Oleh:
Nim : 02011181823026
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
KAMPUS INDERALAYA
2019
Bab 1
pendahuluan
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara agraris terbesar di dunia. Disebut sebagai negara
agraris karena memiliki iklim tropis dengan wilayah yang luas dan tanah yang subur. Hampir
semua jenis tanaman bisa ditanam di Indonesia. Karunia luar biasa dari Yang Maha Kuasa ini
merupakan tantangan besar bagi pembangunan dan perlindungan Indonesia, karena setiap hak
yang diperoleh berarti persiapan untuk segala kewajiban. Negara agraris ini menggunakan
pertanian sebagai penggerak perekonomian nasionalnya. Hal ini terlihat dari banyaknya
tenaga kerja di sektor pertanian. Dikatakan bahwa pada tahun 2018 saja terdapat 3 pekerjaan
dengan jumlah tenaga kerja terbanyak yaitu pertanian, kehutanan dan perikanan yaitu sebesar
30,46%, sebanyak 38,7 juta orang.
Jumlah Penduduk Bekerja Pada Triwulan I/2018 Oleh Badan Pusat Statistik.
(Data diadaptasi dari Shintaloka Pradita, BPS: Jumlah Penduduk Bekerja Triwulan I 2018
Sebanyak 127,07 Juta yang diakses dari : https://tirto.id/bps-jumlah-penduduk-bekerja-
triwulan-i-2018-sebanyak-12707-juta-cJ5Ddalam bentuk paragraf)
Indonesia sebagai negara agraris diharapkan menghasilkan pangan dalam jumlah besar,
minimal cukup untuk persedian pangan pokok rakyat. Pangan pokok sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
adalah pangan yang diperuntukkan sebagai makanan utama sehari-hari sesuai dengan potensi
sumber daya dan kearifan lokal. Rencana strategis Badan Ketahanan Pangan
mengelompokkan komoditas pangan penting dalam dua kelompok yaitu pangan hewani dan
nabati. Pangan Hewan terdiri dari lima komoditi yaitu ikan, ayam, daging sapi dan kerbau,
telur dan susu. Sedangkan pangan nabati meliputi 10 komoditas yaitu beras, beras, ubi kayu,
1
ubi jalar, jagung, sayur mayur, buah-buahan, kacang tanah, kedelai, minyak nabati dan gula.
Beras menempati urutan pertama di antara negara-negara dengan konsumen terbanyak. Oleh
karena itu, beras telah menjadi patokan penyediaan pangan di Indonesia dan sering dijadikan
komoditas politik dan pengatur kehidupan masyarakat.
Indonesia memiliki sejarah pertanian yang panjang. Pada awalnya sistem pertanian Indonesia
diwujudkan melalui rotasi tanaman. Orang menanam segala jenis tanaman hanya untuk
memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Sesuai dengan potensi dan kearifan sumber daya
lokal. Rencana strategis Badan Ketahanan Pangan membagi komoditas pangan penting
menjadi dua kategori, yaitu pangan hewani dan nabati. Pangan hewani meliputi lima
komoditi yaitu ikan, ayam, daging sapi dan kerbau, telur dan susu. Sedangkan pangan nabati
meliputi 10 komoditas yaitu beras, beras, ubi kayu, ubi jalar, jagung, sayur mayur, buah-
buahan, kacang tanah, kedelai, minyak nabati dan gula. Beras menempati urutan pertama di
antara negara-negara dengan konsumen terbanyak. Oleh karena itu, beras telah menjadi
patokan penyediaan pangan di Indonesia dan sering dijadikan komoditas politik dan pengatur
kehidupan masyarakat.
Indonesia memiliki sejarah pertanian yang panjang. Pada awalnya sistem pertanian Indonesia
diwujudkan melalui rotasi tanaman. Orang menanam segala jenis tanaman hanya untuk
memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Seiring waktu, orang menemukan padi dan sistem
tanam. Orang-orang meninggalkan gaya hidup bertani yang selalu berubah dan mulai tinggal
di tempat permanen. Sejarah pertanian juga tidak lepas dari zaman penjajahan Belanda. Sejak
VOC menguasai Batavia, kebijakan pertanian telah mengubah fungsinya untuk
memaksimalkan VOC. Seiring berjalannya waktu, pemerintah mengambil kebijakan untuk
mengembangkan sektor pertanian guna melindungi sektor agribisnis, yaitu mengembangkan
sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, demokratis, berkelanjutan dan
terdesentralisasi.
Selain itu, terdapat undang-undang lain yang juga memberikan pengertian mengenai
penguasaan oleh negara seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dalam UUPA tertulis “Hak Menguasai Negara”
sebagai penafsiran dari penguasaan oleh negara. Dalam Pasal 2 UUPA, hak menguasai dari
negara memberi wewenang untuk:
1
Shintaloka Pradita, BPS: Jumlah Penduduk Bekerja Triwulan I 2018 Sebanyak 127,07 Juta, diakses dari :
https://tirto.id/bps-jumlah-penduduk-bekerja-triwulan-i-2018-sebanyak-12707-juta-cJ5D, pada tanggal 5
September 2019 pukul 17.25 WIB.
a.Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan
bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
Dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA, wewenang yang berasal dari hak menguasai dari negara
tersebut dipergunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti
kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia
yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyatakan bahwa:
“Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian
rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam
pasal 2 ayat (3) serta menjamin bagi setiap warga negara Indonesia derajat hidup yang sesuai
dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya”.
Pemerintah memiliki kuasa terhadap sumber daya alam namun harus dipergunakan demi
kepentingan rakyat. Dalam pemenuhan kepentingan rakyat, banyak sekali upaya yang
dilakukan oleh pemerintah, salah satunya melakukan pengawasan di sektor pertanian serta
mendorong petani untuk melakukan inovasi terhadap tanaman budidaya, terutama padi,
mengingat daya saing produksi padi baik di ranah nasional maupun internasional cukup
tinggi. Upaya-upaya tersebut bukan tanpa alasan, karena pemerintah bertujuan untuk
mencapai swasembada pangan dalam rangka ketahanan pangan nasional.
“Benih bina yang akan diedarkan harus melalui sertifikasi dan memenuhi standar mutu yang
ditetapkan oleh Pemerintah”.
2
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Pasal 1 angka 15, Lembaran
Negara Tahun 2012 Nomor 227, Tambahan Lembaran Nomor 5360.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis merumuskan permasalahan yang
akan dibahas sebagai berikut:
2.Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pengedar benih padi non- sertifikasi dan
label?
C.Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini, antara lain:
2.Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap pengedar benih padi non-sertifikasi
dan label.
D.Manfaat Penelitian
1.Manfaat Teoritis
Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat pengembangan ilmu pengetahuan
pada umumnya, serta dapat menjadi masukan untuk para penegak hukum dalam menangani
pertanggungjawaban pidana terhadap pengedar benih padi non-sertifikasi dan label.
2.Manfaat Praktis
E.Ruang Lingkup
Sesuai dengan judul penelitian, maka ruang lingkup penelitian ini adalah pada bidang hukum
pidana. Penelitian ini hanya membahas pertanggungjawaban pidana terhadap pengedar benih
padi non-sertifikasi dan label, baik dari pertanggungjawaban pidana terhadap pengedar benih
padi non-sertifikasi dan label dan penerapan sanksi pidana terhadap pengedar benih padi non-
sertifikasi dan label.
F.Kerangka Teori
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil pemikiran atau
kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap
dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti. Teori yang digunakan dalam
penulisan skripsi ini adalah teori-teori yang berhubungan dengan Pertanggungjawaban pidana
terhadap pengedar benih padi non-sertifikasi dan label.
4. Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung , 2001, hlm. 22.
menjadi “tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan” dan “tiada pidana tanpa
pertanggungjawaban pidana”.
Pertanggungjawaban pidana memiliki arti penting bahwa setiap orang yang melakukan tindak
pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang
tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan
kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan
tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan
apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan
normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.
Kesalahan memiliki dua macam, yaitu kesengajaan (dolus) dan kurang berhati-hati (culpa).
Kesengajaan memiliki tiga unsur, antara lain:
2.Akibat
1.Kesengajaan sebagai maksud untuk mencapai suatu tujuan (opzet als oogmerk) atau dolus
directus
Dalam kesengajaan ini, si pelaku benar-benar menghendaki untuk mencapai suatu akibat
yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman. Maka dari itu si pelaku pantas
dikenakan hukuman pidana.
Dalam kesengajaan ini, si pelaku berbuat sesuatu tidak bertujuan untuk mencapai akibat,
namun si pelaku sadar bahwa akibat pasti akan mengikuti perbuatan itu.
