Anda di halaman 1dari 56

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGEDAR BENIH PADI NON-

SERTIFIKASI DAN LABEL

Oleh:

Nama : Reza andreiansyah

Nim : 02011181823026

Kelas : MPH ( A ) Indralaya

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

KAMPUS INDERALAYA

2019
Bab 1

pendahuluan

A. latar belakang Masalah

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara agraris terbesar di dunia. Disebut sebagai negara
agraris karena memiliki iklim tropis dengan wilayah yang luas dan tanah yang subur. Hampir
semua jenis tanaman bisa ditanam di Indonesia. Karunia luar biasa dari Yang Maha Kuasa ini
merupakan tantangan besar bagi pembangunan dan perlindungan Indonesia, karena setiap hak
yang diperoleh berarti persiapan untuk segala kewajiban. Negara agraris ini menggunakan
pertanian sebagai penggerak perekonomian nasionalnya. Hal ini terlihat dari banyaknya
tenaga kerja di sektor pertanian. Dikatakan bahwa pada tahun 2018 saja terdapat 3 pekerjaan
dengan jumlah tenaga kerja terbanyak yaitu pertanian, kehutanan dan perikanan yaitu sebesar
30,46%, sebanyak 38,7 juta orang.

Jumlah Penduduk Bekerja Pada Triwulan I/2018 Oleh Badan Pusat Statistik.

(Data diadaptasi dari Shintaloka Pradita, BPS: Jumlah Penduduk Bekerja Triwulan I 2018
Sebanyak 127,07 Juta yang diakses dari : https://tirto.id/bps-jumlah-penduduk-bekerja-
triwulan-i-2018-sebanyak-12707-juta-cJ5Ddalam bentuk paragraf)

Sektor Lapangan Kerja Jumlah Tenaga Kerja Presentase

Pertanian, Kehutanan dan Perikanan 38,70 juta orang 30,46%

Perdagangan 23,55 juta orang 18,53%

Industri 17,92 juta orang 14,11%

Indonesia sebagai negara agraris diharapkan menghasilkan pangan dalam jumlah besar,
minimal cukup untuk persedian pangan pokok rakyat. Pangan pokok sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
adalah pangan yang diperuntukkan sebagai makanan utama sehari-hari sesuai dengan potensi
sumber daya dan kearifan lokal. Rencana strategis Badan Ketahanan Pangan
mengelompokkan komoditas pangan penting dalam dua kelompok yaitu pangan hewani dan
nabati. Pangan Hewan terdiri dari lima komoditi yaitu ikan, ayam, daging sapi dan kerbau,
telur dan susu. Sedangkan pangan nabati meliputi 10 komoditas yaitu beras, beras, ubi kayu,
1
ubi jalar, jagung, sayur mayur, buah-buahan, kacang tanah, kedelai, minyak nabati dan gula.
Beras menempati urutan pertama di antara negara-negara dengan konsumen terbanyak. Oleh
karena itu, beras telah menjadi patokan penyediaan pangan di Indonesia dan sering dijadikan
komoditas politik dan pengatur kehidupan masyarakat.

Indonesia memiliki sejarah pertanian yang panjang. Pada awalnya sistem pertanian Indonesia
diwujudkan melalui rotasi tanaman. Orang menanam segala jenis tanaman hanya untuk
memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Sesuai dengan potensi dan kearifan sumber daya
lokal. Rencana strategis Badan Ketahanan Pangan membagi komoditas pangan penting
menjadi dua kategori, yaitu pangan hewani dan nabati. Pangan hewani meliputi lima
komoditi yaitu ikan, ayam, daging sapi dan kerbau, telur dan susu. Sedangkan pangan nabati
meliputi 10 komoditas yaitu beras, beras, ubi kayu, ubi jalar, jagung, sayur mayur, buah-
buahan, kacang tanah, kedelai, minyak nabati dan gula. Beras menempati urutan pertama di
antara negara-negara dengan konsumen terbanyak. Oleh karena itu, beras telah menjadi
patokan penyediaan pangan di Indonesia dan sering dijadikan komoditas politik dan pengatur
kehidupan masyarakat.

Indonesia memiliki sejarah pertanian yang panjang. Pada awalnya sistem pertanian Indonesia
diwujudkan melalui rotasi tanaman. Orang menanam segala jenis tanaman hanya untuk
memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Seiring waktu, orang menemukan padi dan sistem
tanam. Orang-orang meninggalkan gaya hidup bertani yang selalu berubah dan mulai tinggal
di tempat permanen. Sejarah pertanian juga tidak lepas dari zaman penjajahan Belanda. Sejak
VOC menguasai Batavia, kebijakan pertanian telah mengubah fungsinya untuk
memaksimalkan VOC. Seiring berjalannya waktu, pemerintah mengambil kebijakan untuk
mengembangkan sektor pertanian guna melindungi sektor agribisnis, yaitu mengembangkan
sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, demokratis, berkelanjutan dan
terdesentralisasi.

Selain itu, terdapat undang-undang lain yang juga memberikan pengertian mengenai
penguasaan oleh negara seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dalam UUPA tertulis “Hak Menguasai Negara”
sebagai penafsiran dari penguasaan oleh negara. Dalam Pasal 2 UUPA, hak menguasai dari
negara memberi wewenang untuk:

1
Shintaloka Pradita, BPS: Jumlah Penduduk Bekerja Triwulan I 2018 Sebanyak 127,07 Juta, diakses dari :
https://tirto.id/bps-jumlah-penduduk-bekerja-triwulan-i-2018-sebanyak-12707-juta-cJ5D, pada tanggal 5
September 2019 pukul 17.25 WIB.
a.Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan
bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

b.Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi,


air dan ruang angkasa;

c.Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-


perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA, wewenang yang berasal dari hak menguasai dari negara
tersebut dipergunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti
kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia
yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyatakan bahwa:

“Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian
rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam
pasal 2 ayat (3) serta menjamin bagi setiap warga negara Indonesia derajat hidup yang sesuai
dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya”.

Pemerintah memiliki kuasa terhadap sumber daya alam namun harus dipergunakan demi
kepentingan rakyat. Dalam pemenuhan kepentingan rakyat, banyak sekali upaya yang
dilakukan oleh pemerintah, salah satunya melakukan pengawasan di sektor pertanian serta
mendorong petani untuk melakukan inovasi terhadap tanaman budidaya, terutama padi,
mengingat daya saing produksi padi baik di ranah nasional maupun internasional cukup
tinggi. Upaya-upaya tersebut bukan tanpa alasan, karena pemerintah bertujuan untuk
mencapai swasembada pangan dalam rangka ketahanan pangan nasional.

Dukungan dari pemerintah tersebut mendorong petani untuk berlomba-lomba berinovasi


pada sektor pertanian. Ada yang menggunakan peralatan modern untuk mengolah tanah
pertanian, berkreasi membuat pupuk berkualitasBegitu banyaknya manfaat dari benih varietas
unggul sehingga petani sangat bergairah untuk memproduksi benih varietas unggul
inovasinya. Memproduksi benih tidak dilakukan sembarangan, ada aturan mainnya. Menurut
Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman
i
diatur secara tegas bahwa:
2

“Benih bina yang akan diedarkan harus melalui sertifikasi dan memenuhi standar mutu yang
ditetapkan oleh Pemerintah”.

Sedangkan dalam Pasal 14 ayat (1) undang-undang tersebut menyatakan bahwa:


“Sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), dilakukan oleh Pemerintah dan
dapat pula dilakukan oleh perorangan atau badan hukum berdasarkan izin”. Walaupun dalam
Undang-Undang Sistem Budidaya Tanaman sudah sangat jelas mengatur mengenai sertifikasi
dan pelabelan benih, tetapi masih banyak pihak yang mengedarkan benih tanpa melalui tahap
sertifikasi dan label. Kurangnya pemahaman mengenai sertifikasi benih mengakibatkan
banyak ditemukan petani mengedarkan benih padi tanpa melalui sertifikasi. Padahal secara
tegas dalam undang-undang bahwa pengedar benih tanpa sertifikasi dapat dipidana. Pada
tahun 2010 ditemukan sekitar 12 petani dikriminalisasikan akibat melanggar Pasal 60
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992. Undang-Undang Sistem Budidaya Tanaman ini
memunculkan pro dan kontra dari beberapa kalangan. Satu pihak mengatakan bahwa
pengedaran benih melalui sertifikasi dan harus diberi label penting sekali demi pembangunan
di bidang pertanian. Benih merupakan sumber teknologi utama terkait peningkatan
produktivitas sektor pertanian. Peredaran benih tanpa pelepasan beresiko merugikan petani
dan tidak menutup kemungkinan tersebarnya varietas yang rentan hama penyakit. Benih yang
tidak tersertifikasi juga rentan terjadi pemalsuan yang tentu saja merugikan pelaku usaha dan
ekonomi suatu wilayah. Jika tidak terkendali, dampaknya luar biasa bagi masalah pangan di
Indonesia. Sedangkan pihak lainnya mengatakan bahwa dengan adanya kriminalisasi
pengedar benih padi non-sertifikasi dan label menghambat inovasi petani kecil. Sosialisasi
kepada petani kecil di daerah pedalaman juga sangat kurang sehingga kebanyakan petani
tidak mengetahui prosedur dalam mensertifikasi dan melabelkan benih padi inovasinya.
Sehubungan dengan pemikiran penulis yang telah diuraikan dari latar belakang tersebut serta
untuk mengetahui lebih nyata dan mendalam maka penulis mengangkat hal tersebut sebagai
bahan penulisan hukum dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Pengedar Benih Padi
Non-Sertifikasi dan Label”.

2
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Pasal 1 angka 15, Lembaran
Negara Tahun 2012 Nomor 227, Tambahan Lembaran Nomor 5360.
B.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis merumuskan permasalahan yang
akan dibahas sebagai berikut:

1.Bagaimana pertanggungjawaban pidana pengedar benih padi non-sertifikasi dan label?

2.Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pengedar benih padi non- sertifikasi dan
label?

C.Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini, antara lain:

1.Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pengedar benih padi non-


sertifikasi dan label.

2.Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap pengedar benih padi non-sertifikasi
dan label.

D.Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1.Manfaat Teoritis

Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat pengembangan ilmu pengetahuan
pada umumnya, serta dapat menjadi masukan untuk para penegak hukum dalam menangani
pertanggungjawaban pidana terhadap pengedar benih padi non-sertifikasi dan label.

2.Manfaat Praktis

Sebagai sumbangan pemikiran untuk penyelesaian kasus pertanggungjawaban pidana


terhadap pengedar benih padi non-sertifikasi dan label sehingga dapat memberikan masukan
kepada aparat penegak hukum di dalam penyelesaian kasus tindak pidana pengedaran benih
padi non-sertifikasi dan label. Serta diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan
informasi bagi pihak-pihak yang ingin melakukan inovasi terhadap benih padi agar
melakukan sertifikasi dan pemberian label pada benihnya sebelum diedarkan sehingga
terhindar dari pemidanaan.
3

E.Ruang Lingkup

Sesuai dengan judul penelitian, maka ruang lingkup penelitian ini adalah pada bidang hukum
pidana. Penelitian ini hanya membahas pertanggungjawaban pidana terhadap pengedar benih
padi non-sertifikasi dan label, baik dari pertanggungjawaban pidana terhadap pengedar benih
padi non-sertifikasi dan label dan penerapan sanksi pidana terhadap pengedar benih padi non-
sertifikasi dan label.

F.Kerangka Teori

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil pemikiran atau
kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap
dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti. Teori yang digunakan dalam
penulisan skripsi ini adalah teori-teori yang berhubungan dengan Pertanggungjawaban pidana
terhadap pengedar benih padi non-sertifikasi dan label.

1.Teori Pertanggungjawaban Pidana

Pengertian Pertanggungjawaban Pidana dalam bahasa asing disebut sebagai


‟toerekenbaarheid”, “criminal responbility” dan “criminal liability”. Pertanggungjawaban
pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan
monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan
berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian.
Pertanggungjawaban pidana berfungsi sebagai jembatan penghubung antara kesalahan dan
pidana. Pertanggungjawaban pidana menurut hukum pidana merupakan kemampuan
bertanggungjawab seseorang terhadap kesalahan. Pertanggungjawaban dalam hukum pidana
mengandung asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld). Walaupun asas
tersebut tidak dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dianut dalam praktik. Maka jelaslah
bahwa kesalahan dan pertanggungjawaban pidana tidak dapat dipisahkan. Asas “tiada pidana
tanpa kesalahan” yang terkandung dalam pertanggungjawaban pidana dapat dijabarkan
3
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm.110.

4. Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung , 2001, hlm. 22.
menjadi “tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan” dan “tiada pidana tanpa
pertanggungjawaban pidana”.

Walaupun Konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan,


namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban
pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah
kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun kesesatan
mengenai hukumnya sesuai dengan konsep merupakan salah satu alasan pemaaf sehingga
pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan kepadanya.

Pertanggungjawaban pidana memiliki arti penting bahwa setiap orang yang melakukan tindak
pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang
tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan
kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan
tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan
apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan
normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.

Kesalahan memiliki dua macam, yaitu kesengajaan (dolus) dan kurang berhati-hati (culpa).
Kesengajaan memiliki tiga unsur, antara lain:

1.Perbuatan tersebut harus dilarang

2.Akibat

3.Perbuatan tersebut melawan hukum

Kesengajaan memiliki tiga macam bentuk, yaitu:

1.Kesengajaan sebagai maksud untuk mencapai suatu tujuan (opzet als oogmerk) atau dolus
directus

Dalam kesengajaan ini, si pelaku benar-benar menghendaki untuk mencapai suatu akibat
yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman. Maka dari itu si pelaku pantas
dikenakan hukuman pidana.

2. Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn)


5

Dalam kesengajaan ini, si pelaku berbuat sesuatu tidak bertujuan untuk mencapai akibat,
namun si pelaku sadar bahwa akibat pasti akan mengikuti perbuatan itu.

3.Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (voorwaardelijk opzet atau doluseventualis)

Kesengajaan yang hanya dibayangkan akibatnya, kemudian akibatnya memang benar-benar


terjadi.

Sedangkan, culpa adalah “kesalahan pada umumnya”, tetapi dalam ilmu pengetahuan
hukum memiliki arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan yang dilakukan oleh pelaku tindak
pidana tetapi tidak seberat seperti kesengajaan (dolus). Si pelaku kurang berhati-hati dalam
berbuat sesuatu sehingga terjadilah akibat yang tidak disengaja. Bentuk-bentuk culpa antara
lain:

1.Kealpaan dengan kesadaran (bewuste schuld)

Si pelaku telah menduga akan timbul suatu akibat dari perbuatannya, namun usaha
pencegahan dari si pelaku sia-sia dan akibat tersebut muncul juga.

2.Kealpaan tanpa kesadaran (onbewuste schuld)

Si pelaku tidak menduga timbulnya suatu akibat dari perbuatannya.

Pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana dikenal dengan adanya tiga unsur pokok,
yaitu:

1.Unsur perbuatan

Perbuatan atau tindakan seseorang. Perbutan orang ini adalah titik penghubung dan dasar
untuk pemberian pidana.

2.Unsur orang atau pelaku

5
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 2001,
hlm. 40.
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2003, hlm. 64.
Ibid, hlm 65.
Tri Andrisman, Hukum Pidana Asas-Asas dan Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Unila, 2009, hlm 101-
102.
Orang atau pelaku adalah subjek tindak pidana atau seorang manusia. Maka hubungan ini
mengenai hal kebatinan, yaitu hal kesalahan si pelaku tindak pidana. Hanya dengan hubungan
batin ini, perbuatan yang dilarang dapat dipertanggungjawabkan pada si pelaku dan baru akan
tercapai apabila ada suatu tindak pidana yang pelakunya dapat dijatuhi hukuman.

3.Unsur pidana, melihat dari si pelaku

Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan
yang memenuhi syarat tertentu itu.

2.Teori Pidana dan Pemidanaan

Menurut KUHP dan di luar KUHP, jenis pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10
memiliki dua jenis, yaitu:

a.Pidana Pokok, yang terdiri dari:

1.Pidana mati;

2.Pidana penjara;

3.Pidana kurungan;

4.Pidana denda;

5.Pidana tutupan (dalam UU Nomor 20 Tahun 1946).

b.Pidana Tambahan, yang terdiri dari:

1.Pencabutan hak-hak tertentu;

2.Perampasan barang-barang tertentu;

3.Pengumuman putusan hakim.

Pemidanaan merupakan tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam
hukum pidana. Menurut Sudarto , pemberian pidana in abstracto yaitu menetapkan stelsel
sanksi hukum pidana yang menyangkut pembentuk undang-undang. Sedangkan, pemberian
pidana in concreto menyangkut berbagai badan yang keseluruhannya mendukung dan
melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana itu.
Teori Pemidanaan memiliki tiga teori utama, antara lain: 6

1.Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien)

Dalam teori pembalasan pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis layaknya memperbaiki
penjahat, melainkan kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk
dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada karena dilakukannya suatu kejahatan. Pidana
merupakan tuntutan mutlak, maka dari itu menjadi keharusan untuk dijatuhkan. Dalam teori
ini, pidana merupakan pembalasan.

2.Teori relatif atau tujuan (doeltheorien)

Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan
akibatnya yaitu tujuan untuk prevensi terjadinya kejahatan. Sementara itu, prevensi
dibedakan menjadi dua, yaitu prevensi umum dan khusus. Prevensi umum menghendaki agar
setiap orang tidak melakukan delik. Sedangkan prevensi khusus merupakan:

1.Pidana harus memiliki unsur menakut-nakuti agar mencegah penjahat yang memiliki
kesempatan untuk tidak melaksanakan kejahatan.

2.Pidana harus memiliki unsur memperbaiki pelaku tindak pidana

3.Pidana memiliki unsur membinasakan pelaku tindak pidana yang tidak mungkin diperbaiki.

3.Teori gabungan (verenigingstheorien)

Dalam teori ini, ada yang menitikberatkan pada unsur pembalasan, pertahanan tata tertib
masyarakat, maupun yang memandang sama antara pembalasan dan pertahanan tata tertib
masyarakat.

G.Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,
sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untu mempelajari suatu atau beberapa
gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu maka juga diadakan

6
Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Nusa Media, Bandung, 2013, hlm. 97.
Ibid, hlm. 77.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm.41.
pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan
suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan.

Adapun metode penelitian yang digunakan oleh penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:

1.Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipakai dalam permasalahan ini menggunakan hukum normatif atau
penelitian hukum doktrinal. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dikonsepkan
sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum
dikonsepkan sebagai kaidah norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang
dianggap pantas. Sumber data yang digunakan dalam penelitian normatif adalah data
sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer; bahan hukum sekunder; atau data tersier.
2.Pendekatan Penelitian

Adapun macam-macam pendekatan penelitian dalam penelitian hukum adalah:

a.Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)

Pendekatan undang-undang (statute approach) yaitu pendekatan menggunakan undang-


undang regulasi yang berhubungan dengan isu hukum yang sedang dihadapi.

b.Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

Penelitian terhadap konsep-konsep hukum seperti sumber hukum, fungsi hukum, lembaga
hukum, dan sebagainya. Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-
doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Pendekatan ini menjadi penting sebab
pemahaman terhadap pandangan/doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum dapat menjadi
pijakan untuk membangun argumentasi hukum ketika menyelesaikan isu hukum yang
dihadapi. Pandangan/doktrin akan memperjelas ide-ide dengan memberikan pengertian-
pengertian hukum, konsep hukum, maupun asas hukum yang relevan dengan permasalahan.

3.Sumber Bahan Hukum


Sumber data merupakan tempat dimana data dari suatu penelitian diperoleh. Di dalam
penelitian ini, penulis menggunakan sumber data sekunder, adapun yang termasuk jenis-jenis
sumber data sekunder yaitu:

a.Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas. Dalam penelitian ini,
bahan hukum yang digunakan yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan
Perundang-undangan lain yang terkait.

b.Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang merupakan hukum tidak
resmi. Publikasi tersebut terdiri atas : (a) buku-buku teks yang membicarakan suatu dan/atau
beberapa permasalahan hukum, termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukukm, (b) kamus -
kamus hukum, (c) jurnal-jurnal hukum, (d) komentar-komentar atas putusan hakim.

c.Bahan Hukum Tersier

Bahan Hukum Tersier yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan sekunder. Contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumultif,
da;n seterusnya.

4.Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan studi kepustakaan (library
research) yaitu pengumpulan data-data dengan membaca dan mempelajari peraturan
perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi, buku-buku maupun literatur-literatur yang
berkaitan dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, juga pendapat para tokoh
atau para ilmuan.

5.Teknik Analisis dan Penarikan Kesimpulan

Teknik analisis yang dilakukan adalah analisis dan kontruksi data sekunder secara deskriptif
kualitatif, yaitu data yang telah terkumpul dianalisis dengan cara menghubungkan setiap kata
secara jelas, efektif, dan sistematis. Dimana objek yang diteliti dan dipelajari adalah
Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pengedar Benih Padi Non-Sertifikasi dan Label.
Penarikan kesimpulan dilakukan dengan cara metode berpikir deduktif yaitu cara berpikir
dengan menarik kesimpulan dari suatu proposisi atau data-data yang bersifat umum atau
kebenarannya telah diketahui (diyakini) dan berakhir pada data-data atau kesimpulan
(pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Sertifikasi dan Label Benih Padi

1. Pengertian Benih Padi

Padi adalah bahan makanan yang menghasilkan beras. Tanaman padi merupakan tanaman
semusim dan termasuk golongan rumput-rumputan dengan klasifikasi sebagai berikut:

a. Genus : Oryza Linn

b. Famili : Gramineae (Poaceae)

c. Species : Ada 25 species, 2 diantaranya adalah:

1. Oryza Sativa L

2. Oryza glaberima Steund

Sedangkan, subspecies Oryza Sativa L antara lain:

1. Indica (padi bulu)

2. Sinica (padi cere), yang dahulu dikenal Japonica

Benih merupakan biji yang dipersiapkan untuk tanaman yang telah melalui proses seleksi,
sehingga diharapkan dapat mencapai proses tumbuh yang besar. Dalam budidaya tanaman
padi, pembenihan merupakan salah satu faktor pokok yang harus diperhatikan, sebab faktor
tersebut sangat menentukan besarnya produksi. Benih padi merupakan gabah yang dihasilkan
dengan cara dan tujuan khusus untuk disemaikan menjadi pertanaman. Kualitas benih
ditentukan dalam proses perkembangan dan kematangan benih, panen dan perontokan,
pembersihan, pengeringan, penyimpanan benih sampai fase pertumbuhan di persemaian.
2. Sertifikasi Benih Padi

Dalam sistem pertanian di Indonesia, petani menggunakan benih yang berasal dari dua sistem
perbenihan, yaitu perbenihan formal (sumber benih bersertifikat) dan perbenihan informal
(sumber benih tidak bersertifikat). Benih bersertifikat merupakan benih yang terjamin
mutunya dan juga bebas dari bibit penyakit. Ada 4 macam benih sertifikat, yaitu:

a. Benih Penjenis

Benih penjenis (BS) merupakan benih yang di produksi oleh dan dibawah pengawasan
Pemulia Tanaman yang bersangkutan atau Instansinya. Benih ini merupakan sumber
perbanyakan dari Benih Dasar.

b. Benih Dasar

Benih Dasar (BD) merupakan keturunan pertama dari Benih Penjenis. Benih Dasar di
produksi di bawah bimbingan yang intensif dan pengawasan yang ketat sehingga kemurnian
varietas dapat terpelihara. Benih Dasar di produksi oleh Instansi/Badan yang ditunjuk oleh
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan produksinya disertifikasi oleh Balai Pengawasan
dan Sertifikasi Benih.

c. Benih Pokok

Benih Pokok (BP) merupakan keturunan dari Benih Penjenis atau Benih Dasar yang
diproduksi dan dipelihara sedemikian rupa sehingga identitas dan tingkat kemurnian varietas
yang ditetapkan dapat dipelihara dan memenuhi standar mutu yang ditetapkan dan harus
disertifikasi sebagai Benih Pokok oleh Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih.

d. Benih Sebar

Benih Sebar (BS) merupakan keturunan dari Benih Penjenis, Benih Dasar atau Benih Pokok
yang diproduksi dan dipelihara sedemikian rupa sehingga identitas dan tingkat kemurnian
varietas dapat dipelihara, memenuhi standar mutu benih yang ditetapkan serta harus
disertifikasi sebagai Benih Sebar oleh Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih.

