Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum waris merupakan salah satu bagian dalam kehidupan manusia yang diatur
dalam kitab undang – undang hukum perdata yang secara keseluruhan dan merupakan
bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris, sangat erat hubungannya
dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan
mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Untuk itu, maka diatur dalam
KUHPerdata mengenai Hukum Waris, walaupun belum terdapat keseragaman
pengertian, tetapi dapat diambil kesimpulan, Hukum Waris adalah perpindahan
kekayaan seseorang yang meninggal dunia (pewaris) kepada ahli waris.
Dalam KUHPerdata, menjelaskan secara keseluruhan mengenai hukum waris,
yaitu terdapat pengaturan dan juga sebuah larangan salah satu nya adalah Fidei
Komis. Lembaga Fidei Komis berasal dari hukum romawi yang tujuannya untuk
menyeludupi ketentuan – ketentuan yang terdapat dalam hukum romawi. Sehingga
dalam hal ini orang – orang tertentu adalah bukan ahli waris dan karnanya tidak
mewaris dari orang – orang tertentu atau ia adalah ahli waris dengan hak terbatas.
Seiring dengan perkembangan zaman, akhirnya pada abad pertengahan lembaga
tersebut mempunyai tujuan lain. Tujuan lain dari lembaga tersebut adalah si pewaris
menginginkan barang barang tetap utuh dan tidak terbagi – bagi, dan
mempertahankan agar benda – benda warisannya tidak cepat masuk dalam peredaran
atau lalu lintas perdagangan.
Maka dari itu, terdapat perbedaan pengaturan antara pada saat berlakunya fidei
komis zaman dulu, zaman pertengahan, dan pada zaman sekarang, dan sebab
mengapa fidei komis ada yang bersifat terlarang dan ada juga yang diperbolehkan
beserta dasar hukum serta ketetapannya .

1
B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis merumuskan masalah sebagai


berikut:

1. Bagaimanakah pengertian dan perkembangan fidei komis zaman dulu dan


zaman sekarang dan berdasarkan dasar hukum ?
2. Bagaimana contoh dan larangan serta ketentuan untuk memindah tangankan
fidei kommis ?
3. Bagaimana keberadaan fidei-commis dalam sudut pandang ajaran islam ?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk menggambarkan bagaimanakah Fidei Komis dalam Kitab Undang


Undang Hukum Perdata
2. Untuk mengetahui Fidei Komis terlarang dan Fidei komis yang diperbolehkan
3. Untuk memahami mengenai fidei-commis dari sudut pandang agama islam

2
BAB II
PEMBAHASAN

1.1 PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN FIDEI KOMIS ZAMAN DULU


DAN ZAMAN SEKARANG

Menurut pendapat J. Satrio dalam buku ”Hukum Waris” (hal. 210), pasal 879
KUHPerdata dengan tegas melarang pengangkatan waris atau hibah wasiat lompat
tangan, dengan sanksi, bahwa pemberian yang demikian adalah batal bagi yang
diangkat atau si penerima hibah. Dari rumusan pasal 879 KUHPerdata tersebut, maka
J. Satrio merumuskan definisi fidei-commis yaitu suatu ketetapan dalam surat wasiat,
dimana si pewaris atau sebagian dari padanya termasuk penerima hak dari mereka,
berkewajiban untuk menyimpan yang mereka terima, dan sesudah suatu jangka waktu
tertentu atau matinya di penerima.
Dari definisi tersebut, dapat diuraikan bahwa Fidei-Commis ialah suatu
pemberian warisan kepada seorang waris dengan ketetntuan, ia wajib menyimpan
warisan itu dan setelah lewat suatu waktu atau apabila si pewaris itu sendiri telah
meninggal, warisan itu harus diserahkan kepada seorang lain yang sudah ditetapkan
dalam surat wasiat (testament). Orang yang akan menerima warisan terkemudian
tersebut, dinamakan ”Verwachter”, karena ia menerima warisan itu dengan melewati
tangan waris yang pertama, maka cara pemberian warisan semacam ini oleh undang-
undang dinamakan juga erfstelling over de hand, yaitu pemberian warisan secara
melangkah. Perkataan fidei-commis berasal dari ”fides” yang berarti kepercayaan.
Warisan itu seolah-olah dipercayakan kepada pewaris yang pertama ditunjuk. Pada
umumnya suatu fidei-commis itu dilarang oleh undang-undang, karena ada benda-
benda yang tak bergerak, yang untuk waktu lama dan tidak tertentu akan tersingkir
dari lalu lintas hukum, sehingga ini dianggap sebagai suatu rintangan besar bagi
kelancaran lalu lintas hukum.1

