Anda di halaman 1dari 20

UNIVERSITAS TAMA JAGAKARSA

ASAS HUKUM PERDATA INTERNASIONAL DALAM HUKUM ORANG DAN


KELUARGA

MAKALAH

Depi Marlina 174000


Sabda Adhisurya 174000
Tarmizi Haris Lubis 17400050

FAKULTAS HUKUM
POGRAM STUDI ILMU HUKUM
JAKARTA
NOVEMBER 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada Allah yang maha esa, hanya karena bimbingan
dan kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini. Penulisan makalah
dengan judul “Asas Hukum Perdata Internasional Dalam Hukum Orang Dan Keluarga”
ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memenuhi tugas mata
kuliah Hukum Perdata Internasional pada Universitas Tama Jagakarsa. Penulis menyadari
bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna. Penulis mohon maaf sebesar-besarnya
jika ditemukan kesalahan-kesalahan, karena itu penulis mengharapkan adanya kritik dan
saran agar makalah ini menjadi lebih baik.

Dengan hormat,

26 November 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................i

DAFTAR ISI...............................................................................................................ii

BAB 1. PENDAHULUAN.........................................................................................1

A. Latar Belakang.................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................2
C. Tujuan Penulisan..............................................................................................2

BAB 2. ASAS-ASAS HPI DALAM ORANG & KELUARGA.............................3

A. Asas-Asas HPI tentang Hukum Orang dan Keluarga.....................................3


BAB 3. PEMAKNAAN STATUS ANAK BERDASARKAN HPI…....................7

A. Perkawinan Campuran………………..............................................................7
B. Anak Sebagai Subjek Hukum…......................................................................8
C. Pengaturan Mengenai Anak dalam Perkawinan Campuran.............................9
BAB 4. PENUTUP…………………….....................................................................16

A. Kesimpulan......................................................................................................16
B. Saran................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................17

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk social yang selalu hidup bermasyarakat yang pada dasarnya
juga menimbulkan benturan-benturan kepentingan baik dalam ranah pidana maupun
perdata. Sehingga muncul “Ubi societas, ibi ius.” Maknanya, “Di mana ada masyarakat,
di situ ada hukum.” Ungkapan ini menunjukkan bahwa hukum pada dasarnya selalu
muncul sejak pertama kali masyarakat itu ada, yang ditandai oleh pembenturan
kepentingan-kepentingan. Itu baru Itu baru pernyataan yang sederhana yaitu bahwa
manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup diluar tatanan. Tetapi, ia tidak
membicarakan kerumitan antara “societas” dan “ius” tersebut. Tidak tergambarkan
bagaimana intensif dan rumit kaitan antara keduanya.1

Pada hakekatnya setiap negara yang berdaulat, memiliki hukum atau aturan yang
kokoh dan mengikat pada seluruh perangkat yang ada didalamnya. Seperti pada Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki mainstream Hukum Positif untuk mengatur
warga negaranya. Salah satu hukum positif yang ada di Indonesia adalah Hukum Perdata
Internasional yang nantinya akan dibahas lebih detail.

Permasalahan mengenai keperdataan yang mengkaitkan antara unsur-unsur


internasional pada era globalisasi saat sekarang ini cukup berkembang pesat. Aktor non-
negara dan aktor individu mempunyai peran yang sangat dominan. Pada saat sekarang ini
berbagai perusahaan-perusahaan multi nasional (Multi National Corporation) baik yang
berorientasi pada keuntungan atau yang tidak berorientasi pada keuntungan hilir mudik
melintasi batas territorial suatu negara untuk melakukan transaksi perdagangan,
kerjasama, memecahkan permasalahan, riset dan berbagai kegiatan lainnya. Begitu juga
dengan aktor individu, mereka-mereka yang mempunyai uang lebih atau ingin mencari
uang lebih keluar masuk dari satu negara ke negara lain dengan proses yang begitu cepat.
Terjadinya perkawinan dua warga negara yang berbeda, mempunyai keturunan disuatu

1
Derita Prapti Rahayu, Hukum Perdata Internasional Indonesia Bidang Hukum Keluarga (Family Law)
alam Menjawab Kebutuhan Global, Jurnal Hukum Progresif Vol.XII No.1, 2018, hal.1987.