Perbenihan formal dan informal memiliki perbedaan, ciri-ciri perbenihan formal antara lain:

a. Produksi serta pemasaran terencana dengan baik;


b. Nama dan sumber varietas sangat jelas;

c. Informasi mutu benih sangat jelas dann dipasarkan dalam kemasan yang teridentifikasi;

d. Jelasnya mekanisme pengendalian mutu;

e. Melibatkan lembaga yang mengkoordinasi sistem perbenihan secara berkelanjutan dalam


melakukan pemasaran.

Sedangkan, perbenihan informal memiliki ciri:

a. Menggunakan benih hasil panen sendiri atau barter dengan petani lain;

b. Perencanaanya serta pengendalian mutu tidak tertata dengan baik.

Jika dilihat perbedaan perbenihan formal dan informal tersebut, pemakaian benih bersertifikat
memiliki banyak manfaat, namun masih banyak ditemukan petani yang tidak
mempergunakan benih bersertifikat. Alasan petani memakai benih bersertifikat antara lain:

a. Tingkat produksinya lebih tinggi;

b. Pendapatan yang diperoleh lebih besar;

c. Frekuensi penggunaan benih bisa dua kali tanam dalam setahun.

Sementara itu, alasan petani tidak memakai benih bersertifikat antara lain:

a. Benih tersebut tidak memiliki jaminan produktivitas akan tinggi;

b. Mutu benih tidak berbeda jauh dengan benih yang tidak bersertifikat;

c. Harga benih bersertifikat lebih mahal;

d. Kurangnya akses petani terhadap benih bersertifikat.

Sertifikasi benih merupakan suatu cara pengawasan mutu benih, baik di lapangan maupun di
laboratorium, untuk menjamin tingkat kemurnian benih dengan pemberian sertifikat/label.
Sertifikasi benih memiliki tujuan untuk melindungi keaslian dan kemurnian varietas selama
proses produksi dan pemasaran agar potensi genetik dapat sampai secara utuh kepada
konsumen. Dalam pelaksanaan sertifikasi benih, varietas yang disertifikasi harus varietas
unggul yang telah mendapat pengesahan dan pengakuan keunggulan yang dimilikinya.
Selama di pertanaman, benih telah mendapat pengujian lapangan yaitu pengujian kemurnian,
keseragaman dan kebersihan pertanaman. Setelah dilakukan pengujian lapangan, selanjutnya
dilakukan pengujian laboratorium yaitu pengujian kemurnian varietas dan fisik, kadar air dan
daya kecambah. Sertifikasi benih memiliki prinsip-prinsip, antara lain:

a. Penerimaan varietas ke dalam skim sertifikasi. Hanya varietas yang resmi telah dilepas
yang dapat dimasukkan ke dalam skim.

b. Penentuan kelas-kelas benih yang terbagi dalam dua kelas, yaitu benih penjenis yang
diproduksi di bawah tanggung jawab pemulia dan benih bersertifikat generasi pertama serta
generasi selanjutnya yang merupakan keturunan dari benih penjenis.

c. Pengendalian mutu dalam proses produksi Benih Penjenis dan Benih Bersertifikat.

d. Pemberian sertifikat dan pemasangan label.

e. Pelabelan ulang (relabelling) dan resealling di negara lain (untuk benih yang akan di
ekspor/impor).

f. Koordinasi antar lembaga yang berwenang.

Adapun sasaran yang ingin dicapai dalam kegiatan sertifikasi benih, antara lain:

a. Mempertahankan kemurnian keturunan yang dimiliki oleh suatu varietas.

b. Membantu produsen benih memproduksi benih dengan mutu baik.

c. Membantu para petani mendapatkan benih yang diinginkan yang terjamin kebenaran
varietas dan mutunya.

Ketika pengedar benih ingin mensertifikasi benihnya, ada beberapa proses yang harus dilalui,
yaitu:

a. Pemeriksaan:

1. Kebenaran benih sumber;

2. Lapangan dan pertanaman;


3. Isolasi tanaman agar tidak terjadi persilangan liar;

4. Alat panen benih dan pengolahan benih; dan

5. Tercampurnya benih;

b. Pengujian laboratorium untuk menguji mutu benih yang terdiri atas mutu fisik, fisiologis,
dan/atau tanpa kesehatan benih, sedangkan untuk kemurnian genetik diambilkan dari hasil
pemeriksaan lapangan; dan

c. Pengawasan pemasangan label.

Proses sertifikasi benih bina dapat diselenggarakan oleh:

a. UPTD;

b. Produsen Benih Bina yang mendapat sertifikat dari Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu; atau

c. Unit Pelaksana Teknis Pusat yang melaksanakan urusan pemerintahan di bidang


Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman hijauan pakan ternak

Berikut adalah tata cara dan ketentuan umum sertifikasi benih bina, yaitu:

1. Instansi Penyelenggara Sertifikasi Benih Bina

Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPSBTPH)
adalah suatu instansi pemerintah yang memperoleh izin untuk melakukan sertifikasi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang dimaksud dengan memperoleh
izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan adalah apabila seseorang atau Badan
Hukum yang bersangkutan harus memiliki tenaga terampil, alat dan laboratorium yang
diperlukan yang telah di akreditasi oleh Badan Agribisnis Departemen Pertanian.

Setiap kegiatan sertifikasi yang dilakukan oleh instansi pemerintah BPSBTPH harus
melaporkan kegiatannya secara berkala kepada Direktorat Jenderal Tanaman Pangan.
Sedangkan untuk perorangan atau Badan Hukum yang melakukan sertifikasi harus
melaporkan kegiatannya secara berkala kepada instansi pemerintah BPSBTPH untuk
dipergunakan sebagai bahan laporan kepada Direktorat Jenderal Tanaman Pangan.

2. Permohonan Sertifikasi Benih Bina


Penangkar merupakan orang atau Badan Hukum atau Instansi Pemerintah yang ingin
memproduksi Benih Bina. Permohonan sertifikasi diajukan oleh penangkar kepada instansi
penyelenggara sertifikasi benih bina yaitu BPSBTPH atau instansi lain yang telah memiliki
izin menyelenggarakan sertifikasi benih.

Penangkar benih ada 2, yaitu:

1. Penangkar yang berasal dari suatu badan/instansi hukum yang melakukan proses produksi
padi, misalnya BBI, UPB

2. Penangkar yang terdiri dari satu orang/perorangan.

Benih yang dihasilkan oleh penangkar yaitu benih penjenis, benih dasar, benih pokok dan
benih sebar. Tetapi, Benih Penjenis (BS) tidak sembarangan penangkar mampu
memproduksinya sebab benih penjenis hanya dihasilkan oleh penangkar yang terdiri dari
Badan Hukum/Instansi atau pemulia bukan penangkar yang terdiri dari perorangan.
Sedangkan benih dasar, benih pokok dan benih sebar bisa diproduksi oleh penangkar
perorangan saja.

Syarat-syarat permohonan untuk Sertifikasi Benih yaitu:

1. Hanya satu varietas boleh ditanam pada satu areal sertifikasi

2. Penangkar benih menyampaikan permohonan untuk sertifikasi benih paling lambat 1 bulan
sebelum tanam kepada Sub Direktorat Pembinaan Mutu Benih atau cabang-cabangnya
dengan mengisi formulir yang ditetapkan.

3. Areal sertifikasi harus diperiksa oleh seorang pengawas benih yang diberi wewenang oleh
Sub Direktorat Pembinaan Mutu Benih, sebelum persetujuan atas permohonan sertifikasi
dikeluarkan.

4. Persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh penangkar.

Setelah syarat-syarat permohonan telah dipenuhi, langkah berikutnya yaitu permohonan izin
memproduksi benih bersertifikat yang diajukan oleh produsen benih dengan mengisi formulir
yang berlaku kepada BPSBTPH paling lambat 10 hari sebelum permohonan menabur atau
menyemai benih. Sedangkan kegiatan yang dilakukan selama 10 hari sebelum
penaburan/penyemaian yaitu pengawas benih melakukan pemeriksaan sejarah lahan yang
digunakan, kebenaran label benih sebelumnya, luas lahan
dan lain sebagainya. Setelah itu baru bisa dilaksanakan pemeriksaan lapangan pendahuluan.

Permohonan izin tersebut harus disertai lampiran:

1. Label benih sumber yang akan ditanam, khusus untuk memproduksi Benih Dasar (BD)
harus melampirkan keterangan mengenai Benih Penjenis (BS) dari penyelenggara pemulia
tanaman yang bersangkutan.

2. Peta sketsa lapangan

3. Biaya pemeriksaan lapangan

3. Lahan Sertifikasi

Lahan tanaman yang disertifikasi harus memperhatikan:

a. Luas, letak serta batas-batas yang jelas seperti parit, pematang, jalan dan lain-lain.

b. Satu kelompok lahan sertifikasi hanya boleh ditanami dengan satu kelas benih dan satu
varietas saja.

c. Sejarah penggunaan lahan sebelumnya dan harus memenuhi persyaratan untuk masing-
masing varietas.

d. Satu area sertifikasi dapat terdiri dari beberapa unit yang terpisah, namun jarak antara satu
unit dengan unit lainnya tidak lebih dari 10 meter dan tidak terpisah oleh varietas lain.

e. Batas waktu untuk satu areal sertifikasi maksimal 5 hari.

4. Pemeriksaan Dokumen

Tujuan pemeriksaan dokumen adalah untuk mendapat kepastian bahwa data yang diberikan
dalam permohonan sertifikasi harus sesuai dengan keadaan di lapangan. Pemeriksaan tersebut
dilakukan sebelum benih disebar atau ditanam dan diperiksa oleh pengawas benih.
5. Pemeriksaan Lapangan

Pemeriksaan lapangan yang dilakukan oleh pengawas sebanyak empat kali yaitu pemeriksaan
pendahuluan, pemeriksaan fase vegetatif, pemeriksaan fase berbunga dan pemeriksaan fase
masak. Tujuan dilakukannya pemeriksaan lapangan untuk:

a. Menilai kemurnian genetik.


b. Menilai sumber-sumber kontaminasi yang terdiri atas varietas lain dan tipe simpang.

c. Menilai kesehatan benih dari hama/penyakit yang dapat ditularkan melalui benih.

d. Memberikan rekomendasi untuk mencapai persyaratan produksi benih bersertifikat.

6. Pemeriksaan Alat Tanam dan Panen, Tempat Penyimpanan dan Tempat Pengolahan Benih

Tujuan dari pemeriksaan Alat Tanam dan Panen, Tempat Penyimpanan dan Tempat
Pengolahan Benih adalah untuk mendapatkan kepastian bahwa benih yang akan diolah
terhindar dari kemungkinan terjadinya percampuran varietas, sehingga kemurniannya dapat
terjamin. Adapun syarat-syarat penyimpanan antara lain:

a. Keadaan tempat penyimpanan harus bersih.

b. Wadah tempat penyimpanan benih harus bersih, kering dan bebas hama. Karung tempat
penyimpanan benih sebaiknya yang baru.

c. Dinding gudang tidak boleh banyak celah karena dapat dijadikan tempat persembunyian
hama.

d. Sekeliling gudang tidak boleh ada tanaman-tanaman dan semak-semak agar tidak lembab
sehingga tidak bisa dipergunakan tikus.

e. Jarak antara tumpukan dengan dinding gudang minimal 60 cm agar memudahkan


pemeriksaan penyemprotan.

f. Gudang yang berlantai semen harus menggunakan alas kayu.

g. Letak gudang harus strategis dan bangunannya memanjang ke arah timur barat.

h. Ventilasi harus cukup baik agar dapat membuang udara panas atau kelembaban tertentu.

i. Populasi serangga harus diperhatikan setiap bulan.

j. Identifikasikan kelompok benih yang disimpan.

k. Wadah harus disusun dengan teratur agar jumlahnya dapat dihitung dengan tepat.

7. Pengambilan Contoh Benih Serta Pengujian Laboratorium


Pengujian mutu benih di Laboratoriun dapat dilakukan jika lulus dalam pemeriksaan
lapangan oleh BPSBTPH. Namun, bila tidak lulus maka tidak bisa dilakukan pengujian di
Laboratorium. Tujuan pengujian mutu benih untuk mendapat keterangan mengenai mutu
benih yang dapat digunakan untuk keperluan perbanyakan atau ditanam kembali.