1
Prof. Subekti, S.H., Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermasa, 2003), hlm 112.

3
Dalam fideicommis terdapat tiga pihak, dijelaskan oleh J. Satrio (hal. 211)
bahwa ketiga pihak tersebut adalah:

1. Pewaris
Pewaris adalah orang yang memiliki atau memegang atau menguasai atau yang
meninggalkan harta untuk diteruskan kepada ahli waris atau pihak ketiga, termasuk
didalamnya adalah beban-beban,hibah dan wasiat kepada pihak ketiga.

2. Pemikul Beban (bezwaarde )


Yang dimaksud dengan Pemikul Beban atau bezwaarde adalah orang yang pertama-
tama ditunjuk sebagai ahli waris/legetaris, dengan tugas/kewajiban menyimpan
barang dari pewaris dan menyampaikannya kepada pihak ketiga

3. Penunggu(verwachter)
Yang dimaksud dengan Penunggu atau verwachter adalah orang yang akan
menerima harta dari pewaris melalui bezwaarde/pemikul beban.   2

Menurut Mulyadi fidei commis yaitu pemberian wasiat pengangkatan waris


atau legaat dengan lompat tangan adalah dilarang dan batal apabila ada penetapan
dari si pewaris bahwa seseorang ahli waris dibebani kewajiban untuk menyimpan
harta warisan atau barang tertantu dari harta warisan itu dan kemudian untuk
menyerahkan barang itu ke pihak ketiga.
Pada zaman dahulu, lembaga Fidei Komis berasal dari hukum Romawi,
yang bertujuan untuk menyelundupi ketentuan – ketentuan yang terdapat di dalam
hukum Romawi. Dalam hukum Romawi tersebut, orang – orang tertentu ialah bukan
ahli waris, oleh karena itu ia tidak mewaris dari orang tertentu atau bisa disebut
dengan ahli waris yang hanya mempunyai hak yang terbatas.3

2
J.Satrio,S.H.,Hukum Waris,( Bandung:Alumni,1992 ),hlm.211
3
Hartono Soerjopratikno, op.cit., hlm. 212.

4
Dengan seiring berkembangnya zaman, pada abad pertengahan, lembaga
Fidei Komis telah mempunyai tujuan lain, yaitu si pewaris menginginkan barang –
barang yang di warisi tetap utuh dan tidak terbagi – bagi serta tetap mempertahankan
benda – benda warisannya tersebut agar tidak segera masuk dalam peredaran atau
yang disebut dengan lalu lintas perdagangan.4
Akan tetapi, dalam hal tersebut, undang – undang melarang lembaga Fidei
Komis itu, yang dapat menghambat dunia perdagangan. Karena pada saat itu,
lembaga tersebut sedang berada pada titik dimana masa pembentukan BW atau
KUHPerdata adalah masa orang – orang yang masih berfikir individualistis kapitalis.
Di sisi lain, lembaga Fidei Komis tersebut juga memungkinkan suatu barang
disimpan dalam jangka waktu yang lama, yang berada di luar peredaran perdagangan
tersebut. Maka, seiring berjalannya waktu, seorang pewaris tidak di benarkan dalam
wasiatnya untuk melarang si ahli waris untuk mudah mendapatkan seluruh atau
sebagian barang yang diwasiatkan olehnya. Hal ini tercantum dalam Pasal 884
KUHPerdata.5
Pada akhirnya, lembaga Fidei Komis mengeluarkan pengecualian dalam
larangan Fidei Komis yang telah diatur dalam Pasal 881 ayat (1) KUHPerdata yaitu,
bahwa :
“Suatu ketetapan, dengan mana seorang ketiga atau dalam halnya ia meninggal
dunia sebelumnya, sekalian dengan anaknya yang sah, yang telah atau akan
dilahirkan, dikaruniai dengan seluruh atau sebagian dari apa yang karena tak
terjual atau tak terhabiskan, oleh seorang waris atau seorang penerima hibah dari
warisan atau hibahnya setelah meninggalnya masing – masing, akan kiranya
ditinggalkannya, adalah bukan suatu yang merupakan pengangkatan waris atau
pemberian hibah dengan lompat tangan yang terlarang.”
Fidei Komis diatas disebut dengan Fidei Komis Deresiduo yang mana dalam hal ini
si pewaris membuat suatu ketetapan atas sebagian atau seluruh harta warisannya,

