Anda di halaman 1dari 25

PELAKU HUKUM, KEDUDUKAN HUKUM

PELAKU HUKUM, DAN OBYEK HUKUM

David Andrio Viveca (1106060570)


Helwa Salsabila (1306385974)
Natasha Naomi Tiffany (1306453861)
Saras Geraldine Lalamentik (1306379302)

UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS EKONOMI
2014

KATA PENGANTAR
Segala puji penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang atas
kehendak-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Terima
kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Yoni A. Setyono, S.H., M.H. selaku dosen
mata kuliah pengantar hukum bisnis yang telah membimbing penulis memahami
materi untuk menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini disusun oleh penulis, sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, untuk memahami hukum-hukum yang mengatur aktivitas
bisnis di Indonesia. Selain itu, penulisan makalah ini juga ditujukan bagi pembaca
sebagai individu yang merupakan bagian dari negara hukum agar memahami
perannya dalam bernegara dengan baik dan benar.
Makalah yang berjudul Pelaku Hukum, Kedudukan Hukum Pelaku Hukum,
dan Obyek Hukum diselesaikan oleh penulis demi mendapatkan pemahaman atas
ilmu hukum yang berhubungan dengan aktivitas manusia sebagai pelaku ekonomi dan
demi menyelesaikan tugas untuk mata kuliah pengantar hukum bisnis. Penulis
menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran
yang bersifat konstruktif sangat diharapkan oleh penulis. Harapan penulis semoga
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi pembaca, serta
bermanfaat bagi semua pihak. Sekian dan terima kasih.

Depok, September 2014

Penulis

DAFTAR ISI
Kata pengantar

..2

Daftar isi

..3

Bab I

Pendahuluan

..4

Bab II Pembahasan

..6

Bab III Kesimpulan dan Saran..26


Daftar Pustaka

..28

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara hukum. Kita sebagai warga negara Indonesia
secara fundamental merupakan bagian dari negara hukum, dimana semua aspek
kehidupan diatur dalam hukum. Di Indonesia sendiri terdapat beberapa
pembidangan ilmu hukum, salah satunya adalah hukum perdata, yang sangat
bersinggungan dengan pembahasan mata kuliah pengantar hukum bisnis. Sebagai
pelaku ekonomi dalam dinamika perkembangan ekonomi masa kini, masyarakat
Indonesia sudah sepantasnya mengetahui statusnya dalam hukum demi lancarnya
hubungan antar pelaku ekonomi satu sama lainnya.
Hukum perdata sebagai salah satu bidang ilmu hukum menjelaskan status
pelaku ekonomi yang bergelut dalam dunia ekonomi dan bisnis secara jelas.
Untuk itu, para pelaku ekonomi perlu memahami siapakah pelaku dalam hukum
dan kedudukan hukum para pelaku hukum yang tercantum dalam hukum perdata,
yang menjelaskan mengenai subjek hukum tentang orang atau badan hukum dan
domisili hukum. Selain itu dalam aktivitasnya pelaku ekonomi melakukan
berbagai interaksi dan transaksi yang melibatkan benda, yang merupakan objek
hukum. Pelaku ekonomi perlu memiliki pemahaman atas hukum yang mengatur
kebendaan, apakah macam-macam benda, hak-hak kebendaan, serta cara
memperoleh dan cara pengalihan hak atas benda.
Secara garis besar, masyarakat Indonesia sebagai bagian dari negara
hukum yang memiliki tingkat kedinamikaan ekonomi yang tinggi perlu
memahami hal-hal tersebut di atas demi mencegah terjadinya pergesekan pada
aktivitas bisnis yang dilakukan masyarakat sebagai para pelaku ekonomi, baik
individu maupun badan usaha. Perlunya pemahaman tersebut juga didasari alasan
agar para pelaku ekonomi memahami apakah hak dan kewajibannya dalam
menjalankan aktivitas bisnisnya. Oleh karena itu penulis sebagai pelaku ekonomi
yang merupakan bagian dari dinamika perekonomian Indonesia akan mencoba
mengkaji tentang pelaku hukum dan kedudukan hukum para pelaku hukum dan
objek hukum.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, muncul beberapa masalah sebagai
berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan pelaku hukum dalam hukum perdata?
2. Apakah yang dimaksud dengan manusia sebagai subyek hukum?
3. Apakah yang dimaksud dengan badan hukum sebagai subyek hukum?

4. Bagaimanakah kedudukan hukum para pelaku hukum dalam hukum


5.
6.
7.
8.

perdata?
Apakah yang dimaksud dengan domisili?
Apakah yang dimaksud dengan obyek hukum dalam hukum perdata?
Apa sajakah pembagian macam-macam benda?
Apakah yang dimaksud dengan hak kebendaan dan bagaimana hak
tersebut lahir dan hilang?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan pokok permasalahan yang disebutkan di atas, tujuan penulis
membuat makalah ini adalah untuk :
1. Memahami bagaimanakah status hukum dan kedudukan hukum para
pelaku ekonomi sebagai bagian dari negara hukum
2. Memahami hukum yang mengatur mengenai obyek hukum, yaitu benda,
sebagai suatu materi yang sangat berkaitan dengan aktivitas bisnis para
pelaku ekonomi
3. Memberi informasi dan deskripsi mengenai hal-hal yang disebutkan di
atas menurut hukum perdata
4. Menyelesaikan tugas makalah untuk mata kuliah pengantar hukum bisnis
D. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipakai oleh penulis dalam menyelesaikan
makalah ini adalah dengan metode kepustakaan dan analisis. Dimana penulis
mengambil sumber dari kajian pustaka dan melakukan analisis dan interpretasi
atas data-data yang diperoleh. Kedua metode ini dianggap tepat untuk
mendapatkan intisari yang diperlukan oleh penulis untuk menulis makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
PELAKU HUKUM DALAM HUKUM PERDATA
Hukum Perdata diartikan secara berbeda-beda oleh pakar-pakar hukum di
Indonesia. Menurut Subekti, hukum perdata dalam arti yang luas meliputi semua
hukum privat materiil, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingankepentingan perseorangan.1 Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum
perdata adalah suatu rangkaian hukum antara orang-orang atau badan hukum satu
sama lain tentang hak dan kewajiban.2
1

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, Cet. XXI, 1987, hlm. 9.
R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perdata, Jakarta: Sumur Bandung, Cet. 11,
1992, hlm. 10-11.
2

Subyek hukum adalah pihak yang dapat menjadi mendukung hak dan kewajiban
di bidang hukum dan dapat melaksanakan hak dan kewajiban tersebut dalam lalu
lintas hukum. Subyek hukum yang dimaksud adalah manusia (natuurlijke person) dan
badan hukum (rechtpersoon), seperti yang dimaksud dalam definisi hukum perdata di
atas. Mengenai manusia dan badan hukum diatur berdasarkan KUH Perdata dalam
Buku I tentang Orang. Hukum tentang diri seseorang memuat peraturan-peraturan
tentang manusia sebagai subyek dalam hukum, peraturan-peraturan perihal kecakapan
untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hakhaknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.
1.

