Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
perkembangan hukum jaminan di Indonesia tidak lepas dari pembicaraan
pada masa pemerintah Hindia Belanda, Jepang, dan zaman kemerdekaan
sampai saat ini. Walaupun pada zaman kemerdekaan sampai dengan saat ini,
pemerintah Indonesia telah banyak menetapkan undang-undang yang berkaitan
dengan jaminan, namun masih memberlakukan ketentuan-ketentuan hukum
yang tercantum dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata). Khususnya mengenai hipotik diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang (KUHD) dan KUHPerdata. Dalam sejarah hipotik,
lembaga hipotik diberlakukan sebagai jaminan yang melekat pada seluruh
benda tidak bergerak, tetapi dalam perkembangannya jaminan atas tanah
sebagai salah satu benda tidak bergerak telah diatur dalam lembaga sendiri
yaitu hak tanggungan. Ada dua pihak yang terkait dalam perjanjian
pembebanan hipotik yaitu pemberi hipotik (hypotheekgever) dan penerima
hipotik. Pemberi hipotik adalah mereka yang sebagai jaminan memberikan
suatu hak kebendaan/ zakelijke recht (hipotik), atas bendanya yang tidak
bergerak, biasanya mereka mengadakan suatu utang yang terikat pada hipotik,
tetapi hipotik atas beban pihak ketiga. Penerima hipotik disebut juga
hypotheekbank, hypotheekhouder, atau hypotheeknemer. Hypotheekhouder,
atau hypotheeknemer, yaitu pihak yang menerima hipotik, pihak yang
meminjamkan uang di bawah ikatan hipotik. Biasanya yang menerima hipotik
ini adalah lembaga perbankan dan atau lembaga keuangan non bank.
Umumnya, perjanjian kredit yang menempatkan bank sebagai kreditor dan
perusahaan sebagai debitor ini menambahkan perjanjian tambahan (assesor)
dalam perjanjian pokoknya. Perjanjian kredit antara bank dan perusahaan
perkapalan merupakan perjanjian pokok, sedangkan perjanjian tambahannya

1
dapat berupa perjanjian hipotik. Bank sebagai pemberi kredit (kreditor), dalam
rangka pemberian kredit/pembiayaan kepada masyarakat harus hati-hati
(prudent) karena dana yang disalurkan bank pada dasarnya bukan milik bank
sendiri, melainkan bersumber dari dana masyarakat dalam bentuk simpanan
masyarakat. Oleh karena itu, dalam memberikan pembiayaan kepada debitor,
bank harus meminimalkan risiko dengan membuat perjanjian hipotik. Salah
satu bentuk upaya untuk meminimalkan risiko ini bisa dilakukan dengan
membuat perjanjian tambahan seperti perjanjian hipotik atas kapal. Ini
merupakan salah satu bentuk jaminan kebendaan, dimana jaminan ini biasa
disebut dengan agunan atau kolateral. Ikatan hipotik tersebut wajib didaftarkan
dalam suatu daftar yang diperuntukkan untuk itu. Dengan adanya hipotik kapal
tersebut memberikan keamanan dan menjamin kepastian hukum bagi kreditor.
Apabila debitor wanprestasi, maka objek hipotik tersebut dapat dilakukan
pelelangan di muka umum. Dengan tujuan untuk pelunasan suatu hutang
pokok, bunga dan biaya-biaya lainnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan dasar hukum hipotik ?
2. Apa pengertian dan dasar hak tanggungan?
3. Apa saja sifat, subjek dan subjek dalam hipotik ?
4. Apa saja sifat, subjek dan subjek dalam hak tanggunan?
5. Bagaimana terhapusnya hipotik ?
6. Bagimana terhapusnya hak tanggungan?
7. Bagaimana pendaftaran dan tata cara hipotik ?
8. Bagaimana pendaftaran dan tata cara Hak Tanggungan?
9. Bagaimana dan apa saja tingkatan-tingkatan dalam hipotik
10. Apa hak dan kewajiban pemilik selama adanya hipotik
11. Bagaiamana pencoretan (Roya) dalam Hipotik?
12. Bagaiamana pencoretan (Roya) dalam hak tanggungan ?

2
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana cara terhapusnya hak hipotik
2. Untuk mengetahui bagaimana pendaftaran dan tata cara hipotik
3. Untuk mengetahui bagaimana dan apa saja tingkatan-tingkatan dalam
hipotik
4. Untuk mengetahui apa yang dimaksud akta hipotik

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Ciri-ciri Hipotek


pengertian hipotek dinyatakan dalam pasal 1162 KUH perdata yang berbunyi :
Hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak,
untuk menggambil penggantian daripadanya bagi perlunasan suatu
perikatan.
Dari bunyi ketentuan dalam pasal 1162 KUH perdata, tampaknya hak
hipotek mirip dengan hak gadai, yaitu sama-sama sebagai hak jaminan
kebendaan, sedang bendanya, hak gadai merupakan hak jaminan yang
dibedakan kepada kebendaan bergerak, dan hak hipotek merupakan hak
jaminan yang dibebankan kepada kebendaan tidak bergerak.
Pasal-pasal KUH perdata memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai
pengertian hipotek, sebagai berikut :
a) Pasal 1167 KUH perdata menyatakan:
Benda bergerak tidak dapat dibebani dengan hipotek.
b) Pasal 1168 KUH perdata menyatakan :
Hipotek tidak dapat diletakkan selainnya oleh siapa yang berkuasa
memindahtangankan benda yang dibebani.
c) Pasal 1171 ayat (1) KUH perdata menyatakan :
Hipotek hanya dapat diberikan dengan suatu akta autentik, kecuali dalam hal-
hal yang dengan tegas ditunjuk oleh undang-undang.
d) Pasal 1175 ayat (1) KUH perdata menyatakan :
Hipotek hanya dapat diletakkan atas benda-benda yang sudah ada. Hipotek
atas benda-benda yang baru akan ada di kemudian hari adalah batal.
e) Pasal 1176 ayat (1) KUH menyatakan :
Suatu hipotek hanyalah sah, sekadar jumlah uang untuk mana ia telah
diberikan adalah tentu dan ditetapkan di dalm akta.

4
Berdasarkan perumusan pengertian hipotek dan pasal-pasal lainnya dari KUH
perdata, dapat dirumuskan bahwa hipotek adalah hak kebendaan atas benda tidak
bergerak (benda tetap), untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada pemegangnya. Dengan
demikian hipotek mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Hipotek merupakan suatu hak kebendaan atas benda-benda yang tidak