1
negara, mempunyai harta warisan dan lain sebagainya. Inilah sebuah konsekwensi dari
sebuah globalisasi, tak bisa dihindari, akan tetapi inilah sebuah kebutuhan dan merupakan
sifat dasar umat manusia.

Masalah-masalah keperdataan diatas diperlukan sebuah wadah untuk dapat menjadi


acuan dan rujukan bertindak dari aktor-aktor tersebut. Wadah tersebut diperlukan agar
dunia yang ditempati ini tidak didasari dengan hukum rimba, yang kuat menang dan yang
lemah akan tersingkir, secara arti luas yang kaya akan menjadi semakin kaya dan yang
miskin akan bertambah miskin. Keperluan-keperuan akan suatu hal untuk mengatur
permaslahan-permasalahan diataslah menjadikan hukum tentang keperdataan perlu diatur
dalam sutau kerangka-kerangka hukum positif.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan hukum


yang akan dianalisa dalam tulisan ini adalah:

1. Apa saja asas-asas hukum perdata internasional dalam hukum orang dan
keluarga?
2. Bagaimana pemaknaan status anak dalam perkawinan berdasarkan hukum perdata
internasional?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa saja yang termasuk asas-asas hukum perdata internasional
dalam hukum orang dan keluarga.
2. Untuk mengetahui pemaknaan status anak dalam perkawinan berdasarkan
hukum perdata internasional.

2
BAB 2
ASAS-ASAS HPI DALAM HUKUM ORANG & KELUARGA

A. Asas-Asas HPI tentang Hukum Orang dan Keluarga


1. Perkawinan

Berbicara mengenai bidang hukum keluarga, maka pada dasarnya orang berbicara
tentang perkawinan dalam arti yang luas dan mencakup persyaratan material maupun
formal perkawinan, keabsahan perkawinan, akibat-akibat perkawinan, harta perkawinan
dan berakhirnya perkawinan.2

Ikatan perkawinan yang berlangsung antara seorang pria dengan seorang wanita yang
masing-masing tunduk pada sistem hukum nasional yang berbeda (baik karena
perbedaan domisili maupun kewarganegaraannya) akan memunculkan persoalan-
persoalan HPI dalam bidang hukum keluarga.

Permasalahan HPI juga akan timbul jika terjadi perkawinan antara mempelai yang
mempunyai kewarganegaraan yang sama, tetapi melangsungkan perkawinannya di luar
negeri. Di dalam HPI permasalahan pokoknya adalah sistem hukum manakah yang harus
diberlakukan terhadap permasalahan-permasalahan yang ada. Di Indonesia, ketentuan
yang mengatur perkawinan yang mengandung elemen asing ini terdapat dalam Undang-
undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

Perkawinan yang mengandung elemen asing ini salah satunya adalah perkawinan
campuran. Menurut pasal 57 Undang-undang no. 1 tahun 1974, perkawinan campuran
adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan, dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia.3

Asas-asas utama yang berkembang dalam HPI tentang hukum yang harus digunakan
untuk mengatur validitas material suatu perkawinan adalah:

2
Ida Bagus Wyasa Putra, dkk, Diktat Hukum Perdata Internasional, Fakultas Hukum Udayana, 2016,
hal.25
3
Pasal 57 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

