Disusun Oleh :
Jacelyn Febianto
02011181823029
No DPNA 12
Metode Penelitian Hukum A (Indralaya)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
INDRALAYA
2020
Latar Belakang
Dalam hal pewarisan jika kita melihat pada ketentuan KUHPerdata, agar
terpenuhinya suatu pewarisan haruslah dapat memenuhi 3 unsur yaitu, Pewaris
(efflater), Ahli Waris (erfgenaam) dan Warisan (Nalatenschap). Pewarisan kepada
ahli waris sendiri, dapat melalui pembuatan akta atau surat wasiat atau didasarkan
pada sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Pada prinsipnya, harta yang akan diwariskan pada ahli waris ini sudah diatur
dalam ketentuan undang-undang, yaitu seluruh harta yang ditinggalkan oleh
pewaris, dengan catatan apabila pewaris atau orang yang meninggal itu belum
mengambil atau membuat surat yang berisi wasiat, sebagai suatu ketetapan yang
bersifat sah.1
1
KUHPerdataPasal 874.
tetap dapat dicabut kembali oleh orang yang membuatnya apabila dalam keadaan
tertentu, ia ingin bekehendak lain, diluar apa yang sudah disahkan oleh nya dalam
suatu akta wasiat.2
Umumnya, isi dari suatu wasiat yang pewaris buat, yaitu berisi mengenai
keputusan tetang ketetapan dalam hal harta peninggalan.3 Namun, pada
prakteknya seringkali terjadi konflik yang ditimbulkan sebagai akibat dari
keberadaan surat wasiat itu sendiri.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya putusan terkait waris, angka yang ada
tersebut semakin mengalami peningkatan, dengan alasan bahwa masalah
pewarisan ini, merupakan masalah yang dekat dalam kehidupan manusia. Setiap
individu memiliki keluarga, dalam keluarga pasti akan mengalami suatu waris,
baik berada diposisi pewaris, atau pun sebagai ahli waris. Tingginya angka terkait
dengan jumlah putusan terkait dengan waris ini membuktikan bahwa, ada kalanya
dalam ranah keperdataan yang bersifat privat ini, khususnya mengenai
permasalahan waris, terkadang tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan,
namun dibawa melalui jalur litigasi.
2
KUHPerdata Pasal 875.
3
Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta : Prenadamedia Group, 2019), hlm.234.
4
Anita Kamilah dan Rendy Aridhayanti, Kajian Terhadap Penyelesaian Sengketa
Pembagian Harta Warisan Atas Tanah Akibat Tidak Dilaksanakannya Wasiat Oleh Ahli Waris
Dihubungkan Dengan Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Tentang Benda (Van
Zaken), Jurnal Wawasan Hukum, Vol.32 No 1, Februari, 2015.
Sedangkan sumber yang menjadi faktor eksternal yang menjadi alasan
timbulnya sengketa pembagian harta warisan, yakni pewaris memiliki orang yang
dianggap anak dan diberi hibah, hadirnya penghasut / muncul pihak yang menjadi
provokator, serta dipinjamkannya harta warisan kepada orang yang tidak
termasuk sebagai ahli waris, yang kemudian harta tersebut berusaha dimiliki tanpa
adanya itikad yang olehnya untuk dikembalikan.
Sengketa waris yang timbul karena berbagai alasan dan ketidakadilan, yang
mungkin diterima dan dirasakan oleh salah satu atau beberapa ahli waris,
dikarenakan keberadaan surat wasiat yang ditinggalkan pewaris ini tidak menutup
kemungkinan terjadinya gugatan ke pengadilan dan pengajuan pembatalan surat
wasiat atau hibah wasiat.
Namun poin utama dari legitieme portie ini yaitu, hak ini barulah muncul
apabila ahli waris dalam keadaan tertentu, bersungguh-sungguh tampil sebagai
ahli waris, untuk memperjuangkan hak muthlaknya sebagai ahli waris atau
legitimaris, yaitu pemegang suatu hak dari legitieme portie.6 Oleh karena itu untuk
memperjuangkan haknya dan tampil sebagai legitimaris ini, dapat dilakukan
melalui gugatan, yaitu salah satunya berupa gugatan pembatalan surat wasiat.
Upaya membatalkan surat wasiat ataupun hibah wasiat yang menurut ahli
waris tidak adil ini dan merugikan hak tertentunya ini, memiliki hubungan atau
relasi dan dapat didasarkan pada legitieme portie dalam KUHP.
Berdasarkan alasan umum dan khusus pada uraian diatas, penulis juga
meyakini bahwa kuatnya pemberlakuan hukum adat dan kemajemukan sistem
5
Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta : Prenadamedia Group, 2019), hlm.239.