Manusia sebagai Subyek Hukum


Dalam hukum, perkataan orang (persoon) berarti pembawa hak, yaitu segala

sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban, atau disebut juga dengan subyek
hukum. Sebagai pembawa hak, padanya dapat diberikan hak dan dapat dilimpahkan
kewajiban. Dapat dikatakan bahwa setiap manusia adalah pembawa hak, dengan kata
lain manusia adalah subyek hukum. Status manusia sebagai subyek hukum terjadi
karena unsur kodrati, hukum hanyalah memberikan landasan (mengakui) saja.
Sebagai subyek hukum kodrati (natuurlijke personen), manusia mempunyai
nama, yang merupakan tanda untuk membedakan orang satu dengan lainnya. Nama
merupakan identifikasi seseorang, sebagai subyek hukum, untuk dapat mengetahui
hak dan kewajiban orang tersebut dan membedakannya dengan orang lain. Buku I
Bab II KUHPer pasal 5a sampai 12 mengatur mengenai nama, perubahan nama, dsb.
Selain nama, kewarganegaraan seseorang juga memegang peranan atau faktor yang
memengaruhi kewenangan seseorang dalam lalu lintas hukum. Misalnya, seorang
warga negara asing tidak dapat mempunyai hak milik. Hak milik hanya merupakan
kewenangan subyek hukum yang mempunyai kewarganegaraan Indonesia
Manusia sebagai subyek hukum berarti manusia adalah pendukung hak dan
kewajiban. Hak yang dimaksud dapat berupa hak yang bersifat absolut dan hak yang
bersifat relatif. Hak yang bersifat absolut adalah hak yang dapat dipertahankan
terhadap semua orang. Sedangkan hak yang bersifat relatif adalah hak yang muncul
karena adanya perjanjian sehingga hak tersebut hanya dapat dipertahankan terhadap
orang-orang yang berkaitan dengan perjanjian tersebut.
Berlakunya seseorang sebagai pembawa hak (subyek hukum), dimulai pada saat
ia dilahirkan hidup dari kandungan seorang ibu. Hidup artinya ia bernafas di luar
kandungan, meskipun hanya sebentar. Namun terhadap hal ini terdapat suatu
pengecualian, dimana anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap
6

sebagai telah dilahirkan, apabila kepentingan si anak menghendakinya (Pasal 2 ayat 1


KUHPer). Ketentuan ini mempunyai arti penting apabila dalam hal perwalian oleh
bapak atau ibu, mewarisi harta peninggalan, menerima wasiat dari pewaris, dan
menerima hibah. Selanjutnya menurut Pasal 2 ayat 2 KUHPer, apabila ia mati
sewaktu dilahirkan, ia dianggap tak pernah ada. Hal ini berarti bahwa si anak sewaktu
dilahirkan harus hidup walaupun hanya sebentar. Hal ini perlu untuk menentukan
peranannya sebagai pendukung hak dan kewajiban (subyek hukum). Kemudian
menurut Pasal 3 KUHPer disebutkan bahwa tidak ada suatu hukum pun yang
mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan segala hak kewargaan.
Berakhirnya atau hapusnya kedudukan seseoang sebagai subyek hukum adalah
pada saat ia meninggal dunia. Dengan meninggalnya seseorang, hak dan
kewajibannya beralih kepada para ahli warisnya. Pengertian meninggal dunia ada dua
cara, yaitu meninggal dunia dengan akte kematian atau meninggal dunia dengan cara
yang sulit atau dalam keadaan tak hadir dapat dimintakan kepada pengadilan agar
ditentukan bahwa orang itu dianggap meninggal dunia.

1.1. Kecakapan Bertindak dalam Hukum


Meskipun dalam hukum tiada orang yang terkecuali yang dapat memiliki
hak-hak, namun di dalam hukum tidak semua orang diperbolehkan bertindak
sendiri dalam melaksanakan hak-haknya itu. Beberapa golongan orang
dinyatakan tidak cakap atau kurang cakap untuk melakukan sendiri
perbuatan-perbuatan hukum, sehingga golongan orang ini harus diwakili atau
dibantu orang lain. Menurut Pasal 1330 KUHPer, mereka yang oleh hukum
dinyatakan tidak cakap untuk melakukan sendiri perbuatan hukum ialah orang
yang belum dewasa, orang yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele), dan
perempuan dalam perkawinan.
Orang yang belum dewasa hanya dapat menjalankan hak dan
kewajibannya dengan perantaraan orang lain atau sama sekali dilarang. Menurut
Pasal 330 KUHPer, orang dikatakan masih di bawah umur apabila ia belum
mencapai usia 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila ia telah
menikah, maka ia dianggap telah dewasa, meskipun perkawinannya diputuskan
sebelum ia mencapai usia 21 tahun. Namun dapat dilakukan suatu pendewasaan
atau perlunakan (handlichting), yaitu suatu upaya hukum untuk menempatkan
seorang yang belum dewasa menjadi sama dengan orang yang telah dewasa,