4
J. Satrio, op.cit., hlm. 213.
5
Ibid.

5
Fidei Komis Deresiduo ini berbeda dengan Fidei Komis yang telah kita bahas
sebelunya, dimana yang diterima oleh Verwachter ( penunggu ) yaitu sisa yang masih
tertinggal.6
Suatu pengecualian lain lagi disebutkan dalam pasal 882 B.W. intinya
adalah penunjukkan seorang pihak ketiga, untuk unutk menggantikan orang yang
ditunjuk pertama sebagai ahli waris testamentair atau penerima hibah wasiat, dalam
hal orang yang ditunjuk pertama gugur haknya adalah sah. Hak oarng ketiga baru
muncul, dalam hal yang pertama haknya gugur. Di sini ada sifat pergantian
“Substitutie”, karenanya disebut Vulgaire Substitutie. Selain itu, dalam pasal tersebut
yang menonjol adalah adanya pergantian, bukan penunjukkan secara beruntun,
sehingga di sini tidak ada “dua kali beschikking atas barang yang sama oleh pewaris”
yang merupakan ciri fidei commis (de residuo), sehingga figure ini sama sekali bukan
merupakan fidei commis, apalagi di sini taka da yang merupakan ciri lain kewajiban
untuk menyimpan barang pada orang yang disebut pertama.
Dalam penyebutan pasal 882 BW secara beruntun dibelakang pasal 879,
880, 881 BW menimbulkan kesan bahwa pembentukan Undang-Undang menganggap
figure yang disebut dalam pasal tersebut sebagai suatu figuur yang mempunyai
hubungan yang erat atau mempunyai persamaan dengan lembaga hukum fidei
commis. Hak orang yang ditunjuk pertama dapat gugur antara lain dalam hal ia mati
lebih dahulu dari pewaris atau menolak warisan/legaat tersebut. Pasal 883 BW
menyatakan bahwa “Adalah sah pula, suatu ketetapan wasiat, dengan mana
mengenai suatu kebendaan hak pakai hasilnya diberikan kepada orang yang satu,
sedangkan hak milik semata-mata atas kebendaan itu diberikan kepada orang yang
lain”. Hal tersebut menjelaskan bahwa Undang-Undang tidak melarang, karenanya
sah dalam hal si pewaris kepada orang yang satu memberikan hak pakai hasil, sedang
hak miliknya (bloteeigendom) diberikan kepada orang lain lagi.
Di sini ada beschiking dua kali atas benda yang sama, tetapi di sii sisi
kedua beschiking tersebut berbenda dan tidak memberikaan secara berurutan apalagi
6
Ibid., hlm. 213.

6
kewajiban menyimpan sama sekali tidak ada. Blote Eigendom di sini maksudnya
adalah hak milik yang isi atau wewenangnya sudah digerogoti demikian rupa,
sehingga pemilik dalam kenyataannya hanya namanya saja pemilik, sebab si pemilik
atas miliknya sudah tidak mempunyai manfaat/keuntungan ekonomis sama sekali.
Yang diatur dalam pasal 883 BW sama sekali bukan merupalan fidei commis, hanya
memang sebagai tersebut di atas ada sedikit kemiripan antara keduanya.

Pada intinya sampai saat ini, pengaturan Fidei Komis yang di perkenankan
terdapat dalam Pasal 975 KUHPerdata, yaitu :

1. Yang menjadi bezwaarde ( pemikul beban ) adalah seorang anak atau lebih.
2. Yang menjadi verwachter ( penunggu ) adalah sekalian anak atau keturunan.
3. Yang diberikan adalah bagian bebas ( beschik baardeel ) dari warisan.7

1.2 CONTOH DAN LARANGAN UNTUK MEMINDAH TANGANKAN

7
Ibid., hlm. 216.

7
Contoh 1 :

M e n u r u t s k e m a

bezwaarde dan sekalian keturunannya, yaitu E, F, G sebagai verwachter

8
Contoh 2 :

Menurut skema diatas, A menunjuk B dan D sebagai ahli waris


testamentair / legataris dengan kewajiban (sebagai bezwaarde) untuk menyimpan
dan kemudian sesudah jangka waktu tertentu biasanya pada waktu mereka meninggal
dunia, menyerahkan kepada anak keturunan B dan D serta cucu pewaris E, F, H, I,
dan J berkedudukan sebagai verwachter.