3
• Asas lex loci celebrationis yang bermakna bahwa validitas material perkawinan
harus ditetapkan berdasarkan kaidah hukum dari tempat di mana perkawinan
diresmikan/dilangsungkan;
• Asas yang menyatakan bahwa validitas material suatu perkawinan ditentukan
berdasarkan sistem hukum dari tempat masing-masing pihak menjadi warga
negara sebelum perkawinan dilangsungkan;
• Asas yang menyatakan bahwa validitas material perkawinan harus ditentukan
berdasarkan sistem hukum dari tempat masing-masing pihak ber-domicilie
sebelum perkawinan dilangsungkan;
• Asas yang menyatakan bahwa validitas material perkawinan harus ditentukan
berdasarkan sistem hukum dari tempat dilangsungkannya perkawinan (locus
celebrationis), tanpa mengabaikan persyaratan perkawinan yang berlaku di
dalam sistem hukum para pihak sebelum perkawinan dilangsungkan.4

Beberapa asas yang berkembang di dalam HPI tentang akibat-akibat perkawinan (seperti
masalah hak dan kewajiban suami istri, hubungan orang tua dan anak, kekuasaan orang
tua, harta kekayaan perkawinan, dan sebagainya) adalah bahwa akibat-akibat perkawinan
tunduk pada:

• Sistem hukum tempat perkawinan diresmikan (lex loci celebrationis);


• Sistem hukum dari tempat suami istri bersama-sama menjadi warga negara setelah
perkawinan (joint nationality);
• Sistem hukum dari tempat suami istri berkediaman tetap bersama setelah
perkawinan (joint residence), atau tempat suami istri ber-domicile tetap setelah
perkawinan.

Tidaklah jelas asas mana yang digunakan di dalam hukum perkawinan di Indonesia. Pasal
62 undang-undang nomor 1 tahun 1974 hanya menyatakan bahwa kedudukan hukum
anak dalam perkawinan campuran ditentukan berdasarkan kewarganegaraan yang
diperoleh setelah perkawinan atau setelah berakhirnya perkawinan. Bila disadari bahwa
akibat-akibat hukum perkawinan menyangkut dan/atau dipengaruhi oleh aspek public

4
Ida Bagus Wyasa Putra, dkk, Diktat Hukum Perdata Internasional, Fakultas Hukum Udayana, 2016,
hal.26

4
policy (ketertiban umum) dan moralitas sosial di suatu negara, maka disarankan agar
akibat-akibat perkawinan diatur berdasarkan asas b atau c di atas63.

2. Perceraian dan Akibat Hukumnya

Perceraian adalah terputusnya hubungan perkawinan antara suami istri secara hukum
pada saat keduanya masih hidup. Terhadap masalah perceraian ini dalam pelbagai sistem
hukum terdapat perbedaan. Di negara-negara yang memegang teguh ajaran gereja
Katolik, seperti Filipina tidak boleh ada perceraian. Di lain pihak ada pula negara-negara
yang memperbolehkan perceraian dengan syarat-syarat tertentu.

Mengenai masalah perceraian dengan segala akibat hukumnya di dalam HPI berkembang
beberapa asas yang menyatakan, bahwa hal tersebut harus diselesaikan berdasarkan
sistem hukum dari tempat :

• Lex loci celebrationis;


• Joint nationality;
• Joint residence atau domicile of choice setelah perkawinan; dan
• Tempat diajukannya perceraian (lex fori);

Contoh yang bisa diberikan di dalam peristiwa perceraian yaitu perkara perceraian antara
salah seorang perempuan warga negara Indonesia dan seorang pria warga negara Amerika
Serikat yang berdomisili di Negara Bagian Colorado, hakim Pengadilan Negeri Surabaya
mendasarkan dirinya pada hukum Negara Bagian Colorado, Amerika Serikat.

Penggunaan putusan tersebut didasarkan, bahwa di dalam perkawinan campuran pada


asasnya berlaku hukum berdasarkan kewarganegaraan suami. Sang suami adalah warga
negara Amerika Serikat yang berdomisili di negara Bagian Colorado. Sehingga, hakim
dalam putusannya didasarkan pada hukum Negara Bagian Colorado tersebut64.