Sedangkan, culpa adalah “kesalahan pada umumnya”, tetapi dalam ilmu pengetahuan
hukum memiliki arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan yang dilakukan oleh pelaku tindak
pidana tetapi tidak seberat seperti kesengajaan (dolus). Si pelaku kurang berhati-hati dalam
berbuat sesuatu sehingga terjadilah akibat yang tidak disengaja. Bentuk-bentuk culpa antara
lain:
Si pelaku telah menduga akan timbul suatu akibat dari perbuatannya, namun usaha
pencegahan dari si pelaku sia-sia dan akibat tersebut muncul juga.
Pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana dikenal dengan adanya tiga unsur pokok,
yaitu:
1.Unsur perbuatan
Perbuatan atau tindakan seseorang. Perbutan orang ini adalah titik penghubung dan dasar
untuk pemberian pidana.
5
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 2001,
hlm. 40.
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2003, hlm. 64.
Ibid, hlm 65.
Tri Andrisman, Hukum Pidana Asas-Asas dan Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Unila, 2009, hlm 101-
102.
Orang atau pelaku adalah subjek tindak pidana atau seorang manusia. Maka hubungan ini
mengenai hal kebatinan, yaitu hal kesalahan si pelaku tindak pidana. Hanya dengan hubungan
batin ini, perbuatan yang dilarang dapat dipertanggungjawabkan pada si pelaku dan baru akan
tercapai apabila ada suatu tindak pidana yang pelakunya dapat dijatuhi hukuman.
Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan
yang memenuhi syarat tertentu itu.
Menurut KUHP dan di luar KUHP, jenis pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10
memiliki dua jenis, yaitu:
1.Pidana mati;
2.Pidana penjara;
3.Pidana kurungan;
4.Pidana denda;
Pemidanaan merupakan tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam
hukum pidana. Menurut Sudarto , pemberian pidana in abstracto yaitu menetapkan stelsel
sanksi hukum pidana yang menyangkut pembentuk undang-undang. Sedangkan, pemberian
pidana in concreto menyangkut berbagai badan yang keseluruhannya mendukung dan
melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana itu.
Teori Pemidanaan memiliki tiga teori utama, antara lain: 6
Dalam teori pembalasan pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis layaknya memperbaiki
penjahat, melainkan kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk
dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada karena dilakukannya suatu kejahatan. Pidana
merupakan tuntutan mutlak, maka dari itu menjadi keharusan untuk dijatuhkan. Dalam teori
ini, pidana merupakan pembalasan.
Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan
akibatnya yaitu tujuan untuk prevensi terjadinya kejahatan. Sementara itu, prevensi
dibedakan menjadi dua, yaitu prevensi umum dan khusus. Prevensi umum menghendaki agar
setiap orang tidak melakukan delik. Sedangkan prevensi khusus merupakan:
1.Pidana harus memiliki unsur menakut-nakuti agar mencegah penjahat yang memiliki
kesempatan untuk tidak melaksanakan kejahatan.
3.Pidana memiliki unsur membinasakan pelaku tindak pidana yang tidak mungkin diperbaiki.
Dalam teori ini, ada yang menitikberatkan pada unsur pembalasan, pertahanan tata tertib
masyarakat, maupun yang memandang sama antara pembalasan dan pertahanan tata tertib
masyarakat.
G.Metode Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,
sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untu mempelajari suatu atau beberapa
gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu maka juga diadakan
6
Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Nusa Media, Bandung, 2013, hlm. 97.
Ibid, hlm. 77.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm.41.
pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan
suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan.
Adapun metode penelitian yang digunakan oleh penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1.Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai dalam permasalahan ini menggunakan hukum normatif atau
penelitian hukum doktrinal. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dikonsepkan
sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum
dikonsepkan sebagai kaidah norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang
dianggap pantas. Sumber data yang digunakan dalam penelitian normatif adalah data
sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer; bahan hukum sekunder; atau data tersier.
2.Pendekatan Penelitian
Penelitian terhadap konsep-konsep hukum seperti sumber hukum, fungsi hukum, lembaga
hukum, dan sebagainya. Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-
doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Pendekatan ini menjadi penting sebab
pemahaman terhadap pandangan/doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum dapat menjadi
pijakan untuk membangun argumentasi hukum ketika menyelesaikan isu hukum yang
dihadapi. Pandangan/doktrin akan memperjelas ide-ide dengan memberikan pengertian-
pengertian hukum, konsep hukum, maupun asas hukum yang relevan dengan permasalahan.
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas. Dalam penelitian ini,
bahan hukum yang digunakan yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan
Perundang-undangan lain yang terkait.
Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang merupakan hukum tidak
resmi. Publikasi tersebut terdiri atas : (a) buku-buku teks yang membicarakan suatu dan/atau
beberapa permasalahan hukum, termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukukm, (b) kamus -
kamus hukum, (c) jurnal-jurnal hukum, (d) komentar-komentar atas putusan hakim.
Bahan Hukum Tersier yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan sekunder. Contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumultif,
da;n seterusnya.
Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan studi kepustakaan (library
research) yaitu pengumpulan data-data dengan membaca dan mempelajari peraturan
perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi, buku-buku maupun literatur-literatur yang
berkaitan dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, juga pendapat para tokoh
atau para ilmuan.
Teknik analisis yang dilakukan adalah analisis dan kontruksi data sekunder secara deskriptif
kualitatif, yaitu data yang telah terkumpul dianalisis dengan cara menghubungkan setiap kata
secara jelas, efektif, dan sistematis. Dimana objek yang diteliti dan dipelajari adalah
Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pengedar Benih Padi Non-Sertifikasi dan Label.
Penarikan kesimpulan dilakukan dengan cara metode berpikir deduktif yaitu cara berpikir
dengan menarik kesimpulan dari suatu proposisi atau data-data yang bersifat umum atau
kebenarannya telah diketahui (diyakini) dan berakhir pada data-data atau kesimpulan
(pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Padi adalah bahan makanan yang menghasilkan beras. Tanaman padi merupakan tanaman
semusim dan termasuk golongan rumput-rumputan dengan klasifikasi sebagai berikut:
1. Oryza Sativa L
Benih merupakan biji yang dipersiapkan untuk tanaman yang telah melalui proses seleksi,
sehingga diharapkan dapat mencapai proses tumbuh yang besar. Dalam budidaya tanaman
padi, pembenihan merupakan salah satu faktor pokok yang harus diperhatikan, sebab faktor
tersebut sangat menentukan besarnya produksi. Benih padi merupakan gabah yang dihasilkan
dengan cara dan tujuan khusus untuk disemaikan menjadi pertanaman. Kualitas benih
ditentukan dalam proses perkembangan dan kematangan benih, panen dan perontokan,
pembersihan, pengeringan, penyimpanan benih sampai fase pertumbuhan di persemaian.
2. Sertifikasi Benih Padi
Dalam sistem pertanian di Indonesia, petani menggunakan benih yang berasal dari dua sistem
perbenihan, yaitu perbenihan formal (sumber benih bersertifikat) dan perbenihan informal
(sumber benih tidak bersertifikat). Benih bersertifikat merupakan benih yang terjamin
mutunya dan juga bebas dari bibit penyakit. Ada 4 macam benih sertifikat, yaitu:
a. Benih Penjenis
Benih penjenis (BS) merupakan benih yang di produksi oleh dan dibawah pengawasan
Pemulia Tanaman yang bersangkutan atau Instansinya. Benih ini merupakan sumber
perbanyakan dari Benih Dasar.
b. Benih Dasar
Benih Dasar (BD) merupakan keturunan pertama dari Benih Penjenis. Benih Dasar di
produksi di bawah bimbingan yang intensif dan pengawasan yang ketat sehingga kemurnian
varietas dapat terpelihara. Benih Dasar di produksi oleh Instansi/Badan yang ditunjuk oleh
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan produksinya disertifikasi oleh Balai Pengawasan
dan Sertifikasi Benih.
c. Benih Pokok
Benih Pokok (BP) merupakan keturunan dari Benih Penjenis atau Benih Dasar yang
diproduksi dan dipelihara sedemikian rupa sehingga identitas dan tingkat kemurnian varietas
yang ditetapkan dapat dipelihara dan memenuhi standar mutu yang ditetapkan dan harus
disertifikasi sebagai Benih Pokok oleh Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih.
d. Benih Sebar
Benih Sebar (BS) merupakan keturunan dari Benih Penjenis, Benih Dasar atau Benih Pokok
yang diproduksi dan dipelihara sedemikian rupa sehingga identitas dan tingkat kemurnian
varietas dapat dipelihara, memenuhi standar mutu benih yang ditetapkan serta harus
disertifikasi sebagai Benih Sebar oleh Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih.