Didalam pasal 973 KUHPerdata, memberikan pengecualian dalam hal


seorang anak yang telah meninggal dunia lebih dulu dari testateur, maka ia dapat
menunjukkan seorang cucu atau lebih sebagai bezwaarde dan sekalian anak mereka
baik yang sudah ada maupun akan dilahirkan sebagai verwachter.

9
Contoh 3 :

Dalam skema diatas, A menunjukan cucu – cucunya D dan E anak – anak


dari pewaris B yang tidak meninggal dunia sebelum pewaris, sebagai bezwaarde dan
anak – anak mereka (cicit pewaris ) yaitu F, G, dan H sebagai verwachter.

10
Contoh 4 :

Menurut skema diatas, C menunjukan saudaranya D sebagai bezwaarde


serta E dan F sebagai verwachters.8

8
Ibid., hlm. 216-218

11
LARANGAN UNTUK MEMINDAH TANGANKAN

Seperti yang telah dikatakan adanya larangan fidei kommis didasarkan atas
fikiran pembuat undang-undang, bahwa suatu barang tidak boleh terlalu lama di
kelurkan dari peredaran ekonomis. Sejalan dengan itu, maka pasal 884 KUH Perdata
melarang suatu testament yang mengandung syarat, tidak boleh dipindah tangankan.
Jadi ketentuan pasal 884 kuhperdata adalah senafas dengan pasal 879 KUH Perdata.
Yang perlu di ingat adalah bahwa pasal 884 KUH Perdata hanya menyatakan bahwa
bila suatu testament mengandung larangan yang demikian, maka ketentuan tersebut “
dianggap sebagai tidak tertulis”. Konsekuensinya testament sendiri tetap sah, hanya
larangannya saja yang dianggap tidak tertulis didalamnya. Sejalan dengan itu pitlo
memeperluas berlakunya pasal 884 kuh perdata, sehingga meliputi legaat, yang
mengandung syarat pembatal, dalam wujud larangan kepada legetaris untuk menjual
atau menghibahkan barang-barang legaat. Bahkan pitlo menambahkan, bahwa
larangan yang bersifat sementara pun tidak dibenarkan. 9
Pada dasarnya Fidei commis dilarang, namun dalam beberapa hal diperbolehkan,
seperti:
1. Fidei commis de residuo; seorang ketiga yang meninggal dunia sebelumnya,
diberikan untuk anaknya yang sah sudah atau belum dilahirkan telah
dikaruniai dengan seluruh atau sebagaian berupa harta waris yang tidak terjual
atau tidak dihabiskan dari seorang ahli waris atau seseorang penerima hibah
atau wasiat tersebut. Pasal 881 KUH Perdata. Pada Pasal 990 KUH Perdata
mengatur bahwa setiap Fidei commis de residuo ini, ahli waris atau penerima
hibah diwajibkan untuk membuat pertelaan dan perincian atas barang-barang
warisan, tetapi tidak perlu ada jaminan oleh pihak yang dibebani, agar barang-
barang itu diurus dengan sebaik-baiknya.

9
J.Satrio,S.H.,Hukum Waris,( Bandung:Alumni,1992 ),hlm.219

12
2. Fidei commis kepada cucu dan keturunan saudara-saudara
Kedua orang tua diperbolehkan dengan surat wasiat menghibah wasiatkan
seluruh atau sebagian harta kekayaan mereka, yang mana berhaklah mereka
menggunakannya dengan bebas, kepada salah seorang anak mereka atau
lebih dengan perintah akan menyerahkan barang-barang itu kepada sekalian
nak masing-masing, baik yang sudah ada maupun yang akan dilahirkan.
(Pasal 973 ayat [1] KUH Perdata)