6
Ibid, hlm 239
hukum diindonesia ini, akan sering melukai hak-hak yang dimiliki oleh para ahli
waris, baik karena adat maupun kurangnya pemahaman hukum para ahli waris.
Dengan pertimbangan tersebut, penulis berdasarkan pada latar belakang tersebut,
tertarik untuk mengupas lebih dalam mengenai penegakan hukum nasional yaitu
hukum perdata terkhusus pada bentuk pembatalan surat wasiat berdasarkan
legitieme portie, yang tertuang dalam bentuk skripsi yang berjudul
Rumusan Masalah
Dalam penulisan penelitian ini, juga memiliki kegunaan dan manfaat yang
dapat diambil dari penulisannya. Adapun manfaat yang dapat kita ambil dari
skripsi ini adalah :
Ruang Lingkup
Kerangka Teori
7
Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta : Sinar Grafika,2009),
hlm.10.
Artinya yaitu perlindungan hukum dilakukan oleh pemerintah dengan
membuat peraturan. Dengan kata lain, peraturan yang dibuat
pemerintah ini, merupakan suatu cara atau metode untuk menjegah
terjadinya suatu pelanggaran.
B. Perlindungan hukum yang bersifat represif
Artinya perlindungan hukum ini juga dapat berbentuk hukuman
(sanction) yaitu dengan saksi maka akan menegakkan peraturan
apabila suatu peraturan yang dibuat itu dilanggar.8
1. Keadilan (Gerechtigkeit)
2. Kemanfaatan (Zweckmassigkeit)
3. Kepastian Hukum (Rechtssicherheit)
Asas kepastian hukum ini juga dapat dimaknai sebagai suatu konsisi
atau situasi dimana hukum yang bersangkutan itu memiliki keberlakuan
yang pasti karena memiliki kekuatan yang konkret. Asas kepastian hukum
ini juga dapat dimaknai sebagai suatu cara atau sarana bagi para pihak yang
mencari keadilan (yustisiabel)ini untuk mendapatkan perlindungan hukum,
8
Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandar
Lampung:Universitas Lampung), 2007, hal.31.
apabila mereka dihadapkan dengan tindakan yang sewenang-wenang
Artinya seseorang dalam keadaan tertentu dapat memeperoleh jaminan dari
hukum, karena hukum itu memiliki kepastian. 9
Pernyataan diatas juga selaras dengan apa yang menjadi pendapat Van
Apeldoorn, dimana ia beranggapan bahwa hukum dalam hal yang konkret
dan keamanan hukum merupakan dua sisi dari pada kepastian hukum.
Dengan kata lain, seseorang haruslah mencari tahu dan memahami apa dasar
hukum yang melindunginya, sebelum ia tampil kemuka, untuk menentut
perlindungan dan keadilan melalui perkara gugatan atau tuntutan.
Asas hukum ini tidak dapat dianggap sama dengan norma hukum.
Meskipun asas hukum dapat dikatakan sebagai inti utama dari adanya
hukum, Asas hukum ini lebih mengarah pada pengaturan dan menjelaskan
bahwa segala peraturan perundang-undangan dan hukum normative yang
ada itu harus berlandaskan pada asas kepastian hukum atau penerapannya
9
Aditya Yuli Sulistyawan, Pemahaman Terhadap Asas Kepastian Hukum Melalui
Konstruksi Penalaran Positivisme Hukum, Semarang : Jurnal Crepido, Volume 01, Nomor 01, Juli
2019, hlm.14.
harus didasarkan pada kepastian hukum tetapi asas hukum ini bukan lah
suatu ketentuan normative.10
3. Surat Wasiat
Seseorang sebelim meninggal pasti memiliki keinginan yang ingin
dijalankan oleh para ahli warisnya. Kehendak terakhir tersebut dapatlah
dituangkan dalam surat wasiat (testament), sebagai suatu ketetapan yang sah
dan lahir dari suatu perbuatan hukum sebelim ia meninggal. Oleh karena itu
wasiat dapat diartikan sebagai surat yang berupa ketetapan, dimana isinya
merupakan keinginan terakhir sebelum ia meninggal.11
Apabila hal tersebut terjadi, atau apabila ahli waris dan penerima
wasiat itu bertentangan dan objek yang menjadi isi wasiat merupakan
bagian milik ahli waris maka kedudukan wasiat ini menjadi lemah karena
adanya ketentuan hak muthlak dalam undang-undang.
10
Ibid. hlm.15.
11
J.Satrio, Hukum Waris, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 180.