3. Pewarisan

Masalah-masalah yuridik yang timbul dari persoalan dan proses pewarisan, seringkali
bersumber pada 2 (dua) masalah pokok, yaitu :

• Adanya tata cara pewarisan yang diatur berdasarkan undang-undang, dalam hal
pewaris tidak menyatakan dengan tegas keinginannya melalui testament (ab
intestato atau intestate succesion);

5
• Adanya keinginan tegas pewaris yang dinyatakan melalui testamen, dan yang
harus diwujudkan terhadap harta peninggalannya setelah ia meninggal dunia
(testamentary succesion).

Persoalan pewarisan semacam itu menjadi masalah HPI bila di dalamnya terlibat
sejumlah unsur asing, yang pada akhirnya memunculkan persoalan tentang hukum
mana/apa yang harus digunakan untuk mengatur pewarisan yang bersangkutan.

Fakta-fakta dalam perkara pewarisan yang secara potensial yang umumnya dapat
mempertautkan perkara dengan suatu sistem hukum (lokal atau asing) adalah :

• Status dan kependudukan benda/harta peninggalan


• Penentuan kapasitas hukum/kemampuan hukum si pewaris
• Penentuan validitas substansial dan atau formal dari testamen

Beberapa asas HPI untuk menentukan hukum yang berlaku dalam persoalan pewarisan,
misalnya5:

• Umumnya diterima asas bahwa dalam hal benda yang menjadi objek pewarisan
merupakan benda tetap, maka proses pewarisan atas benda-benda semacam itu
harus diatur berdasarkan hukum dari tempat benda terletak/berada, berdasarkan
asas lex rei sitae atau lex situs;
• Bila benda-benda yang menjadi objek pewarisan adalah benda-benda bergerak,
maka proses pewarisan benda-benda itu dapat ditundukkan pada kaidah-kaidah
hukum waris dari tempat si pewaris menjadi warga negara (lex patriae) atau
berkediaman tetap (lex domicilii) pada saat ia meninggal dunia;
• Hukum dari tempat pewaris berdomisili atau menjadi warga negara pada saat
pembuatan testamen;
• Hukum dari tempat pewaris berdomisili atau menjadi warga negara pada saat ia
meninggal dunia.

5
Ida Bagus Wyasa Putra, dkk, Diktat Hukum Perdata Internasional, Fakultas Hukum Udayana, 2016,
hal.28

6
BAB 3
PEMAKNAAN STATUS ANAK BERDASARKAN HPI

A. Perkawinan Campuran

Berdasarkan Pasal 1 UU 1/1974 tentang perkawinan, perkawinan didefinisikan


sebagai:

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan mambentuk keluarga atau rumah
tangga yang Bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”6

Ikatan semacam itu berlangsung antara pria dan wanita yang masing-masing tunduk pada
sistem hukum nasional yang berbeda tentunya memunculkan persoalan-persoalan HPI
dalam bidang hukum keluarga yang meliputi masalah validitas perkawinan, kekuasaan
orang tua, status anak dan juga masalah kebendaan atau harta ketika perkawinan itu
berakhir. Dalam HPI, persoalan pokoknya adalah sistem hukum manakah yang
harus diberlakukan terhadap persoalan-persoalan di atas.

Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan


dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57:

”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini


ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum
yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia.”7

Selama hampir setengah abad pengaturan kewarganegaraan dalam perkawinan campuran


antara warga negara indonesia dengan warga negara asing, mengacu pada UU
Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958. Seiring berjalannya waktu UU ini dinilai tidak
sanggup lagi mengakomodir kepentingan para pihak dalam perkawinan campuran,
terutama perlindungan untuk istri dan anak.

6
Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
7
Pasal 57 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

7
Barulah pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan
yang baru. Lahirnya undang-undang ini disambut gembira oleh sekelompok kaum ibu
yang menikah dengan warga negara asing, walaupun pro dan kontra masih saja timbul,
namun secara garis besar Undang-undang baru yang memperbolehkan dwi
kewarganegaraan terbatas ini sudah memberikan pencerahan baru dalam mengatasi
persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan campuran.

Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah
masalah kewarganegaraan anak. UU kewarganegaraan yang lama menganut prinsip
kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya
bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam UU tersebut ditentukan bahwa yang
harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan
apabila di kemudian hari perkawinan orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat
pengasuhan anaknya yang warga negara asing.

B. Anak Sebagai Subjek Hukum

Definisi anak dalam pasal 1 angka 1 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak adalah :

“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,


termasuk anak yang masih dalam kandungan.”8

Dalam hukum perdata, diketahui bahwa manusia memiliki status sebagai subjek hukum
sejak ia dilahirkan. Pasal 2 KUHP memberi pengecualian bahwa anak yang masih dalam
kandungan dapat menjadi subjek hukum apabila ada kepentingan yang menghendaki dan
dilahirkan dalam keadaan hidup.9 Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia
memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Namun tidak berarti semua
manusia cakap bertindak dalam lalu lintas hukum. Orang-orang yang tidak memiliki
kewenangan atau kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang lain.
Berdasarkan pasal 1330 KUHP, mereka yang digolongkan tidak cakap adalah mereka
yang belum dewasa, wanita bersuami, dan mereka yang dibawah pengampuan. Dengan
demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap melakukan

8
Pasal 1 angka 1 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
9
Pasal 9 KUHPerdata

8
perbuatan hukum. Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa diwakili oleh orang
tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum. Anak yang lahir dari perkawinan
campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang
berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda. Berdasarkan UU
Kewarganegaraan yang lama, anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun
berdasarkan UU Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan.
Menarik untuk dikaji karena dengan kewarganegaraan ganda tersebut, maka anak akan
tunduk pada dua yurisdiksi hukum.

C. Pengaturan Mengenai Anak dalam Perkawinan Campuran


1. Menurut Teori Hukum Perdata Internasional

Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan
hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya
sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak
memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah,
sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum
dengan ibunya.

Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal. Negara-negara
common law berpegang pada prinsip domisili (ius soli) sedangkan negara-negara civil
law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius sanguinis). Umumnya yang dipakai ialah
hukum personal dari sang ayah sebagai kepala keluarga (pater familias) pada masalah-
masalah keturunan secara sah. Hal ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan
demi kepentingan kekeluargaan, demi stabilitas dan kehormatan dari seorang istri dan
hak-hak maritalnya. Sistem kewarganegaraan dari ayah adalah yang terbanyak
dipergunakan di negara-negara lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia, Swiss dan
kelompok negara-negara sosialis.

Dalam sistem hukum Indonesia, Prof.Sudargo Gautama menyatakan


kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga,
bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu
orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama.

9
Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan No.62 tahun
1958.10

Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang
baik yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari
ayah, lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk
mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama
bila anak-anak tersebut masih dibawah umur.

2. Menurut UU Kewarganegaraan No.62 th.1958


a. Permasalahan dalam perkawinan campuran

Ada dua bentuk perkawinan campuran dan permasalahannya:

• Pria Warga Negara Asing (WNA) menikah dengan Wanita Warga Negara Indonesia
(WNI)

Berdasarkan pasal 8 UU No.62 tahun 1958, seorang perempuan warga negara Indonesia
yang kawin dengan seorang asing bisa kehilangan kewarganegaraannya, apabila selama
waktu satu tahun ia menyatakan keterangan untuk itu, kecuali apabila dengan kehilangan
kewarganegaraan tersebut, ia menjadi tanpa kewarganegaraan. Apabila suami WNA bila
ingin memperoleh kewarganegaraan Indonesia maka harus memenuhi persyaratan yang
ditentukan bagi WNA biasa, karena sulitnya mendapat ijin tinggal di Indonesia bagi laki
laki WNA sementara istri WNI tidak bisa meninggalkan Indonesia karena satu dan lain
hal (faktor bahasa, budaya, keluarga besar, pekerjaan pendidikan,dll) maka banyak
pasangan seperti terpaksa hidup dalam keterpisahan.11