8. Pemberian Sertifikat

Sertifikat diberikan jika suatu kelompok benih yang telah memenuhi semua persyaratan pada
setiap tahapan pemeriksaan, sehingga keluarlah suatu laporan lengkap hasil pengujian benih
yang merupakan sertifikat untuk kelompok benih tersebut.

Dalam pelaksanaan sertifikasi benih ada beberapa kendala, di antaranya:

a. Sumber benih yang diperlukan sesuai dengan kelasnya tidak selalu tersedia.

b. Jika ditinjau dari sejarah lapangan, lahan/lokasi pertanaman tidak memenuhi syarat.

c. Terbatasnya pengetahuan para petani terhadap sertifikasi benih berlabel.

d. Keadaan sosial ekonomi para petani yang sangat berpengaruh pada penyerapan pasar benih
yang berlabel (Benih hasil Sertifikat).

3. Pemasangan Label Pada Benih Padi

Label merupakan keterangan tertulis dalam bentuk cetakan yang memuat identitas mutu
benih dan masa akhir edar benih. Pemasangan label sangat penting sebelum benih siap
diedarkan. Seperti yang dirumuskan dalam Penjelasan Pasal 13 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman, label adalah keterangan tertulis
yang diberikan pada benih atau benih yang sudah dikemas yang akan diedarkan dan memuat
antara lain tempat asal benih, jenis dan varietas tanaman, kelas benih, data hasil uji
laboratorium, serta akhir masa edar benih. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
pemasangan label terhadap benih antara lain:

a. Mudah dilihat, dibaca, tidak mudah rusak dan dalam bahasa Indonesia ;

b. Paling sedikit memuat keterangan jenis dan varietas tanaman, kelas benih, data kemurnian
genetik dan mutu benih, akhir masa edar benih, serta nama dan alamat produsen.

Label yang disediakan oleh produsen benih harus dilegalisasi terlebih dahulu oleh Perangkat
Daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan di bidang Pengawasan dan Sertifikasi
Benih. Produsen benih padi dapat memberi label sendiri pada benih miliknya jika ia telah
memiliki sertifikat dari Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Mutu. Selain itu,
pemasangan label diawasi oleh Pengawas Benih Tanaman atau Pengawas Mutu Pakan.

Pemasangan label tidak mutlak diberikan pada benih yang lulus uji, tetapi sesuai dengan
keinginan penangkar/pemohon. BPSBTPH harus mengetahui jumlah benih yang harus diberi
label agar tidak terjadi kesalahan. Pemasangan label harus dilakukan oleh penangkar dan
diawasi oleh pengawas benih. BPSBTPH mempunyai ketentuan dalam pemberian label
berdasarkan kelas benih, antara lain:

a. Label putih : untuk kelas benih dasar

b. Label ungu : untuk kelas benih pokok

c. Label biru : untuk kelas benih sebar

Pengawasan pemasangan label merupakan kegiatan pemeriksaan yang dilakukan sewaktu-


waktu selama proses pemasangan label untuk mengetahui kebenaran pemasangan label oleh
produsen Benih tanaman pangan. Selanjutnya, produsen benih tanaman pangan mengajukan
permintaan nomor seri label benih bersertifikat dan atau segel kepada penyelenggara
sertifikasi setelah sertifikat benih tanaman pangan suatu kelompok benih diterima. Berikut
adalah hal-hal yang harus dicantumkan dalam pemberian nomor seri label:

a. jumlah segel dan label sertifikasi yang diperlukan;

b. nomor pengujian, nomor kelompok benih yang bersangkutan;

c. jenis;

d. varietas;

e. jumlah wadah;

f. isi kemasan;

g. berat bersih tiap wadah;

h. nama; dan

i. alamat produsen.
B. Tinjauan Umum Pertanggungjawaban Pidana

1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Menurut Simons, pertanggungjawaban pidana adalah:

1. Keadaan psikis atau jiwa seseorang; dan

2. Hubungan antara keadaan psikis dengan perbuatan yang dilakukan.

Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban yang dilakukan oleh seseorang


terhadap tindak pidana yang telah dilakukannya. Pertanggungjawaban pidana adalah suatu
konsep yang dibangun oleh hukum pidana untuk bertindak atas kesepakatan menolak suatu
perbuatan tertentu. Dalam konsep pertanggungjawaban pidana, setiap orang yang melakukan
tindak pidana sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang, maka orang tersebut wajib
mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan kesalahan yang diperbuat. Hal ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana
kecuali pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat
keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah atas
perbuatan yang didakwakan atas dirinya. Dasar pertanggungjawaban pidana yaitu kesalahan.
Kesalahan dalam arti sempit terbagi menjadi dua, yaitu sengaja (opzet) atau lalai (culpa).
Dapat disimpulkan bahwa dasar pertanggungjawaban pidana terletak pada konsep pemikiran
terbukti atau tidaknya unsur-unsur tindak pidana. Bila terbukti unsur-unsur tindak pidananya,
unsur kesalahannya terbukti juga. Artinya, pertanggungjawaban berkaitan erat dengan unsur-
unsur tindak pidana.

2. Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Pidana

Agar seseorang mampu mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya, maka orang


tersebut harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

a. Kemampuan Bertanggung Jawab

Kemampuan bertanggung jawab yaitu kondisi batin yang normal atau sehat dan akal
seseorang yang mampu membedakan hal-hal yang baik dan buruk atau dengan kata lain
mampu menginsyafi sifat melawan hukumnya suatu perbuatan dan mampu menentukan
adanya kemampuan bertanggung jawab yang merupakan faktor akal dan faktor kehendak.
Melalui akal, dapatlah dibedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan tidak, sedangkan
melalui kehendak, dapat menyesuaikan tingkah laku dengan keinsyafan atas sesuatu yang
diperbolehkan dan tidak. Keadaan batin yang normal atau sehat dapat ditentukan oleh faktor
akal si pelaku yang mampu membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak.
Kemampuan tersebut menyebabkan pelaku dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya
sesuai dengan hukum pidana karena akal si pelaku yang sehat dapat membimbingnya untuk
menyesuaikan dengan ketentuan hukum.

Menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, unsur-unsur kemampuan bertanggung jawab antara
lain:

1) Keadaan jiwanya:

a. Tidak memiliki penyakit yang terus-menerus atau sementara (temporair);

b. Tidak memiliki kecacatan dalam pertumbuhannya (gagu, idiot dan sebagainya); dan

c. Tidak sedang dalam keadaan terkejut, hipnotisme, amarah yang meledak-ledak, pengaruh
alam bawah sadar (reflexe bewenging), melindur (slaapwandel), mengigau karena demam
(koorts), dan lain sebagainya. Dapat dikatakan bahwa seseorang harus dalam keadaan sadar.

2) Kemampuan jiwanya:

a. Dapat menginsyafi tindakannya;

b. Dapat menentukan sendiri tindakannya; dan


c. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakannya itu.

Dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP terdapat rumusan mengenai kemampuan bertanggung jawab,
yaitu: “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak
dipidana”

b. Kesalahan

Menurut para ahli, pengertian kesalahan dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Kesalahan Psikologis

Dalam kesalahan psikologis, kesalahan hanya dipandang sebagai hukum psikologis (batin)
antara si pembuat dengan perbuatannya.

b. Kesalahan Normatif

Dalam kesalahan normatif, kesalahan tidak hanya dipandang berdasarkan psikologis atau
batin si pelaku saja, melainkan terdapat penilaian normatif si pelaku. Penilaian normatif
merupakan penilaian dari luar mengenai hubungan antara pelaku dan perbuatannya. Yang
dimaksud penilaian dari luar merupakan penilaian yang terdapat dalam masyarakat.

Kesalahan memiliki dua bentuk, yakni kesengajaan dan kelalaian. Berikut ini akan dijabarkan
mengenai kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa).

1) Kesengajaan (dolus)

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 1809, kesengajaan merupakan


kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau
diperintahkan oleh undang-undang.

Ada dua macam teori terkait dengan pengertian kesengajaan, yakni:

a. Teori kehendak (wilstheorie)

Dalam teori ini, kesengajaan ada jika perbuatan dan akibat dari suatu tindak pidana di
kehendaki oleh pelaku.
b. Teori bayangan (voorstellen-theorie)

Dalam teori ini, kesengajaan terjadi ketika pelaku pada waktu mulai melakukan perbuatan
ada bayangan yang jelas bahwa akibat si pelaku akan tercapai. Maka dari itu, si pelaku
menyesuaika antara perbuatan dan akibatnya.

Kesengajaan memiliki tiga unsur, antara lain:

1) Perbuatan tersebut harus dilarang

2) Akibat

3) Perbuatan tersebut melawan hukum

Kesengajaan memiliki tiga macam bentuk, yaitu:

1) Kesengajaan sebagai maksud untuk mencapai suatu tujuan (opzet als oogmerk) atau dolus
directus

Dalam kesengajaan ini, si pelaku benar-benar menghendaki untuk mencapai suatu akibat
yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman. Maka dari itu si pelaku pantas
dikenakan hukuman pidana.

2) Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn)

Dalam kesengajaan ini, si pelaku berbuat sesuatu tidak bertujuan untuk mencapai akibat,
namun si pelaku sadar bahwa akibat pasti akan mengikuti perbuatan itu.

3) Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (voorwaardelijk opzet atau doluseventualis)

Kesengajaan yang hanya dibayangkan akibatnya, kemudian akibatnya memang benar-benar


terjadi.

2) Kelalaian (culpa)

Culpa adalah “kesalahan pada umumnya”, tetapi dalam ilmu


pengetahuan hukum memiliki arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan yang dilakukan oleh
pelaku tindak pidana tetapi tidak seberat seperti kesengajaan (dolus). Si pelaku kurang
berhati-hati dalam berbuat sesuatu sehingga terjadilah akibat yang tidak disengaja. Bentuk-
bentuk culpa antara lain:
a. Kealpaan dengan kesadaran (bewuste schuld)

Si pelaku telah menduga akan timbul suatu akibat dari perbuatannya, namun usaha
pencegahan dari si pelaku sia-sia dan akibat tersebut muncul juga.

b. Kealpaan tanpa kesadaran (onbewuste schuld)

Si pelaku tidak menduga timbulnya suatu akibat dari perbuatannya.

c. Tidak Ada Alasan Pemaaf

Pertanggungjawaban pidana mensyaratkan tidak terdapatnya alasan pemaaf. Yang termasuk


alasan pemaaf dalam KUHP adalah sebagai berikut:

1) Daya Paksa Relatif (Overmacht)

Daya paksa diatur dalam Pasal 48 KUHP. Dalam KUHP sendiri tidak dirumuskan pengertian
daya paksa, tetapi dalam Memorie van Toelichting (MvT) daya paksa merupakan kekuatan
dan dalam posisi terjepit (dwangpositie)

2) Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas (Noodweer exces) dalam Pasal 49 ayat (2)
KUHP

Pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas, pelaku melampaui batas karena jiwanya
terguncang dengan hebat. Perbuatan membela diri yang melampaui batas tetap melawan
hukum, tetapi si pelaku tidak dipidana karena jiwanya terguncang dengan hebat. Maka dari
itu, pembelaan terpaksa yang melampaui batas menjadi dasar pemaaf, sedangkan pembelaan
terpaksa adalah dasar pembenar karena tidak adanya sifat melawan hukum.

3) Menjalankan Perintah Jabatan Yang Tidak Sah, Tetapi Terdakwa Mengira Perintah Itu Sah
(Pasal 51 ayat (2) KUHP)

Dalam hal ini, perintah berasal dari penguasa yang tidak berwenang, namun si pelaku
beranggapan bahwa perintah tersebut berasal dari penguasa yang berwenang. Pelaku dapat
dimaafkan apabila pelaku melaksanakan perintah dengan itikad baik.

3. Jenis-Jenis Pertanggungjawaban Pidana

Ada tiga macam jenis pertanggungjawaban pidana, yaitu:

1. Pertanggungjawaban Pidana Berdasarkan Kesalahan (Geen Straf Zonder Schuld)


Pertanggungjawaban pidana berdasaran kesalahan merupakan syarat subjektif dapat
dipidananya seseorang yang terdiri dari tiga unsur, yaitu:

a. Kemampuan bertanggungjawab;

b. Kesengajaan atau kealpaan;

c. Tidak ada alasan pemaaf.

2. Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan (Strict Liability)

Pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan sering disebut sebagai pertanggungjawaban


mutlak/absolut tanpa harus membuktikan ada atau tidaknya unsur kesalahan pada pelaku
tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan merupakan terjemahan dari
istilah strict liability yang artinya tanggung jawab yang memiliki daya paksa kepada si pelaku
yang bukan merupakan:

a. Perbuatan dengan maksud untuk menggerogoti kepentingan seseorang yang dilindungi


hukum, tanpa adanya pembenaran hukum terhadap penggerogotan tersebut; atau

b. Pelanggaran terhadap kewajiban seseorang yang dalam hal ini ia bertingkah laku secara
layak kepada orang lain, yaitu berupa kelalaian yang bisa dituntut ke pengadilan.

3. Pertanggungjawaban Pidana Pengganti (Vicarious Liability)

Pertanggungjawaban pengganti merupakan pertanggungjawaban yang dilakukan seseorang


yang tidak memiliki kesalahan, tetapi ia bertanggungjawab atas tindakan orang lain. Tidak
semua tindak pidana dapat diberlakukan pertanggungjawaban pengganti.

Terdapat dua syarat dapat diterapkannya pertanggungjawaban pidana pengganti, yaitu:

1. Adanya suatu hubungan pekerjaan, contohnya hubungan antara majikan dan pekerja;

2. Tindak pidana yang dilakukan pekerja tersebut berkaitan dengan ruang lingkup
pekerjaannya.

Selain itu, pertanggungjawaban pidana pengganti memiliki dua prinsip, yaitu prinsip
pendelegasian (the delegation people) dan prinsip perbuatan buruh merupakan perbuatan
majikan (the servant’s act is the mater’s act in law).
C. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Pengertian mengenai tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dikenal
dengan istilah Strafbaarfeit, selai itu dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering
menggunakan istilah delik, sedangkan legislator merumuskan undang-undang menggunakan
istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana.

Para sarjana menyebut istilah strafbaarfeit untuk mengartikan “tindak pidana”. Feit dalam
bahasa Belanda artinya “sebagian dari suatu kenyataan” atau een gedeelte van de
werkelijkheid, sedangkkan strafbaar artinya dapat dihukum. Maka dari itu strafbaarfeit
artinya “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”.

Penjelasan secara rinci mengenai tindak pidana dirumuskan oleh beberapa ahli hukum pidana
Belanda. Menurut Pompe, tindak pidana merupakan pelanggaran norma yang diadakan
karena pelanggar melakukan kesalahan, baik dengan sengaja maupun tidak dan harus
dihukum untuk menegakkan aturan hukum dan terjaminnya kesejahteraan umum. Menurut
Simons, tindak pidana adalah perbuatan yang melawan hukum, baik disengaja maupun tidak
disengaja yang dapat bertanggung jawab atas perbuatannya dan oleh undang-undang
dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum.

Maka dari itu, tindak pidana dapat diartikan sebagai suatu dasar pokok penjatuhan pidana
kepada orang yang melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggungjawaban seseorang
atas perbuatan yang telah dilakukannya. Mengenai perbuatan yang dilarang dan diancam
dalam perbuatan pidananya sendiri, harus berdasarkan pada asas legalitas (Principle of
legality), yaitu asas yang menentukan bahwa tidak adanya perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana bila tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan
yang dalam bahasa Latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali
(tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu).

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Sebelum membahas mengenai unsur tindak pidana, ada baiknya membahas mengenai aliran
yang berkaitan dengan unsur-unsur tindak pidana yang terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Aliran Monistis

Aliran monistis merupakan suatu aliran yang mensyaratkan pidana harus mencakup dua hal,
yaitu sifat dan perbuatan. Aliran ini memberikan prinsip-prinsip pemahaman bahwa dalam
pengertian perbuatan atau tindak pidana sudah mencakup perbuatan yang dilarang (criminal
act) dan pertanggungjawaban pidana atau kesalahan (criminal responbility).

b. Aliran Dualistis

Aliran ini memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Dalam
tindak pidana hanya mencakup criminal act, sedangkan criminal responbility tidak menjadi
unsur tindak pidana. Untuk menyatakan sebuah perbuatan sebagai tindak pidana cukup
dengan adanya perbuatan yang dirumuskan dalam undang-undang yang memiliki sifat
melawan hukum tanpa adanya unsur pembenar.

Alasan pemisahan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana untuk mempermudah


penuntutan terhadap seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana dalam hal
pembuktian. Biasanya, di muka sidang pengadilan pembuktia dimulai dengan adanya
perbuatan pidana, selanjutnya ditentukan apakah perbuatan pidana yang telah dilakukan dapat
atau tidak dimintakan pertanggungjawaban terhadap terdakwa yang sedang diadili.

Setiap tindak pidana yang dirumuskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun
dalam undang-undang dapat dijabarkan dalam bentuk unsur-unsur yang dibagi menjadi dua,
yaitu unsur subjektif dan objektif. Unsur subjektif merupakan unsur yang melekat pada diri si
pelaku dan segala sesuatu yangg terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud
dengan unsur objektif adalah unsur yang berkaitan dengan keadaan mana dari tindakan si
pelaku tersebut harus dilakukan.

Unsur subjektif dari suatu tindak pidana antara lain:

1. kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);

2. maksud atau voornemen pada suatu percobaan (poging) seperti dalam Pasal

53 ayat (1) KUHP;

3. macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat dalam

kejahatan-kejahatan penipuan, pencurian, pemalsuan, pemerasan dan lain-lain;


4. direncanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad contohnya pada
pembunuhan dalam Pasal 340 KUHP;

5. perasaan takut atau vress seperti dalam Pasal 308 KUHP.

Sedangkan, unsur objektif dari tindak pidana antara lain:

1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;

2. Kualitas dari si pelaku, misalnya “Keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam
kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris
dari suatu perseroan terbatas” dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.

3. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Jenis-jenis tindak pidana dapat dibedakan menjadi 11 macam, diantaranya:

a. Menurut sistem KUHP, adanya pembedaan antara kejahatan yang dimuat dalam buku II
dan pelanggaran yang dimuat dalam buku III.

Kejahatan dan pelanggaran diberi pembedaan karena ancaman pidana pada pelanggaran lebih
ringan daripada kejahatan. Selain itu, kejahatan merupakan delik-delik yang melanggar
kepentingan hukum dan menimbulkan bahaya secara kongkrit, sedangkan pelanggaran hanya
membahayakan secara in abstracto saja.

b. Menurut cara merumuskannya, dibedakan menjadi tindak pidana formil dan materil.

Tindak pidana formil merupakan tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga
memberikan penjelasan bahwa inti larangan yang dirumuskan adalah melakukan suatu
perbuatan tertentu, sedangkan tindak pidana materil menimbulkan akibat yang dilarang.

c. Berdasarkan bentuk kesalahan, yaitu tindak pidana sengaja (dolus) dan tindak pidana tidak
dengan sengaja (culpa).

d. Berdasarkan macam perbuatannya, yaitu tindak pidana aktif/positif (tindak pidana komisi)
dan tindak pidana pasif/negatif (tindak pidana omisi).

Tindak pidana aktif merupakan tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif.
Perbuatan aktif itu sendiri merupakan perbuatan yang mensyaratkan adanya gerakan dari
anggota tubuh orang yang berbuat. Sedangkan tindak pidana pasif dibagi menjadi dua
macam, yaitu tindak pidana pasif murni dan tindak pidana pasif tidak murni. Tindak pidana
pasif murni merupakan tindak pidana yang unsur perbuatannya semata-mata berupa
perbuatan pasif. Sementara itu, tindak pidana pasif tidak murni merupakan tindak pidana
berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan dengan tidak berbuat aktif.

e. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, dibedakan menjadi tindak pidana terjadi
seketika (aflopende delicten) dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung
terus-menerus (voordurende delicten).

f. Berdasarkan sumbernya, yaitu tindak pidana umum dan khusus.

Tindak pidana umum merupakan tindak pidana yang terdapat dalam Buku II dan Buku III
KUHP, sedangkan tindak pidana khusus merupakan tindak pidana diluar KUHP.

g. Dilihat dari subjeknya, dibedakan menjadi tindak pidana communia (tindak pidana yang
dilakukan oleh semua orang) dan tindak pidana propria (tindak pidana yang hanya dilakukan
oleh orang yang berkualitas tertentu, misalnya pegawai negeri pada kejahatan jabatan).

h. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, dibedakan menjadi tindak
pidana biasa dan tindak pidana aduan.

Tindak pidana biasa merupakan tindak pidana yang dapat dilakukan penuntutan tanpa adanya
pengaduan dari pihak yang berhak, sedangkan tindak pidana aduan merupakan tindak pidana
yang dapat dilakukan penuntutan jika sudah ada pengaduan terlebih dahulu oleh pihak yang
berhak.

i. Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan, dibedakan menjadi tindak pidana


bentuk pokok, tindak pidana yang diperberat dan tindak pidana diperingan.

j. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, yang tidak memiliki batas dalam
pengkualifikasian macamnya karena sangat tergantung pada kepentingan hukum yang
dilindungi dalam suatu peraturan perundang-undangan.

k. Dari sudut berapa kali suatu perbuatan agar menjadi suatu larangan, dibedakan menjadi
tindak pidana tunggal dan tindak pidana berangkai.

Tindak pidana tunggal merupakan tindak pidana yang mana si pelaku dipidana apabila
melakukan satu kali perbuatan saja, sedangkan tindak pidana berangkai merupakan tindak
pidana yang mana si pelaku dipidana apabila melakukan perbuatan yang dilarang secara
berulang.

4. Pidana dan Pemidanaan

Menurut Hart, terdapat lima elemen yang berkaitan dengan pemidanaan, yaitu:

1. Pidana merupakan suatu penderitaan;

2. Pidana dan pemidanaan ditujukan untuk suatu pelanggaran terhadap hukum;

3. Harus adanya kesesuaian antara pelanggaran yang dilakukan dengan pemidanaan;

4. Pemidanaan dijalankan oleh pelaku yang melakukan kejahatan;

5. Pidana dipaksakan oleh penguasa yang berwenang dalam sistem hukum terhadap
pelanggaran yang dilakukan.

Berkaitan dengan pidana, ada beberapa jenis pidana, diantaranya:

a. Pidana Pokok

Dalam Pasal 10 KUHP, pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana
kurungan, pidana denda dan pidana tutupan. Hakim dilarang menjatuhkan lebih dari satu
pidana pokok. Maka dari itu dalam KUHP ancaman pidana bersifat alternatif antara pidana
penjara dan pidana denda.

1) Pidana Mati

Pidana mati hanya ditujukan pada kejahatan-kejahatan luar biasa atau kejahatan kejahatan
biasa yang dilakukan secara terencana dan sadis di luar batas-batas kemanusiaan. Pidana mati
merupakan sanksi yang bersifat khusus. Pidana mati dilaksanakan apabila terpidana dalam
jangka waktu 10 tahun tidak menunjukkan perilaku lebih baik.

2) Pidana Penjara

Pidana penjara merupakan salah satu bentuk pidana perampasan kemerdekaan yang
dijatuhkan oleh hakim melalui putusan pengadilan. Berdasarkan Pasal 12 KUHP, pidana
penjara dibagi menjadi dua, yaitu pidana penjara seumur hidup dan sementara waktu. Pidana
penjara seumur hidup artinya terpidana menjalani pidana penjara sampai meninggal dunia,
sedangkan pidana penjara sementara waktu minimal sehari dan maksimal 15 tahun.
3) Pidana Kurungan

Menurut Pasal 18 KUHP, pidana kurungan paling singkat satu hari dan paling lama satu
tahun. Pidana kurungan dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan jika terjadi
pemberatan pidana karena perbarengan ataupun pengulangan. Sama halnya dengan pidana
penjara, orang yang menjalani pidana kurungan wajib menjalankan pekerjaan yang diberikan
kepadanya namun lebih ringan daripada orang yang menjalani pidana penjara.