12
Ibid.
Wasiat berdasarkan ketentuan Pasal 875 KUHPerdata, merupakan
surat atau akta yang berisi pernyataan kehendak yang ingin dilaksanakan
setelah ia meninggal dunia. Wasiat ini juga dapat dicabut oleh dirinya
sendiri selaku pembuat.13
4. Legitieme Portie
Legitime Portie dilihat berdasarkan ketentuan Pasal 913 KUHPerdata,
dapat kita temuakan mengenai pengertian dari legitieme portie yaitu sebagai
berikut :
“Dalam hal pembagain waris, megenai kekayaan dan harta benda
orang yang meninggal tersebut, saat semasa hidupnya, tidak diperkenankan
membuat ketetapan akan suatu pemberian antara yang masih hidup, maupun
melalui surat wasiat. hal ini dikarenakan dalam undang-undang diatur
mengenai porsi muthlak yaitu legitieme portie, yang merupakan suatu
bagian dari harta peninggalan yang diberikan dalam garis lurus oleh
pewaris”.14
Dalam pengertian lain, legitieme portie ini dapat dikatakan sebagai
pembagian waris berdasarkan undang-undang. Dimana pembagian waris ini
tidak bisa dicabut atau dihapuskan oleh pewaris atas dasar atau cara apapun,
baik dihibahkan saat pewaris hidup, maupun dengan ketetapan surat wasiat
melalui hibah wasiat (legaat) dan erfstelling.15
Keberadaan dari ketentuan legitieme portie ini dimaksudkan agar,
setiap orang sebagai subjek hukum dan pemegang harta kekayaan itu, tidak
mudah mengesampingkan, melupakan atau mengabaikan hak mereka yang
dalam hal ini memiliki hubungan dekat yaitu sedarah garis lurus keatas dan
kebawah.
13
Umar Haris Sanjaya, Kedudukan Surat Wasiat Terhadap Harta Warisan Yang Belum
Dibagikan Kepada Ahli Waris, Jurnal Yuridis : Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Vol.
5 No. 1, Juni 2018.
14
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Yogyakarta :
Pradnya Paramita), hlm.239.
15
Sulih Rudito, Penerapan Legitime Fortie (Bagian Mutlak) Dalam Pembagian Warisan
Menurut Kuh Perdata, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion Edisi 3, Volume 3, 2015.
Maka dengan alasan tersebut Undang-Undang tidak memperkenankan
seseorang menghibahkan harta kekayaannya pada pihak lain semasa
hidupnya atau mewasiatkan harta kekayaannya. Hal ini dikarenakan apabila
hibah ataupun wasiat tadi tidak berdasarkan pada undang-undang, maka
keberadaan hibah atau wasiat tersebut, sama saja dengan melanggar
legitieme portie dari para ahli waris.
Dalam KUHPerdata juga menenal istilah “legitimaris”, yakni
merupakan sebutan bagi ahli waris yang tampil dimuka dalam rangka
memperjuangkan haknya, atas suatu bagian tertentu dan muthlak
berdasarkan ketentuan undang-undang. Bagian yang dilindungi oleh
undang-undang dan muthlak ini disebut sebagai “legitieme portie”.
Harta peninggalan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal ini
tergolong menjadi 2 yaitu :
1. “Legitime Portie” (Bagian Mutlak)
Bagian mutlak ini merupakan bagian milik para legitimaris bersama-
sama, dengan kata lain bagian ini lah yang tidak boleh diwasiatkan
atau dihibahkan, karena menurut hukumnya, bagian ini adalah milik
dari para ahli waris.
2. “Beschikbaar” (Bagian Yang Tersedia)
Bagian yang tersedia ini merupakan bagian yang dikuasai oleh
pewaris, dengan kata lain, pewaris boleh menghibahkannya atau
mewasiatkan bagian tersebut.
Apabila ada legitimaris yang tidak mau menerima bagiannya
(vierwerp) atau tidak berhak menjadi ahli waris (onwaardig), maka bagian
milik yang tidak mau menerima waris atau tidak berhak menerima waris ini,
menjadi tidak dapat dikuasai (werd niet beschikbaar), sehingga legitimaris
yang lain, dapat menerima bagian tersebut.