baik untuk tindakan tertentu maupun untuk semua tindakan. Terdapat dua
macam bentuk pendewasaan, yaitu pendewasaan terbatas dan pendewasaan
penuh. Dengan pendewasaan terbatas seperti tercantum di Pasal 426 KUHPer
maka anak di bawah umur dinyatakan dewasa untuk melakukan tindakan
hukum tertentu, dengan syarat pengajuan yaitu umurnya sudah genap 18 tahun
dan permohonan ini diajukan ke Pengadian Negeri. Dengan pendewasaan penuh
seperti tercantum di Pasal 420-421 KUHPer maka anak di bawah umur
dinyatakan dewasa untuk melakukan semua tindakan hukum, dengan syarat
pengajuan yaitu umurnya sudah genap 20 tahun dan permohonan ini diajukan ke
Presiden. Namun pendewasaan ini dapat dicabut oleh Pengadilan Negeri apabila
anak yang belum dewasa ini menyalahgunakan kewenangan yang diberikan
kepadanya, seperti yang tercantum di Pasal 431 KUHPer.
Pengampuan (curatele) adalah suatu daya upaya hukum untuk
menempatkan orang yang telah dewasa menjadi sama seperti orang yang belum
dewasa. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan disebut curandus,
pengampunya disebut curator, dan pengampuannya disebut curatele. Orang
yang ditaruh di bawah pengampuan menurut Pasal 433 KUHPer adalah orang
yang dungu, sakit ingatan atau mata gelap, dan orang boros. Menurut Pasal 436
KUHPer, setiap permintaan atas pengampuan harus diajukan ke Pengadilan
Negeri di mana si curandus itu berdiam. Pengampuan akan berakhir apabila
sebab-sebab yang mengakibatkannya telah hilang (Pasal 460 KUHPer).
Pengampuan juga berakhir apabila si curandus meninggal.
Seorang istri atau perempuan yang telah kawin, menurut KUHPer
dianggap tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, khususnya di
bidang hukum kekayaan. Untuk itu seorang istri memerlukan bantuan dari
suaminya, karena suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah
tangga. Namun dalam hal-hal lain, pada hakekatnya perempuan adalah cakap
untuk melakukan perbuatan hukum sendiri.
2.

Badan Hukum sebagai Subyek Hukum


Di samping manusia sebagai pembawa hak (subyek hukum), dalam hukum juga

terdapat badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan yang dapat memiliki hak dan


melakukan perbuatan hukum seperti layaknya manusia. Badan atau perkumpulan
tersebut dinamakan badan hukum atau rechtspersoon, yang berarti orang yang
diciptakan oleh hukum. Badan hukum tidak mempunyai wujud fisik, mempunyai

kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya,
serta dapat digugat dan menggugat di muka hakim. Contoh badan hukum misalnya
Perseroan Terbatas, Yayasan, Koperasi, Bank, dan lain-lain.
2.1. Syarat-Syarat Pembentukan Badan Hukum
Suatu badan atau perkumpulan hanya dapat disebut sebagai badan hukum
apabila telah memenuhi beberapa syarat. Syarat formal yang harus diperhatikan
dalam pembentukan badan hukum adalah bahwa badan hukum harus didirikan
dengan akta notaris, sedangkan syarat materiil badan hukum tidak dinyatakan
dengan tegas dalam Undang-Undang. Beberapa doktrin berusaha memberikan
syarat atas berdirinya sebuah badan hukum, salah satunya yaitu doktrin menurut
Meyers3, yaitu :
a. Adanya harta kekayaan yang terpisah dari kekayaan pribadi anggota
atau para pendirinya
b. Adanya suatu tujuan tertentu, dapat dimaksudkan untuk mencari
keuntungan atau mempunyai tujuan komersial, ataupun dapat pula
mempunyai tujuan ideal
c. Adanya suatu kepentingan sendiri, yaitu hak subyektif yang timbul dari
hubungan hukum yang terjadi atau dilakukan badan hukum tersebut
d. Mempunyai suatu organisasi yang teratur
Badan hukum mulai diakui sebagai subyek hukum sejak badan hukum
tersebut disahkan oleh undang-undang dan berakhir pada saat dinyatakan bubar
(pailit) oleh pengadilan. Disahkannya suatu badan hukum menurut undangundang dapat diraih dengan cara didirikan dengan Akte Notaris, didaftarkan di
kantor Panitera Pengadilan Negeri setempat, dimintakan pengesahan anggaran
dasarnya kepada Menteri Kehakiman, dan diumumkan dalam Berita Negara.
Syarat berdirinya berbagai bentuk badan hukum diatur dalam berbagai
perundang-undangan sesuai dengan jenisnya, seperti antara lain :
a. Undang-Undang No. 1 tahun 1995 mengatur mengenai berdirinya
badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas
b. Undang-Undang No. 25 tahun 1992 mengatur mengenai berdirinya
badan hukum berbentuk Koperasi
c. Undang-Undang No. 10 tahun 1998 mengatur mengenai berdirinya
badan hukum berbentuk Bank
d. Undang-Undang No. 16 tahun 2001 mengatur mengenai berdirinya
badan hukum berbentuk Yayasan
3

Abdulkadir Muhamad. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993.
Hal. 31.

2.2. Pembagian Badan Hukum


Pada dasarnya badan hukum terbagi atas dua bagian, yaitu badan hukum
publik (publiek rechtspersoon) dan badan hukum privat (privaat rechtspersoon).
Badan hukum publik (publiek rechtspersoon) adalah badan hukum yang
didirikan oleh negara untuk kepentingan publik atau negara. Susunan dan
pembentukannya didasarkan pada hukum publik. Contoh badan hukum publik
adalah negara Republik Indonesia (diatur dalam UUD 1945), Bank Indonesia
(diatur dalam UU No. 22 tahun 1999), dan perusahaan milik negara yang diatur
dalam undang-undangnya tersendiri.
Badan hukum privat (privaat rechtspersoon) adalah badan hukum yang
didirikan untuk kepentingan individu. Badan hukum ini merupakan badan
hukum milik swasta yang didirikan oleh individu-individu untuk tujuan tertentu
dan sesuai menurut hukum yang berlaku secara sah. Contoh badan hukum privat
adalah Perseroan Terbatas (diatur dalam KUHD dan UU No. 1 Tahun 1995),
Firma (diatur dalam KUHD), Persekutuan Komanditer/CV (diatur dalam
KUHD), dan Perbankan (diatur dalam UU No. 10 tahun 1998).
2.3. Teori Mengenai Badan Hukum
Berkaitan dengan badan hukum sebagai subyek hukum, telah
dikemukakan beberapa teori yang mencoba untuk membahas mengenai hal itu.
Teori-teori tersebut ialah :
a. Teori fiksi (Fictie theorie)
Teori ini dipelopori oleh Friedrich Carl von Savigny, dan teori ini
menjelaskan bahwa badan hukum hanyalah fiksi hukum, maksudnya
teori ini adalah mengemukakan bahwa pengaturan-pengaturannya
badan itu oleh negara, dan sebenarnya badan hukum itu hanyalah
bayangan.
b. Teori organ (Orgaan theorie)
Teori ini dikemukakan oleh Otto von Gierke, dan teori ini menjelaskan
bahwa badan hukum itu terbentuk dan bisa memenuhi kehendaknya
dari kepengurusan-kepengurusan, seperti halnya organ tubuh pada
manusia. Contohnya adalah kepengurusan ketua pada badan hukum
seperti halnya kepala pada manusia.
c. Teori harta kekayaan bertujuan (Zweckvermogens theorie)
Teori ini menjelaskan bahwasanya badan hukum hanyalah sebagai
kepentingan tertentu, dan manusialah yang menjadi subyek murni.
d. Teori harta karena jabatan (Theori van het ambtlelijk vermogen)