bergerak (benda tetap), jadi benda jaminan hipotik yang menjadi objek
hipotik itu kebendaan yang tidak bergerak (benda tetap), kebendaan selain
benda tidak bergerak atau benda bergerak tidak dapat dibebani dengan
hipotek, benda-benda yang disebutkan terakhir tersebut hanya dapat
dibebani dengan gadai (pasal-pasal 1162, 1164 dan 1167KUH perdata).
2. Hipotek merupakan lembaga hak jaminan untuk perlunasan utang (sejumlah
utang) tertentu yang sebelumnya diperjanjikan dalam satu akta, karenanya
pemegang hipotek tidak berhak untuk menguasai dan memiliki kebendaan
jaminan itu, semata-mata benda-benda tidak bergerak tersebut sebagai
jaminan bagi pelunasan sejumlah utang tertentu (pasal 1162 KUH perdata).
3. Walaupun pemegang hipotek tidak diperkenankan untuk menguasai dan
memiliki kebendaan jaminan yang dihipotekkan tersebut, namun
diperkenankan untuk diperjanjikan menjual atas kekuasaan sendiri
berdasarkan parate eksekuasi kebendaan jaminannya jika debitur
wanprestasi (pasal 1178 KUH perdata)
4. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada
pemegang hipotek (pasal-pasal 1133, 1134 ayat (2), 1198), bahwa jika
debitur cedera janji, kreditor (pemegang hipotek) berhak menjual kebendaan
jaminan, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur yang lain.
5. Mudah pelaksanaan ekskusinya (pasal 1178 ayat (2) KUH perdata)
Demikian sama halnya dengan gadai , hipotek menurut sifatnya
merupakan accessoir pada suatu piutang. Artinya, perjanjian jaminan
kebendaan hipotek ini akan ada, apabila sebelumnya telah ada perjanjian
pokoknya, yaitu pelunasannya dengan kebendaan yang tidak bergerak.

5
Perjanjian utang piutang atau perjanjian lainnya yang menimbulkan
hubungan hukum utang piutang tersebut harus dituangkan atau ditetapkan
dalam satu akta. Jelaslah, bahwa tujuan pembebanan hipotek untuk
memberikan kepastian hukum yang kuat bagi kreditor-kreditor (pemegang
hipotek), dengan menjamin pelunasan piutangnya dari kebendaan yang
dihipotekkan, jika debitur cedera janji. Dengan demikian, hipotek
merupakan hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan bagi pelunasan
utang tertentu yang timbul dari hubungan hukum utang piutang sebagai
perikatan pokoknya.1

B. Sifat-Sifat dari Hipotek


Sebagai hak kebendaan yang memberi jaminan atas kebendaan tidak
bergerak, maka sifat-sifat yang melekat pada hipotek itu adalah :
1) Bersifat acessoir dari perjanjian hipotek
Kata-kata “untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan
suatu perikatan” dalm pasal 1162 KUH perdata yang menunjukkan kepada
kita, bahwa hipotek sama seperti semua perjanjian penjaminan yang lain
tidak dapat berdiri sendiri, ia selalu dikaitkan, dengan sengaja, pada
perikatan lain, yang merupakan pokoknya dan wujudnya selalu tagihan.
Karena perjanjian hipotek bersifat acessoir, maka kelahiran dan keberadaan
hak hipotek ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya,
dengan hapusnya utang yang dijamin pelunasannya maka hak hipotek hapus
karenanya.

2) Hipotek tidak dapat dibagi-bagi


Salah satu ciri dan sifat hipotek itu tidak dapat dibagi-bagi (ondeelbaar) dan
melekat di atas seluruh benda objeknya. Demikian disimpulkan dari
ketentuan pasal 1163 ayat (1) KUH perdata, yang bunyinya sebagai berikut :

1
Usman rachmadi,S.H.,M.H., hukum jaminan keperdataan (jakarta:sinar grafika,2009) hal 246-
249

6
Hak tersebut pada hakikatnya tidak dapat dibagi-bagi dan terletak di atas
semua benda tidak bergerak yang diikatkan dalam keseluruhannya, di atas
masing-masing dari benda-benda tersebut, dan di atas tiap bagian
daripadanya.
Dengan adanya sifat hipotek tidak dapat dibagi-bagi, maka hak hipotek
membebani atau menindihi secara utuh atau keseluruhan kebendaan jaminan
dan setiap bagian daripadanya. Telah dilunasinya sebagian dari utang yang
dijamin tidak berarti terbebasnya sebagian kebendaan jaminan dari beban
hak hipotek, melainkan hak hipotek itu tetap membebani atau menindih
secara keseluruhan atas benda jaminan untuk sisa utang yang belum lunas.
3) Hipotek bersifat mengikuti kebendaannya
Dalam pasal 1163 ayat (2) KUH perdata dinyatakan :
Benda-benda itu tetap dibebani dengan hak tersebut, di dalam tangannya
siapa pun ia berpindah.
Dari ketentuan pasal 1163 ayat (2) KUH perdata ini, sebagian konsekuensi
dari hak kebendaan, maka hak hipotek itu tetap mengikuti kebendaannya
yang dijaminkan di dalam di dalam tangan siapa pun kebendaan jaminan itu
berada atau dipindah.
4) Ikatan hipotek harus didaftarkan sebagai pemenuhan asas publisitas
Bertalian dengan kewajiban untuk mendaftarkan ikatan hipotek dalam suatu
register umum yang diadakan untuk itu, ketentuan dalam pasal 1179 KUH
perdata menyatakan :
1. Pembukuan segala ikatan hipotek harus dilakukan dalam register-
register umun yang dilakukan untuk itu.
2. Jika pembukuan yang demikian tidak dilakukan, maka suatu hipotek
tidaklah mempunyai sesuatu kekuatan apapun, bahkan pula terhadap
orang-orang yang berpiutang yang tidak mempunyai ikatan hipotek.

Berdasarkan ketentuan dalam pasal 1179 ayat (1) KUH perdata di atas, agar
suatu ikatan hipotek mempunyai kekuatan hukum, baik terhadap debitur
(pemberi hipotek) dan kreditor (pemegang hipotek) maupun terhadap orang

7
lain pihak tiga, maka ikatan hipotek tersebut wajib didaftarkan dalam suatu
daftar yang diperuntukkan untuk itu.

5) Hipotek atas benda tertentu (mengandung pertelaan ( asas spesialitas ))


Mengenai asas spesialitas ini, ketentuan dalam pasal 1174 KUH perdata
menyatakan :
1. Akta dalam mana diletakkan hipotek harus memuat sesuatu penyebutan
khusus tentang benda yang dibebani, begitu pula tentang sifat dan
letaknya, penyebutan mana sedapat-dapatnya harus didasarkan pada
pengukuran-pengukuran resmi.
2. Mengenai bunga sepersepuluh dan bunga tanah, tentang mana tidak
secara khusus dapat disebutkan persil-persil yang mana memikul beban-
beban itu, cukuplah didalam akta diberikan penguraian serta
penunjukan yang tepat tentang daerah mana yang memikul bunga-bunga
itu.

Pendaftaran hipotek menunjukkan kepada kita dengan tepat benda jaminan


mana (tertentu) yang dijaminkan dan subjek penjaminan. Itulah sebabnya
dikatakan dianut asas spesialitas di dalam hipotek.

6) Hipotek mengandung pertingkatan


Peringkat pemegang hipotek tersebut diatur dalam ketentuan pasal 1181
KUH perdata, yang menyatakan :
1. Tingkatkan orang-orang berpiutang hipotik ditentukan menurut tanggal
pembukuan mereka, dengan tidak mengurangi kekecualian-kekecualian
tersebut dalam kedua pasal yang berikut.
2. Mereka yang dibukukan pada hari yang sama, bersama-sama mempunyai
suatu hipotek yang bertanggal sama, tidak peduli pada jam mana
pembukuan telah dilakukan, biar pun jam itu dicatat oleh pegawai
penyimpanan hipotek.

