Wanita memilih
institusi peradilan dalam proses penyelesaian warisan, berbagaia upaya dilakukan untuk
memperoleh bagian harta warisan ayah maupun suaminya yang akhirnya keluarlah berbagai
macam yurisprudensi yang mengatur tentang hak waris anak perempuan dalam masyarakat
yang sistem kekerabatanya Patrilineal seperti pada masyarakat adat batak.

1
1.2. RUMUSAN MASALAH

Beberapa uraian dalam latar belakang diatas maka permasalahan yang dibahas dalam
makalah ini adalah:

1. Bagaimana dan apa pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Agung Nomor


179/K/SIP/1961 terhadap hak mewaris perempuan dalam masyarakat Batak Karo?

2. Bagaimana efektivitas Putusan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 179/K/SIP/1961


terhadap hak mewaris perempuan dalam masyarakat Batak Karo?

1.3. TUJUAN
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah :

1. Untuk mengetahui pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Agung Nomor


179/K/SIP/1961.

2. Untuk mengetahu efektivitas Putusan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor


179/K/SIP/1961

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Agung No.179/K/SIP/1961

Adanya Putusan yang dibuat tanggal 1 November 1961 dengan No.179/K/SIP/1961


ini dilatar belakangi dengan dilahirkannya persamaan hak mewaris anak laki-laki dan anak
perempuan pada masyarakat Patrilineal yang isi putusanya :

“. . . selain rasa perikemanusiaan dan keadilan umum, dan atas hakikat persamaan
hak antara pria dan wanita, dalam beberapa keputusan menganggap sebagai hukum yang
hidup diseluruh Indonesa, bahwasannya anak laki – laki dan anak perempuan
dari seorang peninggal waris bersma – sama berhak atas harta warisan yang
ditinggalkan, bahwa bagian anak laki – laki sama setara dengan anak perempuan
maka dari itu juga, seorang anak permpuan harus dianggap sebagai ahli waris yang
berhak menerima bagian dari harta warisan yang ditinggalkan dari orangtuanya
tersebut”.

Dengan Yurisprudensi tersebut didalam perkembangnya sudah menjadi suatu


Yurisprudensi tetap dari Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung
No.179/K/SIP/1961, walaupun mendapat banyak tantangan, tetapi tidak sedikit pula para
pihak-pihak yang setuju dengan adanya hal tersebut lalu diikuti beberapa putusan-putusan
Mahkamah Agung yang substansinya mengakui dan memberikan kedudukan hak mewaris
terhadap anak perempuan pada masyarakat adat Patrilineal Batak.

Maka dari itu, Adapun beberapa dasar pertimbangan hakim adalah sebagai berikut :

1. Bahwa hakim yang memutus perkara ini mengetahui betul bahwa sistem kekeluargaan
yang dianut oleh pihak yang berperkara adalah patrilineal. Namun, hakim tidak boleh hanya
berpatokan pada sistem kekeluargaan itu saja. Untuk mengetahui ruang lingkup atas suatu
peristiwa konkret, maka hakim terlebih dahulu perlu memperoleh kepastian tentang sengketa
yang telah terjadi, dan hal tersebut dilakukan hakim saat proses jawab-menjawab. Hakim
harus memperhatikan semua kejadian yang telah diuraikan oleh kedua belah pihak. Perkara
yang mengandung persoalan hukum adat ini mengharuskan hakim untuk berusaha menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Hakim dalam memutus perkara ini juga harus peka memperhatikan aspek-aspek non-yuridis
seperti aspek filosofis, sosiologis, psikologis, sosial ekonomis, budaya bangsa serta dampak
kedepan yang ditimbulkan di tengah-tengah masyarakat setelah keluarnya putusan ini
sehingga hakim harus menggali hukum mana yang lebih tepat dan adil untuk pihak-pihak
yang berperkara, disamping itu masalah waktu (timing) atau apakah sudah saatnya situasi
dan kondisi pada
masyarakat tersebut diterapkan putusan yang akan diputuskan, sudah sejauh mana sosialisasi
hukum waris nasional pada masyarakat tertentu serta tingkat kesadaran hukum dan
dinamika yang berkembang dalam masyarakat tertentu, oleh sebab itu diperlukan kehati-
hatian dalam menetapkan putusan. Apalagi yang dicari hakim adalah selalu putusan yang
adil seacara universal, baik pada perempuan maupun laki-laki.