Perbenihan formal dan informal memiliki perbedaan, ciri-ciri perbenihan formal antara lain:
c. Informasi mutu benih sangat jelas dann dipasarkan dalam kemasan yang teridentifikasi;
a. Menggunakan benih hasil panen sendiri atau barter dengan petani lain;
Jika dilihat perbedaan perbenihan formal dan informal tersebut, pemakaian benih bersertifikat
memiliki banyak manfaat, namun masih banyak ditemukan petani yang tidak
mempergunakan benih bersertifikat. Alasan petani memakai benih bersertifikat antara lain:
Sementara itu, alasan petani tidak memakai benih bersertifikat antara lain:
b. Mutu benih tidak berbeda jauh dengan benih yang tidak bersertifikat;
Sertifikasi benih merupakan suatu cara pengawasan mutu benih, baik di lapangan maupun di
laboratorium, untuk menjamin tingkat kemurnian benih dengan pemberian sertifikat/label.
Sertifikasi benih memiliki tujuan untuk melindungi keaslian dan kemurnian varietas selama
proses produksi dan pemasaran agar potensi genetik dapat sampai secara utuh kepada
konsumen. Dalam pelaksanaan sertifikasi benih, varietas yang disertifikasi harus varietas
unggul yang telah mendapat pengesahan dan pengakuan keunggulan yang dimilikinya.
Selama di pertanaman, benih telah mendapat pengujian lapangan yaitu pengujian kemurnian,
keseragaman dan kebersihan pertanaman. Setelah dilakukan pengujian lapangan, selanjutnya
dilakukan pengujian laboratorium yaitu pengujian kemurnian varietas dan fisik, kadar air dan
daya kecambah. Sertifikasi benih memiliki prinsip-prinsip, antara lain:
a. Penerimaan varietas ke dalam skim sertifikasi. Hanya varietas yang resmi telah dilepas
yang dapat dimasukkan ke dalam skim.
b. Penentuan kelas-kelas benih yang terbagi dalam dua kelas, yaitu benih penjenis yang
diproduksi di bawah tanggung jawab pemulia dan benih bersertifikat generasi pertama serta
generasi selanjutnya yang merupakan keturunan dari benih penjenis.
c. Pengendalian mutu dalam proses produksi Benih Penjenis dan Benih Bersertifikat.
e. Pelabelan ulang (relabelling) dan resealling di negara lain (untuk benih yang akan di
ekspor/impor).
Adapun sasaran yang ingin dicapai dalam kegiatan sertifikasi benih, antara lain:
c. Membantu para petani mendapatkan benih yang diinginkan yang terjamin kebenaran
varietas dan mutunya.
Ketika pengedar benih ingin mensertifikasi benihnya, ada beberapa proses yang harus dilalui,
yaitu:
a. Pemeriksaan:
5. Tercampurnya benih;
b. Pengujian laboratorium untuk menguji mutu benih yang terdiri atas mutu fisik, fisiologis,
dan/atau tanpa kesehatan benih, sedangkan untuk kemurnian genetik diambilkan dari hasil
pemeriksaan lapangan; dan
a. UPTD;
b. Produsen Benih Bina yang mendapat sertifikat dari Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu; atau
Berikut adalah tata cara dan ketentuan umum sertifikasi benih bina, yaitu:
Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPSBTPH)
adalah suatu instansi pemerintah yang memperoleh izin untuk melakukan sertifikasi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang dimaksud dengan memperoleh
izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan adalah apabila seseorang atau Badan
Hukum yang bersangkutan harus memiliki tenaga terampil, alat dan laboratorium yang
diperlukan yang telah di akreditasi oleh Badan Agribisnis Departemen Pertanian.
Setiap kegiatan sertifikasi yang dilakukan oleh instansi pemerintah BPSBTPH harus
melaporkan kegiatannya secara berkala kepada Direktorat Jenderal Tanaman Pangan.
Sedangkan untuk perorangan atau Badan Hukum yang melakukan sertifikasi harus
melaporkan kegiatannya secara berkala kepada instansi pemerintah BPSBTPH untuk
dipergunakan sebagai bahan laporan kepada Direktorat Jenderal Tanaman Pangan.
1. Penangkar yang berasal dari suatu badan/instansi hukum yang melakukan proses produksi
padi, misalnya BBI, UPB
Benih yang dihasilkan oleh penangkar yaitu benih penjenis, benih dasar, benih pokok dan
benih sebar. Tetapi, Benih Penjenis (BS) tidak sembarangan penangkar mampu
memproduksinya sebab benih penjenis hanya dihasilkan oleh penangkar yang terdiri dari
Badan Hukum/Instansi atau pemulia bukan penangkar yang terdiri dari perorangan.
Sedangkan benih dasar, benih pokok dan benih sebar bisa diproduksi oleh penangkar
perorangan saja.
2. Penangkar benih menyampaikan permohonan untuk sertifikasi benih paling lambat 1 bulan
sebelum tanam kepada Sub Direktorat Pembinaan Mutu Benih atau cabang-cabangnya
dengan mengisi formulir yang ditetapkan.
3. Areal sertifikasi harus diperiksa oleh seorang pengawas benih yang diberi wewenang oleh
Sub Direktorat Pembinaan Mutu Benih, sebelum persetujuan atas permohonan sertifikasi
dikeluarkan.
Setelah syarat-syarat permohonan telah dipenuhi, langkah berikutnya yaitu permohonan izin
memproduksi benih bersertifikat yang diajukan oleh produsen benih dengan mengisi formulir
yang berlaku kepada BPSBTPH paling lambat 10 hari sebelum permohonan menabur atau
menyemai benih. Sedangkan kegiatan yang dilakukan selama 10 hari sebelum
penaburan/penyemaian yaitu pengawas benih melakukan pemeriksaan sejarah lahan yang
digunakan, kebenaran label benih sebelumnya, luas lahan
dan lain sebagainya. Setelah itu baru bisa dilaksanakan pemeriksaan lapangan pendahuluan.
1. Label benih sumber yang akan ditanam, khusus untuk memproduksi Benih Dasar (BD)
harus melampirkan keterangan mengenai Benih Penjenis (BS) dari penyelenggara pemulia
tanaman yang bersangkutan.
3. Lahan Sertifikasi
a. Luas, letak serta batas-batas yang jelas seperti parit, pematang, jalan dan lain-lain.
b. Satu kelompok lahan sertifikasi hanya boleh ditanami dengan satu kelas benih dan satu
varietas saja.
c. Sejarah penggunaan lahan sebelumnya dan harus memenuhi persyaratan untuk masing-
masing varietas.
d. Satu area sertifikasi dapat terdiri dari beberapa unit yang terpisah, namun jarak antara satu
unit dengan unit lainnya tidak lebih dari 10 meter dan tidak terpisah oleh varietas lain.
4. Pemeriksaan Dokumen
Tujuan pemeriksaan dokumen adalah untuk mendapat kepastian bahwa data yang diberikan
dalam permohonan sertifikasi harus sesuai dengan keadaan di lapangan. Pemeriksaan tersebut
dilakukan sebelum benih disebar atau ditanam dan diperiksa oleh pengawas benih.
5. Pemeriksaan Lapangan
Pemeriksaan lapangan yang dilakukan oleh pengawas sebanyak empat kali yaitu pemeriksaan
pendahuluan, pemeriksaan fase vegetatif, pemeriksaan fase berbunga dan pemeriksaan fase
masak. Tujuan dilakukannya pemeriksaan lapangan untuk:
c. Menilai kesehatan benih dari hama/penyakit yang dapat ditularkan melalui benih.
6. Pemeriksaan Alat Tanam dan Panen, Tempat Penyimpanan dan Tempat Pengolahan Benih
Tujuan dari pemeriksaan Alat Tanam dan Panen, Tempat Penyimpanan dan Tempat
Pengolahan Benih adalah untuk mendapatkan kepastian bahwa benih yang akan diolah
terhindar dari kemungkinan terjadinya percampuran varietas, sehingga kemurniannya dapat
terjamin. Adapun syarat-syarat penyimpanan antara lain:
b. Wadah tempat penyimpanan benih harus bersih, kering dan bebas hama. Karung tempat
penyimpanan benih sebaiknya yang baru.
c. Dinding gudang tidak boleh banyak celah karena dapat dijadikan tempat persembunyian
hama.
d. Sekeliling gudang tidak boleh ada tanaman-tanaman dan semak-semak agar tidak lembab
sehingga tidak bisa dipergunakan tikus.
g. Letak gudang harus strategis dan bangunannya memanjang ke arah timur barat.
h. Ventilasi harus cukup baik agar dapat membuang udara panas atau kelembaban tertentu.
k. Wadah harus disusun dengan teratur agar jumlahnya dapat dihitung dengan tepat.