10

Teori ini menjelaskan bahwa badan hukum itu ialah badan hukum yang
mempunyai harga dan berdiri sendiri, yang dimiliki oleh badan hukum
itu sendiri, akan tetapi badan hukum ini mempunyai pengurus dan
jabatan untuk mengurusi harta tersebut.
e. Teori kekayaan bersama (Propriete collective theorie)
Teori ini menjelaskan bahwasanya kekayaan badan hukum itu milik
bersama, tidak boleh dibagi-bagi.
f. Teori kenyataan yuridis (Juridische realiteitsleer)
Teori ini dikemukakan oleh E.M. Meijers, menurut teori ini badan
hukum adalah suatu wujud yang kongkrit dan riil, sama riilnya dengan
manusia, walaupun tidak bisa di raba.

KEDUDUKAN HUKUM PARA PELAKU HUKUM


Menurut Pasal 17 ayat 1 KUHPer, pada dasarnya setiap orang harus mempunyai
tempat tinggal yang dapat dicari. Tempat tinggal yang dimaksud dalam pasal di atas
disebut domisili.
1.

Pengertian Domisili

11

Domisili adalah suatu tempat resmi dimana seseorang oleh hukum dianggap
ada, dan dapat dihubungi untuk pelaksanaan hak dan kewajibannya sebagai subyek
hukum, meskipun dalam kenyataannya orang tersebut tidak berada di situ. Suatu
badan hukum pun dapat memiliki tempat kedudukan tertentu. Subekti membedakan
antara tempat tinggal dan tempat kedudukan, meski keduanya berarti domisili. Tempat
tinggal adalah domisili untuk subyek hukum manusia sedangkan tempat kedudukan
adalah domisili untuk badan hukum. Apabila tidak terdapat tempat tinggal atau tempat
kedudukan tertentu, maka tempat kediaman yang sewajarnya dianggap sebagai tempat
tinggal/domisili (Pasal 17 ayat 2 KUHPer). Sehingga domisili bukan merupakan
fakta, melainkan merupakan suatu pengertian hukum.
Domisili ini penting untuk diketahui, demi mengetahui di mana seseorang harus
menikah, mengetahui di mana seseorang harus mengajukan gugatan perceraian,
mengetahui pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili suatu perkara perdata
seseorang, mengetahui di mana ia harus mengikuti pemilu, dan mengetahui tempat
pembayaran suatu barang. Domisili memiliki arti yang sangat penting bagi subyek
hukum untuk menentukan atau menunjukkan di mana berbagai perbuatan hukum
harus atau dapat dilakukan.
Suatu hal mengenai domisili yang dikaitkan dengan meninggalnya seseorang
disebut dalam Pasal 23 KUHPer. Hal terserbut adalah rumah kematian, yang menurut
Prof. Subekti, S.H. yakni domisili penghabisan dari seseorang yang telah meninggal
dunia, untuk menentukan hal-hal yang berkaitan dengan warisan, terbukanya warisan,
hakim mana yang mengadili, dan lainnya. 4 Dalam Pasal 23 KUHPer ditentukan
bahwa undang-undang menganggap rumah kematian orang yang sudah meninggal
terletak dimana ia mempunyai tempat tinggal yang terakhir.
2.

Macam-macam Domisili
Domisili atau tempat tinggal atau tempat kedudukan dapat dibedakan menjadi

dua macam, yaitu domisili umum dan domisili khusus/pilihan.


a. Domisili umum
Domisili umum disebut juga tempat tinggal yang sebenarnya/sesungguhnya,
yaitu tempat tinggal di mana seseorang itu sesungguhnya berada. Domisili
umum dapat dibedakan lagi menjadi dua macam, yaitu domisili bebas dan
domisili panutan. Domisili bebas atau sukarela atau mandiri ialah tempat
tinggal pokok seseorang yang ditentukan sendiri dan tidak bergantung pada
4

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, Cet. XXI, 1987, hlm. 22.

12

orang lain. Domisili panutan atau ikutan ialah tempat tinggal seseorang yang
tergantung pada orang lain, sering juga disebut sebagai tempat tinggal
berdasrkan Undang-undang. Orang-orang yang memiliki domisili panutan,
menurut Pasal 21-22 KUHPer, adalah seorang istri yang mengikuti domisili
suaminya, anak yang belum dewasa mengikuti domisili orang tua/walinya,
orang dewasa yang ditaruh di bawah pengampuan mengikuti domisili
pengampunya, dan para pekerja yang tinggal di rumah majikannya maka
domisilinya mengikuti domisili majikannya.
b. Domisili Khusus /Pilihan
Domisili khusus disebut juga domisili pilihan, yaitu domisili yang oleh
Undang-undang, untuk tindakan hukum tertentu, telah ditentukan, atau oleh
para pihak pada waktu melakukan suatu tindakan hukum tertentu telah
dipilih atas kemauan sendiri. Domisili khusus/pilihan dapat dibedakan lagi
menjadi dua macam, yakni domisili pilihan karena terpaksa dan domisili
pilihan karena sukarela. Domisili pilihan karena terpaksa ialah domisili yang
muncul oleh Undang-undang yang menentukannya, sedangkan domisili
pilihan karena sukarela ialah domisili yang oleh para pihak pada waktu
melakukan suatu tindakan hukum tertentu telah dipilih atas kemauan sendiri.