• Wanita Warga Negara Asing (WNA) yang menikah dengan Pria Warga Negara
Indonesia (WNI)

Indonesia menganut azas kewarganegaraan tunggal sehingga berdasarkan pasal 7 UU


No.62 Tahun 1958 apabila seorang perempuan WNA menikah dengan pria WNI, ia dapat
memperoleh kewarganegaraan Indonesia tapi pada saat yang sama ia juga harus
kehilangan kewarganegaraan asalnya. Permohonan untuk menjadi WNI pun harus

10
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, B, Jilid III Bagian I, Buku ke-7, Bandung:
Penerbit Alumni, 1995, hal.86.
11
Pasal 8 UU No. 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan

10
dilakukan maksimal dalam waktu satu tahun setelah pernikahan, bila masa itu terlewati
, maka pemohonan untuk menjadi WNI harus mengikuti persyaratan yang berlaku bagi
WNA biasa. Untuk dapat tinggal di Indonesia perempuan WNA ini mendapat sponsor
suami dan dapat memperoleh izin tinggal yang harus diperpanjang setiap tahun dan
memerlukan biaya serta waktu untuk pengurusannya. Bila suami meninggal maka ia
akan kehilangan sponsor dan otomatis keberadaannya di Indonesia menjadi tidak jelas
Setiap kali melakukan perjalanan keluar negri memerlukan reentry permit yang
permohonannya harus disetujui suami sebagai sponsor.12 Bila suami meninggal, tanah
hak milik yang diwariskan suami harus segera dialihkan dalam waktu satu tahun.
Seorang wanita WNA tidak dapat bekerja kecuali dengan sponsor perusahaan. Bila
dengan sponsor suami hanya dapat bekerja sebagai tenaga sukarela. Artinya sebagai
istri/ibu dari WNI, perempuan ini kehilangan hak berkontribusi pada pendapatan rumah
tangga.

b. Anak hasil perkawinan campuran

Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal, dimana kewarganegaraan anak


mengikuti ayah, sesuai pasal 13 ayat (1) UU No.62 Tahun 195813:

“Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan
hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarga-negaraan
Republik Indonesia, turut memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia setelah ia
bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal dan
berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anak yang karena ayahnya
memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarga-negaraan.”

Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan campuran
bisa menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing :

• Menjadi warganegara Indonesia

Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warga negara asing
dengan pria warganegara Indonesia (pasal 1 huruf b UU No.62 Tahun 1958), maka

12
Mixed Couple Indonesia, Masalah yang saat ini dihadapi keuargal perkawinan campuran,
http://www.mixedcouple.com/articles/mod.php?mod=%20publisher&op=view%20article&artid=46,
diakses 26 November 2019.
13
Pasal 13 UU No. 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan

11
kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya, kalaupun Ibu dapat memberikan
kewarganegaraannya, si anak terpaksa harus kehilangan kewarganegaraan
Indonesianya.14 Bila suami meninggal dunia dan anak anak masih dibawah umur tidak
jelas apakah istri dapat menjadi wali bagi anak anak nya yang menjadi WNI di Indonesia.
Bila suami (yang berstatus pegawai negeri)meningggal tidak jelas apakah istri (WNA)
dapat memperoleh pensiun suami.

• Menjadi warganegara asing

Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warganegara
Indonesia dengan warganegara asing. Anak tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai
warga negara asing sehingga harus dibuatkan Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya, dan
dibuatkan kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang dan
biaya pengurusannya tidak murah. Dalam hal terjadi perceraian, akan sulit bagi ibu untuk
mengasuh anaknya, walaupun pada pasal 3 UU No.62 tahun 1958 dimungkinkan bagi
seorang ibu WNI yang bercerai untuk memohon kewarganegaraan Indonesia bagi
anaknya yang masih di bawah umur dan berada dibawah pengasuhannya, namun dalam
praktek hal ini sulit dilakukan.