8. Pemberian Sertifikat
Sertifikat diberikan jika suatu kelompok benih yang telah memenuhi semua persyaratan pada
setiap tahapan pemeriksaan, sehingga keluarlah suatu laporan lengkap hasil pengujian benih
yang merupakan sertifikat untuk kelompok benih tersebut.
a. Sumber benih yang diperlukan sesuai dengan kelasnya tidak selalu tersedia.
b. Jika ditinjau dari sejarah lapangan, lahan/lokasi pertanaman tidak memenuhi syarat.
d. Keadaan sosial ekonomi para petani yang sangat berpengaruh pada penyerapan pasar benih
yang berlabel (Benih hasil Sertifikat).
Label merupakan keterangan tertulis dalam bentuk cetakan yang memuat identitas mutu
benih dan masa akhir edar benih. Pemasangan label sangat penting sebelum benih siap
diedarkan. Seperti yang dirumuskan dalam Penjelasan Pasal 13 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman, label adalah keterangan tertulis
yang diberikan pada benih atau benih yang sudah dikemas yang akan diedarkan dan memuat
antara lain tempat asal benih, jenis dan varietas tanaman, kelas benih, data hasil uji
laboratorium, serta akhir masa edar benih. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
pemasangan label terhadap benih antara lain:
a. Mudah dilihat, dibaca, tidak mudah rusak dan dalam bahasa Indonesia ;
b. Paling sedikit memuat keterangan jenis dan varietas tanaman, kelas benih, data kemurnian
genetik dan mutu benih, akhir masa edar benih, serta nama dan alamat produsen.
Label yang disediakan oleh produsen benih harus dilegalisasi terlebih dahulu oleh Perangkat
Daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan di bidang Pengawasan dan Sertifikasi
Benih. Produsen benih padi dapat memberi label sendiri pada benih miliknya jika ia telah
memiliki sertifikat dari Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Mutu. Selain itu,
pemasangan label diawasi oleh Pengawas Benih Tanaman atau Pengawas Mutu Pakan.
Pemasangan label tidak mutlak diberikan pada benih yang lulus uji, tetapi sesuai dengan
keinginan penangkar/pemohon. BPSBTPH harus mengetahui jumlah benih yang harus diberi
label agar tidak terjadi kesalahan. Pemasangan label harus dilakukan oleh penangkar dan
diawasi oleh pengawas benih. BPSBTPH mempunyai ketentuan dalam pemberian label
berdasarkan kelas benih, antara lain:
c. jenis;
d. varietas;
e. jumlah wadah;
f. isi kemasan;
h. nama; dan
i. alamat produsen.
B. Tinjauan Umum Pertanggungjawaban Pidana
Kemampuan bertanggung jawab yaitu kondisi batin yang normal atau sehat dan akal
seseorang yang mampu membedakan hal-hal yang baik dan buruk atau dengan kata lain
mampu menginsyafi sifat melawan hukumnya suatu perbuatan dan mampu menentukan
adanya kemampuan bertanggung jawab yang merupakan faktor akal dan faktor kehendak.
Melalui akal, dapatlah dibedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan tidak, sedangkan
melalui kehendak, dapat menyesuaikan tingkah laku dengan keinsyafan atas sesuatu yang
diperbolehkan dan tidak. Keadaan batin yang normal atau sehat dapat ditentukan oleh faktor
akal si pelaku yang mampu membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak.
Kemampuan tersebut menyebabkan pelaku dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya
sesuai dengan hukum pidana karena akal si pelaku yang sehat dapat membimbingnya untuk
menyesuaikan dengan ketentuan hukum.
Menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, unsur-unsur kemampuan bertanggung jawab antara
lain:
1) Keadaan jiwanya:
b. Tidak memiliki kecacatan dalam pertumbuhannya (gagu, idiot dan sebagainya); dan
c. Tidak sedang dalam keadaan terkejut, hipnotisme, amarah yang meledak-ledak, pengaruh
alam bawah sadar (reflexe bewenging), melindur (slaapwandel), mengigau karena demam
(koorts), dan lain sebagainya. Dapat dikatakan bahwa seseorang harus dalam keadaan sadar.
2) Kemampuan jiwanya:
Dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP terdapat rumusan mengenai kemampuan bertanggung jawab,
yaitu: “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak
dipidana”
b. Kesalahan
a. Kesalahan Psikologis
Dalam kesalahan psikologis, kesalahan hanya dipandang sebagai hukum psikologis (batin)
antara si pembuat dengan perbuatannya.
b. Kesalahan Normatif
Dalam kesalahan normatif, kesalahan tidak hanya dipandang berdasarkan psikologis atau
batin si pelaku saja, melainkan terdapat penilaian normatif si pelaku. Penilaian normatif
merupakan penilaian dari luar mengenai hubungan antara pelaku dan perbuatannya. Yang
dimaksud penilaian dari luar merupakan penilaian yang terdapat dalam masyarakat.
Kesalahan memiliki dua bentuk, yakni kesengajaan dan kelalaian. Berikut ini akan dijabarkan
mengenai kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa).
1) Kesengajaan (dolus)
Dalam teori ini, kesengajaan ada jika perbuatan dan akibat dari suatu tindak pidana di
kehendaki oleh pelaku.
b. Teori bayangan (voorstellen-theorie)
Dalam teori ini, kesengajaan terjadi ketika pelaku pada waktu mulai melakukan perbuatan
ada bayangan yang jelas bahwa akibat si pelaku akan tercapai. Maka dari itu, si pelaku
menyesuaika antara perbuatan dan akibatnya.
2) Akibat
1) Kesengajaan sebagai maksud untuk mencapai suatu tujuan (opzet als oogmerk) atau dolus
directus
Dalam kesengajaan ini, si pelaku benar-benar menghendaki untuk mencapai suatu akibat
yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman. Maka dari itu si pelaku pantas
dikenakan hukuman pidana.
Dalam kesengajaan ini, si pelaku berbuat sesuatu tidak bertujuan untuk mencapai akibat,
namun si pelaku sadar bahwa akibat pasti akan mengikuti perbuatan itu.
2) Kelalaian (culpa)
Si pelaku telah menduga akan timbul suatu akibat dari perbuatannya, namun usaha
pencegahan dari si pelaku sia-sia dan akibat tersebut muncul juga.
Daya paksa diatur dalam Pasal 48 KUHP. Dalam KUHP sendiri tidak dirumuskan pengertian
daya paksa, tetapi dalam Memorie van Toelichting (MvT) daya paksa merupakan kekuatan
dan dalam posisi terjepit (dwangpositie)
2) Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas (Noodweer exces) dalam Pasal 49 ayat (2)
KUHP
Pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas, pelaku melampaui batas karena jiwanya
terguncang dengan hebat. Perbuatan membela diri yang melampaui batas tetap melawan
hukum, tetapi si pelaku tidak dipidana karena jiwanya terguncang dengan hebat. Maka dari
itu, pembelaan terpaksa yang melampaui batas menjadi dasar pemaaf, sedangkan pembelaan
terpaksa adalah dasar pembenar karena tidak adanya sifat melawan hukum.
3) Menjalankan Perintah Jabatan Yang Tidak Sah, Tetapi Terdakwa Mengira Perintah Itu Sah
(Pasal 51 ayat (2) KUHP)
Dalam hal ini, perintah berasal dari penguasa yang tidak berwenang, namun si pelaku
beranggapan bahwa perintah tersebut berasal dari penguasa yang berwenang. Pelaku dapat
dimaafkan apabila pelaku melaksanakan perintah dengan itikad baik.
a. Kemampuan bertanggungjawab;
b. Pelanggaran terhadap kewajiban seseorang yang dalam hal ini ia bertingkah laku secara
layak kepada orang lain, yaitu berupa kelalaian yang bisa dituntut ke pengadilan.
1. Adanya suatu hubungan pekerjaan, contohnya hubungan antara majikan dan pekerja;
2. Tindak pidana yang dilakukan pekerja tersebut berkaitan dengan ruang lingkup
pekerjaannya.
Selain itu, pertanggungjawaban pidana pengganti memiliki dua prinsip, yaitu prinsip
pendelegasian (the delegation people) dan prinsip perbuatan buruh merupakan perbuatan
majikan (the servant’s act is the mater’s act in law).
C. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana
Pengertian mengenai tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dikenal
dengan istilah Strafbaarfeit, selai itu dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering
menggunakan istilah delik, sedangkan legislator merumuskan undang-undang menggunakan
istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana.
Para sarjana menyebut istilah strafbaarfeit untuk mengartikan “tindak pidana”. Feit dalam
bahasa Belanda artinya “sebagian dari suatu kenyataan” atau een gedeelte van de
werkelijkheid, sedangkkan strafbaar artinya dapat dihukum. Maka dari itu strafbaarfeit
artinya “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”.
Penjelasan secara rinci mengenai tindak pidana dirumuskan oleh beberapa ahli hukum pidana
Belanda. Menurut Pompe, tindak pidana merupakan pelanggaran norma yang diadakan
karena pelanggar melakukan kesalahan, baik dengan sengaja maupun tidak dan harus
dihukum untuk menegakkan aturan hukum dan terjaminnya kesejahteraan umum. Menurut
Simons, tindak pidana adalah perbuatan yang melawan hukum, baik disengaja maupun tidak
disengaja yang dapat bertanggung jawab atas perbuatannya dan oleh undang-undang
dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum.
Maka dari itu, tindak pidana dapat diartikan sebagai suatu dasar pokok penjatuhan pidana
kepada orang yang melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggungjawaban seseorang
atas perbuatan yang telah dilakukannya. Mengenai perbuatan yang dilarang dan diancam
dalam perbuatan pidananya sendiri, harus berdasarkan pada asas legalitas (Principle of
legality), yaitu asas yang menentukan bahwa tidak adanya perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana bila tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan
yang dalam bahasa Latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali
(tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu).
Sebelum membahas mengenai unsur tindak pidana, ada baiknya membahas mengenai aliran
yang berkaitan dengan unsur-unsur tindak pidana yang terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Aliran Monistis
Aliran monistis merupakan suatu aliran yang mensyaratkan pidana harus mencakup dua hal,
yaitu sifat dan perbuatan. Aliran ini memberikan prinsip-prinsip pemahaman bahwa dalam
pengertian perbuatan atau tindak pidana sudah mencakup perbuatan yang dilarang (criminal
act) dan pertanggungjawaban pidana atau kesalahan (criminal responbility).
b. Aliran Dualistis
Aliran ini memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Dalam
tindak pidana hanya mencakup criminal act, sedangkan criminal responbility tidak menjadi
unsur tindak pidana. Untuk menyatakan sebuah perbuatan sebagai tindak pidana cukup
dengan adanya perbuatan yang dirumuskan dalam undang-undang yang memiliki sifat
melawan hukum tanpa adanya unsur pembenar.
Setiap tindak pidana yang dirumuskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun
dalam undang-undang dapat dijabarkan dalam bentuk unsur-unsur yang dibagi menjadi dua,
yaitu unsur subjektif dan objektif. Unsur subjektif merupakan unsur yang melekat pada diri si
pelaku dan segala sesuatu yangg terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud
dengan unsur objektif adalah unsur yang berkaitan dengan keadaan mana dari tindakan si
pelaku tersebut harus dilakukan.
2. maksud atau voornemen pada suatu percobaan (poging) seperti dalam Pasal
2. Kualitas dari si pelaku, misalnya “Keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam
kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris
dari suatu perseroan terbatas” dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.
a. Menurut sistem KUHP, adanya pembedaan antara kejahatan yang dimuat dalam buku II
dan pelanggaran yang dimuat dalam buku III.
Kejahatan dan pelanggaran diberi pembedaan karena ancaman pidana pada pelanggaran lebih
ringan daripada kejahatan. Selain itu, kejahatan merupakan delik-delik yang melanggar
kepentingan hukum dan menimbulkan bahaya secara kongkrit, sedangkan pelanggaran hanya
membahayakan secara in abstracto saja.
b. Menurut cara merumuskannya, dibedakan menjadi tindak pidana formil dan materil.
Tindak pidana formil merupakan tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga
memberikan penjelasan bahwa inti larangan yang dirumuskan adalah melakukan suatu
perbuatan tertentu, sedangkan tindak pidana materil menimbulkan akibat yang dilarang.
c. Berdasarkan bentuk kesalahan, yaitu tindak pidana sengaja (dolus) dan tindak pidana tidak
dengan sengaja (culpa).
d. Berdasarkan macam perbuatannya, yaitu tindak pidana aktif/positif (tindak pidana komisi)
dan tindak pidana pasif/negatif (tindak pidana omisi).
Tindak pidana aktif merupakan tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif.
Perbuatan aktif itu sendiri merupakan perbuatan yang mensyaratkan adanya gerakan dari
anggota tubuh orang yang berbuat. Sedangkan tindak pidana pasif dibagi menjadi dua
macam, yaitu tindak pidana pasif murni dan tindak pidana pasif tidak murni. Tindak pidana
pasif murni merupakan tindak pidana yang unsur perbuatannya semata-mata berupa
perbuatan pasif. Sementara itu, tindak pidana pasif tidak murni merupakan tindak pidana
berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan dengan tidak berbuat aktif.
e. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, dibedakan menjadi tindak pidana terjadi
seketika (aflopende delicten) dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung
terus-menerus (voordurende delicten).
Tindak pidana umum merupakan tindak pidana yang terdapat dalam Buku II dan Buku III
KUHP, sedangkan tindak pidana khusus merupakan tindak pidana diluar KUHP.
g. Dilihat dari subjeknya, dibedakan menjadi tindak pidana communia (tindak pidana yang
dilakukan oleh semua orang) dan tindak pidana propria (tindak pidana yang hanya dilakukan
oleh orang yang berkualitas tertentu, misalnya pegawai negeri pada kejahatan jabatan).
h. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, dibedakan menjadi tindak
pidana biasa dan tindak pidana aduan.
Tindak pidana biasa merupakan tindak pidana yang dapat dilakukan penuntutan tanpa adanya
pengaduan dari pihak yang berhak, sedangkan tindak pidana aduan merupakan tindak pidana
yang dapat dilakukan penuntutan jika sudah ada pengaduan terlebih dahulu oleh pihak yang
berhak.
j. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, yang tidak memiliki batas dalam
pengkualifikasian macamnya karena sangat tergantung pada kepentingan hukum yang
dilindungi dalam suatu peraturan perundang-undangan.
k. Dari sudut berapa kali suatu perbuatan agar menjadi suatu larangan, dibedakan menjadi
tindak pidana tunggal dan tindak pidana berangkai.
Tindak pidana tunggal merupakan tindak pidana yang mana si pelaku dipidana apabila
melakukan satu kali perbuatan saja, sedangkan tindak pidana berangkai merupakan tindak
pidana yang mana si pelaku dipidana apabila melakukan perbuatan yang dilarang secara
berulang.
Menurut Hart, terdapat lima elemen yang berkaitan dengan pemidanaan, yaitu:
5. Pidana dipaksakan oleh penguasa yang berwenang dalam sistem hukum terhadap
pelanggaran yang dilakukan.
a. Pidana Pokok
Dalam Pasal 10 KUHP, pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana
kurungan, pidana denda dan pidana tutupan. Hakim dilarang menjatuhkan lebih dari satu
pidana pokok. Maka dari itu dalam KUHP ancaman pidana bersifat alternatif antara pidana
penjara dan pidana denda.
1) Pidana Mati
Pidana mati hanya ditujukan pada kejahatan-kejahatan luar biasa atau kejahatan kejahatan
biasa yang dilakukan secara terencana dan sadis di luar batas-batas kemanusiaan. Pidana mati
merupakan sanksi yang bersifat khusus. Pidana mati dilaksanakan apabila terpidana dalam
jangka waktu 10 tahun tidak menunjukkan perilaku lebih baik.
2) Pidana Penjara
Pidana penjara merupakan salah satu bentuk pidana perampasan kemerdekaan yang
dijatuhkan oleh hakim melalui putusan pengadilan. Berdasarkan Pasal 12 KUHP, pidana
penjara dibagi menjadi dua, yaitu pidana penjara seumur hidup dan sementara waktu. Pidana
penjara seumur hidup artinya terpidana menjalani pidana penjara sampai meninggal dunia,
sedangkan pidana penjara sementara waktu minimal sehari dan maksimal 15 tahun.
3) Pidana Kurungan
Menurut Pasal 18 KUHP, pidana kurungan paling singkat satu hari dan paling lama satu
tahun. Pidana kurungan dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan jika terjadi
pemberatan pidana karena perbarengan ataupun pengulangan. Sama halnya dengan pidana
penjara, orang yang menjalani pidana kurungan wajib menjalankan pekerjaan yang diberikan
kepadanya namun lebih ringan daripada orang yang menjalani pidana penjara.