OBYEK HUKUM
1.
Pengertian Benda
Pengertian mengenai benda secara tersurat terdapat di Pasal 499 KUHPer, yang
menyatakan bahwa benda ialah tiap barang dan tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak
milik. Menurut ilmu hukum, benda adalah segala sesuatu yang dapat menjadi obyek
hukum dan barang-barang yang dapat menjadi milik serta hak setiap orang yang
dilindungi oleh hukum.
Pengertian ini memiliki cakupan yang sangat luas, karena benda (zaak) dapat
juga diartikan sebagai barang yang berwujud (goed) dan hak (recht). Hal ini berarti
istilah benda pengertiannya masih abstrak karena dapat dimaksudkan sebagai benda
berwujud dan benda tidak berwujud, namun istilah barang pengertiannya lebih sempit
karena bersifat konkrit dan berwujud. Istilah yang merujuk pada benda tak berwujud

13

adalah hak, misalnya hak milik intelektual seperti hak pengarang/hak cipta
(auteursrecht), hak paten (octrooirecht), dan hak merk (merkenrecht).
Berdasarkan KUHPer, benda (zaak) dapat berarti bermacam-macam, yaitu
benda sebagai obyek hukum (Pasal 500 KUHPer), benda sebagai kepentingan (Pasal
1354 KUHPer), benda sebagai kenyataan hukum (Pasal 1263 KUHPer), dan benda
sebagai perbuatan hukum (Pasal 1792 KUHPer).
1.1. Hukum Benda
Hukum benda (zakenrecht) adalah hukum tentang benda yang di
dalamnya terdapat segala macam aturan hukum tentang benda. Aturan hukum
tersebut terdapat dalam Buku II KUHPer mulai dari pasal 499 sampai pasal
1232, yang mana aturan tersebut menjelaskan tentang pengertian benda, tentang
pembedaan macam-macam benda, dan tentang hak-hak kebendaan. Sistem
pengaturan hukum benda adalah tertutup, artinya seseorang tidak dapat
mengadakan hak-hak kebendaan yang baru selain yang telah diatur dalam Buku
II KUHPer.
2.

Macam-macam Benda
KUHPer membedakan benda dalam beberapa jenis atau macam sebagai berikut:
a. Benda-benda bertubuh/berwujud (lichamelijke zaken) dan benda tak
berwujud (onlichamelijke zaken)
b. Benda yang dapat habis (verbruikbaar) dan benda yang tidak dapat habis
(onverbruikbaar)
c. Benda yang sudah ada (tegenwoordige zaken) dan benda yang masih akan
ada (toekomstige zaken)
d. Benda di dalam perdagangan (zaken in de handel) dan benda di luar
perdagangan (zaken buiten de handel)
e. Benda yang dapat dibagi (deelbare zaken) dan benda yang tidak dapat dibagi
f.

(ondeelbare zaken)
Benda yang dapat diganti (wisseling zaken) dan benda yang tidak dapat

diganti (onwisseling zaken)


g. Benda terdaftar (geregistreerde zaken) dan benda yang tidak terdaftar
(ongeregistreerde zaken)
Dari berbagai pembagian macam-macam benda menurut KUHPer, doktrin, atau
ilmu hukum yang ada, yang terpenting adalah pembagian benda bergerak (roerend
zaken) dan benda tak bergerak (onroerend zaken), sebab pembagian ini mempunyai
akibat yang penting dalam hukum. Menurut Pasal 504 KUHPer, tiap-tiap kebendaan
adalah benda bergerak atau benda tak bergerak.

14

a. Benda bergerak
Benda bergerak adalah benda yang karena sifatnya (diatur dalam Pasal 509510 KUHPer) atau karena penetapan undang-undang (diatur dalam Pasal 511
KUHPer) dinyatakan sebagai benda bergerak. Contoh dari benda bergerak
adalah kendaraan dan surat berharga. Menurut Pasal 509 KUHPer, sifat dari
benda bergerak adalah kebendaan yang dapat berpindah atau dipindahkan.
Benda bergerak dapat ini dapat dibagi menjadi dua jenis berdasarkan Pasal
505 KUHPer, yaitu benda yang dapat dihabiskan dan benda yang tidak dapat
dihabiskan. Benda yang dapat dihabiskan misalnya adalah makanan,
minuman, dan bahan bakar. Sedangkan benda yang tidak dapat dihabiskan
misalnya kendaraan dan alat makan.
b. Benda tidak bergerak
Benda tidak bergerak adalah benda yang karena sifatnya (diatur dalam Pasal
506 KUHPer), tujuan pemakaiannya (diatur dalam Pasal 507 KUHPer), atau
karena penetapan undang-undang (diatur dalam Pasal 508 KUHPer)
dinyatakan sebagai benda tidak bergerak. Contoh dari benda tidak bergerak
adalah tanah dan bangunan.
3.

Hak-hak Kebendaan
Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, hak kebendaan (zakelijkrecht) adalah

hak mutlak atas suatu benda dimana hak itu memberikan kekuasaan langsung atas
sesuatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga.5
Berdasarkan rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri hak kebendaan
adalah sebagai berikut :
a. Bersifat absolut yaitu dapat dipertahankan terhadap tuntutan tiap orang.
b. Mempunyai droit de suite atau zaaks gevolg yaitu suatu hak yang terus
mengikuti pemilik benda, atau hak yang mengikuti bendanya di tangan
siapapun.
c. Mempunyai droit de preference, maksudnya hak kebendaan didahulukan
daripada hak lainnya.
d. Hak
menuntut
kebendaan

(revindicatie),

yaitu

hak

untuk

menuntut/menggugat pengembalian haknya dalam keadaan semula, seperti


dalam Pasal 574 KUHPer.
e. Hak sepenuhnya untuk memindahkan, misalnya dengan cara penjual
bendanya, dapat secara sepenuhnya dilakukan tanpa meminta persetujuan
orang lain.
5

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda, Yogyakarta: Liberty, Cet.
IV, 1981, Hal. 24.

15

3.1. Pembedaan Hak-hak Kebendaan


Hak-hak kebendaan yang diatur dalam Buku II KUHPer yang sudah
disesuaikan dengan Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 dapat
dibedakan atas dua macam, yaitu hak kebendaan yang memberi menikmatan
dan hak kebendaan yang memberi jaminan.
Hak kebendaan yang memberi kenikmatan (zakelijk genotsrecht) meliputi
hak kebendaan yang memberikan kenikmatan atas bendanya sendiri, misalnya
hak eigendom dan hak bezit, serta hak kebendaan yang memberikan kenikmatan
atas benda orang lain, misalnya hak opstal, hak erfpacht, hak memungut hasil,
hak pakai, dan hak mendiami. Sedangkan hak kebendaan yang memberi
jaminan (zakelijk zakerheidsreicht) misalnya adalah hak gadai (pand) dan
hipotik.
Selain yang telah disebutkan di atas, masih ada hak-hak yang telah diatur
dalam Buku II KUHPer tetapi bukan merupakan hak kebendaan, yaitu privilege
dan hak retentie. Namun hak-hak ini dapat juga digolongkan sebagai hak
kebendaan.
3.2. Macam-macam Hak Kebendaan
a.
Hak Bezit
Menurut Subekti, bezit adalah suatu keadaan lahir, dimana seorang
menguasai suatu benda seolah-olah kepunyaannya sendiri, yang oleh hukum
diperlindungi, dengan tidak mempersoalkan hak milik atas benda sebenarnya
ada pada siapa.6 Sedangkan pengertian bezit juga tercantum dalam Pasal 529
KUHPer. Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian
bezit menunjukkan adanya hubungan nyata antara di pemegang dengan
bendanya.
Syarat yang harus dipenuhi untuk adanya suatu bezit adalah adanya
Corpus, yaitu harus ada hubungan antara orang yang bersangkutan dengan
bendanya. Lalu adanya Animus, yaitu hubungan antara orang dengan benda
tersebut harus dikehendaki oleh orang tersebut. Dengan demikian, untuk
adanya bezit perlu ada dua unsur, yaitu kekuasaan atas benda dan kemauan
untuk memiliki benda tersebut.
Cara memperoleh bezit disebut dalam ketentuan Pasal 538 KUHPer,
yang dapat disimpulkan dua hal yaitu ada tindakan aktif yaitu menarik suatu
kebendaan dan ada niat menguasai benda tersebut untuk diri sendiri. Dalam
6