Dari ketentuan dalam pasal 1181 KUH perdata tersebut, dapat diketahui
bahwa suatu kebendaan jaminan hipotik dapat dibebani kepada lebih dari

8
satu utang atau kreditur, sehingga akan terdapat beberapa pemegang hipotik
atas benda yang sama. Peringatan pemegang hipotek tersebut tidah hanya
berlaku bagi pelunasan piutang pokoknya saja, tetapi juga berlaku pelunasan
bunga dari piutang pokoknya. Hal ini disebutkan secara tegas dalam
ketentuan pasal 1184 KUH perdata, yang menyatakan :

Si berpiutang yang telah dibukukan untuk sejumlah uang pokok yang


menghasilkan bunga, adalah berhak untuk, selama-lamanya untuk dua
tahun dan tahun yang sedang berjalan, bagi bunganya ditempatkan di
dalam tingkatan hipotek yang sama seperti uang pokoknya , dengan tidak
mengurangi haknya untuk, mengenai bunga-bunga yang lain selainnya
yang dijamin pada pembukuan pertama, mengambil pembukuan-
pembukuan khusus, yang sejak hari tanggalnya akan menerbitkan hipotek.

7) Hak hipotek didahulukan


Pasal 1133 ayat (1) KUH perdata menyebutkan, bahwa privelege, gadai dan
hipotek mempunyai hak untuk didahulukan di antara piutang-piutang yang
ada. Di antara hak untuk didahulukan ini, sesuai dengan ketentuan dalam
pasal 1134 ayat (2) KUH perdata, piutang atas gadai dan hipotek lebih
didahulukan atau tinggi dari privelege, yang eksistensinya diberikan oleh
undang-undang tidak ditentukan lain.
8) Hipotik atas jumlah utang tertentu
Ketentuan dalam pasal 1176 ayat (1) KUH perdata menyatakan :
Suatu hipotek hanyalah sah, sekedar jumlah uang untuk mana ia telah
diberikan, adalah tentu dan ditetapkan dalam akta.
Bari bunyi ketentuan dalam pasal 1176 ayat (1) KUH perdata ini, jelas
bahwa dalam akta hipotek harus disebutkan secara pasti jumlah (jumlah
tertentu) uang yang merupakan uang yang dibebani dengan hipotek. Dengan
kata lain dalam akte hipotek harus disebutkan secara jelas dan tegas
mengenai “jumlah uang untuk mana” (nilai penjamin) yang diberikan oleh

9
pemberi hipotek, yang nantinya akan diikat sebagai jaminan utang dengan
hipotek.2

C. Subjek Hipotik
Subjek hipotek, yakni mereka yang membentuk perjanjian penjaminan
hipotek, yang terdiri atas pihak yang memberikan benda jaminan hipotek, yang
dinamakan pemberi hipotek (hypotheekgever) dan pihak yang menerima benda
jaminan hipotek, yang dinamakan pemegang hipotek (hypotheeknemer,
hypotheekhouder).
Bertalian dengan subjek hipotek ini, ketentuan dalam pasal 1168 KUH
perdata menetapkan, bahwa :
Hipotek tidak dapat diletakkan selainnya oleh siapa yang berkuasa
memindahtangankan benda yang dibebani.
Jadi dari pasal 1168 KUH perdata, hipotek hanya dapat diletakkan oleh
orang yang mempunyai kewenangan untuk melakuakn perbuatan hukum
terhadap kebendaan jaminan yang akan dihipotekkan tersebut. Dengan kata
pemberi hipotek haruslah mereka yang mempunyai kewenangan untuk
memindahtangankan terhadap benda yang akan dihipotekkan tersebut, baik
terhadap debitur maupun penjaminan pihak ketiga.
Tindakan memindahtangankan merupakan tindakan pemilikan, jadi untuk
dapat meletakkan hipotek orang tersebut harus cakap untuk bertindak dan
mempunyai hak (kewenangan) mengambil tindakan pemilikan terhadap benda
jaminan tersebut, dalam mana termasuk tindakan membebani. Tindakan
membebani dapat dipandang sebagai permulaan dari suatu tindakan
pemindahtanganan atau pengoperan, karena suatu pembebanan bisa berakhir
dengan suatu pengoperan dalam hal kreditor terpaksa menjual benda jaminan
untuk mengambil pelunasan.3

2
Usman rachmadi,S.H.,M.H., hukum jaminan keperdataan (jakarta:sinar grafika,2009) hal 249-
257
3
Usman rachmadi,S.H.,M.H., hukum jaminan keperdataan (jakarta:sinar grafika,2009) hal 265

10
D. Objek Hipotik
Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1164 KUH perdata, pada dasarnya
objek hipotek itu kebendaan tidak bergerak (kebendaan tetap), baik kebendaan
tetep karena sifatnya, peruntukkannya dan undang-undang, termasuk pelbagi
hak kebendaan atas tanah. Ketentuan dalam pasal 1164 KUH perdata
menyebutkan benda-benda yang dapat dibebani dengan hipotek hanyalah :

1. Benda-benda tidak bergerak yang dapat dipindahtangankan, beserta segala


perlengkapannya, sekadar yang terakhir ini dianggap sebagai benda tidak
bergerak.
2. Hak memungut hasil atas benda-benda tidak bergerak di atas beserta segala
perlengkapannya
3. Hak opstal (hak numpang karang) dan hak erfpacht (hak usaha)
4. Bunga tanah, baik yang harus dibayar dengan uang maupun yang harus
dibayar dengan hasil tanah dalam wujudnya
5. Bunga sepersepuluh
6. Pasar-pasar yang diakui oleh pemerintah, beserta hak-hak istimewa yang
melekat padanya.4

E. Terhapusnya Hipotik
Menurut ketentuan pasal 1209 KUH Perdata Hipotik itu dapat terhapus
karena hal-hal sebagi berikut5:
1) Karena hapusnya perhutangan pokok.
terjadi apabila utang yang dijamin dengan hak hipotik itu lenyap; bisa krena
utang itu dilunasi, bisa juga karena perikatan pokonya lenyap karena

4
Ibid hal 257-258
5
Sofwan Sri, Jaminan Atas Tanah, (Yogyakarta:Liberty, Yogyakarta, 1981), hal 51

11
daluarsa yang membebaskan seseorang dari suatu kewajiban (daluarsa
ekstinktif).
2) Karena pelepasan Hipotiknya oleh si berpiutang.
terjadi apabila kreditur yang besangkutan melepaskan dengan suka rela hak
hipotiknya, pelepasan suka rela ini tidak ditentukan bentuk hukumnya,
tetapi cukup dengan memberitahukan maksud hendak melepaskan hak
hipotik pemegang hipotik kepada sembarang orang misalnya pihak ketiga.
Bisanya pelepasan ini dilakukan dengan pemberitahuan kepada pemilik dari
benda yang terikat dengan hipotik itu
3) Karena penetapan tingkat oleh Hakim
terjadi apabila dengan perantaraan oleh hakim diadakan pembagian uang
pendapatan lelang dari benda yang dihipotikakan itu kepada para kreditur,
kreditur yang tidak kebagian pelunasan piutangnya kehilangan hak
hipotiknya oleh karena pembersihan.
Dengan musnahnya benda yang dihipotikkan itu, misalnya dengan
lenyapnya tanah yang merupakkan objek hak hipotik itu oleh karena
tenggelam atau tanah longsor. Dari berbagai peraturan tersebut diatas dapat
juga disimpulkan cara-cara-cara hapusnya hak hipotik seperti misalnya
dalam pasal 1169 KUH Perdata: kalau pemilik benda yang dihipotikkan
hanya mempunyai hak bersyarat atas benda tersebut dan hak bersyarat itu
terhenti.
Undang-undang hanya menyebutkan beberapa hal saja dari cara-cara
hapusnya Hipotik, yaitu paling sering terjadi. Jadi tidak secara limitatif, di
luar pasal 1209 KUH Perdata masih ada cara yang lain, misalnya karena
adanya percampuran hutang, yaitu karena si berpiutang menjadi eigenaar
dari benda yang dihipotikkan. Juga karena adanya verjaring atau karena
tidak dilaksaknakannya hak itu dalam waktu tertentu6.
Menurut Mr. Wirjono Prodjodikoro cara-cara yang lain dari hapusnya
hipotik dapt disimpulkan dari berbagai peraturan UU, misalnya jika hipotik
dicabut untuk kepentingan umum, atau kalau pemilik tanah hanya