4) Pidana Denda

Dalam Pasal 30 KUHP, pidana denda paling sedikit dua puluh lima sen. Pidana denda dapat
diganti dengan pidana kurungan apabila tidak mampu membayar. Pidana kurungan pengganti
paling singkat satu hari dan paling lama enam bulan. Jika terdapat pemberatan pidana denda
karena perbarengan atau pengulangan, maka pidana kurungan pengganti paling lama delapan
bulan.

b. Pidana Tambahan

Terpidana tidak boleh dijatuhi pidana tambahan tanpa pidana pokok, namun pidana pokok
boleh diberikan tanpa pidana tambahan. Pidana tambahan dalam KUHP antara lain:

1) Pencabutan Hak-Hak Tertentu

Berikut adalah hak-hak terpidana yang bisa dicabut sebagai pidana tambahan:

a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;

b. Hak memasuki angkatan bersenjata;

c. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan;

d. Hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali,
wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas orang yang bukan anak sendiri;

e. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak
sendiri;

f. Hak menjalankan mata pencaharian tertentu.

2) Perampasan Barang-Barang Tertentu


Berikut adalah pengaturan mengenai perampasan barang-barang tertentu menurut Pasal 39
KUHP:

a. Barang-barang milik terpidana yang didapat dari hasil kejahatan atau yang sengaja
digunakan untuk melakukan kejahatan;

b. Penjatuhan putusan perampasan berdasarkan yang diatur dalam undang-undang karena


kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau pelanggaran;

c. Perampasan yang dilakukan terhadap orang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah,
tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.

3) Pengumuman Putusan Hakim

Seperti yang dirumuskan dalam Pasal 43 KUHP, apabila hakim memerintahkan supaya
putusan diumumkan berdasarkan KUHP atau aturan-aturan umum lainnya, maka harus pula
ditetapkan bagaimana dara melaksanakan perintah itu atas biaya terpidana.

c. Pidana Bersyarat dan Pelepasan Bersyarat

Pidana bersyarat bertujuan untuk melindungi masyarakat, mencegah terjadinya kejahatan dan
menjaga keselamatan masyarakat. Sedangkan pelepasan bersyarat diberikan kepada
narapidana yang berkelakuan baik. Kewenangan untuk memberikan hak tersebut ada pada
negara.

Setelah mengetahui jenis-jenis pidana, maka berikut akan diuraikan tujuan dari pemidanaan,
yaitu:

a. Menakut-nakuti agar tidak melakukan kejahatan (general preventie) dan menakut-nakuti


orang yang sudah melakukan kejahatan agar tidak diulangi (special preventie);

b. Mendidik atau memperbaiki orang yang suka melakukan kejahatan sehingga bermanfaat
bagi masyarakat;

c. Mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara.


BAB III

PEMBAHASAN

A. Pertanggungjawaban Pidana Pengedar Benih Padi Non-Sertifikasi dan Label

1. Subjek Hukum Yang Dapat Dimintakan Pertanggungjawaban Pidana Pengedar Benih Padi
Non-Sertifikasi dan Label

Indonesia adalah negara hukum, yang artinya mengakui setiap orang sebagai diakui sebagai
subjek hukum. Hal ini diperkuat dalam Pasal 27 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 yang menyatakan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya. Subjek hukum merupakan segala sesuatu yang menurut hukum dapat
menjadi pendukung hak dan kewajiban. Subjek hukum memiliki kewenangan bertindak
menurut tata cara yang sesuai

dengan hukum yang berlaku. Subjek hukum dibagi menjadi dua pengertian, yaitu:
a. Natuurlijke persoon atau menselijk, yang artinya orang dalam bentuk manusia atau
manusia pribadi.

b. Rechts persoon, yang artinya orang dalam bentuk badan hukum atau orang yang diciptakan
hukum secara fiksi atau persona ficta. Rechts persoon atau badan hukum dibagi menjadi dua,
yaitu:

1. Badan hukum publik (Publiek Rechts Persoon), yang mana sifatnya terlihat dari unsur
kepentingan publik yang ditangani oleh negara. Contoh dari badan hukum publik antara lain
negara, pemerintah daerah, desa, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan sebagainya.

2. Badan hukum privat (Privaat Rechts Persoon), yang mana sifatnya terdiri dari unsur-unsur
kepentingan individu dalam badan hukum swasta. Contoh dari badan hukum privat antara
lain Perseroan Terbatas (PT), firma, CV, badan koperasi, yayasan, BUMN/D, dan
sebagainya.

Dalam buku kedua dan buku ketiga KUHP, rumusan tindak pidana terdapat kata
“barangsiapa”. Pandangan klasik ilmu hukum pidana menyatakan bahwa kata “barangsiapa”
mengandung arti bahwa yang menjadi subjek hukum pidana atau yang dapat melakukan
tindak pidana pada umumnya adalah manusia. Selain itu juga sesuai dengan ketentuan Pasal
10 KUHP menunjukkan bahwa yang dapat dikenakan pidana pada umumnya adalah manusia.
Seiring perkembangan zaman, tindak pidana juga dapat dikenakan kepada badan hukum.
Bentuk pidana terhadap badan hukum tidak sama dengan manusia atau pribadi kecuali yang
harus di pidana adalah pengurus badan hukum. Maka dari itu, dalam Pasal 59 KUHP
merumuskan bahwa:

“Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-
anggota pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus atau komisaris yang ternyata
tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana.”

Pada dasarnya, pertanggungjawaban pidana merupakan pertanggungjawaban yang dilakukan


oleh seseorang terhadap tindak pidana yang diperbuatnya. Jika dikaitkan dengan
problematika dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya
Tanaman, yang melakukan pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana pengedaran
benih padi tanpa melalui proses sertifikasi dan label merupakan pengedar benih. Hal ini
diperkuat dalam Pasal 60 ayat 1 b dan 1 c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 Tentang
Sistem Budidaya Tanaman dimana terdapat frase “mengedarkan” yang berarti pengedar benih
merupakan subjek hukum yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya. Arti
pengedar sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang yang mengedarkan.
Pengertian pengedar benih lebih terperinci dalam Pasal 1 angka 32 Peraturan Menteri
Pertanian Republik Indonesia Nomor 12/Pertanian/TP.020/04/2018 Tentang Produksi,
Sertifikasi dan Peredaran Benih Tanaman, yaitu perseorangan, badan usaha, atau instansi
pemerintah yang melakukan penyaluran benih.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, subjek hukum sebagai pengemban hak dan kewajiban
haruslah melaksanakan apa tugas yang diembannya dan tidak dapat melanggar kewajiban
tersebut. Dalam Pasal 43 Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
12/Pertanian/TP.020/04/2018 Tentang Produksi, Sertifikasi dan Peredaran Benih Tanaman
terdapat kewajiban Pengedar Benih, yaitu:

a. Bertanggung jawab atas mutu Benih Bina yang diedarkan;

b. Melakukan pencatatan dan penyimpanan dokumen Benih Bina yang diedarkan selama 1
(satu) tahun; dan

c. Memberikan data atau keterangan yang diperlukan pengawas Benih Tanaman atau
pengawas mutu pakan.

Jika dilihat dari kewajiban yang diemban oleh pengedar benih tersebut, menjadi pengedar
benih bukanlah sesuatu yang mudah karena harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:

a. Mengetahui pengetahuan di bidang perbenihan tanaman;

b. Memiliki fasilitas penyimpanan; dan

c. Menyelenggarakan administrasi mengenai benih yang diedarkan.

Maka dari itu, sangat sesuailah pengedar benih yang menjadi subjek pertanggungjawaban
pidana. Pengedar benih bina wajib menjaga mutu benih bina yang diedarkan. Mutu suatu
benih bina dapat dilihat dari sertifikat benih yang didapat melalui proses sertifikasi benih.
Berdasarkan Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
12/Pertanian/TP.020/04/2018 Tentang Produksi, Sertifikasi dan Peredaran Benih Tanaman,
Sertifikasi Benih adalah serangkaian pemeriksaan dan/atau pengujian dalam rangka
penerbitan Sertifikat Benih. Pengertian Sertifikat Benih sendiri tercantum dalam Pasal 1
angka 26 Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
12/Pertanian/TP.020/04/2018, yaitu

“Sertifikat Benih adalah keterangan tentang pemenuhan/telah memenuhi persyaratan mutu


yang diberikan oleh lembaga sertifikasi pada kelompok Benih yang disertifikasi.”

2. Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Pengedar Benih Padi Non-Sertifikasi dan Label

Permasalahan pertanggungjawaban pidana sangat erat kaitannya dengan pelaku tindak


pidana. Yang dimaksud dengan pelaku adalah orang yang melakukan tindak pidana yang
bersangkutan, dengan kata lain orang yang dengan suatu kesengajaan atau tidak dengan
kesengajaan seperti yang dirumuskan dalam undang-undang telah menimbulkan suatu akibat
yang tidak sesuai dengan rumusan suatu undang-undang, baik itu unsur-unsur subjektif
maupun objektif, tanpa memperhatikan apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana
tersebut timbul dari dirinya sendiri atau karena gerakan pihak ketiga. Pelaku yang dapat
dipidana adalah subjek hukum dalam pertanggungjawaban pidana pengedar benih padi non-
sertifikasi dan label seperti yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu orang, badan usaha atau
badan hukum, maupun instansi pemerintah yang diperkuat oleh ketentuan pidana dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman yang memuat
kata “barangsiapa”. Namun, dalam ketentuan pidana Pasal 60 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman tidak ada pembedaan yang tegas mengenai
proses pertanggungjawaban pidana antara orang-perorangan, badan usaha atau badan hukum
maupun intansi pemerintah. Selain itu juga tidak ada rumusan yang tegas apabila badan usaha
atau badan hukum maupun intansi pemerintah melakukan tindak pidana siapa yang patut
dipertanggungjawabkan.

Setelah mengetahui siapa pelaku yang dapat dipertanggung jawabkan maka yang patut
diperhatikan selanjutnya adalah kemampuan bertanggung jawab. Jika dilihat dalam Pasal 44
KUHP, orang yang akan mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya haruslah keadaan
jiwanya sehat dan dalam segi kemampuan jiwa si pelaku harus mampu menginsyafi bahwa
perbuatannya tersebut merupakan perbuatan melawan hukum. Maka dari itu, sistem hukum
pidana Indonesia menganggap bahwa setiap orang mampu bertanggung jawab. Penegak
hukum tidak perlu membuktikan kemampuan bertanggung jawab pada diri pelaku. Jika
pelaku merasa tidak mampu bertanggung jawab maka hal itu haru dibuktikan oleh pelaku
sendiri atau penasihat hukumnya.
Pertanggungjawaban memiliki tiga jenis, antara lain pertanggungjawaban pidana berdasarkan
kesalahan (geen straf zonder schuld), pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan (strict
liability) dan pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability). Pertanggungjawaban
pidana berdasarkan kesalahan (geen straf zonder schuld) diberlakukan kepada subjek hukum
manusia. Hal ini diperkuat dalam rumusan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa:

“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat
pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang
dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas
dirinya”.

Menurut Muladi, pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan tetap berlaku sepanjang


dilakukan oleh pengurus, sehingga jika suatu tindak pidana benar-benar dilakukan oleh
korporasi atau badan hukum (pembuat fiktif), maka pertanggungjawaban pidana berdasarkan
kesalahan tersebut tidak berlaku. Pertanggungjawaban pidana pengganti (vicarious liability)
diberlakukan kepada subjek hukum badan hukum. Menurut doktrin, jika seseorang agen atau
pekerja korporasi bertindak dalam lingkup pekerjaannya dan dengan maksud untuk
menguntungkan korporasi, melakukan suatu kejahatan, tanggung jawab pidananya dapat
dibebankan kepada korporasi atau badan hukum tanpa melihat apakah badan hukum tersebut
memperoleh keuntungan atau tidak atau apakah badan hukum tersebut telah melarang
aktivitas tersebut atau tidak. Pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan (strict liability)
diterima sebagai pertanggungjawaban pidana karena diadopsi dari konsep kesalahan
normatif. Teori kesalahan normatif artinya adalah kesalahan tidak mutlak harus dilihat dari
kondisi kejiwaan manusia yang ditandai dengan kesengajaan atau kealpaan. Dengan kata lain,
kesalahan tidak hanya dilihat dari subjek hukum manusia, melainkan juga pada badan hukum
karena akan sangat sulit untuk menentukan adanya kesalahan pada badan hukum jika
kesalahan semata-mata dilihat sebagai masalah psikologis.