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, Cet. XXI, 1987, hlm. 52.

16

Pasal 540 KUHPer disebutkan bahwa cara memperoleh bezit ada dua cara,
yaitu :
Occupatio, yaitu tindakan menduduki atau menguasai suatu benda
baik bergerak maupun tidak bergerak yang tidak ada pemiliknya.
Cara memperolehnya adalah secara originair atau asli tanpa bantuan
orang lain atau mandiri. Contohnya adalah mengambil ikan di sungai
atau di laut dan memetik buah di hutan
Traditio (Levering), yaitu cara memperoleh bezit dengan penyerahan,

artinya bezit diperoleh karena penyerahan dari orang lain yang sudah
menguasainya lebih dulu
Setelah memperoleh bezit, orang dapat kehilangan bezit apabila
kekuasaan atas benda itu berpindah pada orang lain, baik secara diserahkan
maupun karena diambil oleh orang lain. Orang juga dapat kehilangan bezit
apabila benda yang dikuasainya nyata telah ditinggalkan.
b.

Hak Eigendom
Menurut Subekti, eigendom atau hak milik adalah hak yang paling

sempurna atas suatu benda. Seseorang yang memilik eigendom atas suatu
benda dapat berbuat apa saja dengan benda itu, asal ia tidak melanggar
undang-undang atau hak orang lain.7 Yang dimaksud dengan eigendom juga
tercantum dalam Pasal 570 KUHPer, yang dapat disimpulkan dari ketentuan
itu bahwa ada penguasaan dan penggunaan suatu benda dengan sebebasbebasnya, ada pembatasan oleh undang-undang dan peraturan umum, tidak
menimbulkan gangguan terhadap hak orang lain, dan ada kemungkinan
pencabutan hak dengan pembayaran sejumlah ganti rugi.
Cara memperoleh eigendom tercantum dalam Pasal 584 KUHPer, yaitu
dengan cara :
Pendakuan atau pemilikan (toeeigening), yaitu penguasaan atas
suatu benda yang tidak ada pemiliknya dengan maksud untuk tetap

menguasai dan memilikinya.


Perlekatan (natrekking), artinya dalam hak tercampur benda pokok
dengan benda tambahan, maka di pemilik benda pokok juga menjadi
pemilik benda tambahan tersebut, seperti yang tercantum dalam
Pasal 587-589 KUHPer. Contohnya adalah hak atas tanaman adalah
milik dari orang yang memiliki tanah dimana tanaman itu tumbuh.

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, Cet. XXI, 1987, hlm. 69.

17

Lewat waktu atau daluwarsa (verjaring), terbagi atas acquisitieve


verjaring, yaitu lewat waktu sebagai alat untuk memperoleh hak
kebendaan, dan extinctieve verjaring, yaitu lewat waktu sebagai alat

untuk dibebaskan dari suatu perutangan.


Pewarisan (erfopvolging), baik menurut undang-undang maupun

testamen (surat wasiat).


Penyerahan (levering) berdasarkan suatu peristiwa perdata untuk
memindahkan hak milik yang dilakukan oleh seorang yang berhak

berbuat bebas terhadap benda itu.


Namun pada dasarnya seseorang dapat kehilangan hak miliknya
apabila seseorang memperoleh hak milik itu melalui salah satu cara untuk
memperoleh hak milik, binasanya benda itu, dan pemilik hak milik
(eigenaar) melepaskan benda itu.
c.

Hak Servituut
Pengertian hak servituut menurut Subekti adalah suatu beban yang

diletakkan di atas suatu pekarangan untuk keperluan suatu pekarangan lain


yang berbatasan.8 Berdasarkan definisi tersebut dan penjelasan dalam Pasal
674 ayat 1 KUHPer, dapat disimpulkan bahwa hak servituut atau hak
pekarangan adalah suatu beban yang diletakkan di atas suatu pekarangan
untuk keperluan suatu pekarangan lain. Menurut Pasal 677-678 KUHPer, hak
servituut atau hak pekarangan dapat dibedakan antara hak pekarangan abadi,
hak pekarangan tak abadi, hak pekarangan yang nampak, dan hak
pekarangan yang tak nampak.
Timbulnya hak pekarangan, menurut Pasal 695 KUHPer, adalah dapat
karena suatu perbuatan perdata dan lewat waktu/daluwarsa/verjaring.
Sedangkan hapusnya hak pekarangan diakibatkan oleh kedua pekarangan
jatuh ke tangan satu orang dan selama 30 tahun berturut-turut tidak
dipergunakan.
d.

Hak Opstal
Pengertian hak opstal menurut Subekti dengan mengacu pada Pasal

711 KUHPer adalah suatu hak untuk memiliki bangunan atau tanaman di atas
tanah milik orang lain.9 Hak opstal juga disebut sebagai hak numpang8
9

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, Cet. XXI, 1987, hlm. 75.
Subekti, Ibid, hlm. 75.

18

karang. Hak opstal dapat dipindahkan pada orang lain atau dapat dipakai
sebagai hipotik (diatur dalam Pasal 712 KUHPer). Hak opstal diperoleh
karena perbuatan perdata (tercantum dalam Pasal 713 KUHPer).
Hapusnya hak opstal, menurut Pasal 718-719 KUHPer dapat terjadi
apabila hak opstal jatuh ke dalam satu tangan, musnahnya pekarangan,
selama 30 tahun tidak dipergunakan, waktu yang diperjanjikan telah lampau,
dan diakhiri oleh pemilik tanah.
e.