6
Saija Ronald, Buku Ajar Hukum Perdata, (Sleman:CV.Budi Utama,2012), hal 79

12
mempunyai hak bersyarat atas tanah itu dan hak bersyarat ini terhenti
sebagaimana yang dimaksudkan pasal 1169 BW.
Prof. Pitlo menyebutkan 9 cara untuk hapusnya Hipotik sebagai
berikut7:
1. Karena hapusnya perutangan poko di mana hipotik
menyerupakan perutangan accessoir.
2. Karena pelepasan hak
3. Karena hapusnya benda/hak yang dihipotikkan. Mengenai hak-
hak atas tanah karena habisnya jangka waktu sesuatu hak atsa
tanah yang dibebani oleh hipotik.
4. Si pemegang hipotik menjadi eigenaar dari benda yang
dihipotikkan karena adanya percampuran hutang.
5. Berakhirnya hak daripada pemberi hipotik sebagaimana diatur
dalam pasal 1169 KUH Perdata.
6. Berakhirnya jangka waktu untuk mana hak hipotik diberikan
7. Karena dipenuhinya syarat batal untuk mana hak hipotik
diberikan
8. Karena adanya pencabutan hak
9. Karena adanya penetapan tingkat oleh hakim (rangregeling)

Mengenai hapusnya Hipotik karena hapusnya perutangan pokok


dimana hipotik adalah merupakan perutangan accessoir sering terjadi karena
pembayaran sebagaimana diatur dalam pasal 1381 KUH Perdata.
Selain hapusnya hipotik menurut kentetuan pasal 1209 KUH Perdata
Tersebut. Diatas kemudian berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri
tanggal 27 Oktober 1970 No. Ba. 10/241/10 hapusnya hipotik itu
dimungkinkan juga karena terhapusnya hak atas tanah yang dibebani dan
tanahnya kembali dalam kekuasan Negara.

7
Ibid, Jaminan Atas Tanah hal 52

13
Kemungkinan-kemungkinan hapusnya hak atas tanah itu sebagai
berikut8:

1. Jangka waktunya berakhir

2. Dihentikan (dibatalkan) sebelum jangka waktunya berakhir


karena suatu syarat batal telah dipenuhi.

3. Dicabut untuk kepentingan umum (onteigening).

4. Dilepaskan dengan sukarela oleh yang empunya hak atas tanah.

dari ketentuan tersebut di atas berarti di luar kemungkinan yang secara


formal ditentukan dalam UU masih aad kemungkinan-kemungkinan lain di
luar UU untuk hapusnya Hipotik.

Pencoretan Hipotik dari pendaftaran dalam register umumnya dapat


dilakukan berdasarkan persetujuan antara pihak yang bersangkutan atau
berdasarkan peesetujuanm antara pihak yang bersangkutan atau berdasarkan
keputusan Hakim baik yang di jatuhkan dalam tingkat penghabisan atau
yang telah memperoleh kekuatan pasti (pasal 1195 KUH Perdata)9.
Pencoretan (Roya) harus dilakukan oleh Kepala Sesi Pendaftaran Tanah,
setelah mendapat laporan dari Bank bahwa piutangnya telah dibayar lunas
menurut cara-cara sebagaimana telah diatur dalam pasal 47 PMA no. 7
tahun 1961. Dalam praktek perbankan dengan terhentinya/hapusnya Hipotik
itu umunya dilakukan pemberitahuan resmi dari Bank kepada Kepala Seksi
Pendaftaran Tanah untuk dapat dilakukan pencoretan atas permintaan pihak
yang bersangkutan. Maksud adanya pencoretan/Roya demikain pada buku
Tanah ataupun Sertifikat tanah yang bersangkutan ialah agar dapat diketahui
oleh umum bahwa tanah-tanah tesebut telah bebas kembali, tidak dibebani
Keadaan hukum diseimbangan kembali.10

8
Ibid, Jaminan Atas Tanah, hal 54
9
Ibid, hal 56
10
Ibid,hal 56

14
F. Pendaftaran dan Tata Cara Hipotik
Setelah akte hipotik itu selesai dibuat oleh PPAT maka akte tersebut
beserta sertifikat hak tanahnya dan warkah lain yang diperlakukan oleh PPAT
disampaikan kepada kepala pendaftaran. Tanah yang bersangkutan untuk
didaftarkan dalam daftar buku tanah (pasal 22 aayt 3 PP 10 tahun 1961).
Menurut ketentuan pasal 1179 ayat 2 KUH Perdata dikatakan bahwa
pendaftaran adalah merupakan syarat bagi berlakunya Hipotik. Dengan
demikian maka hipotiklahir pada saat dilakukan pendaftaran/pembukuan oleh
Kepala Seksi Pendaftaran Tanah. Sekarang menurut ketentuan pasal 23 ayat 2
UUPA dikatakan bahwa pendaftaran yang dilakukan oleh Kepala Seksi
Pendaftaran Tanah itu merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai sahnya
pembebanan hak atas tanah yang bersangkutan. Sedangkan akte yang dibuat
oleh PPAT merupakan syarat sahnya pemberian Hipotik. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa hipotik itu lahir pada saat dibuatnya akte oleh PPAT 11.
Pembuatan akte pada PPAT adalah merupakan bukti beralihnya hak
pembebanan. Tanda bukti ini mulai lahirnya, hak mulai berlakunya
pembebanan. Tanda bukti ini hanya mengikat pihak-pihak yang bersangkutan
dan belum mengikat pihak ketiga. Sedanngkan pendaftaran dalam Seksi
Pendaftaran Tanah adalah merupakan alat pembuktian yang kuat bahwa telah
terjadi perlihan hak dan pembebanan secara sah. Merupakan alat bukti yang
tidak hanya mengikat para pihak yang bersangkutan melainkan juga terhadap
pihak ketiga.
Dalam rangka peraturan sekarang setelah adanya UUPA dapat
disimpulkan Credietverband itu lahir setelah dibuatnya akte oleh PPAT.
Tetapi akte yang dibuat oleh PPAT itu belum merupakan alat bukti yang kuat
tentang telah adanya Credietverband, terutama bagi pihak III. Bukti yang kuat
tentang sahnya Credietverband adalah pendaftaran yang dilakukan oleh
Kepala Seksi Pendaftaran Tanah. (pasal 23 ayat 2 UUPA)12