Dalam hal pengedar benih padi yang tak bersertifikat dan label, maka pertanggungjawaban
yang dilakukan adalah pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan (geen straf zonder
schuld). Pada hakikatnya, pertanggungjawaban pidana mengandung arti bahwa setiap orang
yang melakukan tindak pidana maka orang tersebut wajib mempertanggungjawabkan
perbuatannya sesuai dengan kesalahan yang diperbuat. Menurut ilmu hukum pidana,
kesalahan memiliki dua bentuk, yaitu kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa). Bentuk
kesalahan tersebut biasanya dirumuskan dalam Pasal Undang-Undang terkait tindak pidana
yang diperbuat pelaku. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 yang dalam Bab X
Ketentuan Pidana adanya pemisahan antara unsur kesengajaan (dolus) dan unsur kelalaian
(culpa) yang mana penjatuhan sanksi pidana antara tindak pidana yang dilakukan dengan
kesengajaan dan kelalaian terdapat perbedaan.

Selanjutnya unsur terakhir adalah tidak adanya alasan penghapus pidana pada diri si pelaku.
Jika ada alasan pemaaf pada diri pelaku, maka unsur kesalahan pelaku dapat dimaafkan
sehingga menjadi alasan penghapus pidana. Sudah menjadi tugas penasihat hukum pelaku
untuk membuktikan alasan penghapus pidana pada pelaku. Alasan penghapus pidana dapat
ditemukan dalam undang-undang maupun diluar undang-undang. Dalam hal tindak pidana
yang dilakukan oleh pengedar benih non-sertifikasi dan label terdapat alasan penghapus
pidana diluar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman
yaitu dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 99/PUU-X/2012. Dalam amar putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 99/PUU-X/2012 angka 1.6 menyatakan bahwa:

“Varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum diedarkan terlebih dahulu
dilepas oleh Pemerintah kecuali hasil pemuliaan oleh perorangan petani kecil dalam negeri”.

Dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya
Tanaman menyatakan bahwa:

“Varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum diedarkan terlebih dahulu
dilepas oleh pemerintah”.

Maka dari itu, alasan penghapus pidana hanya berlaku terhadap petani kecil yang
mengedarkan benih padi hasil dari kegiatan pemuliaan tanamannya.

B. Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pengedar Benih Padi Non-Sertifikasi dan Label

1. Perumusan Tindak Pidana Dalam Tindak Pidana Terhadap Pengedar Benih Padi Non-
Sertifikasi dan Label

Perumusan tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu:

a. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tindak pidana dibagi menjadi dua yaitu
kejahatan dan pelanggaran. Pembagian ini tidak secara tegas dirumuskan dalam KUHP tetapi
dapat kita lihat bahwa semua ketentuan dalam Buku II KUHP adalah kejahatan dan dalam
Buku III KUHP adalah pelanggaran. Pembagian tindak pidana menjadi kejahatan dan
pelanggaran bukan hanya merupakan dasar dalam KUHP saja, melainkan juga merupakan
dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan secara keseluruhan.
Kejahatan merupakan perbuatan yang bertentangan dan melanggar dengan apa yang telah
tercantum dalam peraturan. Dengan kata lain, kejahatan merupakan suatu bentuk perbuatan
dan tingkah laku yang melanggar aturan hukum dan undang-undang yang berlaku serta
melanggar norma sosial. Sedangkan pelanggaran merupakan tindakan atau perbuatan yang
sifat melawan hukumnya dapat diketahui setelah ada undang-undang yang merumuskan
mengenai pertentangan demikian.

Dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman
dijelaskan mengenai pemisahan antara tindak pidana kualifikasi kejahatan dan pelanggaran.
Pasal 60 ayat (1) dan Pasal 61 ayat (1) merupakan kualifikasi kejahatan sedangkan Pasal 60
ayat (2) dan Pasal 61 ayat (2) merupakan kualifikasi pelanggaran.

b. Menurut Bentuk Kesalahan

Tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana
tidak sengaja (culpose delicten) atau juga sering disebut dengan kelalaian (culpa). Contoh
tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur dalam KUHP antara lain Pasal 338 KUHP
(pembunuhan) yaitu dengan sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354
KUHP yaitu dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa), orang dapat
dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan matinya
seseorang, dan contoh lainnya terdapat dalam Pasal 188 KUHP dan Pasal 360 KUHP.

Tindak pidana pengedar benih padi non-sertifikasi dan label dalam Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman ada yang berbentuk kejahatan
sebagaimana yang sesuai dengan Pasal 60 ayat (1) huruf b dan ada yang berbentuk
pelanggaran sebagaimana yang sesuai dengan Pasal 60 ayat (2) huruf b. Dalam undang-
undang ini nampak bahwa tindak pidana kategori kejahatan dilakukan dengan kesengajaan
(dolus), sedangkan tindak pidana kategori pelanggaran dilakukan dengan kelalaian (culpa).

c. Menurut Cara Merumuskannya

Menurut cara merumuskannya, tindak pidana dibedakan menjadi dua, yaitu tindak pidana
formil (Formeel Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil Delicten). Delik formil artinya
delik yang rumusannya dalam suatu pasal perundang-undangan lebih menerangkan pada
perbuatan yang dilarang tanpa harus ada akibat apapun dari perbuatan tersebut. Sedangkan
delik materil artinya delik yang rumusannya dalam suatu pasal perundang-undangan lebih
menekankan pada akibat yang dilarang. Oleh sebab itu, siapa yang menimbulkan akibat yang
dilarang, akibat itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana. Bedanya dengan delik
formil adalah akibat menjadi suatu syarat mutlak dari rumusan suatu pasal.

Dalam ketentuan Pasal 60 ayat (1) dan ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman merupakan kualifikasi delik formil, karena dalam
rumusan pasal tersebut hanya mencamtumkan perbuatan pelaku saja tanpa mencantumkan
akibat dari perbuatan pelaku. Dalam artian lain adalah seseorang yang melakukan suatu
tindak pidana pengedaran benih padi tanpa sertifikat dan label tanpa ada akibat yang
ditimbulkan dapat dikenakan pemidanaan sesuai dengan Pasal 60 ayat (1) dan ayat (2) huruf
b tersebut. Lain halnya dengan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) huruf c yang merupakan
kualifikasi delik materil. Dalam pasal tersebut mensyaratkan suatu perbuatan pelaku tindak
pidana menimbulkan gangguan dan kerusakan sumber daya alam, dan atau lingkungan hidup.
Rumusan pasal tersebut menghendaki seseorang melakukan tindak pidana dan menimbulkan
akibat seperti yang tercantum dalam pasal tersebut. Jika perbuatan pelaku hanya sebatas
perbuatan memelihara tanaman menggunakan sarana dan/atau cara yang mengganggu
kesehatan dan mengancam keselamatan manusia tanpa menimbulkan akibatnya seperti yang
tercantum dalam pasal tersebut maka berdasarkan ilmu hukum pidana si pelaku hanya
dikenakan pidana percobaan (poging). Poging pada umumnya berarti suatu usaha untuk
mencapai suatu tujuan namun akhir dari perbuatan tersebut belum tercapai. Selain itu, ahli
hukum lain seperti R. Soesilo menyatakan bahwa percobaan merupakan suatu kegiatan yang
menuju ke suatu hal namun tidak sampai pada hal yang akan dituju, atau seseorang yang akan
berbuat sesuatu dan kegiatan tersebut sudah dimulai, namun perbuatan tersebut tidak selesai.

d. Menurut Macam Perbuatan

Menurut macam perbuatannya, tindak pidana dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu
tindak pidana aktif (positif) dan tindak pidana pasif. Perbuatan aktif adalah perbuatan untuk
mewujudkan suatu tindak pidana disyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang
berbuat, misalnya dalam rumusan Pasal 362 KUHP dan Pasal 378 KUHP. Sedangkan tindak
pidana pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak pidana murni
adalah tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang unsur
perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya yang diatur dalam Pasal 224, 304 dan 552
KUHP. Tindak pidana tidak murni merupakan tindak pidana yang berupa tindak pidana
positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur
terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat sesuatu. Misalnya perbuatan seorang ibu yang
tidak menyusui bayinya sehingga bayi tersebut meninggal dikenakan Pasal 338 KUHP.

Dalam Pasal 60 ayat (1) dan ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992
Tentang Sistem Budidaya Tanaman jelas bahwa rumusan tindak pidana tersebut masuk dalam
kategori tindak pidana aktif. Hal ini dapat dilihat dari adanya kata “mengedarkan” dalam
pasal tersebut. Dalam Kamu Besar Bahasa Indonesia, mengedarkan artinya membawa
(menyampaikan) surat dan sebagainya dari orang yang satu kepada yang lain; membawa
berkeliling.

e. Delik Laporan dan Delik Aduan

Selain pembagian jenis tindak pidana yang telah dijabarkan sebelumnya, terdapat kualifikasi
tindak pidana yang lain, yaitu delik laporan dan delik aduan. Menurut Pasal 1 angka 24 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), delik laporan merupakan pemberitahuan
yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang
kepada pejabat yang berwenang mengenai telah atau sedang diduga akan terjadi peristiwa
pidana. Sedangkan delik aduan berdasarkan Pasal 1 angka 25 KUHAP adalah pemberitahuan
yang disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang
untuk menindak menurut hukum seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang
merugikannya. Dilihat dari penjelasan KUHAP tersebut, delik laporan dan delik aduan
memiliki persamaan yaitu sama-sama dilakukan dengan pemberitahuan kepada pejabat yang
berwenang menerima laporan dan pengaduan. Perbedaannya adalah delik laporan,
pemberitahuannya bersifat umum dan melibatkan seluruh jenis tindak pidana. Sedangkan
delik aduan pemberitahuannya hanya terhadap tindak pidana yang berdasarkan undang-
undang mensyaratkan pengaduan. Dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1992 Tentang
Sistem Budidaya Tanaman, tidak ada Pasal dalam ketentuan pidana yang menunjukkan
kualifikasi delik aduan. Dengan kata lain, perumusan pasal dalam undang-undang ini
termasuk dalam kualifikasi delik laporan.

Menurut P.A.F Lamintang dan C. Djisman Samosir, tindak pidana memiliki dua unsur, yaitu
unsur subjektif dan objektif. Unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku
atau unsur yang berhubungan dengan diri si pelaku, sedangkan unsur objektif adalah unsur
yang berhubungan dengan keadaan, yaitu dalam keadaan mana tindakan dari si pelaku itu
harus dilakukan.

Unsur- unsur subjektif dari suatu tindak pidana antara lain:

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);

2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti dalam Pasal 53 ayat (1)
KUHP;

3. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedache raad, misalnya terdapat dalam kejahatan
pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

4. Perasaan takut atau vress yang terdapat dalam Pasal 308 KUHP.

Sedangkan, unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana antara lain:

1. Sifat melawan hukum atau wederrechttelijkheid;

2. Kualitas dari si pelaku;

3. Kausalitas, yang merupakan hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan
sesuatu sebagai kenyataan.

Jika memperhatikan penjelasan diatas maka dapatlah dijabarkan unsur-unsur dalam


Pasal 60 ayat (1) huruf b yaitu:

1. Unsur subjektif:

a. Barangsiapa;

b. Dilakukan dengan sengaja (dolus);

c. Mengedarkan.

2. Unsur objektif:

a. Hasil pemuliaan atau introduksi yang belum dilepas.

Sedangkan unsur-unsur dalam Pasal 60 ayat (2) huruf b yaitu:

1. Unsur subjektif:
a. Barangsiapa;

b. Dilakukan karena kelalaian (culpa);

c. Mengedarkan.

2. Unsur objektif:

a. Hasil pemuliaan atau introduksi yang belum dilepas.

2. Sanksi Pidana Terhadap Pengedar Benih Padi Non-Sertifikasi dan Label

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman,


Pengedar Benih Padi yang mengedarkan benihnya tanpa tahap sertifikasi dan label dapat
dikenakan pidana yaitu Pasal 60 ayat (1) dan ayat (2) huruf b yang menyatakan bahwa:

“Mengedarkan hasil pemuliaan atau introduksi yang belum dilepas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (2)”.

Sedangkan Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 menyatakan bahwa:

“Varietas hasil pemuliaan atau introduksi yang belum dilepas sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilarang diedarkan”.