Hak Erfpacht
Hak erfpacht atau hak guna usaha, didefinisikan oleh Subekti dengan

mengacu pada Pasal 720 KUHPer, sebagai suatu hak kebendaan untuk
menarik penghasilan seluas-luasnya untuk waktu yang lama dari sebidang
tanah milik orang lain dengan kewajiban membayar sejumlah uang atau
penghasilan tiap tahun, yang dinamakan pacht atau canon.10 Hak
erfpacht ini dapat dijual atau dipakai sebagai jaminan hutang (hipotek).
Berakhirnya sekaligus diperolehnya hak erfpacht terjadi saat
perpindahan hak pada para ahli warisnya apabila orang yang mempunyai hak
meninggal. Sebab berakhirnya atau dihapusnya hak erfpacht ini tercantum
dalam Pasal 736 KUHper, yang mana sama seperti sebab dihapuskannya hak
opstral yang tercantum dalam Pasal 718-719 KUHPer.
f.

Hak Pakai Hasil


Hak pakai hasil atau vruchtgebruik, tercantum dalam Pasal 756

KUHPer. Menurut Sri Soedewi dengan mengacu pada aturan tersebut, hak
pakai hasil adalah suatu hak untuk memungut hasil dari barang orang lain
seolah-olah seperti eigenaar dengan kewajiban untuk memelihara barang itu
supaya tetap adanya.11 Berdasarkan hal tersebut, tergambarkan bahwa hak
pakai hasil tidak hanya memberikan hak untuk menarik penghasilan saja,
melainkan juga hak untuk memakai benda itu.
Cara memperoleh hak pakai hasil diatur dalam Pasal 759 KUHPer,
yaitu karena undang-undang dan kehendak si pemilik. Sebaliknya dalam
Pasal 807 KUHPer dicantumkan sebab dihapuskannya hak pakai hasil, yaitu
karena meninggalnya si pemakai, tenggang waktu yang diberikan telah lewat
waktu atau telah terpenuhkan, percampuran (apabila hak milik dan hak pakai
10

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, Cet. XXI, 1987, hlm. 76.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda, Yogyakarta: Liberty, Cet.
IV, 1981, Hal. 119.
11

19

hasil berada di tangan satu orang), pelepasan hak oleh di pemakai kepada
pemilik, kadaluwarsa, dan musnahnya benda itu seluruhnya.
g.

Hak Gadai
Menurut Subekti, dengan mengacu pada Pasal 1150 KUHPer, hak

gadai atau pandrecht adalah suatu hak kebendaan atas suatu benda yang
bergerak kepunyaan orang lain, yang semata-mata diperjanjikan dengan
menyerahkan bezit atas benda tersebut, dengan tujuan untuk mengambil
pelunasan suatu hutang dari pendapatan penjualan benda itu, lebih dahulu
dari penagih lainnya.12 Hak gadai bersifat accessoir, yaitu merupakan
tambahan dari perjanjian pokok. Selain itu hak gadai juga tidak dapat dibagibagi, sesuatu kententuan di Pasal 1160 KUHPer.
Hak gadai lahir dengan penyerahan kekuasaan atas barang yang
dijadikan tanggungan pada pemegang gadai. Hak ini dapat ditaruh di bawah
kekuasaan seorang pihak ketiga atas persetujuan kedua belah pihak yang
berkepentingan (Pasal 1152 ayat 1 KUHPer).
Hak gadai dapat dihapuskan apabila seluruh utangnya sudah dibayar
lunas, barang gadai hilang/musnah, barang gadai keluar dari kekuasaan si
penerima gadai, dan barang gadai dilepaskan secara sukarela.
h.

Hak Hipotik
Menurut Subekti, dengan mengacu pada Pasal 1162 KUHPer, hipotik

atau hypotheek adalah suatu hak kebendaan atas suatu benda tak bergerak,
bertujuan untuk mengambil pelunasan suatu utang dari pendapatan penjualan
benda itu.13 Sifat hipotik adalah accessoir, yaitu adanya bergantung pada
perjanjian pokok.
Demi mengadakan hipotik harus memenuhi syarat-syarat yaitu harus
dengan akta notaris, kecuali dalam hal yang dengan tegas tercantum di
undang-undang (Pasal 1171 KUHPer) dan harus didaftarkan ke Kantor Balik
Nama (Pasal 1179 KUHPer).
Hapusnya hipotik, menurut Pasal 1209 KUHPer terjadi apabila
dihapuskan perikatan pokoknya, si berpiutang melepaskan hipotiknya, dan
penetapan tingkat oleh hakim.
i.

12
13

Hak Istimewa (Privilege)

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, Cet. XXI, 1987, hlm. 79.
Subekti, Ibid., hlm. 82-83.

20

Menurut Subekti dengan mengacu pada Pasal 1134 ayat 1 KUHPer,


privilege adalah suatu kedudukan istimewa dari seorang penagih yang
diberikan oleh undang-undang melulu berdasarkan sifat piutangnya. 14
Namun pada dasarnya banyak pihak yang tidak setuju jika hak
istimewa dibahas dalam Buku II KUHPer, karena hak istimewa bukan
merupakan hak kebendaan melainkan hak untuk lebih mendahulukan dalam
pelunasan piutangnya.
j.

Hak Reklame
Hak reklame adalah hak yang diberikan kepada di penjual untuk

meminta kembali barangnya yang telah diterima oleh si pembeli setelah si


pembeli membayar tunai. Mengenai hak reklame diatur dalam Pasal 11451146a KUHPer dan dalam KUHD (Pasal 230 dan seterusnya). Hak reklame
memiliki kemiripan dengan hak kebendaan, karena mempunyai unsur yang
sama, yaitu memberikan kekuasaan langsung pada bendanya dan dapat
dipertahankan terhadap siapa pun juga.
Namun menurut undang-undang, hak reklame akan gugur apabila
barang yang telah diterima pembeli ternyata telah disewakan (Pasal 1146
KUHPer) dan barang tersebut oleh pembeli telah dibeli pihak ketiga dengan
itikad baik dan telah diserahkan kepada pihak ketiga tersebut (Pasal 1146a
KUHPer).
k.