11
Ibid, Jaminan Atas Tanah, hal 41
12
Ibid, Buku Ajar Hukum Perdata, hal 70

15
G. Tingkatan-Tingkatan Hipotik
Sebidang tanah dapat dibebani dengan beberapa Hipotik, jadi dipakai
sebagi jaminan untuk beberapa kreditur. Dengan demikian maka timbullah
tingkatan-tingkatan Hipotik sesuai dengan urutan waktu mendaftarkannya
Hipotik itu di Seksi pendaftaran Tanah. Demikian maka dikenal: pemegang
hipotik pertama, sebagi pemegang Hipotik kedua, pemegang Hipotik ketiga
dan sebagainya.
Dalam hal tertentu pemegang hipotik pertama mempunyai wewenang yang
melebihi para pemegang hipotik yang lainnya, misalnya hanya pemegang
hipotik yang pertama wenang untuk mengadkan janji untuk menjual bendanya
atas kekuasaan sendiri, hanya pemegang Hipotik pertama yang wenang untuk
mengadakan janji untuk tidak dibersihkan dan lain-lain.
Dengan adanya hipotik yang membebani sebidang tanah itu, persoalannya
ialah siapa/hutang yang mana yang harus didahulukan dalam pemenuhannya.
Inilah arti peentingnya dari tingkatan-tingkatan hipotik itu, untuk menentukan
hutang yang mana yang harus dibayar lebih dahulu. Menurut pasal 1181 KHU
Perdata ditentuka bahwa tingkatan hipotik itu di tentukan menurut tanggal
pembukuannya dengan pengecualian pasal 1182, pasal 1183 KUH Perdata13.
Mereka yang dibukukan pada hari dan tanggal yang sama, akan bersama-
sama mempunyai Hipotik yang tingkatnya sama, tidak perduli pada jam
berapa pembukuan telah dilakukan. Jadi dapat disimpulkan bahwa hipotik
yang lebih dulu dibukukan akan didahulukan dalam pembayaran kembali
piutangnya.
Pengecualian-pengecualian itu ialah pasal 1182 KUH Perdata: apabila
dalam penjualan sebidang tanah sebagai jaminan uang harga yang tak terbayar
telah diperjanjikan hipotik atas tanah itu, sedangkan pembukuan hipotik itu
dilakukan dalam waktu 8 hari setelah pengumuman akte jual-beli, maka
hipotik ini akan didahulukan dari segala hipotik yang kiranya telah diberikan
oleh pembeli atas tanah tersebut dalam jangka waktu 3 hari tersebut14.

13
Ibid, Buku Ajar Hukum Perdata, hal 64
14
Ibid, Jaminan Atas Tanah, hal 46

16
Ketentuan pasal 1183 KUH Perdata: apabila dalam pembagian sebidang
tanah dijanjikan hipotik sebagai jaminan untuk pembayaran uang berhubung
sebagai akibat pemisahan masih harus dibayar kepada kawan berhak yang
lain, dan kemudian pemberian hipotik itu dilakukan dalam jangka waktu 8 hari
sesudah pembagian tanah terjadi, maka hipotik ini akan bertingkat lebih tinggi
dari hipotik-hipotik yang barangkali oleh A diberikan kepada orang yang
berpiutang yang lain atas bagian tanah itu dalam jangka waktu 8 hari
tersebut15.

H. Hak dan Kewajiban Pemilik Selama Adanya Hipotik

Selama adanya hak hipotik si pemilik sekedar tidak diperjanjikan lain akan
tetapi tetap berwenang merubah benda yang diikatkan, tetap mempunyai
nikmat dari benda itu dan tetap melakukan pengelolaannya, satu dan lain
sekedar hal itu dapat disesuaikan dengan hak-hak pemegang hipotik. Sampai
disitulah perbedaan hak hipotik dari hak gadai, dimana benda yang diikatkan
(pada hak gadai) memang seluruhnya dikeluarkan dari bezit dan pemakaian
oleh pemiliknya.

Bagi penanaman hak-hak kebendaan atas benda yang diikatkan, si pemilik


tetap hanya berwenang sampai batas tertentu. Bahwa ia dapat menanamkan
beberapa hipotik atas benda (tak bergerak tertentu) , hal itu ternyata terdapat di
pasal 1226.

Bahwa si pemilik dapat membebaninya dengan hakpakai hasil, hak itu dapat
disimpulkan dari pasal 846. Tetapi, bagaimanakah dengan hak-hak kebendaan
lain-lainnya, khususnya dengan hak-hak pengabdian pekarangan? Asasnya
ialah, bahwa hak-hak semacam itu tidak mempunyai daya berlaku terhadap
pemegang hipotik , sehingga apabila ia mengambil pelunasan dari benda yang
diikatkan, hal itu dapat dilakukan dalam keadaan didalam mana bendanya
berada pada penanaman hipotik. Pemegang hipotik akan dapat melakukan
pengambilan pelunasan seakan-akan hak-hak kebendaan itu tidak ditanamkan ,
dan juga pembeli akan mendapatkan penempatan diri diatas pendirian ini.

Atas dasar asas umum, bahwa suatu tuntutan hanya dapat diajukan oleh
orang yang mempunyai kepentingan pada penuntutan demikian harus diterima,
bahwa tuntutan demikian tidak akan dapat tidak akan dapat diterima, apabila

15
Ibid, jaminan Atas Tanah, hal 45

17
karena penanaman hak kebendaan . benda tak bergeraknya ternyata tidak
menjadi kurang harganya atau harganya ternyata malah menaik.

I. Pencoretan (Roya) dalam Hipotik

Pencoretan hipotik dari pendaftran dalam register umum hanya dapat


dilakukan berdasarkan persetujuan antara pihak bersangkutan atau berdasarkan
keputusan hakim baik yang dijatuhkan dalam tingkat penghabisan atau yang
telah memperoleh kekuatan pasti (pasal 1195 KUH Perdata). Pencoretan juga
harus dilakukan oleh kepala seksi pendaftaran tanah,.

Dalam prakterk prosedur pelaksanaanroya dilakukan dari bank sampai seksai


pendaftaran tanah dengan kegiatan –kegiatan yang berurutan. Bila kredit yang
dijamin dengan hipotik aau crediverband tersebut telah dibayar lunas kemudian
bank dilakukan fiat roya diatas salinan akte hipotik yang dikaitkan dengan
sertifikat hipotik tersebut. Yang menyatakan bahwa hutang yang dibebani
hipotik tersebut telah dibayar lunas pada tanggal sekian. Kemudian bank
mengajukan permohonan resmi kepada kepaala seksi pendafran tanah agar
hipotik atas tanah yang dipakai sebagai jaminan hutang dicoret dari buku tanah
yang bersangkutan

J. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Tanggungan

Pada mulanya pembebanan hak atas tanah diatur dalam buku II KUH
perdata, Credietverband dalam staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah
dengan staatsblad 1937-190 dan pasal 57 UUPA. Ketiga ketentuan itu telah
dicabut dengan UU Nomer 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah
beserta benda benda yang Berkaitan dengan Tanah karena tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan kegiatan perkreditan di Indonesia.16