3
2. Bahwa hakim yang menjatuhkan putusan pada pengadilan Mahkamah Agung ini berasal
dari suku Jawa, sehingga ada kecenderungan dalam menjatuhkan putusan tersebut hakim
bersandar pada hukum adatnya. Dimana sistem kekerabatan yang dianut oleh orang Jawa
adalah parental, yaitu mengikuti garis keturunan kebapak-ibuan, sehingga dalam hal
pewarisan, baik anak laki-laki maupun anak perempuan adalah sama kedudukannya. Tidak
seperti yang terjadi pada putusan Pengadilan Negeri, dimana hakim yang memutus berasal
dari suku Karo, yang paham dan dapat merasakan “roh” dari hukum adat Karo itu sendiri,
sehinggga dalam memutus sengketa ini hakim tersebut sangat mempertimbangkan hukum
adat
Karo sebagai dasar untuk menjatuhkan putusannya.

Setelah keluarnya Yurisprudensi tersebut, merupakan tanda pembebas bahwa anak


laki-laki dan anak perempuan, bersama-sama berhak atas harta warisan dalam arti bagian anak
laki-laki dan anak perempuan telah menciptakan hukum yang baru dengan mengubah hukum
lama dengan dasar pertimbangan bahwa hukum yang lama tidak sesuai lagi dengan
masyarakat tempat hukum berlaku.

2.2. Efektivitas Putusan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 179/K/SIP/1961

Keberadaan Yurisprudensi tersebut di beberapa masayarakat adat seperti di Desa


Barusjahe tetap memberlakukan hukum adat yang telah berkembang sebagai dasar untuk
pembagian warisan. Akan tetapi, apabila ada sengketa terkait pembagian harta warisan, maka
barulah menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat melalui runggu
yang dipimpin oleh pengetua adat yang juga menginformasikan kepada pihak bersengketa
tentang keberadaan yurisprudensi ini.

Keefektifan Yurisprudensi ini sebagai sumber hukum tentunya tidak berlangsung secara
serta merta, melainkan membutuhkan waktu yang relatif lama . pada saat awal-awal
dikeluarkanya , Yurisprudensi ini tidak dapat dikatakan berlaku secara efektif, karena pada saat
itu belum semua masyarakat Batak menggunakan yurisprudensi ini sebagai sumber hukum dan
dasar dalam hal pembagian warisan. Hal tersebut terjadi karena proses sosialisasi nya dinilai
sangat lamban. Adapun faktor yang disebabkan proses tersebut:

1. Wilayah Tanah Karo pada tahun 1961, yaitu pada tahun ditetapkannya Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia No.179/K/Sip/1961 menjadi yurisprudensi, merupakan wilayah
yang terisolir karena berada di pedalaman dataran tinggi yang struktur wilayahnya berupa
pegunungan, lembah dan perbukitan. Selain itu wilayah Tanah Karo pada saat itu juga sangat
minim alat transportasi dan komunikasi, sehingga sulit untuk melakukan pembangunan
infrastruktur. Diperkirakan 10 (sepuluh) tahun lamanya sebagian besar masyarakat Batak
Karo tidak mengetahui keberadaan yurisprudensi tersebut.

2. Sifat dasar orang karo yang memegang teguh hukum adat. Orang Karo umumnya sangat
berpendirian teguh. Jik seseorang telah memiliki suatu
pendirian, maka akan sukar untuk merubah pendiriannya tersebut, termasuk hal-hal yang
terkait dengan hukum adatnya. Orang Karo akan merasa sangat malu apabila dikatakan tidak

4
tahu adat. Adalah suatu kebanggaan tersendiri bagi orang Karo bila dapat menjalankan aturan
adat

4
istiadatnya dengan baik dan akan mendapatkan pujian moral dari masyarakat Karo itu
sendiri. 13 Sejak kecil orang Karo juga telah diajari untuk pandai-pandai menjaga diri dan
nama baik keluarga. Mereka hidup dengan kekeluargaan dan kebersamaan yang tinggi di
lingkungan tradisional, sehingga sifat-sifat tersebut juga ikut diturunkan secara turun temurun

3. Berdasarkan hasil survey di lapangan, tidak ditemukan adanya jejak usaha dari
pemerintah untuk terjun langsung ke dalam masyarakat untuk mensosialisasikan Yurisprudensi
Mahkamah Agung Republik Indonesia No.179/K/Sip/1961 ini kepada masyarakat Batak
Karo di Tanah Karo.