Hak Retentie
Hak retentie atau hak menahan, menurut H.F.A. Vollmar, merupakan

hak untuk tetap memegang benda milik orang lain sampai piutang di
pemegang mengenai benda tersebut telah lunas.15 Sifat hak ini adalah tidak
dapat dibagi-bagi, bersifat accessoir, dan memberikan jaminan. Hak ini
dihapuskan apabila seluruh utang telah dibayar lunas.
3.3. Hak Kebendaan Menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
Menurut Pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, hakhak atas tanah adalah sebagai berikut :
a. Hak milik
Diatur dalam Pasal 20 ayat 1 UUPA, yaitu hak turun-temurun, terkuat dan
terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat semua
hak atas tanah mempunyai fungsi sosial
14

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, Cet. XXI, 1987, hlm. 88.
H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata (terjemahan: I.S. Adiwimarta), Jakarta:
Rajawali, Cet. III, 1992, hlm. 367.
15

21

b. Hak guna usaha


Diatur dalam Pasal 28 ayat 1 UUPA, yaitu hak untuk mengusahakan tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu 25 tahun, guna
perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.
c. Hak guna bangunan
Diatur dalam Pasal 35 ayat 1 UUPA, yaitu hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri,
dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.
d. Hak pakai
Diatur dalam Pasal 41 ayat 1 UUPA, yaitu hak untuk menggunakan
dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara
atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang
ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang
bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala
sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan
Undang-undang ini.
e. Hak sewa untuk bangunan
Diatur dalam Pasal 44 ayat 1 UUPA, yaitu seseorang atau suatu badan
hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan
tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar
kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.
f. Hak membuka hutan dan memungut hasil hutan
Diatur dalam Pasal 46 ayat 1 UUPA, yaitu hak membuka tanah dan
memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warganegara Indonesia
dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
g. Hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan
Diatur dalam Pasal 47 ayat 1 UUPA, yaitu hak memperoleh air untuk
keperluan tertentu dan/atau mengalirkan air itu di atas tanah orang lain.
h. Hak guna ruang angkasa
Diatur dalam Pasal 48 ayat 1 UUPA, yaitu hak guna ruang angkasa
memberi wewenang untuk mempergunakan tenaga dan unsur-unsur dalam
ruang angkasa guna usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan

22

kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan
hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu.
i. Hak-hak tanah untuk keperluan suci dan sosial
Diatur dalam Pasal 49 ayat 1 UUPA, yaitu hak milik tanah badan-badan
keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang
keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin
pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya
dalam bidang keagamaan dan sosial.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
I.

KESIMPULAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) telah mencantumkan semua

perihal yang bersangkutan dengan hukum perdata di Indonesia. Termasuk di


dalamnya adalah mengenai pelaku hukum, kedudukan pelaku hukum dalam hukum,
dan obyek hukum. Pelaku hukum yang dimaksud dalam hukum perdata ialah subyek
hukum, yaitu orang, yang dapat diartikan sebagai manusia dan badan hukum. Manusia
dan badan hukum mempunyai suatu kedudukan, yang disebut domisili, yang sangat
penting dalam kaitannya apabila si subyek hukum melakukan tindakan hukum. Kedua
hal ini (subyek hukum dan domisili) diatur dalam Buku I KUHPer secara jelas.
Sedangkan penjelasan mengenai obyek hukum terdapat di Buku II KUHPer. Dalam
hukum perdata, yang dimaksud dengan obyek hukum adalah benda. Benda memiliki
banyak pembagiannya, dan terdapat pula berbagai macam hak-hak kebendaan.
Pembagian jenis benda sangat penting dalam hukum perdata karena memiliki
ketentuan yang berbeda, tergantung kepada jenis bendanya. Hak kebendaan juga
terdiri dari berbagai macam jenis, yang memiliki sebab lahirnya dan sebab hilangnya
atau dicabutnya tersendiri.
II. SARAN

23

Berdasarkan penjelasan pada bab sebelumnya, ketiga unsur hukum ini (subyek
hukum, domisili, dan obyek hukum) bisa dikatakan sebagai tiga unsur dasar yang
perlu dipahami oleh masyarakat sebagai warga negara dari sebuah negara hukum,
agar ia dapat menempatkan dan menentukan bagaimana harus bertindak dalam
kesehariannya. Hal ini terutama akan sangat berkaitan dengan aktivitas ekonomi yang
dilakukan masyarakat. Secara sederhana, dalam sebuah aktivitas ekonomi pasti terjadi
transaksi, yang melibatkan dua pihak (pembeli dan penjual) dan suatu benda yang
ditukarkan (uang ditukarkan untuk benda). Kedua pihak dalam sebuah transaksi dapat
berupa seorang manusia dan badan hukum. Manusia dan badan hukum merupakan
subyek hukum, yang mengenai ketentuannya diatur dalam hukum perdata. Suatu
benda yang ditukarkan dalam sebuah transaksi adalah obyek hukum, yang mengenai
ketentuannya juga diatur dalam hukum perdata. Untuk itu, semua aktivitas ekonomi
masyarakat pada dasarnya telah diatur dalam perundang-undangan, sehingga sudah
sewajarnya masyarakat memiliki pemahaman atas undang-undang yang mengaturnya,
agar dalam melakukan aktivitas tidak melanggar aturan hukum yang berlaku dalam
negaranya.

24

DAFTAR ISI
I. Buku-Buku (Teks)
Darmabrata, Wahyono. Hukum Perdata: Asas-Asas Hukum Orang dan Keluarga.
Jakarta: Gitama Jaya Jakarta, 2004.
Hasbullah, Frieda Husni. Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak yang Memberi
Kenikmatan. Jilid I. Jakarta: Ind-Hill Co, 2002.
Muhamad, Abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
1993.
Prodjodikoro, R. Wirjono. Asas-Asas Hukum Perdata. Jakarta: Sumur Bandung,
1992.
Simanjuntak. Pokok-Pokok Hukum Perdata di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1999.
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. Hukum Perdata: Hukum Benda. Yogyakarta:
Liberty, 1981.
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 1987.
Subekti, Wienarsih Imam dan Mahdi, Sri Soesilowati. Hukum Perorangan dan
Kekeluargaan Perdata Barat. Jakarta: Gitama Jaya Jakarta, 2005.
Vollmar, H.F.A. Pengantar Studi Hukum Perdata (terjemahan: I.S. Adiwimarta).
Jakarta: Rajawali, 1992.
II. Kitab Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Diterjemahkan oleh R.
Subekti dan R. Tjitrosudibio. Edisi Revisi, Cet. XXXIV, Jakarta: PT Pradnya
Paramita, 1996.

25

Anda mungkin juga menyukai