Ada 4 (empat) pertimbangan dibentuknya UU Nomor 4 Tahun 1996, yaitu


a. Bahwa bertambah meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik
berat pada bidang ekonomi,dibutuhkan penyediaan dana yang cukup
besar, sehingga diperlukan lembaga hak jaminan yang kuat dan

16
M.Bahsan, “Hukum Jaminan Kredit Perbankan Indonesia”, (Jakarta:PT RAHA GRAFINDO
PERSADA,2007) hal: 90

18
mampu member kepastian hukum bagi pihak pihakl yang
berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang
sejahtera, adil dan makmur berdasarkan pancasila dan UUD 1945;
b. Bahwa sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan DAsar Pokok-Pokok Agraria sampai dengan saat ini,
ketentuan yang lengkap mengenai Hak Tanggungan sebagai lembaga
hak jaminan yang dapat dibebankan atas tanah berikut atau tidak
berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah, belum terbentuk;
c. Bahwa ketentuan mengenai Hypoteek sebagaimana yang di atur
sepanjang mengenai tanah, dan ketentuan mengenai Credietverband
dalam staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan
Staatsblad 1937-190, yang berdasarkan pasal 57 Undang-Undang
Nomor 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok Agraria masih
diberlakukan sementara sampai dengan terbentuknya Undang-Undang
tentang Hak Tanggungan, dipandang tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan kegiatanperkreditan, sehubungan dengan perkembangan
tata ekonomi Indonesia;
d. Bahwa mengingat perkembangan yang telah dan akan terjadi di bidang
pengaturan dan administrasi hak-hak atas tanah serta untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat banyak, selain Hak milik, Hak Guna usaha, dan
Hak Guna Bangunan yang telah ditunjuk sebagai objek Hak
Tanggungan oleh Undang-Undang Nomor 5 TAhun 1960 tentang
peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria, Hak Pakai atas tanah tentu yang
wajib didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan, perlu
jga dimungkinkan untuk dibebani Hak Tanggungan;
e. Bahwa berhubungan dengan hal-hal tersebut atas, perlu dibentuk
undang-undang yang mengantur Hak Tanggungan atas tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah, sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar

19
Pokok-Pokok Agraria, sekaligus mewujudkan unifikasi Hukum Tanah
Nasional.
UU Nomer 4 Tahun 1996 terdiri atas II bab dan 31 pasal. Masing-
masing bab dan pasal tersebut dikemukakan berikut ini.
 Bab I : Ketentuan umum (pasal 1 sampai dengan
pasal 3 UU Nomor 6 Tahnun 1999).
 Bab II : Objek Hak Tanggungan ( Pasal 4 sampai
dengan Pasal 7 UU Nomor 6 Tahun

1999)
 Bab III : Pemberian dan Pemegang Hak
Tanggungan (pasal8 sampai dengan pasal 9 UU Nomer 6
Tahun 1999)
 Bab IV Tata cara pemberian, pendaftaran, peralihan
dan hapusnya Hak Tanggungan Pasal 10 sampai dengan
PAsal 19 UU Nomer 6 Tahun 1999
 Bab V : Eksekusi Hak Tanggungan (pasal 20sampai
dengan pasal 21 UU Nomor 6 Tahun 1999).
 Bab VI : Pencoretan Hak Tanggungan (Paal 22 UU
Nomor 6 Tahun 1999)
 Bab VII : SanksiAdministrasi (Pasal23 UU Nomor 6
Tahun 1999)
 Bab VIII : Ketentuan peralihan ( Pasal 24 sampai
dengan pasal 26 UU Nomor Tahun 1999
 Bab IX : Ketentuan penutup (Pasal 27 sampai
dengan pasal 31 UU Nomor6 Tahun 1999)
Di dalam Pasal1 ayat (1) UU Nomoer 6 Tahun 1999 diswbutkan
pengertian Hak TAnggungan. Yang dimaksud dengan HAk Tanggungan adalah
HAk Jaminan yang dibebankan pada Hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 5 TAhun 1960 tentang Peratuan Dasar Pokok-
Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda benda lain yang merupakan satu

20
kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-
kreditorlainya.17

Unsur-unsur yang tercantum dalam pengertian Hak Tanggungan, yaitu:

a. Hak jaminan yang dibebankan hak atas tanah;


b. Hak atas tanahberikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan
suatu kesatuan dengan tanah itu;
c. Untuk pelunasan utang tertentu
d. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu
terhadap kreditor-kreditor lainnya.

Yang menjadi cirri hak tanggungan adalah sebagai berikut.

a. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada


pemegangnya atau yang dikenal dengan droit de preference.
Keistimewaan ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka (1) dan pasal 20 ayat (1)
UU Nomor 4 Tahun 1996. Apabila debitor cedera janji, kreditor pemegang
Hak Tanggungan berhak untuk menjual objek yang dijadikan jaminan
melalui pelelangan umum menurut peraturan yang berlaku dan mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut,dengan Hak
Tanggungan atau kreditor pemegang Hak Tanggungan dengan peringkat
yang lebih rendah. Hak yang istimewa ini tidak dipunyai oleh kreditor
bukan pemegang Hak Tanggungan.
b. Selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapa pun benda itu
berada atau disebut dengan Droit de suit. Keistimewaan ini ditegaskan
dalam Pasal 7 UU Nomor 4 Tahun 1996. Biarpun objek Hak Tanggungan
sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain, kreditor pemegang HAk
Tanggungan tetap masih berhak untuk menjual melalui pelelangan
umumjika debitor cedera janji.

17
Salim HS, “Perkembangan Hukum Jaminan diIndonesia”,(Jakarta: PT RAJAGRAFINDO
PERSADA,2007)

21
c. Memenuhi asas spesialitas dan pubilitas sehingga dapat mengikat pihak
ketiga dan memberikan kepastian hukumbagi phak yang berkepentingan.
d. Mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya. Dalam UU Nomor 4
Tahun 1996 memberikan kemudahan dan kepastian kepada Kreditor
dalampelaksanaan eksekusi.
Selain cri-ciri di atas, keistimewaan kedudukan hukum kreditor pemegang
Hak TAnggungan juga dijamin melalui ketentuan Pasal 21 UU Nomer 4 Tahun
1996. Apabila pemberi HAk Tanggungan dinyatakan pailit, objek tanggungan
tidak masuk dalam boedel kepailitan pemberi Hak Tanggungan, sebelum
kreditor pemegang Hak Tanggungan mengambil pelunasan piutangnya dari
hasil penjualan objek Hak Tanggungan itu

K. Subjek dan Objek Hak Tanggungan

Pada dasarnya tidak setiap hak atas tanah dapat dijadikan jaminan utang,
tetapi hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan harus memenuhi syarat
syarat sebagai berikut:

a. Dapat dinilai dengan uang karena utang yang dijamin berupa uang;
b. Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum karena harus
memenuhi syarat publistas
c. Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan karena apabila debitor
cedera janji benda yang dijadikan jaminan utang akan dijual di mua
umum
d. Memerlukan penunjukan dengan undang-undang (Budi Harsono,1996:
5)
Dalam Pasal 4 sampaidengan Pasal 7 UU Nomer 4 Tahun 1999 telah
ditunjuk secara tegas hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang. Ada
lima jenis hak atas tanah yang dapat dijaminkan Hak Tanggungan, yaitu:
a. Hak milik;

22
b. Hak Guna Usaha;
c. Hak Guna Bangunan;
d. Hak Pakai,baik hak milik maupun hak atas negara;
e. Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah
ada atau aka nada merupakan satu kesatuan dengan tanahtersebut dan
merupakan hak milik pemegang hakatas yang pembebannya dengan
tegas dan dinyatakan di dalam akta pemberian hak tanah yang
bersangkutan.
Yang dapat menjadi subjek hukum dalam pemasangan Hak
Tanggungan adalah sebagai berikut.
a. Pemberi Hak Tanggungan
Pemberi Hak Tanggungan adapat perorangan atau badan hukum, yang
mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap
objek Hak Tanggungan
b. Pemegang Hak Tanggungan
Pemegang Hak TAnggungan terdiri dari perorangan atau badan
hukum yang berkedudukan sebagai pihak berpiutang.
Biasanya dalam praktek pemberi Hak Tanggungan disebut dengan
debitor, yaitu orang yang meminjamkan uang di lembaga perbankan, yaitu
orang atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak berpiutang.