Dengan kata lain bagian muthlak itu tetaplah milik para legitimaris
yang lain, dengan catatan bahwa para legitimaris ini menuntut bagian
tersebut. Artinya jika bagian milik legitimaris yang tidak mau menerima
atau tidak berhak tersebut tidak dituntut legitimaris yang lain, maka pewaris
masih memiliki “beschikking-srecht” atas seluruh hartanya.16
5. Hereditatis Petitio
Jika melihat pada KUHPerdata, terkhusus pada Pasal 834-835 BW,
menyatakan bahwa, suatu penuntutan hukum merupakan hak dari setiap
para ahli waris dalam rangka memperjuangkan hak-hak warisnya. Ketentuan
ini dikenal dengan nama Hereditatis Petitio.17
Hereditatis Petitio yakni merupakan hak para ahli waris, dimana hak
tersebut diberikan oleh undang—undang kepadanya. Hak tersebut berlaku
dan dapat digunakan para ahli waris kepada semua orang yang dengan cara
tertentu baik membezit warisan secara keseluruhan ataupun sebagiannya.
Serta kepada mereka yang menguasai warisan tersebut dengan
18
menggunakan suatu tipu daya tertentu.
Hak untuk melakukan penuntutan yang dimiliki oleh ahli waris ini
hampir sama dengan hak untuk menuntut yang dimiliki oleh seorang
pemilik suatu benda. Artinya suatu tuntutan itu atas waris ini harus
ditujukan kepada orang atau para pihak yang sedang mengusai suatu
warisan dengan itikad buruk, yaitu bertujuan untuk memiliki warisan
tersebut.
Dengan kata lain, penuntutan ini tidak dapat diarahkan kepada pihak
yang menguasai benda tersebut karena adanya hubungan hukum dengan
pewaris, misalnya penyewa rumah pewaris saat masih hidup. Selain itu pula
penuntutan ini juga tidak dapat diarahkan pada curator yang mengurus suatu
harta peninggalan yang tidak terurus.
Seorang ahli waris cukup mengajukan surat gugatannya, dalam rangka
menggunakan hak penuntutan yang dimilikinya. Gugatan tersebut akan
16
Hartono Soerjopratiknjo, Hukum Waris Testamenter, (Yogyakarta : Seksi Notariat
Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1984), hlm.308.
17
Oemar Moechthar, Kedudukan Negara Sebagai Pengelola Warisan Atas Harta
Peninggalan Tak Terurus Menurut Sistem Waris Burgerlijk Wetboe, Yuridika : Fakultas Hukum
Universitas Airlangga, Vol 32 No. 2, Mei, 2017.
18
R Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Waris Kodifikasi, (Airlangga University Press,
2000), hlm.08.
menunjukan bahwa ia lah sosok ahli waris dari si orang yang meninggal
tersebut. Dan gugatan tersebut dibuat dengan maksud dan perihal mengenai
meminta kembali barang yang termasuk kedalam benda peninggalan.
Tuntutan hak para ahli waris tersebut dapat diajukan kepada mereka
yang merupakan :
1. Ahli waris yang saat itu sedang menguasai sebagian atau seluruh
harta warisan.
2. Pihak ketiga atau pihak lain bukan ahli waris yang menguasai harta
peninggalan, dan/atau
3. Pihak lain yang telah memindah tangankan harta warisan tersebut
meskipun tidak mempunyai hak atas suatu warisan.
Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian, perlu sipilih metode penelitian yang tepat agar
penelitian tersebut dapat mengaeah pada tujuan yang tepat pula. Unsur penting
yang tidak boleh diabaikan adalah penetuan metode untuk penelitian tersebut.
Selain itu metode penelitian juga berguna untuk mencari tahu kebenaran yang
19
Ibid. hlm.08.
20
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2007),
hlm.38.
konsisten.21 Terkait penelitian ini, maka metode penelitian yang dipilih penulis
dalam rangka mencapai tujuan yang ingin dicapai, yakni dengan :
1. Jenis Penelitian
2. Pendekatan Penelitian
21
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hlm 17.
22
Soejono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 2010), hlm 55.
23
Ibid, hlm.56.
24
I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori
Hukum, (Jakarta : Prenada Media Group, 2016), hlm.84.
25
Haliman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,
(Bandung : Mandar Maju, 1995), hlm.84.
26
Peter Mahmud Marzuji, Penelitian Hukum Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana, 2017),
hlm.133.
Artinya penulis dengan pendekatan undang-undang, akan berusaha
mengkaji undang-undang yang memiliki kaitan dengan permasalahan yaitu,
dalam KUHPerdata dengan permasalahan atau isu yang diangkat yaitu
dalam hal ini mengenai pembatalan surat wasiat, pewarisan, dan legitieme
portie.
3. Bahan Penelitian
27
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2016), hlm.181.
tersier dapat berasal dari surat kabar, majalah, ensiklopedia, kamus
dll.28
28
Ibid, hlm.141.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
A. Peraturan Perundang-Undangan