KETETAPAN HIBAH WASIAT YANG JUMLAHNYA MELEBIHI HAK


TESTATEUR DALAM HARTA PERSATUAN

Menurut pasal 119 KUH Perdata, dalam perkawinan antara suami atau istri
berlaku persatuan harta bulat yang bersifat menyeluruh dengan pengecualiannya
diatur dalam pasal 120 KUH Perdata, bahkan dalam perjanjian kawin dapat pula
ditentukan bahwa antara suami atau istri berlaku persatuan harta yang terbatas,
sebagaimana diatur dalam pasal 137, 115 KUH Perdata, dan seterusnya.
Pasal 903 KUH Perdata mengatur dalam hal semasa hidupnya sepanjang
masih berjalannya persatuan harta suami atau istri membuat ketetapan testamentair,
yang isisnya memberikan barang-barang tertantu kepada orang, yang jumlahnya
kemudian ternyata melebihi haknya dalam persatuan.
Dalam hal ketetapan dalam wasiat yang melebihi hak bagiannya dan harta
persatuan, maka sudah sepatutnya ketetapan testamentair pewaris tidak dapat
dilaksanakan sepenuhnya karena melebihi haknya dalam harta persatuan, sehingga
ketetapan yang demikian harus dikurangi sampai sebesar hak bagiannya.
Apabila legaat tersebut dalam bentuk suatu barang tertentu, namun ternyata pada
warisa terbuka barang tersebut, sudah tidak ada lagi, mungkin sudah dijual. Dalam
hal ini menurut pasal 903 KUH Perdata, legetaris tidak berhak menuntut legaat dalam
hidupnya, tetapi ia hanya berhak menuntut ganti rugi kepada para ahli waris, sebesar

13
nilai barangnya tersebut, apabila penggantian diambil dari harta warisan namun tidak
cukup untuk memenuhi jumlah tersebut, maka para ahli waris wajib membayarnya
dari harta mereka.

14
1.3 FIDEI-COMMIS DALAM SUDUT PANDANG AGAMA ISLAM

Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya bahwa fidei-commis merupakan


bagian dari larangan umum dalam wasiat. Sehingga untuk mengetahui fidei-commis
dalam sudut pandang islam, maka harus diketahui terlebih dahulu keterkaitan wasiat
dalam ajaran agama islam.
Kata wasiat berasal dari bahasa Arab yakni wahshaitu asy-syaia,
uushiihi, artinya aushaltuhu (aku menyampaikan sesuatu). Yang artinya orang yang
berwasiat adalah orang yang menyampaikan pesan diwaktu dia hidup untuk
dilaksanakan sesudah dia mati. Menurut pandangan Islam, wasiat tidak sekadar
menyangkut masalah harta benda. Dalam makna luas, wasiat juga berkaitan dengan
pesan-pesan moral kepada umat manusia. Di dalam Alquran, Allah SWT sendiri telah
mengingatkan agar orang-orang beriman senantiasa berwasiat dalam kebajikan dan
kesabaran (QS al-Ashar [103]: 3).

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-


tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak
dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa”. (Q.S. Al Baqarah:180)

Telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan muslim, dari Ibnu Umar R.A., dia
berkata:  Telah bersabda Rasulullah saw: “ Hak bagi seorang muslim yang
mempunyai sesuatu yang hendak diwasiatkan, sesudah bermalam dua malam tiada
lain wasiatnya itu tertulis pada amal kebajikannya.” Ibnu Umar berkata : Tidak
berlalu bagiku satu malampun sejak aku mendengar Rasulullah saw. Mengucapkan
hadist itu kecuali wasiatku berada di sisiku.

15
Dari ayat dan hadist di atas jelas menunjukkan bahwa pelaksanaan wasiat
sesorang yang telah meninggal adalah wajib hukumnya. Namun hukum wasiat ini
juga tergantung pada isi wasiat itu sendiri. Jika wasiat yang dibuat adalah wasiat yang
sesuai syar’I, maka diwajibkan untuk dilaksanakan. Misalnya saja berwasiat jika ia
meninggal, maka anaknya harus menghafal Al Quran. Wasiat seperti ini harus
dilaksanakan.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud dari Hanasy berkata bahwa dirinya
melihat Ali menyembelih dua ekor gibas. “Lalu aku mengatakan kepadanya, “Apa
ini?” Ali menjawab,” Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah berwasiat kepadaku
agar aku berkurban atasnya maka aku pun berkurban atasnya.”
Namun jika wasiatnya bertentangan dengan syar’i, maka haram dilaksanakan,
Misalnya, jika ia meninggal, ia berwasiat agar anaknya memutuskan silaturahmi
dengan kerabatnya, maka wasiat ini haram dilaksanakan. Sebagaimana sabda Rasul :
“Tidak ada ketaatan didalam sebuah kemaksiatan. Sesungguhnya ketaatan adalah
didalam perkara-perkara yang baik.” (HR. Bukhori) Begitu pula dalam riwayat Abu
Daud disebutkan, “Tidak ada ketaatan didalam maksiat kepada Allah.”