L. Hapusnya Hak Tanggungan

Hapusnya Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 19


UU Nomor 4 Tahun 1996. Yang dimaksud dengan hapusnya Hak
Tanggungan adalah tidak berlakunya lagi Hak Tanggungan. Ada empat sebab
hapusnya Hak Tanggungan, yaitu18:

1. Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan.


2. Dilepaskan Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan.

18
Suharnoko,SH., MLI. “Hukum Perjanjian Teori dan Kasus Analisa”,(Jakarta: Prenada media ,
2008) hal:80

23
3. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh
Ketua Pengadilan Negeri.
4. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.

Walaupun hak atas tanah itu dihapus, namun pemberi hak tanggungan
tetap berkewajiban untuk membayar utangnya. Hapusnya Hak Tanggungan
yang dilepas oleh pemegang Hak Tanggungan dilakukan dengan pemberian
pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh
pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan. Hapusnya
Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan
penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena
permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut,
agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak
Tanggungan.19

M. Tata Cara Pemberian Hak Tangungan

Tata cara pemberian Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 10 dan Pasal
15 UU Nomer 4 Tahun 1996. Dalam Pasal 10 UU Nomor 4 Tahun 1996.
Dalam Pasal 10 UU Nomor 4 Tahun 1996 diatur tentang tata cara
pemberian Hak Tanggungan oleh pemberi Hak TAnggungan secara
langsung, sedangkan dalam pasal 15 UU Nomor 4 Tahun 1996 diatur
tentang pemberian kuasa pembebanan Hak Tanggungan oleh pemberi Hak
Tanggungan kepada penerima kuasa. Prosedur pemberian Hak
Tanggungan sesuai Ketentuan Pasal 10 UU Nomor 4 Tahun 1996 adalah
sebagai berikut.20

a. Didahului janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan


pelunasan utang tertentu, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari
perjanjian utang piutang.

19
Ibid, 123-124
20
H.F.A. Vollmar’ “Pengantar Studi Hukum Perdata Jiilid I” hal: 20

24
b. Dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh
PPAT berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang
telah memenuhi syarat didaftarkan, akan tetapi belum dilakukan,
pemberian Hak tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan
pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan.
Ada dua alasan pembuatan dan penggunaan Surat Kuasa Memasang
Hak Tanggungan (SKMHT), yaitu alasan subjekti dan objektif. Yang
termasuk alasan subjektif, yaitu:
a. Pemberian Hak Tanggungan tidak dapat hadir sendiri di hadapan
notaris/PPAT untukmembuat akta Hak Tanggungan;
b. Prosedur pembebanan Hak TAnggungan Panjang/lama;
c. Biaya pembuatan Hak Tanggungan cukup tinggi;
d. Kredit yang diberikan jangka pendek;
e. Kredit yang diberikan tidak besar/kecil;
f. Debitor sangat dipercaya /bonafid

Yang termasuk dalam kategori alasan objektif dikemukanan berikut ini:


a. Sertifikat belumditerbitkan.
b. Balik nama atas tanah pemberian Hak Tanggungan belum dilakukan.
c. Pemecahan/ penggabungan tanah belum selesai dilakukan atas nama
pemberi Hak Tanggungan.
d. Roya /pencoretan belum dilakukan.

Prosedur pembebanan Hak Tanggungan yang menggunakan suat kuasa


pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 15
UU Nomer 4 Tahun 1996 dikemukakan berikut ini.21

a. Wajib dibuatkan dengan akta notaries atau akta PPAT dan memenuhi
persyaratan sebagai berikut:

21
Wirjono Prodjodikoro,”Hukum Perdata tentang Hak-Hak Atas Benda”’(Jakrta :Soerangan 1960),
hal :25

25
1. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain
daripada mebebankan hak tanggugan;
2. Tidak memuat kuasa substitusi;
3. Mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan, jumlah
utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan
identitas utang dan identitas debitor apabila debitor bukan
pemberi Hak Tanggungan.
b. Tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apa
pun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena
telah habis jangka waktunya.
c. Surat kuasa membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah
yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat
lambatnya 1(satu) bulan sesudah diberikan.
d. Surat kuasa membebankan Hak TAnggungan mengenai Hak atas tanah
yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta pemberian
Hak Tanggungan (APHT) selambat lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah
diberikan. Prosedur pada huruf c dan d tidak berlaku dalam hal surat
kuasa mebebankan Hak Tanggungan diberikan untuk menjamin kredit
tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundang uandangan yang
berlaku.22

Di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan:


a. Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan;
b. Domisili para pihak apabila diantara mereka ada yang berdomisili
diluar Indonesia, bagiannya harus pula dicantumkan suatu domisili
PPAT tempat pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggung dianggap
sebagai domisili yang dipilih;
c. Nilai tanggungan;

22
Titik Wulan Tutik, “ Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional”( Jakarta: Pramedia grup,
2008) hal: 60

26
d. Uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggung (Pasal 11 ayat (1)
UU Nomor 6 Tahun 1996).

Di samping itu, di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat


dicantumkan Janji-Janji antara lain:
a. Janji yang membatasi kewenangan pemberian Hak Tanggungan untuk
menyerahkan objek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau
mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa di muka,
kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak
Tanggungan
b. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk
mengubah bentuk atau tata susunan objekHak Tanggungan;
c. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak
Tanggungan untuk mengelola objek Hak Tanggungan berdasarkan
penetapan Ketua Pengadilan Negri yang daerah hukumnya meliputi
objek hak tanggugan apabila debitor sunguh-sunguh cedera janji;
d. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggung
untuk menyelamatkan objek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan
untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya
atau dibatalkan hak yang menjadi objek hak tanggungan karena tidak
dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan UU;
e. Janji bahwa pemegang Hak Tanggung pertama mempunyai hak
untuk menjual atas kuasanya sendiri objek Tanggungan apabila
debiyornya cedera janji
f. Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama
bahwa objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak
Tanggungan;
g. Janji bahwa pemberian hak tanggungan tidak akan melepaskan
haknya atas objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih
dahulu dari pemegang Hak Tanggungan

27
h. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh
atau sebagian dari gantirugi yang diterima pemberi Hak
Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila objek Hak
Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan
atau dicabut haknya untuk kepentingan umum
i. Janji bahwa pemeganag Hak Tanggungan akan memperoleh
seluruh atau sebagian dari uag asuransi yangdi terimapemberi Hak
Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jikaobjek Hak
Tanggungan diasuransikan
j. Janji bahwa pemberian Hak Tanggungan akan mengkosongkan
objek hak Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan
k. Janji bahwa sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan
pembebasan Hak Tanggungan dikembalikan kepada pemegang hak
atas tanah yang bersangkutan (Pasal 11 ayat (2) UU Nomer 6
Tahun1996)

Janji yang tidak diperkenalkan dicantumkan dalam akta pemberian


Hak Tanggungan adalah ajnji yang memberikan kewenangan kepada
pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan
apabila debitor cedera janji. Janji semacam ini batal demi hukum,
artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada (Pasal 12
UU Nomor 4 Tahun 1999.