4) Pidana Denda
Dalam Pasal 30 KUHP, pidana denda paling sedikit dua puluh lima sen. Pidana denda dapat
diganti dengan pidana kurungan apabila tidak mampu membayar. Pidana kurungan pengganti
paling singkat satu hari dan paling lama enam bulan. Jika terdapat pemberatan pidana denda
karena perbarengan atau pengulangan, maka pidana kurungan pengganti paling lama delapan
bulan.
b. Pidana Tambahan
Terpidana tidak boleh dijatuhi pidana tambahan tanpa pidana pokok, namun pidana pokok
boleh diberikan tanpa pidana tambahan. Pidana tambahan dalam KUHP antara lain:
Berikut adalah hak-hak terpidana yang bisa dicabut sebagai pidana tambahan:
c. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan;
d. Hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali,
wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas orang yang bukan anak sendiri;
e. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak
sendiri;
a. Barang-barang milik terpidana yang didapat dari hasil kejahatan atau yang sengaja
digunakan untuk melakukan kejahatan;
c. Perampasan yang dilakukan terhadap orang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah,
tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.
Seperti yang dirumuskan dalam Pasal 43 KUHP, apabila hakim memerintahkan supaya
putusan diumumkan berdasarkan KUHP atau aturan-aturan umum lainnya, maka harus pula
ditetapkan bagaimana dara melaksanakan perintah itu atas biaya terpidana.
Pidana bersyarat bertujuan untuk melindungi masyarakat, mencegah terjadinya kejahatan dan
menjaga keselamatan masyarakat. Sedangkan pelepasan bersyarat diberikan kepada
narapidana yang berkelakuan baik. Kewenangan untuk memberikan hak tersebut ada pada
negara.
Setelah mengetahui jenis-jenis pidana, maka berikut akan diuraikan tujuan dari pemidanaan,
yaitu:
b. Mendidik atau memperbaiki orang yang suka melakukan kejahatan sehingga bermanfaat
bagi masyarakat;
PEMBAHASAN
1. Subjek Hukum Yang Dapat Dimintakan Pertanggungjawaban Pidana Pengedar Benih Padi
Non-Sertifikasi dan Label
Indonesia adalah negara hukum, yang artinya mengakui setiap orang sebagai diakui sebagai
subjek hukum. Hal ini diperkuat dalam Pasal 27 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 yang menyatakan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya. Subjek hukum merupakan segala sesuatu yang menurut hukum dapat
menjadi pendukung hak dan kewajiban. Subjek hukum memiliki kewenangan bertindak
menurut tata cara yang sesuai
dengan hukum yang berlaku. Subjek hukum dibagi menjadi dua pengertian, yaitu:
a. Natuurlijke persoon atau menselijk, yang artinya orang dalam bentuk manusia atau
manusia pribadi.
b. Rechts persoon, yang artinya orang dalam bentuk badan hukum atau orang yang diciptakan
hukum secara fiksi atau persona ficta. Rechts persoon atau badan hukum dibagi menjadi dua,
yaitu:
1. Badan hukum publik (Publiek Rechts Persoon), yang mana sifatnya terlihat dari unsur
kepentingan publik yang ditangani oleh negara. Contoh dari badan hukum publik antara lain
negara, pemerintah daerah, desa, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan sebagainya.
2. Badan hukum privat (Privaat Rechts Persoon), yang mana sifatnya terdiri dari unsur-unsur
kepentingan individu dalam badan hukum swasta. Contoh dari badan hukum privat antara
lain Perseroan Terbatas (PT), firma, CV, badan koperasi, yayasan, BUMN/D, dan
sebagainya.
Dalam buku kedua dan buku ketiga KUHP, rumusan tindak pidana terdapat kata
“barangsiapa”. Pandangan klasik ilmu hukum pidana menyatakan bahwa kata “barangsiapa”
mengandung arti bahwa yang menjadi subjek hukum pidana atau yang dapat melakukan
tindak pidana pada umumnya adalah manusia. Selain itu juga sesuai dengan ketentuan Pasal
10 KUHP menunjukkan bahwa yang dapat dikenakan pidana pada umumnya adalah manusia.
Seiring perkembangan zaman, tindak pidana juga dapat dikenakan kepada badan hukum.
Bentuk pidana terhadap badan hukum tidak sama dengan manusia atau pribadi kecuali yang
harus di pidana adalah pengurus badan hukum. Maka dari itu, dalam Pasal 59 KUHP
merumuskan bahwa:
“Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-
anggota pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus atau komisaris yang ternyata
tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana.”
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, subjek hukum sebagai pengemban hak dan kewajiban
haruslah melaksanakan apa tugas yang diembannya dan tidak dapat melanggar kewajiban
tersebut. Dalam Pasal 43 Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
12/Pertanian/TP.020/04/2018 Tentang Produksi, Sertifikasi dan Peredaran Benih Tanaman
terdapat kewajiban Pengedar Benih, yaitu:
b. Melakukan pencatatan dan penyimpanan dokumen Benih Bina yang diedarkan selama 1
(satu) tahun; dan
c. Memberikan data atau keterangan yang diperlukan pengawas Benih Tanaman atau
pengawas mutu pakan.
Jika dilihat dari kewajiban yang diemban oleh pengedar benih tersebut, menjadi pengedar
benih bukanlah sesuatu yang mudah karena harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:
Maka dari itu, sangat sesuailah pengedar benih yang menjadi subjek pertanggungjawaban
pidana. Pengedar benih bina wajib menjaga mutu benih bina yang diedarkan. Mutu suatu
benih bina dapat dilihat dari sertifikat benih yang didapat melalui proses sertifikasi benih.
Berdasarkan Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
12/Pertanian/TP.020/04/2018 Tentang Produksi, Sertifikasi dan Peredaran Benih Tanaman,
Sertifikasi Benih adalah serangkaian pemeriksaan dan/atau pengujian dalam rangka
penerbitan Sertifikat Benih. Pengertian Sertifikat Benih sendiri tercantum dalam Pasal 1
angka 26 Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
12/Pertanian/TP.020/04/2018, yaitu
Setelah mengetahui siapa pelaku yang dapat dipertanggung jawabkan maka yang patut
diperhatikan selanjutnya adalah kemampuan bertanggung jawab. Jika dilihat dalam Pasal 44
KUHP, orang yang akan mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya haruslah keadaan
jiwanya sehat dan dalam segi kemampuan jiwa si pelaku harus mampu menginsyafi bahwa
perbuatannya tersebut merupakan perbuatan melawan hukum. Maka dari itu, sistem hukum
pidana Indonesia menganggap bahwa setiap orang mampu bertanggung jawab. Penegak
hukum tidak perlu membuktikan kemampuan bertanggung jawab pada diri pelaku. Jika
pelaku merasa tidak mampu bertanggung jawab maka hal itu haru dibuktikan oleh pelaku
sendiri atau penasihat hukumnya.
Pertanggungjawaban memiliki tiga jenis, antara lain pertanggungjawaban pidana berdasarkan
kesalahan (geen straf zonder schuld), pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan (strict
liability) dan pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability). Pertanggungjawaban
pidana berdasarkan kesalahan (geen straf zonder schuld) diberlakukan kepada subjek hukum
manusia. Hal ini diperkuat dalam rumusan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa:
“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat
pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang
dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas
dirinya”.
Dalam hal pengedar benih padi yang tak bersertifikat dan label, maka pertanggungjawaban
yang dilakukan adalah pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan (geen straf zonder
schuld). Pada hakikatnya, pertanggungjawaban pidana mengandung arti bahwa setiap orang
yang melakukan tindak pidana maka orang tersebut wajib mempertanggungjawabkan
perbuatannya sesuai dengan kesalahan yang diperbuat. Menurut ilmu hukum pidana,
kesalahan memiliki dua bentuk, yaitu kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa). Bentuk
kesalahan tersebut biasanya dirumuskan dalam Pasal Undang-Undang terkait tindak pidana
yang diperbuat pelaku. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 yang dalam Bab X
Ketentuan Pidana adanya pemisahan antara unsur kesengajaan (dolus) dan unsur kelalaian
(culpa) yang mana penjatuhan sanksi pidana antara tindak pidana yang dilakukan dengan
kesengajaan dan kelalaian terdapat perbedaan.
Selanjutnya unsur terakhir adalah tidak adanya alasan penghapus pidana pada diri si pelaku.