Masih terkait dengan kewarganegaraan anak, dalam UU No.62 Tahun 1958, hilangnya
kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan anak-anaknya
yang memiliki hubungan hukum dengannya dan belum dewasa (belum berusia 18 tahun
atau belum menikah). Hilangnya kewarganegaraan ibu, juga mengakibatkan
kewarganegaraan anak yang belum dewasa (belum berusia 18 tahun/ belum menikah)
menjadi hilang (apabila anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya).

3. Menurut UU Kewarganegaraan Baru


a. Pengaturan Mengenai Anak Hasil Perkawinan Campuran

Undang-Undang kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan


umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai
berikut:[20]

14
Pasal 1 UU No. 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan

12
• Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara
tempat kelahiran.
• Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang
diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang ini.
• Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu
kewarganegaraan bagi setiap orang.
• Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang ini.

Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda


(bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang
diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian.

Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah


atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak
secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang.

b. Kewarganegaraan Ganda Pada Anak Hasil Perkawinan Campuran

Berdasarkan UU ini anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan
pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria
WNI, sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia.

Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda dan setelah anak berusia 18 tahun
atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih
tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun
atau setelah kawin.

Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi
anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian
kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak.
Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi.

13
Indonesia memiliki sistem hukum perdata internasional peninggalan Hindia Belanda.
Dalam hal status personal indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya
tercantum dalam Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari
pasal 3 Code Civil Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip
nasionalitas untuk status personal. Hal ini berati warga negara indonesia yang berada di
luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya , tetap
berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional indonesia, sebaliknya, menurut
jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam wilayah Republik indonesia
dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang
status personal mereka. Dalam jurisprudensi indonesia yang termasuk status personal
antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum,
dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang
dibawah umur.

Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga
memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang
didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan
negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain
tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan
antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak
itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu
melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara yang lain.

Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat
syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia
18 tahun hendak menikah maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil harus
mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil mengikuti hukum tempat
perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri
(hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal
tersebut dilarang (pasal 8 UU No.1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara
pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang
harus diikutinya.

14
Hal tersebut yang tampaknya perlu dipikirkan dan dikaji oleh para ahli hukum
perdata internasional sehubungan dengan kewarganegaraan ganda ini. Penulis
berpendapat karena undang-undang kewarganegaraan ini masih baru maka potensi
masalah yang bisa timbul dari masalah kewarganegaraan ganda ini belum menjadi kajian
para ahli hukum perdata internasional.

15
BAB 4
PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum menjamin setiap warga negara, baik hak maupun kewajiban. Begitu pula
warga negara sebagai salah satu subjek hukum internasional, oleh karenanya maka setiap
warga negara punya hak keperdataan. Sehubungan dengan hal itu maka perlu diektahui
apa saja yang menjadi hak-hak individu warga negara juga hubungannya dengan hukum
perdata internasional.

Ikatan perkawinan yang berlangsung antara pria dan wanita yang masing-masing
tunduk pada sistem hukum nasional yang berbeda tentunya memunculkan persoalan-
persoalan HPI dalam bidang hukum keluarga yang meliputi masalah validitas
perkawinan, kekuasaan orang tua, status anak dan kosekueisi yuridik lainnya dari
perkawinan itu.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ida Bagus Wyasa Putra, dkk, Diktat Hukum Perdata Internasional, Fakultas Hukum
Udayana, 2016
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Mixed Couple Indonesia, Masalah yang saat ini dihadapi keuargal perkawinan campuran,
http://www.mixedcouple.com/articles/mod.php?mod=%20publisher&op=view%20artic
le&artid=46, diakses 26 November 2019.
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, B, Jilid III Bagian I, Buku ke-7,
Bandung: Penerbit Alumni, 1995.
UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
UU No.62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan.

17

Anda mungkin juga menyukai