Pada umumnya perubahan hukum dilaksanakan atas suatu pertimbangan bahwa


hukum yang lama tidak sesuai lagi dengan perasaan keadilan masyarakat tempat hukum
itu berlaku. Sebagai contoh, sejak diproklamirkannya kemerdekaan Negara Repoblik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, hukum warisan kolonial sudah banyak dirombak
dan disesuaikan dengan hukum nasional. Perombakan dibidang hukum adat yang tidak sesuai
lagi tersebut memang dibutuhkan, namun keberadaan adat istiadat yang masih dipegang
teguh sebagai jiwa sesuatu masyarakat dan mampu menciptakan kesejahteraan dan
ketentraman dalammasyarakat pada saat itu (tahun 1961) tidaklah perlu diubah secara
radikal, sebab sesuatu yang tidak sesuai dalam hal ini justru malah akan menimbulkan
perpecahan. Hukum adat itu sebenarnya akan berubah sendiri akibat pengaruh ilmu
pengetahuan, teknologi, lingkungan dan zaman.

Sifat hukum adat berkaitan eratdengan unsur-unsur agama, tradisi, spititual,


kepercayaan dan keyakinan masing-masing agama, akan menimbulkan masalah dalam usaha
pembentukan hukum yang baru. Tentu saja akan menimbulkan konsekuensi terbenturnya
yurisprudensi tersebut dengan keanekaragaman agama dan kepercayaan yang dianut, serta
majemuknya sistem kekeluargaan di Indonesia. Kenyataanya memang usaha-usaha
perombakan hukum adat menuju hukum nasional dari tiap-tiap daerah selalu menempuh
jangka waktu dan pembahasan yang relatif lama.

5
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan dari pembahasan yang telah penulis sampaikan dalam penulisan
hukum ini, maka dapat penulis simpulkan dalam uraian yang singkat dalam bab ini sebagai
berikut:
A. Latar Belakang Hakim Mahkamah Agung dalam Menjatuhkan Putusan Nomor
179/K/Sip/1961:
Hakim menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat, sehingga berakhir dengan keputusan yang menekankan pada
keadilan yang sifatnya universal, yaitu keadilan tanpa memandang adanya perbedaan gender,
namun tetap menghargai nilai-nilai dan normahukum adat sebagai nilai-nilai dan norma
hukum yang hidup dalam masyarakat. Keputusan hakim dalam Yurisprudensi
No.179/K/Sip/1961 tentang persamaan hak mewaris antara anak laki-laki dan perempuan
sudah sesuai dengan cita-cita hukum bangsa,yaitu keadilan bagi seluruh masyarakat
Indonesia. Walaupun dalam hal ini hakim terkesan mengesampingan hukum adat Batak Karo
yang menyatakan bahwa anak perempuan bukanlah ahli waris orangtuanya, akan tetapi
penulis setuju dengan keputusan hakim yang memberikan bagian hak waris yang sama rata
antara anak laki-laki dengan perempuan, karena dengan demikian tercapailah tujuan keadilan
yang universal tanpa membeda-bedakan gender tersebut.
B. Efektivitas Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No.179/K/Sip/1961
Terhadap Hak Mewaris pada Masyarakat Batak Karo di Kota Kabanjahe, Kabupaten Karo,
Provinsi Sumatera Utara.Keberadaan Yurisprudensi Mahkamah Agung No.179/K/Sip/1961
ini sebagai sumber hukum dalam proses pewarisan pada masyarakat Batak Karo di Kota
Kabanjahe pada masa kini sudah dapat dikatakan efektif. Dapat dikatakan demikian, karena
orangtua-orangtua masyarakat Batak Karo pada masa kini telah melakukan pembagian
warisan yang sama bagiannya antara anak laki-laki dan perempuan, yaitu sesuai dengan isi
Yurisprudensi Mahkamah Agung No.179/K/Sip/1961. Namun keefektifan yurisprudensi ini
juga tidak berlangsung secara serta merta, karena proses sosialisasi yurisprudensi
membutuhkan waktu yang sangat lama, yang penyebabnya adalah:
1. Wilayah Tanah Karo yang cenderung terisolir;
2. Sifat dasar orang karo yang sangat memegang teguh hukum adat;
3. Kurangnya usaha dari pemerintah untuk terjun langsung ke dalam masyarakat untuk
mensosialisasikan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia
No.179/K/Sip/1961 ini kepada masyarakat Batak Karo di Tanah Karo.

6
DAFTAR PUSTAKA

https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwjfxOnTiv
TzAhXTfn0KHbrQAT0QFnoECCQQAQ&url=https%3A%2F%2Frepositori.usu.ac.id
%2Fhandle%2F123456789%2F35122&usg=AOvVaw3SgNsvL5i6qhAtYvipG50c
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/yurisprudensi/detail/11e93a313416280ab9c0303
834343231.html
https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwjwlsnJkf
TzAhUJT30KHUyoDw8QFnoECCAQAQ&url=https%3A%2F%2Frepositori.usu.ac.id
%2Fhandle%2F123456789%2F35122&usg=AOvVaw3SgNsvL5i6qhAtYvipG50c

Anda mungkin juga menyukai