Jika ada alasan pemaaf pada diri pelaku, maka unsur kesalahan pelaku dapat dimaafkan
sehingga menjadi alasan penghapus pidana. Sudah menjadi tugas penasihat hukum pelaku
untuk membuktikan alasan penghapus pidana pada pelaku. Alasan penghapus pidana dapat
ditemukan dalam undang-undang maupun diluar undang-undang. Dalam hal tindak pidana
yang dilakukan oleh pengedar benih non-sertifikasi dan label terdapat alasan penghapus
pidana diluar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman
yaitu dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 99/PUU-X/2012. Dalam amar putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 99/PUU-X/2012 angka 1.6 menyatakan bahwa:
“Varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum diedarkan terlebih dahulu
dilepas oleh Pemerintah kecuali hasil pemuliaan oleh perorangan petani kecil dalam negeri”.
Dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya
Tanaman menyatakan bahwa:
“Varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum diedarkan terlebih dahulu
dilepas oleh pemerintah”.
Maka dari itu, alasan penghapus pidana hanya berlaku terhadap petani kecil yang
mengedarkan benih padi hasil dari kegiatan pemuliaan tanamannya.
B. Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pengedar Benih Padi Non-Sertifikasi dan Label
1. Perumusan Tindak Pidana Dalam Tindak Pidana Terhadap Pengedar Benih Padi Non-
Sertifikasi dan Label
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tindak pidana dibagi menjadi dua yaitu
kejahatan dan pelanggaran. Pembagian ini tidak secara tegas dirumuskan dalam KUHP tetapi
dapat kita lihat bahwa semua ketentuan dalam Buku II KUHP adalah kejahatan dan dalam
Buku III KUHP adalah pelanggaran. Pembagian tindak pidana menjadi kejahatan dan
pelanggaran bukan hanya merupakan dasar dalam KUHP saja, melainkan juga merupakan
dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan secara keseluruhan.
Kejahatan merupakan perbuatan yang bertentangan dan melanggar dengan apa yang telah
tercantum dalam peraturan. Dengan kata lain, kejahatan merupakan suatu bentuk perbuatan
dan tingkah laku yang melanggar aturan hukum dan undang-undang yang berlaku serta
melanggar norma sosial. Sedangkan pelanggaran merupakan tindakan atau perbuatan yang
sifat melawan hukumnya dapat diketahui setelah ada undang-undang yang merumuskan
mengenai pertentangan demikian.
Dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman
dijelaskan mengenai pemisahan antara tindak pidana kualifikasi kejahatan dan pelanggaran.
Pasal 60 ayat (1) dan Pasal 61 ayat (1) merupakan kualifikasi kejahatan sedangkan Pasal 60
ayat (2) dan Pasal 61 ayat (2) merupakan kualifikasi pelanggaran.
Tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana
tidak sengaja (culpose delicten) atau juga sering disebut dengan kelalaian (culpa). Contoh
tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur dalam KUHP antara lain Pasal 338 KUHP
(pembunuhan) yaitu dengan sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354
KUHP yaitu dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa), orang dapat
dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan matinya
seseorang, dan contoh lainnya terdapat dalam Pasal 188 KUHP dan Pasal 360 KUHP.
Tindak pidana pengedar benih padi non-sertifikasi dan label dalam Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman ada yang berbentuk kejahatan
sebagaimana yang sesuai dengan Pasal 60 ayat (1) huruf b dan ada yang berbentuk
pelanggaran sebagaimana yang sesuai dengan Pasal 60 ayat (2) huruf b. Dalam undang-
undang ini nampak bahwa tindak pidana kategori kejahatan dilakukan dengan kesengajaan
(dolus), sedangkan tindak pidana kategori pelanggaran dilakukan dengan kelalaian (culpa).
Menurut cara merumuskannya, tindak pidana dibedakan menjadi dua, yaitu tindak pidana
formil (Formeel Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil Delicten). Delik formil artinya
delik yang rumusannya dalam suatu pasal perundang-undangan lebih menerangkan pada
perbuatan yang dilarang tanpa harus ada akibat apapun dari perbuatan tersebut. Sedangkan
delik materil artinya delik yang rumusannya dalam suatu pasal perundang-undangan lebih
menekankan pada akibat yang dilarang. Oleh sebab itu, siapa yang menimbulkan akibat yang
dilarang, akibat itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana. Bedanya dengan delik
formil adalah akibat menjadi suatu syarat mutlak dari rumusan suatu pasal.
Dalam ketentuan Pasal 60 ayat (1) dan ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman merupakan kualifikasi delik formil, karena dalam
rumusan pasal tersebut hanya mencamtumkan perbuatan pelaku saja tanpa mencantumkan
akibat dari perbuatan pelaku. Dalam artian lain adalah seseorang yang melakukan suatu
tindak pidana pengedaran benih padi tanpa sertifikat dan label tanpa ada akibat yang
ditimbulkan dapat dikenakan pemidanaan sesuai dengan Pasal 60 ayat (1) dan ayat (2) huruf
b tersebut. Lain halnya dengan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) huruf c yang merupakan
kualifikasi delik materil. Dalam pasal tersebut mensyaratkan suatu perbuatan pelaku tindak
pidana menimbulkan gangguan dan kerusakan sumber daya alam, dan atau lingkungan hidup.
Rumusan pasal tersebut menghendaki seseorang melakukan tindak pidana dan menimbulkan
akibat seperti yang tercantum dalam pasal tersebut. Jika perbuatan pelaku hanya sebatas
perbuatan memelihara tanaman menggunakan sarana dan/atau cara yang mengganggu
kesehatan dan mengancam keselamatan manusia tanpa menimbulkan akibatnya seperti yang
tercantum dalam pasal tersebut maka berdasarkan ilmu hukum pidana si pelaku hanya
dikenakan pidana percobaan (poging). Poging pada umumnya berarti suatu usaha untuk
mencapai suatu tujuan namun akhir dari perbuatan tersebut belum tercapai. Selain itu, ahli
hukum lain seperti R. Soesilo menyatakan bahwa percobaan merupakan suatu kegiatan yang
menuju ke suatu hal namun tidak sampai pada hal yang akan dituju, atau seseorang yang akan
berbuat sesuatu dan kegiatan tersebut sudah dimulai, namun perbuatan tersebut tidak selesai.
Menurut macam perbuatannya, tindak pidana dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu
tindak pidana aktif (positif) dan tindak pidana pasif. Perbuatan aktif adalah perbuatan untuk
mewujudkan suatu tindak pidana disyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang
berbuat, misalnya dalam rumusan Pasal 362 KUHP dan Pasal 378 KUHP. Sedangkan tindak
pidana pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak pidana murni
adalah tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang unsur
perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya yang diatur dalam Pasal 224, 304 dan 552
KUHP. Tindak pidana tidak murni merupakan tindak pidana yang berupa tindak pidana
positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur
terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat sesuatu. Misalnya perbuatan seorang ibu yang
tidak menyusui bayinya sehingga bayi tersebut meninggal dikenakan Pasal 338 KUHP.
Dalam Pasal 60 ayat (1) dan ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992
Tentang Sistem Budidaya Tanaman jelas bahwa rumusan tindak pidana tersebut masuk dalam
kategori tindak pidana aktif. Hal ini dapat dilihat dari adanya kata “mengedarkan” dalam
pasal tersebut. Dalam Kamu Besar Bahasa Indonesia, mengedarkan artinya membawa
(menyampaikan) surat dan sebagainya dari orang yang satu kepada yang lain; membawa
berkeliling.
Selain pembagian jenis tindak pidana yang telah dijabarkan sebelumnya, terdapat kualifikasi
tindak pidana yang lain, yaitu delik laporan dan delik aduan. Menurut Pasal 1 angka 24 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), delik laporan merupakan pemberitahuan
yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang
kepada pejabat yang berwenang mengenai telah atau sedang diduga akan terjadi peristiwa
pidana. Sedangkan delik aduan berdasarkan Pasal 1 angka 25 KUHAP adalah pemberitahuan
yang disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang
untuk menindak menurut hukum seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang
merugikannya. Dilihat dari penjelasan KUHAP tersebut, delik laporan dan delik aduan
memiliki persamaan yaitu sama-sama dilakukan dengan pemberitahuan kepada pejabat yang
berwenang menerima laporan dan pengaduan. Perbedaannya adalah delik laporan,
pemberitahuannya bersifat umum dan melibatkan seluruh jenis tindak pidana. Sedangkan
delik aduan pemberitahuannya hanya terhadap tindak pidana yang berdasarkan undang-
undang mensyaratkan pengaduan. Dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1992 Tentang
Sistem Budidaya Tanaman, tidak ada Pasal dalam ketentuan pidana yang menunjukkan
kualifikasi delik aduan. Dengan kata lain, perumusan pasal dalam undang-undang ini
termasuk dalam kualifikasi delik laporan.