WASIAT HARTA
Dalam hukum Islam, kita mengenal hukum waris dan hukum wasiat. Hukum
waris turun setelah hukum wasiat diturunkan Allah terlebih dahulu. Jika wasiat yang
ditinggalkan tidak bertentangan dengan hukum waris, maka wasiat itu harus tetap
dilaksanakan. Namun lain halnya jika wasiat yang ditinggalkan justru melanggar
hukum waris yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Allah juga telah mengharamkan para ahli waris yang menerima harta
peninggalan dengan jalan wasiat yang bertentangan dengan hukum waris.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: Sesungguhnya Allah telah memberikan setiap

16
orang masing-masing haknya. Maka tidak boleh harta itu diwasiatkan kepada ahli
waris. (HR. At-Tirmizy).10

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan”( Q.S. An Nisa:7)
Maka dari itu, sebaiknya pewaris tidak mewasiatkan hartanya lagi kepada ahli
waris karena ahli waris sudah mendapatkan hartanya lewat hukum waris yang  telah
ditentukan oleh Allah SWT. Jadi jika ingin berwasiat harta, maka berwasiatlah pada
yang bukan ahli waris. Namun Islam juga membatasi wasiat harta kepada mereka
yang bukan ahli waris.
Sebagaimana sabda Rasul :
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahuanhu dia berkata, “Wahai Rasulullah,
bolehkah aku mau berwasiat untuk menyerahkan seluruh hartaku”. Beliau SAW
bersabda, “Tidak boleh”. Aku berkata, “Kalau setengahnya?” Beliau bersabda,
“Tidak boleh”. Aku berkata, “Kalau sepertiganya?” Beliau bersabda: “Ya
sepertiganya dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya jika kamu meninggalkan
ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka
dalam keadaan miskin lalu mengemis kepada manusia dengan menengadahkan
tangan-tangan mereka.” (HR. Al-Bukhari Muslim).
Dari riwayat di atas, dapat kita simpulkan  bahwa harta yang boleh diwasiatkan hanya
1/3 saja karena yang 2/3 harus dibagikan kepada para ahli waris. Inilah kebesaran
Allah yang mengetahui dan mengatur yang terbaik bagi hamba-Nya.
Wasiat juga tidak boleh diubah isinya karena merupakan salah satu dosa besar.
Sebagaimana firman Allah SWT:
10
Pusat Ilmu Islam Nusantara. https://dalamislam.com./hukum-islam/hukum-melanggar-wasiat-
dalam-islam. Diakses pada tanggal 21 april 2019.

17
“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi
kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh
dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan
kamu, jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian.
Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka
keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: “(Demi Allah) kami
tidak akan membeli dengan sumpah ini harga yang sedikit (untuk kepentingan
seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan
persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-
orang yang berdosa”.( Q.S. Al Maidah:106)

“Jika diketahui bahwa kedua (saksi itu) membuat dosa, maka dua orang yang lain di
antara ahli waris yang berhak yang lebih dekat kepada orang yang meninggal
(memajukan tuntutan) untuk menggantikannya, lalu keduanya bersumpah dengan
nama Allah: “Sesungguhnya persaksian kami labih layak diterima daripada
persaksian kedua saksi itu, dan kami tidak melanggar batas, sesungguhnya kami
kalau demikian tentulah termasuk orang yang menganiaya diri sendiri” (Q.S. Al
Maidah:107)