Sedangkan ketentuan pemidanaannya terdapat dalam Pasal 60 ayat (1) dan ayat (2) huruf i,
dimana terdapat perbedaan jenis pemidanaan dalam ayat (1) dan ayat (2). Hal ini terjadi
karena dalam Pasal 60 ayat (1) merupakan tindak pidana yang dilakukan dengan kesengajaan
(dolus) sedangkan dalam Pasal 60 ayat (2) merupakan tindak pidana yang dilakukan dengan
kelalaian (culpa). Dalam Pasal 60 ayat (1) huruf i terdapat dua jenis pidana pokok yang
dijatuhkan kepada pelaku, yaitu pidana penjara dan pidana denda. Hal ini menunjukkan
bahwa Pasal 60 ayat (1) huruf i perumusan sanksi pidananya kumulatif. Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman sangat berbeda dengan KUHP,
dimana KUHP hanya mengenal sistem perumusan sanksi pidana tunggal atau alternatif, yang
mana hanya menerapkan satu pidana pokok untuk satu delik yang diperbuat pelaku (single
penalty). Selanjutnya dalam Pasal 60 ayat (2) huruf i terdapat dua jenis pidana pokok yang
sama dengan Pasal 60 ayat (1) huruf i, namun dalam Pasal 60 ayat (2) huruf i perumusan
sanksi pidananya adalah alternatif, karena ada kata “atau” yang menunjukkan adanya
opsional. Maka dari itu, penegak hukum terutama hakim dalam menjatuhkan putusan
terhadap pelaku harus memilih salah satu pidana yang akan dijatuhkan kepada pelaku, apakah
pidana penjara atau pidana denda.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan pembahasan dan analisis mengenai permasalahan dalam skripsi ini, maka
penulis dapat menarik kesimpulan, yaitu:
1. Sebelum menentukan pertanggungjawaban pidana yang tepat kepada pengedar benih padi
non-sertifikasi dan label terlebih dahulu kita harus memahami siapa saja yang berhak
mempertanggungjawabkan tindak pidana tersebut. Subjek hukum yang dapat
mempertanggungjawabkan perbuatan pidana sebagaiman permasalahan skripsi ini adalah
pengedar benih. Yang merupakan pengedar benih adalah perseorangan, badan usaha atau
badan hukum, maupun instansi pemerintah. Setelah mengetahui subjek hukum yang dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidana maka dapat menentukan bentuk
pertanggungajawaban pidananya. Bentuk pertanggungjawaban pidananya adalah
pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (geen straf zonder schuld) karena dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman terdapat
pemisahan antara perumusan tindak pidana yang dialakukan dengan kesengajaan (dolus) dan
kelalaian (culpa). Perumusan tindak pidana dalam permasalahan skripsi ini terdapat

banyak kualifikasi. Kualifikasi pertama adalah bentuk tindak pidana sebagaimana dimaksud
Pasal 60 ayat (1) huruf b yang merupakan kejahatan dan Pasal 60 ayat (2) huruf b yang
merupakan pelanggaran. Selanjutnya, Pasal 60 ayat (1) dan ayat (2) huruf b Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaaman merupakan kualifikasi delik
formil. Selain itu pasal tersebut termasuk dalam kualifikasi delik laporan.

2. Perumusan sanksi pidana dalam Pasal 60 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman adalah sistem kumulatif karena tercantum
dua pidana pokok yang keduanya harus diterapkan pada pelaku. Sedangkan Pasal 60 ayat (2)
huruf i menggunakan sistem alternatif karena walaupun terdapat dua pidana pokok tapi sanksi
pidana tersebut bersifat opsional.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian penulis mengenai Pertanggungjawaban Pidana Pengedar Benih


Padi Non-Sertifikasi dan label, maka penulis memiliki saran kepada aparat penegak hukum,
diantaranya:

1. Aparat penegak hukum perlu memberikan pemahaman kepada masyarakat khususnya para
pemulia tanaman dan pengedar benih akan pentingnya melakukan proses sertifikasi dan
pemberian label sebelum benih tersebut diedarkan.

2. Aparat penegak hukum perlu hendaknya lebih memahami mengenai Undang-Undang


Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman terutama terhadap uji materil
terhadap undang-undang ini yaitu dalam Putusan Mahkaman Konstitusi Nomor 99/PUU-
X/2012 agar tidak adanya lagi kriminalisasi terhadap petani kecil.

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Adami Hamzah. 2007. Pelajaran Hukum Pidana 1. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Ahmad Redi. 2014. Hukum Pertambangan Indonesia: Pertambangan untuk Kemakmuran


Rakyat. Jakarta: Gramata Publishing.

----------. 2014. Hukum Sumber Daya Alam Dalam Sektor Kehutanan, Jakarta: Sinar Grafika.

Amir Ilyas. 2012. Asas-Asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan. Yogyakarta: Rangkang Educatio
Yogyakarta dan PuKAP-Indonesia.
Amiruddin dan Zainal Asikin. 2014. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.

Andi Hamzah. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta: Ghalia
Indonesia.

------. 2010. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Barda Nawawi Arif. 1984. Sari Kuliah Hukum Pidana II. Semarang: Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro.

-------. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bhakti.

-------. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.


Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

-------. 2002. Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Chairul Huda. 2006. Dari “Tiada Pidana tanpa Kesalahan” menjadi “Tiada
Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan”: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan
Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Prenada Kencana.

C.S.T Kansil. 1995. Modul Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita.

Edi Yunara. 2012. Korupsi & Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.

Eddy O.S. Hiariej. 2016. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi. Yogyakarta: Cahaya
Atma Pustaka.

E. Y. Kanter dan S.R. Sianturi. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta: Alumni AHAEM-PTHAEM.

L. Sutopo. 2010. Teknologi Benih (Edisi Revisi Fakultas Pertanian UNIBRAW). Jakarta:
Raja Grafindo Persada.

Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Citra Aditya Bakti.
Leden Marpaung. 2009. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.

M. Ali Zaidan. 2016. Kebijakan Kriminal. Jakarta: Sinar Grafika.

Mahrus Ali. 2011. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.

Moeljatno. 2001. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana. Jakarta:
Bina Aksara.

-----------. 2006. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

Muladi dan Dwidja Priyatno. 2012. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.

Nasution. Metode Penelitian Ilmu Hukum.

P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir. 1981. Delik-Delik Khusus. Bandung: Tarsito.

Peter Mahmud Marzuki. 2007. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.

R. Soesilo. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-


Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.

Romli Atmasasmita. 1996. Perbandingan Hukum Pidana. Bandung: Mandar Maju.

Satochid Kartanegara. 2005. Hukum Pidana. Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa.

Setijo Petijo. 2005. Benih Tomat. Yogyakarta: Kanisius.

Soerjono Soekanto. 1984. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: UI Press.

----------- dan Sri Mamudji. 2003. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat.
Jakarta: Rajawali Pers.

Sudarto. 1983. Hukum dan Perkembangan Masyarakat. Bandung: Sinar Baru.

---------. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni.

---------. 1991. Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto Universitas Diponegoro.

---------. 1997. Hukum Pidana. Semarang: Fak.Hukum UNDIP.

Sunggono, Bambang. 2007. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.


-------------. 2007. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: RajawaliPers.

-------------. 2011. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Teguh Prasetyo. 2013. Kriminalisasi dalam Hukum Pidana. Bandung: Nusa Media.

Wirjono Prodjodikoro. 2003. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: PT Refika


Aditama.

Zainuddin. Metode Penelitian Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33 ayat (3).

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1995 Tentang Perbenihan Tanaman.

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 12/Pertanian/TP.020/04/2018 Tentang Produksi,


Sertifikasi, dan Peredaran Benih Tanaman, Sertifikasi, dan Peredaran Benih Bina Tanaman
Pangan dan Tanaman Hijauan Pakan Ternak.

Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 991/HK.150/C/05/2018 Tentang Petunjuk Teknis


Sertifikasi Benih Tanaman Pangan.

C. SUMBER JURNAL:

Hanafi. 1999. Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana. Jurnal Hukum Vol. 6.


RB Budi Prastowo. 2006. Delik Formil/Materil, Sifat Melawan Hukum Formil/Materil dan
Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Hukum Pro Justitia, Vol.
24, Nomor 3.

Ridho Kurniawan dan Siti Nurul Intan Sari D. 2014. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Berdasarkan Asas Strict Liability (Studi Pembaharuan Hukum Pidana Lingkungan Hidup).
Jurnal Yuridis Vol. 1 No. 2.

Sudjindro. 2009. Permasalahan dalam Implementasi Sistem Perbenihan. Buletin Tanaman


Tembakau, Serat & Minyak Industri 1(2).

Valeriana Darwis. 2016. Implementasi Legislasi Benih Dalam Mensukseskan Swasembada


Pangan. SEPA, Vol. 12 Nomor 2.

D. SUMBER KARYA ILMIAH

Dian Mochammad Sodikin. 2015. Kajian Persepsi Petani dan Produksi Penggunaan Benih
Bersertifikat dan Non Sertifikat Pada Usahatani Padi. Jember: Fakultas Pertanian Universitas
Jember.

Duta Carisma Danna, Hartuti Purnaweni, dan Mochamad Mustam. 2013. Implementasi
Ketersediaan Beras Dalam Rangka Ketahanan Pangan di Kabupaten Batang. Semarang:
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro.

Kariawan Barus. 2011. Analisis Yuridis Pemidanaan Terhadap Korporasi Yang Melakukan
Tindak Pidana di Bidang Lingkungan Hidup Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Medan: Universitas
Sumatera Utara.

Nurasa T. dan B. Sayaka. 2009. Pengaruh Subsidi Benih Terhadap Produktivitas Padi di Jawa
Timur. Bali: Fakultas Pertanian Universitas Udayana.

Orpa Ganefo Manuain. 2005. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana
Korupsi. Semarang: Universitas Diponegoro.
Tri Andrisman. 2009. Hukum Pidana Asas-Asas dan Aturan Umum Hukum Pidana
Indonesia. Lampung: Universitas Negeri Lampung.

Udin S. Nugraha, Sri Wahyuni, M. Yamin Samaullah, dan Ade Ruskandar. 2004. Sistem
Perbenihan Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.

E. SUMBER INTERNET

Anonym, Pencabutan Pengaduan dan Laporan Dalam Praktik Penyidikan, diakses di


http://eprints.ums.ac.id/61191/3/BAB%20I.pdf pada tanggal 18 Oktober 2019.

AMR. Teknik Produksi Benih Padi.


http://sulsel.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/publikasi/panduan-petunjuk-teknis-
leaflet/107-teknikproduksi-benih-padi. Diakses pada tanggal 6 September 2019.

Dwi Wahyuniarti. Pengelompokkan Komoditi Bahan Pangan Pokok Dengan Metode


Analytical Hierarchy Process. https://www.kemendag.go.id/files/pdf/2015/03/19/-
1426739674.pdf. Dikses pada tanggal 5 September 2019.

Edi Kusmiadi. Pengertian dan Sejarah Perkembangan Pertanian.


http://repository.ut.ac.id/4425/1/LUHT4219-M1.pdf. Diakses pada tanggal 6 September
2019.

EH Ismail. Kementan Tegaskan Sertifikasi Benih Untuk Kepentingan Petani.


https://republika.co.id/berita/pve5ws453/kementan-tegaskan-sertifikasi-benih-untuk-
kepentingan-petani. Diakses pada tanggal 6 September 2019.

Fauziah Ali. Pengembangan Benih dan Varietas Unggul Padi Sawah.


https://docplayer.info/72858305-Pengembangan-benih-dan-varietas-unggul-padi-sawah.html.
Diakses pada tanggal 6 September 2019.

Harsanto Nursadi. Sistem Hukum, diakses dari http://repository.ut.ac.id/4293/1/ISIP4131-


M1.pdf.. Pada tanggal 15 Desember 2019.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Diakses dari https://kbbi.web.id/edar. Pada tanggal 15
Desember 2019.

Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Esensi Kebijakan Pangan Era Amran:


Menyayangi Petani. Diakses dari
https://www.pertanian.go.id/home/?show=news&act=view&id=3219 pada tanggal 6
September 2019.

Marlina Susy Rangkuti. Sertifikasi Benih, Diakses dari


http://jambi.litbang.pertanian.go.id/ind/images/INFOTEK/benih.pdf.. Pada tanggal 13
Desember 2019

Shintaloka Pradita. 2018. BPS: Jumlah Penduduk Bekerja Triwulan I 2018 Sebanyak127,07
Juta. https://tirto.id/bps-jumlah-penduduk-bekerja-triwulan-i-2018-sebanyak-12707-juta-
cJ5D. Diakses pada tanggal 5 September 2019.

Anda mungkin juga menyukai