Menurut P.A.F Lamintang dan C. Djisman Samosir, tindak pidana memiliki dua unsur, yaitu
unsur subjektif dan objektif. Unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku
atau unsur yang berhubungan dengan diri si pelaku, sedangkan unsur objektif adalah unsur
yang berhubungan dengan keadaan, yaitu dalam keadaan mana tindakan dari si pelaku itu
harus dilakukan.
2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti dalam Pasal 53 ayat (1)
KUHP;
3. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedache raad, misalnya terdapat dalam kejahatan
pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
4. Perasaan takut atau vress yang terdapat dalam Pasal 308 KUHP.
3. Kausalitas, yang merupakan hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan
sesuatu sebagai kenyataan.
1. Unsur subjektif:
a. Barangsiapa;
c. Mengedarkan.
2. Unsur objektif:
1. Unsur subjektif:
a. Barangsiapa;
c. Mengedarkan.
2. Unsur objektif:
“Mengedarkan hasil pemuliaan atau introduksi yang belum dilepas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (2)”.
Sedangkan Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 menyatakan bahwa:
“Varietas hasil pemuliaan atau introduksi yang belum dilepas sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilarang diedarkan”.
Sedangkan ketentuan pemidanaannya terdapat dalam Pasal 60 ayat (1) dan ayat (2) huruf i,
dimana terdapat perbedaan jenis pemidanaan dalam ayat (1) dan ayat (2). Hal ini terjadi
karena dalam Pasal 60 ayat (1) merupakan tindak pidana yang dilakukan dengan kesengajaan
(dolus) sedangkan dalam Pasal 60 ayat (2) merupakan tindak pidana yang dilakukan dengan
kelalaian (culpa). Dalam Pasal 60 ayat (1) huruf i terdapat dua jenis pidana pokok yang
dijatuhkan kepada pelaku, yaitu pidana penjara dan pidana denda. Hal ini menunjukkan
bahwa Pasal 60 ayat (1) huruf i perumusan sanksi pidananya kumulatif. Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman sangat berbeda dengan KUHP,
dimana KUHP hanya mengenal sistem perumusan sanksi pidana tunggal atau alternatif, yang
mana hanya menerapkan satu pidana pokok untuk satu delik yang diperbuat pelaku (single
penalty). Selanjutnya dalam Pasal 60 ayat (2) huruf i terdapat dua jenis pidana pokok yang
sama dengan Pasal 60 ayat (1) huruf i, namun dalam Pasal 60 ayat (2) huruf i perumusan
sanksi pidananya adalah alternatif, karena ada kata “atau” yang menunjukkan adanya
opsional. Maka dari itu, penegak hukum terutama hakim dalam menjatuhkan putusan
terhadap pelaku harus memilih salah satu pidana yang akan dijatuhkan kepada pelaku, apakah
pidana penjara atau pidana denda.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan pembahasan dan analisis mengenai permasalahan dalam skripsi ini, maka
penulis dapat menarik kesimpulan, yaitu:
1. Sebelum menentukan pertanggungjawaban pidana yang tepat kepada pengedar benih padi
non-sertifikasi dan label terlebih dahulu kita harus memahami siapa saja yang berhak
mempertanggungjawabkan tindak pidana tersebut. Subjek hukum yang dapat
mempertanggungjawabkan perbuatan pidana sebagaiman permasalahan skripsi ini adalah
pengedar benih. Yang merupakan pengedar benih adalah perseorangan, badan usaha atau
badan hukum, maupun instansi pemerintah. Setelah mengetahui subjek hukum yang dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidana maka dapat menentukan bentuk
pertanggungajawaban pidananya. Bentuk pertanggungjawaban pidananya adalah
pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (geen straf zonder schuld) karena dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman terdapat
pemisahan antara perumusan tindak pidana yang dialakukan dengan kesengajaan (dolus) dan
kelalaian (culpa). Perumusan tindak pidana dalam permasalahan skripsi ini terdapat
banyak kualifikasi. Kualifikasi pertama adalah bentuk tindak pidana sebagaimana dimaksud
Pasal 60 ayat (1) huruf b yang merupakan kejahatan dan Pasal 60 ayat (2) huruf b yang
merupakan pelanggaran. Selanjutnya, Pasal 60 ayat (1) dan ayat (2) huruf b Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaaman merupakan kualifikasi delik
formil. Selain itu pasal tersebut termasuk dalam kualifikasi delik laporan.
2. Perumusan sanksi pidana dalam Pasal 60 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman adalah sistem kumulatif karena tercantum
dua pidana pokok yang keduanya harus diterapkan pada pelaku. Sedangkan Pasal 60 ayat (2)
huruf i menggunakan sistem alternatif karena walaupun terdapat dua pidana pokok tapi sanksi
pidana tersebut bersifat opsional.
B. Saran
1. Aparat penegak hukum perlu memberikan pemahaman kepada masyarakat khususnya para
pemulia tanaman dan pengedar benih akan pentingnya melakukan proses sertifikasi dan
pemberian label sebelum benih tersebut diedarkan.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
----------. 2014. Hukum Sumber Daya Alam Dalam Sektor Kehutanan, Jakarta: Sinar Grafika.
Amir Ilyas. 2012. Asas-Asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan. Yogyakarta: Rangkang Educatio
Yogyakarta dan PuKAP-Indonesia.
Amiruddin dan Zainal Asikin. 2014. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Andi Hamzah. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Barda Nawawi Arif. 1984. Sari Kuliah Hukum Pidana II. Semarang: Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro.
-------. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bhakti.
-------. 2002. Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Chairul Huda. 2006. Dari “Tiada Pidana tanpa Kesalahan” menjadi “Tiada
Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan”: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan
Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Prenada Kencana.
Edi Yunara. 2012. Korupsi & Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
Eddy O.S. Hiariej. 2016. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi. Yogyakarta: Cahaya
Atma Pustaka.
E. Y. Kanter dan S.R. Sianturi. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta: Alumni AHAEM-PTHAEM.
L. Sutopo. 2010. Teknologi Benih (Edisi Revisi Fakultas Pertanian UNIBRAW). Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Citra Aditya Bakti.
Leden Marpaung. 2009. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
Moeljatno. 2001. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana. Jakarta:
Bina Aksara.
Muladi dan Dwidja Priyatno. 2012. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir. 1981. Delik-Delik Khusus. Bandung: Tarsito.
----------- dan Sri Mamudji. 2003. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat.
Jakarta: Rajawali Pers.
Teguh Prasetyo. 2013. Kriminalisasi dalam Hukum Pidana. Bandung: Nusa Media.
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
C. SUMBER JURNAL:
Ridho Kurniawan dan Siti Nurul Intan Sari D. 2014. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Berdasarkan Asas Strict Liability (Studi Pembaharuan Hukum Pidana Lingkungan Hidup).
Jurnal Yuridis Vol. 1 No. 2.
Dian Mochammad Sodikin. 2015. Kajian Persepsi Petani dan Produksi Penggunaan Benih
Bersertifikat dan Non Sertifikat Pada Usahatani Padi. Jember: Fakultas Pertanian Universitas
Jember.
Duta Carisma Danna, Hartuti Purnaweni, dan Mochamad Mustam. 2013. Implementasi
Ketersediaan Beras Dalam Rangka Ketahanan Pangan di Kabupaten Batang. Semarang:
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro.
Kariawan Barus. 2011. Analisis Yuridis Pemidanaan Terhadap Korporasi Yang Melakukan
Tindak Pidana di Bidang Lingkungan Hidup Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Medan: Universitas
Sumatera Utara.
Nurasa T. dan B. Sayaka. 2009. Pengaruh Subsidi Benih Terhadap Produktivitas Padi di Jawa
Timur. Bali: Fakultas Pertanian Universitas Udayana.
Orpa Ganefo Manuain. 2005. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana
Korupsi. Semarang: Universitas Diponegoro.
Tri Andrisman. 2009. Hukum Pidana Asas-Asas dan Aturan Umum Hukum Pidana
Indonesia. Lampung: Universitas Negeri Lampung.
Udin S. Nugraha, Sri Wahyuni, M. Yamin Samaullah, dan Ade Ruskandar. 2004. Sistem
Perbenihan Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.
E. SUMBER INTERNET
Shintaloka Pradita. 2018. BPS: Jumlah Penduduk Bekerja Triwulan I 2018 Sebanyak127,07
Juta. https://tirto.id/bps-jumlah-penduduk-bekerja-triwulan-i-2018-sebanyak-12707-juta-
cJ5D. Diakses pada tanggal 5 September 2019.