18
“Itu lebih dekat untuk (menjadikan para saksi) mengemukakan persaksiannya
menurut apa yang sebenarnya, dan (lebih dekat untuk menjadikan mereka) merasa
takut akan dikembalikan sumpahnya (kepada ahli waris) sesudah mereka bersumpah.
Dan bertakwalah kepada Allah dan dengarkanlah (perintah-Nya). Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” ( Q.S. Al Maidah:108)
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan diatas, maka Drs. Sofyan Mei
Utama, M.Si. berpendapat bahwa “Wasiat merupakan suatu hal yang dianjurkan
Rasulullah, namun wasiat tersebut tidak boleh lebih dari 1/3. Dalam membuka surat
wasiat juga harus dilakukan secara terbuka, supaya tidak terjadi kecurigaan adanya
pemalsuan. Fidei-commis dilarang dalam Agama Islam, karena menimbulkan
kecemburuan social, sehingga dikhawatirkan menimbulkan konflik diantara internal
keluarga”.

19
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Fideicommis adalah suatu ketetapan dalam surat wasiat, dimana si pewaris
atau sebagian dari padanya termasuk penerima hak dari mereka, berkewajiban untuk
menyimpan yang mereka terima, dan sesudah suatu jangka waktu tertentu atau
matinya di penerima, perbedaan perkembangan fideicommis zaman dulu dan zaman
sekarang terletak pada ketentuan serta sanksi nya pada zaman dulu sebelum ada KUH
Perdata fideicommis diperbolehkan, tetapi seiring perkembangan zaman fideicommis
mengalami perubahan ketentuan yaitu ada fideicommis yang diperbolehkan dan tidak
diperbolehkan sehingga ketentuan didalamnya pun diubah sesuai dengan ketentuan
KUH Perdata (BW).
Berdasarkan gambar skema fideicommis residuo maka ditarik kesimpulan
bahwa yang ditunjuk sebagai bezwaarde dapat satu orang anak tetapi dapat juga
semua anak-anaknya. Namun yang menjadi verwachter harus sekalian keturunan
mereka masing-masing artinya tidak diperkenankan bahwa yang ditunjuk adalan satu
atau beberapa orang keturuna mereka saja tetapi harus semua.
Berdasarkan penjelasan diatas, bahwa Fidei-Commis merupakan bagian
larangan umum dalam Hukum Wasiat. Allah juga telah mengharamkan para ahli
waris yang menerima harta peninggalan dengan jalan wasiat yang bertentangan
dengan hukum waris. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW. Jika wasiat yang
ditinggalkan tidak bertentangan dengan hukum waris, maka wasiat itu harus tetap
dilaksanakan. Namun lain halnya jika wasiat yang ditinggalkan justru melanggar
hukum waris yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Selain itu dengan melakukan
Wasiat lompat tangan (fidei-commis) dilarang oleh undang-undang, karena ada
benda-benda yang tak bergerak, yang untuk waktu lama dan tidak tertentu akan
tersingkir dari lalu lintas hukum, sehingga ini dianggap sebagai suatu rintangan besar
bagi kelancaran lalu lintas hukum. Dengan demikian, Fidei-Commis bukan hanya

20
dilarang dalam aspek hukum positif saja, bahkan dalam Ajaran Islam juga dilarang,
karena bertentangan dengan Hukum Wasiat yang dianjurkan dalam Ajaran Islam

B. SARAN

Berdasarkn yang telah dibahas apabila akan memberlakukan pengangkata waris atau
pemberian hibah wasiat dengan lompat tangan (fideicommis) maka tidak boleh
bertentangan dengan pasal 879 KUH Perdata dengan alasan, bahwa dirasakan sebagai
keberatan besar karena apabila fideicommis melanggar pasal 879 KUH Perdata
fideicommis ini aka nada barang-barang yang tidak mungkin dalam waktu yang agak
lama sama sekali tak dapat diperdagangkan sehingga dalam fideicommis harus yang
berdasarkan yang diperbolehkan yaitu fideicommis residuo yang telah djelaskan
dalam materi.

21
DAFTAR PUSTAKA

Subekti, S.H. Prof. (2003). Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta : Intermasa.

Satrio J, S. (1992). Hukum waris. Bandung: Alumni.


Suparman, m. (2015). hukum waris perdata. jakarta timur: sinar grafika.
https://dalamislam.com./hukum-islam/hukum-melanggar-wasiat-dalam-islam. diakses
pada tanggal 21 april 2019.

22

Anda mungkin juga menyukai