N. Pendaftaran Hak Tanggungan


Pendaftaran Hak Tanggungan diatur dalam pasal 13 sampai dengan pasal 14
UU Nomer 4 Tahun 1996. Akta Pemberian Hak Tanggungan yang dibuat oleh

28
PPAT wajib di daftarkan. Secara sistemati, tata cara pendaftaran dikemukakan
berikut ini23

a. Pendaftaran dilakukan di Kantor Pertahanan


b. PPAT dalam waktu 7 hari setelah didatangi pemberian hakl tanggungan
wajib mengirimkan akta PHT dan warkah lainya kepada kantor BPN.
c. Kantor pertahanan membuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan
mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak
Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah
yang bersangkutan
d. Tanggal buku tanah Hak Tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah
penerimaan secara lengkap surat surat yang diperlukan bagi
pendaftarnya. Jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang
bersangkutan diberikan di hari kerja berikutnya
e. Hakl Tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah Hak Tanggungan
dibuatkan (Pasal 13 UU Nomer 4 Tahun1999)
f. Kantor pertahanan menerbitkan sertifikat Hak Tanggungan. Sertifikat
Hak Tanggungan memuat irah rah dengan kata kata “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sertifikat Hak Tanggungan
mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan. Sertifikat Hak Tanggungan diberikan kepada pemegang.
Apabila diperhatikan prosedur pendaftaran di atas, ampaklah bahwa
momentum lahirnya pembebanan Hak Tanggungan atas tanah adalah
pada saat hari buku tanah Hak Tanggungan dibuatkan di kantor
pertahanan.

O. Pencoretan (Roya) Hak Tanggungan

23
Wirjono Prodjodikoro,”Hukum Perdata tentang Hak-Hak Atas Benda”’(Jakrta
:Soerangan 1960), hal :25

29
Roya Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 22 UU Nomor 4 Tahun
1996. Apabila Hak Tanggungan hapus, maka Kantor Pertanahan melakukan
Roya (pencoretan) catatan Hak Tanggungan pada buku tanah hak atas tanah
dan sertifikatnya. Sertifikat Hak Tanggungan dinyatakan tidak berlaku oleh
Kantor Pertanahan. Apabila sertifikat karena sesuatu sebab tidak
dikembalikan kepada Kantor Pertanahan, hal tersebut dicatat pada buku
tanah Hak Tanggungan. Prosedur pencoretan itu dikemukakan berikut ini.24

Permohonan pencoretan dilakukan oleh pihak yang berkepentingan


dengan melampirkan hal-hal sebagai berikut:

1. Sertifikat Hak Tanggungan yang telah diberi catatan oleh


kreditor bahwa Hak Tanggungan hapus karena piutangnya
telah lunas.
2. Pernyataan tertulis dari kreditor bahwa Hak Tanggungan
telah hapus karena piutang yang dijamin dengan Hak
Tanggungan telah lunas atau kreditor melepaskan Hak
Tanggungan yang bersangkutan.

Apabla kreditor tidak bersedia memberikan pernyataan, sebagaimana


dikemukakan di atas maka pihak yang berkepentingan dapat mengajukan
permohonan perintah pencoretan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang
daerah hukumnya meliputi tempat Hak Tanggungan yang bersangkutan
didaftar, tetapi apabila permohonan perintah pencoretan timbul dari
sengketa yang sedang diperiksa oleh Pengadilan Negeri lain, permohonan
tersebut harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa
perkara yang bersangkutan. Permohonan pencoretan catatan Hak
Tanggungan berdasarkan perintah Pengadilan Negeri tersebut diajukan
kepada Kepala Kantor Pertanahan dengan melampirkan salinan penetapan
atau putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Setelah menerima
permohonan tersebut, maka Kepala Kantor Pertanahan melakukan

24
Subekti dan R tjiptosudibyo,” Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”, (Jakarta : pradya
pramata, 1985) hal :45

30
pencoretan menurut tata cara yang ditetapkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dalam waktu 7 hari kerja.25

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan perniasalahan yang telah dibahas dalam bab-bab yang


terdahulu, maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. pengertian hipotek dinyatakan dalam pasal 1162 KUH perdata yang


berbunyi :
Hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak,
untuk menggambil penggantian daripadanya bagi perlunasan suatu
perikatan.

Dari bunyi ketentuan dalam pasal 1162 KUH perdata, tampaknya hak
hipotek mirip dengan hak gadai, yaitu sama-sama sebagai hak jaminan

25
Ibid, 125-126

31
kebendaan, sedang bendanya, hak gadai merupakan hak jaminan yang
dibedakan kepada kebendaan bergerak, dan hak hipotek merupakan hak
jaminan yang dibebankan kepada kebendaan tidak bergerak

2. Yang dimaksud dengan HAk Tanggungan adalah HAk Jaminan yang


dibebankan pada Hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 5 TAhun 1960 tentang Peratuan Dasar Pokok-
Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda benda lain yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan utang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu
terhadap kreditor-kreditorlainya.

3. apabila hutang debitur telah dinyatakan lunas oleh bank, maka selalu
dilakukan pencoretan (roya) terhadap pendaftaran hipotek.

DAFTAR PUSTAKA

Usman rachmadi,S.H.,M.H., hukum jaminan keperdataan (jakarta:sinar


grafika,2009) hal 246-249
Saija Ronald, Buku Ajar Hukum Perdata, (Sleman:CV.Budi Utama,2012), hal 79
Sofwan Sri, Jaminan Atas Tanah, (Yogyakarta:Liberty, Yogyakarta, 1981), hal 51
H.F.A. Vollmar’ “Pengantar Studi Hukum Perdata Jiilid I” hal: 20
Subekti dan R tjiptosudibyo,” Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”, (Jakarta :
pradya pramata, 1985) hal :45
Wirjono Prodjodikoro,”Hukum Perdata tentang Hak-Hak Atas Benda”’(Jakrta
:Soerangan 1960), hal :25
Titik Wulan Tutik, “ Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional”( Jakarta:
Pramedia grup, 2008) hal: 60
Suharnoko,SH., MLI. “Hukum Perjanjian Teori dan Kasus Analisa”,(Jakarta:
Prenada media ,2008) hal:80
Salim HS, “Perkembangan Hukum Jaminan diIndonesia”,(Jakarta: PT
RAJAGRAFINDO PERSADA,2007)
M.Bahsan, “Hukum Jaminan Kredit Perbankan Indonesia”, (Jakarta:PT RAHA
GRAFINDO PERSADA,2007) hal: 90

32
33

Anda mungkin juga menyukai